STRUKTUR HUKUM PEGADAIAN SYARIAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif Terhadap Praktek Pegadaian Syariah di Kudus) Oleh : Ahmad Supriyadi*1
Abstrak Kegiatan Gadai Syariah merupakan suatu gejala ekonomi yang baru lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor 26/ DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Kegiatan gadai syariah yang baru ini melahirkan sistem hukum baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam sistem hukum perdata di Indonesia misalnya ar-rahn. Karena Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum Islam. Karena itu akan banyak masalah yang terjadi bila struktur hukumnya belum di temukan. Sedangkan penelitian tentang struktur hukum pegadaian syariah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum positif belum banyak dan hanya beberapa orang misalnya Zainuddin Ali, Abdul Ghofur Anshori dan Nur Aliyah. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pengambilan datanya melalui observasi dan quesioner. Untuk bisa menyelesaikan rumusan masalah yang ada peneliti menggunakan pendekatan sistem dengan pemahaman bahwa dalam pegadaian syariah itu operasionalnya menggunakan sistem tertentu dan pendekatan yang lain yaitu pendekatan yuridis normatif yang digunakan untuk menganalisis praktik pegadaian syariah dari sisi hukum. Struktur hukum dalam pegadaian syariah yang telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat di simpulkan. 1.Dosen STAIN Kudus dan Mahasiswa Program Dorktor Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang *
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
1
Ahmad Supriyadi
Bahwa struktur hukum perjanjian yang di buat oleh para pihak ada dua struktur yaitu struktur hukum gadai pada perjanjian gadai dan struktur hukum jual beli pada skim mulia. Struktur hukum gadai yang di lakukan di Pegadaian Syariah Kudus memuat : suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan berupa benda bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum perdata termasuk perjanjian bernama yang mempunyai sifat timbal balik, di satu sisi punya hak dan di sisi lain punya kewajiban secara timbal balik. Perjanjian demikian itu termasuk perjanjian konsensuil obligatoir, karena terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus dan yang di perjanjikan mengandung unsur ekonomi. Sedangkan pada skim mulia perjanjian yang di bentuk termasuk struktur hukum jual beli, karena di satu sisi ada penjual dan di sisi lain ada pembeli dan juga ada obyek jual beli berupa logam mulia. Perjanjian jual beli termasuk perjanjian bernama yang sifatnya juga konsensuil obligatoir karena perjanjian ini terbentuk dengan adanya kata sepakat dan tidak diharuskan ada formalitas tertentu seperti barang tak bergerak. Berdasarkan hubungan hukum, perjanjian ini termasuk perjanjian timbal balik karena ada hak dan kewajiban secara timbal balik antara pembeli dan penjual. Kedua struktur hukum tersebut telah di atur dalam KUH perdata dan telah di atur dalam hukum perdata yang berasal dari hukum Islam. Struktur hukum ini mempunyai kekhususan dimana ia berasal dari struktur hukum Islam yang di adopsi dari budaya Islam di zaman Arab. Kata Kunci: Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
A. Latar Belakang Masalah Islam telah mengatur pemeluknya dalam segala aspek kehidupan melalui syariah yang dituangkan dalam kaedah-kaedah dasar dan aturan-aturan. semua pemeluk Islam di wajibkan untuk mentaatinya ataupun mempraktikkan dalam praksis kehidupan. Sehingga sangat wajar bila interaksi antara sesama umat Islam yang berdasarkan syariah perlu mendapat kajian yang serius karena umat perlu panduan keilmuan supaya tidak salah berperilaku. Karena itu perlu pengkajian aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang berawal dari interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya dalam hal ekonomi. Pinjam meminjam dalam ekonomi adalah sesuatu yang lazim di lakukan oleh para pelaku ekonomi. Walau demikian meminjam untuk menanggung kebutuhan hidup berupa makan dan minum 2
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
dengan pinjaman yang terlalu besar, tidaklah di anjurkan oleh Islam. Sedangkan pinjaman yang berkaitan dengan harta untuk modal usaha sangat di anjurkan, dengan dasar bahwa uang yang di miliki oleh para aghniya supaya mempunyai nilai manfaat yang lebih. Berdasarkan fenomena ini pemerintah merasa prihatin karena kelemahan orang menjadi lahan yang enak bagi para pemilik modal. Karena itulah pemerintah mendirikan lembaga formal tentang pegadaian. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Lembaga nonbank inilah pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum (perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan pinjaman yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana. Hal ini kegiatan bagi masyarakat yang beragama non Islam. padahal Indonesia berpenduduk sebagian besar beragama Islam. Perum Pegadaian melihat masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, maka ia meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis dan menentramkan, produk yang dimaksud di atas adalah produk Gadai Syariah. Perusahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai (Heri Sudarsono, 2004:156). Undang-undang ini di atur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian. Kegiatan Gadai Syariah merupakan suatu gejala ekonomi yang baru lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
3
Ahmad Supriyadi
Kegiatan gadai syariah yang baru ini melahirkan sistem hukum baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam sistem hukum di Indonesia misalnya ar-rahn. Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum Islam yang di tulis dalam kitab-kitab fiqih baik klasik maupun kontemporer yang kemudian di implementasikan oleh masyarakat Indonesi. Implementasinya memunculkan masalah baru di dalam hukum positip yaitu adanya dualisme sistem yaitu pegadaian konvensional yang pengaturannya mengacu pada hukum positip murni dan pegadaian syariah yang mengacu pada hukum Islam. Pegadaian syariah secara yuridis belumlah mempunyai dasar hukum yang kuat bila dilihat dari sisi hukum positip, karena belum adanya UU yang mengaturnya. Hal ini menimbulkan ketidak pastian hukum tentang pegadaian syariah, lebih-lebih bila ada perbuatan hukum yang bermasalah dan pasti akan ditanyakan bagaimana hukumnya? Walaupun saat ini belum pernah di dengar adanya suatu masalah hukum menyangkut pegadaian syariah, tapi di kemudian hari akan ada suatu wanprestasi di dalam implementasi produkproduk pegadaian syariah. Karena itu semua akan membutuhkan hukum. Di sisi lain masyarakat yang belum paham tentang syariah selalu bertanya apa dan bagaimana pegadaian syariah serta bagaimana operasionalnya? Tapi mereka juga ada kecurigaan tentang produk-produk yang di keluarkan oleh pegadaian syariah. Misalnya mempertanyakan apa bedanya pegadaian syariah dengan konvensional. Hal diatas menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pegadaian syariah. Akibat yang di timbulkan adalah mereka kurang menyukai pegadaian syariah. Padahal umat Islam di Indonesia adalah penduduk mayoritas yang berinteraksi ekonomi secara syariah. B. Rumusan Masalah Uraian diatas menerangkan bahwa pegadaian syariah mempunyai sistem hukum yang berbeda dengan hukum positip dan 4
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
sistem hukumnya banyak mengadopsi dari sistem hukum Islam, sehingga dapat diambil rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana praktik produk-produk Pegadaian Syariah? 2. Bagaimana struktur hukum pegadaian syariah dari perspektif hukum positif dan hukum Islam? C. Metode Penelitian Penelitian yang berjudul struktur hukum pegadaian syariah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif (suatu tinjauan yuridis normatif terhadap praktek pegadaian syariah di kudus) adalah Penelitian mengenai praktik dan sistem hukum di Pegadaian syariah yang merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk menyelesaikan rumusan masalah, peneliti menggunakan pendekatan sistem dengan tujuan mendapatkan sistem yang saling berhubungan antara satu produk dengan produk lain di Pegadaian Syariah dan juga dengan pendekatan yuridis normatif untuk menemukan gambaran yang komprehensip mengenai struktur hukum yang ada dalam praktik Pegadaian Syariah. Obyek penelitian ini adalah praktik produk-produk Pegadaian Syariah dan subyeknya adalah seluruh pegawai atau karyawan di Pegadaian Syariah Kudus dan para nasabahnya. Data yang diperoleh berupa data primer yang dikumpulkan dengan metode wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan secara terstruktur yaitu dengan panduan wawancara kepada manajer dan para nasabah di Pegadaian Syariah, kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengelompokan data dan memberi kode-kode tertentu kemudian dilakukan pengolahan data secara kualitatif melalui tahapan seleksi, klasifikasi dan kategorisasi berdasarkan kelompok masalah, kemudian dilakukan analisa dengan pendekatan yuridis dan normatif. Dalam proses analisa data ini setidaknya peneliti akan menggunakan beberapa tahap: dimulai dengan analisa deskriptif yang memungkinkan peneliti menguraikan hasil penelitian apa adanya, lalu dilanjutkan dengan analisa hermeneutic yaitu memberikan makna-makna yang ditemukan dalam hubungannya dengan aktivitas. Selanjutnya analisa dan kesimpulan yang logis, utuh, terpadu dan bisa dimengerti dengan menggunakan metode induktif. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
5
Ahmad Supriyadi
Laporan hasil penelitan ini berupa data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu laporan yang memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis. D. Hasil Penelitian 1. Produk-Produk Gadai Syariah di PERUM Pegadaian Syariah. PERUM Pegadaian Syariah memiliki beberapa produk gadai yang telah di operasionalkan sejak adanya unit syariah hingga sekarang. Produk-produk itu antara lain: 1.1. Produk Gadai Syariah (Ar-Rahn) a. Pengertian gadai syariah Gadai syariah di Pegadaian Syariah adalah merupakan skim pinjaman yang mudah dan praktis untuk memenuhi kebutuhan dana bagi masyarakat dengan sistem gadai yang sesuai dengan syariah dengan cara menyerahkan agunan berupa emas perhiasan, berlian, elektronik dan kendaraan bermotor (Sumber: liflet Pegadaian Syariah). Berdasarkan liflet produk gadai syariah ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain: 1) Meningkatkan daya guna barang bergerak karena barang yang di gadaikan berupa motor, cukup di gadaikan BPKB-nya. Sehingga motor masih dapat di pakai oleh rahin dan dapat menghasilkan keuntungan. 2) Prosedur pengajuan dan syarat-syarat untuk mendapatkan pinjaman uang sangat mudah dan cepat 3) Barang di taksir secara valid dan cermat sehingga nilai taksiran bisa optimal 4) Jangka waktu pinjaman fleksibel tidak di batasi, bebas menentukan pilihan pembayaran 5) Barang gadai di jamin aman dan di asuransikan 6) Sumber dana dan akad sesuai dengan syariah b. Tahap-Tahap Pelaksanaan gadai syariah Adapun untuk mendapatkan pinjaman dengan skim gadai syariah ini ada beberapa tahapan yang di lalui : 6
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
1) Tahap Pengajuan Pada tahap ini seorang nasabah apabila ingin mendapatkan pinjaman dari Pegadaian Syariah ia harus datang dengan memenuhi beberapa persyaratan: 1. Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya; 2. Menyerahkan barang sebagai jaminan yang berharga misalnya berupa emas, berlian, elektronik, dan kendaraan bermotor; 3. Untuk kendaraan bermotor, cukup menyerahkan dokumen kepemilikan berupa BPKB dan copy dari STNK sebagai pelengkap jaminan; 4. Mengisi formulir permintaan pinjaman; 5. Menandatangani akad Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah membawa barang jaminan disertai photo copy identitas ke loket penaksiran barang jaminan. Barang akan ditaksir oleh penaksir, kemudian akan memperoleh pinjaman uang maksimal 90% dari nilai taksiran. Tahap berikutnya adalah tahap perjanjian yang dilakukan sebagai berikut: 2) Tahap Perjanjian Pada tahap perjanjian, pihak rahin harus datang sendiri dan melakukan negosiasi terlebih dahulu atas perjanjian yang di buat oleh pihak Pegadaian Syariah. Bila pihak rahin tidak sepakat, boleh membatalkan untuk tidak jadi meminjam uang di Pegadaian Syariah. Namun bila telah sepakat atas perjanjian yang ada, maka nasabah langsung menandatangani akad tersebut. Adapun akad yang di gunakan dalam perjanjian gadai syariah ini adalah akad ijroh atau Fee Based marhun yang bisa di sebut ijarah yakni rahin dimintai imbalan sewa tempat, ujroh pemeliharaan marhun dalam hal penyimpanan barang yang di gadaikan. Apa yang diperjanjikan? Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian gadai syariah adalah: (a) Judul perjanjian yaitu akad rahn. (b) Hari dan tanggal serta tahun akad (c) Kedudukan para pihak yaitu (1) kantor cabang pegadaian syariah yang diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih, dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
7
Ahmad Supriyadi
kepentingan CPS. Di sebut sebagai pihak pertama. (2) rahin atau pemberi gadai adalah orang yang nama dan alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini. (d) Hal-hal yang diperjanjikan dalam gadai syariah antara lain: (1) rahn dengan ini mengakui telah menerima pinjaman dari murtahin sebesar nilai pinjaman dan dengan jangka waktu pinjaman sebagaimana tercantum dalam surat buku rahn. (2) Murtahin dengan ini mengakui telah menerima barang milik rahn yang digadaikan kepada murtahin, dan karenanya murtahin berkewajiban mengembalikannya pada saat rahin telah melunasi pinjaman dan kewajiban-kewajibannya lainnya. (3) Atas transaksi rahn tersebut diatas, rahn dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4) Apabila jangka waktu akad telah jatuh tempo, dan rahin tidak melunasi kewajiban-kewajibannya, serta tidak memperpanjang akad, maka rahin dengan ini menyetujui dan atau memberikan kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali untuk melakukan penjualan atau lelang marhun yang berada dalam kekuasaan murtahin guna pelunasan pembayaran kewajiban-kewajiban tersebut. Dalam hal hasil penjualan atau lelang marhun tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajiban rahin, maka rahin wajib membayar sisa kewajibannya kepada murtahin sejumlah kekurangannya. (5) Bilamana terdapat kelebihan hasil penjualan marhun, maka rahin berhak menerima kelebihan tersebut, dan jika dalam jangka satu tahun sejak dilaksanakan penjualan marhun, rahin tidak mengambil kelebihan tersebut, maka dengan ini rahin menyetujui untuk menyalurkan kelebihan tersebut sebagai shodaqah yang pelaksanaannya diserahkan kepada murtahin. (6) Apabila marhun tersebut tidak laku dijual, maka rahin menyetujui pembelian marhun tersebut oleh murtahin minimal sebesar harga taksiran marhun. (7) segala sengketa yang timbul yang ada hubungannya dengan akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka akan diselesaikan melaui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah bersifat final dan mengikat. (e) Membubuhkan tandatangan menunjukkan persetujuan akad rahn. Selain akad rahn, ada pula akad ijaroh yang tujuannya adalah untuk memperjanjikan biaya-biaya yang berkaitan dengan rahn. 8
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
Adapun perjanjian ijarah setelah akad rahn isinya adalah sebagai berikut : (a) Berisi judul akad yaitu akad ijarah (b) Hari dan tanggal serta tahun akad (c) Keterangan tentang kedudukan para pihak : (1) Kantor Cabang Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut dalam surat bukti rahn ini yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS untuk selanjutnya disebut sebagai Mu'ajjir. (2) Musta'jir adalah orang yang nama dan alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini. (d) Pengakuan adanya akad rahn sebelumnya yang isinya : (1) bahwa musta'jir sebelumnya telah mengadakan perjanjian dengan muajjir sebagaimana tercantum dalam akad rahn yang juga tercantum di dalam surat bukti rahn ini, dimana musta'jir bertindak sebagai rahin dan muajjir bertindak sebagai murtahin dan oleh karenanya akad rahn tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan akad ini. (2) bahwa atas marhun berdasarkan akad diatas musta'jir setuju dikenakan ijarah. (e) Kesepakatan tentang akad ijarah, yang isinya adalah : (1) para pihak sepakat dengan tarif ijarah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk jangka waktu per-sepuluh hari kalender dengan ketentuan penggunaan ma'jur selama satu hari tetap dikenakan ijarah sebesar ijarah per-sepuluh hari. (2) Jumlah keseluruhan ijarah tersebut wajib di bayar sekaligus oleh musta'jir kepada mu'ajjir diakhir jangka waktu akad rahn atau bersamaan dengan dilunasinya pinjaman. (3) apabila dalam penyimpanan marhun terjadi hal-hal di luar kemampuan musta'jir sehingga menyebabkan marhun hilang/rusak tak dapat dipakai maka akan diberikan ganti rugi sesuai ketentuan yang berlaku di PERUM Pegadaian. Atas pembayaran ganti rugi ini musta'jir setuju dikenakan potongan sebesar marhun bih + ijarah sampai dengan tanggal ganti rugi, sedangkan perhitungan ijarah dihitung sampai dengan tanggal penebusan/ ganti rugi. Simulasi perhitungan gadai syariah berdasarkan akad ujroh (fee based marhun): EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
9
Ahmad Supriyadi
Biaya yang di perhitungkan dalam membayar upah meliputi sewa pemakaian tempat, pemeliharaan marhun dan asuransi marhun. Maka perhitungan yang di lakukan adalah: Ijarah = Taksiran barang x Tarif (Rp.) x Jangka waktu 10.000,- Hari Misalnya : nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia seberat 25 gram dengan kadar 99,99% asumsi harta per gram emas 99,99%= Rp. 300.000,- maka cara menghitungnya adalah sebagai berikut: • Taksiran = 25 gr. x Rp. 300.000,- = Rp. 7.500.000,• Uang Pinjaman = 90% x Rp. 7.500.000,- = Rp. 6.750.000,• Ijaroh /10 hari = 7.500.000,- x 80 x 10 = Rp. 60.000, Rp.10.000,10 • Biaya Administrasi = Rp. 25.000,Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari, ijaroh ditetapkan dengan menghitung per 10 hari x 3 maka besar ijaroh adalah Rp. 180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di bayar pada saat nasabah melunasi atau memperpanjang dengan akad baru. 3) Tahap Realisasi Perjanjian Pada tahap realisasi akad yang telah di sepakati bersama dan telah di tandatangani oleh kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya adalah realisasi penyerahan pinjaman kepada rahin. 4) Tahap Akhir Gadai Pada tahap akhir gadai, yang di kerjakan adalah sebelum berakhirnya gadai, pihak murtahin (Pegadaian Syariah ) memberikan informasi kepada rahin bahwa pinjaman akan berakhir. Setelah di sampaikan maka rahin akan membayar sejumlah uang yang di pinjam dan biaya-biaya penyimpanan selama gadai. Dalam hal ini proses pelunasan bisa dilakukan kapan saja sebelum jangka waktunya, baik dengan cara sekaligus ataupun di angsur. Namun apabila pihak rahin tidak mampu membayar sebesar uang pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka barang di lelang oleh Pegadaian Syariah untuk membayar, sedangkan bila ada sisanya uang akan di kembalikan kepada rahin, tapi bila uangnya kurang untuk menutupi pinjaman dan biayanya maka pihak rahin di minta untuk membayar kekurangannya. Tapi pada kenyataan bahwa rahin sering tidak membayar kekurangan dari uang pinjamannya. 10
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
5) Realisasi Pelelangan Barang Gadai Pelelangan barang gadai di sebabkan karena pihak rahin tidak mampu membayar seluruh hutangnya beserta biaya-biaya yang harus di tanggungnya. Karena itu pihak murtahin diperbolehkan untuk menjual atau melelang barang yang telah di gadaikan kepada murtahin. Adapun meknisme penjualannya adalah sebagai berikut: (a) Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk menjualkan barang yang digadaikan; (b) Pihak murtahin akan menginformasikan secara umum melalui pengumuman bahwa akan diadakan lelang pada tanggal tertentu. (c) Pihak murtahin melaksanakan lelang yang sesuai dengan prosedur. 1.2. Produk Mulia yaitu murabahah logam mulia untuk investasi jangka panjang. Program "mulia" merupakan produk pegadaian syariah yang diperuntukkan bagi masyarakat untuk berinvestasi jangka panjang. Produk mulia adalah fasilitas yang di berikan oleh Pegadaian Syariah kepada masyarakat untuk memiliki emas logam mulia dengan cara membeli di Pegadaian Syariah, sedangkan masyarakat membayar dengan cara mengangsur. Produk ini mempunyai beberapa keuntungan bagi yang memanfaatkan antara lain: (a) Merupakan jembatan untuk mewujudkan niat untuk menunaikan haji dengan menyimpan emas di Pegadaian Syariah; (b) Emas yang telah di beli di Pegadaian Syariah juga bisa untuk persediaan biaya pendidikan anak; (c) Dapat juga emas itu sebagai tabungan untuk memiliki rumah atau kendaraan; (d) Menyimpan emas di Pegadaian Syariah juga merupakan investasi yang aman untuk menjaga portofolio asset yang dimiliki oleh seseorang. (e) Emas bisa digunakan untuk menanggulangi likuiditas, karena mudah di perjual belikan. Adapun untuk bisa memanfaatkan produk mulia dari Pegadaian Syariah ini ada beberapa tahapan yang harus di lalui antara lain: EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
11
Ahmad Supriyadi
a. Tahap Pengajuan Pada tahap ini seorang nasabah apabila ingin mendapatkan emas logam mulia dari Pegadaian Syariah dan di simpan sebagai cadangan untuk kebutuhan-kebutuhan mendesak, ia harus datang dengan memenuhi beberapa persyaratan : (b) Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya; (c) Mengisi formulir produk mulia; (d) Membayar uang muka dan administrasi lainnya; (e) Menandatangai akad Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah akan mendapatkan barang berupa emas logam mulia yang disimpan di pegadaian syariah.
Tahap berikutnya adalah tahap perjanjian yang dilakukan sebagai berikut: b. Tahap Perjanjian Pada tahap perjanjian, pihak rahin harus datang sendiri dan melakukan tanya jawab tentang harga dan persyaratanpersyaratan lain terlebih dahulu atas perjanjian yang di buat oleh pihak Pegadaian Syariah. Bila pihak rahin tidak sepakat, boleh membatalkan untuk tidak jadi membeli emas logam mulia di Pegadaian Syariah. Namun bila telah sepakat atas perjanjian yang ada, maka nasabah langsung menandatangani akad tersebut. Adapun akad yang di gunakan dalam perjanjian produk mulia ini adalah akad murabahah dan rahn yakni pembeli adalah rahin (nasabah) dan penjual adalah murtahin (pegadaian syariah). Setelah terjadi jual beli, barang tetap berada di pegadaian syariah karena uang yang untuk membeli adalah milik pegadaian syariah dan nasabah kedudukannya adalah sebagai orang yang hutang untuk membeli emas logam mulia.
Apa yang diperjanjikan? Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian produk jual beli emas logam mulia adalah: (a) Judul perjanjian yaitu akad murabahah logam mulia, nomor:…… dan dasar al-Qur'an; (b) Kedudukan para pihak. Misalnya: Pegadaian Syariah menyebut bahwa nama Marmono, jabatan manajer cabang, dalam hal
12
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
ini bertindak untuk dan atas nama cabang pegadaian CPS Ronggolawe, yang selanjutnya disebut pihak pertama. Dan pihak kedua, nama Ahmad Supriyadi, alamat Karangbener Rt.4/4 Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama diri sendiri yang selanjutnya disebut pihak kedua. (c) Kalimat persetujuan, bahwa kedua belah pihak sepakat dan setuju untuk mengadakan akad murabahah logam mulia. (d) Pasal-pasal tentang jumlah pembiayaan dan tujuan. Misalnya: (1) pihak pertama memberikan fasilitas pembiayaan akibat hutang murabahah kepada pihak kedua untuk pembelian emas logam mulia sejumlah 5 gram yang terdiri dari 1 buah @ 5 gram. (2) Selanjutnya pihak kedua dengan ini berjanji dan mengikatkan diri kepada pihak pertama untuk membayar sisa hutang murabahah yang belum di bayar sebagaimana dimaksud sebesar Rp. 1. 429.807,(e) Pasal tentang jangka waktu. Pasal ini memuat (1) bahwa pembiayaan murabahah di berikan untuk jangka waktu tertentu misalnya 6 bulan, satu tahun atau lebih. (2) sebelum jangka waktu pembiayaan berakhir, pihak kedua dapat melunasi hutangnya dengan melakukan pembayaran sekaligus. (3) Ketentuan tentang obyek murabahah yang hilang atau musnah di luar kuasa pihak pertama untuk mencegahnya, maka jangka waktu pembiayaan akan berakhir pada saat terjadinya resiko. (f) Pasal tentang biaya-biaya. Pasal ini memuat bahwa pihak rahin (pihak kedua) di bebani membayar biaya-biaya antaral lain : uang muka, biaya administrasi, denda bila ada keterlambatan dan biaya pengiriman yang mana biaya-biaya itu dibayar setelah penandatanganan akad murabahah. (g) Pasal tentang pembayaran. Pasal ini memuat (1) pihak rahin (pihak kedua) mengaku telah berhutang murabahah kepada pihak murtahin (pihak pertama) dan berkewajiban membayar dengan cara diangsur serta biaya-biaya lain yang timbul akibat adanya akad murabahah. (2) besarnya angsuran bulanan ditetapkan berdasarkan kesepakatan. (3) pembayaran ditetapkan setiap bulan dan pembayaran tiap-tiap bulang paling lambat pada tanggal 10. (4) apabila tanggal jatuh tempo angsuran sebagaimana dimaksud jatuh pada hari minggu EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
13
Ahmad Supriyadi
atau hari libur, maka pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya. Atas kejadian ini pihak rahin belum dikenakan denda. (5) dalam hal angsuran dibayar melampaui tanggal yang telah ditetapkan, maka pihak kedua di kenakan denda. (6) pihak pertama wajib menyerahkan obyek murabahah beserta dokumen-dokumen terkait kepada pihak kedua apabila telah melunasi seluruh kewajibannya. (h) Pasal tentang jaminan pembiayaan. Pasal ini memuat: (1) sebagai jaminan pelunasan pembiayaan murabahah, obyek pembiayaan murabahah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) tetap berada di bawah penguasaan pihak pertama dan dijadikan marhun (jaminan gadai) sampai dengan lunasnya seluruh kewajiban pihak kedua. (2) pihak kedua sepakat dengan pihak pertama untuk membuat akad gadai dengan jaminan (marhun) berupa barang yang menjadi obyek muraahah, dan sisa hutang murabahah sebagai sisa hutang akad gadai dimana pihak pertama tidak memungut ujrah. (3) pihak pertama wajib memelihara dan merawat obyek murabahah yang dijadikan marhun (jaminan gadai) tersebut dengan baik dari segala resiko kerusakan dan atau kehilangan samapai dengan hutang murabahah dilunasi oleh pihak kedua. (4) dalam hal obyek murabahah yang dijadikan marhun hilang atau musnah akibat kelalaian pihak pertama maka pihak pertama wajib mengganti dengan obyek murabahah baru sebesar nilai obyek murabahah yang hilang/rusak. (5) dalam hal penggantian obyek murabahah berupa barang yang sejenis dan senilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit dilakukan oleh pihak pertama, maka pihak kedua sepakat menerima ganti rugi sebesar 100 % dari harga pasar saat obyek murabahah hilang/musnah dengan tetap memperhitungkan sisa kewajiban pihak kedua kepada pihak pertama. (i) Pasal tentang cidera janji. Berisi pihak kedua akan terbukti lalai atau sengaja tidak melaksanakan kewajibannya kepada pihak pertama, apabila menunggak angsuran sebanyak 3 kali berturut-turut. (j) Pasal 7 tentang force majeur. Berisi bila terjadi bencana alam (banjir, gempa bumi) dan atau kebakaran, huru-hara, yang mengakibatkan obyek murabahah yang dijadikan marhun 14
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
(jaminan gadai) menjadi musnah/rusak berat, para pihak sepakat untuk saling membebaskan kewajiban masing-masing sebagaimana tercantum dalam akad ini. (k) Pasal 8 tentang eksekusi cidera janji yang diawali dengan peringatan 3 kali dengan selang waktu 7 hari, dan bila tidak melunasi maka akan di jual. (l) Pasal 9 tentang denda keterlambatan. Yang isinya bila ada keterlambatan maka akan dikenai denda. (m)Pasal 10 tentang masa berlakunya akad yaitu sejak di tandatangani sampai terjadi pelunasan. (n) Pasal 11 tentang addendum yaitu bila ada hal-hal yang belum diatur akan di atur dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan. (o) Pasal 12 tentang penyelesaian perselisihan yakni perselisihan akan diselesaikan dengan musyawarah. (p) Pasal 13 tentang penutup. Bahwa akad di buat rangkap dua yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Simulasi perhitungan gadai syariah berdasarkan akad ujroh (fee based marhun): Biaya yang di perhitungkan dalam membayar upah meliputi sewa pemakaian tempat, pemeliharaan marhun dan asuransi marhun. Maka perhitungan yang di lakukan adalah: Ijarah = Taksiran barang x Tarif (Rp.) x Jangka waktu 10.000,- Hari Misalnya: nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia seberat 25 gram dengan kadar 99,99% asumsi harta per gram emas 99,99%= Rp. 300.000,- maka cara menghitungnya adalah sebagai berikut: a) Taksiran = 25 gr. x Rp. 300.000,- = Rp. 7.500.000,b) Uang Pinjaman = 90% x Rp. 7.500.000,- = Rp. 6.750.000,c) Ijaroh /10 hari = 7.500.000,- x 80 x 10 = Rp. 60.000,Rp.10.000,10 • Biaya Administrasi = Rp. 25.000,Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari, ijaroh ditetapkan dengan menghitung per 10 hari x 3 maka besar ijaroh adalah Rp. 180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di bayar pada saat nasabah melunasi atau memperpanjang dengan akad baru.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
15
Ahmad Supriyadi
c. Tahap Realisasi Perjanjian Pada tahap realisasi akad yang telah di sepakati bersama dan telah di tandatangani oleh kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya adalah realisasi penyerahan pinjaman kepada rahin. d. Tahap Akhir Gadai Pada tahap akhir gadai, yang di kerjakan adalah sebelum berakhirnya gadai, pihak murtahin (Pegadaian Syariah ) memberikan informasi kepada rahin bahwa pinjaman akan berakhir. Setelah di sampaikan maka rahin akan membayar sejumlah uang yang di pinjam dan biaya-biaya penyimpanan selama gadai. Dalam hal ini proses pelunasan bisa dilakukan kapan saja sebelum jangka waktunya, baik dengan cara sekaligus ataupun di angsur. Namun apabila pihak rahin tidak mampu membayar sebesar uang pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka barang di lelang oleh Pegadaian Syariah untuk membayar, sedangkan bila ada sisanya uang akan di kembalikan kepada rahin, tapi bila uangnya kurang untuk menutupi pinjaman dan biayanya maka pihak rahin di minta untuk membayar kekurangannya. Tapi pada kenyataan bahwa rahin sering tidak membayar kekurangan dari uang pinjamannya. e. Realisasi Pelelangan Barang Gadai Pelelangan barang gadai di sebabkan karena pihak rahin tidak mampu membayar seluruh hutangnya beserta biaya-biaya yang harus di tanggungnya. Karena itu pihak murtahin diperbolehkan untuk menjual atau melelang barang yang telah di gadaikan kepada murtahin. Adapun meknisme penjualannya adalah sebagai berikut: (1) Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk menjualkan barang yang digadaikan; (2) Pihak murtahin akan menginformasikan secara umum melalui pengumuman bahwa akan diadakan lelang pada tanggal tertentu setelah pihak pegadaian memberitahukan kepada rahin paling lambat 5 (lima) hari sebelum tanggal penjualan. Pemberitahuan tersebut biasanya melalui surat kepada rahin. (3) Pihak murtahin melaksanakan lelang yang sesuai dengan prosedur. Salah satu cara pelelangan barang gadai di pegadaian adalah (Zainuddin Ali,2008:51): 16
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
(1). Ditetapkan harga emas oleh pegadaian pada saat pelelangan dengan margin 2% untuk pembeli. (2). Harga penawaran yang dilakukan oleh banyak orang tidak diperbolehkan karena dapat menyebabkan kerugian bagi rahin. Karena itu, pihak pegadaian melakukan pelelangan terbatas, yaitu hanya memilih beberapa pembeli. (3). Hasil pelelangan akan digunakan untuk biaya penjualan 1% dari harga jual, biaya perwatan dan penyimpanan barang dan sisanya dikembalikan kepada rahin. (4). Sisa kelebihan yang tidak diambil selama setahun, akan diserahkan oleh pihak pegadaian kepada baitul maal. 1.1.. Produk Arrum Produk Arrum yaitu skim pinjaman berprinsip syariah bagi para pengusaha mikro dan kecil untuk keperluan pengembangan usaha dengan sistem pengembalian secara angsuran dan menggunakan jaminan BPKB motor atau mobil (Sumber liflet Pegadaian Syariah ). Produk ini ada di pegadaian syariah yang mekanismenya sama dengan gadai biasa. Secara umum mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad Rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan, dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.Tarif Ijarah yang dikenakan kepada rahin adalah: • Tarif ijarah dihitung dari nilai taksiran barang jaminan/ marhun. • Jangka waktu pinjaman ditetapkan 120 hari. • Tarif jasa simpan dengan kelipatan 10 hari, satu hari dihitung 10 hari. Berdasarkan liflet produk gadai syariah ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain: (a) Meningkatkan daya guna barang bergerak karena barang yang di gadaikan berupa motor, cukup di gadaikan BPKB-nya. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
17
Ahmad Supriyadi
a) b) c) d) e)
Sehingga motor masih dapat di pakai oleh rahin dan dapat menghasilkan keuntungan. Prosedur pengajuan dan syarat-syarat untuk mendapatkan pinjaman uang sangat mudah dan cepat Barang di taksir secara valid dan cermat sehingga nilai taksiran bisa optimal Jangka waktu pinjaman fleksibel tidak di batasi, serta bebas menentukan pilihan pembayaran Barang gadai di jamin aman dan di asuransikan Sumber dana dan akad sesuai dengan syariah dan operasionalnya di bawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
Prosedur untuk mendapatkan pinjaman dari Pegadaian Syariah sama dengan produk gadai syariah. 2. Analisis Yuridis Dan Normatif Praktik Gadai Di PERUM Pegadaian Syariah 2.1.Analisis Hukum Positip Terhadap Praktik Gadai di PERUM Pegadaian Syariah Analisis ini didasarkan pada hukum perdata yang ada di Indonesia dan merujuk pada KUH Perdata dengan meninggalkan beberap prinsip yang tidak sesuai dengan hukum Islam misalnya tentang riba, ataupun hal-hal lain yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Pada asasnya bahwa hutang itu harus di bayar. Setiap orang yang mempunyai hutang ia mempunyai kewajiban untuk membayar sebesar hutang uang yang dipinjam. Tetapi bila sesorang bisa meminjam uang dengan pembayarannya di tangguhkan maka ia harus memberikan jaminan atas kemampuannya untuk membayar. Karena itu gadai pada prinsip adalah memberikan jaminan bahwa seseorang bisa membayar hutangnya. Gadai dalam Islam di sebut rahn tapi dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Pasal 1150 juga telah ada yang memberikan pengertian bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang berpiutang 18
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (J. Satrio,1996:97). Dalam perjanjian tersebut telah di uraikan tentang para pihak atau disebut subyek perjanjian. Subyek perjanjian diatas ada dua yaitu rahin dan murtahin dan ini telah di atur dalam Pasal 1150 KUH Perdata. Di dalam perjanjian yang di perjanjikan adalah barang yang di gadaikan bahwa barang yang digadaikan yaitu berupak cicin. Barang tersebut adalah termasuk benda bergerak sebagaimana di atur dalam Pasal 1150 jo 1152 KUH Perdata. Karena itu barang gadai bisa benda bergerak dan bisa juga surat berharga. Tentang penyerahan barang gadai diletakkan dengan membawa benda gadai di bawah kekuasaan kreditur atau di bawah kekuasaan pihak ketiga sebagaimana pasal 1152. Penyerahan barang gadai di Pegadaian Syariah telah memenuhi pasal tersebut yang faktanya si rahin menyerahkan marhun bih kepada murtahin. Perjanjian gadai menurut ilmu hukum, termasuk perjanjian riil dan sifatnya konsensuil. Dikatakan riil karena benda yang dijadikan jaminan benar-benar diserahkan kepada murtahin dan dikatakan konsensui, bahwa perjanjian ini lahir karena ada kata sepakat dari para pihak. a. Perumusan Gadai Perumusan tentang gadai sebagaimana dalam Pasal 1150 KUH Perdata telah menjadikan suatu ikatan hukum yang di akibatkan dari perjanjian gadai bahwa seseorang yang mendapatkan utang dengan menjaminkan barang berupa barang bergerak dan akan di bayar di kemudian hari. Kata "gadai" disini memiliki dua arti yaitu sebagai benda gadai dan juga hak gadai. b. Para Pihak dalam Gadai Para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai adalah raahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima jaminan). c. Barang yang di Gadaikan d. Penyerahan Barang Gadai EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
19
Ahmad Supriyadi
2.2. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Di PERUM Pegadaian Syariah PERUM Pegadaian Syariah telah mengeluarkan beberapa produk jasa antara lain: gadai syariah, jual beli emas logam mulia (produk mulia) dan arrum. Dari tiga produk tersebut ada praktik produk pegadaian syariah yang hampir sama yaitu arrum dengan gadai syariah. Jasa-jasa tersebut telah didipraktikkan sebagaimana perjanjian yang didiskripsikan di atas yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Secara umum perjanjian yang di gunakan dalam operasional jasa-jasa tersebut adalah akad rahn, akad ijarah dan akad jual beli murabahah. a. Gadai Syariah Gadai syariah atau rahn telah di perbolehkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah untuk bermuamalah berdasarkan gadai. Dasarnya adalah:
N M L KJ I H G F E D C B U TSRQPO
Dan jika kamu dalam perjalanan (safar) dan kamu tidak dapati penulis, maka hendaklah ada jaminan (borg sebagai barang gadaian) yang kamu pegangi. Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia takut kepada allah Tuhannya (Qs. Al-Baqarah, 283)
Sedangkan akad yang telah terjadi di Pegadaian Syariah telah di atur mulai dari nama akad, subyek dan obyek akad, para pihak dalam akad bahkan sampai pada penyelesaian akad. Hal ini bila merujuk pada norma-norma yang ada dalam fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi, bahwa akad rahn harus mempunyai empat rukun antara lain (internet september 11,2007) : (a) Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan) (b) Al Marhun bih (hutang) (c) Shighat (d) Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang). Sedangkan dalam referensi lain menyebutkan bahwa rukun rahn itu terdiri dari (Mahsin Hj. Mansor,1992:68): (a) Al-rahin adalah orang yang menggadaikan barang untuk mendapatkan pinjaman uang; 20
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
(b) Al-murtahin adalah orang penerima gadai karena ia memberikan pinjaman uang; (c) Al-marhun adalah barang yang dijadikan jaminan hutang; (d) Sighat adalah ijab dan qabul. Para pihak yang bertransaksi bisa juga tidak hanya dua pihak tetapi bisa tiga pihak yaitu : pihak raahin, pihak murtahin dan pihak ketiga yang menjamin atas hutang-hutang raahin. Hal ini bisa terjadi pada saat barang yang di gadaikan itu milik orang lain, atau barang itu telah di jual kepada pihak ke-tiga. Pihak ke-tiga tersebut di sebut juga pemberi gadai atau raahin hanya saja tanggung jawabnya hanya terbatas sebesar benda gadai yang ia berikan, sedangkan lebih dari itu tetap menjadi tanggungan debitur raahin sendiri. Pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai hutang tetapi secara yuridis ia mempunyai tanggungjawab dengan benda gadaiannya. Bila menganalisis perjanjian yang di buat oleh para pihak, keempat rukun yang di butuhkan oleh perjanjian rahn telah terpenuhi. Bahkan yang di perjanjikan tidak hanya itu saja, ada hal-hal lain yang di perjanjikan berkaitan dengan al-rahin antara lain : a. Harus membayar uang pemeliharaan dan keamanan; b. Membayar biaya administrasi; c. Membayar asuransi; d. Membayar denda bila telat dalam pelunasan hutang; e. Menjual barang yang di gadaikan bila tidak mampu melunasi hutangnya. Sedangkan penerima gadai juga ada perjanjian yang kedua belah sepakati antara lain: (a) Wajib memelihara barang dan mengamankan dari segala kerusakan; (b) Akan mengganti barang apabila karena kelalaian petugas gadai untuk mengamankan dan memelihara barang gadai; (c) Menyerahkan barang gadai bila rahin telah melunasi pinjamannya. Berdasarkan penjelasan dalam fiqih muamalah, akad yang dibuat oleh para pihak di Pegadaian Syariah telah memenuhi rukun yang tercantum dalam akad gadai syariah tersebut. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
21
Ahmad Supriyadi
Sedangkan syarat rahn dalam fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi adalah sebagai berikut (internet september 11,2007) : (1) Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur). (2) Syarat yang berhubungan dengan Marhun bih (barang gadai) ada dua: (a) Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya. (b) Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. (c) Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. (3) Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Ketentuan Umum: 1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. 4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan marhun 22
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
(a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya. (b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi. (c) Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. (d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin. b. Ketentuan Penutup (a) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. (b) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya. Perjanjian yang di bahas selain syarat dan rukun ada juga tentang pembiayaan terhadap pemeliharaan dan perawatan barang gadai. Menurut Khalid Samhudi Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya: (a) Pemegang barang gadai Pemegang barang gadai adalah murtahin selama perjanjian belum berakhir. sebagaimana firman Allah:
ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚﭛ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:
الد ِّر ُي ْش َر ُب ِإ َذا َ الظَّ ْه ُر ُي ْر َك ُب ِإ َذا َك َّ ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن ان َم ْر ُهو ًنا َو َعلَى ا َّلذِ ي َي ْر َك ُب َو َي ْش َر ُب َن َف َق ُت ُه َ َك
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
23
Ahmad Supriyadi
(b) Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
الد ِّر ُي ْش َر ُب ِإ َذا َ الظَّ ْه ُر ُي ْر َك ُب ِإ َذا َك َّ ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن ان َم ْر ُهو ًنا َو َعلَى ا َّلذِ ي َي ْر َك ُب َو َي ْش َر ُب َن َف َق ُت ُه َ َك
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
الد ِّر ُي ْش َر ُب َ الر ْه ُن ُي ْر َك ُب ِب َن َف َق ِت ِه ِإ َذا َك َّ ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن َّ الن َف َق ُة َ ِب َن َف َق ِت ِه ِإ َذا َك َّ ان َم ْر ُهو ًنا َو َعلَى ا َّلذِ ي َي ْر َك ُب َو َي ْش َر ُب
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini madzhab Hanabilah. Adapun 24
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasululloh : لَ ُه ُغن ُْم ُه وَ َعلَ ْي ِه َغرَ ُم ُهIa yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al Hakim) Khalid Samhudi menambahkan suatu keterangan yang diambil dari Ibnul Qayyim. Beliau memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini menunjukkan kaedah dan ushul syari’at yang menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. (1).Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dengan barang gadai Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya (Kholid Syamhudi). Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
25
Ahmad Supriyadi
sisanya maka ia milik pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. Demikianlah barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya, namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk emnyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Raahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan murtahin daalam pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman. Pendapat yang lebih kuat, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya dampak negatip sosial masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib melunasinya. Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak 26
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
seperti yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan. Akad yang telah di lakukan oleh para pihak juga memuat kapan berakhirnya suatu perjanjian. Menurut ketentuan syariat bahwa apabila hal-hal yang diperjanjikan itu telah terpenuhi yaitu hutang telah di bayar oleh rahin, maka perjanjian itu telah berakhir. Namun bia rahin belum mampu membayar hutangnya, ia di perbolehkan membayar biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang kemudian diadakan pembaharuan dalam perjanjian gadai syariah. Jadi perjanjian yang baru di buat juga teramasuk perjanjian yang benar-benar baru menurut berlakunya perjanjian. Tentang ketidakmampuan rahin dalam membayar hutang, dalam syariat Islam di perbolehkan untuk menjual barang gadai yang ada di kekuasaan murtahin. Hal ini Sayyid Sabiq (1987:145) berpendapat bahwa klausula murtahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, itu diperbolehkan. Karena barang yang digadaikan hak penguasa telah berpindah ke murtahin dalam hal menjual. Atas dasar keterangan tersebut berakhirnya perjanjian rahn karena hal-hal berikut ini (Abdul Ghafur Anshori, 2006:98) : (a) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya; (b) Rahin membayar hutangnya; (c) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin; (d) Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin. 2) Produk Mulia Program "mulia" merupakan produk pegadaian syariah yang diperuntukkan bagi masyarakat untuk berinvestasi jangka panjang. Produk mulia adalah fasilitas yang di berikan oleh Pegadaian Syariah kepada masyarakat untuk memiliki emas logam mulia dengan cara membeli di Pegadaian Syariah, sedangkan masyarakat membayar dengan cara mengangsur. Produk mulia ini menggunakan perjanjian jual beli bil murabahah dan gadai secara bersamaan. Pada tahap pertama nasabah membeli EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
27
Ahmad Supriyadi
logam mulia dengan membayar uang muka sebagai tanda jadi dari total jumlah harga logam mulia yang di jual oleh pegadaian syariah. Penentuan harga di dasarkan pada harga standar internasional ditambah margin keuntungan. Setelah di jumlah dari harga pokok dan margin, nasabah membayar uang muka. Adapun sisa dari uang yang harus di bayar, nasabah meminjam uang kepada Pegadaian Syariah dan emas logam mulia menjadi jaminannya. Apabila telah selesai membayar secara keseluruhan emas akan diberikan pihak nasabah. Perjanjian dengan cara ini termasuk jual beli yang diperbolehkan oleh Islam. Islam menyuruh untuk memperoleh harta dengan jual beli berdasarkan al-Qur'an :
ﭩﭪ ﭫﭬﭭﭮﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷﭸ
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
Ayat tersebut walaupun tidak menyebutkan jual beli yang ada di Pegadaian Syariah, namun pada prinsipnya jual beli di dalam hal apa saja boleh kecuali dengan cara yang haram. Sedangkan pegadaian syariah adalah suatu lembaga yang dapat melayani jual beli logam mulia dengan cara jual beli. Adapun hadits yang memperbolehkan untuk jual beli adalah: Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan shahihkan oleh Ibnu Hibban:
ِ هلل َع ْن ُه َأ َّن َر ُس ْولُ ا هلل ُ َع ْن َأ ِب ْي َسعِ ْيد ال ُْخ ْد ِر ّي َر ِض َي ا ِإ َّن َما ال َْب ْي ُع َع ْن َت َراض: َهلل َعل َْي ِه َوآ ِل ِه َو َس َّل َم َقال ُ َص َّلى ا
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.
