NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh: Zulkifli NIM : 105043101315
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H/2011 M
NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh Zulkifli NIM. 105043101315
Pembimbing:
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H/ 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Nikah Misyar Dalam Pandangan Hukum Islam”, telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih.
Jakarta, 14 Desember 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma,SH., MA., MM NIP. 195505051982031012 PANITIA UJIAN Ketua
Sekertaris
Pembimbing
Penguji I
Penguji II
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002
: (.................................)
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002
: (.................................)
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002
: (.................................)
: Dr. Ahmad Tholabi, MA NIP: 197608072003121001
: (.................................)
: Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001
: (.................................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 Muharram 1433 H 20 Desember 2011 M
Penulis
بسم اهلل الرحمن الرحيم KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber dari kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi Asma-Nya sehingga penulis diberikan kekuatan yang begitu melimpah dari kekuatan fisik hingga psikis untuk tetap menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM” Salawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat dan pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup manusia, dan pencerahan atas kegelapan manusia yang dijadikan sebagai sebuah pembelajaran bagi umat muslim hingga akhir zaman. Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi syarat akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
i
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, SH., MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku ketua Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang rela meluangkan waktu, memberikan ilmu dan masukan-masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi, dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku sekretaris Progam Studi Perbandingan Mazdhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya untuk mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yang berguna. 4. Segenap karyawan Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan tak lupa Segenap karyawan Perpustakaan Umum wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang dapat dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini. 5. Kedua orang tua saya, ayahanda Zainal Abidin Sirait dan Ibunda Nasriyah Marpaung yang sangat penulis hormati dan cintai, selalu memberikan kasih sayang yang begitu melimpah kepada penulis, yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kelancaran dan
ii
kesuksesan penulis. Untuk adik-adikku, Irfan Sirait, Husnul Fat’ah Sirait dan spesial buat Rahmayani Butar-butar, terima kasih atas dorongan dan doanya. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka. 6. Sahabat-sahabat PMF angkatan 2005, Dermawan, Teddy Bear, Zulfahmi, Inayatullah, Faisal Kurniawan, dan yang lainnya, yang tak bisa penulis sebutkan semua. 7. Teman-teman seperjuangan, Afud, Afank, Anton, Anwar, Ferly, Makin, Riza, Deol, Gengsar, Aris, Roji, Derry, Eddy, Basiruddin, Grossy, Ady O’o, dan anak-anak Wek-wek, FKDU Jakarta, yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudahmudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Jakarta, 20 Desember 2011 M
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................
iv
BAB I
: PENDAHULUAN .................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................
1
B. Pembatasan dan perumusan Masalah ...............................
9
C. Kajian Pustaka ..................................................................
10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................
11
E. Metode Penelitian .............................................................
12
F. Sistematika Penulisan .......................................................
15
: LANDASAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN ...
16
A. Defenisi dan Dasar Hukum Perkawinan .........................
16
B. Filosofi Perkawinan ..........................................................
23
C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang ...................
25
: FENOMENA PERKAWINAN MISYAR ..........................
31
A. Pengertian dan Seputar Perkawinan Misyar .....................
35
B. Prinsip dan Tujuan Dalam Perkawinan Misyar ................
39
C. Alasan-alasan Dalam Perkawinan Misyar ........................
45
BAB II
BAB III
iv
BAB IV
: NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM ...................................................................................
48
A. Kontroversi Pendapat Mengenai Nikah Misyar ...............
48
B. Nikah Misyar Menurut Pandangan Hukum Islam ............
52
: PENUTUP ..............................................................................
62
A. Kesimpulan ......................................................................
62
B. Saran .................................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
64
BAB V
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang syamil (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya. Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa‟at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah SAW mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya Agama Islam mengisyaratkan perkawinan sebagai satu-satunya bentuk hidup secara
1
2
berpasangan
yang
dibenarkan,
yang
kemudian
dianjurkan
untuk
dikembangkan dalam pembentuk keluarga. Dalam hubungan perkawinan, sangwanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat. Disini martabat keduanya tidaklah berbeda.1 Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Melalui “nikah” kebutuhan naluriah yang pokok dari manusia (yang mengharuskan dan mendorong adanya hubungan antar pria dan wanita) tersalurkan secara terhormat sekaligus memenuhi dan panggilan moral yang ditegakkan oleh agama. Pernikahan atau tepatnya berpasangan merupakan ketetapan ilahi atas segala makhluk. Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa, oleh karena itu agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya perkawinan dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketenteraman atau sakinah. Islam dan undang-undang perkawinan merupakan informasi dan pengetahuan tentang nikah, sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran
nikah,
disamping
merupakan
upaya
preventif
terhadap
berkembangnya bentuk pasangan diluar nikah, juga membantu penanganan
1
Ali Yafie, Menggas Fiqih Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1994, h. 256
3
dalam masalah kesejahteraan keluarga dan ketertiban masyarakat.2 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsyaqon gholidon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3 Hal tersebut sesuai dengan UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1 yang menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4 Menurut Robert L. Suteherland dalam bukunya “Introductory Sociology” mendefinisikan bahwa perkawinan adalah bentuk hubungan khusus (khas) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban bersama.5 Dan menurut Prof Subekti SH mendefinisikan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam waktu yang lama.7 Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid dalam bukunya "Fiqh Islam" mendefinisikan bahwa perkawinan yaitu akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban beserta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
2
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisa dan Undang-undang No.1 Tahun 1994 dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta, 1999 3 Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademia Pressindo, 1992, h. 114 4 UU Perkawinan (UU RI No. 1 Tahun 1994) Beserta Pebnjelasannya, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004, h. 8 5 Subki Djunaedi, Pedoman Mencari dan Memilih Jodoh, Bandung: CV Sinar Baru, 1992, h. 15
4
antara keduanya bukan muhrim.6 Dari beberapa pendapat di atas dapat kita fahami bahwa hakekat nikah bersifat lahiriyah (eksoteris). Tetapi kemudian dimasukkan unsur-unsur esoteris (batiniah) dan sekaligus dengan tujuan agar perkawinan tidak terikat didalam seks saja. Seperti di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Sehingga negara yang berdasarkan Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahiriyah atau jasmaniah. Tetapi unsur batin maupun rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting untuk membentuk keluarga yang bahagia yang pula merupakan tujuan perkawinan. Seperti kita ketahui keterkaitan seorang terhadap lawan jenisnya oleh syari'at diarahkan kepada sebuah lembaga yang disebut pernikahan. Pada awalnya nikah hanya merupakan konsep sederhana yaitu konsep menyatukan
) ( الجمعyaitu menyatukan dua orang berlainan jenis dengan satu ikatan tertentu dan dengan rukun dan syarat tertentu pula jika kemudian muncul model syigar, mut'ah ataupun muhallil, dikarenakan adanya perkembangan permasalahan yang berdampak pada perkembangan pemikiran. Seperti halnya dengan praktek kawin misyar, secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan nikah biasa, artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan rukun dari nikah bisa terdapat pula pada pernikahan misyar, dan juga seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah atau bersama laki-laki
6
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1996, h. 23
5
dirumahnya (laki-laki).7 Biasanya kawin semacam ini terjadi pada istri kedua dan laki-laki yang melaksanakan kawin semacam ini sudah mempunyai istri yang lebih dulu tinggal bersama di rumahnya. Tujuan kawin semacam ini adalah agar suami dapat bebas dari kewajiban terhadap istri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan nafkah memberikan hak yang sama dibanding istri yang lain (istri pertama). “Diskon” itu hanya diperoleh oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang sangat membutuhkan peran seorang suami dalam mengayomi dan melindunginya (meskipun dalam bidang materi sang suami tidak dapat diharapkan). Padahal kewajiban yang paling pokok bagi seorang suami adalah memberikan nafkah kepada istrinya, sedangkan bagi istri, pemberian itu adalah hak yang mesti harus diterima.8 Karena dalam ikatan perkawinan akan menimbulkan status dan peranan, sehingga akan menimbulkan hak dan kewajiban yang berupa nafkah. 9 Apabila nafkah diberikan sebagaimana mestinya, tidak dikurangi maka akan dapat mendatangkan keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga. Beberapa kenyataan penting tentang kelebihan laki-laki dibanding perempuan, yakni laki-laki bertanggung jawab, atas seluruh kehidupan 7
Yusuf al-Qardawi, Hadyul Islam Fatawa Muashirah, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 394 8 Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Niscaya Menjadi Kaya, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001, h. 259. 9 Moh Rifa‟i, Ilmu Fiqh Islam, Semarang: CV Toha Putra, 1978, h. 505
6
