ANALISIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan oleh
IBM. ANDHIKA SUPRIATMAN NIM: 108044100077
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ANALISIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
IBM. Andhika Supriatman NrM. 108044100077
Di Bawah Bimbingan:
NIP. 1 95507 061992031001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA. PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM I]NIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI
Skripsi berjudul ANALI SIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANA,K PENGADILAN NEGERI DENPASAR No. 1051iPdt.P/2013/PN.Dps telah diujikan dalam sidang N{unaqasyah Fakultas Syai'iah dan Hukum Universiias islunr Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi Hukum Keluarga Islam.
Jakarta, 9 Desember 2014 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
/_ /Dr. JM. Muslimin. MA NIP. 19680812 199903 2or4
PANITIA UJIAN Ketua Sekretaris
Pernbimbing
Kamarusdiana. S.Ag. MH t9720224 t9l)803 I 003 Sri Hidayati. M.Ag 19710215 19, )703 2 002 Dr. KH. A. J Lraini Svukri Lcs . MA l
9550706 l 99 203 I 00
1
Penguji I
Oosinr Arsaclani. MA 19690629 20080r l 0i6
Penguji II
Arip Purkon, MA 1979042',1 200312 1 002
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Desember 2014
IBM. Andhika Supriatman
ABSTRAK SKRIPSI IBM Andhika Supriatman/108044100077/ ANALISIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF/Peradilan Agama/Hukum Keluarga/Fakultas Syariah dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014/1-88 Halaman/2 Lampiran Adanya analisis penetapan ini karena terdapat ketidaksesuaian yang terjadi antara Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar dan hukum normatif yang berlaku di Indonesia dalam mengatur tentang pelaksanaan adopsi. Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan permohonan pemohon untuk mengangkat seorang anak dari keluarga yang berbeda agama. Secara tekstual penetapan yang dikeluarkan telah menyalahi aturan yang berlaku di Indonesia, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak. Berdasarkan penetapan diatas, penulis merasa ada kejanggalan dalam hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar yaitu: pertama, bahwa pemohon yang beragama Islam dalam hal ini saudari Nuryani Rosalinda telah mengangkat anak dari keluarga non muslim. Kedua, saudari Nuryani Rosalinda berstatus belum menikah. Kedua hal tersebut menyalahi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bukti tersebut bisa dilihat dari pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Kemudian berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus memenuhi syarat berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun. Kata Kunci: Penetapan, Pengangkatan anak, Hukum Islam, dan Hukum Positif. Pembimbing: Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs,. MA/Fakultas Syariah dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirabbil „alamin, segala puja dan puji selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan hidup setiap saat, setiap detik, tanpa pernah merasa bosan ataupun lelah sekalipun. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan keharibaan junjungan alam Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari jurang yang penuh kekelaman menuju pusaran terang benderang yaitu pusaran iman dan takwa seperti saat ini. Selama penulisan skripsi ini dan selama penulis mengenyam bangku perkuliahan di Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah Konsentrasi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis banyak mendapat bantuan dan sumbangan motivasi dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. JM. Muslimin, MA. 2. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH. i
3. Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum, Ibu Sri Hidayati, M.Ag. 4. Dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan dengan besar hati, sabar, serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini, Al-Ustadz Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs,. MA. 5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu pemahaman penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Orang tua tercinta, ayahanda Drs. H. Ketut Imaduddin Djamal, SH., MM., serta ibunda Ety Supriaty, S.Pd., berkat doa, bantuan, bimbingan, serta nasihatnya lah penulis dapat memiliki energi untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Abanganda Wazir Iman Suprianto, serta adinda-adinda Agung Sidang Amirulhaj, Gusti Muhamad Malikul Madani, serta Iday Imanety Jamilah yang tak henti-hentinya memotivasi penulis. 8. Teman-teman seperjuangan, Peradilan Agama 2008 B, khususnya para “Serigala Terakhir”, Ali Seto, Udi Wahyudi, Akbar Alfaththa, Fachrurrozy, Ade Taufik, yang selalu menemani dan membantu di masamasa akhir pencarian “jati diri”.
ii
9. Adinda Tercinta, Nadiya Zurnafany Sakina Tejawati, yang selalu memberikan dukungan, semangat, cinta, dan wejangan-wejangannya kepada penulis. 10. Teman-teman Ikatan Keluarga Pesantren Darunnajah (IKPDN) Jakarta. Tanpa kalian, penulis bukanlah siapa-siapa. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT semoga senantiasa menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah keilmuan kita. Amin.
Jakarta, 9 Desember 2014
Penulis
iii
DAFTAR ISI Hal. KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah ..............................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................
9
D. Studi PustakaTerdahulu ...........................................................
10
E. Metode Penelitian.....................................................................
11
F. Sistematika Penulisan .............................................................
14
PERATURAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Pengangkatan Anak ................................................
16
B. Sejarah Pengangkatan Anak .....................................................
21
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam .................
32
D. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Indonesia...................................................................................
38
BAB III PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR A. Sejarah Pengadilan Negeri Denpasar .......................................
43
B. Yuridiksi Pengadilan Negeri Denpasar ....................................
45
C. Tugas dan Fungsi Pengadilan Negeri Denpasar .......................
53
iv
BAB IV PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF STUDI KASUS PENETAPAN NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. PENGADILAN NEGERI DENPASAR A. Konsep Pengangkatan Anak menurut Hukum Islam................
54
B. Prosedur Pengangkatan anak Menurut Hukum positif Indonesia................................................................................... C. Analisis
Penetapan
Pengadilan
Negeri
Denpasar
Nomor
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps ........................................................
BAB V
60
72
PENUTUP ...................................................................................... A. Kesimpulan ..............................................................................
84
B. Saran-saran ..............................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
87
LAMPIRAN ....................................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanat yang harus senantiasa kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Sebagai anugerah dari Tuhan, anak harus dijaga secara normatif demi kepentingan fisik maupun psikisnya.1 Adapun jika dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret depan bangsa di masa mendatang, generasi penerus cita-cita bangsa. Mereka adalah pewaris peradaban, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara untuk memberikan perlindungan kepada anak. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,
1
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), hlm.1.
1
2
tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila serta kemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.2 Keinginan untuk memiliki keturunan adalah hal yang mutlak dimiliki oleh kebanyakan manusia. Hal ini menjadi permasalahan yang penting dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah kehidupannya. Untuk terus melestarikan kehidupan manusia diatas bumi ini maka proses regenerasi manusia harus selalu dilakukan. Lazimnya, untuk mendapatkan keinginan ini didahului dengan proses perkawinan. Dimana salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan dari pasangan yang menikah tersebut. Keinginan yang alamiah dari setiap pasangan yang telah melangsungkan perkawinan untuk memiliki keturunan. Yang kelak akan melanjutkan kehidupan orang tuanya dengan mewarisi harta kekayaan dari orang tuanya. Sejalan dengan hal diatas, menurut Subekti, perkawinan oleh undangundang dipandang sebagai suatu “perkumpulan” (echtvereniging), dalam hal ini suami ditetapkan sebagai kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka bersama disamping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan (binjstand) kepada si isteri dalam melakukan perbuatanperbuatan hukum.3
2 3
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), hlm.8. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta; intermasa,2003), hlm.
3
Namun adakalanya dimana pasangan yang telah menikah tidak dapat memiliki keturunan. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor, yaitu, kelainan genetik, faktor turunan dari keluarga, ataupun faktor penyakit yang diderita oleh salah satu pasangan atau bahkan kedua-duanya. Untuk mengatasi permasalahan tidak memiliki keturunan tersebut, maka mayoritas umat manusia memilih solusi pengangkatan anak. Pengangkatan anak ini dilakukan oleh orang-orang karena disadari bahwa hal tersebut merupakan cara yang termudah. Karena banyaknya orang yang melakukan pengangkatan anak, maka pengaturan tentang pengangkatan anak pun harus dapat mengakomodir semua keinginan dan kepentingan yang berkaitan dengan pengangkatan anak sehingga dapat menertibkan masyarakat yang melakukan pengangkatan anak. Secara
sederhana,
pengertian
pengangkatan
anak
merupakan
pengangkatan anak orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat dengan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki anak kandungnya, baik hak waris ataupun hak menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan lain-lain4. Lebih lanjut, menurut Muderis Zaini, pengangkatan anak adalah suatu cara untuk melakukan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
4
Rifyal Ka’bah, Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No 284, hlm. 32.
4
pengaturan perundang-undangan5. Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari pengangkatan anak yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajibannya. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak tersebut, calon orang tua harus memiliki syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan anak. Dalam hukum Islam istilah pengangkatan anak telah dikenal sejak lama, bahkan dipraktikkan oleh nabi Muhammad SAW sendiri. Artinya bahwa pengangkatan anak ini telah mempunyai legalitas yang jelas karena telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Dari praktik pengangkatan anak yang dijalankan oleh Rasululah diatas, bahwa secara normatif hukum Islam telah memperkenalkan sekaligus mengatur masalah tentang pengangkatan anak. Untuk lebih jelasnya aturan Hukum Islam tentang pengangkatan anak bisa dilihat dari surat Al-Azhab ayat 4 dan 5.
٥- ٤
5
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.4, (Jakarta;Sinar Grafika),2002, hlm. 7.
5
"Tidaklah Allah SWT menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongga nya dan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan punggungnya dari kalangan mereka menjadi ibumu dan tidaklab Dia menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu benar-benar Itu hanyalah ucapanmu dengan mulutmu. Dan Allah SWT mengatakan yang benar dan Dia akan menunjuki jalan. Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. Itulah yap lebih adil disisi Allah SWT. Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapa bapak mereka, maka adalah mereka saudara kamu seagama maula-maula kamu. Tetapi tidaklah kamu berdosa jika kamu salah dengan dia, melainkan jika disengaja oleh hati kamu. dan Allah SWT adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (AlAhzab : 4-5)
Hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak-anak angkat tidak sama sebagaimana hubungan hukum antara orang tua dengan anak kandung. Hubungan hukum anak angkat dengan orang tua kandungnya tetap seperti sebelum adanya pengangkatan anak. Salah satu ketetapan hukum Islam tentang pengangkatan anak adalah bahwa anak angkat mengikuti nasabnya sesuai dengan orang tua kandungnya, bukan mengikuti orang tua angkatnya. Hal ini pernah ditetapkan oleh nabi Muhammad SAW yang mempunyai anak angkat bernama Zaid bin Haritsah yang sebelumnya bernama Zaid bin Muhammad SAW.6 Namun hal itu berbeda dengan praktek pengangkatan anak yang terjadi di daerah Denpasar. Seperti yang ditemukan oleh penulis dalam sebuah penetapan yang keluarkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar dengan Nomor Perkara 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps.
6
Khalid Muhammad Kalid, 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW, (Jakarta; Al-I’tishom Cahaya Ummat, 2007), hlm. 45.
6
Dalam duduk perkaranya, pemohon telah mengajukan permohonannya tertanggal 17 Desember 2013 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 18 September 2013, pada pokoknya yaitu
pemohon belum pernah
menikah dan bekerja swasta, kemudian pemohon berniat mengangkat seorang anak laki-laki yang bernama Gavin Robert Pratama, yaitu anak dari seorang Ibu bernama Tina Yulia Novanda dan pada saat itu anak tersebut juga belum mempunyai akte kelahiran. Pemohon telah
membiayai anak tersebut dari
kandungan hingga saat ini dikarenakan ibu tersebut tidak bekerja dan menyatakan tidak sanggup untuk memeliharanya, sehingga pemohon berinisiatif untuk mengangkatnya. Untuk mendapatkan legalitas atas status anaknya, dan setelah mendapatkan saran dari Kantor Catatan Sipil, maka pemohon mengajukan permohonan tersebut ke pengadilan. Berdasarkan fakta tersebut diatas, dan juga pemohon telah mengangkat anak tersebut sejak tanggal 07 Desember 2012, dimana anak tersebut telah diserahkan secara ikhlas oleh orang tua kandungnya untuk dipelihara, diasuh, maupun dididik oleh pemohon seperti anak kandungnya sendiri sampai sekarang, maka demi untuk kepentingan kelangsungan hidup dan kehidupan anak tersebut dikemudian hari dimana pemohon juga telah bekerja, maka pemohon dipandang mampu untuk membiayai hidup dan kehidupan anak tersebut. Kemudian Pengadilan Negeri Denpasar menetapkan dalam perkara diatas tertanggal 28 Oktober 2013 dengan nomor register: 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps. yaitu:
7
1. Mengabulkan permohonan pemohon; 2. Menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan oleh pemohon NURYANI ROSALINDA terhadap anak laki-laki yang bernama GAVIN ROBERT PRATAMA yang lahir di Denpasar pada tanggal 7 Desember 2012; 3. Memerintahkan kepada pemohon untuk mendaftarkan tentang Penetapan ini kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung agar dicatatkan kedalam register yang diperuntukkan untuk itu. Berdasarkan penetapan diatas, penulis merasa ada kejanggalan dalam hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar yaitu: pertama, bahwa pemohon yang beragama Islam dalam hal ini saudari Nuryani Rosalinda telah mengangkat anak dari keluarga non muslim. Kedua, saudari Nuryani Rosalinda berstatus belum menikah. Dari kedua permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundangundangan Indonesia menyalahi aturan secara normatif. Bukti tersebut bisa dilihat dari pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. 7 Kemudian berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus memenuhi syarat berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.8
7 8
Pasal 3 Peraturan Pemerintah no 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak Pasal 3 Peraturan Pemerintah no 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak
8
Adanya ketidaksesuaian yang terjadi antara Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar dan hukum normatif yang berlaku di Indonesia dalam mengatur tentang pelaksanaan adopsi ini merupakan hal yang menurut penulis menarik untuk diteliti dan dibahas dalam sebuah skripsi yang berjudul “ANALISIS PENETAPAN
PENGANGKATAN
ANAK
PENGADILAN
NEGERI
DENPASAR NO. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps. DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah Agar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah yang diambil oleh penulis, maka penulis batasi terkait Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar No. Register: 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan pemohon untuk mengangkat seorang anak dari keluarga yang berbeda agama. Secara tekstual penetapan yang dikeluarkan telah menyalahi aturan yang berlaku di Indonesia, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak.
