PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Hayyu Citra Herdana NIM : 102044225086
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :
Hayyu Citra Herdana NIM : 102044225086
Di Bawah Bimbingan Pembimbing Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA NIP. 150 220 554
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
KATA PENGANTAR
Sembah sujud dan syukur yang mendalam kepada sang Khaliq, Allah SWT, atas rahmat, hidayah, kesempatan dan kesehatan yang telah Dia berikan, sehingga kita bisa menjalani kehidupan ini dengan ridha dan kasih sayang-Nya. Dengan kesadaran penuh akan kekuasaan-Mu ya Allah, penulih haturkan terima kasih ke hadirat Ilahi Rabbi, karena dengan kehendak-Mu hamba kuasa menuntaskan skripsi ini, subhanallah. Doa dan salam senantiasa terpatri kepada sang penjuang sejati, baginda Muhammad saw., semoga kita termasuk hamba Allah SWT yang berada di jalan yang lurus, amin. Skripsi yang berjudul “Problema Nikah Fasakh dalam Perspektif Hukum Materil dan Hukum Islam”. Disusun penulis dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S 1) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setulus hati penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan skripsi ini karena dukungan, semangat dan motivasi dari berbagai pihak baik moril maupun materil, baik individu atau kelompok, langsung atau tidak langsung telah ikut andil dalam proses ini. Oleh karen aitu, terimalah salam takzim saya sebagai penulis, dari lubuk hati yang paling dalam, terima kasih. Jaza kumullah khairan katsir. 1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.Hum, ketua jurusan Program Studi Ahwal Syakhsiyyah. 3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA., dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran, guna memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengabdikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku kuliah. 5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, serta Perpustakaan Umum Imman Jama’ yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari datadata pustaka. 6. Ayahanda terkasih Darman Asir Daud dan Ibunda terkasih Heryani Hikmah. Limpahan kasih sayang dan perjuangan hidup Ayah dan Ibu membuat penulis selalu bersyukur dan terus melapangkan hati untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Ketulusan hati Ayah dan Ibu menjadi cahaya dalam hati dan pikiran penulis agar terus bersemangat dan berbuat baik dalam setiap langkah. Semua ini tak akan bisa digantikan oleh siapapun. Semoga kesabaran, rahmat, ridha Allah SWT selalu mengiringi langkah kita, amin. 7. Kepada adik-adik penulis tersayang, Lutfi, Mutia, Yahya, yang baik hati dan lucu-lucu, kalian adalah semangat hidup yang membuat penulis terus berusaha menjadi kakak yang baik, “maaf ya, kaka sudah lama tidak berada di dekat
kalian”. Semoga Allah memberikan rahmat, iman, dan Islam keapda kita semua dan semoga kita sekeluarga bisa melewati keadaan ini dengan bersyukur, amin. 8. Teman-teman jurusan AKI angkata 2002 yang selalu memberikan support dan dukungan walau sudah terlebih dahulu selesai dan yang masih aktif, terutama kepada Yanti Quesyah, Dewi Sapyuni, Ai Tita Kuswati, Hafis Eka, Jelani, Muslim, Mulyadi, Iin Ernawati, Harsani, dan seluruh teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu, semoga waktu tidak merusak hubungan kita. Dan masih banyak lagi nama-nama yang ingin penulis sebutkan, namun tidak bisa semuanya dituliskan dalam kata pengantar yang terbatas ini. Penulis berharap dan berdoa semoga apa yang telah diberikan oleh yang bersangkutan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar, mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah SWT, dan besar keinginan penulis agar skripsi ini dapat membawa manfaat khususnya bagi penulis pribadi dan bagi pembaca pada umumnya, amin. Jazakumullah khairan katsiran...
Ciputat, 14 Januari 2009
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
v
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah
5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
5
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
5
E. Sistematika Pembahasan
6
TINJAUAN HUKUM TENTANG NIKAH, CERAI & FASAKH
8
A. Pengertian Nikah
8
1. Tujuan dan Hikmah Nikah
10
2. Hukum Nikah
13
3. Rukun Pernikahan
14
B. Pengertian Cerai, Perbedaan Antara Cerai Dan Fasakh
BAB III
15
PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM
23
A. Pengertian Hukum Materil
23
1. Kompilasi Hukum Islam dan Latar Belakang terbentuknya KHI
23
2. Undang-Undang Perkawinan Th 1974 dan Sejarah terbentuknya UU Perkawinan Th 1974
BAB IV
BABV
28
B. Pengertian Hukum Islam
29
NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
34
A. Pengertian Umum Tentang Nikah Fasakh
34
B. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Materil
35
C. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Islam
40
PENUTUP
63
A. Kesimpulan
63
B. Saran
64
DAFTAR PUSTAKA
66
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan. Sebagai khalifah, manusia hidup dan berkembang biak melalui perkawinan. Sebab perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang lazim terjadi pada setiap makhluk Tuhan, baik terjadi pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Melalui perkawinan manusia diharapkan dapat membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warohmah. Perkawinan dalam Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 1Dan salah satu jalan untuk mencapai bahagia adalah dengan jalan perkawinan. 2 Dalam Islam, perkawinan dua insan manusia yang berlawanan jenis bermakna religius-spiritual, oleh sebab itulah dalam perjalanan manusia beragama, perkawinan dianggap memiliki nilai sakralitas paling tinggi.3 Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi setiap insan yang melakukannya. Ia adalah sebuah aktifitas kemanusiaan dengan makna luas dan berdimensi ibadah seperti ungkapan Nabi SAW… “nikah merupakan bahagian aktifitasku”. Meski demikian, “aktifitas ibadah” tersebut tidak mutlak harus dilakukan 1 2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Akademika Pressidne, 2004), h.114. Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989),
h.1. 3
Ashad Kusuma Djaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama (Pesan-pesan Rasulullah SAW Menuju Pernikahan Barokah) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001), h.15.
paksaan. Pernikahan yang memiliki kata dasar “nikah” berarti berkumpul atau bersetubuh, berimplikasi kepada hukum mubah, sunnah, wajib, makruh bahkan haram.4 Perkawinan dibolehkan dan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada umat manusia sesuai dengan tabiat alam yang mana antara golongan pria dan golongan wanita itu saling membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin sebagai suami istri yang sah dalam hukum agama atau undang-undang negara yang berlaku. Adapun salah satu hikmah perkawinan perspektif ajaran Islam adalah memelihara
manusia
(pemuda)
daripada
pekerjaan
yang
maksiat
yang
membahayakan diri, harta dan pikiran.5 Dalam tatanan kehidupan vertical horizontal pernikahan menjadi salah satu upaya hubungan antar manusia karena dengan pernikahan manusia dapat membuat satu keluarga yang akan berkembang biak menjadi kelompok masyarakat. Dalam Islam pernikahan merupakan suatu sunnatullah dan anjuran agar hidup manusia dan makhluk hidup lainnya lebih berwarna dan lebih menyenangkan. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tanggadan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum
4 5
h.30-31.
Ahmad Suddirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.i. Amir Taat Nasution, Rahasia perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1994),
dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Dan sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, sehingga pasangan itu menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Dan dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. Sebagai sebuah kehidupan, pernikahan akan diisi dengan pernak-pernik persoalan yang niscaya hadir dan ia adalah proses menuju kepada nilai pemahaman bagi pasangan yang telah terikat tali pernikahan. Bahkan, sebelum pasangan (suamiistri) menjalin ikatan keluarga, keduanya berusaha mengenal satu kepada yang lainnya dengan harapan bahwa rumah tangga yang hendak dibina dapat langgeng, dalam bingkai “sakinah, mawaddah, warrohmah” dengan ridha Allah. Dengan adanya perkawinan adalah untuk melangsungkan perkembangan manusia dan adanya keturunan sebagai tujuan dasar setiap pembentukan rumah tangga untuk hidup tentram. Maka diharapkan suatu perkawinan dapat berlangsung langgeng dan bahagia dalam perjalanannya. Roda kehidupan terus berputar dan terkadang tanpa disadari bahwa perkawinan yang baru atau sedang dijalani cacat hukum, artinya perkawinan batal karena ada beberapa sebab yang membatalkannya. 6
6
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang PA dan Bidangnya (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h.22.
Meski demikian, upaya seperti isyarat agama adalah lazim yang
mesti
dilakukan dan pernik persoalan pun keniscayaan yang mungkin maka tidaklah mengherankan jika perjalanan sebuah “bahtera” mengarungi lautan juga tidak luput ancaman badai.7Perceraian misalnya, banyak faktor eksternal maupun internal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Dalam Islam perceraian pada perinsipnya dilarang, hal ini dapat dipahami dari Hadist Rasulullah yang menyatakan bahwa talak itu adalah perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT. Karena itu talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir atau sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh manakala bahtera rumah tangga tudak dapat dipertahankan lagi keutuhannya. Namun bagaimana jika para pasangan yang telah melangsungkan pernikahan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat penting yang tertera didalam Undang-Undang Perkawinan ataupun dilarang dalam agama Islam? Kemudian bagaimana hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia menyelesaikan permasalahan ini? Berdasarkan permasalahan tersebut penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih teliti bagaimana sebenarnya penyelesaian dan problematika fasakh nikah yang diuraikan dalam bentuk judul: PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM.
7
Ahmad Suddirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya, (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.i.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Karena pembahasan ini cukup luas maka kiranya perlu pembatasan masalah agar tidak meluas dan tidak terkontrol. Pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu ada beberapa hal dalam pernikahan yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh yang dinyatakan rusak sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No 1 tentang Pernikahan Tahun 1974 tidak dinyatakan rusak. Rumusan tersebut dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan di bawah ini: a. Apa perbedaan nikah fasakh, perceraian dan fasakh? b. Problema apa sajakah yang terkait nikah fasakh? c. Bagaimana nikah fasakh diatur dalam hukum materil dan hukum Islam? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan yang sangat penulis harapkan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui hal yang mendasar tentang problema nikah yang dianggap nikah fasakh. 2. Untuk mendapat keterangan jelas tentang problema nikah fasakh yang diatur dalam hukum materil dan hukum Islam. D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research). Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu dengan membaca dan membandingkan bahan-bahan yang bersifat teoritis yang terdiri dari bahan buku
primer, sekunder dan tertier
8
Adapun bahan buku primer tersebut yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, Fiqh Islam Wafadilatuha. Bahan buku sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku Hukum Islam di Indonesia (Ahmad Rofiq), Hukum Perdata Islam di Indonesia (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan) dan lain-lain. Bahan buku tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, seperti ensiklopedi Islam, ensiklopedi hukum Islam, kamus besar bahasa Indonesia, dan lain-lain. Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif tinjauan pustaka dengan menggambarkan masalah, kemudian penulis meneliti tulisan-tulisan dan kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan tersebut, untuk kemudian diambil kesimpulan. Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “ Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah & Hukum” dan sumber data yang berasal dari Al Qur’an tidak menggunakan catatan kaki (footnote) dan meletakkan Al Qur’an Al Karim pada urutan pertama dalam daftar pustaka. E. Sistematika Pembahasan Skripsi ini dibagi ke dalam lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu :
8
h.116.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003)
Bab pertama mengenai pendahuluan, yang terdiri dari; latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua mengenai tinjauan hukum tentang pernikahan dan perceraian, fasakh dan nikah fasakh serta perbedaan antara perceraian dan fasakh. Bab ini membahas pengertian pernikahan dari mulai tujuan, hikmah, hukum, syarat dan rukun pernikahan. Pengertian perceraian dan perbedaan dengan fasakh, pengertian nikah fasakh. Bab tiga mengenai pengertian umum tentang hukum materil dan hukum Islam. Bab ini membahas tentang pengenalan hukum materil yaitu KHI dan UndangUndang Perkawinan Tahun 1974 dan sejarah terbentuknya, serta pengertian hukum Islam. Bab empat mengenai nikah fasakh perspektif hukum materil dan hukum Islam, yang membahas tentang pengertian umum tentang nikah fasakh, problema nikah fasakh perspektif hukum materil, problema nikah fasakh perspektif hokum Islam. Bab lima mengenai penutup, yang terdiri dari; kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG NIKAH, CERAI, FASAKH DAN NIKAH FASAKH
A. Pengertian Nikah Kata “nikah atau “zawaj” yang berasal dari bahasa Arab yang secara makna etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih atau makna lainnya”. “Akad dan bersetubuh yang secara syara” berarti akad pernikahan. 9 Secara terminologi (istilah) ‘nikah’ atau ‘zawaj’ialah suatu ikatan atau akad yang menghalalkan pergaulan dan membatas hak dan kewajiban serta bertolong-tolong di antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang bukan mahram.10 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah adalah perjanjian antara lakilaki & perempuan untuk bersuami atau beristri (dengan resmi). 11 Sedangkan menurut Ahmad Sudirman Abbas dalam bukunya Pengantar Pernikahan, pernikahan adalah: -
Akad yang mengandung kebolehan akan memperoleh kenikmatan biologis dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.