perempuan. Pertama hingga mencapai usia dewasa, perempuan menjadi tanggung jawab ayahnya, atau orang lain yang bertindak sebagai walinya. Jika setelah dewasa ia dapat memperoleh penghasilan sendiri, barulah ia membiayai dirinya sendiri. Tetapi jika tidak, maka ayah dan walinya yang wajib menanggung kehidupannya. Kedua dalam pernikahan seorang wanita sama sekali tidak dibebani kewajiban memberi mas kawin. Ketiga seorang wanita apabila telah bersuami, seluruh kebutuhan hidupnya menjadi tanggungan suaminya, walaupun ia seorang wanita kaya. Keempat prialah yang berkewajiban menanggung seluruh kebutuhan keluarga, prialah yang dituntut untuk menyediakan tempat tinggal dan memikul seluruh biaya yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. 10 Pemberian nafkah adalah kewajiban suami, misalnya menyediakan tempat tinggal terpisah. Para ulama madzhab sepakat bahwa nafkah untuk isteri itu wajib, yang meliputi tiga hal yaitu pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak. Karena itu, suami yang baik tertentu akan selalu berupaya memenuhi kewajibannya, sebab dapat menambah rasa cinta kasih, melahirkan kebahagiaan, menegakkan ketaatan, dan menaburkan kesetiaan terhadap isteri. Tentu saja dia akan lebih mengutamakan nafkah keluarga sebelum memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain. Bahkan sebagai suami tidak akan
7
merasa keberatan memberikan hadiah, baik berupa barang maupun tambahan nafkah, kepada istrinya.11 Sehingga sebagai orang memprotes bahwa nikah model ini bertentangan dengan apa yang telah diterapkan oleh Allah SWT, sesuai dengan ketetapanNya. Kaum laki-laki mempunyai hak untuk mengawasi wanita dan bertanggung jawab atas diri wanita beserta seluruh anggota keluarga. Dalam pelaksanaan model ini, seorang laki-laki tidak dituntut memberikan nafkah kepada wanita dan tidak pula berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi para istrinya.12 Seperti pendapatnya Ibnu Hazm, apabila terjadi perkawinan, maka wajib nafkah, suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya semenjak adanya akad, baik ia berniat akan membentuk rumah tangga ataupun tidak, meskipun isteri masih kanak-kanak, baik perempuan itu nusyuz kepada suaminya ataupun tidak, baik si isteri itu miskin atau kaya, masih punya
ayah
maupun
yatim,
merdeka
ataupun
budak,
menurut
kemampuannya.13 Berangkat dari pemahaman di atas menarik untuk mengkaji sebuah perkawin misyar. Yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “Nikah Misyar Dalam Pandangan Hukum Islam” yang mana bahwa seorang suami dapat bebas dari kewajiban terhadap istrinya untuk memberikan hak yang 10
Shalah Abdul Qadir al-Bakriy, Al-Qur‟an dan Pembinaan Insan, Bandung: Al-Ma‟arif, 1983, h. 305 11 Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Niscaya Menjadi Kaya, h. 263 12 Yusuf al-Qardawi, Hadyul Islam Fatawa Muashirah, h. 405 13 H.S.A al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) Jakarta: Pustaka Al-Mani, 2002, h. 148
8
sama dibanding istri yang lain. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berhubung karena judul skripsi ini amat luas, maka penulis membatasi pembahasannya sekitar permasalahan proses terjadinya perkawinan misyar dan latar belakang
timbulnya perkawinan misyar, serta syarat dalam
melakukakan pernikahan misyar. Dari pembatasan masalah ini, maka pokok masalah dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Faktor apa saja yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah misyar? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kawin misyar? C. Kajian Pustaka Pembahasan seputar perkawinan sebenarnya sudah banyak dibahas sebelumnya, namun mengenai kewajiban suami untuk memberi nafkah tidak banyak yang membahasnya. Demikian juga mengenai suami diberi keringanan dalam hal pemberian nafkah kepada istrinya yang merupakan inti dari kawin misyar, sebagaimana fatwa Yusuf Qardawi yang memperbolehkan kawin misyar dalam kitabnya “Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu”. Sayyid Sabiq dalam buku “Fiqh al-Sunnah”, menerangkan panjang lebar mengenai hukum kewajiban memberi nafkah, namun mengenai keringanan memberi nafkah tersebut tidak menyinggungnya. Secara garis besarnya ia menyatakan tentang hukum pemberian nafkah ini bahwa para ahli fiqh sepakat tentang kewajiban suami membelanjai istri-istrinya, kecuali kalau
9
istri tersebut berbuat durhaka.14 Demikian juga Ibnu Hazm dalam buku “fiqih wanita” karangan Syekh Kamil Muhammad „Uwaidah mengatakan seorang suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istrinya sejak selesainya pelaksanaan akad nikah, baik si istri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau miskin, memiliki orang tua atau yatim, masih gadis maupun sudah janda, merdeka maupun budak belian, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Abu Sulaiman, para sahabatnya dan Sufyan ats-Tsauri mengatakan: “Pemberian nafkah merupakan kewajiban suami atas wanita yang masih gadis dan sejak pelaksanaan akad nikah dengannya, demikian lanjut Ibnu Hazm.15 Dan dalam bukunya “Perkawinan Terlarang” Dr. Muhammad Fu‟ad Syakir, mengatakan bahwa perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin cepat dan mudahnya gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di dunia ini. Pada hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun dan syaratnya, hanya saja sang istri harus mengalah dari beberapa hak-haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal, atau tempat yang disiapkan oleh suaminya, dan dari hak nafkah, yaitu pembagian yang adil antara dia dengan istri lainnya.16 Dari beberapa buku yang telah penulis kaji, mengungkapkan bahwa nafkah adalah kewajiban bagi seorang laki-laki terhadap istri. Tetapi dalam
14 15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma‟arif, 1982, h. 65 Syaikh Kamil Muhammad ‟Uwaidah, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, h.
404 16
h. 17
Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2002,
10
kawin misyar tidak ada tuntutan bagi suami untuk memberikan nafkah pada istrinya, dimana hal semacam ini diperbolehkan sehingga permasalahan ini menarik untuk dikaji. D. Tujuan dan Manfaat Dengan mengacu pada latar belakang diatas tersebut ada beberapa pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam bentuk skripsi, namun dari beberapa pokok permasalahan yang akan penulis bahas pada pokok permasalahan dibawah ini : 1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya kawin misyar. 2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kawin misyar.
Adapun kegunaan dari hasil penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a) Aspek Teoritis Hasil studi diharapkan dapat dipergunakan untuk memperkaya khazanah hukum perkawinan, terutama dalam perkawinan misyar. b) Aspek Praktis Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi sebuah acuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan baik untuk pedoman lebih lanjut maupun sebagai bahan penyuluhan dalam bidang perkawinan, terutama dalam perkawinan misyar.
11
E. Metode Penelitian Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah, perlu menggunakan pendekatan yang tepat dan sistimatis, sebagai pegangan dalam penulisan skripsi dan pengolahan data untuk memperoleh data yang valid, penulis menggunakan metode yaitu: 1.
Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid, penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan)
yang bertujuan untuk
mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan semacam material yang
terdapat
diruang
perpustakaan,
misalnya:
buku-buku,
naskah-naskah, catatan dan kataloq. Pada hakikatnya data yang diperoleh dengan jalan penelitian kepustakaan dijadikan fondasi dan alat utama bagi praktek penelitian ditengah lapangan. 17 Data-data tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Sumber Data Primer Yaitu sumber data yang memberikan informasi dan data secara langsung, adapun sumber data primer yang penulis gunakan adalah: Yusuf Qardawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu.
17
h. 33
Kartini Kartono, Pengantar Metodelogi Riset Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001,
12
b. Sumber Data Skunder Yaitu sumber data yang berupa kitab fiqih, hadits, tafsir karya para ulama serta literatur lainnya yang berhubungan tentang nikah misyar. Diantaranya adalah: a) Abdul Ar-Rahman Al-jaziri, Kitab al-fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Juz IV. b) Ali Ansori, Al-Mizan al Kubra, Juz II. c) Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fath al-Mu‟in. d) Muhammad Jawad Al-Mugniyah, Al-Fiqh „Ala al-Mazahib al-Khamsah. e) Najamudin Amin Al-kurdi. Tanwir al-Qalb. 2. Teknik Pengumpulan Data Untuk mempermudah dalam memperoleh data pada pembahasan ini, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara membaca dan menalaah buku-buku atau sumber tentang hukum Islam dan kitab-kitab hukum Islam yang ada hubungannya tentang diperbolehkannya kawin misyar. Teknik ini dalam teori penelitian dikenal sebagai sebagian dari langkah-langkah metode deskriptif.
13
3. Teknik Pengolahan Data Dalam menganalisa data-data yang dapat dari literatur yang ada, penulis menggunakan pengelolaan dengan tahapaan-tahapan sebagai berikut: a. Editng: Pemeriksaan kembali data yang didapat dengan cermat dan teliti, terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesuaian, keselarasan, relevansi dan keseragaman antara yang satu dengan yang lainnya. b. Organizing:
pengorganisasian
data
dengan
cara
menyusun
dan
mensistimasikan serta mengklasifikasikan data-data yang didapat. c. Analyzing: mengadakan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data yang menggunakan kaedah-kaedah dan teori dan dalil berkenaan dengan kebolehan kawin misyar secara jelas dan lengkap. 4. Metode Analisa Data Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Agar fakta dan analisa menjadi tepat, maka sifat penelitian ini adalah deskriptik-analitik yang bertjuan menggambarkan secara integral tema-tema umum seperti kawin misyar. Sedangkan data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Untuk memperoleh data tersebut, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan penelitian pustaka (librery research), yaitu menalaah melalui buku-buku, kitab-kitab dan sebagainya yang terkait dengan obyek
14
penelitian yang kemudian dijadikan sebagai sumber data. Dalam menganalisis data tersebut penulis menggunakan pendekatan normatif, yaitu dengan cara mendekati masalah dengan melihat apakah boleh atau tidak, sesuai atau tidak menurut norma berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam khususnya berkaitan dengan hukum Islam khususnya dalam bidang muamalah karena kajian ini menggunakan pendekatan normatif, maka alat analisis utama yang dipergunakan al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber utama hukum Islam kemudian didukung dengan sumber-sumber hukum Islam yang lain yang berkaitan dengan perkawinan Islam. 5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini adalah berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syaari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”. F. Sistematika Penulisan Untuk
mempermudah
penyusunan
hasil
penelitian
ini,
maka
pembahasannya dikelompokkan dalam lima bab, yang penjelasannya adalah sebagai berikut: Bab I
: Bab Pertama adalah berisi pendahuluan skripsi yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
15
Bab II
: Bab kedua landasan filosofis perkawinan, meliputi defenisi perkawinan, dasar hukum dan, filosofi nikah dan macam-macam perkawinan yang terlarang.
Bab III
: Bab ketiga berisi fenomena tentang kawin misyar yang meliputi pengertian dan seputar nikah misyar, prinsip dan tujuan dalam perkawinan misyar serta alasan-alasan dalam pernikahan misyar.