9
2.
Perumusan Masalah Bedasarkan pada uraian tersebut diatas, permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut; a. Bagaimanakah Konsep pengangkatan anak menurut Hukum Islam? b. Bagaimanakah prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif Indonesia? c. Bagaimanakah hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif?
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1.
Tujuan Penulisan. Terdapat beberapa hal yang akan dicapai dari tujuan penulisan ini, antara lain; a. Memahami konsep pengangkatan anak menurut hukum Islam. b. Mengetahui prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif Indonesia c. Memahami hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif.
10
2.
Manfaat Penulisan. 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum, terutama pembahasan hukum mengenai pengangkatan anak. 2. Dalam hal praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi praktisi hukum/aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum, serta secara khusus bagi penulis, hasil penelitian ini menjadi bahan untuk penyusunan skripsi sebagai tugas akhir penyelesaian studi pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
D. Studi Pustaka Terdahulu 1. Mery Wanyi Rihi, SH, Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi Kasus di Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar), (Semarang, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2006). Menganalisis kedudukan anak angkat menurut hukum waris adat Bali yang ditinjau dari sudut pandang hukum adat. Namun, saudari Mery Wanyi Rihi, SH hanya menganalisis hal tersebut dari sudut pandang hukum adat Bali saja. Tanpa disertai dengan analisis dari sudut pandang hukum perdata Islam.
11
2. Sulistya Rini Saputro Wibowo, C.100.980.208, Kedudukan Anak Angkat dalam Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali (Studi di Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan), (Surakarta, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta). Membahas tentang kedudukan hukum anak angkat di kecamatan Kerambitan, kabupaten Tabanan.Namun, saudari Sulistya Rini Saputro Wibowo hanya mengangkat kedudukan serta akibat hukum yang terjadi di Bali tanpa mengangkat hal tersebut dalam perspektif hukum perdata Islam.
E. Metode Penelitian Adapun metode dan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif. Yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.9 Penelitian Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. 10 Jenis penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dalam hal ini yang berhubungan dengan pengangkatan anak. 9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 10 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal.
12
1.
Pendekatan Masalah Sehubungan dengan masalah yang diteliti oleh penulis, maka jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan analitis (analytical apprpoach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk meneliti berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.11 yang dalam hal ini adalah aturan hukum tentang hierarki peraturan
perundang-undangan.
Jadi,
penelitian
normatif
yang
menggunakan pendekatan ini memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang hasil putusan atau penetapan lembaga peradilan di Indonesia, baik dalam pemahaman maupun penerapan hukum suatu lembaga atau ketentuan hukumnya.12 Sedangkan pendekatan analitis (analytical apprpach) dilakukan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putuan hukum. Hal itu dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum
11
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, Cet ke IV, 2008), hal. 302 12 Johnny Ibrahim, Op. Cit., 318-319; Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 1986), hal. 332
13
yang bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tugas analisis hukum adalah menganalisis konsep pengangkatan anak dilihat dari segi yuridis atau norma yang berlaku. Adapun metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian hukum normatif ini mencakup: 1. Bahan hukum primer: sumber penelitian, yaitu penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No. 1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps. 2. Bahan hukum sekunder, yang merupakan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Undang-undang, Rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian dan buku-buku hasil karya para ahli, serta hasil wawancara dengan para ahli hukum terkait. 3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedi dan lain sebagainya.
14
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan pokok pembahasan sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian, studi terdahulu, sistematika penulisan..
BAB II
: PERATURAN PENGANGKATAN ANAK Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertian pengangkatan anak, Sejarah pengangkatan anak, Dasar
pengangkatan anak
menurut Islam, dan dasar hukum pengangkatan anak menurut Peraturan Indonesia. BAB III
: PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK
PENGADILAN
NEGERI DENPASAR Pada bab ini akan dibahas mengenai sejarah Pengadilan Negeri Denpasar, yuridiksi Pengadilan Negeri Denpasar, tugas dan fungsi Pengadilan Negeri Denpasar, Penetapan Pengangkatan Anak No. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps
15
BAB IV
: PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM
DAN
HUKUM
POSITIF
STUDI
KASUS
PENETAPAN NO. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps. PENGADILAN NEGERI DENPASAR Pada bab ini akan diuraikan mengenai konsep pengangkatan anak menurut hukum Islam, prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif Indonesia, analisis penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No.1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.
BAB V
: PENUTUP Pada bab ini memuat kesimpulan, serta saran-saran.
16
BAB II PERATURAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK
A. PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK Setiap manusia didalam dunia ini memiliki hasrat. Dan salah satu hasrat yang dimiliki oleh manusia adalah menikah. Pada umumnya, manusia menikah dengan tujuan untuk menyalurkan nafsu biologisnya secara baik-baik/halal, serta untuk memiliki keturunan (anak). Akan tetapi keinginan untuk memiliki keturunan ini menjadi bermasalah ketika secara biologis, pasangan yang telah menikah tersebut tidak dapat memiliki keturunan. Hal ini bisa disebabkan faktor yang berasal dari pasangan pria maupun pasangan wanita. Namun, ketidak mampuan memiliki keturunan tersebut tetap dapat mereka atasi walaupun secara biologis tidak memungkinkan. Kemungkinan ini dapat terjadi ketika pengangkatan anak menjadi solusi alternatif. Pasangan yang tidak dapat memiliki keturunan secara biologis dapat memiliki keturunan dengan mengangkat anak atau mengadopsi anak orang lain untuk dijadikan anak mereka. Mengangkat anak berarti mengambil anak dari keluarga lain dengan maksud untuk dijadikan anak sendiri agar dapat melanjutkan kehidupan orang tuanya dengan cara mewarisi harta kekayaan dari orang tua anak tersebut.
17
Menurut
Rifyal
Ka’bah,
Pengertian
pengangkatan
anak
adalah
mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat dengan hakhak dan kewajiban yang dimiliki anak kandungnya, baik hak waris ataupun hak menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan lain-lain13. Menurut Muderis Zaini14, pengangkatan anak adalah suatu cara untuk melakukan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.
Biasanya
pengangkatan
anak
dilaksanakan
untuk
mendapatkan pewaris atau mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak bias memilik anak. Akibat dari pengangkatan anak tersebut ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status
sebagai anak kandung yang sah dengan
segala hak dan kewajibannya. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak itu, calon orang tua harus memiliki syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan anak. Pengangkatan anak merupakan usaha untuk memperoleh keturunan yang telah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Setiap peradaban, bangsa, negara, agama dan lain-lain memiliki pandangan dan cara tersendiri dalam melakukan pengangkatan anak. Termasuk di Indonesia pun telah lama pengangkatan anak ini dilakukan. 13
Rifyal Ka’bah, Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No 284, hlm. 32. 14 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.4, (Jakarta;Sinar Grafika),2002, hlm. 7.
18
Di dalam hukum perdata Indonesia tidak diatur tentang masalah pengangkatan anak atau lembaga pengangkatan anak. Hukum perdata Indonesia hanya mengatur masalah pewarisan dengan istilah “anak luar kawin” atau anak yang diakui (erkend kind). Artinya, disini terdapat kekosongan hukum yang bisa menimbulkan ketidakteraturan dalam masyarakat yang ingin melakukan pengangkatan anak. Pengangkatan anak ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat serta martabat dari anak itu sendiri maupun keluarga yang mengangkatnya tersebut. Sehingga anak yang diangkat ini dapat terjamin hidupnya, nafkah, pendidikan, serta asuhan bagi dirinya. Juga bagi keluarga yang mengangkatnya diberikan keturunan yang kelak dapat mewarisi hidupnya berupa harta kekayaan yang ditinggalkannya serta manfaat lainnya. Dari
segi
perkembangan
hukum
nasional,
rumusan
pengertian
pengangkatan anak secara formal dan berlaku bagi seluruh pengangkatan anak di Indonesia-tanpa membedakan golongan penduduk, juga tanpa membedakan domestic adoption atau inter-country adoption – dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP Pengangkatan Anak”). Menurut PP Pengangkatan Anak bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam
19
lingkungan keluarga orangtua angkat (Pasal 1 butir 2). Pengangkatan anak dengan demikian adalah suatu perbuatan hukum pengalihan seorang anak dari suatu lingkungan (semula) ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya. Dari rumusan pengertian pengangkatan anak ini tidak cukup tercermin sampai berapa jauh atau seberapa luas akibat hukum perbuatan pengangkatan anak.15 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Yang ada hanyalah ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin. Seperti yang diatur dalam buku I bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai pasal 289 tentang pengakuan terhadap anak-anak diluar kawin. Ketentuan ini sama sekali tidak berhubungan dengan masalah pengangkatan anak. Menurut Muderis Zaini16, karena tuntutan masyarakat walaupun dalam KUHPerd. tidak mengakui masalah pengangkatan anak ini, sedang pengangkatan anak itu sendiri sangatlah lazim terjadi di masyarakat, maka pemerintah HindiaBelanda berusaha untuk membuat peraturan yang tersendiri tentang pengangkatan anak tersebut. Karena itulah pemerintah Hindia-Belanda melalui Staatsblad nomor 129 tahun 1917, khusus pasal 5 sampai dengan 15 yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat
untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah
Staatsblad 1917 nomor 129 menjadi ketentuan hukum yang tertulis yang
15 16
Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta;Sinar Grafika),2012,hlm.105. Muderis Zaini, op.cit.,hlm. 11.
20
mengatur pengangkatan anak bagi kalangan Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing. Setelah itu dikeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Republik Indonesia tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No.2 tahun 1979. Hal ini karena pemerintah mensinyalir bahwa lembaga pengangkatan anak ini disalahgunakan seperti yang terjadi pada trafficking for women and children. Kejahatan semacam itulah yang wajib dihapuskan diseluruh dunia, karena telah mencoreng maksud luhur untuk mengentaskan penderitaan anak demi memenuhi haknya kehidupan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian MA mengeluarkan SEMA RI No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan anak yang berisi ketentuan bahwa syarat bagi warga Negara asing untuk mengangkat anak warga Negara Indonesia harus berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya tiga tahun. SEMA ini kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri Sosial yang mengeluarkan keputusan No. 4 Tahun 1989 tentang petunjuk pelaksanaan pengangkatan anak guna memberi pedoman dalam pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi17.
17
Soimin Soedharyo, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2004), hlm.43.
21
Selanjutnya MA mengeluarkan SEMA RI No. 3 Tahun 2005 tentang pengangkatan anak. Salah satu hal baru yang diatur dalam SEMA 2005 adalah kewajiban Pengadilan Negeri melaporkan salinan penetapan pengangkatan anak ke MA selain kepada Departemen Hukum dan HAM, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian. Hal tersebut dilakukan demi memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang diangkat18.