Hadits tersebut memperbolehkan jual beli dengan kerelaan pada pihak. Arti kerelaan adalah di dalam jual beli tidak ada penipuan atau cacat-cacat tersembunyi antara para pihak. Ataupun dalam hal jual beli harus ada keseimbangan antara penjual dan pembeli sehingga 28
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Struktur Hukum Pegadaian Syari’ah dalam Perspektif Hukum Islam
di dalam transaksi dapat jual beli. Jadi jual-beli murabahah adalah transaksi jual-beli dimana Pegadaian Syariah menyebut jumlah pokok ditambah keuntungannya. Kedudukan hukum Pegadaian Syariah bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli Pegadaian Syariah dari pemasok ditambah keuntungan (margin). Dalam transaksi tersebut para pihak di beri kebebasan untuk menyepakati apakah pembeli dapat menerima barang yang di berikan atau menolak. E. KESIMPULAN Berdasarkan deskripsi tentang struktur hukum dalam pegadaian syariah yang telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat di simpulkan. Bahwa struktur hukum perjanjian yang di buat oleh para pihak ada dua struktur yaitu struktur hukum gadai pada perjanjian gadai dan struktur hukum jual beli pada skim mulia. Struktur hukum gadai yang di lakukan di Pegadaian Syariah Kudus memuat : suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan berupa benda bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum perdata termasuk perjanjian bernama yang mempunyai sifat timbal balik, di satu sisi punya hak dan di sisi lain punya kewajiban secara timbal balik. Perjanjian demikian itu termasuk perjanjian konsensuil obligatoir, karena terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus dan yang di perjanjikan mengandung unsur ekonomi. Sedangkan pada skim mulia perjanjian yang di bentuk termasuk struktur hukum jual beli, karena di satu sisi ada penjual dan di sisi lain ada pembeli dan juga ada obyek jual beli berupa logam mulia. Perjanjian jual beli termasuk perjanjian bernama yang sifatnya juga konsensuil obligatoir karena perjanjian ini terbentuk dengan adanya kata sepakat dan tidak diharuskan ada formalitas tertentu seperti barang tak bergerak. Berdasarkan hubungan hukum, perjanjian ini termasuk perjanjian timbal balik karena ada hak dan kewajiban secara timbal balik antara pembeli dan penjual. Kedua struktur hukum tersebut telah di atur dalam KUH perdata dan telah di atur dalam hukum perdata yang berasal dari hukum Islam. Struktur hukum ini mempunyai kekhususan dimana ia berasal dari struktur hukum Islam yang di adopsi dari EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
29
Ahmad Supriyadi
budaya Islam di zaman Arab. Setelah di lakukan penelitian terhadap praktik kegiatan pegadaian syariah di Pegadaian Syariah Kudus, ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan kepada publik bahwa : 1. Keberadaan Pegadaian Syariah Kudus merupakan lembaga yang baru dan membutuhkan kreatifitas umat Islam dalam mengembangkan produk-produk tentang kegiatan syariah yang dilakukan, karena itu hendaklah semua komponen umat Islam mendukung dengan bertransaksi di Pegadaian Syariah Kudus. 2. Hendaknya Pegadaian Syariah mempunyai payung hukum yang jelas dari undang-undang, sehingga mempunyai kepastian hukum dalam melakukan kegiatan-kegiatan syariah yang berkaitan dengan ekonomi syariah.
30
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
DAFTAR PUSTAKA
Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Abdul Ghofur Anshori, 2006, Gadai Syariah di Indonesia Konsep, Implementasi dan institusionalisasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice, terjemahan oleh M. Nastangin, Teori dan Praktik Ekonomi Islam,Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta. Al-Amaanah al ‘Aamah Lihai’at Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, Cetakan I. Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet.II. 1398. Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi. Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba, UtangPiutang Gadai, al-Ma'arif, Bandung. Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) dalam Islam. Majalah Al Waie 57 Al Majmu’Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhamma Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al TUrats Al ‘Arabi, Beirut. Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia Pustaka,Bandung. An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti. Ari Agung Nugraha, 2004, Gambaran Umum Kegiatan Usaha EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
31
Ahmad Supriyadi
Pegadaian Syariah, http://ulgs.tripod.com. Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Penerbit Multi Karya Grafika, Yogyakarta. Choiruman Pasaribu Dan Sukarwardi K Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta. Dewan Syari’ah Nasional, Fatwa Tentang Hawaluh, No. 12 / DSN – MUI / IV / 2000, Majelis Ulama Indonesia Heri Sudarsono,2008, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Penerbit Ekonosia,Yogyakarta. HR. Ibnu Majah No.2421, kitab al-Ahkam;Ibnu Hibban dan Baihaqi. http://alislamu.com/index Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi', IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; Ibnu Rusy, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtashid, Daarul Fikr. J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bhakti, Jakarta. Muhammad Syafi’i Antonia, 2001, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Jakarta. Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah (Mudharabah dalam Wacana Fiqih dan Praktik Ekonomi Modern), Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta. Nindyo Pramono, 2001, Hutang Menurut Pandangan Majelis Hakim Niaga, Makalah UGM, tidak dipublikasikan. Sulaiman Rasjid, 1994, Fiqih Islam, Sinar Baru Al Gesindo, Bandung, Zainuddin Ali, 2008, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta. Zainul Arifin, 2003,Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Penerbit Alvabet, Jakarta.
32
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
PENGARUH TRUST DALAM PENGGUNAAN AUTOMATED TELLER MACHINE BERDASARKAN TECHNOLOGY ACCEPTANCE MODEL (Studi Terhadap Nasabah Bank Syari’ah Mandiri Kudus) Oleh: Anita Rahmawaty Dosen Program Studi Ekonomi Islam STAIN Kudus Jl. Conge Ngembalrejo, PO. BOX 51 Kudus Email:
[email protected] Abstract This study aims to test empirically the effect of trust on the use of Automated Teller Machine (ATM) using the approach of Technology Acceptance Model (TAM). The survey was conducted with the customers of Bank Syariah Mandiri (BSM) Kudus. The primary data collected through the questionnaire distributed to customers using accidental sampling technique. Based on multiple linear regression using data of 170 customers from Bank Syariah Mandiri (BSM) Kudus, this study results indicated that: (1) perceived usefulness (PU), perceived ease of use (PEOU) and trust influence the attitude of customers in using ATMs; (2) trust and attitudes affect the behavior of customers in using ATMs. This is evidenced by the regression test the hypothesis that the PU, PEOU and trust significantly influence the attitude of customers in using ATMs. Partial, trust is the dominant variable influencing customer attitudes in using the ATM. In addition, this study also showed that trust directly affects the behavior of ATM usage. Keywords: trust, technology acceptance model, ATM, Bank Syari’ah Mandiri
A. PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Informasi (TI) yang sangat pesat dewasa ini memberikan banyak kemudahan pada berbagai aspek kegiatan bisnis. TI dapat memenuhi kebutuhan informasi dunia bisnis EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
33
Anita Rahmawaty
dengan sangat cepat, tepat waktu, relevan dan akurat. Penerapan TI bagi perusahaan mempunyai peranan penting dan dapat menjadi pusat strategi bisnis untuk memperoleh keunggulan bersaing sehingga saat ini TI sudah menjadi kebutuhan dasar bagi setiap perusahaan, terutama dalam menjalankan segala aspek aktifitas organisasi (Nasution, 2004: 1). Teknologi informasi ini juga merupakan perangkat penting untuk memperkuat daya saing perbankan. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang semakin pesat ini turut berpengaruh pada industri keuangan perbankan. Sistem ATM bank secara drastis mampu merubah lokasi dan dimensi waktu yang diperlukan untuk memperoleh uang tunai dengan pengambilan uang yang dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun. Sistem mobile banking mampu memfasilitasi nasabah untuk melakukan transaksi melalui teknologi dengan sarana telepon seluler. Sementara itu, sistem internet banking mampu memberi kemudahan dan kecepatan bertransaksi melalui jaringan internet. Pengembangan produk-produk berbasis teknologi informasi ini diikuti pula oleh perbankan syari’ah untuk mengembangkan pelayanan. Pengembangan pelayanan yang dilakukan perbankan syari’ah berbasis teknologi dalam bentuk ATM, internet banking, dan mobile banking merupakan sebuah keniscayaan bagi bank syari’ah untuk merebut pangsa pasar. ATM merupakan sebuah perangkat komputerisasi yang digunakan oleh suatu lembaga keuangan (bank) dalam upaya menyediakan layanan transaksi keuangan (pengambilan uang) di tempat umum tanpa membutuhkan adanya pegawai bank (teller). Pada mulanya penyediaan ATM adalah untuk memudahkan layanan pengambilan uang dari tabungan nasabah. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan akan peningkatan layanan kepada para nasabah, penggunaan ATM telah meluas tidak hanya sebatas pengambilan uang saja. Saat ini sudah memungkinkan bagi para nasabah untuk melakukan transfer (pemindahbukuan) uang, pembayaran, pengecekan saldo, dan transaksi keuangan lainnya dengan cukup menggunakan ATM (www.informatika.org.). Seiring dengan semakin berkembangnya penggunaan teknologi ATM, masalah keamanan dan keselamatan terhadap data 34
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
yang bersifat rahasia menjadi perhatian yang sangat penting bagi para pengguna. Berbagai bentuk kejahatan terhadap sistem keamanan ATM tidaklah sedikit. Kejahatan yang terjadi mulai dari tindakan yang cukup sederhana, seperti pencopetan, penodongan, ataupun perampokan, sampai pada penggunaan teknologi yang cukup canggih, yaitu penggunaan teknologi untuk mengetahui nomor rekening, PIN nasabah, ataupun melakukan duplikasi data keamanan nasabah (www.informatika.org.). Beberapa bentuk kejahatan tersebut di atas mengindikasikan bahwa aspek kepercayaan (trust) merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku penggunaan teknologi ATM. Ketidakpercayaan nasabah terhadap teknologiATM akan menyebabkan para pengguna menjadi enggan untuk menggunakan teknologi tersebut. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk menginvestigasi faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan teknologi ATM. Penelitian-penelitian sebelumnya menekankan signifikansi kepercayaan dalam penerimaan teknologi informasi. Namun, penelitian kepercayaan pengguna pada penelitian sebelumnya menggunakan model yang berbeda dan menguji pada objek penelitian yang berbeda, seperti Eriksson, Kerem dan Nilsson (2005: 1) memasukkan variabel trust sebagai anteseden dari perceived usefulness dan perceived ease of use pada nasabah internet banking; Tang dan Chi melakukan pengujian pada konsumen online shopping, Wu dan Liu (2007: 129) mengintegrasikan variabel trust dengan model TRA pada pengguna online games, dan Heidjen, Verhagen dan Creemers (2003: 3) mengintegrasikan variabel trust dan risiko dengan model TAM pada konsumen e-commerse website. Untuk itu, penelitian ini menguji suatu model perilaku penggunaan teknologi ATM pada nasabah bank syari’ah dengan mengintegrasikan faktor kepercayaan (trust) dengan Technology Acceptance Model (TAM). Alasan utama penggunaan dan pengembangan model TAM adalah karena kesederhanaan (parsimony) dan kemampuan menjelaskan (explanatory power) hubungan sebab akibat model ini. Di samping itu, mayoritas penelitian sebelumnya juga menggunakan model TAM sebagai model dasar. Model TAM telah memberikan kontribusi teoritis yang sangat penting terhadap pemahaman penggunaan dan penerimaan TI. Model ini berasumsi bahwa seseorang mengadopsi suatu teknologi EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
35
Anita Rahmawaty
pada umumnya ditentukan oleh proses kognitif dan bertujuan untuk memaksimalkan kegunaan teknologi itu sendiri. Davis menganggap bahwa dua keyakinan individual, yaitu persepsi manfaat dan persepsi kemudahan penggunaan adalah variabel utama perilaku dalam mengadopsi teknologi informasi. Dengan demikian, model TAM dibatasi oleh perspektif kegunaan teknologi (technologycentered utilitarian) dan konsekuensinya model tersebut tidak dapat menjelaskan secara menyeluruh perilaku pengguna teknologi yang tidak berhubungan dengan area kegunaan (Park, 2007: 2). Atas dasar beberapa review research terdahulu dan agar dapat memahami fenomena penerimaan teknologi informasi dengan lebih baik, maka perlu mengembangkan research terdahulu, yang hanya terfokus pada perspektif technology-centered utilitarian. Untuk itu, penelitian ini mengintegrasikan trust dan variabel-variabel dalam technology acceptance model (perceived usefulness dan perceived ease of use) dalam melihat pengaruhnya terhadap sikap dan minat perilaku penggunaan teknologi informasi (ATM) di bank syari’ah. Tujuan penelitian ini, antara lain adalah: (1) menguji secara empiris pengaruh perceived usefulness, perceived ease of use dan trust terhadap sikap dalam menggunakan ATM di BSM Kudus; dan (2) menguji secara empiris pengaruh trust dan sikap dalam menggunakan ATM terhadap minat perilaku penggunaan ATM di BSM Kudus. Sedangkan signifikansi penelitian ini adalah: (1) memberikan kontribusi teoritis di bidang ilmu manajemen pemasaran, terutama terkait dengan perilaku konsumen (nasabah) di perbankan syari’ah; (2) memberikan kontribusi dalam mengembangkan model perilaku penggunaan teknologi ATM untuk dapat dijadikan rujukan sebagai model perilaku penggunaan teknologi ATM di perbankan syari’ah; dan (3) memberikan kontribusi pemikiran bagi para praktisi perbankan syari’ah, terutama terkait dengan kebijakan pengembangan produk dan jasa berbasis teknologi informasi serta merencanakan strategi untuk membangun kepercayaan penggunaan teknologi informasi. B. LANDASAN TEORI 1. Perilaku Konsumen Definisi perilaku konsumen banyak dikemukakan oleh para ahli Ekonomi. Schiffman dan Kanuk (1994: 7) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai berikut: ”the behavior that consumers display in searcing 36
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
for, purchasing, using, evaluating and dispoting of products and servives that they expect will satisfy their needs”. Sedangkan Engel, Blackwell dan Miniard (1993: 4) memberikan definisi perilaku konsumen sebagai “those activities directly involved in obtaining, consuming, and disposing of products and services, including the decision processes that precede and follow these action”. Sementara itu, Loudon dan Della-Bitta (1984: 6) mengemukakan definisi perilaku konsumen sebagai ”decision process and physical activity individuals engage in when evaluating, acquiring, using or disposing of goods and services”. Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan tersebut. Proses keputusan konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti budaya, sosial, pribadi maupun psikologi dari konsumen sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: STRATEGI PEMASARAN Perusahaan Perbankan Pemerintah
PERBEDAAN INDIVIDU 1.Kebutuhan dan Motivasi 2.Kepribadian 3.Pengolahan Informasi dan Persepsi 4.Proses Belajar 5.Pengetahuan 6.Sikap
PROSES KEPUTUSAN Pengenalan Kebutuhan Pencarian Informasi Evaluasi Alternatif
FAKTOR LINGKUNGAN 1.Budaya 2.Karakteristik Sosial Ekonomi 3.Keluarga dan RT 4.Kelompok Acuan 5.Situasi Konsumen
Pembelian dan Kepuasan
IMPLIKASI Strategi Pemasaran Kebijakan Publik
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
37
Anita Rahmawaty
Gambar tersebut di atas menjelaskan bahwa proses keputusan konsumen akan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu (1) kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh produsen dan lembaga lainnya; (2) faktor perbedaan individu konsumen, diantaranya adalah kebutuhan dan motivasi, kepribadian, pengolahan informasi dan persepsi, proses belajar, pengetahuan dan sikap; dan (3) Faktor lingkungan konsumen, diantaranya adalah budaya, karakteristik sosial ekonomi, keluarga dan rumah tangga, kelompok acuan dan situasi konsumen (Sumarwan, 2004: 33). 2. Perilaku Konsumen Jasa a. Pengertian dan Karakteristik Jasa Kotler (2000: 372) mendefinsikan jasa (service) sebagai berikut: “any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or may not be tied to a physical product.” Sementara itu, Zeithaml dan Bitner (2003: 3) mengemukakan definisi jasa sebagai berikut:”Include all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally consumed at the time it is produced, and provided added value in forms (such as convenience, amusement, timeliness, comfort, or health) that are essentially intangible concerns of its first purchaser.” Definisi di atas menjelaskan bahwa jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan. Meskipun demikian, produk jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun tidak. Dengan kata lain, ada produk jasa murni, seperti konsultasi psikologi dan konsultasi manajemen, dan ada pula jasa yang membutuhkan produk fisik sebagai persyaratan utama, seperti kapal untuk jasa angkutan laut, pesawat dalam jasa penerbangan, dan bangunan fisik dalam jasa pendidikan. Berbagai riset dan literatur pemasaran jasa mengungkapkan bahwa jasa memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya dari barang. Secara garis besar, menurut Zithaml dan Bitner (2003: 20), karakteristik jasa tersebut adalah intangibility, inseparability, variability dan perishability. Tjiptono (2006: 18) menambahkan satu karaktekter lain yaitu lack of ownership. 38
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
b. Proses Keputusan Konsumen Jasa Secara garis besar, proses keputusan konsumen bisa diklasifikasikan dalam 3 (tiga) tahap utama, yaitu pra pembelian, konsumsi dan evaluasi purna beli. Tahap pra pembelian, mencakup semua aktivitas konsumen yang terjadi sebelum terjadinya transaksi pembelian dan pemakaian jasa. Tahap ini meliputi 3 (tiga) proses yaitu identifikasi kebutuhan, pencarian informasi dan evaluasi alternatif. Tahap konsumsi merupakan tahap proses keputusan konsumen, dimana konsumen membeli dan menggunakan produk atau jasa. Sedangkan tahap evaluasi purna beli merupakan tahap proses pembuatan keputusan konsumen sewaktu konsumen menentukan apakah ia telah membuat keputusam pembelian yang tepat (Tjiptono, 2006: 43). Proses keputusan konsumen ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Identifikasi kebutuhan: • .HEXWXKDQ SHODQJJDQ • 1LODL SHODQJJDQ
Pencarian Informasi: • (YRNHGVHW • 6XPEHU LQIRUPDVL • 3HUVHSVL WHUKDGDS ULVLNR
Evaluasi Alternatif: • 'HFLVLRQ UXOH
Pembelian dan Konsumsi: • (PRVLGDQ PRRG • 'UDPDWXUJL • 5ROHWKHRU\ GDQVFULSW WKHRU\ • &RQWURO WKHRU\ • &XVWRPHU FRPSDWLELOLW\
Evaluasi Purna Beli: • &RJQLWLYH GLVVRQDQFH • .HSXDVDQ SHODQJJDQ • /R\DOLWDV SHODQJJDQ • .XDOLWDV MDVD
6XPEHU7MLSWRQR
Technology Acceptance Model (TAM) 3.
Technology Acceptance Model (TAM) adalah model yang diperkenalkan oleh Fred Davis pada tahun 1986 dengan disertasinya yang berjudul “A Technology Acceptance Model for Empirically Testing EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
39
Anita Rahmawaty
New End-User Information System: Theory and Results”. Disertasi ini selanjutnya dipublikasikan dalam karya ilmiah yang berjudul “Perceived Usefullness, Perceived Ease of Use, and User Acceptance of Information Technology” pada tahun 1989. Popularitas model Davis ini terlihat dengan banyaknya penulis yang mengutip karyanya. Menurut laporan Social Science Citation Index (SSCI) sampai dengan tahun 2000 model ini telah dirujuk oleh 424 penelitian dan sampai dengan tahun 2003 telah dirujuk oleh 698 penelitian (Wiyono, Ancok dan Hartono, 2008: 3). Dalam memformulasikan TAM, Davis menggunakan TRA sebagai grand theorinya, namun tidak mengakomodasi semua komponen teori TRA. Davis hanya memanfaatkan komponen ’attitude’ saja, sedangkan normative belief dan subjective norms tidak digunakannya (Malhotra dan Galletta, 1999: 1). Secara skematik teori TAM digambarkan sebagai berikut: Perceived Usefulness External Variable
Attitude toward using
Behavior Intention
Actual Use
Perceived Ease of Use Sumber: Davis, 1989 dalam Malhotra dan Galletta, 1999.