Bab IV
: Bab keempat adalah nikah misyar dalam pandangan hukum Islam yang meliputi kontroversi pendapat mengenai nikah misyar dan nikah misyar menurut hukum Islam.
Bab V
: Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran
BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERNIKAHAN A. Defenisi dan Dasar Hukum Pernikahan 1. Definisi Nikah Kata nikah dari bahasa Arab نكاحyang merupakan bentuk masdar dari fiil madhi نكحyang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti kawin, menikah.1 Menurut Abdurrahman al-Jaziri
dalam kitabnya al-Fiqh „Ala
Mazahib al-Arba‟ah menyebutkan ada 3 makna nikah:2 a) Menurut bahasa
Artinya: “Bersenggama atau bercampur”. b) Menurut syar’i Para ulama berbeda pendapat tentang makna syar’i ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah arti hakekatnya adalah watha’ (bersenggama). Pendapat kedua menyatakan bahwa makna hakekat dari nikah adalah akad, sedangkan arti majaznya adalah watha’.
1
Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998, h. 1943 2 Djaman Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Toha Putra, 1993, h. 1-3
16
17
Pendapat ketiga menyatakan bahwa makna hakekat dari adalah musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’. c) Makna fiqih Menurut ahli fiqh nikah berarti akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenangsenang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya. Berdasarkan pendapat para imam mazhab pengertian nikah sebagai berikut: Golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah:
“Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan dengan sengaja”. Golongan asy-Syafi’iyah mendefenisikan nikah sebagai:
“Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan watha‟ dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya”. Golongan Malikiyah mendefenisikan nikah sebagai:
“Nikah adalah suatu akad yang mengandung ketentuan hukum sematamata untuk bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya”.
18
Golongan Hanabilah mendefenisikan nikah sebagai:
“Nikah adalah suatu akad dengan mempergunakan lafadz-lafadz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita”.3 Pengertian nikah tersebut diatas hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hokum dalam hubungan kelamin antara seorang lakilaki dan seorang perempuan yang semula dilarang menjadi diperbolehkan, padahal setiap perbuatan hokum mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya seperti yang ditulis oleh Muhammad Abu Ishrah bahwa nikah atau ziwaj itu ialah:
“Aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberikan batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.4 Sedangkan pengertian nikah menurut istilah, ada beberapa ndangan dari beberapa ahli, antara lain: 1) Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga berarti aqad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.5 3
Abdurrahman al-jaziri, Al-fiqh al-Mazahibil Arba‟ah, Juz IV, Mesir, 1969, h. 395 Dirjen Bimbingan Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1985, h. 48-49 5 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam ….h. 3 4
19
2) Menurut Prof. Dr. H Harun Nasution, yang dimaksud nikah menurut istilah suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan wanita yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.6 3) Taqiyudin Abi Bakar memberikan pengertian nikah sebagai berikut, yaitu akad yang terkenal yang mengandung kebenaran rukun dan syarat.7 4) Menurut Muhammad Rifa’i nikah adalah suatu akad
yang
menghalalkan pergaulan secara sah antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrimnya dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.8 5) Menurut Muhammad Yunus perkawinan adalah akad antara calon suami dengan calon istri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut yang diatur oleh syariat.9 6) Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan menurut hokum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsyaqan gholizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.10 Hal tersebut sesuai dengan UU perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
6
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 741 Taqiyudin Ali Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hism ad-Dimasyqi asy-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, Juz 2, Semarang, Toha Putra, h. 36 8 Muhammad rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, h. 453 9 Muhammad Yunus, Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Hidyakarya Agung, 1983 h. 1 10 Abdurrahman. KHI di Indonesia, h. 114 7
20
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.11 2. Dasar Hukum Nikah Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup dan perkembangannya. Untuk itu Allah melalui utusan-Nya memberikan suatu tuntunan mengenai perkawinan ini sebagai dasar hukum. Adapun dasar perkawinan dalam Islam adalah firman Allah dalam kitab suci alQur’an diantaranya. Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS an-Nuur 32) Dan firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Rum 21)
11
UU Perkawinan..., h. 8
21
Disamping ayat-ayat di atas ada juga hadist nabi yang berisi anjurananjuran perkawinan diantaranya bahwa perkawinan itu dianjurkan bagi orang-orang yang telah dianggap mampu dan mempunyai kesanggupan memilihara diri dari kemungkinan-kemungkinan melakukan perbuatan yang tercela (terlarang). Maka perkawinan lebih baik baginya. Sabda Nabi SAW:
“Dari Abdullah bin Mas‟ud r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada kamu: Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu sekalian yang mampu kawin, kawinlah. Maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menundukkan pandangan) dan memilihara farji, barang siap yang belum kuat kawin (sedangkan sudah menginkannya) berpuasalah, karena puasa itu dapat melemahkan syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan
dalil-dalil
yang
menjadi
dasar
disyariatkannya
perkawinan tersebut di atas, maka hukum asal perkawinan adalah sunnah. Sedangkan menurut kesepakan ulama, bahwa perkawinan merupakan suatu yang disunnahkan. Dan menurut pendapat sebagian serjana hukum Islam, asal hukum melakukan nikah (perkawinan) adalah ibahah. Namun berdasarkan illatnya atau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya serta tujuan
12
Imam Abi Husein Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Mesir: Daar al-Kutub alArabiyah 1987) h. 1018-1019
22
melaksankannya, maka maka melakukan perkawinan itu dapat beralih hukumnya menjadi sunnah, wajib, makruh, haram dan boleh (mubah). 1) Melakukan perkawinan hukumnya wajib Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dikwatirkan akan tergelincirnya dalam perbuatan zina seandainya ia tidak kawin, maka hukum perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. 2) Melakukan perkawinan hukumnya sunnah Orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi kalau tidak kawin kawin tidak dikwatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah. 3) Melakukan perkawinan hukumnya haram Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta tanggung jawab atas kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga, sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan baginya adalah haram. 4) Melakukan perkawinan hukumnya makruh Jika seseorang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniyahnya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak. Tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga kalau ia kawin hanya akan
23
membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka makruh untuknya melakukan perkawinan. 5) Melakukan perkawinan hukumnya mubah Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak kwatir melakukan perbuatan zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. B. Filosofi Pernikahan Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain dari sejak manusia diciptakan oleh Allah SWT, yakni antara Adam as dengan Siti Hawa. Dari sini dapat dipahami bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk saling berpasangan, sehingga Allah SWT menetapkan jalan yang sah untuk itu, yakni melalui pranata yang dimaksud pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi setiap insan yang melakukannya. Ia adalah aktifitas kemanusiaan dengan makna luas dan berdimensi ibadah seperti ungkapan Nabi SAW
(nikah merupakan bahagian aktifitasku) meski demikian, aktifitas ibadah tersebut tidak mutlak harus dilakukan secara paksa. Pernikahan yang memiliki kata dasar “nikah” berarti berkumpul atau akad yang membolehkan
24
bersetubuh, berimpikasi kepada hukum mubah, sunnah, wajib, makruh bahkan haram. Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami istri), di mana status kepemilikan akibat aqad tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya yang dalam term fiqih disebut “Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (istri), yang untuk dirinya sendiri. Bagi perempuan (istri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si istri boleh menikmati secara biologis atas diri sang suami bersama perempuan lainnya (istri suami yang lain). Sehingga kepemilikan di sini merupakan hak berserikat antara para istri.13 Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang bersifat umum dan berlaku bagi semua mahluk termasuk di dalamnya hewan dan tumbuhtumbuhan serta keberadaan malam berganti siang. Sebagaimana Allah berfirman:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Q.S Adz Dzariyaat: 49)
13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, Dar al-Fikr: beirut, 1998, cet. Ke-2, juz ke-7, h. 29.