B. SEJARAH PENGANGKATAN ANAK Untuk melengkapi uraian pengangkatan anak di Indonesia, akan dikemukakan sekilas sejarah pengangkatan anak secara berurutan, mulai dari sejarah pengankatan anak menurut Staatsblaad 1917 Nomor 129, hukum adat, dan perundang-undangan.19 1. Menurut Staatsblaad 1917 Nomor 129 Hukum keluarga adat golongan Tionghoa menganut garis keturunan laki-laki (Patrilineal), karena itu nama keluarga (she, atau fam, seperti Tan, Oei, Lim, dan lain-lain) diturunkan melalui keturunan laki-laki. Apabila tidak ada keturunan laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka mereka akan mengangkat anak laki-laki dari keluarga lain. Oleh karena itu,
18
Lies Sugondo, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berspektif HAM, Suara Uldialag vol 3 No X, hlm.33. 19 Musthofa, Pengangkatan Anak , Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 23.
22
asas pengangkatan anak hanya bias dilakukan seorang laki-laki, karena seorang laki-laki Tionghoa wajib mengusahakan agar cabang keluarganya tidak punah dan ada keturunan yang melanjutkan merawat abu leluhur. 20 Untuk mengetahui sejarah pengaturan pengangkatan anak bagi orang Tionghoa dalam Staatsblaad, terlebih dahulu perlu diketahui adanya pennggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda. Adanya penggolongan tersebut berakibat pada berlakunya beragam hukum pada masing-masing golongan. Penggolongan penduduk ini diatur dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling yang membagi menjadi tiga golongan, yaitu: -
Golongan Bumiputra, terdiri dari mereka yang termasuk rakyat asli Hindia Belanda yang tidak pindah ke golongan lain dan mereka yang mula-mula termasuk dari golongan lain tetapi telah meleburkan diri kedalam golongan Bumiputra.
-
Golongan Eropa, terdiri dari orang Belanda, orang bukan Belanda yang berasal dari Eropa, orang Jepang, orang-orang lain yang di negara asalnya berlaku hukum keluarga yang pokoknya berdasarkan asas yang sama dengan asas hukum keluarga Belanda, yaitu asas perkawinan monogami dan terlaksana atas persetujuan kedua belah pihak.
20
J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.
23
-
Golongan Timur Asing, terdiri dari semua orang lainnya, seperti orang Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Siam, dan lain-lain. Berdasarkan Staatsblaad 1847 Nomor 23, hukum perdata yang
berlaku bagi golongan Eropa adalah hukum perdata negeri Belanda (Burgerlijk Wetboek). Golongan Timur Asing (Arab, India, Pakistan) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek dan selebihnya yang menyangkut hukum perorangan, hukum keluarga, dan waris berlaku hukum mereka sendiri, yaitu hukum Islam, sebagaimana Staatsblaad 1924 Nomor 556. Sedangkan golongan Bumiputra yang beragama Kristen, berdasarkan pasal 131 ayat (4) Indische Staatsregeling berlaku hukum adat. Untuk golongan Tionghoa, berdasarkan Staatsblad 1917 Nomor 129, kemudian ditambah Staatsblad 1924 Nomor 557, hamper seluruh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dinyatakan berlaku bagi golongan Tionghoa. Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) bagi golongan Tionghoa tersebut berakibat ada beberapa pengecualian, dan ada pula lembaga yang diberikan pengaturan secara khusus, yaitu perihal pengangkatan anak. Lembaga pengangkatan anak ini diatur khusus karena merupakan adat Tionghoa yang berhubungan erat dengan pandangan dan kepercayaan mereka. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama
24
bukan untuk mengadakan keturunan, sehingga tidak mengenal lembaga pengangkatan anak (adopsi).21 Oleh sebab itu, banyak ketuntuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terutama dalam bidang hukum keluarga dan hukum waris yang juga berbeda dengan hukum adat Tionghoa. Pemberlakuan sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi golongan Tionghoa merupakan hal yang tidak sesuai dengan pandangan, kebiasaan, dan kesadaran hukum mereka. Namun, untuk menampung kebutuhan adat yang sangat erat berkaitan dengan pandangan
religius
mereka, maka lembaga hukum pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad.22 Ketentuan pengangkatan anak merupakan bagian dari Staatsblad 1917 Nomor 129 junctis Staatsblad 1919 Nomor 81, Staatsblad 1924 Nomor 557, Staatsblad 1925 Nomor 93 tentang Ketentuan untuk Seluruh Indonesia mengenai Hukum Perdata dan Hukum Dagang bagi Orang Tionghoa, yang berlaku hanya bagi golongan Tionghoa. Dalam perkembangannya, penduduk golongan Tionghoa mengalami perubahan pandangan terhadap hubungan kekeluargaan yang semula patrilineal menjadi bilateral atau parental. Perubahan pandangan itu dipengaruhi berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pendidikan, dan agama Kristen yang banyak dianut oleh mereka. Lembaga pengangkatan
21
Ali Affandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm.149. 22 Ter Haar, dalam J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam UndangUndang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.
25
anak masih dibutuhkan tetapi dengan tujuan yang berbeda dari tujuan semula. Kehadiran anak angkat kadang dibutuhkan bagi mereka yang tidak mempunyai anak untuk mengisi kekosongan dalam keluarga atau memelihara mereka di hari tua. Oleh karenanya pengangkatan anak tidak perlu dibatasi hanya anak laki-laki.23 Didalam Burgerlijk Wetboek, tidak terdapat peraturan tentang pengangkatan anak. Namun, dalam perkembangannya sejak tahun 1956, Burgerlijk Wetboek Belanda yang baru (Nieuwe Burgerlijk Wetboek) telah mengatur pengangkatan anak. Latar belakang pengaturan ini terutama karena keinginan yang dirasakan oleh masyarakat untuk memberikan pemeliharaan kepada anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya kurang mampu. Adapun yang dibolehkan melakukan pengangkatan dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek hanya pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak sendiri dan sudah lebih dari lima tahun dalam perkawinan. Pengangkatan anak tidak boleh dilakukan terhadap anak sendiri yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind). Anak luar kawin itu dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada (erkening dan wettiging).
23
J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.
26
2. Menurut Hukum Adat Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah dengan tunggal leluhur. Akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu pandangan pokok yang sama bahwa keturunan merupakan unsur yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku, atau kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah dan menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Apabila suatu klan, suku, atau kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan pada umumnya melakukan pengangkatan anak. 24 Pengangkatan anak dalam hukum adat bukan merupakan suatu lembaga yang asing. Lembaga itu dikenal luas hampir di seluruh Indonesia yang dilakukan dengan cara dan motif yang bervariasi. Misalnya di Jawa, anak angkat biasanya diambil dari anak keponakannya sendiri, laki-laki atau perempuan. Sedangkan motivasi pengangkatan anak tersebut berdasar alasan-alasan antara lain: -
Karena tidak mempunyai anak.
-
Untuk mempererat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang diangkat.
-
Karena belas kasihan disebabkan orang tuanya tidak mampu, anak yatim, atau anak yatim piatu.
24
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hlm.3.
27
-
Adanya kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak akan mendapat anak keturunannya sendiri (panutan, sebagai pemancing).
-
Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka mengangkat anak perempuan atau sebaliknya.
-
Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan orang tua sehari-hari. Demikian pula akibat hukum pengangkatan anak dalam hukum adat
sangat bervariasi. Misalnya di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat dan orang tua kandungnya. Anak angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung unruk meneruskan keturunan bapak angkatnya. Sedangkan di Bali, pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga orang tua kandungnya dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.25 Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan atau keturunan. Sistem kekeluargaan di Indonesia dibedakan menjadi tiga corak, yaitu:
25
Amir Martosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara Prize, Semarang, 1990, hlm. 13-14.
28
-
Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak, kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan perempuan.
-
Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan ibu, kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan laki-laki.
-
Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis dua sisi, yaitu bapak dan ibu, kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan.26
3. Menurut Perundang-undangan RI Undang-undang yang mengatur pengangkatan anak di Indonesia yang dibuat secara lengkap dan tuntas masih belum ada.27 Dalam sejarah perundang-undangan yang berkaitan, pengaturan pengangkatan anak sempat masuk dalam rancangan undang-undang, yaitu dalam Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Perkawinan dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Peradilan Anak. Dalam sejarah proses pembuatan hukum (law making process) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Rancangan Undang-Undang (RUU)
26 27
6.
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditia Bakti, Bandung, 1993, hlm. 23. Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 5-
29
tentang perkawinan mengatur pengangkatan anak dalam Pasal 62 sebagai berikut: (1) Suami istri bersama-sama dapat mengangkat seorang anak atau lebih. (2) Yang dapat diangkat menjadi anak angkat ialah anak yang belum kawin dan belum diangkat oleh orang lain. (3) Anak yang diangkat sekurang-kurangnya harus 18 (delapan belas) tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun lebih muda dari istri. (4) Apabila anak yang diangkat itu masih saudara dari suami istri, dalam hubungan keluarga dia tidak boleh mempunyai derajat kekeluargaan yang lebih tinggi dari suami yang mengangkatnya. (5) Untuk pengangkatan anak diperlukan izin dari orang tua atau walinya dan persetujuan anak itu sendiri apabila ia sudah berumur 15 (lima belas) tahun. (6) Pengangkatan anak dilakukan dengan keputusan Pengadilan atas permohonan suami dan istri yang mengangkat anak itu. (7) Permohonan pengangkatan yang dimaksud ayat (6) pasal ini dapat diterima apabila pengangkatan itu menguntungkan kepentingan anak yang diangkat. (8) Anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum sama seperti anak yang sah dari suami istri yang mengangkatnya
30
(9) Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keluarga antara anak yang diangkat dengan keluarganya sedarah dan semenda garis ke atas dan ke samping. (10) Pengangkatan anak dapat dicabut kembali oleh keputusan pengadilan atas permohonan anak
yang diangkat
demi
kepentingannya.
Permohonan pencabutan diajukan secepat-cepatnya 2 (dua) tahun dan selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah anak itu berumur 18 (delapan belas) tahun. (11) Pencabutan ini mengakibatkan bahwa anak tersebut tidak lagi mempunyai kedudukan hukum sebagai anak sah dari suami istri yang mengangkatnya. (12) Hubungan keluarga yang putus karena pengangkatan yang dimaksud ayat (9) pasal ini, hidup kembali karena pencabutan. Ketentuan pasal dalam RUU Perkawinan ini termasuk salah satu pasal yang mendapat reaksi keras dari umat Islam karena bertentangan dengan hukum Islam. Hasil Musyawarah Ulama Jawa Timur pada tanggal 11 Agustus 1973 mengusulkan pasal 62 tersebut untuk diubah sebagai berikut: -
Ayat-ayat (1) sampai dengan (7) tidak ada usul perubahan.
-
Ayat (8) kata-kata “sama seperti” diubah menjadi “tidak sama dengan”.
-
Ayat (9) kata “putusnya” diubah menjadi “tidak putusnya”.
-
Ayat (10) tidak ada usul perubahan.
31
-
Ayat (11) dihapuskan, sebagai akibat dari usul perubahan pada Ayat (9).
-
Ayat (12) dihapuskan atas dasar yang sama.28 RUU tersebut selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang RI
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai legal product dengan menghapus semua ketentuan pasal 62 yang mengatur pengangkatan anak, sehingga dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada ketentuan yang mengatur pengangkatan anak. Perbedaan prinsip yang demikian itu pula yang melatar belakangi tidak diaturnya mengenai pengangkatan anak dalam Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang kemudian hanya dirumuskan dalam 1 (satu) pasal,29 yaitu Pasal 12: a. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. b. Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud
dalam Ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. c. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan bedasarkan Peraturan Perundang-Undangan.
28
Amak, Proses Undang-Undang Perkawinan, Al-Maarif, Bandung, 1976, hlm. 47. Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 87. 29
32
Ketentuan pasal itu menekankan bahwa dalam pengangkatan anak harus mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Tujuan pengangkatan anak tidak lagi dilakukan hanya untuk melanjutkan keturunan tetapi telah terjadi suatu pergeseran ke arah kepentingan anak (favor adoption). Mengenai kepentingan kesejahteraan anak selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun Peraturan pemerintah yang dimaksud belum pernah ada sampai saat ini.
C. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT ISLAM Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab telah menjadi tradisi turun-temurun yang dikenal dengan istilah “tabanni”30 yang artinya mengambil anak angkat.31 Nabi Muhammad SAW pernah melakukan pengangkatan anak sebelum masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Haritsah, tetapi kemudian tidak lagi dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Haritsah) melainkan diganti dengan anam panggilan Zaid bin Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW mengumumkan di hadapan kaum Quraisy dan berkata: “Saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia mewarisiku, dan aku pun mewarisinya”. Sikap nabi Muhammad SAW tersebut merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu. Oleh karena nabi menganggap sebagai anaknya, maka para sahabat pun 30
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 50. 31 Ibrahim Anis dan Abd. Halim Muntashir et al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Majma‟ Al-Lughoh Al-Arabiyah, Mesir, 1392 H/1972 M, Jilid II, hlm. 72.