Model Davis ini berasumsi bahwa seseorang mengadopsi suatu teknologi pada umumnya ditentukan oleh proses kognitif dan bertujuan untuk memaksimalkan kegunaan teknologi itu sendiri. Dengan kata lain, kunci utama penerimaan teknologi informasi oleh penggunanya adalah evaluasi kegunaan teknologi tersebut. Selanjutnya Davis merumuskan 2 (dua) variabel utama dalam TAM, yaitu persepsi manfaat dan persepsi kemudahan penggunaan. Kedua variabel ini dapat menjelaskan aspek perilaku pengguna (Park, 2007: 2). Dengan demikian, model TAM dapat menjelaskan bahwa persepsi pengguna akan menentukan sikapnya dalam kemanfaatan penggunaan TI. Model ini secara lebih jelas menggambarkan bahwa penerimaan penggunaan TI dipengaruhi oleh persepsi kemanfaatan dan persepsi kemudahan penggunaan. Di samping itu, Davis juga memberikan kerangka dasar 40
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
untuk menelusur pengaruh faktor eksternal terhadap kedua variabel tersebut. Davis mendefinisikan persepsi manfaat sebagai ”The degree to which a person believe that using a particular system would enhance his or her job performance” yaitu suatu tingkatan dimana seseorang percaya bahwa penggunaan suatu teknologi tertentu akan meningkatkan prestasi kerja orang tersebut (Malhotra, 1999: 5; Hernandez dan Mazzon, 2007: 75). Konsep ini menggambarkan manfaat sistem bagi pemakainya yang berkaitan dengan produktivitas, kinerja tugas, efektivitas, pentingnya suatu tugas dan overall usefulness (Handayani, 2007: 5). Oleh karena itu, menurut Sun dan Zhang (2006: 644), dimensi manfaat dapat berupa: makes job easier), usefull, increase productivity), enhance effectiveness, dan improve job performance. Dengan definisi dan indikator-indikator di atas dapat diartikan bahwa kemanfaatan dari penggunaan teknologi informasi dapat meningkatkan kinerja dan prestasi orang yang menggunakannya. Kemanfaatan dalam teknologi informasi merupakan manfaat yang diperoleh atau diharapkan oleh para pengguna dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Karenanya, tingkat kemanfaatan teknologi informasi mempengaruhi sikap para pengguna dalam mengadopsi teknologi tersebut. Sementara persepsi kemudahan penggunaan didefinsikan sebagai ”The degree to which a person believe that using a particular system would be free of effort” yaitu suatu tingkatan dimana seseorang percaya bahwa teknologi informasi dapat dengan mudah dipahami (Malhotra, 1999: 5; Hernandez dan Mazzon, 2007: 75; Ayyagari, 2006: 198). Konsep ini mencakup kejelasan tujuan penggunaan teknologi informasi dan kemudahan penggunaan sistem untuk tujuan sesuai dengan keinginan pengguna (Handayani, 2007: 5). Beberapa indikator persepsi kemudahan penggunaan, antara lain meliputi: ease to learn, easy to use, clear and understandable dan become skillful (Sun dan Zhang, 2006: 644). Dengan demikian, bila jasa yang diberikan teknologi dipersepsikan mudah digunakan oleh para pengguna, maka akan mendorong para pengguna untuk menerima dan atau menggunakan teknologi tersebut. Variabel lain yang terdapat model TAM adalah attitude toward use, behavioral intention dan actual use. Attitude toward use adalah EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
41
Anita Rahmawaty
sikap terhadap penggunaan sistem yang berbentuk penerimaan atau penolakan sebagai dampak bila seseorang menggunakan suatu teknologi dalam pekerjaannya (Heidjen, Verhagen dan Creemers, 2003: 48). Behavioral Intention adalah kecenderungan perilaku untuk tetap menggunakan suatu teknologi. Beberapa indikator behavioral Intention adalah intend to use in the future, use on a reguler basis dan recommend others to use (Reid dan Levy, 2008: 18). Sedangkan actual use adalah kondisi nyata penggunaan sistem. Dimensi yang dikonsepkan dalam actual use adalah user satisfaction dan system usage, yang meliputi frekwensi dan durasi waktu penggunaan sistem (Malhotra dan Galletta, 1999: 12). Sebagaimana telah dikemukakan bahwa model TAM merupakan salah satu model yang paling populer dan banyak digunakan dalam penelitian TI. Menurut Wiyono, Ancok dan Hartono (2008: 2), model TPB dan TAM sama-sama menjelaskan minat perilaku dengan baik, tetapi TAM menjelaskan sikap (attitude) lebih baik dari TPB dan TAM dapat dikembangkan dengan variabel-variabel eksternal lainnya. Nasution (2004: 3) menemukan bahwa model TAM lebih sederhana, mudah digunakan dan lebih baik untuk menjelaskan penerimaan teknologi. Namun demikian, model TAM ini tak lepas dari kritik yang dikemukakan oleh Park (2007: 4) bahwa model Davis dibatasi oleh perspektif kegunaan (technology centered utilitarian). Konsekwensinya model tersebut tidak dapat menjelaskan secara menyeluruh perilaku pengguna teknologi yang tidak berhubungan dengan area kegunaan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami penerimaan teknologi informasi dengan lebih baik perlu menambahkan perspektif baru dari sisi non-utilitarian. 4. Trust (Kepercayaan) Mayer et.al dalam Heijden, Verhagen dan Creemers (2002: 1) mendefinisikan kepercayaan sebagai ”the willingness of a party to be vulnerable to the actions of another party based on the expectation that the other will perform a particular action important to the trustor, irrespective of the ability to monitor or control that other party”. Moorman dalam Sulaiman et.al (2007: 193) berpandangan bahwa kepercayaan adalah “a willingness to rely on an exchange partner in whom one has confidence”. Senada dengan pendapat tersebut, Morgan dan Hunt dalam Bart et.al (2005: 4) mengemukakan bahwa kepercayaan merupakan “a willingness 42
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
to accept vulnerability, but with an expectation or confidence that one can rely on the other party”. Beberapa pendapat di atas menggambarkan bahwa kepercayaan akan terjadi apabila seseorang memiliki keyakinan diri kepada reliabilitas dan integritas dari partner. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adalah kesediaan pihak tertentu terhadap pihak lain dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa pihak yang dipercayainya tersebut akan melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain, kepercayaan itu akan mengukur apakah seseorang mempercayai pihak lain sebagai pihak yang dapat dipercaya. Dalam konteks teknologi informasi, konsep kepercayaan dalam penelitian ini adalah kepercayaan pada penyelenggaraan transaksi teknologi informasi dan kepercayaan pada mekanisme operasional dari transaksi yang dilakukan. Upaya tinggi harus dilakukan oleh penyelenggara transaksi teknologi informasi agar kepercayaan konsumen semakin meningkat. Hal ini disebabkan kepercayaan mempunyai pengaruh besar pada niat dan perilaku konsumen untuk melakukan transaksi secara online atau tidak melakukannya. Menurut Koufaris dan Hampton-Sosa (2002: 15), indikatorindikator trust meliputi: trustworthy, keep the best interest, keep the promises and commitment, believe the information provided dan genuinely concerned. Dengan demikian, jika sistem ATM itu dapat dipercaya oleh para pengguna, maka akan mendorong para pengguna untuk menerima dan atau menggunakan sistem ATM tersebut. 5. Pengembangan Hipotesis dan Model Penelitian a. Pengaruh Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, dan Trust terhadap Sikap nasabah). Persepsi manfaat (perceived usefulness) sebagaimana dikemukakan oleh Davis dalam Ayyagari (2006: 198) merupakan suatu tingkatan dimana seseorang percaya bahwa penggunaan suatu teknologi informasi tertentu akan meningkatkan prestasi kerja orang tersebut. Manfaat sistem bagi pemakainya berkaitan dengan produktifitas, kinerja tugas atau efektifitas dan kegunaan tugas secara menyeluruh. Menurut Sun dan Zhang (2006: 644), dimensi kemanfaatan dapat berupa pekerjaan lebih mudah (makes job easier), EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
43
Anita Rahmawaty
bermanfaat (usefull), meningkatkan produktifitas (increase productivity), mendorong efektivitas (enchance efectiveness), dan meningkatkan kinerja pekerjaan (improve job performance). Berdasarkan definisi dan indikatorindikator di atas dapat diartikan bahwa kemanfaatan dari penggunaan teknologi informasi dapat meningkatkan kinerja dan prestasi orang yang menggunakannya. Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use) didefinisikan oleh Davis dalam Ayyagari (2006: 198) sebagai suatu tingkatan dimana seseorang percaya bahwa teknologi informasi dapat dengan mudah dipahami. Konsep ini mencakup kejelasan tujuan penggunaan teknologi informasi dan kemudahan penggunaan sistem untuk tujuan sesuai dengan keinginan pengguna. Beberapa indikator persepsi kemudahan penggunaan menurut Sun dan Zhang (2006: 644), antara lain meliputi mudah untuk dipelajari (ease to learn), mudah untuk digunakan (easy to use), jelas dan mudah dipahami (clear and understandable) dan menambah ketrampilan para pengguna (become skillful). Sementara itu, kepercayaan didefinisikan sebagai kesediaan pihak tertentu terhadap pihak lain dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa pihak yang dipercayainya tersebut akan melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain, kepercayaan itu akan mengukur apakah seseorang mempercayai pihak lain sebagai pihak yang dapat dipercaya. Dalam konteks teknologi informasi, konsep kepercayaan dalam penelitian ini adalah kepercayaan pada penyelenggaraan layanan ATM dan kepercayaan pada mekanisme operasional dari transaksi yang dilakukan. Menurut Koufaris dan Hampton-Sosa (2002: 15), indikatorindikator trust meliputi: trustworthy, keep the best interest, keep the promises and commitment, believe the information provided dan genuinely concerned. MenurutAdam dalam Nasution (2004: 5), intensitas penggunaan dan interaksi antara pengguna (user) dengan teknologi informasi menunjukkan kemudahan penggunaan. Suatu teknologi informasi yang sering digunakan menunjukkan bahwa teknologi informasi tersebut lebih dikenal, lebih mudah dioperasikan dan lebih mudah digunakan. Kemudahan penggunaan akan mengurangi usaha (baik waktu dan tenaga) pada pengguna dalam mempelajari seluk beluk bertransaksi melalui teknologi informasi. Kemudahan penggunaan 44
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
juga memberikan indikasi bahwa para pengguna teknologi informasi bekerja lebih mudah dibandingkan dengan yang bekerja tanpa menggunakan teknologi informasi tersebut. Begitu juga dengan kemanfaatan dalam menggunakan teknologi informasi merupakan manfaat yang diperoleh atau diharapkan oleh para pengguna dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Sikap seseorang dalam menggunakan teknologi informasi diprediksikan jika seseorang tersebut mempercayai bahwa teknologi informasi dapat memberikan manfaat terhadap pekerjaannya dan pencapaian prestasi kerjanya. Oleh karena itu, tingkat kemanfaatan teknologi informasi mempengaruhi sikap pengguna dalam menggunakan teknologi informasi tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap para pengguna ATM dipengaruhi oleh persepsi kemudahan penggunaan, persepsi manfaat dan trust (kepercayaan) terhadap teknologi ATM tersebut. Hipotesis yang diuji adalah: H1: Terdapat pengaruh perceived usefulness (PU) terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM di BSM Kudus. H2: Terdapat pengaruh perceived ease of Use (PEOU) terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM di BSM Kudus. H3: Terdapat pengaruh trust terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM di BSM Kudus. b. Pengaruh Trust dan Sikap terhadap Perilaku Pengggunaan (Behavior Intention) Kepercayaan didefinisikan sebagai kesediaan pihak tertentu terhadap pihak lain dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa pihak yang dipercayainya tersebut akan melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain, kepercayaan itu akan mengukur apakah seseorang mempercayai pihak lain sebagai pihak yang dapat dipercaya. Dalam konteks teknologi informasi, konsep kepercayaan dalam penelitian ini adalah kepercayaan pada penyelenggaraan transaksi teknologi informasi dan kepercayaan pada mekanisme operasional dari transaksi tersebut. Menurut Koufaris dan HamptonSosa, indikator-indikator trust meliputi: trustworthy, keep the best interest, keep the promises and commitment, believe the information provided dan genuinely concerned. Pada akhirnya, kepercayaan ini juga dapat EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
45
Anita Rahmawaty
mendorong sikap dan perilaku pengguna untuk menerima teknologi informasi. Hipotesis yang diuji adalah: H4: Terdapat pengaruh trust terhadap perilaku penggunaan (behavior intention) ATM di BSM Kudus. H5: Terdapat pengaruh sikap (attitude) nasabah terhadap perilaku penggunaan (behavior intention) ATM di BSM Kudus. Berangkat dari pengembangan hipotesis di atas, maka model penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Perceived Usefulness (PU)
Perceived Ease of Use (PEOU)
H1
H2
Attitude (AT)
H3
H5
Behavior Intention (BI)
H4
Trust (TR)
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian survey, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengambil sampel secara langsung dari populasi, sehingga ditemukan hubungan-hubungan antar variabel (Sugiyono, 2004: 7). Sedangkan diilihat dari cakupan jenis eksplanasi ilmu yang dihasilkan dalam penelitian, penelitian ini merupakan penelitian kausalitas (Ferdinand, 2006: 5). Adapun definisi operasional variabel-variabel penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Persepsi manfaat (Perceived Usefulness) didefinisikan sebagai suatu tingkatan di mana seseorang percaya bahwa penggunaan suatu teknologi informasi akan meningkatkan prestasi kerja orang tersebut; 2) Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use/PEOU) didefinisikan sebagai suatu tingkatan di mana seseorang percaya bahwa teknologi informasi dapat dengan mudah dipahami; 3) Kepercayaan (trust) adalah kesediaan pihak tertentu terhadap pihak lain dalam melakukan 46
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa pihak yang dipercayainya tersebut akan melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan; 4) Attitude adalah sikap terhadap penggunaan teknologi informasi yang berbentuk penerimaan seseorang untuk menggunakan suatu teknologi informasi; 5) Behavioral Intention adalah kecenderungan perilaku untuk tetap menggunakan suatu teknologi informasi; dan 6) Perilaku Penggunaan (Actual Use) adalah kondisi nyata penggunaan suatu teknologi informasi.
Berdasarkan definisi operasional variabel-variabel penelitian, maka kisi-kisi instrument penelitian dapat dijelaskan sebagai :berikut Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
No
Variabel
Item
Reference
1
Perceived Usefulness
4
Malhotra (1999) Koufaris (2002)
2
Perceived Ease of Use
4
Malhotra (1999) Koufaris (2002)
3
Trust
4
Koufaris (2002)
4
Sikap (Attitude)
3
Reid dan Levy (2008)
5
Behavioral Intention
3
Reid dan Levy (2008)
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner. Item-item pertanyaan untuk setiap variabel penelitian merujuk dari penelitian-penelitian sebelumnya dari luar negeri. Namun sebelum kuesioner yang berisi item pertanyaan tersebut disebarkan, maka dilakukan uji coba melalui pilot studies terlebih dahulu. Hasil analisis validitas instrumen menunjukkan pada variabel perceived usefulness (PU) yang berjumlah 4 item pertanyaan, hasilnya valid dan realibel dengan koefisien alpha 0.990. Variabel perceived ease of use (PEOU) yang berjumlah 4 item pertanyaan, hasilnya valid dan realibel dengan koefisien alpha 0.996. Variabel trust (kepercayaan) EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
47
Anita Rahmawaty
yang berjumlah 4 item pertanyaan, hasilnya valid dan realibel dengan koefisien alpha 0.992. Variabel attitude (sikap) yang berjumlah 3 item pertanyaan, hasilnya valid dan realibel dengan koefisien alpha 0.944. Sedang variabel behavior intention (perilaku penerimaan) berjumlah 3 item pertanyaan dengan hasil valid dan realibel dengan koefisien alpha 0.953. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengguna ATM Bank Syari’ah Mandiri di Kudus. Oleh karena jumlah populasi tidak diketahui, maka teknik penggunaan sampel menggunakan accidental sampling dan tidak mungkin menerapkan random sampling (Ferdinand, 2006: 232). Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel sebanyak 100 responden. Dari 100 kuesioner yang disebar kepada responden, ternyata yang kembali dan terisi dengan lengkap adalah sebanyak 98 paket kuesioner (response rate sebesar 98%), sedang sisanya sebanyak 2 paket kuesioner (0.2%) tidak kembali. Sementara itu, teknik analisis datanya menggunakan uji Regresi linier berganda (Ordinary Least Square). D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan dua uji model regresi. Dalam model regresi 1 terdapat tiga variabel bebas, yaitu perceived usefulness, perceived ease of use dan trust serta satu variabel terikat, yaitu attitude (sikap). Sedangkan dalam model regresi 2 terdapat dua variabel bebas, yaitu trust (kepercayaan) dan sikap serta satu variabel terikat, yaitu minat perilaku (behavioral intention). 1. Model Regresi 1: Pengaruh Persepsi Manfaat, Persepsi Kemudahan Penggunaan dan Kepercayaan terhadap Sikap Hasil regresi linier dalam model regresi 1 antara variabel persepsi manfaat, persepsi kemudahan penggunaan dan kepercayaan terhadap sikap dapat dijelaskan sebagai berikut: Formasi model regresi 1 adalah Y = ά + b1.X1 + b2.X2 + b3.X3 + e Hasil perhitungan regresi dengan menggunakan SPSS menunjukkan bahwa nilai koeffisien determinasi (R2) sebesar 0.913 dan nilai Adjusted R2 adalah 0.911 yang artinya bahwa variabel independen (perceived usefulness, perceived ease of use dan trust) mampu menjelaskan 48
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
variabel dependen yaitu sikap nasabah dalam menggunakan ATM sebesar 91% sedang sisanya sebesar 9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ikut dimasukkan dalam model penelitian ini (lihat tabel 2). Tabel 2 Model Summaryb
Model 1
R.956a
Adjusted R Square .911
R Square .913
Std. Error of the Estimate .56201
DurbinWatson 2.358
a.
b. Predictors: (Constant), TRUST, PU, PEOU Dependent Variable: ATT
Sedangkan uji simultan (uji F) menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 330.373 dengan tingkat signifikansi atau p value sebesar 0,000. Dengan menggunakan alpha 0.005 maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh secara simultan (perceived usefulness, perceived ease of use dan trust) berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu sikap dalam menggunakan ATM tidak dapat ditolak karena nilai p value 0.000 berada jauh di bawah alpha 0.05 ( p value 0.000 < alpha 0.05) sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3 ANOVAb
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 313.054 29.691 342.745
df
3 94 97
Mean104.351 Square .316
F 330.373
Sig. .000a
a.
b. Predictors: (Constant), TRUST, PU, PEOU Dependent Variable: ATT
H1. Pengaruh Perceived Usefulness (PU) terhadap Sikap (Attitude) Hasil perhitungan regresi linier berganda menunjukkan bukti empirik bahwa perceived usefulness (PU) berpengaruh secara signifikan terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM yang ditunjukkan dengan nilai t-hitung sebesar 2.229 dengan nilai p-value atau signifikansi 0.028 dengan menggunakan tingkat alpha 0.05 maka p-value berada di bawah alpha 0.05. Sedang arah hubungan ditunjukkan dengan tanda positif pada beta yang memiliki nilai 0.214 yang berarti bahwa terdapat hubungan positif antara perceived usefulness dengan sikap nasabah dalam menggunakan ATM. Arah positif (beta) tersebut EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
49
Anita Rahmawaty
mengandung makna bahwa semakin tinggi persepsi manfaat akan meningkatkan sikap nasabah dalam menggunakan ATM. Sebaliknya semakin kecil persepsi manfaat, maka akan mengurangi sikap nasabah dalam menggunakan ATM di perbankan syari’ah. Berdasarkan hasil pengujian tersebut di atas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara perceived usefulness (PU) terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM di Bank Syari’ah Mandiri Kudus tidak sanggup diterima atau hipotesis ditolak. H2. Pengaruh Perceived Ease of Use terhadap Sikap (Attitude) Hasil perhitungan regresi linier berganda menunjukkan bukti empirik bahwa perceived ease of use (PEOU) mempengaruhi sikap dalam menggunakan ATM yang ditunjukkan dengan nilai t-hitung sebesar 2.261 dengan nilai p-value atau signifikansi 0.026 dengan menggunakan tingkat alpha 0.05 maka p-value berada di bawah alpha 0.05. Sedang arah hubungan ditunjukkan pada beta yang memiliki nilai 0.231 yang berarti bahwa terdapat hubungan positif antara perceived ease of use (PEOU) dengan sikap nasabah. Arah positif (beta) tersebut mengandung makna bahwa semakin tinggi persepsi kemudahan penggunaan, maka akan meningkatkan sikap nasabah dalam menggunakan ATM di Bank Syari’ah Mandiri (BSM) Kudus. Sebaliknya semakin kecil persepsi kemudahan penggunaan, maka akan mengurangi sikap nasabah dalam menggunakan ATM di perbankan syari’ah. Berdasarkan hasil pemgujian tersebut di atas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara persepsi kemudahan penggunaan terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM di Bank Syari’ah Mandiri (BSM) Kudus tidak sanggup ditolak atau hipotesis diterima. H3. Pengaruh Trust Terhadap Sikap (Attitude) Hasil pengujian empirik dengan regresi linier berganda menunjukkan bahwa trust berpengaruh secara signifikan terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t-hitung 5.169 dengan nilai signifikansi atau p-value 0.00 di mana dengan menggunakan alpha 0.05 maka nilai p-value 0.00 berada jauh dibawah nilai alpha 0.05. Sedang arah hubungan ditunjukkan pada beta yang memiliki nilai 0.528 yang berarti bahwa terdapat hubungan positif antara trust dengan sikap nasabah. Arah positif (beta) tersebut mengandung makna bahwa semakin tinggi kepercayaan nasabah, 50
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
maka akan meningkatkan sikap nasabah dalam menggunakan ATM di Bank Syari’ah Mandiri (BSM) Kudus. Sebaliknya semakin kecil kepercayaan nasabah, maka akan mengurangi sikap nasabah dalam menggunakan ATM di perbankan syari’ah. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diatas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara trust (kepercayaan) terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM di Bank Syari’ah Mandiri (BSM) Kudus tidak sanggup ditolak atau hipotesis diterima. 2. Model Regresi 2: Pengaruh Kepercayaan dan Sikap terhadap Minat Perilaku Hasil regresi linier dalam model regresi 1 antara variabel kepercayaan dan sikap terhadap minat perilaku dapat dijelaskan sebagai berikut : Formasi model regresi 1 adalah: Y = ά + b1.X1 + b2.X2 + e Hasil perhitungan regresi menunjukkan nilai koeffisien determinasi (R2) sebesar 0.752 dan nilai Adjusted R2 adalah 0.746 yang artinya bahwa variabel independen (trust dan attitude) mampu menjelaskan variabel dependen yaitu perilaku penggunaan ATM (behavior intention) sebesar 74% sedang sisanya sebesar 26% dijelaskan oleh variabel lain yang dalam hal ini tidak ikut dimasukkan dalam model penelitian ini (lihat tabel 4). Model Summaryb
Model 1
R.867a R Square .751
a.
Adjusted R Square .746
Tabel b. Predictors: (Constant), ATT, TRUST Dependent Variable: BI
Std. Error of the Estimate 1.05984
DurbinWatson 2.214
4
Sedangkan uji simultan (uji F) menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 143.199 dengan tingkat signifikansi atau p value sebesar 0,000. Dengan menggunakan alpha 0.005 maka hipotesis alternatif (H1) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh secara simultan (trust dan attitude) berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu perilaku penggunaan ATM (behavior intention) tidak dapat ditolak karena nilai EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
51
Anita Rahmawaty
p value 0.000 berada jauh di bawah alpha 0.05 ( p value 0.000 < alpha 0.05). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5 ANOVAb
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 321.699 106.710 428.408
df
2 95 97
Mean160.849 Square 1.123
F 143.199
Sig. .000a
a.
b. Predictors: (Constant), ATT, TRUST Dependent Variable: BI
H4. Pengaruh Trust Terhadap Perilaku Penggunaan (Behavior Intention) Hasil pengujian empirik menunjukkan bahwa trust (kepercayaan) secara signifikan dan positif berpengaruh terhadap perilaku penggunaan ATM (behavior intention) nasabah pada pada Bank Syari’ah Mandiri (BSM) Kudus. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung 2.157 dengan nilai signifikansi atau p value 0.034 di mana dengan menggunakan alpha 0.05 maka nilai p value 0.034 di bawah nilai alpha 0.05. Sementara hubungan positif yang ditunjukkan dengan nilai beta atau slope positif sebesar 0.343 memberi makna bahwa semakin nasabah memiliki kepercayaan terhadap teknologi informasi (ATM) di bank syari’ah, maka semakin meningkatkan kecenderungan penggunaan teknologi informasi (ATM) di Bank Syari’ah Mandiri (BSM) Kudus. Berdasarkan hasil pengujian tersebut di atas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara trust (kepercayaan) terhadap perilaku penggunaan ATM di bank syari’ah tidak sanggup ditolak atau hipotesis diterima.
H5. Pengaruh Sikap Terhadap Perilaku Penggunaan (Behavior Intention) Hasil pengujian empirik menunjukan bahwa sikap secara signifikan dan positif berpengaruh terhadap perilaku penggunaan ATM (behavior intention) nasabah pada pada Bank Syari’ah Mandiri (BSM) Kudus. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung 3.361 dengan nilai signifikansi atau p value 0.001 di mana dengan menggunakan alpha 0.05 maka nilai p value 0.001 berada jauh di bawah nilai alpha 0.05. Sementara hubungan positif yang ditunjukkan dengan nilai beta 52
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model
atau slope positif sebesar 0.535 memberi makna bahwa semakin tinggi sikap nasabah untuk menggunakan teknologi informasi (ATM) di bank syari’ah, maka semakin meningkatkan penggunaan teknologi informasi (ATM) di Bank Syari’ah Mandiri (BSM) Kudus. Berdasarkan hasil pengujian tersebut di atas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara sikap nasabah terhadap perilaku penggunaan ATM di bank syari’ah tidak sanggup ditolak atau hipotesis diterima. E. KESIMPULAN Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan terhadap hipotesis yang telah diajukan, menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) perceived usefulness, perceived ease of use dan trust terbukti memberikan pengaruh signifikan terhadap sikap dalam menggunakan ATM. Sedangkan trust merupakan variabel yang dominan mempengaruhi sikap dalam menggunakan ATM; 2) trust (kepercayaan) dan sikap terbukti memberikan pengaruh signifikan terhadap minat perilaku penggunaan ATM. Dengan demikian, trust mampu mempengaruhi perilaku penggunaan ATM, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui variabel mediasi yaitu attitude (sikap). Studi ini memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut: 1) kerangka sampel yang digunakan adalah nasabah Bank Syari’ah Mandiri yang menggunakan layanan ATM, maka temuan penelitian ini mungkin saja tidak dapat digeneralisir untuk pengguna produk jasa berbasis teknologi informasi lainnya; 2) Temuan penelitian terbatas di wilayah Kudus, maka jawaban pada instrumen kuesioner responden mencerminkan karakteristik sosio demografis di wilayah tersebut; dan 3) desain penelitian dalam bentuk data cross-section juga memberikan keterbatasan karena ketidakmampuannya untuk mengamati secara mendalam berbagai aspek hubungan yang tercipta selama suatu kurun waktu manajemen tertentu. Studi ini meninggalkan pula beberapa agenda penelitian lanjutan sebagai berikut: 1) Studi ini hanya terbatas pada responden adalah nasabah pengguna ATM. Oleh karena itu, sebuah penelitian lanjutan diarahkan untuk melakukan pengujian pada teknologi informasi yang lainnya; 2) Studi ini menggunakan model TAM EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
53
Anita Rahmawaty
sebagai model dasar. Oleh karena itu, penelitian mendatang diarahkan untuk mengintegrasikan model TAM dengan teori dasar penerimaan teknologi lainnya, seperti TRA, TPB, TFT atau UTAUT; dan 3) Design penelitian ini terbatas menggunakan uji regresi linier berganda. Bagi peneliti mendatang, sebaiknya menggunakan metode analisis data lainnya dapat diuji pengaruh hubungan antar variabel secara simultan, seperti SEM (Structural Equation Model).
54
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
DAFTAR PUSTAKA
Ayyagari, Ramakrishna, ”Examination of Hedonism in TAM Research”, Proceedings of Southern Association for Information Systems Conference, 2006. Bart, et.al, “Are The Drivers and Role of Online Trust The Same for All Web Sites and Consumers? A Large Scale Exploratory Empirical Study”, Center for e-Business@MIT, April 2005. Engel, James F., Blackwell, Roger D. dan Miniard, Paul W., Consumer Behavior, Orlando, Florida: The Dryden Press, 1993. Eriksson, Kent; Kerem, Katri; dan Nilsson Daniel, “Customer Acceptance of Internet banking in Estonia”, International Journal of Bank Marketing, Vol. 23, No. 2, 2005. Ferdinand, Augusty, Metode Penelitian Manajemen, Semarang: BP Undip, 2006. Heijden, Van der; Verhagen, Tibert dan Creemers, Marcel, “Understanding Online Purchase Intentions: Contributions From Technology and Trust Perspectives”, European Journal of Information Systems, 2003. Hernandez, Jose Mauro C. dan Mazzon, Jose Afonso, “Adoption of Internet Banking: Proposition and Implementation of An Integrated Methodology Approach”, International Journal of Bank Marketing, Vol. 25, No. 2, 2007. Kotler, P, Marketing Management: The Millenium Edition, Upper Saddle River, N.J: Prentice Hall International Inc, 2000. Koufaris, Marios; Hampton-Sosa, William, “Customer Trust Online: Examining The Role of The Experience with The Website”, CIS Working Paper Series, 2002. Loudon, David L. dan Della-Bitta, Albert J., Consumer Behavior: Concept and Applications , The United State of America: McGraw Hill Inc, 1984. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
55
Anita Rahmawaty
Malhotra, Yogesh dan Galletta, Dennis F, “Extending The Technology Acceptance Model to Account for Social Influence: Theoretical Bases and Validation”, Proceeding of the 32nd Hawaii International Conference on System Sciences, 1999. Nasution, Fahmi Natigor, “Penggunaan Teknologi Informasi Berdasarkan Aspek Keperilakuan (Behavioral Aspect)”, USU Digital Library, 2004. Park, Sung-Hee, “Role of Personal Values in Acceptance of Information Technology”, Doctoral Dissertation, University of South Carolina, 2007. Rini Handayani, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pemanfaatan Sistem Informasi dan Penggunaan Sistem Informasi (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta)”, dalam Simposium Nasional Akuntansi X, Unhas, Makassar, 26-28 Juli 2007. Schiffman, Leon G dan Kanuk, Leslie Lazar, Consumer Behavior, New Jersey: Prentice Hall, 1994. Sulaiman, Ainin; Mohezar, Suhana; dan Rasheed, Ahmad “A Trust Model for E-Commerce in Pakistan: An Empirical Research”, Asian Journal of Information Technology, 2007. Sumarwan, Ujang, Perilaku Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. Tjiptono, Fandy, Pemasaran Jasa, Malang: Bayu Media Publishing, 2006. Wiyono, Adrianto Sugiarto; Ancok, Djamaludin dan Hartono, Jogiyanto, ”Aspek Psikologis pada Implementasi Sistem Teknologi Informasi”, dalam Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, 21-23 Mei 2008. Wu, Jiming, dan Liu, De, “The Effect of Trust and Enjoyment on Intention to Play Online Games”, Journal of Electronics Commerse Research, Vo. 8, No. 2, 2007.
56
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
KALENDER ISLAM INTERNASIONAL SEBUAH TINJAUAN SYAR’I DAN ASTRONOMI
Oleh: Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
Abstrak Kajian ini membahas persoalan yang selama ini menjadi dilemma penentuan kalender Islam bahwa selama ini umat Islam selalu mengalami perselisihan yang tiada akhir. Menyikapi hal ini para praktisi ilmu falak berupaya untuk menyatukan perselisihan tersebut dengan mencoba membuat pedoman penanggalan dunia. Langkah ini merupakan wujud implementasi terhadap masukan umat Islam yang merespon tentang perselisihan pendapat yang tak ada ujung. Sehingga penulis merasa penting untuk meneliti kalender Islam Internasional sebagai langkah konkrit dalam mewujudkan persamaan dan kesamaan kalender Islam secara Internasional. Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan (approach) Library Researh dengan mempergunakan jenis data sekunder dan bersifat deskriptif. Sedangkan tehnik analisis data menggunakan analisis kualitatif normatif histories. Hal ini mempunyai alasan bahwa pengamatan terhadap teori astronomi khususnya penanggalan Islam perlu diamati melalui sejarah yang pernah terjadi zaman Islam klasik sampai zaman Islam modern, pada zaman Islam klasik diamati melalui tekstualitas nas sedangkan zaman Islam modern melalui uji astronomis sehingga dapat ditemukan hasil penelitian yang akurat. Kata Kunci: Kalender Islam Internasional, teori astronomi, Islam Klasik, Islam Modern. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
57
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
A. Analisis Nash Bicara tentang kalender Islam Internasional, sangat terkait dengan kapan batasan waktu dimulainya waktu karenanya memerlukan analisis nash dan astronomi. Ternyata dari nash-nash di atas tidak disebutkan secara tegas mengenai batasan-batasan waktu, umur atau lamanya waktu tersebut. Apalagi menjelaskan tentang kapan hari itu dimulai, dan di mana permulaan hari tersebut. Yang dikemukakan bahwa waktu itu penting, sebagai bagian dari kehidupan manusia dalam beribadah kepada Allah SWT. Dalam kehidupannya di dunia ini, setiap makhluk (khususnya manusia) tidak boleh mengabaikan waktu, karena yang mengabaikannya akan merasakan suatu kerugian. Semakin besar pengabaian terhadap waktu semakin besar pula kerugian itu menimpa kita. Kita dituntut untuk berbuat yang terbaik dan lebih baik setiap harinya agar kita memperoleh keberuntungan, karena jika kita berbuat kebaikan yang sama hari ini dengan hari yang telah dilewati, kita akan memperoleh kerugian, apalagi perbuatan kita lebih buruk pada hari ini dibandingkan hari yang lalu, maka kita akan mengalami kecelakaan yang lebih buruk daripada kerugian. Oleh karena itu, di hari-hari mendatang kita harus melakukan sesuatu yang lebih baik dari hari ini. Hanya satu ayat di dalam al-Qur’an yang menyebutkan tentang satuan waktu berkenaan dengan jumlah bulan dalam setahun, yakni sebanyak 12 bulan, hal ini disebutkan di dalam surat at-Taubah ayat 36. Sedangkan mengenai nama-nama bulan dalam Islam, sejak zaman Rasulullah meneruskan tradisi masyarakat jahiliyah yang sudah berlangsung secara populer pada waktu itu, yakni Muharram, bulan yang disucikan dan diharamkan untuk melakukan peperangan. Safar, artinya kuning yakni karena pada waktu itu daun-daun sedang menguning menjelang musim gugur. Rabi’ al-Ula atau Rabi’ al-Awwal dan Rabi’ al-Tsani atau Rabi’ al-Akhir, kata Rabi’ artinya gugur, dua bulan tersebut secara berturut-turut jatuh pada musim gugur. Jumad al-Ula atau Jumad al-Awwal dan Jumad al-Tsani atau Jumad alAkhir, Jumad artinya beku, kedua bulan tersebut jatuh pada musim dingin. Rajab artinya pada saat itu salju sedng mencair. Sya’ban berasal dari kata syi’b artinya lembah, saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah lahan pertanian atau mengembala ternak. Ramadan, 58
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
artinya membakar. Syawal artinya peningkatan. Dzulqa’dah, dari lafad qa’id artinya duduk. Saat itu merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di rumah daripada bepergian dan Dzulhijjah, bulan ziarah mengunjungi Ka’bah yang merupakan tradisi nenek moyang mereka yakni Ibrahim As.1 Setiap bulan dimulai saat munculnya hilal, berselang-seling 30 atau 29 hari, sehingga 354 hari dalam setahun, 11 hari lebih cepat dari kalender solar yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh yang jumlah bulannya 13 (sehingga satu tahunnya mencapai 384 hari). Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi’ yang ditambahkan pada akhir tahun sesudah Dzulhijjah. Ternyata, tidak semua kabilah di semenanjung Arabia sepakat mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai bulan nasi’. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain Cuma 12 bulan. Lebih celaka lagi, jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan nasi’, belum masuk Muharram menurut kalender mereka. Akibanya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan Arab jahiliyah. Setelah masyarakat Arab memeluk Islam dan bersatu di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, maka turunlah perintah Allah SWT agar umat Islam memakai kalender lunar yang murni dengan menghilangkan bulan nasi’. Firman Allah:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛﭜﭝﭞﭟ ﭠﭡﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬﭭ ﭮ ﭯﭰﭱﭲ 1. Lihat Said Agil Syiradj, “Memahami Sejarah Hijrah” dimuat dalam ha ian Republika, Rabu 9 Januari 2008. lihat juga Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat. Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 85, 110, 127, 128, 134, 144, 145 dan 178. lihat juga Tanthawi al-Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Bairut Dar al-Fikr, t. th.) Jilid 1, hal. 110. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
59
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu2 adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang kafir.”(QS. At-Taubah: 37).3
Dengan turunnya wahyu Allah tersebut, Nabi Muhammad SAW mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi bergantung kepada perjalanan matahari. Meskipun nama-nama bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah tetap digunakan karena sudah populer pemakaiannya. Bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahunnya dari musim ke musim, sehingga Ramadan tidak selalu pada musim panas, dan Jumad al-awwal tidak selalu pada musim dingin. Selanjutnya mengenai ketentuan jumlah hari dalam satu bulan ada yang berisi 29 hari dan ada pula yang 30 hari adalah berdasarkan hadis Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn Umar;
ان امة امية ال نكتب وال نحسب الشهر هكذا وهكذا يعنى )مرة تسعا وعشرين ومرة ثالثين ) ر واه البخارى
“Kami adalah umat yang ummy, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung (tidak tahu ilmu hisab). Bulan adalah sekian dan sekian, maksudnya ada yang 29 hari ada yang 30 hari.” (HR. al-Bukhari).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi tidak menggunakan ilmu hisab dalam menentukan awal bulan, tetapi juga tidak menunjukkan adanya larangan demikian. Hal itu merupakan suatu 2. Tafsirnya: Muharram, Rajab, Zulqaedah dan Zulhijjah adalah bulan-bulan yang dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan. tetapi peraturan Ini dilanggar oleh mereka dengan mengadakan peperangan di bulan Muharram, dan menjadikan bulan Safar sebagai bulan yang dihormati untuk pengganti bulan Muharram itu. sekalipun bulangan bulan-bulan yang disucikan yaitu, empat bulan juga. tetapi dengan perbuatan itu, tata tertib di jazirah Arab menjadi kacau dan lalu lintas perdagangan terganggu. 3. Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahan, (Jakarta: Cetakan Departeman Agama RI, 1978) QS. At-Taubah: 37.
60
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
tindakan yang sangat bijaksana, mengingat waktu itu di kalangan masyarakat Arab belum banyak berkembang ilmu hisab. Sehubungan dengan hal itu, pembahasan mengenai hari, tentulah erat kaitannya dengan kapan dan dimana permulaan hari tersebut dalam tinjauan fiqh, secara teks memang sangat terkait dengan hukum Islam, kalau tinjauan hukum Islam maka tidak terlepas dengan intervensi pendapat ulama. Untuk itulah pendapat sebagian besar para ahli fiqh menguraikan pandangan tentang hari berhubungan dengan awal dan akhir bulan qamariyah khususnya bulan Ramadan dan Syawwal, melalui penampakan hilal berkisar pada cara menetapkannya dengan rukyat, dan sebagian kecil boleh dengan jalan hisab.4 Bahkan menurut pendapat Martin van Bruinessen bahwa para ulama fiqh pandangannya hamper sama, tidak ada yang original, ia berkomentar: “kadang-kadang dikatakan bahwa kitab kuning tidak menunjukkan originalitas, karena semuanya pada dasarnya sama, hanya berbeda dalam rincian. Dari sudut itu memang benar. Daftar isi kitab fiqh tampak sangat mirip. Kesemuanya membahas persoalanpersoalan yang sama, dalam susunan yang sama.”5 Dari uraian di atas, ternyata tidak ditemukan pandangan ulama fiqh klasik yang menyatakan secara tegas dan jelas mengenai kapan dan di mana permulaan hari. Kita hanya mendapatkan sepintas pandangan beberapa ulama fiqh kontemporer tentang kapan permulaan hari yang sangat bergantung pada kriteria penampakan hilal, dan tentang wilayat al-hukm yang berkisar pada persoalan mathla’. Dalam kajian fiqh kontemporer berkenaan dengan kapan hari itu dimulai, adalah berdasarkan isyarat yang ditunjukkan oleh alQur’an tentang pembagian hari (siang dan malam) dengan symbol benang putih (al-khaith al-abyadh) dan benang hitam (al-khaith aswad). Benang putih menunjuk pada siang hari dan benang hitam menunjuk pada malam hari.6 Nash al-Qur’an tersebut tidak menjelaskan secara tegas dan rinci, sehingga di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat 4. Hampir seluruh madzhab yang empat bahkan ditambah dengan ma zhab Imamiyah berpendapat cara menetapkan awal bulan qamariyah dengan jalan rukyat, hanya sebagian madzhab Syafi’I, membolehkan dengan jalan hisab. 5. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisitradisi Islam di Indonesia, cet III, (Bandung: Mizan: 1420 H/1999M), hal. 124. 6. Lihat Muhammad Taqiyuddin, al-hilal Explanatory English Translation of The Meaning of The Holy Qur’an, (Turkey: Hilal Publicatyion, t. th.), hal.28. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
61
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
dalam menentukan batas permulaan antara benang putih dan benang hitam tersebut. Perbedaan pendapat di kalangan ulama sekurangkurangnya ada dua aliran. Yang pertama, hari itu dimulai pada waktu pagi setelah terbit fajar. Dalam penetapan awal bulan qamariyah, aliran ini digolongkan kepada paham ijtima ba’ad al-gurub atau qabl al-fajr.7 Argumentasi yang dikemukakan oleh aliran ini adalah bahwa puasa Ramadan itu diawali pada saat terbitnya fajar. Landasan yang dikemukakan adalah firman Allah di dalam al-Qur’an yang berbunyi
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ
ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ ﮀ ﮁ ﮂ
ﮃ ﮄﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑﮒ ﮓ ﮔ ﮕ
ﮖ ﮗﮘ
”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf 8 dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”(QS. Al-Baqarah:187).9 7. Aliran ini mempunyai paham bahwa awal bulan qamariyah itu setelah terjadinya ijtima’ (conjunction, yaitu posisi bulan dan matahari dalam satu garis bujur ekliptika). Hanya saja, ijtima’ itu terjadinya bukan pada waktu sebelum matahari terbenam (qabl al-gurub), namun setelah matahari terbenam (ba’d al-gurub atau sebelum terbitnya fajar (qabl al-fajr). 8. Tafsirnya: I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. 9. Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahan, (Jakarta: Cetakan Departeman Agama RI, 1978) QS. Al-Baqarah: 187.