25
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Q.S Yasiin: 36 ) Pada kedua ayat di atas disebutkan “segala sesuatu berpasangpasangan”, yang berarti meliputi semua mahluk ciptaan Allah. Firman Allah tersebut secara real dapat disaksikan melalui alam raya ini dan segala yang ada. Bentuk pasang-pasangan ciptaanNya merupakan realisasi keseimbangan kehidupan dunia yang mengikuti sunnatullah. Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada sisi sunnatullah yang dilakukan para Nabi dan Rasul dalam upaya penyebaran dan penyampaian Risalah Ilahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang.14
C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang 1. Nikah Syighar Yang dimaksud dengan nikah syigar yaitu seorang wali mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-
14
Abbas, Ahamad Sudirman, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandinagn Antar Madzhab), Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006, cet. 1, h. 2-7
26
laki tadi menikahkan putrinya kepada laki-laki tersebut dengan tanpa mahar.15 Al-syighar adalah istilah Arab yang berarti mempunyai seekor anjing sewaktu ia lewat melintas. Inilah sebabnya mengapa kata yang sama dikenakan pada bentuk pernikahan yang tak diinginkan ini karena ada persamaan dengan menjemput seorang wanita tanpa membayar mas kawin (mahar) pada waktu menikahnya.16 Mahar merupakan hak seorang wanita dan merupakan harta pribadinya, bukan semata hadiah dari pengantin laki-laki untuk dinikmati oleh orang tua pihak perempuan atau untuk mendapatkan keuntungan yang tak layak dengan menukar anak atau saudara perempuan untuk dinikahi kepada lelaki lain sebagai hadiah (bagi satu sama lain) tanpa membayar mas kawin. Pada masa sebelum Islam, syighar diakui sebagai suatu bentuk perkawinan yang kemudian dilarang oleh Nabi saw setelah datangnya Islam, karena bentuk perkawinan ini menghalangi wanita dari haknya sendiri.17 Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan syighar itu pokoknya tidak diakui, karena hukumnya batal. Tetapi Abu Hanifah berpendapat, kawin Syighar itu sah, hanya bagi tiap-tiap anak perempuan yang bersangkutan wajib mendapatkan mahar yang sepadan dari masingmasing suaminya karena kedua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak
15 16
Sayyid Sabig, Fiqh Sunnah (Bandung: Al-ma’arif, 1990, cet ke-7), h. 76 Abdurrahman I. Doi, Pernikahan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1992) h. 6 17
Abdurrahman I, Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam. h. 61
27
perempuannya sebagai mahar tidaklah tepat, sebab wanita itu bukanlah sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama mereka. Dalam perkawinan ini yang batal adalah segi maharnya, bukan pada akad nikahnya sebagaimana kalau suatu perkawinan dengan persyaratan memberikan minuman khamar atau babi, maka akad nikahnya disini tidaklah batal dan bagi perempuannya berhak atas mahar mitsl.18 Para ulama berbeda pendapat tentang sebab-sebab dilarangnya perkawinan semacam ini karena tidak adanya mahar dan menjadikan kelamin sebagai hak bersama, dimana kelamin masing-masing perempuan dijadikan sebagai pembayaran mahar yang satu kepada yang lainnya, padahal perempuannya sendiri tidak ikut memperoleh faedah karena maharnya tidak diterima sedangkan yang menikmati faedah dari mahar tersebut adalah walinya. Hal ini berarti mendzhalami kedua perempuan tersebut dan merampas hak mahar dari perkawinannya. 2. Nikah Misyar Perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius dalam beberapa negara Islam pada masa sekarang ini, disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal-usul perkawinan ini telah ada pada masa terdahulu yang sering disebut sebagai perkawinan misyar. Perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin cepatnya gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di dunia. Pada
18
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah... h. 77-78
28
hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun da syaratnya, hanya saja sang istri harus mengalah dari beberapa haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal (tempat yang disiapkan oleh suaminya) dan dari hak nafkah, yaitu pembagian yang adil antara istri yang satu dengan yang lainnya. Seorang istri yang dikawini misyar harus rela tinggal dengan orang tua bersama keluarganya, jika sang suami tidak mengadakan perjalanan ke daerah tempat istri berada, yang semestinya sang suami harus mendatanginya satu hari dalam seminggu atau beberapa hari dalam sebulan. Perkawinan misyar terjadi karena realita dan keterjepitan kondisi pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Saudi Arabia yang mengeluarkan fatwa membolehkan perkawinan ini, berbeda dengan perkawinan temporal lainnya, perkawinan misyar adalah perkawinan yang sah, mencukupi rukun akad yang disyariatkan oleh Islam, seperti: ijab, qabul, saksi dan wali, hanya saja laki-laki mensyaratkan kepada perempuan untuk menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut hak-haknya yang berhubungan dengan tanggungan laki-laki sebagai suaminya. Contoh persyaratan-persyaratan yang dinyatakan dan diterima oleh istri adalah suami boleh melakukan perkawinan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan istri, sementara dia tidak menthalaq istrinya dan suami tidak tertuntut untuk memberikan nafkah, atau menyediakan tempat tinggal yang layak baginya, sementara istri berdiam di rumah orang tuanya, perkawinan ini dilaksanakan di rumah orang tuanya yang
29
menyepakati hal tersebut, pada saat sang suami berkunjung ke daerah atau kota tempat tinggal istri, sang suami mempunyai hak untuk berdiam bersamanya dan berinteraksi sebagaimana layaknya suami istri selama tinggal di daerah tersebut. Pada posisi ini perempuan, yang nota bene adalah seorang istri tidak berhak mensyaratkan kepada suami untuk tinggal lebih dari waktu yang diinginkannya, atau meminta hak-hak seperti istri lain. 3. Nikah Mut’ah Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang lakilaki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, disebut dalam akad sampai pada batas waktu yang telah ditentukan19, nikah mut’ah merupakan perkawinan yang bersifat sementara atau perkawinan yang mempunyai jangka waktu, seperti kawin satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya.20 Nikah seperti ini tidak memerlukan wali dan saksi, dan wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dengan pria calon suaminya.21 Pernikahan semacam ini merupakan suatu bentuk perkawinan terlarang yang dijalani dalam tenpo yang singkat untuk mendapatkan perolehan yang ditetapkan. Mut’ah diperkenankan pada masa awal pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara lengkap. Mut’ah diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu seseorang melakukan perjalanan atau ketika orang-orang sedang 19
Ja’far Murthada Al-Amili, Nikah Mut‟ah Dalam Islam, (Kajian Ilmiah Dari Berbagai Mazhab), alih bahasa Abu Muhammad Jawad, (Jakarta: Yayasan As-sajjad, 1992), h. 17 20 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah....h. 57 21 Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003, cet ke-I), h. 52
30
bertempur melawan musuh. Alasan mengapa diperkenankan adalah bahwa orang-orang yang baru memeluk Islam tengah mulai masa transisi dari Jahiliyah menuju Islam. pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal yang sangat wajar sehingga tidak dianggap suatu dosa. Diperkenankannya nikah mut’ah pada masa terdahulu karena orang-orang yang berjuang di medan tempur belum mempunyai keteguhan iman dan mencoba melakukan zina semasa perang itu. Sedangkan yang kuat imannya menahan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa nafsunya.22 Setelah syariat Islam mencapai kesempurnaan, maka mut’ah pun diharamkan. Izin sementara keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi SAW itu segera diharamkan setelah pembukaan kota Mekkah, dan diharamkan untuk selama-lamanya.
22
Abdurrahman I, Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam. h. 59
BAB III FENOMENA NIKAH MISYAR A. Defenisi Nikah Misyar Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab نكاحyang merupakan bentuk masdar dari fiil madhi نكحyang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti kawin, menikah.1 Sedangkan kata misyar berasal dari bahasa Arab سارyang merupakan bentuk isim alat dari kata سارyang artinya perjalanan.2 Pengertian misyar menurut istilah, sepengetahuan penulis belum ada yang membahasnya. Pengertian misyar ini hanya ditemukan dalam kitab Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, karangan Yusuf Qardawi, yang mendefenisikan misyar yaitu singgah atau melewati (suatu wilayah atau negeri tertentu) dan tidak menetap dalam waktu yang lama.3
4
“Yaitu pernikahan dimana seseorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri lain di rumah yang dinafkahinya.”
1
Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, hlm. 1943 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Jogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krepyak, 1998, hlm. 504 3 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005, hlm. 25 4 Yusuf Qardawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 21 2
31
32
Perkawinan misyar telah dipraktekan di Arab Saudi dan Mesir. Dan telah diresmikan di Arab Saudi melalui fatwa yang telah dikeluarkan oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baz, dan diresmikan sementara di Mesir oleh Mufti Mesir Syeikh Muhammad Sayyed Tantawi pada tahun 1999.5 Perkawinan misyar adalah sebuah ijtihad yang unik. Perkawinan misyar dikategorikan sebagai hubungan perkawinan resmi (terpenuhi syarat dan rukun nikah) antara laki-laki dan perempuan yang mana mereka tidak tinggal bersama, dan dimana pihak laki-laki tidak bertanggung jawab secara finansial terhadap pasangan misyarnya. Rukun pertama akad nikah adalah ijab dan qabul (serah terima) dari orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Kedua terpenuhi syiar dan pemberitahuan tentang pernikahan, sehingga bisa dibedakan dengan perbuatan zina dan hubungan dengan wanita simpanan (gundik) yang biasanya dilakukan secara tersembunyi. Adapun batas minimal dari pemberitaan yang dianjurkan syara’ menurut tiga madzhab terkemuka Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah terdapatnya saksi dan hadirnya seorang wali. Ketiga, perkawinan tersebut tidak dibatasi dengan waktu tertentu, namun laki-laki dan wanita harus menanamkan niat untuk terus melanjutkan ikatan perkawinan. Keempat, pemberian mahar (mas kawin) sang suami terhadap istri, banyak sedikit meski setelah itu istri memberi keringanan sebagian atau keseluruhan dari mas kawin suaminya, jika ia rela dengan hal itu. Sebagaimana Allah berfirman:
5
http:// www. Myquran.org/forum/achive/index.php/t.9675.html 17 Juli 2011
33
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (Q.S An-Nisa: 4) Bahkan seandainya seorang perempuan dinikahi dengan tanpa menyebutkan mahar, maka akad tersebut sah, dan perempuan tersebut berhak memperoleh mahar mitsli.6 Jika telah terdapat emapat perkara tersebut, yaitu ijab dan qabul dari yang memiliki hak, pemberitaan meski dikalangan terbatas, tidak adanya pembatasan waktu, dan mas kawin meskipun setelah itu sang istri memberi keringan. Maka secara syar’i sahlah pernikahan tersebut. Namun keringan hak tersebut tidak berlaku dalam hal hubungan biologis, yang tidak boleh disyaratkan dalam akad, karena hal itu merupakan syarat yang menafikan maksud dari suatu akad, sehingga membatalkan akad nikah itu sendiri.7 Para ahli fiqh tidak mempunyai alasan untuk membatalkan akad (ikatan) perkawinan semacam ini (kawin misyar) yang telah memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan. Maka kedua suami istri harus menghormati syarat-syarat yang sudah disepakati itu semua adalah bagian dari janji yang harus ditepati sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 6
Mahar mitsil adalah mahar yang disesuaikan dengan umur si perempuan, kecantikannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya, kegadisannya dan ukuran lain yang menyebabkan perbedaan maskawin. H.A.S Al-Hamdani, Risalah Nikah, ter. Agus Salim “Hukum Perkawinan” Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hlm. 138 7 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 29
34
Namun sebagian ulama fiqh berpendapat bahwa syarat-syarat semacam itu tidak mengikat, artinya, akad (ikatan pernikahan) tetap sah sekalipun syaratnya batal. Selain dikemukakan Imam Abu Hanifah dan disinggung dalam riwayat Imam Ahamd, pendapat itu pulalah yang terpilih dalam kitab al-Mugni’ dan lainnya. Disebutkan pula jenis syarat yang kedua, yaitu: masalah tidak adanya maskawin dan nafkah, atau berlaku tidak adil (memberikan bagian yang telah banyak atau sedikit) kepada salah satu istri. Maka syarat seperti itu bathil (tidak sah), namun perkawinan tetap sah. Syeikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) berkomentar “Persyaratan untuk tidak memberi nafkah tetapi menjadikan sahnya ikatan perkawinan”. Syeikhul Islam berkata pula: “Lebih-lebih jika sang suami mengalami kesulitan dalam memberikan nafkah materi dan si istri merasa rela keadaan ini. Maka si istri tidak memiliki alasan untuk menuntutnya setelah itu. Dan Ibnu Taimiyah lebih memiliki pendapat yang menyatakan rusaknya (tidak sah) akad pernikahan, jika masyarakat untuk tidak memberikan maskawin. Pendapat ini banyak diyakini oleh ulama salaf (terdahulu). Ia juga memiliki pendapat yang menyebutkan tetapi sahnya ikatan perkawinan jika terdapat persyaratn untuk tidak berhubungan biologis, karena syarat seperti ini identik dengan syarat untuk mengabaikan apa yang mesti diperoleh dalam pernikahan.8
8
Lihat al-inshaf Rajih Minal Khilaf, Jilid 8, hlm. 165-166
35
B. Seputar Nikah Misyar Rukun kawin misyar adalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Disamping itu ijab dan qabul diharapkan dapat diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara kawin yang dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap. Dalam hal pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai, agama telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang saksi dan wali (menurut pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad). Yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa perkawinan tidak boleh dibatasi dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai niat untuk melanggengkan pernikahan mereka. Kemudian seorang laki-laki harus membayar mas kawin, baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit, meskipun setelah maskawin tersebut diserahkan kepada calon istrinya, boleh si istri tanazul’ menyerahkan kembali sebagian dari maskawin itu atau bahkan keseleruhannya, sesuai dengan firman Allah SWT.