33
memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad SAW.32 Demikian pula pernah dilakukan sahabat Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim dan hal itu mendapat persetujuan dari nabi Muhammad SAW. Zaid bin Haritsah bin Syarahil bin Ka’ab bin Abdul Uzza adalah seorang anak yang berstatus budak berasal dari Siam. Masa kecilnya hidup dan dibesarkan di Tihamah. Zaid diculik dan dibawa ke Mekkah sebagai budak belian. Hakim bin Hizam bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah binti Khuwailid, selanjutnya Khadijah menyerahkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Umur Zaid saat itu sekitar delapan tahun. Setelah nabi Muhammad SAW menerima dan memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya. Suatu ketika keluarga Zaid yang selama itu mencari Zaid mengetahui perisitiwa tersebut, lalu ayah dan pamannya yang bernama Ka’b bin Syarahil datang ke tempat nabi Muhammad SAW untuk menebusnya. Atas kehadiran keluarga Zaid tersebut, nabi Muhammad SAW bersabda bahwa yang demikian itu terjadi pula pada masa lalu (sebelum Islam). Kemudian nabi Muhammad SAW memberikan opsi kepada Zaid untuk pergi bersama keluarganya tanpa membayar tebusan, atau tetap tinggal bersama nabi Muhammad SAW. Zaid memilih tetap tinggal bersama nabi Muhammad SAW dan menyatakan bahwa meskipun dia berstatus merdeka pergi bersama keluarganya, tetapi dia memilih tetap tinggal bersama nabi Muhammad SAW karena nabi sebagai pengganti ayah dan pamannya bersikap sangat baik
32
29-30.
Nasroen Haron dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm.
34
kepadanya.33 Setelah Zaid dewasa, nabi menikahkan Zaid dengan Zainab binti Jahsy. Setelah nabi Muhammad SAW menjadi rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4, 5, dan 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Haritsah.
34
Melalui peristiwa asbab an-
nuzul ayat Al-Quran tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan,
karena
nabi
Muhammad
SAW
telah
melakukannya,
tetapi
pengangkatan anak tersebut tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT telah menyatakannya dalam Al-Quran bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW.35 Dalam peristiwa selanjutnya, ternyata rumah tangga Zaid dan Zainab mengalami ketidakharmonisan. Zaid bin Haritsah meminta izin kepada nabi Muhammad SAW untuk menceraikan istrinya, tetapi nabi Muhammad SAW bersabda: “Peliharalah istrimu, jangan kau ceraikan, dan bertakwalah engkau
33
Al-Qurthubi dan juga Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam. 34 Al-Qurtubi dan Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam. 35 Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam.
35
kepada Allah SWT!”. Setelah Zaid tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya, maka nabi Muhammad SAW memperkenankan perceraian mereka.36 Setelah Zainab melewati masa iddah, Allah SWT memerintahkan nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 37:
٣٧
(
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah SWT melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah SWT”, sedangkan kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah SWT akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah SWT yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan dengan istrinya. Dan adalah ketetapan Allah SWT itu pasti terjadi.”
Perkawinan nabi Muhammad SAW dengan bekas istri anak angkatnya ini menegaskan bahwa adanya hubungan pengangkatan anak tidak serta-merta menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan statusnya sama dengan anak
36
hlm. 26.
Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004,
36
kandung, karena menikahi bekas istri anak angkat itu dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya.37 Menurut Zakaria Ahmad Al-Barry, mengangkat anak yang sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk keberlangsungan hidupnya tanpa berakibat hukum seperti pengangkatan anak pada zaman jahiliah adalah menjadi tanggung jawab masyarakat secara kolektif dan dilakukan oleh beberapa orang sebagai fardhu kifayah. Hukumnya berubah menjadi fardhu „ain apabila seseorang menemukan anak terlantar atau terbuang di tempat yang sangat membahayakan nyawan anak itu, karena sesungguhnya jiwa manusia berhak dijaga dan dipelihara.38 Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret 1984 mengemukakan sebagai berikut: 1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). 2. Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syariat Islam. 3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
37
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 108. 38 Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hlm. 30-31.
37
mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih saying seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang dianjurkan oleh agama Islam. 4. Pengangkatan anak Indonesia oleh warga negara asing selain bertentangan dengan UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa.39
39
Dep. Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaran Haji, Jakarta, 2003, hlm. 178.
38
D. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERATURAN INDONESIA Pengaturan pengangkatan anak di Indonesia dalam perundang-undangan beberapa kali mengalami kegagalan karena adanya perbedaan mendasar mengenai konsepsi pengangkatan anak. Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ada berdasarkan konsepsi pengangkatan anak menurut Staatsblad 1917 Nomor 129 dan tradisi pengangkatan anak zaman jahiliah yang berbeda dengan konsepsi pengangkatan anak menurut hukum Islam. Namun, beberapa hal mendasar mengenai pengangkatan anak yang selaras dengan hukum Islam mulai masuk dalam perundang-undangan, yaitu Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41.40 Pengaturan
pengangkatan
anak
dalam
perundang-undangan
telah
mengalami kemajuan dibandingkan keberadaan lembaga pengangkatan anak. Ketentuan pengangkatan anak tidak mengenal diskriminasi laki-laki atau perempuan bagi calon orang tua angkat maupun calon anak angkat. Pengaturan lembaga pengangkatan anak merupakan upaya agar setiap anak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia. Ada beberapa hal penting
40
hlm. 41.
Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta, 2008,
39
mengenai penagturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan yang patut diketengahkan, yaitu: -
Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.41
-
Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.42
-
Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.43
-
Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).44
-
Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya menegenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya, dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.45
-
Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. 46
41
Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 43 Pasal 39 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 44 Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 45 Pasal 40 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 46 Pasal 41 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 42
40
Pengamatan
Mahkamah
Agung
menghasilkan
kesimpulan
bahwa
permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan, pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.47 Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat setelah memperoleh putusan pengadilan.48 Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum terapannya. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum
47
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28. 48 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28.
41
yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya: 1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tertanggal 7 April 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur
hukum
mengajukan
permohonan
pengesahan
dan/atau
permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan. 3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun 1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983. 4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Juni 1984. 5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002. 6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh
42
dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangktanya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut. 7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:”… Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”. 8. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lam sampai sekarang.
BAB III PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI DENPASAR
A. SEJARAH PENGADILAN NEGERI DENPASAR Jauh sebelum dikuasai oleh Pemerintah Belanda, Bali terdiri dari sembilan Kerajaan kecil-kecil yaitu: Buleleng, Jembrana, Bangli, Tabanan, Karangasem, Gianyar, Mengwi, Klungkung dan Badung. Raja tertinggi dari semua Kerajaan ini adalah raja Klungkung yang terkenal dengan sebutan Dewa Agung Klungkung, Pada akhir abad ke XIX tinggallah 8 kerajaan karena Mengwi telah ditaklukan oleh Badung, berturut-turut dalam peperangan 1814, 1880, dan terakhir 1892. Peristiwa yang paling penting dalam sejarah Kabupaten Badung adalah Puputan Badung yaitu, perang habis-habisan sampai tetes darah yang terakhir melawan Penjajah Belanda. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis Kliwon tahun Caka: 1828 (20 September 1906) saat dimana Badung jatuh ke tangan belanda.49 DARI TAHUN 1906 s.d 1942 Ketika pemerintahan berada ditangan penjajah Belanda, Daerah Badung merupakan suatu Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Asistent Resident yang berkedudukan di Denpasar. Dengan adanya Zustelling berstuurder tanggal 1 juli 1938. Pemerintah menjadi Zelf berstuurnd Landskap (kerajaan), dikepalai 49
www.pn-denpasar.go.id/
43
44
seorang Raja dengan gelar Tjokorda Negara Badung ( Staasblad Hindia Belanda 1938, No. 529), berada di bawah dewan yang bernama Paruman Agung yang diketuai oleh Resident van Bali en Lombok yang berkedudukan di Singaraja. Pemerintahan seperti ini berlangsung sampai tahun 1942. DARI TAHUN 1942 s.d 1945 Tidak terjadi perubahan Pemerintahan yang Prinsipil selama masa pendudukan Bala tentara Jepang, hanya gelar Tjokorda Negara Badung dirubah dan diganti menjadi Badung Sutjo. Dengan lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1957, tentang pokok pemerintahan Daerah, maka dihapuskan kedudukan semua kerajaan menjadi Daerah Tk II Badung dan Daerah Bali sendiri menjadi Daerah Tk I. Sejak pemerintah Belanda sampai dengan pemerintah Jepang yang pada waktu itu juga berkuasa di Bali, di daerah hukum pengadilan Negeri Denpasar yang meliputi wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Denpasar dan Badung, badan peradilannnya adalah Pengadilan Swapraja , yang disebut Majelis Kerta di Denpasar atau “Raad Van Kerta” yang langsung diketuai oleh Kepala Swapraja yang disebut dalam istilah Belanda “de self bestuurder” dan kemudian pada waktu pemerintahan Jepang (dai Nippon) disebut dengan istilah “Syuco”. Setelah kemerdekaan RI (RI-RIS) disebutkan“Raja/Ketua Dewan Pemerintah swapraja”. Pada tahun 1951 dengan berlakunya undang-undang No. I Tahun 1951 dengan dihapuskannya Pengadilan-pengadilan Swapraja, daerah Swanantra di Bali maupun daerah-daerah lainnya di wilayah Republik Indonesia, maka
45
dibentuklah Pengadilan-pengadilan Negeri salah satunya Pengadilan Negeri Denpasar.
B. YURISDIKSI PENGADILAN NEGERI DENPASAR 1. Kewenangan Absolut Pengadilan Negeri Didalam pasal 50 UU No. 8 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang bahwasanya menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.” Jadi dapat diberikan sebuah kesimpulan dasar bahwa semua perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan Peradilan Umum (asas lex generalis).50 Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menetukan bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan peradilan dalam lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan Asas Lex Specialis. Maka apabila kedua asas tersebut berhadapan maka secara lex specialis asas ketentuan khusus tersebutlah yang lebih di utamakan.51 Kewenangan absolut Peradilan Negeri/umum yang telah di atur dalam pasal 50 dan pasal 51 UU Nomor 2 Tahun 1986 (Tentang Peradilan Umum), hanya berwenang mengadili perkara: 50
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, “Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia”…..h. 1 Lihat juga Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktiaan, dan Putusan Pengadilan”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010) 189 51 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, “Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia”…..h. 1
46
a) Pidana (Pidana umum dan Khusus) b) Perdata (Perdata umum dan Niaga)52
2. Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang sama jenis dan sama tingkatan, contohnya: antara Pengadilan Negeri Bogor dengan Pengadilan Negeri Subang, dan Pengadilan Agama Muara Anim dengan Pengadilan Agama Baturaja.53 Dan Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan yang berhak
52
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 50 dan 51. Lihat juga Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktiaan, dan Putusan Pengadilan”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 181 53 Basiq Djalil, “Peradilan Agama di Indonesia: gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syari‟at Islam Aceh” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 146
47
mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah “Actor Sequitur Forum Rei”.54 Adapun wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Denpasar yaitu55:
Denpasar Utara Meliputi Desa/Kelurahan 1. Desa Pemecutan Kaja 2. Desa Dauh Puri Kaja 3. Desa Ubung Kaja 4. Kelurahan Ubung 54
Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktiaan, dan Putusan Pengadilan”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 190 55 pa-denpasar.go.id/ dan www.pa-badung.go.id/
48
5. Kelurahan Peguyangan 6. Desa Peguyangan Kaja 7. Desa Peguyangan Kangin 8. Kelurahan Tonja 9. Desa Dangin Puri Kauh 10. Desa Dangin Puri Kaja 11. Desa Dangin Puri Kangin Denpasar Barat Meliputi Desa/Kelurahan 1.
Kelurahan Padang Sambian
2.
Kelurahan Pemecutan
3.
Kelurahan Dauh Puri
4.
Desa Pemecutan Klod
5.
Desa Padangsambian Kaja
6.
Desa Padangsambian Klod
7.
Desa Dauh Puri Kangin
8.
Desa Dauh Puri Kauh
9.
Desa Dauh Puri Klod
10. Desa Tegal Kerta 11. Desa Tegal Harum Denpasar Timur Meliputi Desa/Kelurahan 1.
Kelurahan Dangin Puri
2.