62
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
Yang kedua, adalah pandangan mayoritas di kalangan umat Islam, yakni hari tersebut dimulai pada saat terbenamnya matahari (di waktu Maghrib). Dalam penetapan awal bulan qamariyah, pandangan aliran kedua ini berpendapat bahwa awal bulan adalah setelah ijtima’ yang terjadi sebelum terbenam matahari (ijtima qabl al-gurub). Demikian halnya ulama-ulama ahli hisab yang memposisikan hilal di atas ufuk pada saat terbenamnya matahari. Pandangan ini juga dianut oleh pakar hisab Indonesia yang popular, yaitu Sa’adoeddin Djambek.10 Alasan yang dikemukakan oleh aliran kedua adalah firman Allah dalam al-Qur’an berikut:
ﯴﯵ ﯶ ﯷﯸﯹ ﯺ ﯻﯼ ﯽ ﯾﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasiin:40).11
Fenomena alam menunjukkan bahwa matahari terbit dari Timur dan bulan muncul dari barat. Jika realitas ini kita hubungkan dengan nash di atas, maka pendapat kedua bisa diterima karena secara lahirnya lafadz al-Nahr. Konsekuensinya, permulaan hari adalah pada saat malam (saat terbenamnya matahari), bukan pada saat siang (setelah terbitnya fajar).12 Penentuan permulaan hari secara Internasional yang berlandaskan kepada kalender solar system telah ditetapkan dan diselesaikan dengan cara konvensi dalam International Meridian 10. Sebagian besar ulama ahli hisab menetapkan awal bulan qamariyah yang juga menunjukkan permulaan hari jatuh pada waktu Maghrib, yakni pada saat terbenamnya matahari. Prosesnya setelah terjadi konjungsi atau ijtima’ lebih dahulu yang terjadi sebelum terbenam matahari ditambah dengan kedudukan hilal (bulan sabit) berada di atas ufuk ketika matahari tersebut terbenam. (Sa’adoeddin Djambek, Hisab Awal Bulan, Cet. I, (Jakarta: Tintamas, 1976)), hal.15. 11. Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahan, (Jakarta: Cetakan Departeman Agama RI, 1978) QS. Yasiin:40. 12. Lihat Susiknan Azhari, “Perlu Paradigma Baru Menuju Kalender Islam Internasional”. Dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Agama, 2004), hal.62. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
63
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
Conference pada tahun 1884 di Washington, setelah lebih dari 4 abad lamanya perbedaan-perbedaan persepsi garis tanggal Internasional ini diperdebatkan. Garis meridian Greenwich dipakai secara internasional sebagai meridian utama yang merupakan basis perhitungan waktu Greenwich Mean Time (GMT). Berjarak 180ͦ dari garis tersebut didefinisikan sebagai garis tanggal Internasional (International Date Line). Garis batas tanggal Internasional dibuat oleh manusia untuk menghindari kekacauan penanggalan di seluruh muka bumi. Oleh karena dibuat oleh manusia, garis tersebut dibuat tetap, tidak berubah. Letaknya pada garis bujur 180ͦ (berlawanan dalam bujur standart 0ͦ yang melewati Greenwich di Inggris). Bentuk garisnya tidak lurus pada wilayah tertentu dibuat berkelok. Adanya kelokan disini dimaksudkan untuk menghindari wilayah daratan tempat hunian manusia. Terbelahnya oleh garis tanggal, mengakibatkan perbedaan tanggal disekitar wilayah yang dilewati garis tersebut. Dalam menetapkan garis tanggal, kalender Islam (Lunar System) sampai hari ini masih terjadi perbedaan pendapat. Andaikan murni menggunakan ketinggian hilal saja, maka tanggal tersebut akan tergantung pada kriteria berapa derajat ditetapkannya. Selanjutnya, garis tanggal yang ditetapkan akan disesuaikan dengan wilayat al-hukm yang berlaku. Hal ini akan menyebabkan garis tanggal dalam kalender Islam tidak berupa garis lurus dan bahkan garis tanggal discontinue (putus-putus) apabila criteria yang diberlakukan berbeda antar satu Negara dengan Negara lainnya. Sementara itu, dalam hal penentuan hari (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad), kalender Islam mengikuti garis tanggal internasional di atas. Namun dalam penentuan tanggal, kalender Islam mengikuti garis tanggal secara dinamis yang setiap bulannya berubah-ubah. Dengan demikian, karena tidak berhimpitnya garis tanggal internasional dengan garis tanggal kalender Islam, maka akan terjadi perbedaan antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya (tergantung posisi geografisnya) dalam penggunaan kalender Islam.13 Secara internasional, dan dalam beberapa kali pertemuan serta 13. Lihat Khafid, “Garis Tanggal Internasional antara Penanggalan M ladiyah dan Hijriyah”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah, Jakarta: 17-19 Desenber 2005.
64
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
beberapa pandangan, sebagian besar mengemukakan bahwa awal hari/awal bulan/awal tahun ditandai oleh penampakan hilal (hilal visibility) sesudah Matahari terbenam, yang berarti tergolong kepada aliran imkan al-rukyat. Sementara itu, Muhammadiyah memiliki pandangan yang berbeda, yakni dengan melalui wujud al-hilal (pada saat Matahari terbenam posisi hilal berada di atas ufuk dengan tidak memperhatikan hilal dapat dilihat atau tidak) setelah terjadinya ijtima’ sebelum Matahari terbenam.14 Walaupun dalam hal penampilan hilal (terutama dalam menentukan awal bulan qamariyah), di antara ulama (ahli hisab) berbeda satu dengan yang lain, khususnya tentang berapa derajat ketinggian hilal di atas ufuk. Akan tetapi, dalam penentuan garis tanggal, tampaknya para ahli hisab (termasuk para astronom) banyak memiliki kesamaan pandangan dengan menyatakan posisi hilal dalam keadaan positif di atas ufuk.15 Hanya saja menjadi suatu kesulitan untuk menentukan kapan permulaan tanggal, karena garis ketinggian hilal awal bulan qamariyah selalu berubah letak maupun kemiringannya, berbeda dengan garis batas tanggal internasional yang selalu tetap. Perubahan ini ditentukan oleh posisi Bulan dan Matahari pada waktu yang bersangkutan. Jika garis ketinggian hilal 0ͦ memotong batas tanggal internasional, aplikasi penentuan awal bulan atau tanggal satu bulan qamariyah harus memperhitungkan aturan pergantian tanggal akibat melewati garis batas tanggal internasional tersebut. Garis ketinggian hilal adalah lengkungan yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai ketinggian hilal sama. Garis tersebut berguna untuk melihat secara menyeluruh situasi ketinggian hilal pada suatu wilayah atau Negara yang luas. Peta garis ketinggian hilal dibuat berdasarkan ketinggian hilal pada titik-titik referensi yang dapat dicari dengan cara interpolasi titik-titik yang mempunyai ketinggian sama. Seperti halnya garis ketinggian hilal 0ͦ, arah kurvanya ditentukan oleh posisi bulan dan matahari pada waktu yang bersangkutan. Bersama-sama dengan garis ketinggian hilal 0ͦ, garis ketinggian 14. Lihat Moeji Raharto,”Di balik Persoalan Awal Bulan Islam” dimuat dalam majalah Forum Dirgantara, No. 02/Th. I/Oktober/1994, hal. 25. 15. Kriteria Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan qamariyah menggunakan wujud al-hilal dengan tidak mempersyaratkan berapa derajatnya (yang penting di atas nol derajat) di atas ufuk dan tidak mesti harus dapat dirukyat tampaknya sejalan dengan penetapan garis tanggal ini. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
65
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
dapat memberikan gambaran secara global mengenai wilayah yang mempunyai ketinggian positif (+) dan yang mempunyai ketinggian negatif (-).16 Garis batas tanggal qamariyah merupakan garis ketinggian 0ͦ awal bulan hijriyah atau awal bulan qamariyah. Garis batas ketinggian 0ͦ atau disebut juga garis batas bulan baru adalah garis lengkung yang digambarkan pada peta dunia yang melewati tempat-tempat saat terbenam matahari bersamaan dengan saat terbenamnya bulan. Dengan kata lain, garis itu menghubungkan tempat-tempat diseluruh muka bumi yang memiliki ketinggian hilal 0ͦ pada saat matahari terbenam di tempat tersebut. Pembuatan garis ini dilatarbelakangi oleh: • Garis semu matahari pada bola langit ke arah timur lebih lambat daripada gerak bulan. • Penentuan tanggal satu bulan hijriyah berdasarkan pada penampakan hilal termuda pada saat matahari terbenam. • Cara astronomis, saat matahari berada di horizon dapat dihitung atau diperkirakan, demikian pula dengan bulan untuk berbagai tempat dipermukaan bumi. • Melalui perdekatan dengan cara interpolasi dapat dicari tempattempat yang menunjukkan saat matahari terbenam bersamaan dengan terbenamnya bulan berdasarkan data Ephemeris. Selanjutnya, kita dapat menetapkan bahwa daerah yang berketinggian positif adalah sudah memasuki tanggal baru, sebaliknya daerah yang berketinggian negative masih termasuk bulan atau hari yang sedang berlangsung (hari atau bulan yang lama). Sedangkan dalam penyusunan kalender Islam, telah ada kesepakatan secara umum bahwa permulaan tahun adalah dimulai dari hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah (walaupun belakangan ada yang mengatakan dimulai dari wafatnya Rasul)17 yang terjadi pada tanggal 2 Rabiul Awwal bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, dan 16. Lihat Cecep Nurwendaya,”Berlakunya Batas Tanggal Internasional Awal Bulan Qamariyah”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah, Jakarta: 17-19 Desember 2005. 17. Kalender Islam yang dimulai dari wafatnya Rasul adalah kalender Libia. Lihat buku agenda tahun 1375, Islamic calendar1375 from The Death of the Propeth SAW 2007 A.D. Bandingkan dengan Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan Khasanah Islam dan Sains Modern, Cet. II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), hal. 160.
66
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
apabila perhitungan itu dari bulan Muharram, maka 1 Muharram 1 hijrah itu diketahui terjadi pada tanggal 15 Juli 622 M.18 B. Analisis Astronomis Meskipun hanya dengan cara perhitungan astronomilah sebuah kalender Islam prolepsis dapat disusun, satu hal yang perlu diperhatikan oleh umat Islam adalah kenyataan bahwa cara rukyat untuk penentuan awal bulan Islam bukan berarti merupakan cara yang salah. Yang lebih tepat adalah bahwa cara rukyat memiliki banyak sekali kendala dalam prakteknya, baik akibat kendala cuaca, keterbatasan kemampuan penginderaan mata, posisi geometris hilal dan pencahayaan Matahari pada saat pengamatan dan lain-lain. Di zaman Rasulullah SAW, semua kendala-kendala tersebut tidak dapat dihindari karena belum tersedianya teknologi yang memadai sehingga cara tersebut menjadi satu-satunya pilihan. Namun, dengan kemajuan sains dan teknologi saat ini, dan demi terciptanya prinsip-prinsip penyusunan sebuah kalender Islam prolepsis, sudah sangat jelas bahwa cara rukyat tidak dapat digunakan untuk penyusunan sebuah kalender Islam prolepsis seperti telah disinggung di atas. Namun demikian, meskipun sebuah kalender Islam yang bersifat universal di seluruh dunia dapat disusun, perlu disadari bahwa terutama karena posisi astronomis Bumi dan Bulan dalam konstelasi tatasurya, bentuk geometris Bumi (bola), pergerakan Bumi (rotasi dan revolusi), pergerakan Bulan mengorbit Bumi, posisi (lintang, bujur, dan ketinggian pengamat di Bumi) dan lainnya, maka tidaklah mungkin menetapkan awal bulan Islam yang berlaku universal di seluruh bola Bumi. Prinsip pendefinisian waktu dalam Al-Qur’an dan Hadis digambarkan bahwa hilal yang tampak di bagian muka Bumi tertentu belum tentu tampak di belahan Bumi yang lain pada saat yang bersamaan. Banyak sekali factor yang akan mempengaruhi parameter hilal. Dengan demikian, prinsip universalitas kalender Islam yang akan tersusun hanya dapat ditunjukkan berdasarkan informasi posisi dan ukuran hilal di seluruh permukaan Bumi yang dapat dihitung setiap saat. 18. Lihat Ma’rifat Iman,”Kapan dan Dimana Hari Dimulai: Tinjauan Fiqh”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
67
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
Ada beberapa alternatif pemikiran kalender Islam yang dapat menjadi kajian dan analisis sebagai tolok ukur terbentuknya kalender Islam Internasional. Kalender hijriyah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok: pertama, kalender terpadu (unifikasi), yang memiliki prinsip “satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari di seluruh dunia” oleh karena itu kalender ini tidak memberikan arti penting terhadap penggunaan rukyat sebagai dasar penetapan awal bulan. Kedua, kalender zonal. Kalender zonal ini membagi-bagi bumi menjadi zona-zona kalender. Ada yang membagi bumi kepada empat zona atau tiga zona di mana pada masing-masing zona berlaku tanggal sendiri yang mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan tanggal pada zona lain. Ada juga yang membagi bumi menjadi dua zona tanggal saja (kalender bizonal). Kalender bizonal membagi bumi menjadi zona timur yang meliputi benua Asia, Eropa, Afrika, dan Australia di mana dunia Islam termasuk di dalamnya, dan zona barat yang meliputi benua Amerika. Pada masing-masing zona ini berlaku tanggal masing-masing yang pada bulan tertentu mungkin sama dengan tanggal pada zona lainnya dan pada bulan lain mungkin juga berbeda. Yang mendorong pembuatan kalender zonal ini adalah keinginan kuat untuk mempertahankan prinsip rukyat. Berhubung rukyat tidak mengkaver seluruh permukaan bumi pada saat tampakkan pertama hilal, maka oleh karena itu dunia dibagi ke dalam sejumlah zona tanggal agar masing-masing zona itu memasuki bulan qamariyah baru sesuai dengan rukyat yang terjadi (walaupun rukyatnya bukan rukyat langsung melainkan telah ditransfer).19 Ada sebuah gambaran kalender yang tampaknya diklaim sebagai dasar pijakan pembuatan kalender internasional oleh beberapa kalender lain. a. Kalender Ummul Qura Kalender Ummul Qura adalah kalender resmi yang digunakan oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Kalender ini dipersiapkan oleh Institut Penelitian Astronomi dan Geografi di bawah King Abdul Aziz City for Science and Technology (KACST) berdasarkan teori modern 19. Misalnya ditranfer dari Maroko (ujung barat Dunia Islam) ke Ind nesia (ujung timur Dunia Islam) yang jaraknya 7 jam, dalam arti bila bulan telah terukyat di Maroko, maka rukyat itu ditranfer dan berlaku bagi orang Indonesia, sehingga karena itu kedua negara itu memasuki bulan qamariyah baru pada hari yang sama.
68
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
astronomi tentang matahari dan bulan. Kalender ini digunakan untuk keperluan-keperluan sivil saja dan tidak digunakan untuk menentukan hari-hari keagamaan seperti Ramadan, Syawwal dan Dzulhijjah. Khusus untuk ketiga momen agama ini kewenangan penentuannya berada di tangan Majelis al-Qada’ al-A’la (Majelis Yudisial Agung). Berdasarkan prinsip rukyat seringkali majelis ini menetapkan ketiga bulan itu berbeda dengan yang tercantum dalam kalender Ummul Qura. Majelis al-Qada’ al-A’la sendiri juga menggunakan kalender Ummul Qura untuk kepentingan administrasi dan sivil lainnya. Kalender Ummul Qura diikuti oleh banyak juga masyarakat muslim di luar Arab Saudi. Beberapa tetangga dari kerajaan minyak ini, seperti Qatar dan Bahrain menggunakan kalender ini. Begitu pula masyarakat muslim di Negara-negara non Islam cenderung mengikuti kalender ini seperti di masjid-masjid yang dengan dana Arab Saudi. Dalam Software computer modern, kalender Ummul Qura menjadi kalender hijriyah default dalam setting Arab Microsoft Vista.20 Kalender ini merupakan pelanjut dari kedua kalender sebelumnya, yaitu Kalender Najd dan Kalender Kerajaan Arab Saudi. Kedua kalender ini dapat dipadukan dan diberi nama kalender Ummul Qura.21 Sebelum mencapai bentuk final seperti sekarang kalender Ummul Qura telah mengalami perubahan-perubahan prinsip. Menurut Zaki al-Mustofa an Yasir Mahfud Hafis, keduanya dari Pusat Ilmu dan Tehnologi Raja Abdul Aziz (King Abdul Aziz City for Science and Technology), kalender ini telah mengalami empat tahap perkembangan: a. Fase pertama, sejak tahun 1370/1950 hingga tahun 1392/1972. Pada fase ini digunakan prinsip bahwa bulan qamariyah baru dimulai pada keesokan hari apabila menurut perhitungan hilalnya pada tanggal 29 bulan berjalan di atas ufuk pada ketinggian 9ͦ pada saat matahari tenggelam (tidak keterangan apakah ketinggian dimaksud adalah di ufuk Makkah atau Riyad).22 20. Aslaksen, “The Umm al-Qura Calendar of Saudi Arabia,” (http:// www.phys.uu.nl/-vgent/islam/ummalqura.htm), akses 24-08-2009. 21. Qadi, Dirasah Falakiyyah Muqaranah li Yaumai ad-Dukhul ar-Rasmi wa al-Falaki li Syahr Ramadan fi al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Sa’udiyyah li alFatrah 1380-1425 H,” dalam AACII, h. 98-99 (teks Arab). 22. Menurut ‘Abd al-Mun’im Qadi, fase ini sejak 1346/1972. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
69
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
b. Fase kedua, sejak tahun 1393/1973 hingga tahun 1419/1998. Pada ini digunakan prinsip pembuatan kalender bahwa apabila terjadi konjungsi pada tanggal 29 bulan berjalan sebelum pukul 00.00 (tengah malam) menurut waktu universal (GMT), maka malam itu dan keesokan harinya adalah bulan baru. Prinsip ini menimbulkan masalah karena beda waktu 3 jam antara Arab Saudi dan Greenwich mengakibatkan bisa terjadi bahwa bulan baru di Makkah telah mulai padahal belum terjadi konjungsi. Misalnya konjungsi terjadi pada pukul 21.00 WU, maka di Makkah adalah pukul 00,00 dan saat itu matahari sudah tenggelam. c. Fase ketiga, sejak tahun 1419/1998 hingga pada tahun 1422/2002. Pada fase ini digunakan prinsip bulan terbenam setelah terbenamnya matahari (Moonset after sunset) di kota mulia Makkah dan pada fase ini pertama kalinya digunakan koordinat Ka’bah guna membuat kalender. Prinsip ini juga masih membawa kemuskilan karena bisa saja bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari, namun pada saat terbenamnya matahari konjungsi belum terjadi, namun pada saat terbenamnya matahari konjungsi bulan terjadi, sehingga berakibat memasuki bulan baru di saat bulan belum terjadi ijtima’. Sebagai contoh, adalah kasus bulan Rajab 1424 H (27 Agustus 2003). Konjungsi terjadi hari Rabu 27 Agustus 2003 pada pukul 20.26 waktu Makkah. Matahari pada hari itu terbenam pada pukul 18.45 dan bulan terbenam 8 menit kemudian, yakni pukul 18.53. Di sini bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari, namun saat itu belum terjadi konjungsi. d. Fase keempat, sejak 1423/2003 hingga sekarang. Pada fase ini digunakan prinsip yang didasarkan kepada dua kriteria, yaitu (1) pada tanggal 29 bulan berjalan telah terjadi konjungsi (meskipun hanya beberapa detik) sebelum terbenamnya matahari, dan (2) bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari (bulan di atas ufuk saat matahari terbenam). Apabila kriteria ini terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya adalah bulan baru. Fase ini mempunyai kriteria yang sama dengan kriteria bulan baru dalam hisab hakiki yaitu wujudul hilal yang digunakan dilingkungan Muhammadiyah. Paham Muhammadiyah mengenai hisab ini memiliki tiga criteria dalam bulan baru, yaitu pertama, telah 70
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
terjadi konjungsi atau ijtima’. Kedua, konjungsi atau ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam, dan yang ketiga, pada saat terbenamnya matahari bulan berada di atas ufuk.23 Oleh Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq kalender Ummul Qura ini dijadikan pijakan untuk membuat kalender terpadu atau unifikasi yang bernama Kalender Kamariyah Islam Terpadu dan juga dinamakan Kalender Ummul Qura Revisi.24 b. Kalender Zonal Kalender Zonal ini terbagi menjadi beberapa konsep kalender yang dijadikan pilihan dalam pembuatan Kalender Islam Internasional, yakni: 1. Kalender Ilyas Dalam proses pencetusan pembuatan Kalender Islam Internasional ini ternyata sudah lama dimulai oleh Mohammad Ilyas dari Malaysia sejak zaman modern ini. Pencetusan kalender ini dimulai sejak decade ke-8 abad lalu. Ia menulis dan mengedit sejumlah buku untuk tujuan pembuatan kalender ini. Kalender cetusan Mohammad Ilyas ini didasarkan kepada dua hal: 1. Hisab imkanurrukyah sekaligus sebagai fungsi untuk menemukan. 2. Garis Tanggal Kamariyah Internasional (Internasional Lunar Date Line).25 Hisab imkanurrukyah ini menggunakan kriteria yang merupakan kombinasi dua parameter ketinggian relatif geosentrik (geocentric relative altitude) dan parameter azimuth relatif (relative azimuth) dan dalam hisab ini hanya ada satu kategori imkanurrukyah, rukyat dengan mata telanjang saja.26 23. Oman Fathurrahman, “Kalender Muhammadiyah: Konsep dan I plementasinya,” makalah untuk Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006, h.9. 24.Lihat Syamsul Anwar, “Perkembangan Pemikiran Tentang Kalender Islam Internasional”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008. 25. Di antaranya New Moon’s Visibility and International Islamic Calendar for The Asia-Pasific Religion, 1407 H-1421 H (Islamabad-Kuala Lumpur: OIC dan RISEAP, 1414/1994); Unified World Islamic Calendar: Shari’a Science and Globalization (Penang, Malaysia: International Islamic Calendar Programme, 2001).
26.Dikutip oleh ‘Audah, At-Taqwin al-Hijri al-‘Alami, ”http://www. icoproject.org/pdf/2001_UHD.pdf, h.2, akses 25-8-2009. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
71
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
Hisab imkanurrukyat dilakukan tidak hanya pada tempat tertentu, melainkan secara global. Hisab dilakukan di berbagai tempat di muka bumi untuk menemukan titik imkanurrukyat. Misalnya hisab dimulai dari garis lintang 0ͦ guna menemukan titik visibilitas hilal pertama. Kemudian dilakukan hisab pada garis lintang berikutnya ke utara dan ke selatan dengan interval 5ͦ sampai 15ͦ guna menemukan titik imkanurrukyat. Bilamana itu semua telah selesai dilakukan dan telah ditemukan titik-titik imkanurrukyat, maka titik-titik visibilitas pertama rukyat itu dihubungkan satu sama dengan sebuah garis, sehingga akan ditemukan suatu garis lengkung (parabolic) yang lengkungannya menjorok ke timur. Garis itu akan memisahkan dua kawasan bumi, kawasan sebelah barat garis dan kawasan sebelah timur. Kawasan sebelah barat adalah kawasan yang mungkin bisa merukyat hilal dan kawasan sebelah timur adalah kawasan yang tidak mungkin terjadi rukyat, dengan suatu catatan bahwa garis itu tidak bersifat eksak. Garis itulah yang disebut dengan Garis Tanggal Kamariyah Internasional (GTKI). Seperti halnya Garis Tanggal Internasional yang berlaku sekarang, GTKI berfungsi menjadi batas tanggal kamariyah, dalam arti kawasan sebelah barat garis memasuki bulan baru, sementara kawasan di sebelah timur yang tidak mungkin rukyat belum mulai bulan baru. Karena tampakan hilal yang tidak tetap setiap bulan, maka GTKI ini muncul secara berpindah-pindah dari bulan ke bulan. Garis ini, apabila membelah dua suatu Negara, dapat ditarik kea rah timur sesuai dengan batas Negara bersangkutan. Atas dasar GTKI ini, Mohammad Ilyas merumuskan suatu kalender Islam Internasional, namun bersifat zonal, dan membagi bumi ke dalam tiga zona tanggal, yaitu zona Asia-Fasifik, zona Eropa, Asia Barat dan Afrika, dan zona Amerika. Kalender Mohammad Ilyas ini dipromosikan oleh suatu badan dari University of Science Malaysia yang disebut Internasional Islamic Calender Programme. Kesulitan dengan GTKI dari Mohammad Ilyas ini adalah bersifat tidak tetap dan berpindah-pindahnya garis tanggal tersebut setiap bulan. Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan GTKI ini adalah apakah garis tersebut hanya membatasi tanggal saja atau juga berlaku untuk mendefinisikan hari. Kalau hanya berlaku untuk 72
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
membatasi tanggal saja, maka pada bulan tertentu akan terjadi akibat berupa adanya dua tanggal hijriyah berbeda untuk satu hari yang sama. Apabila GTKI dijadikan juga dasar untuk mendefinikan hari, akibatnya adalah bahwa di dunia akan terdapat dua hari yang berbeda, hari yang didefinikan menurut Garis Tanggal Internasional dan hari menurut Garis Tanggal Kamariyah Internasioanl. Ini akan lebih banyak menimbulkan problem daripada menyelesaikan problem. 2. Konsep Kalender Usulan Qasum (1993 dan 1997) Konsep ini yang dicetuskan oleh Qasum al-‘Atbi dan Mizyan dalam bukunya telah diterbitkan dengan judul Isbat asy-Syuhur al-Hilaliyyah wa Musykilat at-Tauqit al-Islami. Menurut Qasum, buku ini merupakan karya ilmiyah pertama dalam bahasa Arab pada zaman modern yang menyajikan hasil-hasil kajian ilmiyah modern mengenai masalah kalender secara kritis dan rinci. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa persoalan kita tidak hanya berkutat di sekitar masalah rukyat belaka, meskipun buku ini sendiri melakukan kajian rinci menyangkut hal ini, tetapi persoalan kita lebih luas, yaitu menyangkut juga bagaimana membangun system penjadwalan waktu yang sesuai dengan kaidah syariah. Di samping itu buku ini juga menyajikan sisi fikih dari permasalahan. Berangkat dari analisis astronomi sekaligus fikih, buku ini mencoba membuat suatu usulan kalender kamariyah internasional. Kalender yang diusulkan didasarkan kepada pembagian kawasan dunia menjadi empat zona tanggal sebagai berikut: 1. Zona pertama dari posisi 150ͦ BT hingga 75ͦ BT, yang meliputi Asia Selatan, Timur dan Tenggara (India, Cina, Indonesia, Malaysia dst). 2. Zona kedua dari posisi 75ͦ BT hingga 30ͦ BT, yang meliputi Jazirah Arab, Syam, Iran, Afganistan, bekas Soviet dan Rusia. 3. Zona ketiga dari posisi 30ͦ BT hingga 15ͦ BB, yang meliputi Afrika dan Eropa. 4. Zona keempat dari posisi 45ͦ BB hingga 120ͦ BB, yang meliputi Amerika Utara dan Amerika Selatan. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
73
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
Garis-garis yang membatasi keempat zona di atas sekaligus merupakan garis-garis batas tanggal kamariyah. Karena ada empat garis yang membatasi empat zona, maka berarti ada empat garis batas tanggal, yang berfungsi secara bergantian setiap bulan sesuai dengan tempat di mana pertama kali terjadi visibilitas hilal. Pada setiap zona tanggal disatukan, namun tanggal bisa berbeda antara satu zona dengan zona lain. Apabila hilal terukyat pada zona pertama berdasarkan model yang dikemukakan oleh Schaefer, maka seluruh zona akan memulai bulan baru secara serentak dan garis batas tanggalnya adalah garis batas timur zona pertama. Akan tetapi apabila visibilitas hilal terjadi pada zona kedua, maka zona pertama mulai bulan baru terlambat satu hari dari zona-zona lainnya dan batas antara zona kedua dan pertama menjadi garis batas tanggal. Apabila hilal terlihat pertama kali pada zona ketiga, maka zona kedua dan pertama mulai bulan baru terlambat satu hari dari zona ketiga dan keempat dan batas antara zona ketiga dan zona kedua menjadi garis batas tanggal. Begitulah seterusnya. Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan usulan ini adalah bahwa kalender ini tidak menyatukan, melainkan membagi dunia ke dalam sejumlah zona. Di samping itu pembagian zona tersebut tampak agak arbitrer dan tidak komprehensif, karena masih ada kawasan bumi yang tidak masuk ke dalam salah satu zona di atas, yaitu kawasan seluas 80ͦ, yaitu posisi 150ͦ BT ke timur melewati Garis Tanggal Internasional. Hingga 120ͦ BB. 3. Kalender Qasum ‘Audah Belakangan Qasum mengusulkan kalender yang lebih baru dengan prinsip bagaimana menyesuaikan jadwal penanggalan pada kelender dengan kemungkinan rukyat. Qasum menamakan kalender ini dengan “Kalender Qasum ‘Audah,” karena mengambil prinsip bizonal dan kriteria imkanurukyat dari ‘Audah. Oleh karena itu pilihannya masih pada model kalender zonal dengan membagi dunia menurut zona-zona tanggal. Prinsip kalender usulan baru tersebut adalah: 1. Dunia dibagi menjadi dua zona, yaitu zona barat yang meliputi benua Amerika dan zona timur yang meliputi bagian dunia lainnya. 74
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
2. Bulan kamariyah baru dimulai di kedua zona itu pada hari berikutnya apabila konjungsi terjadi sebelum fajar di Makkah. 3. Bulan kamariyah baru akan dimulai pada hari berikutnya di zona barat dan ditunda sehari pada zona timur apabila konjungsi terjadi antara fajar di Makkah dan pukul 12.00 WU.27 Apabila diingat bahwa selisih antara waktu Makkah dan waktu universal (WU) adalah 3 jam, maka bila fajar terbit di Makkah sekitar pukul 04.30 pagi, maka itu sama dengan pukul 01.30 WU. Dengan demikian tampak bahwa rumusan kalender Qasum ‘Audah yang dibuat oleh Nidal Qasum ini bisa dirumuskan, pertama apabila konjungsi terjadi antara pukul 12.00 WU siang hari dan sekitar pukul 01.30 WU tengah malam, maka di seluruh dunia bulan baru dimulai pada hari berikutnya. Dan kedua, apabila konjungsi terjadi antara sekitar pukul 01.30 WU tengah malam dan pukul 12.00 WU siang hari, maka bulan baru kamariyah dimulai pada hari berikutnya di zona barat dan ditunda sehari di zona timur. Kaidah kalender ini nampaknya mengambil kaidah kalender Jamaluddin dengan pengalami perubahan di sana sini, kemudian diterapkan kepada kalender berdasarkan prinsip bizonal. Perbedaannya adalah bahwa dalam kalender Jamaluddin waktu tengah malam itu adalah pukul 00.00, sementara dalam kalender Qasum ‘Audah waktu tengah malam WU itu adalah sekitar pukul 01.30 WU sesuai saat terbit fajar di Makkah. Bila Jamaluddin menerapkan kaidah ini terhadap kalender unifikasi, maka Qasum menerapkannya terhadap kalender bizonal. Berhubung kaidah kalender seperti ini diambil oleh Jamaluddin dari kaidah Kalender Ummaul Qura tahap dua, maka karena itu Qasum itu menyatakan bahwa kalender ini adalah revisi terhadap kalender Ummul Qura, seperti halnya kalender Jamaluddin juga revisi terhadap Kalender Ummul Qura.28 27. Qasum, “Akhir al-Muqtarahat li hall Musykilat at-Taqwin al-Islami,” d lam AACII, h. 94 (teks Arab). 28. Lihat Syamsul Anwar, “Perkembangan Pemikiran Tentang Kalender Islam Internasional”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
75
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
Kalender ini berupaya untuk menyesuaikan permulaan bulan baru dengan terjadinya kemungkinan rukyat di suatu tempat di dunia. Akan tetapi kelemahannya adalah pertama, berdasarkan penelitian kemungkinan rukyat, dimungkinan terjadi bahwa Bulan telah muncul, namun kalender ini belum memulai bulan baru dan kedua, tidak menyatukan melainkan membagi dunia terpecah dalam dua zona tanggal. 4. Kalender Hijriyah Universal Dengan Kalender Hijriyah Universal dimaksudkan suatu system kalender yang dibuat oleh Komite Hilal, Kalender dan Mawaqit di bawah organisasi Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) di mana salah seorang pendirinya adalah Ir. Muhammad Syaukat ‘Audah. Kalender ini pertama kali diperkenalkan dalam Konferensi Astronomi Islam II yang diselenggarakan oleh AUASS di Amman, Yordania, tahun 2001.29 Kalender ini mengalami beberapa perkembangan, ketika diintrodusir pertama kali dalam Konferensi Astronomi Islam II, 2001, Kalender ini merupakan kalender bizonal berdasarkan prinsip imkanurrukyat dengan kriteria imkanurrukyat yang dikembangkan oleh Yallop.30 Kemudian dikembangkan menjadi kalender trizonal dengan dasar criteria imkanurrukyat yang sama. Kemudian setelah ‘Audah merumuskan kriteria imkanurrukyat baru, kalender ini menggunakan criteria ‘Audah tersebut. Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya diskusi kalender Islam internasional, kalender ini dikembalikan kepada bentuk semula, yaitu kalender ini sekarang menajdi kalender resmi AUASS, selain itu digunakan secara resmi oleh dua Negara, yaitu Yordania dan Aljazair.31 Kaidah pokok yang menjadi landasan dari Kalender Hijriyah Universal ini adalah dua prinsip pokok berikut: 1) Bahwa bumi dibagi menjadikan dua zona tanggal, sebagai berikut: 29.“Universal Hejric Calendar (UHC),”http://www.icoproject.org/uhc.
html, akses 27 August 2009.
30.Syamsul Anwar. Dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muha madiyah, h. 12. 31.“Universal Hejric Calendar (UHC),”.