-
Akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang lelaki atas diri seorang perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara keduanya. 12 9
Ahmad Suddirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.1. Sulaiman Rasjid, Fiah Islam (Hukum Figh Lengkap) (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.374. 11 Departeman Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.614. 10
Menurut Mahmud Yunus menyatakan : Perkawinan atau pernikahan ialah akad antara calon lelaki dan istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh Syari’at.13 Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Allah SWT berfirman :
(49 :51/وَِْ آُ َ ْءٍ َََْ زَوَِْْ ﻝََُْ ََآُوْنَ )اﻝریت Artinya: “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, agar kamu sekalian mau berfikir” (Q.S. 51 (Az-Zariyat): 49).
ًَة3َ.َ2َََِْ و1 ُُِِْْ اَزْوَاً وََََ ﻝَُْ ِْ اَزْوَا/ُ.ُْ َََ ﻝَُْ ِْ اَﻥ,وَا (72: 16 /9 )اﻝ... َِت7 6َُْ َِ اﻝ5َوَرَز Artinya: “Allah telah menjadikan pasangan bagi kamu dari diri kamu sendiri. Dan dari istri-istri kamu Dia jadikan anak dan cucu bagi kamu serta memberikan kepada kamu rizki dari yang baik-baik...” (Q.S. 16 (An-Nahl): 72). Perkawinan merupakan jalan aman yang dipilih Allah untuk menyalurkan kebutuhan biologis yang lahir alami di tiap-tiap tubuh manusia dewasa. Perkawinan adalah sarana bagi manusia untuk berkembang biak dan mempunyai generasi penerus yang diharapkan akan membawa nama baik bangsa dan tanah air.
12
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.1. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h.1. 13
Terkadang ada orang yang ragu-ragu untuk kawin, karena sangat takut memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Islam memperingatkan bahwa melalui ikatan perkawinan, Allah SWT akan memberikan kepadanya penghidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya dan diberikan kepadanya kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan. 1. Tujuan dan Hikmah Nikah Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam tingkat masyarakat. Untuk dapat membangun keluarga sakinah yang menjadi impian semua orang, maka para anggota yang terdapat di dalam institusi tersebut harus memiliki kesadaran tinggi terhadap hak dan kewajibannya masing-masing. Keluarga sakinah dapat terbina dengan perkawinan yang dianugrahi pasangan yang saling menghormati, menghargai dan saling menyayangi. 14 Dalam Kompilasi Hukum Islam yang juga merupakan penjelasan dari undang-undang perkawinan telah dirumuskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Hikmah menikah (pernikahan) agar manusia hidup berpasang-pasangan, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan, ialah ikatan akad nikah atau ijab qabul perkawinan, dan bila akad nikah telah 14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h.15.
dilangsungkan maka mereka telah berjanji dan bersetia, akan membangunkan satu rumah tangga yang damai dan teratur, dan mereka akan menjadi satu keluarga.15 Sedangkan menurut Abdul Qadir Jaelani dalam bukunya “Keluarga Sakinah” : Perkawinan itu adalah salah satu cara yang telah banyak ditetapkan oleh Allah SWT untuk memperoleh anak dan memperbanyak keturunan serta melangsungkan kehidupan manusia. Dan suami istri ditugaskan untuk mengatur, dan mengenai ini Allah SWT berfirman :
َِEَ7َ5ًَ و1ْDُُ ُْ وََََْآCَBْیَاَی=>َاﻝسُ اِﻥَّ َََْآُْ ِْ ذَآٍَ وَاُﻥ (13 :49 /اتH9)اﻝ...ْاDُGَََرFِﻝ Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersekutu-sekutu supaya kamu mengenal” (Q.S. 49 (Al Hujurat): 13). Adapun
masalah
hikmah perkawinan.
Abdullah Nasheh
Ulwan
menyatakan antara lain adalah untuk memelihara jenis manusia, untuk memelihara keturunan, menyelamatkan masyarakat dari kerusakan akhlak, menyelamatkan masyarakat dari berragam penyakit dalam perkawinan, untuk menentramkan jiwa setiap pribadi, untuk menjalin kerja sama suami istri dalam membina keluarga dan mendidik anak-anak, menyuburkan rasa kasih sayang ibu dan bapak.16
15 16
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, h.42. Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah (Surabaya: Cahaya Ilmu, 1995), h.41-46.
Sedangkan menurut Al Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Qadir Jaelani, hikmah pernikahan itu adalah: a. Untuk mendapatkan keturunan. Empat keutamaan yang dapat diperoleh dari keturunan yang didasarkan pada pernikahan adalah : 1) Cinta kepada Allah, karena memperoleh anak berarti melestarikan jenis manusia di alam ini untuk kepentingan beribadah kepadanya. 2) Sebagai tanda cinta kasih kepada Rasulullah SAW, dengan memperoleh anak, berarti umat Muhammad SAW bertambah banyak dan ini merupakan kebanggaan Rasulullah di akhir nanti. 3) Mencari keberkahan dari do’a anak yang saleh, apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia. 4) Mencari syafaat dari kematian anak yang masih kecil, yang mendahului orang tuanya. b. Membentengi diri dari godaan setan dalam mengendalikan nafsu seks c. Untuk menimbulkan ketenangan jiwa Menurut pendapat Sayyi Sabiq, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Qadir Jaelani, beliau menulis sebagai berikut : a. Persaudaraan yang langgeng (teman sehidup semati) diantara pria dan wanita. b. Perkawinan adalah jalan terbaik untuk memelihara dan berkorban guna kepentingan anak-anak dan memperbanyak keturunan dalam melanjutkan kehidupan dengan memelihara garis keturunan. c. Dengan perkawinan watak kebapak dan keibuan akan bertambah subur dan sempurna, apabila mereka mampu memelihara dan melindungi anakanak. d. Perkawinan adalah untuk mengetahui hakikat pertanggungjawaban dalam memelihara dan mendidik anak-anak. e. Dan perkawinan mengadakan pembagian tugas pekerjaan secara teratur mengenai kehidupan rumah tangga. Menurut pendapat Abu Bakar Jabir Al Jazair : a. Untuk melestarikan jenis kehidupan manusia dengan keturunan yang dihasilkan. b. Untuk memenuhi kebutuhan biologis antara suami dan istri. c. Untuk mewujudkan kerja sama suami istri dalam pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.
d. Untuk mengatur hubungan antara pria dan wanita dalam masalah-masalah hak dan kewajiban yang asasi. 17 Dari hikmah-hikmah pernikahan yang tercantum di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan dilakukan untuk memberikan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai makhluk yang beragama. 2. Hukum Nikah Meskipun nikah adalah dianjurkan oleh Rasulullah saw, namun hukumnya bisa berubah, tergantung kepada kondisi seorang muslim. Di antara hukum-hukum nikah adalah: a. Wajib: Bagi yang mampu kawin, hawa nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinahan. b. Sunnah: Bagi yang mampu kawin, nafsunya telah mendesak tapi masih dapat menahan hawa nafsunya. c. Haram: Bagi yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak dan diyakini tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya terhadap istri. d. Makruh: Bagi yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi istrinya. e. Mubah: Bagi yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau alasan-alasan untuk yang mengharamkan untuk kawin. 18
17
Ibid, h. 48-50
3. Syarat dan Rukun Nikah Syarat-syarat nikah merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Pada garis besarnya, syarat-syarat sahnya pernikahan itu ada dua: a. Calom mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. b. Akad nikahnya dihadiri para saksi. Sedangkan rukun-rukun nikah itu terdiri dari: a. Pihak Laki-Laki b. Pihak Perempuan c. Wali atau Wali Hakim d. Dua Orang Saksi e. Ijab Dan Qabul19
B. Pengertian Cerai, Perbedaan Antara Cerai dan Fasakh Cerai berarti “pisah”, “putus hubungan” sebagai suami istri , talak.20 Cerai atau lebih dikenal dalam Islam talak, dari kata “ithlaq” artinya “melepaskan atau meninggalkan” dalam istilah agama “talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan.21
18
Ibid, h. 62 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h.46-49. 20 Departeman Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.163. 21 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Bandung: Al Maarif, 1980), Jilid 8, h.1.
19
Sebuah hubungan perkawinan sejatinya menjadi utuh, langgeng bagi kedua pasangan dari itulah tujuan dari perkawinan. Dan keduanya diharapkan dapat mewujudkan rumah tangga yang menjadi fungsi keluarga itu sendiri yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Fungsi Biologis Fungsi pendidikan sosial bagi anak Fungsi afeksi Fungsi edukatif Fungsi religius Fungsi protektif Fungsi kreatif Fungsi ekonomis Fungsi penentuan status22
Dan dikatakan bahwa ikatan antara keduanya merupakan ikatan yang paling suci dan kokoh dan Allah menamakan ikatan suci antara suami istri tersebut dengan kalimat “perjanjian yang kokoh”
23
sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam
firmannya :
(154 :4 /ء/ )اﻝ.ًJَِْK ً5َBِْ ُْ>ِْ َوَأََْﻥ Artinya: “Dan mereka (istri-istrimu) telah memberi dari kamu perjanjian yang kuat”. (Q.S. 4 (Al-Nisa’): 154)
Walaupun sebenarnya pekerjaan halal yang sangat dibenci adalah bercerai, dan memang tidak dianjurkan untuk bercerai. Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang berbunyi:
22
H.A. Sutarmadi dan Mesrani, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2006), h.11-12. 23 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat (Jakarta: Mizan, 1998), h.9-10.