Kelurahan Sumerta
49
3.
Kelurahan Kesiman
4.
Kelurahan Penatih
5.
Desa Penatih Dangin Puri
6.
Desa Dangin Puri Klod
7.
Desa Sumerta Kauh
8.
Desa Sumerta Kaja
9.
Desa Sumerta Klod
10. Desa Kesiman Kertalangu 11. Desa Kesiman Petilan Denpasar Selatan Meliputi Desa/Kelurahan 1.
Kelurahan Serangan
2.
Kelurahan Pedungan
3.
Kelurahan Sesetan
4.
Kelurahan Panjer
5.
Kelurahan Renon
6.
Kelurahan Sanur
7.
Desa Sidakarya
8.
Desa Pemogan
9.
Desa Sanur Kaja
10. Desa Sanur Kauh Kuta Utara Meliputi Desa/Kelurahan 1.
Kelurahan Kerobokan Kelod
50
2.
Kelurahan Kerobokan Kaja
3.
Desa Canggu
4.
Desa Dalung
5.
Desa Tibu beneng
Kuta Meliputi Desa/Kelurahan 1. Kelurahan Kedonganan 2. Kelurahan Tuban 3. Kelurahan Legian 4. Kelurahan Seminyak 5. Kelurahan Kuta Kuta Selatan Meliputi Desa/Kelurahan 1. Kelurahan Tanjung Benoa 2. Kelurahan Jimbaran 3. Kelurahan Benoa 4. Desa Pecatu 5. Kelurahan Kutuh 6. Kelurahan Ungasan Mengwi Meliputi Desa/Kelurahan 1. Kelurahan Sempidi 2. Kelurahan Sading 3. Kelurahan Lukluk 4. Kelurahan Kapal
51
5. Kelurahan Kekeran 6. Desa Cemagi 7. Kelurahan Munggu 8. Kelurahan Pererenan 9. Kelurahan Tumbuh Bayuh 10. Kelurahan Buduk 11. Kelurahan Abian Base 12. Kelurahan Mengwi Tani 13. Kelurahan Mengwi 14. Kelurahan Gulingan 15. Kelurahan Penarungan 16. Kelurahan Baha 17. Kelurahan Werdi Buana 18. Kelurahan Sibongan 19. Kelurahan Sembung 20. Kelurahan Kuwum Abian Semal Meliputi Desa/Kelurahan 1. Desa Dharma Sabha 2. Desa Sibang Gede 3. Desa Jaga Pati 4. Desa Angan Taka 5. Desa Sedang
52
6. Desa Sibang Kaja 7. Desa Lambing 8. Desa Mambal 9. Desa Abian Semal 10. Desa Dauh Yeh Chani 11. Desa Ayunan 12. Desa Blah Kiuh 13. Desa Punggul 14. Desa Bongkasa 15. Desa Taman 16. Desa Selat 17. Desa Songit Petang Meliputi Desa/Kelurahan 1. Desa Carang sari 2. Desa Getasan 3. Desa Pangan 4. Desa Petang 5. Desa Sulangi 6. Desa Plaga 7.
Desa Belok
53
C. TUGAS DAN FUNGSI PENGADILAN NEGERI DENPASAR Tugas pokok Pengadilan Negeri Denpasar sebagai Pengadilan Tingkat pertama adalah menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa perkara di Tingkat Pertama sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka Pengadilan Negeri Denpasar mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut : 1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni memeriksa dan mengadili perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri Tingkat Pertama di wilayah Hukumnya. 2. Fungsi Administrasi, yaitu menyelenggarakan administrasi umum, Keuangan dan Kepegawaian serta lainnya untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok Teknis Peradilan dan Administrasi Peradilan. 3. Fungsi pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya. 4. Fungsi Pengawasan internal dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. 5. Fungsi penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan dibidang Tugas dan fungsinya kepada Pengadilan Tinggi Denpasar. 6. Fungsi pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada Pegawai Pengadilan Negeri Tabanan, baik menyangkut teknis yustisial, administrasi peradilan maupun administrasi umum.
54
BAB IV PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF STUDI KASUS PENETAPAN NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. PENGADILAN NEGERI DENPASAR
A. Konsep Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam Secara historis, pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya sudah dipraktikkan oleh masyarakat dan bangsabangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-tabanni, dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.56 Imam Al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW.sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW.dengan nama Zaid bin SAW. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumukmkan oleh Rasulullah di depan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW.juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri
56
Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari TIga Sistem Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 53.
55
Aminah binti Abdul Muththalib, bibi nabi Muhammad SAW. Oleh karena nabi telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad SAW. 57 Setelah nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat AlAhzab (33) ayat 4-5, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan memangggilnya sebagai anak kandung. Imam Al-Qurtubi menyatakan bahwa kisah di atas menjadi latar belakang turunya ayat tersebut. Pengangkatan
anak
di
negara-negara
Barat,
berkembang
setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Saat itu banyak anak-anak yang kehilangan orang tua kandungnya karena gugur dalam peperangan, disamping banyak pula yang lahir diluar perkawinan yang sah. Pengangkatan anak di Indonesia mulanya dijalankan berdasarkan Stattsblad (Lembaran Negara) tahun 1917 No. 129, dalam ketentuan ini pengangkatan anak tidak saja berasal dari yang jelas asal usulnya, tetapi juga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya).58 Dalam hukum Islam pengasuhan terhadap anak yang tidak jelas asal usulnya, termasuk dalam kelompok “anak pungut” al-laqith, yaitu anak yang dipungut dan tidak diketahui asal usulnya secara jelas, karena bayi itu ditemukan
57
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 23. 58 Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari TIga Sistem Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 47.
56
di pinggir jalan, dan orang yang menemukan itu mengakui sebagai anaknya, maka nasab anak itu dapat di-nasab-kan dan dipanggil berdasarkan orang tua angkat yang menemukannya. Tata cara pengangkatan anak, menurut ulama fikh, untuk mengangkat anak atas dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut dapat mandiri di masa mendatang. Secara hukum tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya ia tetap menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya. Dalam arti berlaku larangan kawin dan tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya. Adapun pada pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum lainnya terjadi perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung ayah angkatnya berlaku larangan kawin serta kedua belah pihak berhak saling mewarisi. Jika ia akan melangsungkan perkawinan nantinya, maka yang berhak menjadi walinya adalah ayah angkatnya tersebut,bukan ayah kandungnya. Ada dua hal yang terkait dengan status hukum anak angkat, yaitu dalam hal kewarisan, dan dalam hal perkawinan. Dalam hal kewarisan, menurut ulama fikh, dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu karena hubungan kekerabatan atau keturunan al-qarabah, karena hasil perkawinan yang sah almushaharah, dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya (budak)
57
dan wali yang memerdekakannya atau karena faktor saling tolong menolong antara seseorang dengan orang yang diwarisinya semasa hidupnya. Anak angkat tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut.diatas; dalam artian bukan satu kerabat atau satu keturunan dengan orangtua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan yang dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena itu, antara dirinya dan orang tua angkatnyatidak berhak saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi, maka hak waris mewarisi hanya berlaku antar dirinya dan orang tua kandungnya secara timbal balik, atas dasar al-qarabah
dan al-mushaharah atau kalau mungkin ada karena saling
tolong menolong dengan yang meninggal semasa hidupnya.59 Namun mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memperhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orang tua angkatnya, maka Islam sama sekali tidak menutup kemungkinan bahwa anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Caranya adalah dengan hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya sebelum meninggal dunia. Dilihat dari aspek perlindungan dan kepentingan anak, lembaga pengangkatan anak (tabanni) memiliki konsepsi yang sama dengan pengangkatan anak (adopsi) yang dikenal dalam hukum sekuler. Perbedaannya terletak pada
59
A. Azis Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam , (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), jilid. I, hlm. 29-30.
58
aspek mempersamakan anak angkat dengan anak sendiri, menjadikan anak angkat menjadi anak sendiri, memberikan hak waris yang sama dengan hak waris anak kandung.60 Syekh Mahmud Syaltut, dalam hasil penelitiannya menemukan dua bentuk pengertian anak angkat yang berbeda, yaitu pertama: “At-Tabanni adalah seseorang yang mengangkat anak, yang diketahui bahwa anak itu termasuk anak orang lain, kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari kasih sayang maupun nafkah (biaya hidup), tanpa ia memandang perbedaan. Meskipun demikian agama Islam tidak menganggap sebagai anak kandung, karena itu ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung”.61 Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa status anak angkat itu hanya sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang, pendidikan, pelayanan, kesehatan, dan hak-hak asasi anak lainnya, tanpa harus disamakan hak-haknya dengan status anak kandung, karena hati nurani orang tua angkat tetap akan sulit memandang sama anak angkat dengan anak kandungnya. Oleh karena itu, pengertian anak angkat menurut Mahmud Syaltut lebih dekat pengertiannya kepada pengertian anak asuh yang yang lebih disadari oleh perasaan seseorang yang menjadi anak angkat.62
60
Adrianus Khatib. Kedudukan Anak Asuh Ditinjau dari hukum islam, Problematika Hukum Islam Kontemporer. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 158. 61 Mahmud Syaltut, Al-Fatawa. (Kairo: Dar al-Syuruq, 1991), hlm. 321. 62 Mufidah Saggaf Al-Jufri. Al-Laqith dan Tabanni, makalah, tp. 2004, hlm. 10.
59
Bentuk pengangkatan anak yang kedua, Mahmud Syaltut memberikan gambaran sebagai berikut: ”At-Tabanni adalah seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan seseorang anak orang lain sebagai anaknya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak sah”.63 Definisi kedua tersebut menggambarkan tentang pengangkatan anak sebagaimana yang dipraktikkan pada zaman jahiliyah, dan/atau pengangkatan anak yang dikenal oleh masyarakat Tionghoa yang mempersamakan status anak angkat sebagai anak kandung dan memutuskan hubungan darah dengan orangtua kandungnya, serta masuk klan (suku) keluarga orangtua angkat dengan memakai nama orangtua angkatnya. Oleh karena itu, anak angkat berhak menjadi ahli waris dan memperoleh warisan sebagaimana hak warisan yang diperoleh oleh anak kandung, sedangkan syariat Islam menetapkan tentang ketentuan pembagian harta warisan, yang telah digariskan secara qath‟i bahwa hanya kepada orang-orang yang ada pertalian darah, keturunan, dan perkawinan yang dapat masuk dalam kelompok ahli waris.64 Pengertian pengangkatan anak semacam inilah yang dilarang dalam Islam. Berdasarkan paparan diatas, jelas bahwa dalam lembaga pengangkatan anak yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah pengangkatan anak yang dengan sengaja menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak dan kewajiban yang disamakan dengan anak kandung; diberikan hak waris sama 63 64
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa. (Kairo: Dar al-Syuruq, 1991), hlm. 322. Lihat. QS. An-Nisa/4: 11, 12, dan 13.
60
dengan hak waris anak kandung, dan orangtua angkat menjadi orangtua kandung anak yang diangkatnya. Tetapi pengangkatan anak dalam pengertian terbatas dengan menekankan aspek kecintaan, perlindungan, dan pertolongan terhadap hak pendidikan anak, nafkah sehari-hari, kesehatan, dan lain-lain, adalah termasuk dalam ajaran ta‟awun yang oleh Islam justru sangat dianjurkan.65 Allah SWT berfirman: )٢: … (المائدة … “Bertolong-tolonglah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, tetapi jangan bertolong-tolongan dalam hal kemaksiatan dan permusuhan.
B. Prosedur Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Pemerintah melalui Menteri Sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan kehidupan sosial tidak semua orangtua mempunyai kesanggupan dan kemampuan
65
Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari TIga Sistem Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 53.
61
penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Sambil menunggu dikeluarkannya Undang-Undang Pengangkatan Anak, telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan.66 Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses ke arah lahirnya Undang-Undang yang khusus membahas pengangkatan anak telah sedang berjalan, dan yang mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa peraturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga yudikatif, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung, dan lain-lain. Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing tidaklah mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya67:
66
Republik Indonesia. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 Tahun 1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, Bagian I, Umum. 67 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 204-205.
62
1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan. 3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983. 4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Juni 1984. 5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002. 6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai Februari 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak yang kehilangan orangtuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial
63
Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut. 7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: “… penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.” 8. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang. Berdasarkan hasil pengamatan Mahkamah Agung RI, menemukan fakta bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur, tata cara menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan permohonan pengangkatan anak dipandang belum mencukupi, maka Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, memandang perlu mengeluarkan surat edaran yang menyempurnakan surat edaran sebelumnya yang mengatur prosedur dan syaratsyarat pengajuan permohonan pengangkatan anak.