76
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
a) Zona Kalender Hijriyah Timur, yang meliputi kawasan dari garis 180ͦ BT ke arah barat hingga 20ͦ BB, yang mencakup empat benua (Australia, Asia, Afrika, dan Eropa) dan dunia Islam seluruhnya termasuk di dalamnya. b) Zona Kalender Hijriyah Barat, yang meliputi kawasan dari posisi 20ͦ BB hingga mencakup kawasan barat Amerika Utara dan Amerika Selatan. 2) Bulan baru dimulai pada keesokan hari di masing-masing zona bila pada tanggal 29 sore bulan berjalan dimungkinkan terjadi rukyat di daratan zona bersangkutan, baik dengan mata telanjang maupun dengan teleskop, berdasarkan kriteria imkanurrukyat ‘Audah. Kriteria imkanurrukyat ‘Audah ini merupakan kombinasi dua parameter, yaitu 1) lebar hilal (crescent’s width), 2) busur rukyat (arc of vision) yang dituangkan dalam suatu rumus yang menggambarkan tingkat-tingkat imkanurrukyat. Ada lima kategori imkanurrukyat dalam kriteria ‘Audah, yaitu: 1. Rukyat dengan mata telanjang secara mudah. 2. Rukyat dengan alat optic, tetapi dapat juga dengan mata telanjang dengan sedikit sukar. 3. Rukyat dengan alat optic. 4. Rukyat tidak mungkin. 5. Rukyat mustahil. Kalender Hijriyah Universal memegangi tiga kategori rukyat pertama yang terjadi di daratan. Apabila di daratan dari masingmasing zona terjadi rukyat menurut salah satu dari tiga kategori pertama, maka bulan baru dimulai keesokan harinya. Perlu diketahui berdasarkan dua kaidah kalender di atas, tanggal akan dimulai pada hari yang sama apabila visibilitas hilal terjadi di daratan Zona Timur, karena Zona Barat selalu mengikuti Zona Timur dan Bulan bergerak dari timur ke barat dengan semakin meninggi di mana apabila hilal terlihat di Zona Timur, otomatis terlihat pula di Zona Barat. Akan tetapi apabila pada tanggal 29 bulan berjalan visibilitas pertama hilal terjadi di Zona Barat, seperti halnya bulan Syawal 1428 H tahun lalu di mana hilalnya terlihat pertama kali sore Kamis 11 Oktober 2007 EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
77
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
M di Zona Barat, dan tidak terlihat di Zona Timur, maka akan terjadi perbedaan memulai bulan baru. Dalam keadaan seperti itu Zona Barat memasuki bulan baru lebih dahulu dan tanggal baru tertunda sehari di Zona Timur. Menurut Kalender Hijriyah Universal Zona Timur, 1 Syawal 1428 H jatuh hari Sabtu tanggal 13 Oktober 2007 karena hilal tidak terlihat di Zona itu pada hari Kamis 11 Oktober 2007. Akan tetapi Kelender Hijriyah Zona Barat menjatuhkannya pada hari Jum’at tanggal 12 Oktober 2007, karena hilal terlihat di Zona bersangkutan pada hari Kamis 11 Oktober 2007. Selain itu perlu diketahui, bahwa hilal harus terukyat di daratan, sekalipun rukyatnya hanya dengan alat optic. Apabila hilal terlihat hanya dari lautan dan tidak dapat dilihat dari daratan manapun, maka dipandang belum terukyat. Kelemahan Kalender Hijriyah Universal adalah sama dengan kelemahan seluruh kalender zonal, yaitu mengorbankan kesatuan dan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia, demi mempertahankan rukyat. Sesungguhnya bukan rukyat factual yang dipertahankan, melainkan adalah rukyat yang diperkirakan terjadi atau imkaurrukyat. Selain itu juga kalender zonal ini akan menimbulkan perbedaan tanggal 9 Dzulhijjah pada tahun tertentu sehingga menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah bagi orang di Zona Barat. c. Kalender Unifikasi Usul untuk kalender hijriyah yang lain menyatakan seluruh dunia pertama kali digagas oleh Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq dari Maroko. Ia menamakan kalender usulannya at-Taqwin al-Qamari al-Islami al-Muwahhad (Kalender Kamariyah Islam Unifikasi atau Terpadu). Upaya Jamaluddin ini memang dapat dikatakan sebagai suatu proyek yang amat ambisius karena ingin menyatukan seluruh dunia dalam satu system penjadwalan waktu yang terpadu atau terunifikasi dengan prinsip satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari di seluruh dunia. Hal ini berangkat dari keprihatinan Jamaluddin atas kenyataan bahwa dalam dunia Islam sering terjadi satu tanggal meliputi beberapa hari seperti tanggal 1 Syawal 1428 H tahun lalu yang jatuh pada empat hari berlainan, sejak hari Kamis, Jum’at, Sabtu hingga Ahad di berbagai belahan bumi. Sebaliknya hari Jum’at 12 78
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
Oktober 2007 tahun lalu diberi empat tanggal berbeda di berbagai tempat, 2 Syawal, 1 Syawal, 30 Ramadan, dan 29 Ramadan. Kalender Jamaluddin ini merupakan upaya pembuatan system penjadwalan waktu Islam terkini yang paling komprehensif. Untuk tujuan ini ia telah melakukan riset dalam waktu yang lama dan melakukan pengujian terhadap 60 bulan kamariyah ke depan dari mulai tahun 1421 H hingga 1470 H. Hasil penelitiannya dituangkan dalam bukunya yang berjudul at-Taqwin al-Qamari al-Islami al-Muwahhad (Calendarier Lunairer Islamique Unifie), dan dalam berbagai artikel. Menurut Jamaluddin ada tiga prinsip dasar yang harus diterima untuk dapat membuat suatu kalender kamariyah internasional. Ketiga prinsip dimaksud adalah pertama, prinsip hisab. Hal itu adalah karena kita tidak mungkin membuat suatu kalender dengan rukyat, karena kalender harus dibuat untuk waktu yang jauh lebih lama dan sekaligus harus dapat menentukan tanggal di masa lalu secara konsisten. Penolakan terhadap hisab berarti pembubaran seluruh upaya penyusunan kalender. Kedua, prinsip transfer rukyat, yaitu apabila terjadi rukyat di kawasan ujung barat, maka rukyat itu ditransfer ke timur untuk diberlakukan bagi kawasan ujung timur, meskipun di situ belum mungkin rukyat, dengan ketentuan kawasan ini telah mengalami konjungsi sebelum pukul 00.00 waktu setempat, kecuali kawasan GMT + 14 jam, terhadapnya berlaku konjungsi Kiribati bagian timur, terhadapnya berlaku konjungsi sebelum fajar. Ketiga, penentuan permulaan hari. Banyak pendapat mengenai kapan hari dimulai. Umumnya banyak memegangi pendapat bahwa dimulainya hari sejak terbit fajar. Dalam perdebatan ini Jamaluddin berpendapat bahwa kita harus menerima konvensi dunia tentang hari, yaitu dimulai sejak tengah malam di garis bujur 180ͦ. Menurut Jamaluddin adalah mustahil untuk menjadikan terbenamnya matahari atau terbit fajar sebagai permulaan hari dan system waktu. Ada tiga alasan yang menjadi dasar pertimbangan dalam hal ini. Alasan pertama, gurub dan terbit fajar pada tempat tertentu berubah-ubah dan tidak konstan dari satu hari ke hari lain. Alasan kedua, waktu gurub dan terbit fajar itu terkait dengan lokasi tertentu sehingga system waktu seperti itu tidak dapat diberlakukan secara umum ke seluruh negeri. Alasan ketiga, waktu-waktu ibadah tidak terpengaruh oleh penggunaan system waktu internasional EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
79
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
dan konsep malam dan siang bagi kewajiban puasa melampaui konsep hari. Apabila kita menganggap permulaan yuridis dari bulan Ramadan adalah pada pukul 00.00 hari Ahad, misalnya, maka hal itu tidaklah berarti adanya suatu pertentangan atau kontradiksi dengan kita memulai salat tarawih sesudah matahari terbenam. Ada tujuh syarat yang harus diupayakan terpenuhi oleh suatu kalender untuk menjadi kalender kamariyah internasional unifikasi, meskipun harus ada beberapa perkecualian. Syarat-syarat yang dimaksud adalah: 1) Syarat Kalender, yaitu memposisikan hari dalam aliran waktu secara tanpa kacau dengan prinsip “satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari di seluruh dunia”, dan jangan sampai terjadi satu hari dua tanggal atau lebih dan seterusnya. 2) Syarat bulan kamariyah, yaitu berdasarkan peredaran factual Bulan (qamar) di langit. 3) Syarat kelahiran Bulan, yaitu tidak boleh masuk bulan baru sebelum kelahiran Bulan atau konjungsi, karena itu berarti memasuki bulan baru sementara Bulan di langit belum menggenapkan putaran sinodisnya, khususnya bagi kawasan ujung timur, kecuali zona waktu GMT + 14 jam, yaitu bagian Kepulauan Kiribati yang terletak di sebelah timur Garis Tanggal Internasional sebelum tahun 1995, dan yang di mana terletak titik K (Φ = 10ͦ LS dan λ = 151ͦ BB, ada pembelokan garis tanggal) yang menandai tempat pertama terbit fajar setiap hari di dunia. 4) Syarat imkanurrukyat, yaitu untuk masuk bulan baru hilal harus mungkin terlihat, khususnya bagi kawasan ujung barat yang memiliki peluang pertama rukyat. 5) Syarat tidak boleh menunda masuk bulan baru ketika hilal telah terlihat secara jelas dengan mata telanjang. 6) Syarat penyatuan, yaitu berlaku di seluruh dunia secara terpadu tanpa membagi-bagi bumi ke dalam sejumlah zona. 7) Syarat global, yaitu bahwa system waktu yang terapkan sejalan dengan kesepakatan dunia tentang waktu. Lebih lanjut hal yang amat penting dalam Kalender Kamariyah Islam Unifikasi usulan Jamaluddin ini adalah kaidah hisab kalender. Menurut Jamaluddin suatu kalender harus berdasarkan kepada suatu 80
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
kaidah hisab yang sederhana, dalam arti mudah diterapkan, pasti, dalam arti tidak bersifat probabilitas dan konsisten, dalam arti tidak diintervensi oleh campur tangan manusia. Kaidah seperti itu diperoleh dari suatu pendekatan global terhadap gerak bulan dalam kaitannya dengan apa yang oleh Jamaluddin disebut sebagai “Hari Universal” dan diilhami oleh Kalender Ummul Qura tahap 2, sehingga kalender unifikasi ini oleh perancangnya disebut pula Kalender Ummul Qura Revisi. Dengan Hari Universal dimaksudkan lama (durasi) waktu suatu hari dari pukul 00:00 hingga pukul 00:00 berikutnya di seluruh dunia, tidak pada lokasi tertentu. Memang bilamana kita berada di lokasi tertentu, misalnya di kota Yogyakarta atau kota lainnya, maka kita mengalami suatu hari hanya 24 jam lamanya. Akan tetapi durasi waktu dari Hari Universal di seluruh dunia adalah 48 jam. Hari Jumat, misalnya, di seluruh dunia lamanya adalah 48 jam. Hari Jumat itu mulai pada garis bujur 180º BT pada pukul 00:00 (waktu setempat) dan berakhir pada garis bujur 180º BB (kedua garis bujur ini berdempet) pada pukul 00:00 waktu setempat malam Sabtu. Lama waktu tersebut adalah 48 jam. Untuk mudah memahaminya mari kita hitung secara sederhana. Dari pukul 00:00 waktu setempat di zona WU +12 jam hingga pukul 12:00 siang hari Jumat saat orang di zona waktu +12 jam (zona ujung timur) melakukan salat Jumat di tempat yang sama, lamanya waktu (bumi berputar pada sumbunya) adalah 12 jam. Kemudian bumi terus berputar sebesar 15º (1 jam) sehingga waktu salat Jumat (pukul 12:00) masuk di zona waktu universal + 11 jam. Begitulah bumi berputar terus sebesar 15º (1 jam) melewati keseluruhan 24 zona waktu orang mengerjakan salat Jumat di seluruh dunia sampai putaran bumi pada garis bujur 180º BB (yang juga adalah garis bujur 180º BT) di mana matahari melintas di atas garis itu, dan putaran melewati 24 zona waktu itu adalah 24 jam lamanya. Kemudian lama waktu dari pukul 12.00 pada zona waktu universal – 12 jam (zona waktu ujung barat) hingga berakhirnya hari Jumat di zona waktu yang sama tengah malam Sabtu adalah 12 jam. Jadi 12 jam dari tengah malam Jumat hingga siang Jumat ditambah 24 jam perputaran bumi saat di mana orang mengerjakan salat Jumat di seluruh dunia sejak dari garis bujur 180º BT hingga 180º BB dan ditambah lagi 12 jam sejak siang Jumat hingga tengah malam Sabtu di zona ujung barat jumlahnya EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
81
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
adalah 48 jam. Jadi hari Jumat itu di seluruh dunia berlangsung 48 jam dan itulah yang disebut Hari Universal. Sama dengan hari Jumat adalah hari-hari lainnya. Ciri dari Hari Universal itu adalah bahwa permulaan Hari Universal berikutnya tidak pada saat berakhirnya Hari Universal sebelumnya, melainkan pada pertengahannya. Bertitik tolak dari kosep Hari Universal ini, Jamaluddin merumuskan kaidah hisab untuk Kalender Kamariah Islam Unifikasi usulannya sebagai berikut: Apabila waktu konjungsi sama atau lebih besar dari pukul 00:00 dan lebih kecil dari pukul 24:00 dari suatu Hari Universal, maka awal bulan kamariah baru jatuh pada Hari Universal berikutnya.32 Rumusan ini, karena berangkat dari konsep Hari Universal yang tidak dengan cepat dapat difahami terutama oleh mereka yang tidak terbiasa dengan diskursus semacam ini, terasa agak sukar difahami. Dalam tulisan sebelumnya, Jamaludd³n membuat rumusan kaidah hisab kalendernya dengan formulasi yang lebih mudah dan cepat difahami, tetapi isinya sama, dengan bertitik tolak dari konsep hari biasa, yaitu: 1. Apabila J lebih besar dari atau setara dengan 00.00 WU dan lebih kecil dari 12.00 WU, maka tanggal 1 bulan baru adalah H + 1. 2. Apabila J lebih besar dari atau setara dengan 12.00 WU dan lebih kecil dari 24.00 WU, maka tanggal 1 bulan baru adalah H+2.33 Kaidah hisab kalender ini sama dengan kaidah hisab kalender terdahulu, hanya formulasinya saja yang berbeda. Arti kaidah hisab ini adalah bahwa apabila konjungsi terjadi antara pukul 00:00 WU dan sebelum pukul 12:00 WU, maka bulan kamariah baru dimulai keesokan hari konjungsi. Akan tetapi apabila konjungsi terjadi antara pukul 12:00 WU dan sebelum pukul 24:00 WU, maka bulan baru dimulai lusa hari konjungsi. Dengan kata lain, apabila konjungsi terjadi pada periode pagi, maka bulan baru mulai keesokan harinya; dan apabila konjungsi terjadi pada periode petang, maka bulan baru mulai lusa. Pukul 00:00 WU hingga menjelang 12:00 WU merupakan periode pagi, dan pukul 12:00 WU hingga menjelang pukul 24:00 WU 32. Ibid., “at-Taqwim al-Islami,” h. 14. 33. Ibid., at-Taqwim al-Qamar³ al-Islami al-Muwahhad, h. 90. J =
jam konjungsi; H = hari. 82
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
merupakan periode petang. Sebagai contoh, konjungsi jelang Syawal 1428 H tahun lalu terjadi pukul 05:02 WU (periode pagi) hari Kamis 1110-2008. Oleh karena itu menurut kaidah hisab kalender Jamaluddin 1 Syawal di seluruh dunia jatuh keesokan hari konjungsi, yaitu hari Jumat 12-10-2008. Contoh lain adalah Zulhijah 1428 H tahun lalu juga. Konjungsi jelang awal Zulhijah terjadi hari hari Ahad 9 Desember 2007 pukul 17:40 WU (periode petang). Sesuai kaidah hisab kalender Jamaluddin, maka tanggal 1 Zulhijah 1428 H di seluruh dunia jatuh lusa hari konjungsi, yaitu hari Selasa 11-12-2008. Kembali kepada 7 syarat di atas dalam kaitannya dengan kaidah hisab kalender, perlu diperhatikan bahwa terhadap syarat ketiga dan juga syarat kelima perlu dibuat pengecualian. Pengecualian terhadap syarat ketiga adalah karena kenyataan bahwa Negara Kiribati di Pasifik yang terletak pada posisi antara 170º BT dan 150º BB serta posisi 5º LU dan 10º LS sejak 1 Januari 1995 membelokkan Garis Tanggal Internasional (GTI) ke timur negeri itu sejauh kurang lebih 29º sehingga GTI ketika melewati Kepulauan Kiribati tidak lagi lurus, melainkan membelok dan menjorok jauh ke timur. Semula, sebelum tahun 1995, GTI lurus dan karena itu membelah dua negeri tersebut di mana bagian baratnya masuk zona waktu WU + 12 jam (zona waktu ujung timur) dan bagian timurnya masuk zona WU – 12 jam (zona waktu ujung barat). Jadi dalam satu wilayah negara ada dua hari yang berbeda, yakni bila di bagian barat harinya adalah Kamis, umpamanya, maka di bagian timur baru hari Rabu. Untuk mengatasi kesukaran yang timbul karena adanya dua hari berbeda dalam satu wilayah negara, maka seluruh wilayah Kiribati dimasukkan ke dalam zona waktu ujung timur, sehingga karenanya ada tambahan baru zona waktu, yaitu zona waktu WU +13 jam untuk Kiribati bagian tengah dan zona waktu WU + 14 bagi Kiribati bagian timur. Sementara Kiribati bagian barat zona waktunya adalah WU + 12 jam.34 Akibat perubahan zona waktu dan pembelokan GTI ini terhadap kaidah hisab kalender Jamaluddin adalah bahwa apabila konjungsi terjadi terjadi pada pukul 24:00 dari Hari Universal, maka bagian tengah dan timur Kiribati akan memasuki bulan kamariah baru 34. Lihat situs-situs tentang Kiribati, a.l. http://www.infoplease. com/ipa/A0107682. html dan http://www.infoplease.com/ce6/world/ A0827764.html akses 1 - 09 - 2009. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
83
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
sebelum kelahiran hilalnya. Sedangkan apabila konjungsi terjadi pada pukul 23:00 dari Hari Universal, maka bagian timur memasuki bulan baru pada saat hilalnya belum lahir. Sedangkan untuk syarat kelima, yaitu tidak boleh menunda masuk bulan baru apabila hilal sudah terlihat secara jelas, maka dari 600 bulan (50 tahun) yang telah diuji (dengan kriteria imkanu rukyat ‘Audah), maka ada dua bulan yang tidak memenuhi syarat ini karena untuk dua bulan tersebut masuk bulan baru menurut kaidah kalender terlambat satu hari dari semestinya sesuai dengan kenyataan imkanu rukyat. Dua bulan dimaksud adalah (1) Zulhijah 1425 H dan (2) Jumadal Ula 1429 H. Konjungsi jelang Zulhijah 1425 H terjadi pukul 12:04 WU hari Senin 10-01-2005 atau pukul 00:04 hari Selasa 11-01-2005 menurut zona waktu ujung timur (WU + 12 jam). Menurut kaidah hisab kalender, masuk bulan baru (1 Zulhijah 1425 H) adalah hari Rabu. Kalau masuk bulan baru hari Selasa, akibatnya zona ujung timur memasuki bulan baru sebelum terjadi konjungsi. Akan tetapi hisab imkanu rukyat menunjukkan bahwa sore Senin hilal mungkin dilihat pada suatu kawasan kecil di tepi garis 180º BB, yang mewajibkan masuk awal bulan baru Zulhijah bagi seluruh dunia pada hari Selasa 11-01-2005. Menyangkut bulan Jumadal Ula 1429 H, konjungsi jelang awalnya terjadi pada hari Selasa 06-05-2008 pukul 00:19 waktu zona ujung timur, atau hari Senin 05-05-2008 pukul 12:19 WU. Menurut kaidah hisab kalender, awal bulan baru Jumadal Ula jatuh pada hari Rabu 07-05-2008. Akan tetapi menurut hisab imkanu rukyat, pada hari Senin sore dimungkinkan terjadi rukyat pada suatu kawasan kecil di tepi garis 180º BB yang mengharuskan awal bulan baru Jumadal Ula jatuh hari Selasa 06-05-2008 di seluruh dunia. Kedua kasus di atas terjadi karena waktu konjungsi sangat dekat dengan batas terjadinya pergantian hari (pukul 00:00) di zona ujung timur atau dengan batas waktu pergantian periode pagi dan petang (pukul 12:00 WU) dalam kaidah hisab kalender untuk zona waktu tengah (WU + 0 jam [GMT]). Untuk kasus pertama (bulan Zulhijah 1425 H) konjungsi terjadi hanya 4 menit sesudah jam 00:00 di zona ujung timur atau sesudah pukul 12:00 WU. Pada saat jam menunjukkan pukul 00:04 waktu ujung timur (WU + 12) hari Selasa (11-01- 2005) di zona tengah jam baru pukul 12:04 tengah hari hari Senin dan pukul 00:04 tengah malam malam Senin di zona ujung barat (WU – 12 jam). Itu artinya bahwa bila matahari terbenam katakanlah 84
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
pukul 18:00 sore di zona waktu ujung barat (WU – 12 jam), maka usia Bulan akan mencapai 18 jam kurang 4 menit saat matahari sore Senin terbenam di zona ujung barat (WU – 12 jam). Di sinilah letak masalahnya, karena pada sore Senin itu dimungkinkan hilal terukyat di zona ujung barat, sebab hilal mungkin terlihat dalam usia kurang dari 18 jam. Rekord usia terkecil hilal saat terlihat adalah 15 jam 01 menit yang terlihat di Collins Gap oleh John Pierre 25-02-1990.35 Jadi semakin banyak konjungsi terjadi mepet dengan pukul 12:00 WU (00:00 WU + 12 jam), maka semakin banyak kemunkinan penyimpangan kaidah kalender. Untuk 50 tahun ke depan (sejak 1421 H s/d 1470 H), ada dua kasus. Untuk tahun-tahun sesudah 1470 H, masih perlu dilakukan penelitian apakah ada penyimpangan seperti ini atau tidak, dan jika ada barapa banyak. Oleh Jamaluddin kasus seperti ini dipandang sebagai perkecualian dan jumlahnya amat kecil, hanya 2/600 atau 0,34 % paling tidak hingga 1470 H (untuk 600 bulan ke depan dari 1421 H). Jadi bilamana konjungsi terjadi pada waktu yang sangat mepet dengan pukul 00:00 di zona ujung timur atau pukul 12:00 di zona tengah (WU + 0 jam), maka terbuka peluang terjadinya kemungkinan penyimpangan dari kaidah hisab kalender atau terjadinya ketidakkonsistenan kaidah kalender. Para pendukung kalender zonal menganggap dua hal di atas sebagai aspek kelemahan kalender unifikasi. Konsep kalender Jamaluddin ini diikuti oleh beberapa tokoh dan organisasi Islam. Terinspirasi oleh gagasan Jamaluddin, Khalid Shaukat dari Amerika Serikat mengemukan kaidah yang sama di mana ia mengatakan, 1. Titik acu paling logis untuk menentukan kalender kamariah Islam global adalah Garis Tanggal Internasional; 2. Apabila kelahiran Bulan terjadi antara pukul 00:00 WU dan pukul 12:00 WU, maka bulan baru Islam dimulai di seluruh dunia pada hari itu sejak terbenam matahari; 3. Apabila kelahiran Bulan terjadi antara pukukl 12:00 dan pukul 23:59 WU, maka bulan baru Islam dimulai di seluruh dunia pada hari berikutnya sejak terbenam matahari.36 35. “World Record Crescent Observations,”
, akses 1-09-2009. 36. Shaukat, “Suggested Global Islamic Calendar,” makalah untuk “The Experts’ Meeting to Study the Subject of Lunar Moths’ Calculation among Muslims,” Rabat 9-10 Desember 2006, dimuat dalam http://www.amastro.ma/articles/ art-ks3.pdf>, h. 4, akses 1-09-2009. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
85
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
Pertemuan Ahli untuk Pengkajian Masalah Penentuan Bulan Kamariah di Kalangan Muslim (Ijtima‘ al-Khubara’ li Dirasat Maudu‘ dabt Matali‘ asy-Syuhur ‘inda al-Muslimin) yang berlangsung di Maroko tanggal 9-10 Desember 2006 merekomendasikan kaidah hisab kalender yang sama seperti dikemukakan oleh Jamaluddin. Majlis Fikih Amerika Utara (Fiqh Council of North America / FCNA) juga mengadopsi kaidah hisab kalender Jamaluddin dan menegaskan, 1. Hisab digunakan untuk menentukan awal bulan baru Islam dengan mempertimbangkan imkanu rukyat di suatu tempat di dunia. 2. Untuk menentukan suatu kalender kamariah Islam, digunakan titik acuan konvensional, yaitu Garis Tanggal Internasional dan Greenwich Mean Time (GMT). 3. Bulan baru kamariah Islam mulai pada waktu terbenamnya matahari pada hari di mana konjungsi terjadi sebelum pukul 12:00 tengah hari GMT. Jika konjungsi terjadi sesudah pukul 12:00 WU, maka bulan baru mulai pada saat terbenam matahari pada hari berikutnya.37 Perubahan yang dibuat oleh Khalid Shaukat dan FCNA terhadap kaidah hisab Kalender Kamariah Islam Unifikasi Jamaluddin adalah bahwa hari dalam bulan kamariah dimulai saat terbenamnya matahari, sementara menurut Jamaluddin sejak tengah malam sesuai dengan sistem waktu internasional.38 Dari semua analisis di atas tentunya dapat dikaitkan dengan matlak global yang sangat berhubungan dari sisi tempat munculnya hilal atau matlak hilal. Maka hal ini harus ada tinjauan berdasarkan tempat di mana hilal itu muncul. Sebab hal ini berpengaruh terhadap dasar pembuatan kalender Islam Internasional. C. Kesimpulan Setelah menganalisis dari bab sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa terdahulu telah dikemukakan perkembangan upaya mencari bentuk kalender Islam internasional. Sejauh ini 37. Dimuat dalam appendix tulisan Louay Safi, “Reading, Sighting and Calculating: From Moon Singting to Astronomical Calculation,” , h.13, akses 21-05-2008. 38.Lihat Syamsul Anwar, Dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muhammadiyah, h. 21.
86
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
terdapat dua pandangan besar, yaitu pertama, yang mengemukakan gagasan kalender zonal yang membagi dunia kepada sejumlah zona tanggal di mana bisa terjadi perbedaan tanggal kamariah pada zona yang satu dengan yang lain. Kelemahan kalender ini adalah tidak mengakomodasi kenyataan globalisasi yang dialami dunia kita sekarang di mana seharus dalam dunia global sekarang di seluruh dunia seharusnya berlaku satu tanggal terpadu. Selain itu dapat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah dalam hal terjadi perbedaan tanggal untuk bulan Zulhijah antara satu zona di mana Mekah berada dengan zona lainnya.
Kedua, sistem kalender unifikasi (terpadu) yang berupaya menyatukan seluruh dunia dalam satu tanggal di bawah prinsip “satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari di seluruh dunia.” Kalender ini dapat menghindarkan problem pelaksanaan puasa Arafah karena tidak akan terjadi perbedaan tanggal lantaran di seluruh dunia hanya ada satu tanggal yang sama. Kelemahannya adalah bahwa apabila konjungsi terjadi mepet waktunya dengan pukul 12:00 WU atau pukul 00:00 waktu zona ujung timur, dimungkinkan (meskipun tidak selalu) terjadi ketidakcocokan dengan kaidah hisab. D. Kata Penutup Demikianlah penelitian ini, semoga bermanfaat bagi kita semua sekaligus sebagai bahan pertimbangan yang harus dikaji ulang untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Peneliti sangat bersyukur jika ada saran dan kritik terhadap penulisan penelitian ini.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
87
DAFTAR PUSTAKA
‘Audah, At-Taqwin al-Hijri al-‘Alami, ”http://www.icoproject.org/ pdf/2001_UHD.pdf. “Universal Hejric Calendar (UHC),”http://www.icoproject.org/uhc. html. “World Record Crescent Observations,” . Abdurrahman Al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut, Libanon: Dar Al-Fikri, 1990 M/1411 H. Abi Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Al-Qahirah: Dar Al-Shu’ub. Akh. Minhaji, Pendekatan Sejarah Dalam Kajian Hukum Islam, Mukoddimah, No. 8 th. V, 63. Ali, M. Sayuthi, Ilmu Falak I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Al-Quran Dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta: Cetakan Departemen Agama RI, 1978. Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Perbedaan Mathla’, Yogyakarta: Lajnah Taklif Wan Nasjr, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1971. Aslaksen, “The Umm al-Qura Calendar of Saudi Arabia,” (http:// www.phys.uu.nl/-vgent/islam/ummalqura.htm), akses 24-082009. Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004. Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981. Cecep
88
Nurwendaya,”Berlakunya Batas Tanggal Internasional Awal Bulan Qamariyah”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah, Jakarta: 17-19 Desember 2005. Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syar’i dan Astronomi
Djambek, Sa’aduddin, Waktu dan Djiwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari, Jakarta: Tinta Mas, 1952. Encyclopaedia of Islam, Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands, 2005. Fida’, Abu, Makalah Seminar Rukyat dan Hisab Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan pada tanggal , 5 Desember 1999, Bangil: 1999. Hamdani, Abdullah, Said, Rukyat dan Hisab, Bandung: Al-Ma’arif, 1952. Imam Al-Hashfaki, Al-Darrul Mukhtaar wa Raddul Muhtaar. Imam Muslim, Shahih Muslim bi Sarhi An-Nawawi, Bairut, Libanon: Dar Al-Fikri, 1983 M/1403 H. Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003. Khafid, “Garis Tanggal Internasional antara Penanggalan Miladiyah dan Hijriyah”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah, Jakarta: 17-19 Desenber 2005. Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004. Ma’rifat Iman,”Kapan dan Dimana Hari Dimulai: Tinjauan Fiqh”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, cet III, (Bandung: Mizan: 1420 H/1999M). Moeji Raharto,”Di balik Persoalan Awal Bulan Islam” dimuat dalam majalah Forum Dirgantara, No. 02/Th. I/Oktober/1994. Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Gaka Indonesia, 1988. Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad As-Syaukani, Nailil Authar, Bairut, Libanon: Dar Al-Fikri, 1994 M/1414 H. Muhammad Taqiyuddin, al-hilal Explanatory English Translation of The Meaning of The Holy Qur’an, (Turkey: Hilal Publicatyion, t. th.). New Moon’s Visibility and International Islamic Calendar for The Asia-Pasific Religion, 1407 H-1421 H (Islamabad-Kuala Lumpur: OIC dan RISEAP, 1414/1994); Unified World Islamic Calendar: Shari’a EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
89
Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA
Science and Globalization (Penang, Malaysia: International Islamic Calendar Programme, 2001). Oman Fathurrahman, “Kalender Muhammadiyah: Konsep dan Implementasinya,” makalah untuk Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006. Qadi, Dirasah Falakiyyah Muqaranah li Yaumai ad-Dukhul ar-Rasmi wa al-Falaki li Syahr Ramadan fi al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Sa’udiyyah li al-Fatrah 1380-1425 H,” dalam AACII. Rukyat Dengan Teknologi, Jakarta, Penerbit Gema Insani Press. 1995. Ruskanda, Farid, dkk, Rukyat dengan Tehnologi Upaya Mencari Kesamaan Pandangan Tentang Penentuan Ramadlan dan Syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1994). Shaukat, “Suggested Global Islamic Calendar,” makalah untuk “The Experts’ Meeting to Study the Subject of Lunar Moths’ Calculation among Muslims,” Rabat 9-10 Desember 2006, dimuat dalam http://www.amastro.ma/articles/art-ks3.pdf>. Situs-situs tentang Kiribati, a.l. http://www.infoplease.com/ipa/ A0107682. html> dan . Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rinbika Cipta, 1993. Susiknan Azhari, “Perlu Paradigma Baru Menuju Kalender Islam Internasional”. Dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Agama, 2004). Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Yogyakarta: Fak. Psikologi, Gajah Mada University Press, 1987. Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, Yogyakarta: Fak. Psikologi, Gajah Mada University Press, 1987. Syamsul Anwar, “Perkembangan Pemikiran Tentang Kalender Islam Internasional”, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008. Warshon, Munawir, Kamus Arab- Indonesia Al-Munawir, Yogyakarta: Penerbit Al-Munawir, 1997.
90
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
DAKWAH PADA MASYARAKAT MARGINAL DI KAMPUNG PECINAN ARGOPURO KUDUS
Oleh Mubasyaroh
Abstrak Islam sebagai salah satu agama dakwah di dalamnya terdapat upaya oleh umatnya untuk menyebarluaskan isi kebenaran ajaran agamanya. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh da’i dalam aktifitas dakwahnya, seperti ceramah, nasehat, diskusi, bimbingan dan penyuluhan serta metode yang lain. Dalam hal ini Quraish Shihab mengingatkan bahwa metode apapun yang baik tidak menjamin keberhasilan suatu dakwah secara otomatis. Akan tetapi keberhasilan dakwah ditunjang oleh faktor-faktor yang lain diantaranya kepribadian da’i dan ketepatan pemilihan materi. 1 Demikian pula kegagalan da’i disebabkan karena ketidaktepatan pemilihan materi atau pemilihan metode yang kurang tepat dan keterbatasan da’i dalam pemilihan metode. Disamping itu kegagalan dakwah juga bisa disebabkan karena tidak sesuai dengan konteks (situasi dan kondisi) Islam merupakan agama yang universal, egaliter dan inklusif. Tiga konsep mendasar itulah yang memberikan nuansa lebih dibanding berbagai tradisi agama yang lain. Dari prinsip-prinsip fundamental itu, kemudian melahirkan nilai-nilai dogmatis yang bisa diejawantahkan dalam tradisi-tradisi demokratis, kosmopolit. dan pluralis: suatu ciri dari pola peradaban modern yang bervisi futuristik. Dakwah Islam dalam pelaksanaannya harus memperhatikan mad’u (sasaran dakwah) pada berbagai lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pada masyarakat marginal yaitu suatu masyarakat 1. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1995, hlm.94 EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
91
Mubasyarah
dengan ciri-ciri diantaranya adalah hidup dalam garis kemiskinan, pekerjaan yang tidak menentu dan terisolasi atau hidup terpisah dari masyarakat luas. Kata Kunci: Dakwah Islam, Marginal, Metode Dakwah,Mauidhah Hasanah
A. LATAR BELAKANG MASALAH Agama Islam adalah agama dakwah. Berhasil atau tidaknya umat Islam dalam mencapai kualitas hidup baik kehidupan dunia maupun akhirat adalah karena sejauh mana dakwah bisa mengajak umat untuk berbuat kebaikan, memperkuat akidah, akhlak, dan kualitas muamalah yang bisa memberi manfaat untuk sesama. Namun, dalam kenyataannya pada hari ini masih banyak umat Islam yang belum mampu memahami Islam itu dengan benar sehingga berdampak pula pada kualitas kehidupan umat itu sendiri. Masih banyak para juru dakwah yang terjebak pada bentuk dakwah yang hanya sering menyalahkan, cenderung keras dan suka memvonis atau mengecam. Padahal dakwah itu sendiri sebaiknya disampaikan dengan bahasa yang baik, santun dan menyentuh langsung pada masalah sehari-hari yang dihadapi umat. Dakwah mencakup seluruh sisi kehidupan, baik kehidupan material maupun immaterial atau lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah dakwah Islam itu berhasil dalam beberapa bidang misalnya dalam bidang arsitektur, dakwah Islam amat berhasil karena sampai sekarang banyak bangunan bersejarah yang sebenarnya berpijak pada arsitektur yang merupakan warisan peradaban Islam. Tak terbayangkan, bagaimana pada masa dahulu, dengan keberadaan ilmu yang belum semaju sekarang umat Islam sudah berhasil membentuk aritektur yang canggih dengan beragam model. Secara lahiriah sekarang bisa kita lihat dari segi arsitektur, dakwah itu berkembang. Yang dari sisi ilmu pengetahuan sampai sekarang, banyak buku-buku telaahan tentang Islam sebagai buah dari dakwah itu sendiri. Dari segi populasi pun, umat Islam itu setiap hari bertambah jumlahnya. Jadi tak bisa dikatakan dakwah itu gagal. Cuma kita cemas, ada sesuatu yang terabaikan dari prinsip asas dakwah itu. Prinsip asas dakwah itu adalah fikih akhlak. Dari sejarah Islam sendiri kalau kita coba pahami, fikih akhlak adalah sesuatu yang utama dalam dakwah. Inilah yang ditanamkan Rasulullah dalam dakwahnya yaitu iman dan 92
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
akhlak. Ibadah adalah implementasi dari iman dan akhlak itu. Pada sisi lain banyak orang yang beribadah tapi akhlaknya tidak baik yaitu shalat, tapi dia juga korupsi. Dia shalat, tapi ucapannya tidak baik, suka menyinggung dan menyakiti orang lain. Hal ini terjadi karena kita mengabaikan fikih akhlak. Yang dilakukan Rasulullah dengan risalahnya (zaman kerasulan Muhammad) adalah memperbaiki akhlak; “Aku diutus adalah untuk memperbaiki akhlak.” Inilah yang menjadi pijakan bagi Rasulullah untuk membentuk masyarakat yang kemudian disebut dengan masyarakat madani. Semua orang dipersaudarakan dengan mengikis semangat membanggabanggakan asal muasal, sehingga masyarakat saling membantu. Hal ini sangat menakjubkan bagi kita, sebagaimana dilakukan seorang anshar memberikan dua hektar tanah pada seorang muhajirin hanya dengan lillahita’ala. Pada masa itu memang betul-betul terjalin bentuk persaudaraan yang hakiki. Orang-orang mengaharamkan menyakiti saudaranya. Ini semua terjadi karena pemahaman fikih akhlak. Namun sekarang, fikih akhlak itulah yang kita abaikan. Banyak orang berdakwah dengan tidak mempertimbangkan obyek dakwah (jamaah) sehingga dakwah jadi tak tepat sasaran. Kemudian juga dakwah sering hanya menjelaskan soal halal-haram, surga-neraka, memproduksi pahala sebanyak-banyaknya. Dan juga ada kecendrungan dakwah yang hanya menaakut-nakuti orang dengan ancaman bencana di dunia dan siksaan neraka. Padahal mestinya juru dakwah itu banyak bicara tentang hal-hal riil yang dihadapi umat misalnya kondisi ekonomi yang berat sehingga banyak orang putus asa dan sebagainya. Kampung Pecinan merupakan salah satu perdukuhan di Kudus yang seluruh masyarakat penghuninya adalah masyarakat marginal yang merupakan masyarakat relokasi dari bantaran Kaligelis, dengan mayoritas pekerjaan mereka bekerja di jalanan. Berbagai pekerjaan meraka antara lain: pengamen, pengemis, juru parkir illegal (juru parkir liar), kuli dan sedikit sebagai karyawan perusahaan. Fokus penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang meliputi: (1) pola-pola keberagamaan manusia, dari perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magic, mitos, animisme, totemisme, paganisme pemujaan terhadap roh, dan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
93
Mubasyarah
polyteisme, sampai pola keberagamaan masyarakat indistri yang mengedepankan rasionalitas dan keyakinan monoteisme; (2) agama dan pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol-simbol, ritus, tarian ritual, upacara pengorbanan, semedi, selamatan; (3) pengalaman religious, yang meliputi meditasi, doa, mistisisme, sufisme, Penelitian dengan perspektif antropologi pada umumnya menggunakan perspektif mikro atau paradigm humanistic, seperti fenomenologi, etnometodologi, everyday life, arkeologi. Unit analisisnya bisa berupa individu, kelompok/organisasi dan masyarakat, bendabenda bersejarah, buku, prasasti, cerita-cerita rakyat. Pada tulisan ini penulis akan paparkan hasil penelitian tentang dakwah pada masyarakat marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus. B. RUMUSAN MASALAH Adapun permasalahan yang akan penulis angkat dalam penelitian ini adalah model dakwah seperti apakah yang dilakukan oleh da’i pada masyarakat marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus? C. METODE PENELITIAN 1. Metode penelitian Penelitian ini adalah field Research atau penelitian lapangan yaitu jenis penelitian yang menggunakan data lapangan sebagai sumber utama, sehingga penelitian ini akan menangkap gejala dari obyek atau perilaku yang diamati . Adapun metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitataif yaitu metode peneltian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah instrumen kunci.1 Alasan pemilihan metode ini adalah: 1. Untuk memahami makna dibalik data yang nampak. Gejala sosial sering tidak bisa dipahami berdasarkan apa yang diucapkan dan dilakukan orang karena setiap ucapan dan tindakan orang 1. Sanapiah Faisal, enelitian Kualitatif, dasar dan Aplikai, YA3, Malang, 1990,hlm.57
94
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
sering mempunyai makna tertentu. 2. Untuk memahami interaksi sosial. Interaksi sosial yang kompleks hanya dapat diurai kalau peneliti melakukan penelitian dengan metode kualitatif. Dengan demikian akan dapat ditemukan pola-pola hubungan yang jelas. 3. Untuk memastikan kebenaran data. Data sosial sering sulit dipastikan kebenarannya. Dengan metode kualitatif, melalui pengumpulan data triangulasi/gabungan maka kepastian data akan terjamin. 2. Populasi dan sampel Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dinamakan “ social situation” atau situasi sosial yang terdiri dari atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin dipahami secara lebih mendalam tentang apa yang terjadi di dalamnya. Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang ada pada tempat tertentu. Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber atau partisipan, informan maupun teman. Dalam penelitian ini populasinya adalah da’i aktif pada masyarakat marginal dan informan lain yang mengetahui masalah yang terkait dalam penelitian ini. Adapun teknik pengembilan sampelnya, sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, yang dapat berupa lembaga tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi soaial tersebut. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka teknik pengambuilan sampelnya adalah dengan snowball sampling , yaitu teknik pengamabilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit , lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sampel akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama semakin besar. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
95
Mubasyarah
Pertimbangan dalam memilih informan menurut Sanafiah Faisal harus berdasarkan pada kriteria: 1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayati 2. Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat , pada kegiatan yang tengah diteliti 3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untyk dimintai informasi 4. Mereka menyampaikan informasi secara obyektif 3. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini instrumennya adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena peneliti sebagai instrumen, maka harus divalidasi yang meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif dan hal-hal yang terkait. Sebagai human instrument, peneliti berfungsi menetapkan focus penelitian. Memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Setelah fokus penelitian pasti dan jelas, maka pengumpulan data dikembangkan dengan teknik pengumpulan data yang lain. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan datanya adalah : a. Metode observasi partisipatif Obsersi partisipatif merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti mengamati dengan terlibat langsung pada obyek, perilaku atau situasi yang diamati. Susan Stainback menyatakan” In participant observation, the researcher observer what people do, listen to wahat they ay, and participates in their activities” menurutnya dalam observasi partisipatif peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka.2 Dalam observasi partisipatif, peneliti akan mengamati dengan langsung terlibat dalam kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh masyarakat marginal Desa Argopuro, Hadipolo Jekulo .Kudus 2. Susan Stainbac, William Stainback, Understanding & Conduting Qual tative Research, Kendall/Hunt Publishing Company Dubuque, Iowa, 1988, p.89.