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ 4: 4) Apabila ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa memberikan mahar atau maskawin, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi wanita
36
tersebut mempunyai hak mahar misl (mahar yang disamakan).9 Dan setelah terpenuhinya empat perkara diatas, ijab dan qabul yang dilakukan oleh kedua mempelai, adanya pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai agar perkawinan tersebut diketahui oleh orang banyak atau hanya diketahui oleh khalayak secara terbatas, perkawinan itu tidak dibatasi masanya, dan terpenuhinya mahar, yang meskipun setelah akad si istri mengembalikannya maka nikah tersebut menurut syara dianggap sah. Adapun ketika dilaksanakannya akad nikah seorang wanita memberikan keringanan, yaitu tidak meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama, syarat seperti ini tidak boleh ketika akad karena dapat menghilangkan tujuan dilaksanakannya nikah maka akad tersebut adalah batal. Menurut Yusuf Qardawi seorang ahli agama tidak mempunyai alasan untuk melarang seorang wanita yang melaksanakan perkawinan dengan model perkawinan ini (misyar), yaitu dengan melakukan tanazul dari sebagian hak-haknya, kalau niatnya benar-benar murni untuk kebaikan dirinya sendiri, karena dia (wanita tersebut) adalah orang yang lebih mengetahui mana yang terbaik bagi dirinya, dia adalah orang yang berakal, baligh, pandai yang mengetahui mana yang dapat mendatangkan menfaat dan mana yang dapat mendatangkan kerugiaan dan tidak masuk kedalam kategori orang yang harus dilindungi, seperti anak kecil, orang gila, dan orang bodoh. Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang rela untuk mengurangi haknya diantaranya adalah tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih 9
Yaitu mahar yang menjadi hak seseorang wanita ketika terjadi pisah antara dia dan suaminya. Dan, besarnya mahar ini disamakan dengan mahar yang diperoleh oleh seorang wanita yang sedarajat dengannya
37
bermanfaat bagi dirinya, seperti yang dilakukan oleh salah satu istri Rasulullah Saw. Yaitu Saudah binti Zam’ah. Ia adalah istri pertama yang dinikahi Rasulullah Saw setelah Khadijah r.a. Saudah r.a. adalah perempuan yang sudah tua, dia merasa bahwa Nabi Saw. Tidak akan memperlakukannya dengan mesra, sebagiamana sebelumnya. Ia sangat khawatir kalau Nabi Saw. Menceraikannya, predikatnya sebagai Ummul Mukminin akan hilang. Ia juga takut, kalau nantinya setelah hari pembalasan, tidak bisa mendampingi (menjadi istri) Rasulullah Saw di surga. Untuk itu, ia cepat-cepat memberikan tanazul (keringanan) untuk Nabi Saw. Dan diberikannya hak tersebut kepada istri Rasulullah Saw yang lain, yaitu Aisyah r.a. dengan adanya keringanan ini, Rasulullah Saw sangat berterima kasih dan menepatkan saudah r.a pada tempat yang sesuai dengan firman Allah SWT.
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka,,,” (QS.an-Nisa’ 4:128) Yusuf Qardawi menekankan lebih setuju kalau tanazul ini tidak disebutkan dalam akad, cukup antara kedua belah pihak saling mengerti dan saling memahami dengan sendirinya, walaupun jika tanazul tersebut disebutkan dalam akad, hal ini tidak membatalkan akad. Menurutnya
38
memenuhi syarat-syarat adalah sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak layak dilakukan, tetapi apabila sudah terlanjur maka akadnya tetap sah dan hanya syarat-syarat yang batal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah diriwayatkan dari Imam Ahamad dalam kitab al-Muqni’ dan lainnya. Menurutnya, ada bentuk syarat lain, yaitu agar suami tidak perlu memberikan mahar dan nafkah atau dia tidak meminta bagian lebih dibanding istri lain (bagian lebih banyak atau sedikit). Syarat seperti ini batal akan tetapi nikahnya tetap sah. Ibnu Aqil berkata dalam kitab Mufrodat-nya: Abu Bakar menyebutkan bahwa akad yang di dalamnya disebutkan syaratsyarat untuk tidak bersenggama, tidak memberikan nafkah atau apabila keduanya pisah, maka apa yang telah dinafkahkan suami akan diambil kembali masih tetap dianggap sah...10 Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) mempunyai pendapat tentang sahnya syarat untuk tidak memberi nafkah. Ia berkata, “seumpama seorang suami kesulitan ekonomi dan sang istri menerima hal itu, maka sang istri tidak mempunyai hak untuk diberi nafkah”11 ia mengatakan bahwa akad akan batal jika dalam akad disyaratkan untuk tidak membayar mahar. Pendapat ini merupakan kesepakatan sebagian besar ulama salaf.
10 11
Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 11 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 12
39
Ketika mereka (wanita-wanita yang tidak bersuami) mendapati model kawin misyar adalah salah satu solusi tentunya dengan memilih laki-laki yang betul-betul baik budi pekertinya dan mereka sudah sama-sama ridha.
C. Prinsip dan Tujuan Pernikahan Misyar 1. Prinsip Dalam Perkawinan Misyar Ada beberapa prinsip perkawinan menurut hukum Islam, yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan. Pada hakekatnya, nikah misyar tidak jauh berbeda dengan nikah biasa, artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan rukun dari nikah biasa terdapat pula pada pernikahan misyar. Sehingga prinsip-prinsip perkawinan misyar dengan pernikahan dalam Islam, yaitu: a. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama Bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa tuhan melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya merupakan dari ajaran agama-agama mengatur perkawinan itu, memberi batasan dan rukun dan syarat-syarat yang perlu. Apabila rukun dan syarat tidak terpenuhi, batal atau fasidlah perkawinan itu. Dengan demikian dalam perkawinan misyar ada ketentuan lain disamping rukun dan syarat, seperti harus ada mahar dalam perkawinan dan juga harus ada kemampuan. Selain itu untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam
40
perbuatan zina, sudah menjadi kodrat iradat Allah. Manusia diciptakan berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah mempunyai keinginan untuk berhubungan antara laki-laki dan perempuan artinya dalam hal ini saling memerlukan satu sama lainnya.12 b. Kerelaan dan persetujuan Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan pernikahan ialah “Ikhtiyar” (tidak dipaksa) pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon istri dan suami atau persetujuan mereka.13 Prinsip hakiki dari suatu perkawinan adalah ada kerelaan kedua calon sumi dan istri. Karena kerelaan itu merupakan urusan hati yang tidak diketahui oleh orang lain, maka perlu adanya ungkapan konkrit yang menunjukkan ijab dan qabul. Ijab merupakan lambang kerelaan dari perempuan untuk menyerahkan diri sebagai istri dari laki-laki calon suminya. Sedangkan kabul sebagai lambang kerelaan laki-laki untuk mempersunting dan menjadikan perempuan itu sebagai istrinya.14 Prinsip kerelaan ini dalam perkawinan misyar merupakan unsur yang utama untuk melaksanakan perkawinan ini. Dimana kerelaan sang istri yang disadari dari sikap mengalah istri untuk tidak diberikan hak nafkah dari suami berupa materi. 12
Abd. al-Muhaimin As’ad, Risalah Nikah Penuntun perkawinan, Surabaya: Bulan Terang, 1993, cet. I, hlm. 33 13 Abd. Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 120 14 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 303
41
c. Perkawinan untuk selamanya Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan antara cinta serta kasih sayang. Kesemuanya ini dapat di capai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Itulah prinsip perkawinan dalam Islam yang harus atas dasar kerelaan hati dan sebelumnya yang bersangkutan. Telah melihat terlebih dahulu sehingga nantinya tidak menyesal setelah melangsungkan perkawinan dan dengan melihat dan mengetahui lebih dahulu akan dapat mengekalkan persetujuan antara suami dan istri.15 2. Tujuan Perkawinan Misyar a. Untuk menambah Keturunan Seperti yang diungkapkan bahwa naluri manusia memmpunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak keturanan yang diakui oleh dirinya sendiri, agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dapat dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa.