64
Disamping hukum acara yang berlaku, prosedur dan syarat-syarat pengangkatan anak secara teknis telah diatur dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak.68 Prosedur pengangkatan anak baik antar-WNI, ataupun antar-WNI dan WNA akan diuraikan sebagai berikut:
1.
Prosedur dan Persyaratan Permohonan Pengangkatan Anak AntarWarga Negara Indonesia (WNI) Prosedur menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan
pengangkatan anak antar-WNI harus diperhatikan tahapan-tahapan dan persyaratan sebagai berikut: a.
Syarat dan Bentuk Permohonan 1. Sifat surat permohonan bersifat voluntair. 2. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undangnya. 3. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis bedasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku. 4. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.
68
SEMA No. 6 Tahun 1983
65
5. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang beragama
Islam
yang
bermaksud
mengajukan
permohonan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, maka permohonannya diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon.
b.
Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak 1. Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak. 2. Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama
didorong
oleh
motivasi
untuk
kebaikan
dan/atau
kepentingan calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orangtua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik. 3. Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon “agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B”. tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari B”.
66
c.
Syarat-Syarat Permohonan Pengangkatan anak Antar-WNI 1. Syarat bagi calon orangtua angkat/pemohon, berlaku ketentuan sebagai berikut: a) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orangtua kandung
dengan
orangtua
angkat
(private
adoption)
diperbolehkan. b) Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan.69 c) Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.70 2. Syarat bagi calon anak angkat a) Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan anak. b) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial, maka harus mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
69 70
Republik Indonesia. UU No. 23 Tahun 2002, pasal 39 Ayat (3). SEMA No. 6 Tahun 1983.
67
2. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Pengangkatan Anak WNA oleh Orang Tua Angkat WNI (Intercountry Adoption) a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNA 1) Surat permohonan bersifat voluntair. 2) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undangundangnya. 3) Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku. 4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh pemohon sendiri atau oleh kuasa hukumnya. 5) Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi domisili anak WNA yang akan diangkat. Pemohon yang beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan berdasarkan hukum Islam, maka permohonannya diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal anak WNA yang akan diangkat. b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNA 1) Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak.
68
2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan calon anak angkat WNA yang bersangkutan, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik. 3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon ”agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B”. tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari B”.
c. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak WNA 1) Pengangkatan anak WNA harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak di bidang pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNA yang berlangsung dilakukan antara orang tua angkat WNI dengan orang tua kandungnya WNA tidak diperbolehkan.
69
2) Pengangkatan anak WNA oleh seorang WNI yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.71 3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.72 d. Syarat bagi calon anak angkat WNA 1) Usia anak angkat harus mencapai 5 tahun. 2) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNA yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua WNI yang bersangkutan.
3. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Pengangkatan Anak WNI oleh Orang Tua Angkat WNA a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNI 1) Surat permohonan bersifat voluntair. 2) Permohonan seperti ini dapat dilakukan secara lisan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama. Permohonan juga dapat diajukan secara tertulis.
71 72
Republik Indonesia. UU No. 23 Tahun 2002. Pasal 39 Ayat (3). SEMA No. 6 Tahun 1983.
70
3) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undangundangnya. 4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh pemohon
sendiri
atau
oleh
kuasa
hukumnya.
Dalam
hal
didampingi/dibantu kuasa hukumnya, calon orang tua angkat harus tetap hadir dalam pemeriksaan di persidangan. 5) Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi domisili anak WNI yang akan diangkat. Pemohon yang beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan berdasarkan hukum Islam, maka permohonannya diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal anak WNI yang akan diangkat. b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak 1) Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak. 2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan calon anak angkat WNI yang bersangkutan, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orang tua angkat benar-benar
71
memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik. 3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon ”agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B”. tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari B”.
c. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak WNI oleh Orang Tua Angkat WNA 1) Syarat bagi calon orang tua angkat WNA/pemohon, berlaku ketentuan sebagai berikut: a) Harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun. b) Harus disertai izin tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon orang tua angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang Warga Negara Indonesia. c) Pengangkatan anak WNI harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan begerak di bidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan
72
antara orang tua kandung WNI dan calon orang tua angkat WNA (private adoption) tidak diperbolehkan. d) Pengangkatan anak WNI oleh seorang WNA yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.73 e) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.74 2) Syarat bagi calon anak angkat WNA yang diangkat a) Usia calon anak angkat harus belum mencapai umur 5 tahun. b) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNI yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua angkat WNA yang bersangkutan.
C. Analisis Penetapan Pengangkatan Anak di Pengadilan Negeri Denpasar Nomor. 1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps. 1. Duduk Permohonan Dalam penetapan ini yang dianalisis adalah perkara pengangkatan anak yang diajukan oleh Nuryani Rosalinda adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan yang lahir di Banyuwangi pada tanggal 25 Juli 1980, dan
73 74
Republik Indonesia. UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 39 Ayat (3). Republik Indonesia. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 54.
73
beragama Islam yang bekerja sebagai wiraswasta, yang beralamat di Jalan Poh Gading I Lingkungan Kalang Anyar, Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali Telp. Nomor: 081337643660, dan yang disebut sebagai pemohon. Yang tentang duduknya permohonan, sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon belum pernah menikah dan bekerja swasta; 2. Bahwa Pemohon berniat mengangkat seorang anak laki-laki yang bernama Gavin Robert Pratama yaitu anak dari seorang ibu yang bernama Tina Yulia Novanda dan sekarang anak tersebut juga belum mempunyai akte kelahiran; 3. Bahwa anak tersebut sejak dari kandungannya telah Pemohon biayai sampai anak tersebut lahir dan oleh karena Ibu anak tersebut tidak bekerja dan menyatakan tidak sanggup untuk memeliharanya, maka pemohon mengangkatnya; 4. Bahwa untuk kelangsungan hidup anak tersebut dikemudian hari dan anak tersebut dari lahir telah Pemohon pelihara sampai dengan sekarang; 5. Bahwa untuk sahnya dan setelah Pemohon menanyakan ke Kantor Catatan Sipil disarankan untuk mengajukan permohonan ini di pengadilan; Bahwa berdasarkan alasan-alasan tesebut diatas maka Pemohon mengajukan Permohonan ini ke hadapan Yth. Bapak Ketua Pengadilan Negeri
74
Denpasar agar dalam tenggang waktu yang tidak begitu lama dapat menetapkan hari sidang dan memanggil Pemohon dan setelah pemeriksaan dianggap selesai agar menjatuhkan Putusan/Penetapan sebagai berikut: a. Mengabulkan Permohonan Pemohon; b. Menyatakan sah pengangkatan anak laki-laki yang bernama Gavin Robert Pratama yang lahir di Denpasar pada tanggal 7 Desember 2012; c. Memberikan izin kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung untuk mendaftarkan tentang pengangkatan anak laki-laki yang bernama Gavin Robert Pratama.
2. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim dalam Menetapkan Perkara No. 1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Tuhan sebagai jalan bagi manusia untuk mempunyai anak sebagai keturunannya, karena hidup bersama dalam suatu perkawinan belum dikatakan sempurna apabila sepasang suami istri belum dikaruniai keturunan (anak), sebab anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan yang Esa yang dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak yang harus dijunjung tinggi. Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak. akan tetapi tidak selalu ketiga unsur
75
ini terpenuhi, karena ada keluarga yang tidak mempunyai atau belum memiliki anak. Sebab seorang anak merupakan generasi muda penerus bangsa yang memiliki peran penting dan vital serta untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara di masa depan. Oleh karena itu, apabila ada keluarga, suku atau kerabat yang khawatir menghadapi kenyataan tidak mempunyai anak, maka berbagai usaha akan dilakukan. Untuk menghindari hal tersebut, salah satu usaha yang mereka lakukan adalah dengan mengangkat anak. Dalam perkara pengangkatan anak No. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Denpasar, hal itu telah sesuai dalam Pasal 39 UU No. 23 tahun 2002 bjahwa: “Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya, Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, pengangkatan anak oleh warga negara asing dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.”75
Berdasarkan pada proses pembuktian dalam persidangan, majelis hakim juga sudah mengacu pada SEMA No. 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak yang menjelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.76
75 76
Lihat Pasal 39 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lihat Poin 1 pada SEMA Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak.
76
Dan majelis hakim pengadilan negeri tersebut juga mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2007 Pasal 13 yang menjelaskan bahwa syarat-syarat orang tua angkat adalah: a). Sehat jasmani dan rohani; b) Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c). Beragama sama dengan agama calon anak angkat; d) Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e) Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f) Tidak merupakan pasangan sejenis; g)Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h) Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i) Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; j) Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k) Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l) Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m) Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.77 Dengan mengacu pada peraturan tentang persayaratan bagi calon orang tua angkat diatas, perkara pengangkatan anak tersebut telah mencakup beberapa poin dari Pasal 13, namun terdapat beberapa poin pula yang tidak
77
Lihat Pasal 13 PP Nomor 57 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
77
terakomodir. Dalam surat permohonan pada kasus ini, pemohon berstatus belum pernah menikah. Sedangkan dalam ketentuan diatas disebutkan bahwa pemohon harus berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun (poin e). Dan tidak terdapat dalil bahwa pemohon wajib memberitahukan status anak yang akan diangkat. Bahkan dalam Pasal 13 huruf k, j dan m menyatakan perlunya laporan sosial bahwa calon orang tua angkat itu telah mengasuh anak angkat tersebut sejak izin pengasuhan diberikan dan memperoleh izin menteri dan/atau kepala instansi sosial. Ketentuan diatas, tidak terlaksana dalam kasus ini. Hal ini dikarenakan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemohon secara langsung. Hakim seharusnya memerintahkan dinas sosial setempat untuk melakukan
pengecekan.
Tapi
sayangnya,
dalam
kasus
ini
hakim
mengeluarkan penetapan tanpa memeriksa ulang berbagai ketentuan yang seharusnya dipenuhi oleh orang tua angkat. Kemudian jika dilihat bahwa pemohon adalah orang yang beragama Islam dan wajib bahkan ada ketentuan harus mengajukan Permohonan tersebut ke Pengadilan Agama. Sedangkan dalam kasus ini Pengadilan Negeri telah mengambil kewenangan Pengadilan Agama mengenai kewenangan Absolute Peradilan Agama sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah di Amandemen ke Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama yang telah jelas disebutkan di Pasal 2 yang berbunyi:
78
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”78 Adapun perkara tertentu itu adalah tercantum dalam pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006, yang mengatakan bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a). perkawinan79; b). warta; c). wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.” Sehubungan dengan hal ini dikalangan Hakim Pengadilan Negeri terdapat 2 (dua) pendapat yang berbeda terhadap permohonan pengangkatan anak: Pertama: sebahagian hakim berpendapat bahwa Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus permohonan pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama Islam. Dalam permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh Pemohon beragama Islam ke Pengadilan Negeri tersirat tujuan untuk menjadikan anak angkat itu sama kedudukannya dengan anak kandung dan berhak mewaris.