96
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
b. Metode Wawancara/interview Wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui tanya jawab antara dua orang atau lebih guna saling tukar informasi dan ide, sehingga dapat direkonstruksi makna dalam suatu topik tertentu. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur (semistructure interview), wawancara ini juga termasuk dalam kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas jika dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Wawancara semiterstruktur digunakan untuk menggali data yang terkait dengan aktivitas mad’u pada mayarakat marginal Argopuro Hadipolo, Jekulo Kudus, serta aktivitas mereka secara lebih mendalam. Adapun hal-hal yang ditanyakan dalam wawancara ini menyangkut pengetahuan, pengalaman, pendapat, perasaan, indra serta latar belakang atau demografi informan.3 c. Metode Dokumentasi Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, yang dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karyakarya monumental seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Dokumentasi digunakan untuk menggali data yang terkait dengan jumlah masyarakat margibal Desa Argopuro, kondisi sosial budaya serta kondisi para da’i di Desa Argopuro d. Metode Triangulasi Metode triangulasi merupakan metode pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik 3. Sugiyono, Op.cit., halm.322-324. Lihat juga Patton dalam.Qualit tive Evaluation Method, Beverly Hillls, CA. Sage Publication Inc 1980, hlm207-211. Menurutnya ; sebelum peneliti melakukan wawancara harus mempersiapkan paling tidak 6 jenis pertanyaan berkaitan dengan pengalaman atau perilaku, pendapat atau nilai, perasaan, pengetahuan, indra dan latar belkang atau demografi EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
97
Mubasyarah
pengumpulan data yang telah ada. Dengan teknik ini berarti peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data. Oleh karena itu dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan lebih tuntas, konsisten dan pasti. Disamping itu, metode triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data, bila dibandingkan dengan hanya satu pendekatan. Ada empat macam teknik triangulasi yang dapat digunakan yaitu: a. Triangulasi data atau triangulasi sumber data. b. Triangulasi metode, yaitu dengan menggunakan berbagai metode pengumpulan data untuk menggali data sejenis c. Triangulasi peneliti. Diharapkan dengan beberapa peneliti yang melakukan penelitian yan sama dengan pendeatan yang sama akan menghasilkan hasil yang sama pula atau hamper sama. d. Triangulasi teori yaitu dalam membahas satu permasalahan yang sedang dikaji, peneliti tidak menggunakan satu perspektif teori. D. TEKNIK ANALISIS DATA Adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami, dan temuannya dapat diformulasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari serta membuat kesimpulan .Adapun langkah-langkah dalam analisis data adalah: 1. Reduksi data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, trnsformasi data kasar, yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama penelitian berlangsung. Dalam proses reduksi data ini, peneliti dapat melakukan pilihanpilihan terhadap data yang hendak dikode. Reduksi data merupakan 98
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan membuang yang tidak perlu 2. Penyajian data Yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian datanya biasanya dilakukan secara naratif.4 Pada tahap ini akan disajikan data penelitian yang berisi tentang profil da’i, metode yang digunakan dalam berdakwah serta perkembangan dakwah Islam pada masyarakat marginal Desa Argopuro, Hadipolo. Jekulo Kudus dilihat dari aspek sosio antropologi dan mauidhah hasanah. 3. Menarik kesimpulan/verifikasi Langkah terakhir dalam analisis data adalah kesimpulan/ verifikasi. Kesimpulan terhadap hasil penelitian disimpulkan secara induktif. E. KERANGKA TEORI 1. Konsepsi Dakwah Islam Berda’wah berarti menyampaikan sesuatu kepada orang lain yang bersifat mengajak untuk merubah suatu keadaan yang tidak baik kepada yang baik dan terpuji. Da’wah Islamiyah memerlukan teknik penerapan yang akurat sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman, terutama di kalangan masyarakat pedesaan yang dinamis dan berkembang. Change to progress merupakan watak dari masyarakat yang menunjukkan sesuatu kepada kemajuan. Terhadap masyarakat berkategori ini, metode berda’wah merupakan salah satu alternatif yang harus diperhitungkan dan dipersiapkan sebaik mungkin. Dakwah dalam arti proses penyebaran ajaran Islam telah dinyatakan sebagai disiplin ilmu memiliki onyek, ciri-ciri dan tujuan tertentu. Ia juga memiliki dasar-ilmu lainnya 5 Bisri Afandi 4. Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama,Remaja Rosd karya Bandung, 2001, hlm. 194-195 5. Terminologi dakwah yang dimaksud adalah suatu ilmu yang dapat d gunakan dalam berbagai upaya untuk menyampaikan pesan maupun ajaran Islam kepada umat manusia dengan muatan akidah, syari’ah (ibadah) dan akhlak. Lihat Ahmad Ghalways, al-Dakwah Ushuluha wa Wasailuha ( Kairo al-Kitab al-Misyri, 1987, hlm. 10 EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
99
Mubasyarah
dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa dakwah bukan hanya merupakan usaha untuk mengubah way of thinking, way of feeling dan way of life manusia sebagai sasaran dakwah kearah kualitas yang lebih baik, sehingga dalam prosesnya akan melibatkan berbagai faktor yang saling terkait dalam kesatuan sistem dakwah6 Dalam menyampaikan da’wah hendaklah diperhatikan beberapa faktor; yaitu, da’i (orang yang menyampaikan da’wah), metode atau cara penyampaian da’wah dan objek da’wah. Problema terberat yang masih dirasakan sekarang ini, banyaknya para da’i yang kurang berwawasan luas terutama sekali menyangkut metode berda’wah. Kita sering menjumpai para da’i yang berilmu tinggi tetapi da’wahnya kurang diterima oleh masyarakat, karena lemah di bidang metode atau cara penyampaian da’wah. Makalah ini mencoba memberikan alternatif baru sebagai salah satu upaya yang amat sederhana dalam menyampaikan da’wah di tengah-tengah masyarakat pedesaan yang terbelakang. Di hadapan kita terlihat berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang amat pesat, sementara manusia terbuai oleh kemajuan tersebut. Menghadapi kenyataan ini peran serta para da’i harus lebih digalakkan dalam rangka menyelamatkan manusia dari dampak negatif yang diakibatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia modern dan pengaruh globalisasi yang semakin menguat. Dampak negatif dari era globalisasi dan lajunya perkembangan dunia modern akan menjerumuskan umat manusia bila tidak bisa diantisipasi dengan baik dan benar oleh para da’i dan tokoh masyarakat. Pengertian Da’wah Da’wah pengertiannya secara etimologis adalah ajakan, seruan, panggilan dan undangan. Sedangkan menurut pengertian terminologis secara umum, da’wah adalah : “Suatu pengetahuan yang mengajarkan cara-cara atau metode untuk menarik perhatian umat manusia, agar mengikuti 6. Yang dimaksud dengan sistem dakwah adalah hubungan antara faktor dakwah yang terdiri dari subyek dakwah, obyek dakwah, metode dakwah, media dakwah, materi dakwah dan tujuan dakwah. Jaringan sistematik ini bermuara pada tujuan dakwah. Lihat Bisri Affandi dalan “Metodologi Penelitian Dakwah:Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah, Ramadhani, Slo 1991, hlm.9. Sebagaimana dikutip oleh Aswadi dalam artikelnya yang berjudul Mujaalah Sebagai Metode Dakwah dalma jurnal Ilmu Dakwah Vol.13 No.1 April 2006, hlm. 85 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006
100
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
suatu ideologi atau ajaran tertentu”. Istilah lainnya menyebutkan, bahwa ilmu da’wah adalah pengetahuan yang mengajarkan cara-cara mengetahui alam fikiran manusia, untuk diarahkan kepada suatu ideologi atau ajaran tertentu. Pengertian da’wah menurut ajaran Islam adalah : “Mengajak umat manusia dengan hikmah dan kebijaksanaan agar mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya”. Syeikh Ali Mahfudz mengemukakan pengertian da’wah sebagai berikut : ”Mengarahkan manusia agar melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka agar berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat”. Al-Ustadz Bahiyul Huli dalam kitabnya “Tadzkirrud Du’at” berpendapat : “Da’wah adalah memindahkan umat manusia dari satu situasi kepada situasi yang lain”. Banyak lagi istilah-istilah yang hampir sama artinya dengan da’wah, seperti tabligh atau penyampaian, amar ma’ruf nahi munkar atau memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran, mauidzah atau nasehat, dzikir atau peringatan, khutbah, nasehat, wasiat dan sebagainya. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa da’wah adalah suatu usaha merubah situasi yang tidak diridhai Allah kepada situasi yang diridhai oleh-Nya. Dengan demikian da’i senantiasa berusaha memindahkan situasi yang negatif kepada situasi yang positif, merubah keadaan yang buruk kepada yang baik, mencegah yang munkar dan menegakkan yang ma’ruf. Berda’wah melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah merupakan kewajiban bagi umat Islam, di mana saja mereka menurut kemampuan masing-masing. Allah berfirman : “Hendaklah ada diantaramu umat yang menyerukan kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf atau yang baik dan mencegah yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran 104).
Rasulullah Bersabda : “Siapa diantaramu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaklah dengan lisannya, jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah”. (H.R. Muslim).
Di dalam hadits lain Nabi bersabda : “Sampaikan dariku meskipun satu ayat”. (HR. Bukhari). EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
101
Mubasyarah
Rasulullah SAW melaksankan da’wah dengan penuh kebijaksanaan dan menggunakan metode-metode yang tepat, sehingga perjuangannya yang teramat singkat, hanya memakan waktu sekitar 23 tahun mampu merubah suatu masyarakat jahiliyah yang diliputi kedzaliman dan kebodohan menjadi masyarakat yang beradab. Masyarakat yang seluruh anggotanya saling berbuat baik, tolongmenolong dan berhasil membentuk peradaban dunia yang luhur. Diantara kunci sukses yang mengantarkan Rasulullah kepada keberhasilan da’wahnya adalah karena Nabi SAW senantiasa bersikap lembut, berakhlak mulia, bermusyawarah dalam segala urusan dan perjuangan yang ulet dipenuhi dengan kesabaran dan ketabahan. Sebelum Rasul SAW berda’wah mengajak orang lain, ia selalu memulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. Di samping itu, Rasulullah juga sangat memperhatikan keadaan objek da’wah, sehingga mereka dapat dibimbing dengan baik. Dijelaskan dalam al-Qur’an : “Maka dengan rahmat dari Allah, engkau bersifat lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kerasdan berhati kasar, tentulah mereka melarikan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal”. (Q.S. Ali Imran 159). Berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, agar umat Islam dapat melanjutkan da’wah dengan sebaik-baiknya, maka hendaklah para da’i menjadikan Rasulullah sebagai rujukan dan teladan dalam segala kehidupan. Untuk tujuan itu, seorang dai hendaklah memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut ini : - Mengetahui tentang al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dasardasar pokok dari agama Islam. - Memiliki ilmu pengetahuan yang menjadi pelengkap da’wah, seperti teknik berda’wah dan strategi, psikologi, sejarah kebudayaan Islam, Sejarah perkembangan da’wah, perbandingan agama dan sebagainya. - Menguasai bahasa umat yang akan diajak kepada jalan yang diridhai oleh Allah. Demikian juga ilmu rethorika, kepandaian berbicara, mengarang, menulis uraian yang ilmiah dan sebagainya. 102
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
- Seorang da’i harus bersikap penyantun, berpandangan luas dan berlapang dada, sebab apabila sempit, keras dan kasar, orangorang disekelilingnya akan tidak simpati dan meninggalkan ajakannya, sebagaimana dijelaskan al-Qur’an dalam surat Ali Imran 159 tersebut di atas. - Memiliki mental yang kuat, tabah, berkemauan keras, bersikap optimis, walaupun menghadapi berbagai macam problem, rintangan dan tantangan. - Bersikap ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah dalam segala langkah dan perbuatan. 2. Konsepsi Masyarakat Marginal Dalam pandangan sosiologi agama ada hubungan antara sosiologi dan agama. Terkait dengan ini Elzabeth K Nottingham membagi tipe-tipe masyarakat berdasarkan hubungan antara agama dan masyarakat yaitu: a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai-nilai masyarakat yang mutlak. b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepa sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit-sedikit masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
103
Mubasyarah
metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam mengganggu masalah-masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.7 c. Kemiskinan Diantara ciri lain yang menandai masyarakat marginal adalah kemiskinan yang dialami sebagian besar warganya. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah keadaan miskin dan kaya secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan bekembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan diterpkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakatm kemiskinan mncul sebagai maslah sosial. Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema sosial karena sikap yang membenci kemiskinan. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta miliknya dianggap baik cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan desebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhankebutuhan primer sehingga timbul tunakarya, tuna susila dan sebagainya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problem tersebut adalah karena salah satu lembaga pemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga pemasyarakatan di bidang ekonomi.8 d. Ketidakmampuan menyesuaikan diri Ketidakmampuan menyesuaikan diri juga menjadi penyebab masyarakat termarginalkan atau terpinggirkan yaitu karena tidak mampu menyeesuaikan diri. Hal ini menyebabkan mereka ditolak oleh masyarakat di sekitarnya. Mereka mengalami proses demoralisasi dan tidak mampu menyeesuaikan diri dengan 7. Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis Nah rong, CV.Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 31-69 8. Soerjono Soekanto, Sosilogi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 406-407
104
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
lingkungannya. Khusunya yang menyangkut kehidupan para pelaku kriminal misalnya; pelacur, penjahat, alkoholik, dan penjudi-penjudi kronis bisanya menjalani kehidupan tanpa harapan dan menutup diri dari kehidupan dunia sekitarnya. Pada kasus-kasus yang ekstrem, berlangsunglah ketidakmampuan penyesuaian diri secara total, ada personal maladjusment dan kepatahan jiwa total atau”complete breakdown”. Konflik-konflik hebat disebabkan oleh pembandingan antara hukuman sosial. Disamping itu, ada juga pribadi-pribadi lain yang tidak mampu mengadakan penyesuaian diri/adaptasi terhadap lingkungannya, disebabkan oleh alasan sebagai berikut: ditolak oleh masyarakat untuk menjalankan peranan-peranan yang sangat didambakannya. Sebaliknya menolak peranan-peranan yang dosodorkan oleh masyarakat kepada dirinya, atas dasar alasan-alasan subyektif. Orang-orang yang demikian disebut sebagai individu-individu marginal ( pribadi pinggiran atau setengah-setengah). Pribadi marginal ini adalah seorang yang dihadapkan pada pilihan dan peranan. Akan tetapi disebabkan oleh keterbatasan internal atau eksternal tertentu sehingga tidak mampu mengintegrasikan hidupnya atas dasar salah satu peranan tersebut. Contoh lain dari pribadi marjinal ialah: - Warga negara keturunan asing (minoritas rasial atau hibrid rasial) - Keturunan para imigran - Kaum intelektual dengan mental ”emansipasi” tinggi - Warga pendatang yang gagal memperoleh pekerjaan yang layak9 3. Peran pemimpin terhadap perubahan sosial Pada sisi lain pemimpin agama atau pembimbing agama memiliki peran yang peran bagi perubahan sosial, secara detail dapat dilihat sebagai berikut: a. Pemimpin agama sebagai motivator Tidak dapat disangkal bahwa peran para pemimpin agama sebagai motivator bagi masyarakat sudah diakui. Dengan 9. Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 41-42 EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
105
Mubasyarah
ketrampilan dan kharisma yan dimilikinya, para pemimpin agama telah berperan aktf dalam mendorong suksesnya kegiatan-kegiatan pembangunan. Terlibatnya para pemimpin agama bagi perubahan sosial terutama didorong oleh kesadaran untuk ikut secara aktif memikirkan permasalahan-permasalahan yang sangat kompkles dihadapi umat.10 Para pemimpin agama dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu giat berusaha. Watak optimis dalam mengarungi kehidupan hendaklah ditebarkan para pemimpin agama kepada masyarakatnya dengan memberikan harapan-harapan masa depan, sehingga lambat laun harapan-harapan ini dapat mndorong mereka untuk lebih banyak bertindak. Para pemimpin agama dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu giat bersaha. Jangan sekali-kali mengajari masyarakat bahwa takdir dapat diyakini sebagai alasan untuk bersifat fatalis. Dengan demikian para pemimpin agama telah mampu membuktikan kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap membangkitkan gairah serta aksi masyarakat dalam meraih susuatu yang dicita-citakannya.11 b. Pemimpin agama sebagai pembimbing moral Peran kedua yang dimainkan para pemimpin agama di masyarakat dalam kaitannya denga perubahan masyarakat adalah peran berkaitan dengan upaya-upaya menanamkan psrinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Dalam kenyatannya, kegiatan pembangunan umumnya selalu menuntut peran aktif para pemimpin agama dalam meletakka landasan moral, etis, dan spiritual serta peningkatan pengalaman agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Disinilah kemudian nilai-nilai religius yang ditanamkan para pemimpin agama memainkan peranan penting dalam perubahan sosial.12 Berangkat dari landasan etis moral inilah perubahan sosial diarahkan pada upaya pemulihan harkat dan martabat manusia, harga diri 10. M.Masykur Amin (ed.), Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemik ran Islam, LKPSM-NU,Yogyakarta, 1989, hlm. 3-4 11. Hiroko Horikosi, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987, hlm. 225-226 12. Ibid. Hlm.8
106
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
dan kehormatan individu, serta pengakuan atas kedaulatan seserang atau kelompok untuk mengembangkan diri sesuai dengan keyakinan dan jati diri serta bisikan nuraninya. c. Pemimpin agama sebagai mediator Peran lain para pemimpin agama adalah sebagai wakil dari masyarakat dan sebagai pengantar dalam menjalin kerjasama yang harmonis diantara banyak pihak dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di masyarakat dan lembagalembaga keagamaan yang dipimpinnya.13 Untuk membela kepentingan-kepentingan ini, para pemimpin agama biasanya memposisikan diri sebagai mediator14 diantara beberapa pihak di masyarakat, seperti antara masyarakat dengan elite penguasa dan antara masyarakat miskin dengan orang-orang kaya. Melalui para pemimpin agama, para elite penguasa dapat memahami apa yang diinginkan masyarakat,dan sebaliknya elite penguasa dapat mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat luas melalui bantuan para pemimpin agama, sehingga keduanya terjadi saling pengertian.15 13. Hiroko,Loc.Cit.hlm.228-229 14. Peran ini sebenarnya diihami oleh nilai-nilai ajaran agama itu sendiri yang secara tradisional mempunyai fungsi sebagi ”pemersatu”. Sebab sebagian besar sejarah umat manusia yang ada secara empiris, agama telah memainkan peranan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi segalanya bagai integrsai masyarakat yang berarti. Beraneka macam makna, nilai dan kepercayaan yang ada pada suatu masyarakat, akhirnya dipersatukan dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang unsur realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia(kosmos) secara keseluruhan, sehingga secara sosiologis dan psikologis memungkinkan manusia merasa betah tinggal di alam semesta dan terhindar dari penyakit homeless mind, merasa tak berumah atau rasa kesepian di tengah-tengah keramaian . Lihat Peter L.Berger, dan Hansfried Keliner,” Pluralisasi Dunia Kehidupan,” dalam Hans Dieter Eers (peny.)”Teori Masyarakat, Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm.49-51 15. Menurut Wolf, seperti dikutip Horikoshi, konsep mediator ini dapat didefinisikan sebagai orang-orang atau kelompok yang menempati posisi penghubung dan perantara antara masyarakat dan sistem nasional yang bercorak perkotaan. Bergantung pada posisi strukturnya dalam jaringan masyarakat yang kompleks, mediator ini dapat diperankan oleh pemimpin tradisional yang membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang meghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan serng bertindak sebagai penyangga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan bagi kegiatankegiatan mereka. Lihat Hiroko, Loc.Cit.hlm5 EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
107
Mubasyarah
Demikian halnya, ketika para pemimpin agama berupaya mengatasi atau mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat khususnya antara orang kaya dan orang miskin. Dalam kaitan ini, para pemimpin agama, sebagai mediator, melakukan pemberdayaan kelompok miskin melalui kerja sama yang mereka lakukan dengan orang-orang kaya. Melalui kompetensi syariat yang dimilikinya, para pemimpin agama melakukan penyadaran kepada orang-orang kaya bahwa pemerdayaan masyarakat miskin tidak mungkin berhasil tanpa bantuan orang-orang kaya; mereka juga tidak akan tentram menikmati kakayaannya jika di sekeliling mereka masih banyak terdapat orang-orang miskin. Disini para pemimpin agama berusaha menjembatani dua pihak yang status ekonominya sangat berbeda, sehingga gejolak sosial yang tejadi akibat munculnya kecemburuan dari golongan miskin dapat terhindari. Peran pemimpin agama seperti ini sudah sangat mengakar di masyarakat, serta berlangsung terus menerus. Peran seperti ini tampaknya akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Munculnya kerjasama antara para pemimpin agama di satu pihak dengan kalangan kaya pengusaha di pihak lain merupakan fenomena sosial yang umum terjadi di kalangan umat beragama. Di Eropa misalnya, persekutuan bahkan kemanunggalan antara gereja dengan kalangan tuan tanah dan elite penguasanya merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Hal ini terjadi juga di kalangan umat agama lain, termausk Islam. Persekutuan seperti ini tetap berlangsung sampai sekarang.16 Dari sudut keagamaan, kerjasama keagamaan, kerjasama para pemimpin keagamaan dengan kalangan hartawan dan penguasa bukan sesuatu yang baru. Sebab, sesungguhnya kerjasama para pemimpin agama dengan kalangan kaya dan penguasa, pada prinsipnya, tidak dinilai buruk. Agama, bagaimanapun merupakan rahmat bagi selurh alam. 17 Di sinilah para pemimpin agama menyadari bahwa kerjasama 16. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002,hlm.142 17. Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hl.202-205
108
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
merka untuk kepentingan menegakkan keadilan sosial dan untuk membela kepentingan orang-orang kecil, kaum lemah, dan kelompok-kelompok tertindas di masyarakat. Dengan demikian , kekuasaan yang dipegang oleh elite penguasa dan harta kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang kaya tidak menjadi fitnah dan menimbulkan gejolak di masyarakat ketika mampu membuktikan fungsi-fungsi sosialnya. Dalam kaitan inilah pentingnya kehadiran para pemimpin agama sebagai mediator pemberdayaan masyarakat lemah melalui kerjasama dengan elite penguasa dan golongan orang kaya. Sehingga, pada gilirannya, kesenjangan sosial dapat ditekan sedemikian rupa, tidak menimbulkan gejolak sosial yang mengancam keharmonisan hubungan masyarakat secara horizontal. F. Temuan Penelitian 1. Kondisi Geografis Kampung Pecinan Hadipolo Kudus Dukuh Argopuro yang menjadi lokasi penelitian ini ada satu RT yaitu masuk RT.6 RW.2.Desa Hadipolo dan berada di wilayah Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus. Letaknya berada di aliran sungai Jekulo yang bermuara di Lautan Jawa. Mayoritas penduduk Hadipolo, bermata pencaharian sebagai karyawan, wiraswasta, pekerja di jalanan dan buruh bangunan. Dengan kebudayaan yang relatif sedikit maju dibanding beberapa tahun sebelumnya, penduduk Dukuh Argopuro dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun. Adapun batas-batas wilayah Dukuh Argopuro yang merupakan bagian darai Desa Hadipolo memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Luas dan batas wilayah 1. Luas desa/kelurahan : 516.500 Ha 2. Batas wilayah a. Sebelah Utara : Desa Honggosoco b. Sebelah Selatan : Desa Tenggelas c. Sebelah Barat : Desa Ngembalrejo d. Sebelah Timur : Desa Jekulo b. Orbitrasi (jarak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan) 1. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan : 25 km EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
109
Mubasyarah
2. Jarak dari ibukota Kabupaten/Kotamadya Dati II : 8 km 3. Jarak dari ibu kota propinsi Dati I : 56 km 4. Jarak dari ibu kota negara : 420 km18 Perumahan perumahan sosial “Pecinan”, Hadipolo, Kudus secara geografis termasuk terletak dalam perkampungan yang relatif tak terlalu ketinggalan yakni di desa Hadipolo. Desa Hadipolo pada 1985-an pernah sebagai pemenang dalam lomba desa tingkat kaputen Kudus, bahkan mewakilinya untuk maju pada lomba desa tingkat propinsi Jawa Tengah. Keberadaan desa tersebut termasuk strategis karena dilewati jalan raya besar jurusan Semarang-Surabaya, sehingga arus transportasi dan komunikasi relatif lancar. Karena itu desa Hadipolo dalam posisi ini memili citra yang positif di mata msyarakat Kudus dan sekitarnya. Bahkan desa Hadipolo semakin dikenal luas di kancah perindustrian nasional karena desa ini merupakan pusat kerajinan “pandai besi” dengan produk berbagai alat rumah tagga mulai dari cangkul, pisau, palu, arit, hingga linggis. Di desa ini pula dikenal sebagai pusat penjualan besi-besi tua yang dikenal luas di masyarakat. Hal ini menurut kepercayaan masyarakat setempat tak lepas dari “leluhur” atau dalam bahaya lokal disebut “danyang” daerah tersebut dikenal sebagai ahli pembuat keris “wesiaji” yang dikenal dengan “mbah Kyai Gusti”. Beliau dikenal sebagai seorang empu yang ternama pada zamannya bahkan beliau juga dikenal sebagai murid dari Sunan Muria Kudus, Raden Syahid. Sebagaimana dikenal luas bahwa salah satu ciri masyarakay Jawa adalah pengaruh budaya nenek moyang yang kuat sehingga menjadi “mode of thinking” dalam menjalani hidup dan memaknai hidup termasuk dalam membangun kekuatan ekonomi. Karena itu masyarakat Hadipolo sejak dulu mengembangkan kerajinan “pandai besi” sebagai representasi paradigmatik terhadap tradisi nenek moyang yang pernah ada sebelumnya. Maka hingga sekarang Hadipolo menjadi sentral “pandai besi” di kabupaten Kudus. Sedangkan perumahan sosial “Pecinan” tersebut terletak di bagian tengah desa Hadipolo, kira-kira 8 km sebelah timur kota Kudus. 18. 66 Dikutip dari papan monografi Balai Desa Hadipolo pada tanggal 25 Oktober 2008
110
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
Daerah tersebut semula adalah lahan “tanpa tuan” karena menurut cerita masyarakat setempat adalah tempat peninggalan komunitas keturunan Cina yang karena satu dan lain hal mereka meninggalkan lokasi tersebut. Sebagian menjelaskan komunitas keturunan Cina yang “lari” dari daerah tersebut karena mereka tidak menemukan kenyamanan bahkan sering diganggu oleh makhluk halus yang selalu saja datang silih berganti. Namun sebagian yang lain menceritakan bahwa keberadaan keturunan Cina yang eksodus besar-besaran itu tak lepas dari ancaman politik lokal yang cenderung menganggap keturunan Cina sebagai ancaman ekonomi masyarakat lokal. Karena itu mereka tak tahan bertahan terlalu lama di kompleks tersebut. Sebagian yang lain menjelaskan daerah tersebut sebagai bekas kuburan Cina yang sudah lama tidak terawat sehingga musnah tiada bekas.19 Dengan berbagai versi yang ada yang jelas daerah tersebut tak lepas dari adanya peninggalan keturunan Cina yang lama tak terawat, lalu diambil alih oleh pemda Kudus dan dalam jagka waktu yang lama kosong tak dimanfaatkan. Namun yang jelas keberadaan tanah pecinan tersebut sebenarnya menjadikan citra Hadipolo yang positif menjadi tercoreng. Karena itu tetap saja desa Hadipolo mampu sebagai pemenang lomba desa dan maju di tingkat propinsi Jawa Tengah pada masa kepemimpinan H. Denin. Maka dalam kondisi citra positif desa Hadipolo yang sedang melambung tersebut tiba-tiba muncul kebijakan dari Pemda Kudus untuk merelokasi kompleks kumuh di belantar Sungai Kaligelis Kudus agar dipindahkan ke kompleks Pecinan, Hadipolo. Hal ini tak lepas dari keinginan baik pihak pemda Kudus agar para anak-anak jalanan dan keluarga tuna wisma segera tertangani oleh dinas sosial sehingga mereka bisa hidup lebih layak dan mandiri hidup dalam hunian yang permanen. Karena itu Pemda Kudus melalui dinas sosial pada tahun 1990an membangun perumahan sangat sederhana (RSS) yang khusus diperuntukkan bagi tuna wisma terutama yang berasal dari pinggiran Kaligelis Kudus. Pemda Kudus memberikan syarat yang sangat ringan yaitu hanya dengan menunjukkan KTP/Kartu keluarga dengan sistem 19. Wawancara peneliti dengan Syafii, Hanafi dan K. Ahmad Yasin warga desa Hadipolo, pada Juli 2008. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
111
Mubasyarah
cicilan harian sebesar Rp 900,- (sembilan ratus rupiah) selama lima belas tahun. Proses relokasi ini dilakukan dalam dua tahap yaitu; tahap pertama tahun 1990 dan tahap dua tahun 1993. Kini penghuni Perumahan Sosial Pecinan tersebut terdiri dari 115 rumah dengan jumlah penduduk kira-kira 500 orang dengan komposisi laki-laki sejumlah 214 orang dan perempuan 300an orang. Pada awalnya masyarakat Hadipolo sebagian besar menolak kebijakan relokasi komunitas tuna wisma dari Kaligelis yang dipindahkan ke daerah Hadipolo, karena menurut warga setempat, kehadirian mereka dianggap sebagai ancaman keamanan bagi masyarakay Hadipolo. Hal ini tak lepas dari stigna negatif masyarakat Hadipolo terhadap anak-anak jalanan yang hidupnya dianggap tidak jelas hanya menjadi “biang keladi” dari berbagai tindakan-tindakan mulai dari pencurian, pencopetan hingga tawuran. Sebagian besar warga Hadipolo merasa tidak nyaman dengan kehadiran para tuna wisma tersebut, apalagi citra desa Hadipoli yang sebelumnya sudah dikenal sebagai desa unggulan dan sekaligus sebagai pemenang lomba desa pada beberapa tahun sebelumnya. Kehadiran kompleks perumahan sosial ini, bagi kebanyakan warga Hadipolo dikhawatirkan hanya akan memperkeruh dan “mengotori” kampung yang sedang naik daun. Sebagai dampak sosialnya, warga perumahaan Pecinan terutama anak-anak yang menjadi korban. Mereka dari tahun ke tahun merasa terpinggirkan dalam kehidupan sosial masyarakat di Hadipolo tersebut. Bahkan dalam pendidikan warga perumahan Pecinan tersebut merasa didiskriminasikan, karena mereka dianggap sebagai “keluarga kotor” yang tak mendapatkan pendidikan dari orang tuanya. Karena itu anak-anak mereka banyak yang tak mau sekolah hanya gara-gara diolok-olok oleh teman lainnya sebagai anak jalanan. Namun seoring dengan berjalannya waktu serta proses komunikasi sosial yang berjalan secara alami, pada kahirnya warga perumahan “Pecinan” semakin mendapat pengakuan dari warga setempat, meski sebagian masih tetap tidak bisa menghilangkan stigma negatif yang terlancur ada sejak kehadirannya. Namun paling tidak perkembangan komunikasi yang lebih terbuka semakin terbangun, setidaknya dapat dilihat ketika diantara mereka memiliki “gawe” 112
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
mereka sebagian saling mengundang untuk sekedar ikut “tradisi slametan” atau mengikuti jam’iyah tahlil rutin setiap malam jumat. Meskipun demikian ancaman kecurigaan ketika terjadi kasus pencurian atau perilaku negatif lain yang terjadi di Hadipolo dalam banyak hal komunitas pecinan seringkali sebagai “tertuduh”. Bahkan ancaman konflik sosial pun semakin rawan ketika komunikas sedang buntu. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2006 dengan terjadinya tawuran antara warga perumahan sosial dengan penduduk setempat. Beberapa rumah warga perumahan sosial hancur, dan juga banyak yang terluka baik warga pribumi maupun warga perumahan sosial hanya gara-gara kesalahpahaman ketika salah seorang warga perumahan Pecinan menghadirkan Orkes Dangdut dalam rangka punya gawe resepsi pernikahan. Karena itu kehadiran masyarakat pendatang yang kebanyakan dari tuna wisma di Hadipolo tersebut perlu mendapatkan penanganan dan pendampingan secara berkesinambungan agar mereka semakin diakui oleh masyarakat lain sebagai bagian dari manusia yang memiliki hak untuk hidup, berkumpul, memperoleh pendidikan dan mendapatkan kecukupan secara ekonomi sehingga menemukan kebahagianan dan kesejahteraan yang sejati. 2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Perumahan Sosial “Pecinan”, Hadipolo, Kudus Konstruksi sosial komunitas “Pecinan” tak lepas dari kebiasaan mereka yang biasaya sebagai pribadi yang bebas hidup dalam dunia yang “keras”. Di jalanan, pasar, mall, pusat-pusat pariwisata serta terminal bus adalah tempat keseharian mereka. Mereka sudah terbiasa hidup ala kadarnya, sehingga mereka memiliki daya tahan yang tinggi baik secara fisik maupun mental Karena itu kondisi sosial mereka cenderung kuat di tingkat internal komunitasnya, namun kurang peduli (egois) dengan lingkungan di luarnya (eksternal). Mereka lebih mengedepankan aspek material dalam segala aktifitasnya dengan segala cara dan upayanya. Sebagian besar mereka dalam mempertahankan hidupnya adalah sebagai pengemis terutama yang sudah terlalu tua dan anakanak, sebagai pengamen bagi yang masih muda baik putra maupun EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
113
Mubasyarah
putri, sebagai pengumpul barang bekas dan juga sebagian ada yang terpaksa mencopet dan sejenisnya. Namub sebagian besar mereka tetap berusaha untuk mendapatkan/memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dengan jalan yang benar, meski dalam bentuknya yang masih rendahan. Karena itu kebiasaan mereka yang hidup di jalanan ini menjadikan mereka sungguh kuat dari terpaaan angin malam maupun panasnya sianr mentari pada siang hari. Namun meskipun mereka kurang tidur karena pada malam hari seringkali begadang, esok harinya sudah bangun pagi-pagi betul untuk “mengobyek” sekedar demi sesuap nasi. Kebiasaan mereka bertahun-tahun yang hidup dalam dunai yang keras sewakti masih hidup di pinggir Kaligelis Kudus, ternyata tidak juga berubah meski sudah pindah di kompleks perumahan baru di “Pecinan”, Hadipolo, Kudus. Meski sudah sering ada penyuluhan dari dinas sosial pemda Kudus dan sejumlah lembaga terkait di Komunitas "Pecinan" tersebut, ternyata tetap belum mampu mengubah kebiasaan mereka yang lebih senang meminta-minta (pengemis), pengamen dan juga sebagai pengumpul barang bekas. Namun sebagain ada yang mulai mengembangkan profesi lain dengan mengemudikan angkutan becak. Karena itu hingga sekarang sumber ekonomi Komunitas "Pecinan" kebanyakan adalah sebagaimana kebiasaan ketika masih di pinggir Kaligelis. Sementara kondisi sosial yang ada juga masih cenderung keras, penampilan meraka terutama yang laki-laki banyak yang bertato. Namun yang jelas etos mereka sangat tinggi menjalankan upayanya dalam memperjuangkan keluarga agar tetap survive. Maka pada siang hari sejak pagi sehabis subuh hingga petang hari habis ashar perumahan di Komunitas "Pecinan" akan sepi dari waganya, karena kebanyakan mereka sedang keluar rumah menggapai rizki demi jalan panjang hidupnya yang penuh harapan. 3. Kondisi Dakwah Masyarakat Perumahan Sosial “Pecinan” Hadipolo, Kudus Sebagaimana telah sedikit disinggung di depan bahwa secara sosial-ekonomi kebanyakan Komunitas "Pecinan" yang berprofesi 114
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
sebagai pengamin, pengemis, pengumpul barang bekahs dan tukang becak adalah profesi yang tak menentu. Artinya upaya mereka dalam mempertahankan hidupnya jelas sarat dengan keterbatasan. Karena itu sumber penghasilan yang pas-pasan dan tidak menentu lebih banyak diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan promernya yaitu sandang, pangan dan papan. Kehidupan mereka di perumahan Komunitas "Pecinan" disamping dalam setiap hari harus membayar cicilan rumah meski tak besar, juga memiliki tanggung jawab untuk memberi makan keluarga demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Karena itu urusan pendidikan untuk anak-anak mereka kurang begitu diperhatikan. Kebanyakan anak-anak Komunitas "Pecinan" adalah putus sekolah di jenjang SD dan tingkat SLTP. Bahkan mereka yang semestinya masih usia SD, kebanyakan mereka sudah keluar rumah sebagai pengamen membantu pemasukan ekonomi untuk keluarganya. Meskipun demikian ada beberapa orang sekitar 15-20 orang yang sudah berhasil menamatkan SLTP (MTs dan SMP serta SMU/MA). Termasuk anak-anak yang sebagai peserta peletihan life skill dan pelatihan pengelolaan TPQ yang diselenggrarakan oleh P3M STAN Kudus ini adalah kelompok tersebut, disamping juga melibatkan mereka yang putus sekolah bahkan yang tidak sekolah. Karena itu model dakwah yang diselenggarakan di tempat dimana mereka tinggal (di perumahajan Pecinan) seperti TPQ Al Muhajirin sangat berarti bagi mereka disamping itu, fokus utama kegiatan dakwah dilaksanakan di musalla almuhajirin yang berada di pertengahan tempat tinggal penduduk. Karena dengan demikian akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengikuti kegiatan keagmaan secara lebih efisien karena tidak harus pergi jauh. Dalam kerangka inilah menjadi penting menghidupkan kembali TPQ Al Muhajirin, lembaga pendidikan satu-satunya yang dimiliki oleh Komunitas "Pecinan" itu. Ditempat inilah kegiatan keagamaan baik berupa sekolah maupun ceramah-ceramah keagamaan dilakukan. Adapun metode dakwha yang digunakan adalah dengan mau’idhah hasanah yaitu suatu dakwah dengan menggunakan nasehat yang baik. Hal ini dilakukan oleh da’i yang betempat tinggal di lokasi tersebut. Dai atau mualligh yang ada di Dukuh Argopuro adalah Bapak Sumarto, berusia sekitar 40 tahun. Alamat asalanya adalah dari Desa EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
115
Mubasyarah
Muryolobo Kecamatan Nalumsari Kabupaten Jepara, Bapak Sumarto tinggal di Dukuh Argopuro bersamaan dengan dibukanya dukuh tersebut sekitar tahun 1993. Ia melaksanakan kegiatan dakwah karena merasa terpanggil melihat kondisi masyarakat Dukuh Argopuro yang belum begitu mengenal ajaran Agama Islam.20 Sumarto sebagai tokoh agama berpenampilan sederhana dengan mamanjangkan jambang, sehingga kesan sebagai orang Islam dengan penganut aliran tertentu nampak padanya. Sebagai da’i yang tinggal bersama masyarakat Argopuro, Sumarto sangat memahami kondisi sosiologis dan psikologis masyarakat yang jadi mad’unya, sehingga dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan metode ceramah atau mauidhah hasanah dan denga menggunakan bahasa sederhana yang sangat mudah dipahami oleh mad’unya. Disamping itu dengan tinggal ditempat yang sama, sewaktu-waktu dia dapat menyampaikan pesan dakwahnya tanpa harus dilakukan dalam situasi formal. Materi dakwah sebagaimana kita ketahui bahwa materi dakwah dapat dibag1 tiga yaitu: - Aqidah - Syari’ah - Akhlak Secara inci dapat penulis sebutkan materi dakwah di Dukuh argopuro adalah sebagai berikut: a. Pengajian malam Jum’at, materi pokoknya adalah: 1. Pendalaman aqidah islamiyah 2. Pendalaman kaifiyah ubudiyah 3. Pendalaman ahlussunnah waljama’ah b. Fashalatan, materi pokoknya adalah: 1. Memberikan contoh-contoh gerakan shalat 2. Memberikan makna gerakan shalat 3. Mengontrol gerakan-gerakan shalat 4. Mengontrol ucapan-ucapan (hafalan) do’a dalam shalat c. Belajar Baca Tulis al-Quran, materi pokoknya adalah: 1. Mengetahui huruf-huruf hijaiyah 2. Mengetahui cara-cara membacanya sesuai dengan makhraj dan tajwidnya 20. Wawancara dengan Bapak Sumarto, dai /mualligh Dukuh Argopuro, pada tanggal 5 Nopember 2008
116
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus
d. Hafalan surat-surat pendek dan do’a-do’a, materi pokoknya adalah: 1. Menghafal surat dhuha sampai surat an-Nas 2. Menghafal do’a-do’a dalam perbuatan sehari-hari 3. Memberitahukan makna yang terkandung dalam surat dan do’a tersebut21 G. PENUTUP Islam sebagai agama yang universal sangat memperhatikan manusia sebagai individu, kare na individu merupakan dasa bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera, makmur, berkeadilan dan damai. Suatu masyarakat tidak akan sejahtera, damai, aman dan berkeadilan, jika tidak ditanamkan sedini mungkin makna dari nilainilai kedamaian, keadilan dan kesejahteraan kepada setiap individu dari masyarakat, karena masyarakat pada hakekatnya komunitas yang terdiri dari individu-individu yang hidup di suatu daerah yang mempunyai keinginan dan tujuan yang sama untuk saling dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia tidak akan mampu bertahan hidup hanya dengan kesendirian (individual) tanpa bantuan orang lain. Sikap dan tingkah laku da’i merupakan salah satu faktor keberhasilan dakwah yang dilakukan, masyarakat pelaku dakwah senantiasa mengamati dan meniru sikap yang dimiliki da’i. Sebagai seorang da’i sikapnya haruslah merupakan cerminan dari tingkah lakunya sehari-hari. Keberhasilan dakwah yang dilakukan di Kampung Pecinan Argopuro Kudus diantaranya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; metode yang digunakan, profil dai dan materi yang disampaikan sesuai dengan kondisi mad’u, serta sesuai dengan situasi dan kondisi yang terdapat pada masyarakat tersebut.