15
Dirjen Bimbingan Islam Depag, hlm. 70-73
42
Sebagaimana dalam firman Allah SWT surah al-Furqan 74
dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami)... (Q.S al-Furqan: 74) Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia, bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang shaleh. b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana digambarkan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 187
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka... (Q.S al-Baqarah: 187) Di samping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih saying di kalangan pria dan wanita. Penyaluran cinta dan kasih saying yang di luar perkawinan tidak
43
menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Satusatunya norma ialah yang ada pada dirinya masing-masing, sedangkan masing-masing orang mempunyai kebebasan. Perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih saying secara harmonis c. Memelihara diri dari perbuatan zina Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan dalam dirinya dengan melakukan perbuatan zina, karena menusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana terdapat dalam Firman Allah SWT surat Yusuf ayat 53:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan...” (Q.S Yusuf 53) Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah menyalurkannya
dengan
baik,
yakni
dengan
cara
perkawinan.
Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.
44
Dalam hal ini sebagaimana hadits Nabi SAW:
“…Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan…” (HR. Bukhari dan Muslim). d. Mewujudkan kerjasama dan keserasian hidup antara lelaki dan wanita untuk kehidupan berumah tangga. Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit terkecil yaitu keluarga yang terbentuk melalui perkawinan. Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketenteraman untuk dicapai dengan adanya ketenangan dan ketenteraman bagian masyarakat menjadi factor yang terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketenteraman. Dalam hal ini keberhasilan pembinaan yang harmonis diciptakan oleh adanya kesadaran terhadap keluarga. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami dan istri dalam membentuk ketenangan dan ketenteraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang. Demikian diungkapkan dalam al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S Ar-Rum: 21)
45
Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera, penuh dengan keamanan dan ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa menentramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah. D. Alasan-alasan Dalam Perkawinan Misyar Sejalan dengan perkebangan zaman, muncullah bentuk perkawinan misyar, perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius dalam beberapa negara Islam pada akhir-akhir ini, disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal usul perkawinan ini telah ada pada orang-orang terdahulu.16 Yusuf Qardawi mengartikan kawin misyar yaitu: Dari pengertian di atas dapat disipulkan bahwa kawin misyar ini mengarah kepada pemberian keringanan terhadap suami dari kewajiban memenuhi tempat tinggal, nafkah dan persamaan bagian antara istri kedua dan istri yang pertama, yang didasari dari sikap mengalah istri kedua. Istri yang terakhir ini hanya menginginkan keberadaan laki-laki yang biasa menjaga dan memelihara (dari kebutuhan biologis) dengan mengasihinya. Meskipun dia tidak memberikan kewajiban pemenuhan materi dan tanggung jawab secara maksimal. Namun, pemberian keringanan ini tidak menutup pada suami yang beristri satu. 16
Syakir, Muhammad Fuad, Perkawinan Terlarang, (Jakarta : Cendikia Centra Muslim, 2002) hlm. 17
46
Nikah semaca ini bukanlah tipe nikah yang dianjurkan Islam, tetapi nikah diperbolehkan karena adanya desakan kebutuhan, imbas dan perkebangan masyarakat dank arena berubahnya keadaan zaman, dengan catatan akad nikahnya harus dilaksanakan karena kalau akad samapai ditiadakan maka nikahnya batal. Dengan demikian kawin misyar menurutnya tidak diharamkan, karena tujuannya untuk menghormati dan mensucikan wanita, dan juga mempertimbangkan kemashlahatan dan kerugiannya, manfaat dan mudaratnya. Alasan Yusuf Qardawi memperbolehkannya perkawinan ini, dia menganggap bahwa di era sekarang ini, rintangan perkawinan sangat beragam, yang sebagian besar muncul dari diri wanita itu sendiri. Dari sini kemudian bermunculan kaum awanis, yaitu: a. Wanita-wanita yang melajang usia tua, yang telah lewat masa untuk melangsungkan perkawinan. b. Wanita-wanita yang masih hidup dengan orang tua mereka, dan tidak mampu memenuhi fitrah dalam membangun sebuah keluarga dan menjadi seorang ibu. c. Wanita-wanita yang mengalami perceraian, fenomena ini sangat banyak sekali. d. Janda yang ditinggal mati oleh suaminya sendirian atau bersama dengan harta yang melimpah ruah. e. Wanita-wanita karier, berkarya dan bekerja sendiri, seperti guru, instruktur, dokter, apoteker, pengacara atau profesi lainnya yang berpenghasilan tetap.
47
Dengan adanya kaum awanis tersebut di atas, maka mereka semuanya tidak menuntut hak materi dari suaminya. Dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah kawin misyar.17 Mereka mau melakukan perkawinan ini berdasarkan niatnya yang benar-benar murni untuk kebaikan dirinya sendiri, karena dia (wanita tersebut) adalah orang yang lebih mengetahui mana yang terbaik bagi dirinya, dia adalah orang yang berakal, baligh, pandai yang mengetahui mana yang dapat mendatangkan kerugian dan tidak masuk dalam kategori orang yang harus dilindungi, seperti anak kecil, orang gila dan orang bodoh. Dari alasan di atas dapat diketahui bahwa kawin misyar pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan zina.18 Seperti halnya kaum awanis yang merupakan wanita-wanita dari segi materi sudah berkecukupan sehingga tidak menuntut hak materi dari suaminya, dimana perkawinan bagi mereka yang terpenting adalah status hukum bagi kaum awanis bila ditinjau dari hukum perkawinan adalah wajib.19
17
Yusuf Qardawi, “Al-Fatwa al-Muassirah”, Terj. Muhammad Ihsan, Masalah-malasah Islam,,,hlm. 397 18 Mengenai tujuan perkawinan ini terdapat beberapa rumusan dari kalangan ulama, namun pada intinya yaitu untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT; untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan zina dan melangsungkan keturunan. Lihat Dirjen Bimbingan Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, jilid 2, hlm. 64-69 19 Melangsungkan perkawinan hukumnya wajib artinya bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dikhawitarkan akan tergelincirnya pada perbuatan zina seandainya ia tidak kawin, maka hokum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Lihat Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, hlm. 49
BAB IV NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM A. Kontroversi Pendapat Mengenai Nikah Misyar 1.
Pendapat Ulama Yang Mendukung Nikah Misyar Menurut Yusuf Qardawi dan Dr. Wahbah Zuhaili secara hukum nikah Misyar sah adanya, karena memenuhi semua rukun dan syarat nikah yang sah. Dimana ada ijab qabul, saling meridhai antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua mempelai sepadan, ada mahar yang disepakati. Setelah akad nikah keduanya resmi menjadi suami isteri. Suami isteri yang dikemudian hari punya hak. Hak keturunan, hak waris, hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak biaya hidup, dll. Yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami isteri. Hanya saja, keduanya saling meridhai dan sepakat, bahwa tidak ada hak suami tinggal bersama isterinya, hak berbagi hari giliran. Sebab semuanya tergantung kepada suami. Kapan saja suami mau menziarahi isterinnya. Pendapat ini mengambil sebuah hadits sebagai dalil sahnya nikah misyar. Yaitu hadits tentang bolehnya istri menggurkan hak hari gilirannya kepada istri lainnya.
Dari „Aisyah r.a bahwa Saudah binti Zam‟ah memberikan hari gilirannya kepada „Aisyah, lalu Nabi Saw memberikan dua hari giliran kepada „Aisyah, yaitu sehari yang memang hak Aisyah dan sehari hadiah dari Saudah. (HR. Muslim) 48
49
Tanpa diragukan lagi, bahwa nikah misyar menjadi solusi untuk menimalisir perawan-perawan tua yang telah lewat masa nikah. Dalam hal ini, pernikahan misyar kewajiban dialihkan kepada istri yang berkewajiban menafkahi suami. Karena si istri tidak menuntut apapun dari suami, ia dianggap lebih mapan. Selain tidak datang dalam beberapa hari dalam seminggu atau bahkan sebulan sekali, suami hanya datang untuk memenuhi kebutuhan biologis sang istri bahkan sebaliknya, kebutuhan suami yang dipenuhi istri. 2.