78
Lihat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 di Amandemen Ke Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 79
Dalam permasalahan perkawinan tersebut terdapat pada poin (t) penetapan asal usul anak dan pengangkatan anak (Lihat Pada Bab III sub Kewenangan Absolut Peradilan Agama dan Peradilan Negeri)
79
Kedua: sebagian Hakim lagi berpendapat bahwa Pengadilan Negeri hanya berwenang mengadili permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon yang beragama selain Islam, Sedangkan untuk yang beragama Islam sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, berlaku asas personalitas Islam sehingga permohonan itu harus diajukan ke Pengadilan Agama. Dengan adanya perbedaan pendapat di antara para Hakim ini, maka ada dua bentuk penetapan yang dikelaurkan hakim terhadap suatu permohonan pengangkatan anak. Pertama, permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, karena menurut Hakim yang menyidangkan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili, dan kedua permohonan dikabulkan sesuai dengan pendapat Hakim tersebut bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili permohonan pengangkatan anak tersebut. Hal ini jelas dapat menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat. Padahal sesuai dengan teori tujuan hukum, tujuan dikeluarkannya hukum salah satunya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Hakim sebagai pelaksana undangundang harus menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten. Yang menjadi kata kunci dalam menjaga terciptanya kontinuitas kepastian hukum berada ditangan hakim. Ditangan hakimlah hukum itu menjadi hidup dan dijalankan sehingga tercapai kepastian hukum. Dengan adanya hukum yang baik dan dijalankan
80
oleh hakim yang baik pula diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang dibeberapa Pengadilan Negeri ternyata sebagian besar hakim-hakim Pengadilan Negeri berpendapat bahwa walaupun UU No. 3 Tahun 2006 telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk mengadili permohonan pengangkatan anak berdasarkam hukum Islam, Pengadilan Negeri masih mempunyai kewenangan untuk mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam. Hanya sebagian kecil hakim yang secara tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengadili permohonan pengangkatan anak. Dapat disimpulkan bahwa ternyata kebanyakan Hakim Pengadilan Negeri lebih tunduk pada Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Adminstrasi Peradilan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dari pada ketentuan Undang-undang. Sesuai dengan teori kewenangan, masing-masing badan peradilan telah mempunyai kewenangan atribusi untuk memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkannya kepadanya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 25 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan Pengadilan Agama mengadili
permohonan
pengangkatan
anak
lebih
dikhususkan
lagi
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 49 beserta penjelasan UU No. 3 Tahun 2006. Sesuai asas lex specialis derogat lex generalis (hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum) seharusnya UU No. 3 Tahun 2006
81
lebih didahulukan dari pada UU Kekuasaan kehakiman sebagai UU yang bersifat umum. Jika dihubungkan dengan teori tujuan hukum, kelompok Hakim yang berpendapat
bahwa
Pengadilan
Negeri
masih
berwenang mengadili
permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam, lebih berpegang pada teori kemanfaatan (utilities theory) karena lebih menitik beratkan pada tujuan kemanfaatan diajukannya permohonan pengangkatan anak bagi pemohon, sedangkan bagi hakim yang berpendapat bahwa pengadilan yang berwenang mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam adalah Pengadilan Agama lebih mengutamakan kepastian hukum disamping kemanfaatan dan keadilan hukum. Sesuai dengan asas prioritas yang diajarkan oleh Radburch bahwa tujuan hukum itu tidak dapat dicapai ketiga-tiganya sekaligus, namun diperlukan penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu, dan sesuai dengan pendapat Achmad Ali urutan prioritas tersebut tidak harus berturut-turut keadilan dulu, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum, melainkan lebih realisitis jika urutan prioritas ditetapkan secara kasuistis sesuai dengan kasus yang dihadapi.80 Untuk kasus kewenangan mengadili permohonan pengangkatan anak ini maka yang dikedepankan terlebih dahulu adalah tentang kepastian hukum,
80
Lihat Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, (Jakarta, Kencana 2009),h. 20
82
karena kepastian hukum sangat diperlukan masyarakat untuk menentukan ke pengadilan mana permohonan pengangkatan anak harus diajukan. Dengan berlakunya UU Peradilan Agama yang baru, maka Pengadilan Negeri tidak lagi berwenang untuk mengadili permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon beragama Islam. Pengadilan Negeri hanya berwenang mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemeluk agama selain Islam. Kemudian jika dilihat dari perspektif hukum Islam, ada beberapa hal juga yang ditabrak oleh pemohon maupun majelis hakim. Dalam hukum Islam anak angkat harus dipanggil sesuai dengan nama ayah kandungnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Azhab ayat 5 yang berbunyi:
٥
…
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah SWT.”
Dan juga haram (dilarang) mengalihkan nasab anak angkat kepada ayah angkatnya berdasarkan Hadits Rasulullah riwayat Bukhori Muslim tentang Zaid bin Harisah, anak angkat Rasulullah yang semula di panggil Zaid bin Muhammad SAW, sehingga menjadi sebab nuzul ayat 5 Al-Ahzab tersebut diatas, kemudian Rasulullah bersabda kepada Zaid :engkau adalah Zaid bin harisah. Sedangkan di dalam surat penetapan yang yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar tersebut, majelis hakim memberikan izin
83
kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung untuk mendaftarkan tentang pengangkatan anak tersebut. Menurut hemat penulis, majelis hakim yang menyidangkan perkara pengangkatan ini, belum sepenuhnya mengacu pada peraturan yang ada, khususnya peraturan pemerintah No. 54 tahun 2007 Tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak. sehingga, berdasarkan tinjauan yuridis diatas, apabila dikaji lebih jauh, majelis hakim sebaiknya tidak mengabulkan permohonan penetapan ini, dikarenakan ada beberapa hal yang mendasar yang tidak dipenuhi oleh Pemohon. Dan juga majelis Hakim telah mengambil kewenangan Absolut Pengadilan Agama.
84
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari keseluruhan rangkaian pembahasan dalam skripsi ini, mengenai Penetapan Pengangkatan Anak Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka penulis beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Bahwa Penetapan pengangkatan anak yang terjadi di yuridiksi Peradilan Agama adalah berdasarkan dengan hukum Islam yang padanya tidak memutuskan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, hanya saja konsep hadhanah yang diperluas. 2. Bahwa jelas penetapan pengangkatan anak yang terjadi di yuridiksi Peradilan Negeri memutuskan hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya bukan hanya itu saja dalam pengangkatan di Pengadilan Negeri anak angkat juga mendapatkan hak waris sebagaimana hak waris anak kandung dan akan berakibat hukum yang sangat bertentangan dengan hukum Islam dalam surat Al-ahzab ayat: 4, 5 dan 37. 3. Bahwa setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang di amandemen ke Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, berhak menerima dan memeriksa serta memberikan putusan/ penetapan sesuai dengan hukum Islam, dan Pengadilan Negeri sudah tidak dapat menerima dan memeriksa serta memutuskan bagi orang yang bukan
85
beragama muslim berkaitan dengan Pengangkatan Anak karena akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda.
B. SARAN Setelah menelaah yang terdapat dalam tulisan ini, maka ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan antara lain: 1. Setiap pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh pengadilan agama maupun pengadilan negeri seharusnya mempunyai kepastian hukum penulis melihat bahwa ketika Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terutama dengan masalah Usia Pengangkatan Anak yang tidak diberikan batasannya. Seharusnya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 mengenai Usia anak yang boleh dijadikan anak angkat. 2. Tidak tegas dan
Tidak jelas pengaturan tentang pembagian kewenangan
mengadili antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak menimbulkan persepsi yang berbeda dikalangan hakim yang menangani permohonan pengangkatan anak. Untuk mengatasi hal tersebut agar pembuat UU membuat peraturan yang tegas tentang pembagian kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama terhadap permohonan pengangkatan anak, sehingga terdapat kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum .
86
3. Sementara belum ada aturan undang-undang yang tegas tentang pembagian kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama untuk mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam, agar Mahkamah Agung sebagai induk dari empat lingkungan peradilan membuat peraturan teknis tentang pelaksanaan kewenangan mengadili antara peradilan yang berada dibawahnya, namun aturan tersebut harus sesuai dengan asas hukum dan peraturan perundang-undangan dan tidak boleh bertentangan dan menyimpang dari aturan hukum yang lebih tinggi. 4. Pihak pemohon selaku pemeluk agama Islam sebaiknya mengerti tentang wewenang absolute yang ada di lingkungan peradilan, bahwa seorang muslim haruslah mengajukan perkara perdatanya ke Pengadilan Agama. Bukan lagi ke Pengadilan Negeri. 5. Pemohon tidak mengajukan permohonan pendaftaran kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten Badung, agar status anak yang diangkat tidak menjadi anak kandung. 6. Secara hukum fikih, sebaiknya pemohon tetap mematuhi rambu-rambu hukum fikih yang berlaku untuknya, seperti tidak mengalihkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya, memanggil nama anak angkat tersebut sesuai dengan orang tua kandungnya, dan lain-lain.
87
DAFTAR PUSTAKA Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1996 Echols, John H dan Hasan Sadilly, Kamus Inggeris-Indonesia, Jakarta: Gramedia 2004 Kalid, Muhammad Khalid, 60 Sirah Rasulullah SAW, Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Ummat, 2007 Martosedono, Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara Prize, Semarang, 1997 Meliala, Jaja S., Pengangkatan Anak ( Adopsi ) di Indonesia, Bandung: Tarsito, 1982. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung, 1978 Razak, Nazarudin, Dienul Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1973 Rosyanda, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996 Saragih, Djaren, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984 Siregar, Bismar, Islam dan Hukum, Jakarta: Grafikatama Jaya: 1991 Soedharyo, Soimin, Himpunan Dasar Pengangkatan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Bandung: Alumni, 1991 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003. Sutha, I Gusti Ketut, Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 1987. Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1987 Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
88
Ka’bah, Rifyal, Pengangkatan anak Dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No. 284. Sugondo, Lies, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berspektif HAM, Suara Uldialag vol 3 No X.
rr
Br
1e66ue1 eped reseduaq l.re6aN uelrpe6ua6 ueeralluedey lp
uelrelJeplp qelal
6ue^ EI0Z
.raqtualdes 11 le66ueuet e{uueuoqouilad
leJns uelnfebuau qela] uoLloruad eMqeq
,6uequrguayl
:
I ue6uep;sladlp ueln[e;p 6ue{ l])nq lerns-Jerns ll!lauaur uep lprlllau qplates
I ;s1es-;s)es uep uoL{otrled ue6ue;a1e1 lebuepuau qelales I uoqoulad ueuoLlorulad leJns-leJns pf,eqruatrt Llelales 1
il[Cimffiil eAulnfueles
6ue{
: JotuoN 'dlet re{uy 6ueiey
lnqasral IUJgtN N\flICV9Nld
: rebeqas lnqastp
ISZ11ZL6LTBO'OggEVgLEEIB0
uelelas eln) ,
ue6un16ug1
1
uelequtrg
bu1pe9 Llod elei
!p lptrleleJaq uelsl eue6y , elsennse.r;6
ueef-ra1ad
'unqe1 tE JnuJn 0B6Mnt SZ ,rbuennn{ueg : rlLlel le66uel / 1edua1 uenduale6 : eruueuoqourad urelep ln)uoq lebeqes uedeleuad
llqureOueru
qelal eueyad 1e16u;1 uellpe.red ulelep ueuoqouued elepjed elelled ll!pebueu uep es)Uaruau 6ueA ;eseduaq prabap
'vs!l vHvl^l 9NVA NVNVHflIf)
ueggpe6ua6
NV)IEVSVCIEEIE
ffi 'ssq 'Nd / EIoz
I
d'tpd
/ Iso.r : rou,toll
ffi
F["
uoqourad ueuoLloutJed ue)lnqebuaN
.I
: ln>llJaq !e6eqes uedeleuad/uesnlnd ue)Llnle[uau re6e leseles de66ue;p uees>luaurad
qeleles uep uoLlouad ;l6ueuraur uep 6uep1s ueq ueldelauaur ledep eruel n116aq )ep!] 6uer nlreM 6ue66ual uelep le6e leseduaq ua6ep ue;1pe6uad
enlo) ledeg 'q11 uedepeq al !u! ueuoqourad uelnfebuau.r
uor-{oruad e>leu sele!p lnqesJel uesele-uesele ue)JesepJeq eMLleg 1ue;;pe6ue6
!p !u! ueuoqouuad uelnfebueur )n]un upluerpslp l!dls uelelef Jolue)
el uele{ueueu
uoL.lorued qelales
uep e{uqes >lnlun eMLleg .s l
uele>1es
uebuap ;edures ereqr;ed uoqourad qelal Jlllel lJep lnqasral )eue uep ueq uelpnua>lrp lnqaset leue dnptq ue6uns6uela) )nlun eMqeg
ue1e1e{uaru uep e[.re)eq
ereu 'eAuereqllaurau )nlun dn66ues repll
eOueur uoL.loruad
1
e{u1e>1 6u
.t
)ep!l lnqesJol >leue nql eueJe) qalo uep Jlqel lnqesrel )eue redues ;e{e;q uoqoulad L{elol eAuue6unpue) uep
>1etas
lnqasial reue eMqeg
.E
luelrqela) el)e ;e{undutaul unleq e6nt lnqaslal )eue Ouelelas uep VCINVAON VnnA
VNII nq1 bueloas rep 1eue nt!e{ VL{V1VUd jUlgOU NIAV9 pueureq
6ue{ lrpl-)el reue 6ueroas lelsenns
lerureq uoLloued eMr,leg .z
1e>;6ueOuaur
ela1aq uep qe)ruau qeurad urnlaq uor.{orued eMqeg .I : ln)ueq ;e6eqas leq-lel{ uele)nula6uaur uebuap , .sdq.