ِ, اCَََلِ إِﻝ9ُْ اﻝTَSْ1َ أ:ََل5 ََِ وَﺱMََْN ُ, اCَO
ِ7َِ اﻝN ََPُN ِْ1َِ اN (M99O دادود وD1 أY )روا.َُق6وََ اَﻝVَN Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW berkata “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ialah talak (Hr. Abu Daud Hakim dan disahkan olehnya)24 Tetapi jika terdapat darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami meragukan kebersihan tingkah laku istrinya atau sudah tidak mencintainya. Tetapi jika tidak terdapat alasan apapun, maka bercerai yang demikian berarti kufur terhadap nikmat Allah SWT. Talak juga mempunyai hukum yaitu : wajib, haram, dan sunnah. Talak wajib yaitu talak yang dijatuhkan oleh pihak pengadilan sebagai penengah, karena perpecahan antara suami istri yang sudah berat dan tidak ada jalan lain selain perpisahan. Talak haram yaitu thalak tanpa alasan, diharamkan karena merugikan bagi kedua belah pihak, tidak ada kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talak. Talak sunnah yaitu karena istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah SWT, seperti salat dan sebagainya. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukum talak ada lima, yang menjadi wajib jika terjadi perseteruan yang tak kunjung ada pemecahannya, dan kedua belah pihak tidak dapat lagi bersatu, dua wakil dari kedua belah pihak tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak dengan tujuan menyelamatkan rumah tangga 24
Sulaimân bin al-Asy’ab Abu Dâwûd al-Sajastânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1, h.661.
mereka, pihak hakim berpendapat bahwa talak adalah lebih baik, tidak terjadi perceraian maka berdosalah sang suami. Menjadi haram jika menceraikan istri ketika haid atau nifas, ketika keadaan suci yang telah disetubuhi, menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus atau thalak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih. Sunnat ketika suami tidak mampu menanggung nafkah istrinya dan istrinya tidak menjaga kehormatan dirinya. Makruh ketika suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik dan berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama. Menjadi Mubah ketika suami yang lemah keinginan nafsunya atau istrinya belum datang haid atau telah putus haidnya.25 Dalam kitabnya As-Syifa, Ibnu Sina mengatakan bahwa seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali, karena dikhawatirkan dapat berakibat bahaya yang lebih besar dari pada disatukan, dan jika terus-terusan dipaksa justru tidak baik, pecah, dan kehidupan mereka akan menjadi kacau-balau.26 Allah SWT berfirman :
ٍ_َ^Z ZZِ2َ.ِ1 َِْْ]Z ZZَ اَنْ یZ ZZْهُ اِﻝDُPُFََْاZ ZZَ ٍTَْ7Z ZZِ1 ْاDُ7َْهZ ZZَFِْهُ ﻝDُُ[Z ZZَْ Z ZZَ وَﻝ... .(49 :4 /ء/)اﻝ...ٍ_َ َ1 Artinya: “Dan janganlah kamu (suami) menghalangi mereka (istri-istri) karena kamu ingin mengambil kembali apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau mereka berbuat keji dengan terang-terangan.” (Q.S. 4 (AlNisa’): 49) 25 26
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 6864 Ibid
C. Perbedaan Antara Cerai Dan Fasakh Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara cerai talak dan cerai fasakh karena keduanya adalah bagian dari cerai atau perpisahan, tetapi tetap ada yang membedakan antara keduanya yaitu perceraian talak ada dua macam yaitu talak raj’i dan talak bain. Talak bain tidak menghentikan ikatan perkawinan seketika dan talak bain menghentikan perkawinan sejak saat dijatuhkan. Sedangkan fasakh dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad atau karena adanya kekeliruan sewaktu akad dapat memutuskan hubungan perkawinan seketika. Di samping itu cerai dengan jalan talak akan mengurangi bilangan talak. Seorang suami yang men-talak istrinya dengan talak raj’i kemudian merujuknya di dalam iddah atau dikawin lagi dengan akad baru setelah lewat iddah, maka talak itu dihitung satu dan laki-laki masih memiliki dua talak lagi. Adapun cerai fasakh tidak mengurangi bilangan talak. Seandainya suatu akad dirusak dengan khiyar bulugh kemudian laki-laki dan wanita ternyata memutuskan menikah maka perkawinan itu masih mempunyai 3 talak. Fukaha dari kalangan Hanafiyah tidak membedakan antara cerai talak & cerai fasakh, dimana dikatakan bahwa semua perceraian yang datang dari pihak suami & tidak ada tanda-tanda dari perempuan maka perceraian dinamakan talak, dan semua perceraian yang asalnya dari fihak istri dinamakan fasakh.27
27
H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 50
Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu pernikahan dapat dirusak/ difasakh, dengan fasakh tersebut akad perkawinannya tidak berlaku lagi, dan penyebabnya yaitu : 1. apabila salah satu dari pasangan suami isri telah menipu pasangannya. 2. apabila seorang perempuan dinikahi seorang laki-laki yang mengaku orang baik-baik kemudian ternyata fasik, maka si perempuan berhak mengajukan fasakh. 3. seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang mengaku perawan ternyata janda, maka laki-laki itu berhak memfasakh dan meminta ganti rugi mahar sebanyak sekitar mahar seorang gadis. 4. seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang tenyata tidak dapat dicampuri maka laki-laki dapat memfasakh, misal: si istri selalu istihadhoh. 5. seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tetap di tubuh si perempuan ada penghalang yang menyebabkan si istri tidak dapat digauli. 6. seorang laki-laki yang menikahi perempuan tetapi si perempuan ternyata mengidap penyakit/cacat. Sedang fasakh dengan keputusan hakim, jika sebab-sebab fasakh yang sudah jelas tidak memerlukan keputusan hakim lagi, misal apabila terbukati bahwa si suami istri masih saudara sesusuan, saat itu pula wajib atas mereka berdua untuk memfaskhkan perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri. Kadang-kadang ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga memerlukan keputusan hakim, dan
pelaksanaanya tergantung kepada keputusan hakim, misal fasakh karena istri musyrik dan enggan masuk Islam, suami sudah masuk Islam lebih dahulu tetapi istri keberatan untuk masuk Islam maka akadnya rusak.28 Sedangkan Wahbah Zuhaili dalm bukunya Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu membedakan antara fasakh dan talak dengan tiga faktor. Pertama faktor hakikatnya atau pengertiannya. Fasakh adalah rusaknya sebuah akad pernikahan dari asalnya dan menghilangkan kehalalan atas sesuatu yang dibolehkan dalam ikatan perkawinan. Sedangkan talak adalah selesainya atau terhentinya sebuah akad pernikahan akan tetapi tidak menghilangkan kehalalan untuk melakukan sesuatu yang dibolehkan dalam perkawinan kecuali apa bila telah jatuh talak tiga. Faktor yang kedua yaitu faktor akibat yang menyebabkan terjadinya fasakh atau talak. Fasakh terjadi adakalanya disebabkan oleh suatu keadaan yang dapat membatalkan (merusak) akad yang melarang terjadinya pernikahan. Contohnya adalah apabila seorang istri atau calon istri murtad atau ia enggan memeluk agama Islam. Contoh yang kedua yaitu apabila suami mempunyai hubungan pernikahan dengan ibu istrinya atau anak perempuan istrinya. Adakalanya disebabkan
oleh
keadaan dimana keadaan tersebut tidak lazim diadakan pernikahan. Contohnya adalah tidak pantasnya atau kurang matangnya salah satu antara suami atau istri untuk melakukan pernikahan. Atau belum memenuhi syarat seorang wali dari pihak istri 28
H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, h.51-52.
atau karena jumlah maskawin yang terlalu sedikit (menurut Imam Hanafi). Dari semua keadaan tersebut tidak lazim dilakukan sebuah akad pernikahan.29 Adapun talak terjadi setelah melalui akad pernikahan yang sah dan lazim, talak merupakan hak suami. Jadi tidak ada dalam sebab-sebab terjadinya talak suatu keadan yang mengharamkan atau yang tidak lazim terjadinya akad pernikahan Faktor yang ketiga yaitu pengaruh yang diakibatkan dari fasakh dan talak. Fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak. sedangkan talak dapat mempengaruhi (membatalkan) bilangan talak.30 Sebuah sebab perpisahan yang mengakibatkan fasakh tidak akan terjadi pada talak. Kecuali dengan sebab murtad atau menolak untuk masuk Islam. Menurut imam Hanafi terjadi fasakh dan thalak secara mutlak dan hukum. Adapun pengaruh talak maka akan terjadi talak yang lain (talak satu, talak dua, talak tiga) dan secara otomatis akan berlaku hukum-hukum yang ada dalam hukum perkawinan. Apabila fasakh terjadi sebelum suami istri melakukan hubungan badan maka seorang istri tidak wajib mendapatkan maskawin sedikitpun sedangkan dalam talak istri berhak mendapatkan setengah dari maskawin. Jika tidak ada maskawin maka dinamai pembagian harta gono-gini.31 Abu Hanifah dan Muhammad sepakat bahwa perbedaan antara fasakh dan talak hanya terletak pada siapa yang menyebabkan perpisahan terjadi, jika dari pihak suami termasuk talak sedangkan jika dari pihak istri termasuk fasakh. 29
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu, h. 6864 Ibid, h. 6865 31 Ibid, h. 6865 30
Abu Hanifah berbeda pendapat dengan Muhammad pada perpisahan yang disebabkan murtadnya seorang suami yang menurut Muhammad termasuk Fasakh, karena menurutnya murtad sama dengan kasus meninggal karena jika sorang suami meninggal maka tidak mungkin bisa seorang istri menjatuhkan talak. 32
32
Ibid, h. 6865
BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hukum Materil 1. Kompilasi Hukum Islam dan Latar Belakang terbentuknya KHI Kompilasi hukum Islam pada dasarnya adalah berbicara salah satu aspek dari hukum Islam di Indonesia, bahwa berlakunya suatu hukum Islam di Indonesia sangat tergantung pada masyarakat atau umat Islam itu sendiri yang menjadi sarat utama bagi
penunjang kelangsungan hukum Islam. Dan
walaupun tidak sedikit yang telah melaksanakan hukum Islam namun hukum Islam Indonesia masih belum memperlihatkan bentuknya yang utuh sesuai dengan konsep dasarnya menurut Al Qur’an dan Sunnah. Dan ini adalah realita yang merupakan refleksi berlangsungnya proses Islamisasi yang berlanjut terus dalam kehidupan umat Islam yang belum mencapai target. Sikap tidak setia menjadi salah satu faktor terbesar adanya ‘Islam KTP’ yaitu Islam yang tidak mengindahkan hukum Islam bahkan masih awam. Dan inilah yang belum selaras dalam dunia Islam. Adapun kendala yang juga terlihat sangat jelas adalah daya lentur hukum Islam (adability), hukum Islam dapat beradaptasi sesuai dengan kemajuan zaman, tetapi usaha untuk selalu mengaktualkan hukum Islam untuk menjawab perkembangan dan kemajuan zaman masih belum dikembangkan sebagaimana mestinya, bahkan cenderung
hanyut dalam pertentangan yang tak kunjung selesai sehingga untuk beberapa abad kita masih belum menunjukan karya nyata mengenai hal ini. 33 Istilah kompilasi diambil dari bahasa latin “compilare” yang mempunyai arti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa inggris atau “compilatie” dalam bahasa belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi “kompilasi” yang berarti terjemahan langsung dari dua perkataan yang tersebut terakhir. Dalam kamus lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris yang disususn oleh S. Wojowasito dan WJS Poerwadarminta disebutkan kata “compilation” dengan terjemahan “karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain. Sedangkan dalam kamus umum Belanda Indonesia yang disusun oleh S. Wojowasito kata “compilatie” diterjemahkan menjadi “kompilasi” dengan keterangan tambahan “kumpulan dari lain-lain karangan”.34 Berdasarkan beberapa keterangn di atas bahwa dari sudut bahas kompilasi adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Dalam Black’s law Dictionary yang telah memberikan rumusan pengertian kompilasi sebagai “a bringing together of preexisting status in the
33
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h.1-2. 34 S. Wojowasito dan WJS Purwodarminto, Kamus Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 123
form which they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and subtitution of amandments in an arrangement designed to facilitate their use. A literary production compused of the works or manner.35 Maka kompilasi dalam kompilasi hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang dapat diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fiqih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada pengadilan agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam suatu himpunan. Tahun 1958 kementrian agama memberikan acuan untuk keseragaman hukum pengadilan agama dengan mengeluarkan 12 buku untuk digunakan sebagai acuan dalam menangani berbagai kasus. Kini sudah waktunya untuk memperluas buku-buku tersebut, sehingga keputusan pengadilan agama dapat berjalan sesuai dengan persepsi hukum orang-orang yang mencari keadilan. Juga sudah saatnya untuk mensistematisasikan hukum Islam, agar masyarakat Islam yang kebanyakan tidak tahu hukum serta bahasa Arab (bahasa yang dipergunakan dalam buku), mengenal hak serta kewajibannya menurut pengadilan Islam.36 Latar belakang Kompilasi Hukum Islam (KHI) berawal dari konsideran keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan menteri agama tanggal penunjukan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui
35 36
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 12 Ibid, h. 13
yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek kompilasi hukum Islam, dan dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa proyek ini diadakan, yaitu:37 a. bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap jalannya peradilan disemua lingkungan peradilan di Indonesia,
khususnya
di
lingkungan
peradilan
agama,
perlu
mengadakan kompilasi hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di pengadilan agama; b. bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, di pandang perlu membentuk suatu tim proyek yang sususnannya tediri dari para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia. Pembentukan kompilasi hukum Islam ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kondisi yang ada di negara kita Indonesia selama ini. Dan hal ini penting untuk ditegaskan menurut Muchtar Zarkasyi, sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman, karena hingga kini belum ada satu pengertian yang disepakati tentang hukum Islam di Indonesia. Ada beberapa anggapan tentang hukum Islam yang masing-masing melihat dari sudut yang berbeda.38 Menurut
37 38
Ibid, h. 15 Ibid, h. 16
Muhammad Daud
Ali,
sebagaimana yang dikutip oleh
Abdurrahman, dalam membicarakan hukum Islam di Indonesia, pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia. Dan menurut
Ichtianto, sebagaimana yang
dikutip oleh
Abdurrahman, hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan hukum nasional dan merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya. 39 Secara umum Satria Effendi M. Zein, sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman, berpendapat bahwa suatu hal yang tidak dapat dibantah adalah bahwa hukum Islam baik di Indonesia maupun di dunia Islam pada umumnya, sampai hari ini adalah hukum fiqh hasil penafsiran pada abad ke dua dan beberapa abad selanjutnya, kitab-kitab fiqh klasik masih tetap berfungsi dalam memberikan informasi hukum. Dan hal ini membuat Islam terlihat begitu kaku berhadapan dengan masalah-masalah sekarang, yang amat banyak melibatkan masalah ekonomi.40 Banyak masalah baru yang belum ada padanannya pada masa Rasulullah dan pada masa para Mujtahid di masa madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak hendak berpegang pada tradisi dan penafsiran-penafsiran oleh
39 40
Ibid Ibid
ulama Mujtahid tedahulu, sedang pihak lain menawarkan, bahwa berpegang erat saja kepada penafsiran-penafsiran lama tidak cukup menghadapi perubahan sosial di abad kemajuan ini. Penafsiran-penafsiran hendaklah diperbaharui sesuai dengan kondisi dan situasi masa kini. Untuk itu ijtihad perlu digalakkan kembali. Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan kompilasi hukum Islam sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada masa orde baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fiqih seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqih akan dapat diakhiri. Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama dari diadakannya penyusunan kompilasi adalah karena adanya kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam.41 2. Undang-undang Perkawinan No. 1 Th 1974 dan Latar Belakang UU Perkawinan No.1 Th 1974 Pasal 2 UU No. 1/1974 (UU Perkawinan), menetapkan bahwa perkawinan yang sah adalah jika perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan agama pengantin. 41
Ibid, h. 20.
Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang disahkan Presiden pada tanggal 2 Januari 1974 dan instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991 yang didalamnya menjelaskan tentang mutlak adanya undang-undang perkawinan mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, asas-asas perkawinan dan jaminan kepastian hukum.42 Dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 Th 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah No. 9 Th. 1975 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang perkawinan, antara lain mengatur tentang rukun dan syarat-syarat perkawinan, maka terciptalah kepastian hukum dalam urusan perkawinan pada khususnya, dan pada masalah keluarga pada umumnya. Sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia kekal dan abadi.” B. Pengertian Hukum Islam Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan menjadi bagian dari agama Islam.43 Al Quran sebagai sumber hukum yang paling utama yang
42
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h.222. 43 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.42.
dapat diambil oleh umat Islam dalam menerapkan hukum yang akan dipakai di kehidupannya sehari-hari, sebagai sumber rujukan yang paling utama Al Quran yang telah diturunkan Sang Khaliq berabad-abad lamanya bersaing dengan waktu yang terus berjalan dan berjalannya waktu banyak hal-hal baru yang dapat merubah kebijakan-kebijakan para ulama dalam menyelesaikan kendala-kendala baru dalam kehidupan umat muslim. Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia. 44 Bila hukum ini dihubungkan kepada Islam atau syara maka hukum Islam akan berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua uamt yang beragama Islam”. Al Quran dan As-Sunnah melengkapi sebagian besar dari hukum-hukum Islam dalam bidang fiqh, kemudian para sahabat dan tabi’in menambahkan atas hukum-hukum itu, aneka hukum yang diperluakan untuk menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang timbul dalam masyarakat. Karenanya dapatlah kita katakan bahwa syariat (hukum) Islam, adalah : “hukum-hukum yang bersifat umum lagi “kulli” yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat”.45 Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan Al-Fiqh Al Islamy atau dalam konteks tertentu dari Al Syarî’ah Al Islâmî. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law, dalam Al-Qur’an dan Al-
44 45
Ibid.,h.44. M. Hasbi Ashiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), h.44-45.
Sunnah, digunakan kata syarî’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Sesuai kajian ushul fiqh bahwa hukum Islam terbagi dua, pertama, kategori syarî’ah; kedua kategori fiqh. Syari’ah adalah hukum Islam yang ditegaskan secara langsung oleh nash Qur’an atau Sunnah yang tidak mengandung penafsiran dan penakwilan. Sedangkan fiqh adalah hukum Islam yang tidak atau belum ditegaskan secara langsung oleh para mujtahid.46 Syarî’ah statusnya qat’i, artinya kebenarannya bersifat mutlak, absolut, benar. Ia harus diterima apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi, berlaku sepanjang zaman untuk seluruh umat manusia, dalam segala kondisi dan situasi. Baginya tidak berlaku ijtihâd. Sedang fiqh statusnya zanni karena dia hasil ijtihad. Zanni artinya kebenarannya tidak bersifat absolut atau mutlak benar, tapi mengandung kemungkinan salah, hanya saja menurut mujtahidnya yang dominan adalah porsi kebenarannya. Untuk fiqh penerapannya mengikuti kondisi dan situasi sejalan dengan tuntutan zaman dan kemaslahatan. Disinilah ijtihad memainkan peranannya. 47 Dalam hal ini baik syarî’ah maupun fiqih dimaksudkan untuk kemaslahatan umat
manusia, yang masing-masing berlandaskan prinsip kemudahan dan
kelapangan. Lantaran itulah setiap pensyariatan hukum di dalam Islam tidak satupun yang terlepas dari prinsip kemudahan dan kelapangan. Selanjutnya perlu diketahui
46
Basiq Djalil, “Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, makalah, disampaikan pada seminar sehari hukum keluarga Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN 2004, h.3. 47 Ibrahim Hosen, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : CV putra harapan, 1987), h.118.
bahwa nash Qur’an dilalahnya ada yang qat’i ada yang zanni. Pada dasarnya nash yang status dilalahnya qat’i tidak boleh di-ijtihad-i, berbeda dengan nash yang status dilalahnya zanni, dimana ijtihad memainkan peranannya. Dan pada nas yang qat’i aldalâlah ada diantaranya mengandung dimensi ta’aqqulî dan zanni. Dengan demikian dimungkinkan untuk di-ijtihad-i atau difiqihkan. Dalam pembaharuan hukum Islam hal tersebut dapat dilakukan sebagai contoh sahnya talak dari istri bila talak itu memang telah dilimpahkan oleh suami pada istri. Sedang berdasarkan nash qat’i hak talak ada pada suami. Contoh lain zakat bagian muallaf tidak lagi dibeikan dalam kondisi umat Islam telah kuat.48 Untuk Memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syarî’ah dan fiqh. Secara harfiah syarî’ah artinya jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaannya dalam al-Qur’an diartikan sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama usul al-fiqh, syarî’ah adalah titah (khitâb) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim, balig, dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat, atau penghalang).49 Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (amâli’yah). Dalam bukunya yang berjudul Muslim Family Law A Source Book Keith Hodkinson berpendapat the shari’a is the path of the believer the way which Allah 48
Basiq Djalil, Hukum Keluarga, h.4. Abdul Wahab al-Khalaf,’Ilm Usûl al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar (Beirut: Dar Fikr, 1410/1990), h.96. 49
wishes man to pass and the word is use of the collection of Allah’s command releaved in the holy Qur’an and in the sunna or conduct of the holy propet Muhammad. Fiqih is the understanding, explanation and interpretation of the shari’a as expounded in the qur’an and sunna and the jurists who unddertake this task are known as fuqaha.50
50
h.164.
Keith Hodkinson, Muslim Family Law: A Source Book (London: Croom Helm, 1984),
BAB IV NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Umum Tentang Nikah Fasakh Fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. secara etimologi pembatalan berarti proses, perbuatan, cara membatalkan, dan menyatakan batal. 51 Fasakh adalah putus ikatan pernikahan oleh pengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau suami yang dapat dibenarkan oleh pengadilan agama, atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. 52 Sedangkan menurut Al-Hamdani pembatalan nikah disebabkan oleh sesuatu sifat yang dibenarkan oleh syara’ misalnya perkawinan yang difasakhkan oleh Hakim disebabkan oleh suami tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya. Fasakh tidak dapat mengurangi bilangan talak. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.53 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan adakalanya kerusakan dalam nikah fasakh, atau terjadinya cacat dalam pernikahan tersebut ada pada akad itu sendiri adan adakalanya juga disebabkan oleh hal-hal yang datang kemudian setelah 51
Departeman Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.240. 52 Ibid, h.240. 53 H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani 1989), h.73.
terjadinya pernikahan dan dapat menyebabkan akad perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan.54 Nikah fasakh merupakan nikah yang terdapat kerusakan di dalam pernikahan yang diperbolehkan untuk dirusak atau diputus pernikahan melalui pengadilan. Pada hakikatnya hak suami istri disebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad berlangsung, seperta terjadinya penipuan dalam pernikahan, misal sang istri sebelum menikah menyatakan bahwa dia masih perawan, tetapi ternyata setelah terjadi pernikahan baru disadari oleh suami bahwa sang istri bukan perawan, atau ada contoh lain suatu penyakit yang diderita oleh salah satu pihak tapi ditutup-tutupi oleh yang bersangkutan dan baru diketahui setelah pernikahan berlangsung, dan pihak yang lain merasa tertipu akibat kebohongan tersebut. Bahwa nikah fasakh adalah suatu pernikahan yang telah berlangsung tetapi terdapat kerusakan atau kesalahan dalam pernikahan tersebut baik dari akad maupun pelaksanaannya (rumah tangga), yang menyebabkan jatuhnya fasakh. Dan apa sajakah nikah fasakh itu? B. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Materil Sebagai negara yang bermacam–macam suku bangsa, bahkan agama, Indonesia termasuk salah satu negara yang majemuk dan itu sangat mempengaruhi hukum-hukum sebagai tiang dari negara ini, dan hal ini sangat mempengaruhi umat Islam dalam mengenal hukum agamanya sendiri, maka dibuatlah KHI dan UU No.1
54
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), jilid 1, h.317.