Pendapat Ulama Yang Menentang Nikah Misyar Meskipun ada ulama yang mendukung pernikahan misyar tersebut dan ada juga para ulama yang menentang keras perkawinan ini. Menurut Syeikh Muhammad Nashir Albani, Dr. Qurah Dagi dan Muhammad Zuhaili, menentang dilangsungkannya pernikahan ini mengatakan bahwa pernikahan semacam ini tidak bisa memenuhi tujuan dilaksanakannya kawin secara syara’.Karena pernikahan semacam ini hanya merupakan pelampiasan nafsu dan sebatas mencari kesenangan. Dalam Islam pernikahan memiliki tujuan lebih dari itu.Pernikahan dijadikan wahana agar spesies manusia terjaga, sebagai serana untuk mencari ketenangan serta sebagai tempat saling mengasihi dan menyayangi. Para ulama penentang kawin misyar lebih mengkhatirkan dampak negatif terhadap kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat apalagi kalau sampai memiliki keturunan, si anak tidak bisa merasakan keutuhan sebuah rumah tangga penyebabnya mayoritas perkawinan ini tidak diikuti
50
dengan isyar (pemberitahuan kepada khalayak umum) perkawinan ini bersifat diam. Perkawinan bukan hanya sebatas halalnya hubungan biologis tapi ada konsekwensi sosial yang harus di tanggung, Syeikh Ahmad Abdullah al-Quraisy mengatakan “dengan nikah kita juga akan terhalang dari fitnah, tapi nikah misyar hanya menimbulkan fitnah baru”.1 Syeikh Utaimah mengatakan pada bagian pernyataan pada sebagian pernyataannya, bahwa kawin misyar mungkin sah tapi tidak bermoral. Menurutnya kawin misyar bahkan dipertimbangkan sebagai hal yang haram karena perkawinan tersebut berlawanan dengan tujuan perkawinan. Ia menambahkan pentingnya dampak sosial dari perkawinan tersebut khususnya terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan ini, yang mana dia akan terus ditinggal oleh ayahnya tanpa alasan situasi tersebut menjadi lebih buruk apabila istrinya tidak diakui oleh suaminya. Awalnya dia membolehkan kawin misyar tapi pertimbangan berubah karena sekarang perkawinan misyar beralih pada perdagangan nyata yang dipasarkan dalam skala besar oleh biro pernikahan yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan dalam Islam yang ada. Kritik dari perkawinan ini adalah apabila istri menjadi terlantar apabila terjadi perceraian bahkan reputasinya akan jelek. Menurut pendukung kawin misyar walaupun mereka mengetahui akan akibat-akibat diatas, bukan
1
http://en.wikipedia,org/wiki/misyar marriage (20 Juli 2011)
51
masalah bagi mereka, akan tetapi dari segi apa orang-orang menerapkan syari’at tersebut. Menurut analisa penulis menguatkan pendapat yang mengatakan dilarangnya nikah misyar. Sebab dalalm hal ini dalil yang digunakan oleh pendapat yang mendukung nikah misyar tidak sesuai. Dimana Siti Saudah nikah secara normal dengan Rasulullah SAW tanpa ada syarat terlebih dahulu atau bersamaan dengan akad nikah untuk menggugurkan hak gilirannya. Oleh karena itu, hak gilirannya adalah mutlak menjadi miliknya. Karena itu adalah miliknya, maka dia berhak berhak menghadiahkannya. Sebagaimana hak mahar, boleh juga dihadiahkan seluruhnya atau sebagian kepada suami. Sebagaimana firman Allah Surah An-Nisa ayat: 4
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. Juga alasan yang diutarakan yang membolehkan nikah misyar untuk meminimalisir perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit jumlahnya. Maka solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua miskin yang jumlahnya lebih banyak lagi.
52
B. Nikah Misyar Menurut Pandangan Hukum Islam Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita.2 Apabila telah berlangsung suatu perkawinan dengan memenuhi rukun dan syaratnya maka menurut para ahli fikih suami wajib memberi nafkah untuk istrinya berdasarkan firman Allah SWT surat At-Thalaq ayat 7:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (at-Thalaq : 7/65:7) Begitu juga diatur dalam surat al-Baqarah ayat 233
Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf….(al-Baqarah : 233/02:7)3 Maksud Al-Maulud dalam ayat diatas adalah ayah, ar-rizq maksudnya adalah makanan secukupnya, Kiswa artinya pakaian, sedangkan kata alMa‟ruf artinya yang dikenal menurut pengertian syara’, tidak terlampau kikir
2 3
Surojo Wignjodipura, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, h. 122 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 416
53
dan tidak berlebih-lebihan.4 Mengenai pemberian nafkah dalam al-Qur’an ditegaskan sebagai berikut:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (an-Nisa’ : 4) Demikianlah nas al-Qur’an di atas menunjukkan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri. Sebagaimana dikutip Shalahuddin Shulthan bahwa Ibnu Qudamah berkata: dalam hal ini para ahli ilmu sepakat tentang kewajiban para suami untuk menafkahi istri-istrinya.Maksudnya adalah pemberian nafkah kepada istri terikat dengan kondisi dari kedua adalah orang-orang yang sempit (kurang berada), maka wajib kepada para suami untuk memberikan nafkah layaknya orang yang sempit.Dan apabila keduanya termasuk orang-orang yang biasa-biasa saja (menengah), maka wajib memberikan nafkah layaknya orang-orang menengah. Begitu juga, jika salah satunya merupakan orang yang lapang, dan yang lain adalah orang yang sempit.5 Sedangkan menurut hadits Muttafaqun alaih
4 5
78-79
H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) h. 145 Shalahuddin Sulthan, Keistimewaan Wanita atas Pria dalam Warisan dan Nafkah, h.
54
6
Dari Aisyah r.a ia berkata : “Hindun binti Utbah isteri Abu Sufyan datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata : “ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan lelaki yang kikir, tidak memberi aku nafkah yang cukup untuk aku dan anak-anakku kecuali aku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah demikian aku mendapatkan dosa ? Rasulullah bersabda : Ambillah hartanya dengan baik yang cukup untukmu dan anakanakmu.” Hadits Muttafaq alaihi. Hadist ini menerangkan suami wajib memberikan nafkah istri dan anakanaknya dengan cukup, walaupun anak itu sudah besar. Beberapa kenyataan penting tentang kelebihan laki-laki dibanding perempuan, yakni laki-laki bertanggung jawab atas seluruh kehidupan perempuan antara lain: a. Hingga mencapai dewasa, perempuan menjadi tanggung jawab ayahnya, atau orang lain yang bertindak yang menjadi walinya. Jika setelah dewasa ia dapat memperoleh penghasilan sendiri, barulah ia membiayai dirinya sendiri. Tetapi tidak, maka ayah dan walinya yang wajib menanggung kehidupannya. b. Dalam suatu perkawinan seorang perempuan tidak sama sekali dibebani suatu kewajiban memberi mas kawin.
6
Abu Abdullah bin Ismail, Shahih Bukhari, (Bairut: Daar al-Fiqr, t.th) juz. IV, h. 56
55
c. Seorang perempuan apabila telah bersuami, seluruh kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab suaminya, walaupun ia seorang perempuan kaya. d. Prialah yang menanggung seluruh kebutuhan keluarga, prialah yang dituntut untuk menyediakan tempat tinggal dan memikul seluruh biaya yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Pemberian nafkah adalah kewajiban suami, misalnya menyediakan tempat tinggal terpisah. Dalam KHI dijelaskan pula tentang kewajiban nafkah dalam pasal 80 diantaranya ayat 4 yang berbunyi: Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah kiswah dan tempat kediaman bagi istri b. Biaya rumah tangga dan perawatan serta biaya pengobatan bagi istri dan anak. c. Biaya pendidikan anak. Selain hak yang sama dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, ada hak yang khusus dimiliki kaum perempuan, hal ini merupakan kutipan deklarasi Islam universal tentang hak asasi manusia yang disusun berdasarkan alQur’an dan hadist oleh dewan Islam pada tahun 1981, sebagaimana dikutip dari bukunya Lily Zakiah Munir yang menyebutkan bahwa setiap wanita bila telah menikah berhak atas: a. Berdiam di rumah tempat suaminya tinggal. b. Menerima penghasilan yang diperlukan untuk menjaga standar kehidupan yang tidak lebih rendah dari pasangannya.
56
c. Berusaha dan memperoleh pemutusan perkawinan (khulu‟) sesuai dengan syarat-syarat hukum. d. Memperoleh warisan dari suami, orang tua, anak-anak dan keluarga lainnya sesuai dengan hukum. Dari uraian di atas mengindikasikan bahwa betapa urgennya kewajiban suami terhadap nafkah istrinya, kemudian bila dikaitkan dengan nikah misyar dimana terhadap keringanan kewajiban suami dalam memberikan nafkah, atau dengan kata lain kerelaan istri melepaskan sebagian haknya dari suami, apakah dibolehkan menurut hukum Islam. Menurut penelusuran teratur, penulis tidak menemukan pembahasan tentang keringanan kewajiban dalam memberikan nafkah secara rinci sebagaimana yang terdapat dalam nikah misyar. Sedangka dalam al-Qur’an disebutkan:
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.(at-Thalaq: 6:65) Dalam ayat al-Qur’an di atas memberikan gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut, dengan arti yang cukup untuk keperluan istri dan sesuai pula dengan penghasilan suami.Sedangkan jumlah nafkah yang diberikan itu hendaklah sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan suami, apalagi menimbulkan mudharat baginya.Berdasarkan ayat tersebut, para ulama mazdhab berbeda pendapat mengenai tolak ukur pemberian nafkah kepada istri. Hambali dan Maliki mengatakan apabila
57
keadaan suami istri berbeda, yang satu kaya dan yang satunya miskin, maka yang besarnya nafkah yang ditentukan adalah tengah-tengah kedua hal itu. Sedangkan Syafi’i dan Imamiyah mengatakan nafkah diukur berdasarkan kaya miskinnya ssuami, tanpa melihat keadaan istri.7 Sedangkan dalam kawin misyar, dimana suami diberi keringanan dalam memberikan nafkah kepada istri, dan hal itu tidak melihat keadaan suami apakah dia orang kaya atau orang miskin. Oleh karena itu, kawin misyar merupakan fenomena baru dalam hukum perkawinan, baik modelnya maupun subtansinya, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dalam kalangan saat ini. Penyediaan tempat kediaman juga merupakan hal yang penting sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat at-Talaq ayat 6 yang berbunyi:
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.(at-Thalaq : 6/65/6) Begitu juga penyediaan tempat tinggal telah diatur dalam KHI pada pasal 81 ayat 4 yang berbunyi: Ayat 4 : suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya baik berupa perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
7
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Juz 4, h. 422-433
58
Berbeda dengan nikah misyar yang difatwakan Yusuf Qardawi dalam defenisinya:
Yaitu pernikahan dimana seorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri lain di rumah yang dinafkahinya. Pokok dalam pernikahan tersebut adalah kerelaan istri untuk tidak memberikan tempat tinggal padahal tempat tinggal merupakan hal yang penting selain nafkah agar tercapainya tujuan perkawinan itu sendiri yakni mawaddah wa rahmah. Dalam pernikahan misyar pula tidak ditegaskan adanya izin dari pihak istri sehingga perkawinan seakan dirahasiakan. Hal ini bertentangan dengan KHI pasal 56 ayat 1 yang berbunyi: bahwa seorang suami harus mendapatkan izin dari pengadilan, yang secara implisit memiliki arti bahwa seorang suami harus mendapat izin dari sang istri. kawin misyar yang bersifat dirahasiakan ini bertentangan dengan alQur’an surat al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.dan
59
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar (alBaqarah: 282) Ayat diatas berbicara masalah jual beli namun kalau kita kiaskan terhadap pernikahan terhadap persamaan yaitu sama-sama dalam bidang muamalah, jual beli ditulis agar tidak terjadi perselisihan di akhirnya begitu juga pernikahan yang merupakan mitsaqan ghaliza. Agar tercapainya mawaddah wa rahmah. Secara garis besar tujuan dalam suatu pernikahan misyar menurut penulis bukan seperti tujuan perkawinan dalam Islam. Yang mana tujuannya adalah bukan menjalin kekeluargaan dan membina keluarga tetapi murni hubungan seksual dan ia termasuk kategori perkawinan yang tidak resmi meskipun tidak haram. Namun pernikahan ini tidak bisa mewujudkan mawaddah wa rahmah. Karena seorang suami menggaulinya sebentar satu bulan sekali atau dua bulan sekali lalu ia pergi menikmati perempuan lain atau dia hanya menggunakan perempuan tersebut untuk tidak mendapatkan keturunan sehingga tidak ada unsur tanggung jawab, dan sebenarnya dalam hal ini terjadi penyimpangan dari maksud Allah SWT dalam mensyariatkan suatu pernikahan. Dari sini penulis menyimpulkan bahwa pernikahan yang difatwakan Yusuf Qardawi lebih banyak mengarah kepada faktor pemenuhan seksualitas belaka dan lebih banyak mendatangkan madharat dari pada maslahah.Maka pernikahan model misyar lebih baik ditinggalkan karena mendatangkan kerusakan sebagaimana dalam kaidah fiqh ditegaskan.