Nd
/ €.T02 /
4Wa
/ 16O.I : rorrroN .re1sg6e5 qeMeqlp ttOZ .raqualdag
I
lS-a epuet Uaqtp IIVAVrIM 'ue reue ;sdopdebuaur >lnlun ueleJaqe)
lep[
)IIII
ueeleAura6 ]eJns 's
!V-a epuet Uaqlp INIJ-UVHnS 'ue )eue rsdopdebuauu )nlun ueleraqa)
)eplr ueele{u;e6 lerns
19-6 epuet Uaqtp VCNITVSOU INVAU1N uV 61y
--! 7- d epuel Uaq!p ' qOOZ la6 9002/dSIA/IU V/TgtZOO .oN uelLlele)
{do3
'b
o1o3 '€
EZ le66uelral
at)V uedrlny
{docotoJ 'z
I-d epuel uaqlp ZT0Z leqLuesa6l
€I
le66ueyel )eue ueqeleAurad lernS Adoc
olol .I
:mtrislmris : ednraq ll)nq-ll)nq uelnfebuau qele] uoL{oulad 'eAuueuoqouued
lllep-lllep uellenbuau )nlun eMLleq eped ue1;eqled
,6uequr1ue6
i e{uueuoqouuad epe ueleleAuaur uor.loruad ,ueleceqlp ueuoqouuad
qelelas uep ueouep;slad ue1de1e1;p
plnual
tJtpues depeqouaur 6ue1ep uor.louad
qelal 6ue{ 6uep;s UeLl eped eMqeq ,6uequgua6 I uoqoura6
epedal !u! ueuou:rad teql)e lnquol 6uert e{e;q ub)ueqaque6 .v lZt1Z raqruasa6 1 1e66uet eped ;esedua6 !p rlqel 6ue{ VNVIVUd IUJ€1OU NIAVS erueuraq 6ueA
6ue1ua1 uelrplJepueu
t)el-!lel >leue uetele)ue6uad
)nlun 6unpeg ualednqey lldls
uelele3 uep ue)npnpuaday rolue) eleday epedel ulfl uaquja6
.E
lZt1Z raquasa6
4
1e66uet eped ;eseduag !p
erueuraq 6ueA !)el-!)el
rlqel 6ue{ VNVIVUd lUlgOU NInVg
)eue
uele>16uebuad
qes uele1e{ua61 .Z
1 1s1eg
pJepnes qelepe uoLloruad
eML1eg
Ulpuas nll )eue ue)lplpued uep uedap eseut
lnlun lnqasJel Ieue uelelbuebuad uelnfebuau uor]oued
eMqpg
lueleraqal 6ue{ e6;en1a1 epe lep!1 'lnqaslal
)eue
uele>16ue6uad depeq.ral eML{eg
!ZyOZ raquase6 / le66uel eped reseduag lp rlqel 'VNVIVUd IUI€1OU NIAV9 eueu Uaqlp 6ue{ !)el-llel leue 1e16ue6uau L{epns uotloued leuaq eMl{eg
I
i
qe>11uaur
unleq !u! lees ledures uorloued Jeueq
eMLleg
uoqourad Uep bunpuel >lele) qelepp !s)es eueullp eblenlal
ue6unqnq
epe upp uor.louad
uebuap leua) ls>les reuaq eMqe€
I ;s1e5 erepnes qelepe uoqouad eMqeg :IIV'NVUS.INVIUNS IS)VS'I : etrleuJeq 6u;seur-6u;seu'qeduns qeMeqtp uebuelalal 6uer( !s)ps
ue>llJequleut
6uero ( enp ) Z ue)nfebuaur L]elel uor,lorued uebuep;s.rad
urelep!p lnqasJel
I qes lllnq
!l)nq lelns-lerns ulelas eMqeq 1e1e re6eqas 1e-reAs
'g1q1allp
'6uequrgua6
lqnueuau.r qelai e66ulqas ' rensas
eleAural eAurlse !l)nq uebuap uelolollp qelal eyas
qelel uep
dnlnr
!eJalerrlreq
uep esluad;p qelal euput lllnq Jelns-lerns uenfebuad
0I-d epupt Uaqlp e6:en1ey ntre) {do3 otoJ '6
'/
Z-d ppuet Uaqlp VCINITVSOU INV UnN uV uelqelo) aUV Ado3 otoJ
'B
OfDnI'uV uerletla) uebuerale) Jerns ldo3 olol
B-d epuel Ueqlp
lg-a
)nn
Ppuet Uaqtp INVAUnS
'ue )eue lsdopdebuetu )nlun uelereqe)
Ippll
ueeleAula6 lelnS '9
eped reseduaq
IZyOZ raquesaq
/
le66uel
lp rlqel 'VNVIVUd lUlgOU NIAV9 eueu Ueqlp
6ueA !)el-!)el leup lelbuebuaur qppns uoqoued Jeueq 1
eMqeg
qelguaur ulnleq lu! lpes gedures uot{otuad Jpueq eMqeg
: ln)tJoq
;ebeqes el)eJ-elleJ qa;oladureul uellpebua6 uebuepgs.rad;p uoqoruad Llalo ue>1nte;p 6uer( stlnilal
ll)nq-lllnq eues !qes-!qes
ue6uelala>g
uep uor.lor.ue6 uebueJale) lebuapueu L{elelas eMLleq ,6uequtlue6 1
selelp lnqaslal eueur;ebeqes qelepe
uoqoued ueuoqoul;ad uenfnl uep pns)euJ eMr.{eq ,6uequrua6
ffi 1 uellpe6ue6
Uep uedelaua6 uoqou uoLloued eAu.r;q1e eMqeq ,buequlua6 1 ;ur
uedelouad ruelep >lnseu de66uerp uep uebueplsled
erpf,e eluaq uelep teqlltp ledep !u! ere)rad uelep ge;pe[a1 e;e6as p)eu
lul uedeleued ueteJn le)6uls.reduraur )nlun eMqeq
,6uequrguayl
Ulpues nlt )eue ue)lplpuad uep uedep eseut
)nlun lnqesJol )eue ue1e16ue6ue6 uelnfe6uau uor1oued
eMr.1eg
lueleleqal 6ueA e6ren1a1 epe )ep!1 'lnqaslol
)eup
uele>16uebued depeq-ra1 eMqeg
lZt1Z raqruase6
Z
le66uel
eped resedua6 !p rlqel 'VNVIVUd t_UJgOU NIAV9 eueu
Uaqtp
6ue{ l)el-llel )eue 1el6ue6uaur Llepns uorloruad reueq emqeg I qe1;uau rrlnlaq !ul lees ;edures uotloruod Jeuaq
I
uoqouted Uep bunpuel )ele),1 L{elppe lsles
uebunqnq
epe uep uorloued
eMqpg
eueulp e6len;a1
uebuap leuo) !s)es leuaq eMqeg
ledueu
L{elel uep upq uelpnrue)lp
lele) lnlun lnqasrol
>leue uednptLla)
upp dnprq ueouns6uelel uebu;1uada1 1n1un ruep e)pru ,se1e1p lnqesJal
ue6ueqtulilad Uep ue;[e1 ue)lesppraq eMLleq ,6uequlua6 lnqesJal )eue uednprqe) uep dnptq re^elqureu )nlun ndureu.r
6uepuedlp uoqoruad eMLleq ueselereq dnlno L.lepns e>leu
,efua>1aq
ebnf uoqoruad eupulp ueL{-ueqas uednprqe) uelep eMqeq '6uequr1ua61
6uerelas !edues rJrpuas eAubunpue>1 )eue
llradas uoLlorued qelo
)!p!plp undneur qnselp 'eleq1;ad!p lnlun e^uu6unpue>1 en1 6ue:o qelo selql! eJef,as ue)Lleleslp Llelal lnqasral )eue euerrJlp ' zroz reqruesec
L0 1e66ue1 1e[as ]nqaslal leue lnse6uaul Llelal uoqoutad
eMqeq
1edue1 'se1e;p lnqaslol elleJ ue)Jeseplaq eMqeq ,6uequ1ue6
I
1;.rrpuas n1l 1e16ue
)eup uep rrln)nq JnJnuau
ulel leq - )eq uep uedap eseut e{uu1ue[:a] )nlun Llelepp lnqasJel )eue
ue1e16ue6ued uen[n1
uep le)e)eq emqeq
I Uep ulel )eq
,6uequrrua6;
peq uelpnue)tp tnqasrel )eue
)pq uep uedap eseul ,urnlnq ueqlsedel
)nlun lnqeslel >leue 1e16uebuaur
e{uurr.ue[.ra1
uoLlorrlod uen[n1 eMqeg I lnqas;el )eue
6unpuel en1 6ue;o lebeqas eAuleAel lnqaslel 1e16uerp 6ueA )eue depeqral eAuueqlfeMe) up>leueslelau dnbOues uor.loruad
emLlpg
I lnqeslel )eue uelel6uebuad ue6uap nln1as rjelal uor]ouad Jesaq e6.ren1e1 enLues Jeuaq eMqeg
I
rtuouo>1a 16es
undneu ue)lplpued !6as uep >l!eq lnqasral
>leue
snlnbueur lnlun ndureur de66uerp uoqoued uednprqa>1 reuaq emqpg
lr.lpuas elu6unpue) )eue ;ebeqas ue1n1e1_redlp
lnqesral
)eue uep ndueu
de66uelp uoqotued uednplqal emqeg
lqerdn.r nqrJ [!eue qnlnd ureua snlelag) -'000'99T'u Jeseqes uoqourad
epeda>1 lul
ueuoqouled leql)e lnqulll 6uer( elerq ue)ueqaqura6 1n1r
.,
1n1un ue))nlun:adlp
6ue{ relsrbel ruelepa) up)lelelrp le6e bunpeg ualednqey lldls uelele3 uep ue)npnpuada) Jolue) eleda) epedal lul uedelaued
bueluel uepeuepueu )nlun uoqoued epedel ue)L.lelupoule6
.E
iZtOZ raquase6 1 1e66ue1 epeod resedue6 !p r!Llel 6ue{ VNVIVUd
lut€OU NIAV9 errreuroq
6ueA !)el-uel leue depeq-re1 VCINITVSOU INV UnN uor.louad qalo ue)n)el!p 6ue{ )eue uelel6uebued qes ueleleAua6 'z
I
uoqoured ueuoqor.ulad uellnqebua6 ,T
NVXdVMNfI'rl i
uelnlbuesJoq 6ueA ulel ueJnlelad
-uernlerad plJas 6uepul-6uepun Uep lesed lesed 1e6ur6ua6
-- luoqoura6 epeda>1 ue>lueqeqlp lnled lu! ueuoLlouuad leql)e lnqLull 6ue{ eAe;q enuJes ererrr ue4nqe)!p
uor.louad ueuoqotulad eueJe) qelo eMqeq ,buequtrua6 1e{unlledas lpuols)epeJ up}!eqred ue6uep ue)lnqe>llp )nlun ueseleJeq
dnlnr uoqouled ueuoL.lorrj.rad
eleur'6uepu1-1-6uepu1 ue6uap
eueurgebeqas uetern ue6uep eMLleq ,6uequ;ue6
qelel 6ue{
lepll
uebuelueueq
uoL{otuad upuoqoulad uep sele;p uel6uequr;yad;p
I uoqouted eled 1e16ue )eue lpeluaur n]t
)eue lel6ue6uaur lnlun uoqoued eled
;6eq ueseleraq 1n1ed up!)lulap uebuep ueleraqe)raq OueA 1eq;d-1eq1d epe Iep!1 egnd ;6e1 'tlpuas e{u6unpuel Ieup ryadas nJl )eue ue6uap
uorlouad
pJpJue
le)ap 1e6ues 6ueA 6uertes q!se) ueul;et ueln[unueuj
'200 T €02861 0r80ss6T'drN
Jeseduac ua6aN uellpe6ued erelrupd MeM !urseu ueu!les )nlun
@'.''.''.''..qelujnr ....'...!s>lepeu
-'000'9 'dU -'000'0t 'dU' """" --'000'0S 'dU" .dU ,000..52
""""'rereJeN uereuepuad
"""sasor6
eAe;g
...........'.'.'uel!66uea eAe;g
@ ffi
-ffi
,IINYbgN]d VU]IINVd
NI)VH
oqoulad Llalo UlpeLllp uep resedua6 UeOeN uellpebuaa eped llue66uad erellued HS'NnICV lnll) ulnuJn
Ljalo nlueqtp tnqasrat ul!>leH qalo
)nlun elnqrol 6ueA ue6ueplsred uelep
ue>1decn;p
e6n[ n]!
UeLl
eped eueu uedelaued uep 1e66un1 Lu!)eH lebeqas 'lesedua6 ua6ap uel;pe6ua6 eped urlleH 'HS'INVAUI1^I VIUCNI: tule>l qalo €TOZ
reqollg
gZ le66uel VS\nlS : ueq eped ue)detal!p qeluellluec