21. Wawancara dengan Sumarto, mubaligh Dukuh Argopuro dan be domisili ditempat tersebut pada 26 Oktober 2008 EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
117
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Ghalways, al-Dakwah Ushuluha wa Wasailuha ( Kairo al-Kitab al-Misyri, 1987 Aswadi dalam artikelnya yang berjudul Mujaalah Sebagai Metode Dakwah dalma jurnal Ilmu Dakwah Vol.13 No.1 April 2006, hlm. 85 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006 Bisri Affandi dalan “Metodologi Penelitian Dakwah:Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah, Ramadhani, Solo 1991 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002 Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis Naharong, CV.Rajawali, Jakarta, 1985 Hiroko Horikosi, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987 Imam
Suprayogo, Metodologi Penelitian Rosdakarya Bandung, 2001
Sosial
Agama,Remaja
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 M.Masykur Amin (ed.), Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, LKPSM-NU,Yogyakarta, 1989 Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991 Patton , Qualitative Evaluation Method, Beverly Hillls, CA. Sage Publication Inc 1980 Peter L.Berger, dan Hansfried Keliner,” Pluralisasi Dunia Kehidupan,” dalam Hans Dieter Eers (peny.)”Teori Masyarakat, Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988 Quraish Shihab, Membumikan al-Quran dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1995 Sanapiah Faisal, enelitian Kualitatif, dasar dan Aplikai, YA3, Malang, 1990 Soerjono Soekanto, Sosilogi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999 Susan Stainbac, William Stainback, Understanding & Conduting Qualitative Research, Kendall/Hunt Publishing Company Dubuque, Iowa, 1988 118
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
MAKNA UNGKAPAN SISWA (STUDI TULISAN DI TEMBOK SEKOLAH)
Oleh: Kisbiyanto
ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif tentang makna yang diambil dari ungkapan-ungkapan siswa yang ditulis secara bebas di tembok sekolah. Temuan penelitian ini antara lain menyimpulkan : (1) tulisan tembok pada umumnya ditulis pada tembok belakang, tembok samping dan tembok pada toilet atau water closet sekolah. Meskipun ada, tapi jarang sekali ada tulisan tembok di bagian depan atau tempat strategis pada gedung sekolah. Bagian paling banyak dan sering ditulisi adalah tembok toilet sekolah. Cara menuliskan ungkapan juga bervariasi, yaitu ada yang tulisan kapur, spidol, pensil dan bol point yang menjadi corak terbanyak dari tulisan-tulisan tembok itu; (2) Motif-motif yang melatarbelakangi siswa menulis ungkapanungkapannya. Dari beberapa latar belakang motif itu, bisa dikategori menjadi 24 temuan motif, yaitu ajakan untuk kategori baik, ancaman untuk kategori buruk, bercanda/bergurau untuk kategori baik dan buruk, bersemangat/bertekad untuk kategori baik, berteman untuk kategori baik, biasa untuk kategori baik, bujukan untuk kategori baik dan buruk, cinta untuk kategori baik dan buruk, doa untuk kategori baik, dukungan sport untuk kategori baik, ejekan untuk kategori buruk, evaluasi untuk kategori baik, harapan untuk kategori baik, ingin rileks/jenuh untuk kategori baik, jorok untuk kategori buruk, kacau untuk kategori buruk, keberanian untuk kategori baik, kecewa untuk kategori baik dan buruk, kuat mental untuk kategori baik, nasehat untuk kategori baik, persahabatan untuk kategori baik, politik untuk kategori baik, protes untuk kategori baik dan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
119
Kisbiyanto
buruk, dan semangat untuk kategori baik; (3) pada usia anak dan remaja, siswa mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang wajar meskipun kadang-kadang agak negatif sehingga harus tetap mendapatkan bimbingan atau pembinaan yang intensif dari banyak aspek pemikiran, sikap dan perilaku siswa; (4) tulisan ungkapan siswa yang ditulis di tembok sekolah, pada umumnya mempunyai makna-makna dalam kategori baik, buruk dan baik-buruk; dilihat dari aspek tema tulisan, bermakna percintaan, gurauan, protes, pernyataan jorok, prinsip atau ajakan dengan nasehat tertentu, dan semacamnya, dan sebagian kecilnya bertema ajakan, pertemanan, politik dan pernyataan ringan; adapun makna kontekstual dari tulisan di tembok sekolah, antara lain sekolah harus meningkatkan komunikasi dan pembinaan kepada siswanya, dan siswa sebagai peserta didik membutuhkan ruang dan waktu yang luas dan bervariasi untuk menyatakan pendapat, aspirasi, isi hati dan semacamnya sebagai media komunikasi yang interaktif antara guru dan siswa di sekolah. Kata Kunci : Makna, Tulisan di Tembok
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Banyak hal yang bisa menjadi perhatian ilmiah, khususnya perilaku siswa yang sehari-hari belajar di sekolah. Salah satunya, perilaku siswa menulis ungkapan-ungkapan yang sering dituliskan di tembok sekolah, misalnya pada tembok dan pintu toilet atau pada dinding samping dan belakang gedung sekolah. Ungkapan-ungkapan itu bukan tanpa makna, karena dimungkinkan mereka menuliskannya dengan maksud tertentu atas peristiwa tertentu atau respon tertentu. Makna-makna itu tidak mudah dijelaskan karena itu diperlukan kajian mendalam untuk mengungkap makna tulisan-tulisan siswa itu, baik yang cenderung positif maupun negatif, meskipun kadang-kadang secara umum dinilai negatif karena lebih dimaknai sebagai corat-coret tembok sekolah. Perilaku siswa menuliskan ungkapan pikiran, isi hati, respon, pelampiasan dan semacamnya di tembok sekolah bisa dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan. Nilai-nilai pendidikan menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan suatu proses pendidikan. Hal ini terkait dengan nilai hakekat pendidikan. Hakekat pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (Sardiman 1996, Barnadib 1995). Potensi yang 120
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)
dimiliki oleh manusia membutuhkan pemberdayaan sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhan dengan kemampuan yang dimiliki itu. Pendidikan dalam hakekatnya sebagai proses pemanusiaan/ humanisasi (Tilaar 2000) merupakan proses dialog antar manusia yang membiarkan tumbuhnya kesadaran kemanusiaan yang utuh tanpa pembelengguan (Freire 2000). Proses humanisasi ini akan senantiasa berkomunikasi dengan perkembangan zaman dan berkembang sesuai setting sosio-kultural yang terjadi dari masa ke masa. Karena pendidikan adalah proses yang mengalami dinamikaa maka yang menjadi pertaruhan dalam proses perkembangan itu adalah masalah yang berkaitan dengan nilai (akhlak, etika, moral). Kritik terhadap konsep pendidikan yang hanya sekadar proses pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) patut didukung. Langkah selanjutnya adalah penerapan konsep pendidikan sebagai penanaman nilai-nilai (transfer of value) (Hasbullah 1996). Konsep ini bukan sekadar jargon yang dimiliki oleh para pendidik masa kini, tetapi sejak keberadaan pendidikan pendidikaan sendiri yaitu penanaman nilai-nilai moral, etika, akhlak yang menunjuk kepada pembentukan kepribadian peserta didik. Plato dan aristoteles dalam ajarannya menyebutkan filsafat etika yang membicarakan tentang baik dan buruk (Bakri 1981). Imam Ghazali menekankan pendidikan sebagai proses penanaman budi pekerti luhur sehingga mendarah daging di dalam jiwa (Mahfudh 2000). Musthafa al-Ghalayani mengisyaratkan pendidikan sebagai penanaman akhlak mulia di dalam jiwa anak didik pada masa pertumbuhannya (al-Ghalayani), demikian pula Drost (1998) yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses membentuk manusia dewasa yang berkepribadian. Kajian tentang perilaku siswa yang diharapkan sesuai dengan hakekat tujuan pendidikan memang tidak pernah selesai sesuai idealitas. Studi tentang perilaku semakin menarik jika dikaitkan dengan perkembangan perilaku dewasa ini, yaitu siswa masa kini yang mempunyai kebebasan berekspresi, mengakses informasi, menjalin komunikasi dan menggunakan falisitas teknologi canggih baik untuk kepentingan keilmuan maupun interaksi biasa. Salah satu fenomena perilaku siswa adalah ekspresi mereka mengungkapkan perasaan dengan menuliskannya di tembok sekolah. Karena belum banyak yang mengkaji fenomena ini, maka penelitian ini menfokuskan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
121
Kisbiyanto
diri pada judul penelitian Makna Ungkapan Siswa (Studi Tulisan Di Tembok Sekolah). 1. Fokus Penelitian Penelitian ini disusun dengan rumusan masalah tentang pengelolaan madrasah diniyah, yang secara rinci difokuskan pada halhal berikut : a. Bagaimana tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus ? b. Bagaimana motif yang mendorong siswa menulis di tembok pada sekolah di Kudus ? c. Bagaimana pembinaan bagi siswa atas tulisan tembok sekolah di Kudus? d. Bagaimana makna tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus ? 2. Batasan Masalah Banyak sekali masalah evaluasi pendidikan pada sekolah/ madrasah di Kabupaten Kudus, namun dalam penelitian ini dibatasi cakupan pembahasannya pada aspek problematika sekitar kenaikan kelas dan kelulusan, bahkan secara rinci cakupan penelitian ini terbatas pada (1) tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus, (2) motif yang mendorong siswa menulis di tembok pada sekolah di Kudus, (3) pembinaan bagi siswa atas tulisan tembok sekolah di Kudus, (4) makna tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus. 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini lakukan dengan tujuan sebagai berikut : a. Mendeskripsikan tentang tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus. b. Mendeskripsikan tentang motif yang mendorong siswa menulis di tembok pada sekolah di Kudus. c. Mendeskripsikan tentang pembinaan bagi siswa atas tulisan tembok sekolah di Kudus. d. Menjelaskan tentang makna tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut : 122
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)
a. Manfaat teoritis penelitian ini adalah kajian tentang psikologi pendidikan, yaitu telaah tentang ekspresi perilaku siswa di sekolah serta untuk memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan. b. Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan informasi dan masukan kepada para pengelola dan pendidik, khususnya Pemerintah, Dinas Pendidikan, Mapenda Islam Depag, pengelola dan pendidik di sekolah/madrasah di Kabupaten Kudus, yang berkaitan dengan pengelolaan perilaku siswa di sekolah/madrasah. B. KAJIAN PUSTAKA 1. Sistem Nilai Manusia berperilaku bukan tanpa pertimbangan, tapi sangat terkait dengan pertimbangan awal yang dipersepsikan, yaitu suatu nilai. Nilai menurut Robbins (2008:84) adalah keyakinan-keyakinan dasar bahwa pola perilaku khusus atau bentuk akhir keberadaan secara pribadi atau sosial lebih disukai dari pada pola perilaku atau bentuk akhir keberadaan yang berlawanan atau kebalikan. Nilai menurut Rokeach dalam Ekosusilo (2003) dipahami sebagai tipe suatu kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti hubungannya dengan pemaknaan atau pemberian arti obyek. Nilai erat kaitannya dengan perilaku organisasi karena suatu nilai meletakkan dasar-dasar untuk memahami sikap dan motivasi seseorang dan nilai juga mempengaruhi persepsi seseorang, sebagaimana Robbins menjelaskan : “Values are important to the study of organizational behavior because they lay the foundation for the understanding of attitudes and motivation as well as influencing our perceptions. Individuals enter an organization with preconceived notions of what ‘ought’ and what ‘ought not’ to be. Of course, these notions are not value free.”
Pengertian dan penjelasan tentang nilai di atas bisa diuraikan dalam beberapa konteks, khususnya dalam kaitannya dengan nilai dalam organisasi atau lembaga pendidikan, yaitu bahwa : (1) nilai merupakan suatu kepercayaan seseorang atau sekelompok orang EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
123
Kisbiyanto
yang meyakini baik atau tidak baik tentang sesuatu, (2) nilai bisa memberikan pemaknaan terhadap suatu obyek berupa benda, sikap, tindakan untuk dimaknai baik-buruk, layak-tidak layak, pantas-tidak pantas dan sebagainya, dan (3) nilai bisa mempengaruhi persepsi seseorang terhadap apresiasi tertentu sehingga mempengaruhi obyektifitas tertentu karena seseorang dengan nilai itu akan mempunyai kecenderungan dalam perspektif nilai yang dianutnya. Sistem nilai menurut Robbins (2008:84) adalah hirarki yang didasarkan pada pemeringkatan nilai-nilai pribadi berdasarkan intensitas nilai tersebut. Menurut Rokeach, a value system is a learned organization of principles and rules to help one choose between alternatives, solve conflict and make decision, yang berarti bahwa sistem nilai adalah prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dapat dipelajari dalam suatu organisasi untuk membantu seseorang memilih di antara berbagai alternatif menyelesaikan konflik dan membuat keputusan (Ekosusilo 2003). Suatu lembaga pendidikan sangat erat kaitannya dengan sistem nilai. Lembaga pendidikan mempunyai subyek-subyek pelaku dan penyelenggara pendidikan yang terdiri dari person-person berbeda sikap dan perilakunya. Bahkan dalam suatu lembaga pendidikan, sering kali ditemukan perbedaan itu berujung pada konflik antar individu maupun konflik antar kelompok dalam organisasi. Karena itu, untuk diperlukan suatu sistem nilai tertentu yang menjadi landasan norma interaksional antara subyek pendidikan baik kepala sekolah, guru, murid, orang tua/wali, anggota komite sekolah dan masyarakat terkait lainnya. Tujuan pendidikan nasional tentu berbeda dengan tujuan pendidikan di negara lain karena perbedaan sistem nilai yang digunakan dalam menentukan tujuan pendidikan diberbagai negara. Negara Indonesia mempunyai latar belakang budaya, kondisi dan masalah berbeda dengan bangsa lain, sehingga tujuan pendidikan di Indonesia diarahkan kepada pembentukan karakter bangsa sebagaimana dirumuskan di atas. Sistem nilai bisa berbeda karena perbedaan stratifikasi pendidikan, misalnya pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sistem nilai jugaa bisa berbeda karena faktor setting sosial misalnya sekolah di pedesaan dan perkotaan, sekolah di komunitas pertanian, perdagangan dan 124
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)
industri. Sistem nilai juga bisa berbeda karena tradisi tertentu yang biasa dilakukan di suatu sekolah, misalnya sekolah swasta dan sekolah negeri, sekolah umum dan kejuruan. Robbins (2008:84) menjelaskan bahwa nilai dalam suatu organisasi sangat penting untuk mengkaji tentang perilaku organisasi karena nilai menjadi dasar untuk memahami sikap dan motivasi serta karena nilai mempengaruhi persepsi seseorang. Individuindividu memasuki organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya. Gagasan-gagasan itu sendiri tidaklah bebas nilai. Sebaliknya, gagasangagasan itu mengandung penafsiran tentang benar dan salah. Bahkan, gagasan-gagasan itu menyiratkan bahwa perilaku-perilaku atau hasil tertentu lebih disukai dari pada yang lain. Efek sampingnya, nilai bisa memperkeruh obyektifitas dan rasionalitas. Jadi nilai umumnya mempengaruhi sikap dan perilaku. 2. Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan menurut Stogdill adalah proses mempengaruhi aktifitas kelompok dalam rangka penyusunan tujuan organisasi dan pelaksanaan sasarannya (Sulton 2003:24). Kepemimpinan dalam pendidikan dijelaskan oleh Yukl sebagai berikut : “Most definitions of leadership reflect the assumption that it involves as social influence process whereby intentional influence is axerted by one person (or group) over other people (or groups) to structure the activities and relationship in a group or organization (Bush 2006:5). Selanjutnya, Bush (2006) menjelaskan bahwa kepemimpinan pendidikan dibentuk oleh tiga dimensi dalam kepemimpinan, yaitu kepemimpinan sebagai “pengaruh”, kepemimpinan berkaitan dengan “nilai-nilai” dan kepemimpinan berkaitan dengan “visi”. Jadi kepemimpinan pada hakekatnya merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang-orang dalam organisasi dengan sistem nilai tertentu dan visi tertentu pula untuk mencapai tujuan. Pemimpin tidak bisa efektif jika tidak bisa mempengaruhi orang lain dengan nilai-nilai dan visi kepemimpinan yang jelas. Suatu “model” kepemimpinan bisa efektif jika mempunyai kesesuaian tipologi dalam model-modelnya dengan situasi dan kondisi organisasi atau lembaga pendidikan terutama (Bush 2006) tujuan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
125
Kisbiyanto
(goal), struktur kelembagaan (structure), lingkungan (environment) dan kepemimpinan itu sendiri (leadership). Model-model kepemimpinan. Jadi model kepemimpinan merupakan kesatuan dari unjuk kerja yang ditampilkan suatu aktifitas memimpin dilihat dari aspek tujuan, struktur, lingkungan dan kemampuan seseorang dalam memimpin. Model kepemimpinan dalam manajemen pendidikan antara lain : (1) model formal (formal models), model kolegial (collegial models), model politik (political models), model subyektif (subjective models), model ambiguitas (ambiguity models) dan model kultural (cultural models). Model-model tersebut sangat bervariasi dilihat dari konsep dan operasinya. Dalam praktiknya, model-model akan terlihat sebagai aktifitas yang tidak murni sebagai satu model tertentu, tetapi mungkin akan nampak sebagai model kolaboratif. Misalnya saja, seorang pemimpin pendidikan tradisional cenderung berperilaku dalam model cultural namun secara bersamaan juga berperilaku sebagai pemimpin dengan model politik atau kolegial dan seterusnya. Jadi model kepemimpinan bisa dilihat dari ragam perspektif sehingga kajian tentang model-model kepemimpinan dalam pendidikan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan model keorganisasian beserta tata kehidupannya. Kepemimpinan yang saat ini banyak mendapat perhatian banyak pihak adalah kepemimpinan partisipatif dimana seorang pemimpin menggunakan pendekatan khusus yaitu melibatkan subyek-subyek organisasi atau lembaga beserta stake holders untuk menentukan tujuan dan bekerja sama dalam mencapainya. Kepemimpinan partisipatif dianggap baik dan sesuai dengan pola kehidupam masyarakat kontemporer yang mengedepankan isu demokratisasi (democration), persamaan (equality), kerja sama (team work), kemajemukan (pluralism), multikultural (multicultural) dan keterbukaan dalam manajemen (open management). Kepemimpinan partisipatif juga mempunyai kekhususan dalam meningkatkan peran serta anggota organisasi dalam menuangkan cita-cita, merumuskan tujuan-tujuan bersama dan bekerja secara bersama untuk kepentingan bersama pula. Pemimpin tidak seorang yang super power tetapi lebih sebagai “bapak atau ibu” dan juga teman sejawat. 3. Budaya Sekolah Budaya organisasi menurut Owens didefinisikan sebagai “…the body of solution to external dan internal problems that has worked consistenly for a group and that is therefore taught to new members as the correct way to 126
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)
perceive, think about and feel in relation to those problem…” Jadi budaya organisasi dipahami sebagai pola pemecahan masalah eksternal dan internal yang diterapkan secara konsisten bagi suatu kelompok dan karenanya diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang, memikirkan dan merasakan masalah yang dihadapi. Selanjutnya Owens juga menjelaskan bahwa budaya organisasi berarti filsafat, ideologi, nilai-nilai, asumsi-asumsi, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma bersama yang mengikat atau mempersatukan suatu komunitas (Eko S, 2003:11). Jadi budaya organisasi sangat terkait dengan sistem nilai yang diyakini dalam suatu organisasi yang dengan nila-nilai itu komunitas organisasi bersikap, berperilaku dan mengerjakan tugas-tugas keorganisasian untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, budaya kerja para anggota organisasi ditentukan oleh cara panadang mereka terhadap nilai-nilai misalnya laba atau nilaba, efektif atau tidak efektif, kebersamaan atau individual, terbuka atau tertutup, komitmen atau melanggar dan sebagainya. Suatu organisasi atau lembaga pendidikan tentu mempunyai kekhasan sendiri dalam menyelenggarakan pengelolaan pendidikan. Budaya sekolah unggulan berbeda dengan budaya sekolah belum maju. Budaya sekolah di perkotaan cenderung berbeda dengan budaya sekolah di pedesaan. Budaya sekolah formal dan sekolah non-formal juga berbeda. Menurut Robins terbentuknya budaya organisasi berasal dari filsafat yang dimiliki oleh pendiri organisasi, selanjutnya budaya tersebut digunakan sebagai criteria dalam mempekerjakan karyawannya. Tindakan manajemen puncak (top leader) menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan tidak baik. Bagaimana karyawan harus diberi sosialisasi tergantung pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilaa-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai oranisasi dalam proses seleksi maupun preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi (Eko S, 2003:1921). Jadi budaya organisasi berasal dari pandangan hidup dan cita-cita para pendiri (founding fathers) atas organisasi tersebut dan komunitas berikutnya mengikutinya dengan cara kerja yang dicitakan. Misalnya, sekolah keagamaan didirikan untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama agar generasi berikutnya tidak buta agama dan tidak meninggalkan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
127
Kisbiyanto
agama. Cita-cita kelembagaan ini secara terus menerus akan menjadi cirri khusus lembaga itu dalam membentuk kinerja karyawan dan semua pihak terlibat agar tujuan lembaga itu terwujud. 4. Motivasi dalam Pendidikan Motif adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai sesuatu tujuan. Jadi, motif bukanlah hal yang dapat diamati, tetapi motif merupakan sesuatu hal yang dapat disimpulkan adanya karena sesuatu yang dapat kita saksikan. Tiap aktifitas yang dilakukan oleh seseorang itu didorong oleh sesuatu kekuatan dari dalam diri orang itu, kekuatan pendorong inilah yang disebut sebagai motif (Suryabrata 1998). Menurut Woodworth dan Marquis dalam Suryabrata (1998), motif dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) kebutuhan-kebutuhan organik, (2) motif-motif darurat, dan (3) motif-motif obyektif. 5. Perubahan pada Diri Siswa Diri peserta didik akan mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan umurnya. Karena itu, ada periodesasi perkembangan manusia dilihat dari aspek didaktis. Dasar didaktis digunakan para ahli untuk menganalisis beberapa kemungkinan, (1) apa yang harus diberikan kepada anak didik pada masa tertentu, (2) bagaimana cara mengajar/mendidik anak pada masa tertentu, dan (3) kedua hal tersebut di atas (Suryabrata 1998). Salah satu konsepsi dalam golongan periodesasi berdasar didaktis adalah yang dikemukakan Comenius, sebagai berikut : 1. Scola materna (sekolah masa ibu), untuk anak-anak umur 0-6 tahun 2. Scola vernacula (sekolah bahasa ibu), untuk anak-anak umur 6-12 tahun 3. Scola latina (sekolah latin), untuk anak-anak umur 12-18 tahun 4. Academica (akademi), untuk anak-anak umur 18-24 tahun. C. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian 128
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)
Penelitian ini dirancang untuk menjelaskan masalah tentang makna ungkapan siswa yang sering ditulis di tembok sekolah di Kabupaten Kudus dengan pendekatan kualitatif. Karakter utama dari pendekatan kualitatif adalah bukan dimaksudkan untuk menguji suatu teori, tetapi untuk mengungkapkan fenomena dan realitas melalui data-data secara deskriptif. Data-data spesifik dicari maknanya untuk membuat kesimpulan yang general dari makna-makna yang diperoleh dari data-data tersebut. Dari penelitian ini diharapkan dapat dijelaskan tentang tulisan di tembok sekolah, motif penulisan, upaya pembinaan dan makna tulisan-tulisan itu di pada sekolah di Kabupaten Kudus. 2. Subyek dan Sumber Penelitian Pertimbangan utama dalam menentukan subyek penelitian ini adalah kesesuaian antara sumber informasi yang terkait dengan permasalahan penelitian. Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah tentang memaknai tulisan peserat didik pada tembok sekolah. Sumber informasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1) sumber utama terdiri dari siswa dan pendidik pada sekolah di Kabupaten Kudus, meliputi kepala sekolah/madrasah, wakil kepala dan para guru, (2) sumber pendukung, yaitu tenaga kependidikan lainnya, misalnya pegawai sekolah. Untuk memperoleh data yang valid dan reliabel, sumber informasi ditentukan secara purposif, yaitu para responden yang dianggap bisa memberikan data yang akurat, maka dituju sebagai sumber yang pokok. Tidak semua siswa, kepala sekolah/madrasah dan guru menjadi responden. Namun, untuk langkah awal, peneliti mengklasifikasi sumber-sumber tersebut dalam pembagian area yang menyebar di seluruh kecamatan dan seluruh tingkat lembaga pendidikan di Kabupaten Kudus. 3. Lokasi dan Waktu Penelitian Agar diperoleh kesesuaian antara persoalan yang fokus dengan setting penelitian, sebagaimana dianjurkan oleh Moleong (1994), dilakukan penjajakan dan penilaian lapangan, dalam hal ini adalah keseluruhan wilayah Kabupaten Kudus. Dengan demikian, lokasi penelitian ini difokuskan di 9 Kecamatan di Kabupaten Kudus, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
129
Kisbiyanto
dengan penyebaran pada setiap kecamatan diambil sampel purposif sekolah/madrasah yang mempunyai karakteristik yang dituju, yaitu tembok yang bertuliskan ungkapan siswa. Penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak ditentukan batas waktu secara jelas sampai peneliti memperoleh pemahaman yang benar-benar mendalam tentang obyek yang diteliti. Namun karena pertimbangan dan keterbatasan waktu, biaya dan tenaga, maka penelitian dapat diakhiri dan dibuat laporannya jika dianggap telah mencapai data dan analisis sesuai dengan rancangan. Namun demikian, penelitian ini tetap dibatasi waktu antara, yaitu mulai Bulan Mei sampai September 2009. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data, penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu pengamatan/observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam pengamatan, dua hal penting (Nasution 1996:58) yang diperhatikan, yaitu informasi dan konteks. Dengan ketepatan dalam menghubungkan keduanya, maka didapat maknanya, karena makna diperoleh dari keterkaitan antara informasi dan konteksnya. Bentuk pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini ada tiga, yaitu : (1) pengamatan secara deskriptif, (2) pengamatan secara terfokus, dan (3) pengamatan selektif. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara struktur dan wawancara tak struktur. Dalam wawancara, peneliti menetapkan masalah dan pertanyaan yang akan diajukan. Teknik ini ditempuh karena sejumlah sampel yang representatif ditanyai dengan pertanyaan yang sama, sehingga diketahui informasi atau data yang penting. Peneliti melakukan wawancara terhadap subyek penelitian/responden dengan merencanakan materi wawancara tentang makna tulisan siswa pada tembok sekolah di Kudus. Dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan informasi dari sumber yang berupa dokumen/arsip, foto, dan bahan statistik yang lain. Data diperoleh dari dokumentasi data-data yang berkaitan dengan perilaku menulisi tembok sekolah di Kudus, baik yang berupa tulisan/dokumen resmi maupun dokumen pribadi. 5. Keabsahan Data Agar data yang diperoleh, yang berujung pada kesimpulan atau verifikasi, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka 130
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)
dilakukan pemeriksaan keabsahan data. Teknik yang digunakan dalam pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini, sebagaimana dikatakan Moleong (2001) meliputi : perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pemeriksaan sejawat, kecukupan referensi, kajian kasus negatif dan pengecekan. Namun, dalam penelitian ini, tidak semua teknik di atas digunakan, hanya beberapa teknik yang tepat dan diperlukan saja yang digunakan, khususnya trianggulasi. 6. Teknik Analisis Data Untuk memberikan pemaknaan atas data atau fenomena yang ditemukan dan dikumpulkan dalam penelitian ini, maka dilakukan analisis dengan pendekatan kualitatif dengan eksplanasi bersifat deskripsi. Dengan teknik analisis deskriptif, langkah yang ditempuh dalam analisis ini adalah mengorganisir data berupa gambar, foto, dokumen yang berupa laporan, biografi, artikel dan sebagainya (Moleong, 2001: 103), yaitu arsip yang dimiliki oleh sekolah/ madrasah. Selanjutnya data-data yang diperoleh dianalisis dengan model siklus interaktif sebagaimana dikemukakan oleh Milles dan Huberman (1992 : 20). Proses ini dilakukan selama proses penelitian ditempuh melalui serangkaian proses pengumpulan, reduksi, penyajian dan verifikasi data. Ryan dan Bernard dalam Denzin (2000) menjelaskan bahwa teknis analisis data dalam domain kultural (techniques for analyzing data about cultural domain) menggunakan analisis komponensial, taksonomi dan mental maps. Akhirnya berdasarkan sajian data tersebut, peneliti melakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi, setelah terlebih dahulu melihat hubungan satu dengan yang lain dalam kesatuan bahasan. Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan memberi makna terhadap fenomena yang ditemukan. Proses verifikasi ini ditempuh dengan tujuan untuk lebih memperkaya dan mengabsahkan hasil interpretasi yang dilakukan.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
131
Kisbiyanto
D. TEMUAN PENELITIAN 1. Tulisan-tulisan Tembok pada Sekolah Tulisan tembok pada umumnya ditulis pada tembok belakang, tembok samping dan tembok pada toilet atau water closet sekolah. Meskipun ada, tapi jarang sekali ada tulisan tembok di bagian depan atau tempat strategis pada gedung sekolah. Bagian paling banyak dan sering ditulisi adalah tembok toilet sekolah. Pada umumnya, sekolah yang maju lebih nampak bersih dari tulisan-tulisan tembok karena perawatan dan penjagaan kebersihan dan kerapian sekolah relatif baik. Nampaknya, sekolah maju juga lebih sering mengecat ulang tembok-tembok mereka. Sedang di sekolah yang kurang maju, pada umumnya tembok nampak lebih usang mungkin sudah lama tidak dicat ulang sehingga tulisan tembok nampak lebih banyak dan bervariasi karena banyak yang menuliskan ungkapan dari beberapa kelas, beberapa generasi atau angkatan. Di beberapa sekolah, tulisan tembok ditemukan dalam ruang kelas namun tidak terlalu banyak. Ada juga tulisan-tulisan ungkapan siswa yang didapati di papan atau majalah dinding yang sebagiannya nampak tidak terpakai. Ada juga tulisan-tulisan yang ditemukan pada tiang-tiang gedung sekolah meskipun tidak terlalu banyak. Cara menuliskan ungkapan juga bervariasi, yaitu ada yang tulisan kapur, spidol, pensil dan bol point yang menjadi corak terbanyak dari tulisan-tulisan tembok itu. Sebagian kecil juga ada tulisan yang menggunakan cat tetapi tidak dijumpai di abnyak sekolah. Berbagai macam tulisan tembok dari ungkapan siswa memang cukup menarik terutama dilihat dari konten atau pesan tulisan-tulisan tersebut. Secara umum, bisa dibedakan menjadi beberapa kelompok tulisan, yaitu tulisan yang bernilai positif, tulisan bernilai negatif dan tulisan bernilai biasa. 2. Motif yang Mendorong Siswa Menulis di Tembok pada Sekolah Ada beberapa motif yang melatarbelakangi siswa menulis ungkapan-ungkapannya. Dari beberapa latar belakang motif itu, bisa dikategori menjadi 24 temuan motif, yaitu :
132
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)