60
8
“Menolak segala bentuk kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kebaikan”. Hal ini penulis memaparkan karena pokok-pokok dari pernikahan misyar itu tidak sesuai dengan tujuan perkawinan Islam.Yang pertama, tidak adanya nafkah yang bertentangan dengan surat at-Talaq ayat 7 dan surat al-Baqarah ayat 233 begitu pula hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang kewajiban nafkah kepada istri begitu juga dalam KHI pada pasal 80 ayat 4. Yang kedua, pernikahan misyar ini pun tidak dicatatkan yang mana bertentangan dengan surat al-Baqarah ayat 282 dan KHI pasal 5 ayat 1. Yang ketiga, dalam pernikahan misyar pula seorang suami tidak memiliki kewajiban untuk memberikan tempat tinggal bagi sang istri, yang mana hal ini merupakan inti dari pernikahan misyar dan menurut penulis ini sangat bertentangan dengan al-Qur’an surat at-Talaq ayat 6 yang mewajibkan seorang suami menyediakan tempat tinggal. Dengan demikian dari hasil analisis penulis menyimpulkan bahwa menurut tinjauan hukum Islam pernikahan misyar tidak sah karena melanggar al-Qur’an dan hadits. Sudah jelas bahwa pernikahan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan hanya saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepadaNya.Tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan diantara keduanya.Namun demikian, karena tujuan pernikahan yang begitu mulia, 8
Harun nasrun, Ushul Fiqh I, (Jakarta, Logos Publishing House, 1996). h. 164
61
yaitu membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9 Dalam akhir penulis ini penulis memberikan sebuah catatan kecil mengenai kawin misyar ini. Perkawinan ini hanya merealisasikan standard yang paling rendah dari hubungan suami istri, dan menanggalkan nilai-nilai perkawinan serta kosong dari hakikat-hakikat yang sebenarnya dalam tujuan menciptakan keluarga idaman yang merupakan embrio dari masyarakat yang shaleh, yakni saling mengasuh keturunan dan membangun generasi yang baik dalam sebuah kasih sayang.
9
UU. No. I Tahun 1974, h. 96
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melalui telaah terhadap beberapa pembahasan menengenai Nikah Misyar Dalam Pandangan Hukum Islam, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan
kesimpulan
di
atas
bahwa
perkawinan
misyar
ini
bertentangan dengan sistem perkawinan yang ditawarkan oleh syari’at. Selain itu, ia sangat rentan menjadi pintu kebobrokan dan kerusakan. Karena ia menganggap remeh nilai mahar, suami tidak mengemban tanggung jawab keluarga. 2. Berdasarkan analisis hukum Islam disimpulkan bahwa kawin misyar tidak sesuai dengan tujuan perkawinan Islam karena terdapat penyimpangan didalamnya
sehingga
menjadikan
sulitnya
terwujud
mawaddah
warrahmah diantaranya: yang pertama, tidak adanya nafkah yang bertentangan dengan surat at-Talaq ayat 7 dan surat al-Baqarah ayat 233, begitu pula hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang kewajiban nafkah kepada istri begitu juga dalam KHI pada pasal 80 ayat 4. Yang kedua, kawin misyar ini pun tidak dicatatkan yang mana bertentangan dengan surat al-Baqarah ayat 282 dan KHI pasal 5 ayat 1. Yang ketiga, dalam kawin misyar pula seorang suami tidak memiliki kewajiban untuk memberikan tempat tinggal bagi istri yang mana hal ini merupakan inti dari kawin misyar yang mana hal ini sangat
62
63
bertentangan dengan Al-Qur’an surat at-Talaq ayat 6 yang mewajibkan seseorang menyediakan tempat tinggal.
B. Saran-saran 1. Agar dalam melakukan perkawinan didasarkan atas mencari ridho Allah SWT semata bukan hanya pelampiasan seksual saja, agar rumah tangga menjadi keluarga mampu mencapai tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu mawaddah warrahmah baik di dunia maupun diakherat. 2. Didalam era globalisasi zaman semakin canggih, untuk mengatasi pernikahan semacam ini (misyar) alangkah indahnya jika seorang suami istri mengindahkan komunikasi lewat telpon dan lain-lain terhadap keluarganya
walaupun
diantara
keduanya
berjauh-jauhan,
supaya
keharmonisan suami istri tetap terjalin. 3. Bagi umumnya kaum muslimin, agar berhati-hati dengan propaganda dari pihak yang menawarkan modal pernikahan ini, karena selain tidak memiliki konsekwensi hokum apapun bagi pihak pria, juga karena nikah ini merupakan praktek nikah mut’ah identik dengan praktek perzinahan, yang merupakan hubungan seksual atas nama agama.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta : Akademi Pressindo, 1992 Abud, Abdul Ghani, Masalah Keluarga, Bandung : Pustaka, 1979 Ahmad, Hady Mufaat, Fiqh Munakahat, Semarang : Duta Grafika, 1992 Al- Asqalani, Al-Hifizh bin Hajar, Bulughul Maram, terj. Muh. Rifa’i dan alQusyaini Misbah, Semarang : Wicaksana, t.th. Al-Hamdani, H.A.S, Risalah Nikah, terj. Agus Salim “Hukum Perkawinan” Jakarta : Pustaka Amani, 2002 Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002 Ali, Atabik dan Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta : Muti Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998. Al-Jaziri, Abd ar-Rahman, Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Juz 4, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr, tt Al-Malibary, Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu‟in. Surabaya : al-Hidayah, t.th Al-Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, Juz III, Beirut, Dar Kitab Ilmiah, 1992 An-Naisaburi, Imam Muslim Ibn Hajaj al-Khusairi, Shahih Muslim, Beirut Dar Kutub Ilmiah, tt Anwar, Moh, Fiqh Islam Muamalah, Munakahat, Faraid dan Jinayah, Bandung : Al-Ma’arif, 1971 As’ad, Abd al-Muhaimin, Risalah Nikah Penuntun Perkawinan, Surabaya : Bulan Terang, cet I, 1993 Dirjen Bimbingan Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, Jilid 2, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1995 Dahlan, Abdul Aziz ...et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 1996 Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta : Pranada Media, 2003 Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta : Yayasan Penerbit Psikologis UGM, cet X, 1980 Harun, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996
64
65
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002 Ismail, Didi Junaidi, Membina Rumah Tangga Islam di Bawah Ridho Illahi, Bandung : Pustaka Setia, 2008 Kartono, Kartini, Pengantar Metedologi Riset Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001 Muhalli, Mudjab, Menikahlah Engkau Menjadi kaya, Jogjakarta : Mitra Pustaka, 2001 Meleong, J. Lexy, Metedologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, cet. IV, 2006 Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993 Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhammad Jakarta : PT Lentera Basri Tama, cet VII, 2001 Munir, Lily Zakiyah, Memposisikan Kodrat (Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam), Bandung : Mizan, 1998 Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, Semarang, Dina Utama Semarang, 1993 Qardawi, Yusuf, hadyul Islam Fatawi Mu‟ashirah, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Gema Insani Pers, 2002 Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Kairo, Maktabah Wahbah, 2005 “Al-Fatawa al-Muassirah”. Terj. Muhammad Ihsan, Masalahmasalah Islam, Jakarta : Najah Press, 1994 Qudamah, Ibnu, Al-Mughniyah, Cairo, Mathbaah Al-Qahirah, 1996 Rifa’i, Moh, Ilmu Fiqh Islam, Semarang : CV Toha Putra, 1978 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 1995 Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Beirut Libanon Dar Al-Fikr, Jilid II, 1992 Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontenporer, Jakarta : Eksak Press, 2004 Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur‟an, Bandung, Mizan, 1996 Soemati, Hukum Perkawinan Islam dan UUP No 1 tahun 1974, Jogjakarta : Pustaka Widyatama, 2004
6665
Ssyaifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I, Jakarta : Prenada Media, 2006 Syakir, Muhammad Fuad, Perkawinan Terlarang, Jakarta : Cendikia Centra Muslim, 2002 Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI press, 1974 Uwaidah, Kamil Muhammad, Al-Jami‟ fi an-Nasa‟i, Terj. M. Abd ghaofar, Fiqh Wanita, Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 1998 Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1994 , UU Perkawinan dilengkapi KHI, Surabaya, Arkola, tt