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kegunaannya agar umat muslim Indonesia tidak kehilangan pegangan hidup. Begitu juga dalam hal persoalan nikah fasakh ini, maka penulis meneliti problema nikah fasakh ini dalam KHI dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. KHI dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pembatalan nikah dan juga tidak ada penjelasan tentang apa saja yang termasuk dalam nikah fasakh. Namun kedua peraturan tersebut hanya menguraikan mengenai definisi dari suatu pembatalan pernikahan serta hal-hal yang berhubungan dengan pebatalan pernikahan tersebut. Tetapi dari kedua peraturan tersebut penulis dapat membagi kedua peraturan itu menjadi dua macam yaitu perkawinan batal karena hukum (pernikahan yang melanggar larangan pernikahan, sehingga pernikahna tersebut mutlak dibatalkan) dan pernikahan yang dapat dibatalkan (pernikahan yang melanggar larangan pernikahan yang bersifat relatif. Pelanggaran larangan pernikahan tanpa sengaja, kurang rukun dan syarat, sehingga pernikahan tersebut dapat dibatalkan dan bisa pula tidak dapat dibatalkan). 1. KHI (Kompilasi Hukum Islam) Adapun problema nikah fasakh ditinjau dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Mengenai pernikahan yang dapat dibatalkan menurut KHI adalah Apabila seorang suami yang telah dan masih mempunyai istri melakukan poligami tanpa izin dari pengadilan agama. Apabila wanita yang dinikahi ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri laki-laki yang mafqûd. Yaitu laki-laki yang masih
sah menjadi suaminya. Apabila wanita yang dinikahinya ternyata masih dalam iddah dari suaminya yang terdahulu. Apabila terjadi suatu pernikahan yang melanggar batas umur minimal pernikahan. Sebagaimana ditetapkan pasal 7 UU No.1 th 1974 tentang Perkawinan mengenai dispensasi nikah. Apabila terjadi suatu pernikahan tanpa adanya wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak mempunyai hak untuk menikahkan. Pernikahan seperti ini banyak disebut nikah sirri. Apabila pernikahan itu terjadi dengan adanya paksaan. Hal tersebut tertera dalam KHI pasal 71: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud; c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 UU no.1 Tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.55 Penyebab batalnya suatu suatu pernikahan dalam pasal 70 UU No.1 th 1974 tentang Perkawinan bahwa pernikahan batal demi hukum adalah Apabila suatu perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. Apabila dalam akad/waktu terjadinya pernikahan terjadi penipuan atau kesalah pahaman mengenai diri suami atau istri. Apabila suami melakukan pernikahan sedang ia telah memiliki 4 orang istri, walaupun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj’î. Apabila seseorang menikahi bekas istri yang telah di li’ân-nya. Apabila seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak 55
Dapartemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2000), h.40.
bâ’in, kecuali bekas istrinya pernah menikah dengan orang lain kamudian bercerai lagi ba’da dukhûl dari pria tersebut, dan telah habis masa iddah-nya. Apabila keduanya mempunyai hubungan darah, semenda, dan susuan yang menghalangi pernikahan menurut pasal 8 UU no.1 th 1974 UU No.1 th 1974 tentang Perkawinan. Apabila keduanya ternyata saudara kandung. Dan pasal 70 tersebut berbunyi : a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu (atau beberapa) dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i. b. Seseorang menikahi bekas istri yng dili’annya; c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. Perkawinan yang dilakukan antara dua orang uang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tirinya; 4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan; e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya56 Sedangkan pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri, hal tersebut ditegaskan dalam pasal 72 yang menerangkan permohonan batalnya pernikahan terjadi apabila pernikahan 56
ibid, h. 39-40
terjadi di bawah ancaman yang melanggar hukum, apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau kesalah pahaman atau salah persangkaan mengenai diri suami atau istri, dalam buku KHI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu menikah tetapi kemudian ternyata diketahui sudah beristri sehingga poligami tanpa izin pengadilan, demikian pula penipuan terhadap identitas diri: a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan nikah apabila pernikahan yang dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum; b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan nikah apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.57 Tetapi apabila ancaman telah dihentikan, atau yang bersalah sangka itu menyadari akan keadaanya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah hal itu berlangsung dan masih tetap hidup sebagai suami istri kemudian salah satu pihak tidak menggunakan haknya unutuk mengajukan permohonan pembatalan maka haknya gugur (pasal 72 ayat 3 KHI).58
2. Undang-Undang no.1/ th 1974 Jika nikah fasakh menurut KHI seperti yang tersebut diatas maka adapun problema nikah fasakh ditinjau dalam UU no. 1 th 1974 bahwa suatu pernikahan yang telah terjadi dapat menjadi fasakh menurut hukum materil UU no. 1 th 1974:
57 58
Ibid, h.40. Ibid, h.41.
a. Apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan b. Apabila salah satu pihak masih terikat dengan pernikahan dan atas dasar adanya pernikahan sebelumnya, maka pernikahan yang baru dapat dibatalkan, dengan tidak mengurangi pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undangundang ini tentang pologami dan izinnya. c. Apabila pernikahan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatatan pernikahan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri. d. Hak untuk membatalkan oleh suami dan istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte pernikahan yang dibuat pegawai pencatatan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. e. Sama seperti dalam KHI, apabila pernikahan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. f. Sama seperti dalam KHI, apabila dalam waktu berlangsungnya pernikahan terjadi kesalah pahaman mengenai diri suami dan istri tersebut.59 C. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Islam Problema nikah fasakh menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fiqh Islam Wafadîlatuhu bahwa nikah yang bisa dianggap rusak atau nikah yang fasakh sifatnya dapat dikategorikan beberapa kelompok yaitu kapan terjadinya perpisahan dikatagorikan fasakh: 1. Menurut Imam Hanafi Menurut Imam Hanafi terjadinya nikah yang fasakh ada enam a. Apabila istri kembali menjadi kafir setelah ia masuk Islam atau setelah suaminya mengIslamkannya. Menurut iman Abi Hanifah dan Muhammad
59
Abdul Manan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Makalah, Agustus 2000, h.16.
apabila suami yang kembali menjadi kafir maka jatuhnya talak sedangkan menurut Abi Yusuf jatuhnya Fasakh.60 Terjadinya suatu pernikahan antara dua orang pasangan suami istri yang mana terlebih dahulu si istri yang awalnya bukan beragama Islam mengucapkan dua kalimat Syahadat untuk masuk kedalam agama Islam agar kedua pernikahan mereka sah, tetapi jika si istri kembali menjadi kafir setelah menikah, maka rusaklah pernikahan mereka itulah yang dimaksudkan oleh Imam Hanafi. Sedangkan menurut Imam Abi Hanifah dan Muhammad jika diantara kedua pasangan suami istri yang ternyata sang suamilah yang kembali ke agama sebelumnya maka hukum pernikahan yang akan jatuh pada perihal kasus ini adalah talak, sedangkan menurut Abi Yusuf kasus ini adalah fasakh. b. Murtadnya suami atau istri Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa jika salah satu dari pasangan suami istri tersebut ada yang berpindah agama maka terputuslah akad pernikahan mereka, begitu juga jika salah satu dari pasangan tersebut berpindah keyakinan, misal: Menyekutukan Allah, Membandingkan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya, dll.61 c. Orang yang punya dua status kewarganegaraan secara hakikat dan hukum, contohnya adalah apabila salah satu dari suami istri pergi ke negara Islam
60 61
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 6866 Ibid, h. 6866
dan ia muslim sedangkan pasangan yang lainnya ditinggalkan di negara yang sedang perang/negara orang kafir dan keadaannya kafir. Sedangkan menurut golongan selain Imam Hanafi tidak terjadi perpisahan.62 Dalam masalah kewarganegaraan ini menurut Imam Hanafi bagi pasangan suami istri yang mempunyai kewarganegaraan dari dua negara yang berbeda secara hakikat dan hukum, dan salah satunya pergi ke negara muslim dan dalam kondisi telah menjadi seorang muslim, sementara pasangan yang ditinggalkan di negara yang sedang mengalami peperangan atau negara kafir dan dia ditinggal dalam keadaan kafir maka terputuslah akad tersebut secara fasakh atau rusak. Sedangkan menurut pendapat Imam yang lain bahwa tidak terjadi terputusnya akad karena semua situasi yang tidak dapat diprediksi. d. Belum balighnya salah satu pasangan suami atau istri. Dalam perpisahan ini yang memutuskannya adalah seorang hakim. Apabila perpisahan terjadi karena adanya cacat pada seorang istri, maka perpisahan tersebut termasuk talak yang diputuskan oleh seorang hakim.63 Batas umur atau belum balighnya salah satu pasangan suami istri tersebut atau bahkan kedua pasangan tersebut belum ada satu pun yang cukup umur diantara keduanya, dalam hal ini yang memutuskan adalah seorang hakim, karena diyakini tidak adanya pengetahuan yang cukup karena terjadinya pernikahan ini disebabkan tidak tahunya mereka batas umur
62 63
Ibid, h. 6866 Ibid
menikah. Dan jika diyakini perpisahan tersebut disebabkan karena adanya cacat yang dimiliki oleh sang istri maka putusnya akad tersebut menjadi talak yang juga diputuskan oleh hakim. Dalam hal ini hakim yang bertanggung jawab atau yang berhak untuk memutuskan prihal ini. e. Seorang hamba/budak yang merdeka, seorang budak yang merdeka sedangkan suaminya masih menjadi budak, maka baginya diberikan dua pilihan apakah ia ingin mempertahankan perkawinannya atau tidak. Apabila istri tersebut merdeka maka secara otomatis perkawinannya berakhir kecuali ia memerdekakan suaminya.64 Jika sang istri adalah budak yang merdeka, dan suaminya masih menjadi budak, maka diberikan kepada sang istri dua pilihan apakah ia ingin mempertahankan pernikahan atau tidak, karena jka si istri telah merdeka maka terputuslah pernikahan itu secara pengakuan kecuali ia ingin memerdekakan suaminya. Tetapi dalam zaman sekarang hampir sudah tidak ada lagi budak. f. Tidak cukupnya / kurangnya maskawin yang sanggup diberikan oleh suami pada istrinya. Karena perpisahan terjadi bukan dengan sebab pihak suami maka terjadilah fasakh bukan talak karena wanita tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan talak.65
64 65
Ibid Ibid
Dalam hal mahar, jika sang suami tidak sanggup memberikan maskawin yang telah dijanjikan maka terputuslah akad yang terjadi antara mereka, karena hal itu sama saja dengan berhutang dan jika tidak di lunasi maka akan mendzolimi pihak yng dirugikan. 2. Mazhab Imam Malik Yang termasuk sebuah perpisahan itu fasad dibagi dua a. Yang termasuk kesepakatan para ulama bahwa perpisahan itu Fasad yaitu Fasakh. Seperti perpisahan karena kawin mut’ah, menikah dengan orang yang diharamkan untuk dinikahi dan yang lainnya.66 Nikah mut’ah menurut Imam Malik sebagai salah satu nikah fasakh yaitu nikah yang terjadi hanya untuk bersenang-senang dan setelah selesai pernikahannya maka ada pembayaran yang dilakukan oleh si suami, dan pernikahan tersebut memiliki tenggat waktu, biasa di sebut kawin kontrak, nikah mut’ah dilarang karena dapat menyebabkan perasaan sang istri menjadi sakit, dan nikah mut’ah itu seperti prostitusi. b. Yang masih diperdebatkan dalam kefasad-annya. Yaitu perpisahan yang menurut Imam Malik termasuk Shohih sedangkan menurut yang lainnya tidak seperti seperti menikahi wanita tanpa adanya wali dari pihak perempuan, menurut Imam Hanafi termasuk sahih/talak sedangkan menurut Imam Malik termasuk fasad/fasakh, contoh yang lainnya yaitu nikah sirri yaitu pernikahan dimana saksi pernikahan diminta untuk 66
Ibid, h. 6867
merahasiakan akad pernikahan mereka pada orang lain. Menurut imam Malik termasuk fasad sedangkan menurut sebagian umat termasuk sahih. Menurut Imam Malik salah satu lagi nikah yang termasuk nikah fasakh adalah nikah sirri yaitu Nikah yang dilakukan tersembunyi, atau dirahasiakan, menurut Imam Malik bahwa nikah ini fasakh karena tidak adanya wali dari pihak perempuan, nikah ini dianggap nikah yang rusak karena dapat merugikan pihak perempuan, dari segi apapun. Yang termasuk Fasakh suatu perpisahan dalam perkawinan sebagai berikut : a. Apabila akad pernikahan tidak sah seperti menikah dengan saudara kandung atau dengan yang diharamkan lainnya juga menikahi perempuan yang punya suami. Pernikahan yang terjadi antara saudara kandung adalah nikah yang memang sudah rusak dari awal, maka terjadilah fasakh secara langsung. c. Menikah dengan orang yang harus dihormati karena ada ikatan kekerabatan yang terjalin akibat sebuah pernikahan. d. Dengan sebab mengutuk, karena dalam pernikahan wajib saling menghormati selamanya karena ada Hadist yang artinya “orang yang saling mengutuk tidak bercampur/berkumpul selamanya”. 67
67
Ibid, h. 6868
Dalam hal ini kita di peringati oleh Allah SWT untuk menjaga lisan agar terurus dengan baik, bahwa jika terucap kata-kata yang buruk maka bisa saja terjadi putusnya akad pernikahan. e. Dengan sebab suami kembali kafir setelah mengIslamkannya oleh istrinya begitu juga sebaliknya. Salah satu dari pasangan kembali ke agama sebelumnya yang dia anut terlebih dahulu sebelum dia menikah dengan sang istri, maka putuslah akad itu secara langsung, dan rusaklah pernikahan itu. 3. Menurut Imam Syafi’i Menurut Imam Syafi’i fasakh ada tujuh belas macam: perpisahan karena kesulitan memberikan mas kawin, dan kesulitan memberi nafkah atau memberikan pakaian atau tinggal serumah setelah menunda perkawinan selama tiga hari, perpisahan karena saling mengutuk, perpisahan karena memilih merdeka, perpisahan karena ada aib atau cacat setelah mengadukan urusannya kepada hakim dan aibnya atau cacatnya permanent, dan terjadi fasakh dengan cepat kecuali cacat seperti impotent maka jika terjadi demikian ditunda dulu selama setahun setelah penyakit itu timbul, perpisahan karena seorang laki-laki seorang budak menikahi perempuan yang merdeka, dan mengibaratkan istri dengan ibunya atau anaknya ketika bersetubuh, dan ditawannya suami istri atau salah satunya sebelum mereka melakukan hubungan suami istri atau suadah, karena apabila terjadi perbudakan niscaya hilanglah hak-hak dirinya sendiri, maka terjadilah pencegahan yang pertama, perpisahan karena murtad salah satunya, dan
menikahi dua orang yang masih bersaudara atau menikahi wanita lebih dari empat, dan apabila salah satu suami atau istri memiliki yang lainnya, dan apabila seorang suami menceraikan istrinya tanpa alasan yang pantas, pindah agama dari satu agama keagama yang lainnya seperti dari agama yahudi ke agama nasrani, menikahi saudara satu susu dengan catatan lebih dari lima kali menyusu.68 4. Mazhab Imam Hanbali Perpisahan dikatagorikan fasakh apabila: a. Meninggalkan atau melepaskan istri tanpa ada kata-kata cerai atau tanpa ada niat untuk menceraikan. Meninggalkan istri dalam jangka waktu cukup lama yang dapat menyebabkan terbengkalainya tugas-tugas suami terhadap istri tanpa ada kata-kata cerai, maka bagi pihak istri dapat mengajukan fasakh untuk melepaskan ikatan.69 b. Murtad salah satu suami atau istri Pendapat Imam Hanbali ini sama dengan keempat Imam yang lain terutama Imam Hanafi. Bahwa murtadnya salah satu dari kedua pasangan suami istri tersebut dapat menyebabkan terputusnya hubungan pernikahan diantara mereka, dan terjadilah fasakh.70 c. Ada penyakit gila atau penyakit ayan, atau cacat yang dimiliki oleh istri seperti rapat kemaluannya, bau, bisul atau ada tulang yang menonjol 68
Ibid, h. 6869 Ibid, h. 6870 70 Ibid 69
diantara selangkangan, atau cacat yang dimiliki oleh laki-laki seperti kelaminnya dikebiri atau impotent. Dan yang memutuskan perkawinan tersebut fasakh adalah hakim.71 d. Menikahi orang yang bukan beragama Islam Pernikahan beda agama atau menikahi orang yang bukan satu agama dapat menghancurkan atau merusak akad yang terjadi pada pernikahan mereka, sama halnya dengan murtadnya salah satu dari kedua mempelai. 72 e. Dengan sebab suami yang bersumpah untuk tidak berhubungan badan dengan istrinya dengan perantara seorang hakim, jika ia bersumpah lebih dari empat bulan dan tidak melakukan hubungan badan, dan tidak menceraikan istrinya setelah hakim memutuskan untuk bercerai. 73 Ini
dapat
meninggalkannya
juga dengan
termasuk
ilâ’
menghukum
menggantungkan
status
istrinya hubungan
dengan yang
berlangsung diantara mereka, dan itu dilarang karena dapat menyakiti hati perempuan, dan menghentikan dia untuk melanjutkan hidup yang akan dijalaninya. f. Dengan sebab menjatuhkan kutukan, karena diharamkan bagi suami atau istri mengutuk salah satunya.sekalipun tidak memutuskannya oleh hakim.
71
Ibid Ibid 73 Ibid 72
Sama halnya dengan beberapa pendapat Imam Mazhad, maka Hanbali pun memutuskan diharamkannya mengutuk satu sama lain, maka dapat pula sang istri memfasakh pernikahannya itu.74 Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah ada beberapa bentuk perkawinan yang dibatalkan dalam Islam, yaitu : 1. Pergundikan ( nikahu al khudni) Pergundikan
selama
dilakukan
secara
tersembunyi,
masyarakat
menganggap tidak apa-apa, tetapi kalau dilakukan secara terang terangan dianggap tercela.75 Dalam masalah ini masih sangat diragukan pergundikan seperti apa yang dimaksudkan apakah perzinahan (prostitusi) atau penjualan budak dengan membayar yang hampir sama juga dengan prostitusi. Perkawinan semacam ini tersebut dalam firman Allah SWT:
(5 :5 /ة3EPَِاتِ اََْانٍ )اﻝ9Fَُوَﻝ Artinya: “Dan bukan perempuan-perempuan yang mengambil upah (gundik).” (Q.S. 5 (Al-Maidah): 5)
2. Tukar-menukar istri (Nikah Badal) Seorang laki-laki mengatakan kepada temannya : Ambillah istriku dan kuambil istrimu dengan kutambah sekian. Maksudnya, seorang pria beristri
74 75
Ibid Sayyi Sabiq, Fiqh Sunnah (Bandung: Al Ma’arif, 1980), jilid 6, h. 10
melakukan pertukaran istri dengan istri temannya dengan tujuan untuk saling mencoba, dengan pemberian uang atau upah dengan pertukaran tersebut. Sangat dilarang pernikahan ini karena pernikahan ini tidak mempunyai batas moral sama sekali dan Allah SWT sangat melaknat hal ini sebab pernikahan yang terjadi antara dua manusia sangat disakralkan. Daru Quthny meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah dengan sanad yang sangat lemah menerangkan bahwa ‘Aisyah menyebutkan bentuk perkawinan lain, selain dari dua macam tersebut di atas. Katanya : perkawinan di jaman Jahiliyah itu ada empat macam : a. Pernikahan Pinang. Seorang laki-laki meminang melalui seseorang laki-laki yang menjadi wali atau anak perempuannya sendiri, lalu ia berikan maharnya, kemudian menikahinya.76 Pernikahan pinang ini sekarang masih digunakan dan biasanya di sebut lamaran atau tunangan. Pernikahan ini juga tidak merugikan banyak pihak karena sifatnya hanya menjaga agar sang calon mempelai tidak dilamar atau tidak didahului orang lain. b. Pernikahan Pinjam (gadai) Seorang suami berkata kepada istrinya sesudah ia bersih dari haidnya: “pergilah kepada Fulan untuk berkumpul dengannya” sedang suaminya seniri
76
Sayyi Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 11
berpisah dari padanya sampai ternyata istrinya hamil. Sesudah ternyata hamil, suaminya dapat pula mengumpulinya, jika ia suka.77 Pernikahan seperti ini dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang pandai. Pernikahan ini disebut ‘mencari keturunan baik (bibit unggul).’ Pernikahan ini dapat menghilangkan nasab dari bapak biologis yang sebenarnya terkait untuk kewarisan anak tersebut. c. Sejumlah orang laki-laki (di bawah 10 orang) secara bersama-sama mengumpuli seorang perempuan. Jika nantinya sang perempuan hamil dan melahirkan setelah berlalu beberapa malam ia kirimkan anak itu kepada salah seorang diantara mereka, dan ia tidak dapat menolaknya, sampai nanti mereka berkumpul di rumah wanita tersebut, dan wanita itu lalu berkata kepada mereka : “kalian telah tahu masalahnya saya telah lahirkan anak ini. Dan hai fulan, anak ini adalah anakmu”, ia sebut nama laki-laki yang ia cintai, lalu anaknya itu dinisbatkan kepadanya. Dan laki-laki yang disebutnya itu tidak dapat menolaknya. 78 d. Perempuan-perempuan yang tidak menolak untuk digauli oleh banyak laki-laki. Para perempuan ini disebut pelacur. Di depan rumah-rumah mereka dipasang bendera. Siapa yang mau boleh masuk bila salah seorang diantaranya ada yang hamil, semua laki-laki yang pernah datang kepadanya
77 78
Ibid, h. 11 Ibid
berkumpul dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti anak siapa dia, lalu diberikanlah kepada laki-laki yang serupa dengannya dan tidak boleh menolak. Sesudah Muhammad SAW menjadi Rasul, semua bentuk pernikahan tersebut dihapuskan, kecuali kawin pinang saja. Pernikahan yang masih tetap dilaksanakan oleh Islam ini hanya sah, bilamana rukun-rukunnya seperti ijab-qabul dan kehadiran para saksi dipenuhi. Dengan terpenuhinya rukun-rukunnya, maka akad yang menghalalkan suami istri hidup bersenang-senang sebagaimana ditentukan Islam menjadi sah. Dan selanjutnya masing-masing istri punya tanggung jawab dan hak-hak yang lazim. 79 Nikah fasakh selain yang terkait di atas ada lagi pernikahan yang sama hukum larangannnya, salah satunya adalah nikah mut’ah, nikah cina buta (kawin tahlil), nikah syighar. 1. Nikah Mut’ah Disebut juga nikah sementara, karena seorang laki-laki yang ingin menikahinya dengan tenggat waktu, sehari, sebulan, setahun, dan lain-lain. Dalam nikah ini si suami hanya bermaksud bersenang-senangn sementara waktu saja, dan menurut seluruh Imam Mazhab haram hukumnya. Dan hukum pernikahn itu tetap batal. Alasan para ulama: pertama, pernikahan seperti itu tidak sesuai dengan pernikahan yang dimaksudkan oleh Al Qur’an, dan pernikahan seperti ini salah 79
Ibid, h. 12.
satu dari pernikahan yang batal menurut Islam, dan kedua banyak hadist-hadist yang dengan tegas tidak menyetujui dan mengharamkan pernikahan ini. 80 Hadist dari Saburah Al- Jahmiy, bahwa ia pernah menyertai Rasulullah dalam perang penaklukan Makkah, dimana Rasulullah mengizinkan mereka kawin mut’ah. Dalam suatu lafazh yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, Rasulullah telah mengharamkan kawin mut’ah dengan sabdanya :
Mِ ZََْN ُ, اCZَO ِ,ْلِ اDZُ`َ رَﺱZَ َََْ :ََل5 ِMِْ1ََْ أN ََْة7َِْ ﺱ1 ِ`ِْ1َِ اﻝN َِعFْPِFZْ اﻝِْﺱCZِG ْZَُُ ﻝcZُْ ااُذِﻥcُْ آC >َاﻝسُ اِﻥb یَاَی....َِدَاعDْ_ِ اﻝHَ2 ِG ََوَﺱ (M 1 اY)روا... ِ_ََِْْمِ اﻝDَ یCَََ>َ اِﻝ2ْ3َ5 َ,اَﻝَوَاِن ا Artinya: Dari Rabî’ bin Sabrah dari bapaknya berkata: Kami keluar bersama Rasulullah SAW pada haji wadâ’….“Wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian....” (H.R. Ibnu Majah)81
Mِ Z ََْN ُ, اCZَO ِ,ْلَ اDZ ُُ أَن رَﺱMZَْN ُ, َ اZ ٍِ رَﺽfZَِﻝe Z ِ1َِ أZْ1
Z َِN ْZَN .ِ_ِ/Zِْﻥhِْ اﻝZَPِ9ْْمِ اﻝDZُ9ُِ ﻝZْْ أَآZَNََ وZَ7َْ َْمDZََءِ ی/Z _ِ اﻝZَْFُ ْZَN CZَ>َوَﺱََ ﻥ (M 1ري واj7 اﻝY)روا
80
Ibid, h. 58 Muhamamd bin Yazâd Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1, h.631. 81
Artinya: “Dari ‘Ali bin Abî Tâlib ra bahwasannya Rasulullah SAW, telah melarang nikah mut’ah pada waktu perang Khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya.” (H.R. Bukhârî dan Ibnu Mâjah)82 Ketiga, ketika Umar menjadi khalifah, dengan berpidato di atas mimbar beliau mengharamkannya dan para sahabat pun menyetujuinya. Keempat, Al Khatthabi berkata : haramnya nikah mut’ah itu sudah ijma, kecuali beberapa golongan syi’ah. Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia bertanya orang tentang nikah mut’ah, jawabannya mut’ah sama dengan zina. Kelima, nikah mut’ah hanya bertujuan pelampiaskan syahwat semata, bukan untuk mendapatkan keturunan, memelihara keluarga, dan tidak bertujuan untuk mendapatkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Ada beberapa golongan yang membolehkan nikah mut’ah mereka adalah golongan Syi’ah Imamiyah tapi mereka pun memberikan syarat sebagai berikut : a. Ucapan ijab Qabulnya dengan lafad : Zawajtuka atau Unkihuka atau matta’tuka. b. Haruslah seorang muslimah atau ahli kitab, dan utamakan wanita yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina. c. Maskawin disebutkan dan diperhitungkan jumlahnya, dengan membawa saksi.
82
Muhammad bin Isma’il Abû ‘Abdillâh al-Bukhârî al-Ja’fî, Al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1987), Juz 4, h.1544.
d. Batas waktunya jelas, dan ini menjadi syarat mutlak. e. Diputuskan berdasarkan keputusan bersama. Sedangkan hukum nikah menurut Syi’ah Imamiyah : a. Kalau maskawinnya tidak disebut maka hukumnya batal, kalau maskawinnya disebut sedang batas waktunya tidak disebut maka pernikahan berubah jadi pernikahan yang biasa. b. Anak yang lahir jadi anaknya. c. Tidal ada talak dan li’ân. d. Tidak ada waris antara keduanya. e. Anak berhak mewarisi dari pihak bapak atau pihak ibu. f. Masa iddah bagi yang masih haid, dua kali haid, tetapi yang sudah berhenti haid, 45 hari. Nikah mut’ah menurut Imam Syaukani, bahwa Imam Syaukani berkata : sepenuhnya kami hanya berpegang kepada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami kawin mut’ah itu diharamkan untuk selama-lamanya. Beliau berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak perlu lagi ada pengecualian karena sudah jelas betul keharamannya, dan sangat tidak masuk akal jika masih saja ada toleransi-toleransi yang bisa diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan mudhorot yang akan dihasilkan oleh pernikahan ini. Bahkan Ibnu Umar pernah berkata dalam hadist riwayat Ibnu Majjah dengan sanadnya Shahih:
ُ ْDZُلَ اِن رَﺱZََG ُسZَ اﻝfZَ6َ ِبZ6َjُْ اﻝZْ1 َُPُN َ ِ وَﻝPََلَ ﻝ5 ََPُN ِْ1َِ اN ل َُْNَاZZَِ ﻝ, وَاZZَ>ََ2 ZZُ ﺙZZً_ِ ﺙََﺙZZَْFُPْ اﻝCZZِG ZZَََ اُذِنَ ﻝZZَِ وَﺱMZZََْN ُ, اCZZَO ِ,ا (M 1 اYَرَةِ )رواHِ9ِْﻝ1 ُMُFْPًََْ ﻝََرnْ9َُDُ`َ وَهFَPٌِا3َ2َا Artinya: Dari Ibnu ‘Umar berkta, tak lama stelah ‘Umar bin Khattâb terpilih menjadi khalifah, beliau berkhutbah di hadapan umat manusia dan berkata: “Bahwa Rasulullah Saw pernah mengizinkan kami untuk kawin mut’ah tiga hari kemudian beliau larang. Demi Allah tak seorangpun saya ketahui melakukan kawin mut’ah padahal dia punya istri, kecuali akan saya rajam dengan batu.” (H.R. Ibnu Mâjah)83 Dalam hadis lain disebutkan: Artinya: “Abu Hurairah berkata: Ada riwayat dari Nabi: Kawin mut’ah telah dihapuskan oleh hukum talak, iddah dan warisan.”(H.R. Daraquthny dan dihasankan oleh Al-Hafizh)” Adapun juga melakukan pernikahan yang diniatkan untuk menceraikan atau mentalak dikemudian hari, ada sebagian para ahli fiqih sependapat bahwa seseorang yang menikah tanpa keterangan batas waktu, atau menyembunyikan niatan untuk menceraikannya suatu saat nanti adalah sah karena tidak terlihatnya niatan itu dengan kasat mata, maka jika secara lahiriah niatan menceraikan itu tidak diketahui orang maka tetap sah pernikahannnya, tetapi menurut Imam Auza’i pernikahan itu tetap menjadi kawin mut’ah, karena Allah Maha Mengetahui niatan sumua manusianya. Menurut Imam Auza’i walaupun sah secara harfiah, tetapi tetap ada unsur penipuan di dalam akadnya tersebut, dan inilah yang menjadikan batal / fasakhnya nikah ini. Dan penipuan ini lebih kejam dari pada memberitahu batas 83
Muhamamd bin Yazîd Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, Juz 1, h.631.
waktu sementara secara jelas yang disetujui oleh kedua pihak dan wali. Mut’ah dapat menimbulkan sifat mengabaikan terhadap suatu hubungan yang paling sakral, yang paling mulia, dan paling besar di antara hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, dan ini dapat berakibat hilangnya kesakralan suatu pernikahan karena banyaknya pasangan yang tersiksa karena mut’ah, dan hilanglah kepercayaan yang merupakan benteng keikhlasan antara pasangan yang berniatan untuk bersungguh-sungguh ingin menikah dengan baik-baik. 2. Nikah Cina Buta Adalah nikah yang seorang laki-laki yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga kali sesudah masa iddahnya, kemudian si perempuan di talak kembali dengan maksud agar bekas suaminya yang pertama dapat menikahinya (perempuan) kembali. Hukum pernikahan ini adalah haram, termasuk dosa besar dan diharamkan oleh Allah SWT, dan pelakunya mendapat laknat, beberapa hadist yang menerangkan soal tersebut.
CَO
ِ7 اﻝCَُ إِﻝMََGَ ر3ْ َ5 ُYُِْ وَأَرَاNَPَْلَ إِﺱ5 ُMَْN ُ, رَﺽِ َ اo َِN َْN َ َ9ُPُْ اﻝ, ﻝَََ ا:ََل5 ََِ وَﺱMََْN ُ, اCَO ِ7ِ وَﺱََ أَن اﻝMََْN ُ,ا ( داودD1 أY )رواMََ َ ﻝ9ُPْوَاﻝ Artinya: “Dari ‘Alî ra berkata Isma’îl mengetahuinya menemani Nabi SAW bahwa Nabi SAW bersabda: Allah melaknat muhallil (yang kawin cina
buta) dan muhallalnya (bekas suami yang menyuruh orang menjadi muhallil).” (H.R. Abû Dâwûd)84
َ َ9ُPِْ وَﺱََ اَﻝMََْN ُ, اCَO ِ,ْلُ اDُ ﻝَََ رَﺱ: ََل5 ٍْدDُْ/َ ِْ1 ِ,ِا3ْ7َN َْN (يF اﻝYُ )رواMَََِّ ﻝ9ُPْوَ اﻝ
ِArtinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah melaknat muhallil dan muhallalnya.” (H.R.Tirmidzy)85
ْ ُُآZِ7ُْ اZَ اَﻝ:َZَِ وَﺱMZََْN ُ, اCZَO ِ,ْلُ اDZُلَ رَﺱZَ5 :ٍِZَN ْZِ1 َ_Zَ7ُْN َْN ُ,َ اZ ََُ ﻝZ َ9ُPَْ اﻝDZ ُلَ هZ َ5 .ِ,ْلَ اDZ ُ رَﺱZ َ یCZ ََ1 ْاDُﻝZ َ5 ََرِ؟Fْ/Z ُPِْ اﻝpَْFْﻝZ َ1 ( اﻥ76 واﻝM 1 اY )روا.ُMََ َ ﻝ9ُPَُِّْ وَ اﻝ9ُPْاَﻝ Artinya: “Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, rasulullah SAW bersabda : maukah kamu saya beritahu tentang kambing pinjaman? Para sahabat menjawab : mau, ya Rasulullah! Sabdanya : yaitu muhallil. Allah melaknat muhallil dan muhallalnya.” (H.R.Ibnu Majah dan Hakim)86
Menurut Ibnul Qayyim pernikahan ini juga termasuk pernikahan yang batal, dan hanya untuk formalitas saja, walaupun diniatkan hanya dalam hati tapi tidak berniat untuk mendapatkan syafaat dari pernikahan, mendapatkan keturunan baik beristri selamanya, maka pernikahan ini juga termasuk pernikahan yang tidak pernah disyariatkan Tuhan pada agama manapun.
84
Sulaimân bin al-Asy’ab Abu Dâwûd al-Sajastânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1, h.633. 85 Muhammad bin ‘îsâ Abû îsâ al-Tirmidzî al-Silmî, Al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Tirmîdzî (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.th), Juz 3, h.428. 86 Muhamamd bin Yazîd Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, Juz 1, h.623.
Menurut Ibnu Taimiyah agama Allah sangat suci dan bersih dan tidak mengharamkan hubungan kelamin, kecuali digunakan sebagai kambing pinjaman, yang melakukan pernikahan tidak dengan sungguh-sungguh. Maka Allah menjauhkan diri dan tidak menghalalkannya, bagaimana mungkin yang haram bisa menjadi halal? Menurut Syafi’i jika muhallil yang menikahi perempuan tidak melafazdkan niatnya untuk men-talak wanita yang sudah ditakak suaminya tiga kali dengan niat agar suami pertamanya dapat menikahinya lagi, maka akadnya sah.87 Menurut Abu Hanifah dan Zufar jika niatan mentahlil itu dilafazhkan ketika ijab kabul maka akad nikahnya tidak batal. Menurut Abu Yusuf akad nikah seperti ini batal karena termasuk nikah sementara. Menurut Imam Muhammad berpendapat, akad nikahnya sah, tetapi tidak halal lagi bagi laki-laki yang pertama.88 3. Nikah Syighâr Yaitu seorang wali mengawinkan puterinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki tadi mengawinkan puterinya (laki-laki yang menikahi puterinya) kepadanya dengan tanpa membayar mahar. Dan Rasulullah melarang nikah semacam ini sebagaimana sabdanya:
87 88
Ibid, h.67. Ibid, h.68
Y )روا.َِمZْ اﻝِْﺱCZِG ََرSِ ََلَ ﻝ5 ََِ وَﺱMََْN ُ, اCَO ِ7ََ أَن اﻝPُN ِْ1َِ اN (/ Artinya: Dari Ibnu ‘Umar bahwaannya Nabi SAW bersabda: “Tidak ada syighar di dalam Islam” (H.R. Muslim)89
ْ ََرِ اSِّ^َِ اﻝN ََِ وَﺱMََْN ُ, اCَO ِ,ْلُ اDُ رَﺱCَ>َ ﻥ:ََل5 ََPُN ِْ1َِ اN ن ْ اَوCِFَْ1َِ اrُ اَنْ اُزَوCََN َrَFَُْ اَوْ اrَFَْ1ِ اCِْ زَو:َُلَ اﻝُُ اﻝDْ َُی (M 1 اY )روا.ٌَق3َOَPُ>ََْ1 َpَْ وَﻝCِFُْا Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar, katanya : Rasulullah melarang kawin Syighar, dan contohkan kawin Syighar, yaitu seseorang laki-laki berkata kepada temannya : kawinkanlah puterimu atau saudara perempuanmu dengan saya, nanti saya kawinkan kamu dengan puteriku atau saudara perempuanku dengan syarat kedua-duanya bebas mahar.” (H.R. Ibnu Majah)90 Menurut Jumhur ulama bahwa nikah syighâr itu hukumnya batal, tapi menurut Abu Hanifah adalah sah asalkan tiap anak perempuan mendapat mahar yang sepadan dari masing-masing suaminya karena tidak adanya mahar diantara pernikahan itu dikarenakan maharnya adalah puterinya tidaklah tepat. Karena wanita bukannlah barang yang dapat ditukarkan, dan menurut mereka bahwa yang batal dalam pernikahan ini adalah maharnya, bukan akadnya. Sedangkan menurut Jumhur ulama yang berbeda pendapat tentang sebab dilarangnya pernikahan ini, karena sifatnya yang masih menggantung, ada juga yang berpendapat tentang sebab dilarangnya pernikahan ini karena menjadikan 89
Muslim bin al-Hujâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûnî, Sahih Muslim (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.th), Juz 2, h.1034. 90 Muhamamd bin Yazîd Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, Juz 1, h.606.
kelamin sebagai hak bersama, di mana kelamin masing-masing pihak dijadikan sebagai pembayaran
mahar
yang
satu
kepada
yang
lainnya,
padahal
perempuannya sendiri tidak ikut memperoleh faedah karena maharnya tidak ia terima, hal ini mendzalimi hak kedua perempuan itu karena merampas hak si perempuan.91 Bagi pernikahan yang tidak berlaku atau dapat dibatalkan yaitu: Terjadinya penipuan diantara keduanya, baik si laki-laki yang menipu atau si perempuan yang menipu si laki-laki, contoh : jika salah satu diantara mereka ada yang mandul tetapi yang mandul tersebut tidak memberitahukan kemandulannya, berarti adanya penipuan dalam pernikahan tersebut. Atau contoh lainnya jika si wanita sudah janda atau sudah tidak perawan tapi dia tidak memberitahukan kepada sang suami terlebih dahulu, maka pernikahan dapat dibatalkan. Atau si laki-laki mengaku orang baik-baik ternyata orang fâsik (rusak). Apabila si istri atau suami mempunyai penyakit yang menyebabkan tidak dapatnya melakukan hubungan suami istri baik si istri
yang mengalami
istihadhoh maupun si suami yang mengalami impotent atau salah satu dari mereka mempunyai penyakit kusta, cacat, dll dan tidak terciptanya maksud dari pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut dapat dirusak juga.
91
Ibid, h.78.
Tetapi jika kedua
pasangan tersebut
dapat
menerima keadaan
pasangannya dengan lapang dada maka diperbolehkan untuk melanjutkan pernikahannya.92 Jika pasangan suami istri masih mempunyai hubungan darah yang menjadikan pernikahan mereka batal, yaitu hubungan nasab, hubungan sususan, dan hubungan pernikahan. Batal karena hubungan nasab yaitu jika pasangan suami istri tersebut ternyata masih berhubungan darah, misalnya si istri ternyata adik kandung dari beda ibu, dan lain-lain. Batal karena hubungan susuan yaitu jika pasangan suami istri itu menyusu dari satu ibu, ada pun batas susuan telah dijelaskan dalam buku Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq. Batal karena hubungan pernikahan yaitu pasangan suami istri ternyata bapak tiri dan anak tiri, dan hubungan saudara tiri yang lainnya.
92
Ibid, h. 85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian pustaka yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Nikah Fasakh ialah nikah yang dapat dibatalkan menurut Islam, karena ada persyaratan atau rukun-rukun yang tidak dipenuhi oleh salah satu pasangan, ada dua macam pernikahan fasakh ini dapat digolongkan yaitu pernikahan fasakh yang dapat tidak difasakhkan dan pernikahan yang harus difasakhkan, dalam sifatnya pernikahan fasakh ada beberapa macam yaitu batal karena aqad, ada juga batal karena niat, ada yang batal karena keadaan. 2. Dalam KHI ataupun UU no.1 tahun 1974 tidak diperkirakan jelas tentang apa saja nikah yang dapat disebut dengan nikah fasakh, dalam KHI dan UU no.1 tahun 1974 hanya ada tata cara pembatalan nikah, ada juga pernikahan yang dapat dibatalkan yang jika hanya ada pasangan yang ingin mengajukan persoalan pembatalan nikah kepada mereka, pembatalan nikah menurut KHI dan UU no.1 tahun 1974 mempunyai definisi yaitu lepasnya ikatan karena pernikahan yang dilaksanakan tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam KHI pembatalan nikah ada dua pengertian pembatalan nikah yaitu pernikahan yang batal demi hukum (pernikahan yang melanggar larangan pernikahan,
sehingga pernkahan tersebut mutlak dibatalkan), kedua pelanggaran larangan pernikahan secara tak sengaja kekurangan rukun maupun syaratnya, sehingga pernikahan tersebut dapat dibatalkan dan dapat juga tidak dibatalkan, sedang UU no.1 Tahun 1974 bahwa batalnya suatu pernikahan adalah keadaan di mana tidak sahnya suatu pernikahan yang dilangsungkan karena tidak memenuhi syarat maupun rukun-rukunnya. 3. Sedangkan dalam Fiqh Sunnah dan Fiqh Islâm Wa adîlatuhu diterangkan dengan jelas apa saja pernikahan yang dapat dikategorikan nikah fasakh, sehingga dapat dimengerti dengan baik apa saja yang menjadi hak pasangan suami istri dalam kehidupan yang mereka jalani.
B. Saran Di negara ini banyak hukum-hukum yang belum jelas, terutama yang berhubungan dengan syariat. Terkadang masih ada hukum yang berbenturan dengan syariat itu sendiri. Sehingga hukum tersebut tidak mungkin bisa difahami dan dilaksanakan dengan tepat. Bahkan masih terkesan bahwa undang-undang belum bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada pada masyarakat, yang berhubungan dengan syariat. Untuk urusan pernikahan, seseorang akan datang berkonsultasi kepada seorang ustadz, bukan kepada petugas KUA setempat. Hal ini mungkin disebabkan undangundang KHI yang masih belum rinci membahas tentang seluruh masalah-masalah
yang ada dalam pernikahan, dalam undang-undang KHI tidak ada pembahasan nikah Fasakh, KHI hanya menjelaskan fasakh-nya nikah (pembatalan nikah). Dalam KHI hanya ada pembatalan nikah atau fasakh nikah, dan belum dijelaskan tentang nikah-nikah yang menurut syariat Islam batal dari segi niat hukum maupun keadaan. Saran penulis adalah bahwa undang–undang no. 1 th 74. dan KHI belum dapat mengadaptasi secara utuh hukum dan syariat Islam. Dan penulis menyarankan juga petugas mahkamah yang berwenang harus membuat undangundang pernikahan tentang nikah fasakh dengan lebih jelas dan terperinci. Sesuai dengan syariat, al-Qur’an dan sunah Rosulullah SAW. Sehingga tidak terjadi lagi pernikahan-pernikahan yang kontrofersial di negara ini yang memancing fitnah-fitnah sesama umat Islam. Seperti nikah mutah yang masih banyak terjadi. Penulis sangat mengharapkan kepada penegak hukum di pelosok negeri Indonesia untuk menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya, dan para pembuat undang-undang agar dipikirkan betul ketika sedang membuat undang-undang, dan tegaslah
kepada
pemilihan
undang-undang
yang
akan
ditegaskan
untuk
dimasyarakatkan. Kepada para tokoh ulama dan pemimpin umat agar selalu mendampingi masyarakatnya, memberikan penjelasan, dan perhatian kepada khalayak umat agar tidak menyimpang dari syariat agama dalam hal pernikahan khususnya dan hal lain umumnya, dengan harapan umat Islam agar senantiasa menjaga rumah tangga dan pernikahan dengan mentaati dan menjalankan semua aturan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT agar kita mendapat rahmatnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Abbas, Ahmad Suddirman. Pengantar Pernikahan. t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006. -------------------. Problematika Pernikahan dan Solusinya, t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006. Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressidne, 2004 Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat, Jakarta: Mizan, 1998. Ali, Mohammad Daud. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Ashiddieqy, M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986 Al-Azdî, Sulaimân bin al-Asy’ab Abu Dâwûd al-Sajastânî, Sunan Abî Dâwûd (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1 Dahlan, Abdul Aziz, (ed). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Dapartemen Agama, Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Depag RI, 2000. Departeman Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Djalil, Basiq. “Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, makalah, disampaikan pada seminar sehari hukum keluarga Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN 2004. Djaya, Ashad Kusuma. Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama (Pesan-pesan Rasulullah SAW Menuju Pernikahan Barokah). Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001. Firdaweri. Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2006. Hamdani, H.S.A Al. Risalah Nikah (Hukum perkawinan Islam). Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Hamid, Andi Tahir. Beberapa Hal Baru Tentang PA dan Bidangnya. Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Hodkinson, Keith Muslim Family Law: A Source Book. London: Croom Helm, 1984. Hosen, Ibrahim. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : CV putra harapan, 1987. Al-Ja’fî, Muhammad bin Isma’il Abû ‘Abdillâh al-Bukhârî, Al-Jâmi’ al-Sahîh alMukhtasar (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1987), Juz 5 Jaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Surabaya: Cahaya Ilmu, 1995. Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986. al-Khalaf, Abdul Wahab.’Ilm Usûl al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Da’wah alIslamiyah Syabab al-Azhar, 1990. Manan, Abdul. Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Makalah, Agustus 2000. Al-Naisâbûnî, Muhammad bin ‘Abdillâh Abu ‘Abdillâh al-Hâkim, Al-Mustadrak ‘Alâ al-Sahîhaini (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), Juz 2 Nasution, Amir Taat. Rahasia perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994. Al-Qazwînî, Muhamamd bin Yazâd Abû ‘Abdillâh, Sunan Ibnu Mâjah (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1 Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarat: Sinar Baru Algensindo, 2006. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Bandung: Al Maarif, 1980.
al-Silmî, Muhammad bin ‘îsâ Abû îsâ al-Tirmidzî, Al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan alTirmîdzî (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.th), Juz 3 Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003. Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi. Jakarta: Hidakarya Agung, 1996. Zuhaili, Wahbah, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th)