a. Ajakan untuk kategori baik b. Ancaman untuk kategori buruk c. Bercanda/bergurau untuk kategori baik dan buruk d. Bersemangat/bertekad untuk kategori baik e. Berteman untuk kategori baik f. Biasa untuk kategori baik g. Bujukan untuk kategori baik dan buruk h. Cinta untuk kategori baik dan buruk i. Doa untuk kategori baik j. Dukungan sport untuk kategori baik k. Ejekan untuk kategori buruk l. Evaluasi untuk kategori baik m. Harapan untuk kategori baik n. Ingin Rileks/jenuh untuk kategori baik o. Jorok untuk kategori buruk p. Kacau untuk kategori buruk q. Keberanian untuk kategori baik r. Kecewa untuk kategori baik dan buruk s. Kuat mental untuk kategori baik t. Nasehat untuk kategori baik u. Persahabatan untuk kategori baik v. Politik untuk kategori baik w. Protes untuk kategori baik dan buruk x. Semangat untuk kategori baik 3. Pembinaan bagi Siswa Ungkapan siswa yang ditulis pada tembok sekolah pada umumnya didominasi oleh olah tema-tema tentang percintaan, gurauan, protes, pernyataan jorok, prinsip atau ajakan dengan nasehat tertentu, dan semacamnya. Dilihat dari aspek prikologis, memang sangat terkait dengan kepribadian dan perkembangan mereka yaitu pada usia anak dan remaja. Pada usia anak dan remaja itulah para siswa mencari jati diri atas kepribadian mereka dan tumbuh berkembang sesuai dengan faktor-faktor bawaan maupun kehidupan lingkungan mereka. Padausiaanakdanremajaitu,siswamempunyaikecenderungankecenderungan yang wajar meskipun kadang-kadang agak negatif sehingga harus tetap mendapatkan bimbingan atau pembinaan yang intensif dari banyak aspek pemikiran, sikap dan perilaku siswa. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
133
Kisbiyanto
Pembinaan siswa yang sering kali membuat corat-coret dan semacamnya di sekolah, antara lain disarakan oleh Nursisto (2002) ada beberapa langkah yang dapat digunakan dalam upaya mengatasi ketertiban sekolah dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketertiban yang ada di sekolah : a). Langkah mencegah siswa membawa alat main dan buku porno. b). Langkah mencegah siswa merokok dan membawa narkoba. c). Langkah mencegah perkelahian siswa di lingkungan sekolah dan luar sekolah. d). Langkah mencegah siswa tidak menggunakan seragam dan kelengkapan dengan baik e). Langkah dalam membuat cacatan disiplin siswa. 4. Makna Tulisan-tulisan Tembok pada Sekolah Banyak tulisan ungkapan siswa yang ditulis di tembok sekolah. Pada umumnya ditulis secara serampangan, tidak menentu dan antara satu tulisan dengan tulisan lain nampak tidak ada korelasinya atau kadang-kadang maknanya sulit dimengerti. Namun, jika dilihat secara seksama, tulisan-tulisan tembok itu sebenarnya sangat serius, penting dan bermakna. Dari 109 ungkapan yang telah dipaparkan di atas, ternyata banyak makna yang bisa kita simpulkan. Ada 24 makna yang bervariasi sebagai motif penulisan di tembok sekolah itu. Dari 24 makna umum itu ada 3 simpulan dengan kategori baik, buruk dan baik-buruk. Dilihat dari aspek tema tulisan, memang banyak bahkan sangat dominan yang memfokus pada percintaan, gurauan, protes, pernyataan jorok, prinsip atau ajakan dengan nasehat tertentu, dan semacamnya. Sedangkan sebagian kecilnya bertema ajakan, pertemanan, politik dan pernyataan ringan. Adapun makna kontekstual dari tulisan di tembok sekolah, antara lain : bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan harus meningkatkan komunikasi dan pembinaan kepada siswanya, dan siswa sebagai peserta didik membutuhkan ruang dan waktu yang luas dan bervariasi untuk menyatakan pendapat, aspirasi, isi hati dan semacamnya sebagai media komunikasi yang interaktif antara guru dan siswa di sekolah. 134
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)
E. SIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan beberapa point, yaitu : 1. Tulisan tembok pada umumnya ditulis pada tembok belakang, tembok samping dan tembok pada toilet atau water closet sekolah. Meskipun ada, tapi jarang sekali ada tulisan tembok di bagian depan atau tempat strategis pada gedung sekolah. Bagian paling banyak dan sering ditulisi adalah tembok toilet sekolah. Cara menuliskan ungkapan juga bervariasi, yaitu ada yang tulisan kapur, spidol, pensil dan bol point yang menjadi corak terbanyak dari tulisan-tulisan tembok itu. Sebagian kecil juga ada tulisan yang menggunakan cat tetapi tidak dijumpai di abnyak sekolah. Berbagai macam tulisan tembok dari ungkapan siswa memang cukup menarik terutama dilihat dari konten atau pesan tulisan-tulisan tersebut. Secara umum, bisa dibedakan menjadi beberapa kelompok tulisan, yaitu tulisan yang bernilai positif, tulisan bernilai negatif dan tulisan bernilai biasa. 2. Motif-motif yang melatarbelakangi siswa menulis ungkapanungkapannya. Dari beberapa latar belakang motif itu, bisa dikategori menjadi 24 temuan motif, yaitu (1) ajakan untuk kategori baik, (2) ancaman untuk kategori buruk, (3) bercanda/ bergurau untuk kategori baik dan buruk, (4) bersemangat/ bertekad untuk kategori baik, (5) berteman untuk kategori baik, (6) biasa untuk kategori baik, (7) bujukan untuk kategori baik dan buruk, (8) cinta untuk kategori baik dan buruk, (9) doa untuk kategori baik, (10) dukungan sport untuk kategori baik, (11) ejekan untuk kategori buruk, (12) evaluasi untuk kategori baik, (13) harapan untuk kategori baik, (14) ingin rileks/jenuh untuk kategori baik, (15) jorok untuk kategori buruk, (16) kacau untuk kategori buruk, (17) keberanian untuk kategori baik, (18) kecewa untuk kategori baik dan buruk, (19) kuat mental untuk kategori baik, (20) nasehat untuk kategori baik, (21) persahabatan untuk kategori baik, (22) politik untuk kategori baik, (23) protes untuk kategori baik dan buruk, dan (24) semangat untuk kategori baik. 3. Pada usia anak dan remaja itu, siswa mempunyai kecenderungankecenderungan yang wajar meskipun kadang-kadang agak negatif sehingga harus tetap mendapatkan bimbingan atau EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
135
Kisbiyanto
pembinaan yang intensif dari banyak aspek pemikiran, sikap dan perilaku siswa. Pembinaan yang berkaitan dengan kecenderungan siswa menulis di tembok, juga berkaitan dengan pembinaan bidang lainnya, yaitu (1) langkah strategis mencegah siswa yang suka mencoret- coret itu sendiri, (2) langkah mencegah siswa membawa alat main dan buku porno, (3) langkah mencegah siswa merokok dan membawa narkoba, (4) langkah mencegah perkelahian siswa di lingkungan sekolah dan luar sekolah, (5) langkah mencegah siswa tidak menggunakan seragam dan kelengkapan dengan baik, dan (6) langkah dalam membuat cacatan disiplin siswa. 4. Tulisan ungkapan siswa yang ditulis di tembok sekolah, pada umumnya mempunyai bermakna, yaitu makna makna dalam kategori baik, buruk dan baik-buruk; dilihat dari aspek tema tulisan, bermakna percintaan, gurauan, protes, pernyataan jorok, prinsip atau ajakan dengan nasehat tertentu, dan semacamnya, dan sebagian kecilnya bertema ajakan, pertemanan, politik dan pernyataan ringan; adapun makna kontekstual dari tulisan di tembok sekolah, antara lain : bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan harus meningkatkan komunikasi dan pembinaan kepada siswanya, dan siswa sebagai peserta didik membutuhkan ruang dan waktu yang luas dan bervariasi untuk menyatakan pendapat, aspirasi, isi hati dan semacamnya sebagai media komunikasi yang interaktif antara guru dan siswa di sekolah.
136
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Sutari Imam. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta:Andi Offset. Bass, Bernard M.1981. Stogdill’s Handbook of Leadership A Survey of Theory and Research. New York:A Division of Macmilan Publishing Co., Inc. Bush, Tony. 2006. Theories of Educational Leadership and Management. London:SAGE Publications. Denzin, Norman, K and Lincold, Yvonna S. 2000. Handbook of Qualitative Research (Second Edition). California:Sage Publication, Inc.
Drost.
1998. Sekolah Yogyakarta:Kanisius.
Mengajar
atau
Mendididk.
Ekosusilo, Madyo. 2003. Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai. Sukoharjo:Univet Bantara Press.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan) Otomo Dananjaya, dkk. Jakarta:LP3ES. Hasbullah Bakri. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Widjaya. Hazbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta:Rajawali Pers. KH. MA. Sahal Mahfudh. 2000. Pesantren Mencari Makna. Jakarta:Pustaka Ciganjur. Masyhud, Sulthon, dkk. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta:Diva Pustaka. Matthew, Miles B, dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif . Terjemahan Tjetjep Rohendi. Jakarta: Universitas Indonesia. Moleong, Lexy, J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Musthafa al-Ghalayani. Idhah al-Nasyiin. Surabaya:al-Hidayah.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
137
Kisbiyanto
Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi (Edisi Kesepuluh). Terjemahan Benyamin Molan. Indonesia:Indeks. Sardiman AM. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:Rajawali Pers. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta. Suryabrata, Sumardi. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Tilaar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta:Rineka Cipta. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
138
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
MUTU LULUSAN DAN PASAR KERJA PRODI TAFSIR HADIS
Oleh : Fathul Mufid
Abstrak Drs. H. Fathul Mufid, M.S.I. Judul: ”Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis”. Mutu lulusan sebuah perguruan tinggi merupakan target yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan tinggi dalam rangka untuk memenuhi standar kompetensi sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam rangka untuk mencapai mutu lulusan yang diidamkan, sebuah lembaga pendidikan tinggi sudah barang pasti menentukan indikatorindikator yang dapat menghantar kepada berhasilnya standar kompetensi mutu lulusan. Standar kompetensi yang ditetapkan tentu saja mempertimbangkan berbagai aspek, yang diantaranya adalah kebutuhan stakeholder, yang selanjutnya mengarah kepada pasar kerja lulusan. Prodi tafsir hadis jurusan ushuluddin STAIN Kudus sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi juga telah menetapkan standar kompetensi utama maupun tambahan dalam rangka untuk mencapai mutu lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar kerja di masyarakat baik formal maupun non formal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam, terinci, dan sistematis mengenai proses pembelajaran, mutu lulusan, dan pasar kerja alumni prodi tafsir hadis sesuai denga standar yang telah ditetapkan dalam profil prodi. Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekataan kualitatif, sehingga analisis datanya juga bersifat ”deskriptif kualitatif” dengan mengikuti tata kerja Miles dan Heberman, yakni analisis sebelum di lapangan dan analisis di lapangan yang meliputi; reduksi data, display data, dan verifikasi data. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa proses pembelajaran telah dilaksanakan sesuai dengan standar mutu EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
139
Fathul Mufid
akadermik yang telah ditetapkan. Akan tetapi, karena terbatasnya sumber dana, sumber daya manusia, dan motivasi belajar mahasiswa, sehingga sebagian lulusan prodi tafsir hadis belum memenuhi standar kompetensi utama maupun tambahan. Berdasarkan hasil pelecakan alumni, memang mereka telah dapat diterima oleh masyarakat untuk berprofesi sebagai da’i, guru, dosen, PNS, LSM, anggota dewan, dan lain sebagainya, namun sebagian besar dari mereka ternyata menggeluti bidang di luar kompetensinya. Kata Kunci: Prodi, tafsir hadis, mutu lulusan, kompetensi, pasar kerja, dan pembelajaran.
A. LATAR BELAKANG MASALAH Jurusan Ushuluddin merupakan bagian dari STAIN Kudus, memiliki peran penting dalam pengembangan mutu akademik, sehingga jurusan dipandang sebagai pusat kegiatan akademik yang tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran dan pendidikan secara keseluruhan. Jurusan ushuluddin bagi STAIN Kudus tidak semata diarahkan kepada pendukung sistem pengajaran semata, tetapi juga dikaitkan dengan wacana keilmuan yang sedang berkembang saat ini. Lebih dari itu jurusan ushuluddin tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kepentingan lembaga, tetapi juga untuk kepentingan publik yang lebih luas yang menjadi tanggung jawab dunia akademik. Saat ini muncul kebutuhan tentang pentingnya arah baru pendidikan di PTAI yang tidak hanya mengandalkan pada warisan intelektual muslim semata yang menempatkan otoritas teks di atas segalanya, tetapi juga menggunakan berbagai pendekatan dan metodologi ilmu-ilmu modern, seperti disiplin ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan sebagainya untuk melengkapi disiplin ilmu keislaman tradisional dalam memahami warisan kebudayaan Islam. Kesadaran untuk menggunakan pendekatan “ilmu-ilmu sekuler” dalam melakukan pembelajaran, kini menjadi semakin dirasakan penting bagi para dosen di lingkungan PTAI untuk mempertajam pemahaman mereka terhadap tindakan, motivasi dan kepercayaan masyarakat, sehingga pendekatan normatif yang diambil dari teks-teks suci (al-Qur’an-Hadits) tidak lagi menjadi satu-satunya cara pandang dalam memahami fenomena sosial ( Fathul Mufid, 2010:1). Pembelajaran di PTAI yang mempergunakan berbagai metode (multidisipliner) ini, sangat sesuai dengan ide dasar didirikannya 140
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
PTAI yang perannya adalah sebagai agen tranformasi sosial dan budaya dalam masyarakat muslim Indonesia. Meskipun telah muncul kesadaran akan pentingnya penggunaan pendekatan lintas disiplin dalam memahami fenomena sosial keagamaan, tetapi PTAI masih menghadap problem besar pada tingkat keragamaan model pembelajaran yang dipergunakan dosen dengan tingkat pemahaman metodologis dan pendekatan yang kurang memadai. Akibatnya banyak pendekatan yang dipakai sering tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Sebagai perguruan tinggi di abad modern, STAIN Kudus memiliki sumber ajaran yang berupa al-Qur’an dan al-Hadis, dan juga warisan budaya yang dibangun dari sejarah pemikiran umat Islam. Baik sumber ajaran maupun warisan sosial-budaya berpotensi untuk dapat diaktualisasikan dengan cara menangkap ide dasar ajaran, merumuskan potensi yang ada dalam warisan budaya, dan menerjemahkannya menjadi aktualisasi teknis dewasa ini. Oleh karena itu, dalam proses pembangunan tatanan kehidupan yang penuh rahmah, visi STAIN Kudus harus mencerminkan ide dasar masyarakat ideal dalam al-Qur’an dan Sunnah, historisiitas ke-beragamaan dalam budaya masa lalu, amanat pendirian STAIN, dan kemudian diaktualisasikan menjadi penyelesaian masalah dalam kehidupan praksis umat masa kini, dengan menyediakan tenaga terampil yang profesional ( Dokumen Evaluasi Diri, 2008 : 20). Untuk merealisasikan ide besar ini, maka visi STAIN Kudus harus mewarnai proses pembelajaran sehingga mengarah pada model keberagamaan dalam masyarakat modern yang dalam satu sisi efektif menyelesaikan masalah umat dalam kehidupan praksis dan dalam sisi yang lain akan membuka lapangan kerja bagi alumni Prodi Tafsir Hadits. Oleh sebab itu, visi jurusan ushuluddin prodi Tafsir Hadis adalah “ Menyiapkan praktisi Tafsir Hadits sebagai jawaban konkret problem umat dalam praksis kehidupan”. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, peneliti ingin mengkaji lebih dalam, lebih rinci, dan sistematis tentang penyelenggaan pembelajaran, mulai dari proses pembelajaran, mutu lulusan, dan pasar kerja prodi Tafsir Hadis dalam bentuk penelitian individual. Judul yang pilih peneliti adalah “ MUTU LULUSAN DAN PASAR KERJA PRODI TAFSIR HADIS”. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
141
Fathul Mufid
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, dapat penulis rumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu : Bagaimana mutu lulusan dan pasar kerja program studi tafsir-hadis STAIN Kudus ?. Ada tiga aspek yang diteliti, yaitu : 1. Materi dan Proses Pembelajaran Prodi Tafsir Hadis. 2. Hasil Pembelajaran atau Mutu Lulisan Prodi Tafsir Hadis. 3. Pasar Kerja Lulusan Prodi Tafsir Hadis C. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu lulusan dan pasar kerja prodi tafsir hadis, yang meliputi tiga aspek, yaitu : a. Untuk mengetahui materi dan proses pembelajaran pada prodi tafsir hadis b. Untuk mengetahui out put atau mutu lulusan prodi tafsir hadis, dan c. Pasar kerja lulusan prodi tafsir hadis. D. SIGNIFIKANSI/ MANFAAT PENELITIAN Setiap penelitian, diharapkan memiliki signifikansi atau manfaat pada masyarakat, dunia ilmu pengetahuan ataupun pemerintah, baik secara teoritis maupun praktis. Penelitian ini mempunyai signifikansi / manfaat yang dapat diringkas sebagai berikut : a. Manfaat teoritis, yaitu bahwa penelitian ini akan menginformasikan kepada semua pihak tentang materi, proses pembelajaran, mutu lulusan, dan pasar kerja prodi tafsir hadis. Hal ini akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang pembelajaran prodi tafsir hadis yang sangat diperlukan umat Islam, terutama dunia pendidikan tinggi Islam. b. Manfaat praktis, yaitu pertama, jika mutu lulusan prodi tafsir hadis STAIN Kudus, memang terbukti mempunyai kapasitas yang memadai sebagai ahli dan praktisi tafsir-hadis, maka akan dapat diminati oleh alumni pesantren-pesantren dan madrasahmadrasah Aliyah. Kedua, bagi STAIN Kudus khususnya dan lembaga-lembaga PTAI yang lain, akan mengetahui kelebihan142
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
kelebihan dan kekurangan-kekurangan model pembelajaran prodi tafsir hadis STAIN Kudus dari hasil penelitian ini, sehingga dapat melakukan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan. E. METODE PENELITIAN Pendekatan yang di pakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu metode yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Metode ini juga sering disebut metode naturalistic, karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga metode etnography karena pada awalnya digunakan untuk penelitian bidang antropologibudaya; disebut kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya bersifat kualitatif. (Sugiono, 2005 : 1) Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif yakni data yang terkumpul berbentuk kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka (ibid : 9). Neuman menulis,”descriptive research present a picture of specific details of situation, social setting or relationship” (L. Neuman, 1997 : 19 – 20). Suharsimi Arikunto (2001 : 243) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian “non hipotesis”, sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu adanya hipotesis. Moh. Nazir (1999 : 63 - 64) menulis bahwa penelitian deskriptif adalah mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu, termasuk hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 1. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan (M. Nazir, 1999 : 211). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : a. Observasi atau pengamatan Observasi adalah suatu proses pengumpulan data dengan menggunakan seluruh perhatian, penglihatan dan pendengaran EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
143
Fathul Mufid
secara cermat dan hati-hati. Pada saat observasi, peneliti menyerap semua instrumen yang diperlukan sebagai sarana informasi dalam penelitian (L. W. Neuman, 1997 : 361). Kriteria observasi secara ilmiah adalah : 1) Pengamatan digunakan untuk penelitian yang telah direncanakan secara sistematis. 2) Pengamatan harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah direncanakan. 3) Pengamatan tersebut dicatat secara sistematis dan dihubungkan dengan proposisi umum. 4) Pengamatan dapat dicek dan dikontrol atas validitas dan reliabilitasnya. (M. Nazir, 1999 : 212) Agar data yang diperoleh dari observasi lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak, maka peneliti menggunakan observasi partisipatif (participant observation). Artinya peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan observasi, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya (Sugiyono, 2005 : 64 ). b. Wawancara Wawancara atau interview adalah proses untuk memperoleh keterangan dalam penelitian dengan cara tanya jawab, sambil tatap muka antara si penanya (pewawancara) dengan si penjawab (responden) dengan menggunakan alat yang di namakan “interview guide” (panduan wawancara ) (M. Nazir, 1999 : 234). Penelitian ini menggunakan “indepth interview” (wawancara mendalam) yaitu pertemuan langsung secara berulangulang antara peneliti dan informan dalam hal kehidupannya, pengalamannya, atau situasi-situasi yang dialaminya yang diungkapkan dengan kata-kata informan itu sendiri (Bagdan dan Taylor, 1984 : 77). Tekniknya peneliti memakai model wawancara tak terstruktur, tak dibakukan dan terbuka (open ended), yaitu wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap, tetapi hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan 144
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
(Sugiyono, 1984 : 74). Menurut Neuman, dalam wawancara lapangan lebih banyak adanya unsur spontanitas dan timbal balik pertanyaan yang tidak selamanya terkontrol oleh catatan yang telah disiapkan (W. L. Neuman, 1997 : 371). c. Dokumentasi Dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu, dalam bentuk tulisan, gambar, film atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap terhadap metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Lexy J. Moleong (2006 : 217) menyatakan bahwa dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan. d. Triangulasi Triangulasi adalah pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik dan sumber data. Triangulasi sekaligus menguji kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data. Agar mendapatkan data dari sumber yang sama dapat dilakukan dengan berbagai teknik secara serempak. Sebaliknya mengumpulkan data dari sumber yang berbeda dengan teknik yang sama (Sugiyono, 2005 : 83). Penelitian ini, menggabungkan antara metode observasi partisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi. 2. Analisis data Analisis data merupakan upaya mencari secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain (Noeng Muhadjir, 1996 : 104). Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan (Masri Singarimbun, Sofian Effendi, 1989 : 263). Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif, sehingga analisis data yang dipakai adalah metode “deskriptif”, yakni mengorganisasikan data, memilah-milah data, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola-pola , menemukan apa yang penting dan apa yang telah dipelajari, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
145
Fathul Mufid
dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (kesimpulan ) (Moleong, 2006 : 248 ). Proses analisisnya adalah sebagai berikut: a. Analisis sebelum di lapangan Analisis ini dilakukan peneliti terhadap data hasil studi pendahuluan atau sekunder, yang akan digunakan untuk menemukan fokus penelitian, yang sifatnya masih sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan. b. Analisis data di lapangan Analisis ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung di lapangan, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Misalnya pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban responden. Apabila belum memuaskan, peneliti mengajukan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu, sehingga diperoleh data yang dianggap kredibel, tuntas dan jenuh. (Sugiyono, 2005 : 276). Langkah selanjutnya adalah : 1) Reduksi data, yaitu merangkum, memilah hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting untuk dicari pola dan temanya, agar ada gambaran yang lebih jelas bagi peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. 2) Penyajian data, yaitu merupakan langkah lanjutan setelah reduksi data, yang dapat disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dengan format teks yang bersifat naratif. 3) Verifikasi, yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi. Penelitian ini penarikan kesimpulannya merupakan temuan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Temuan tersebut berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap, kemudian menjadi jelas (Sugiyono, 2005 : 277-284). F. KAJIAN TEORI I. Mutu Lulusan Prodi Tafsir Hadis Rekruitmen calon mahasiswa menggunakan 2 (dua) jalur, yaitu jalur tes dan jalur non-tes. Jalur tes disediakan untuk semua calon mahasiswa secara umum yang telah memenuhi persyaratan 146
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
standar administrasi dan akademik. Adapun materi tes masuk adalah Pengetahuan Agama, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Matematika, Baca Tulis al-Qur'an. Sedangkan jalur non-tes disediakan untuk calon mahasiswa yang berprestasi, yaitu mereka yang hafal al-Qur’an minimal 5 (lima) juz, mereka yang berasal dari MAK (Madrasah Aliyah Khusus), dan mereka yang mempunyai rangking 1 sampai 10 di sekolahnya dengan bukti surat keterangan dari kepala sekolah. Program Studi Tafsir Hadits Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus juga merekrut calon mahasiswa dari pesantren dan alumni Madrasah Aliyah Diniyah (MADIN), sebagai upaya menjaring bibit-bibit unggul dari lembaga pendidikan non-formal tersebut sebagai salah satu upaya untuk mempercepat lahirnya ulama-ulama yang intelektual. Secara umum dapat digambarkan bahwa profil mahasiswa Program Studi Tafsir Hadits Jurusan Ushuluddin, yang mayoritas datang dari daerah Pantura (Pantai Utara) dengan berbagai latar belakang kondisi sosial ekonomi, mempu-nyai kemampuan yang cukup baik tentang dasar-dasar ilmu keislaman, kebahasaan, dan ketafsirhaditsan. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata IP (Indeks Prestasi) mahasiswa yang dicapai dalam setiap semesternya antara 2,00 s/d 3,80 dalam skala 4,00. ( Dokumen Evaluasi Diri, 2008). a. Ketrampilan Yang Dialihkan (Transferable) Secara kurikuler, Program Studi Tafsir Hadits memberikan kepada mahasiswa keterampilan umum dan keterampilan khusus terkait dengan kompetensi untuk menjadi ahli Tafsir Hadits. Beberapa keterampilan umum sebagai seorang ahli Tafsir Hadits yang dapat ditransfer ketika mereka terjun dalam masyarakat, seperti : keterampilan beribadah (khutbah jum’at, menjadi imam shalat, merawat jenazah, dan sebagainya), kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris), dan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi, seperti komputer dan internet. Hal ini didasarkan pandangan bahwa seorang mahasiswa nantinya harus mempunyai kemampuan yang relatif lengkap untuk dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Keterampilan lain yang dapat ditransferkan kepada masyarakat adalah kemampuan menyelesaikan permasalahan masyarakat atas dasar keilmuan Tafsir dan Hadis, kemampuan menafsir al-Qur’an, kemampuan mensyarah Hadis, kemampuan memimpin atau berorganisasi di dalam masyarakat, seperti : keterampilan memimpin EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
147
Fathul Mufid
rapat, keterampilan meren-canakan program kegiatan, keterampilan memimpin lembaga, dan lain sebagainya ( Data Evaluasi Diri, 2008). b. Pemahaman dan Kemampuan Sendiri Sebagaimana model pendidikan di perguruan tinggi, Program Studi Tafsir Hadits memiliki model pendidikan yang berbeda dari jenjang pendidikan sebelumnya, baik di tingkat MTs./SLTP maupun MA/SMU. Pembelajaran lebih menekankan pendekatan andragogi di mana posisi dosen hanya sebagai fasilitator dan motivator bagi mahasis-wa. Dengan cara ini memberikan kesempatan yang besar bagi mahasiswa untuk dapat mengapresiasi dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya, sehingga akan membedakan prestasinya dengan yang lain. c. Kemampuan Belajar Mandiri Pendekatan andragogi memberikan keleluasaan dan porsi lebih besar kepada mahasiswa lebih mandiri dalam belajar. Dalam pendekatan ini, keberhasilan atau prestasi mahasiswa ditentukan oleh kesungguhan atau keseriusan mereka dalam belajar secara mandiri. Untuk mengkondisikan kemandirian belajar mahasiswa, kebanyakan dosen memberikan tugas perkuliahan kepada mahasiswa dalam bentuk penyusunan makalah, resume mata kuliah, meresensi dan mereview buku, baik individu maupun kelompok, diskusi kelompok, dan lain sebagainya. Di samping itu, sistem SKS yang diterapkan oleh Program Studi Tafsir Hadits juga memberikan atmosfir kompetisi yang memberi motivasi pada mahasiswa untuk belajar mandiri sehingga waktu studi menjadi terkontrol atau lebih cepat (Dokumen Evaluasi diri, 2008). d. Profil Lulusan Proses pembelajaran pada Program Studi Tafsir Hadits sebagaimana dipaparkan sebelumnya memberikan kontribusi pada internalisasi nilai, motivasi, dan sikap mahasiswa. Model SKS menstimulasi mahasiswa untuk lebih kreatif, inovatif, percaya diri, ulet dan handal sebagai added value dari core curriculum. Sementara itu, integrasi seluruh komponen mata kuliah dalam konfigurasi kurikulum Program Studi Tafsir Hadits menumbuhkan nilai komprehensif bagi character building profil mahasiswa untuk dapat beraktualisasi diri. 148
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
Profil lulusan STAIN Kudus menurut kebijakan akademik secara umum meliputi beberapa kreteria sebagai berikut : a. Lulusan yang berkualitas secara akademimik dan/ atau profesional di bidang ilmu agama, teknologi dan kebudayaan Islam, serta bermanfaat bagi masyarakat. b. Lulusan yang mampu mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu agama, teknologi, dan kebudayaan Islam bagi kemaslahatan masyarakat. c. Berpengetahuan dan berkepribadian sebagai ilmuan muslim Indonesia . d. Adaptip, proaktif, dan peka terhadap lingkungan, serta mampu bekerja sama. e. Berfikir kritis, inovatif, mandiri, dan terus belajar sepanjang hayat. f. Menjadi agent of change dan teladan, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. g. Bekerja sesuai dengan prinsip ajaran agama, mengembangkan prestasi, dan menjujung tunggin kode etik. Berangkat dari kreteria umum tersebut, maka ditentukan standar minimum mutu lulusan STAIN Kudus yang niscaya harus dimiliki oleh lulusan prodi tafsir hadis, yaitu sebagai berikut : a. Memiliki kepribadian sebagai ilmuan muslim Indonesia. b. Memiliki kemampuan membaca dan menulis huruf al-Qur’an (Arab). c. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ilmu keislaman secara umum. d. Memiliki kemampuan memahamai teks berbahsa Arab dan Inggris dengan lancar. e. Memiliki kemampuan menggunakan komputer dan mengakses informasi melalui internet. f. Memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, dan ilmiah. g. Memiliki kemampuan memecahkan masalah secara efektif ( Profil Lulusan STAIN Kudus, 2010). II. Pasar Kerja Alumni Dari sudut pandang tertentu, jenis lapangan kerja bisa dikelompokkan ke dalam bidang-bidang, misalnya: pertanian, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
149
Fathul Mufid
pertukangan, perdagangan, industri, pendidikan, kesehatan, hukum, informasi, dan sebagainya. Dengan lingkup semacam ini, pasar kerja dibatasi jangkauannya pada aspek kehidupan yang bersifat fisikmaterial, atau semata-mata dalam dimensi keduniaan. Bisa difahami, karena memang begitulah kecenderungan terkuat yang menyelimuti atmosfir kehidupan di zaman kini. Yang namanya kerja, asosiasi orang biasanya mengarah pada bidang-bidang kehidupan yang terkait atau bahkan secara langsung mendatangkan hasil secara ekonomis. Ingin menjadi petani, pedagang, pengusaha, karyawan pabrik, guru atau dosen, dokter, bidan, hakim, jaksa, pengacara, wartawan, dan sejenisnya, itulah gambaran selintas tentang dunia kerja. Bagaimana halnya dengan keahlian atau profesi di bidang keagamaan? Apakah bisa dikategorikan sebagai lapangan kerja atau jenis pekerjaan, dan pelakunya juga disebut pekerja? Harus diakui, masih terjadi bermacam-mkacam penilaian atau pandangan dalam kaitan semacam ini. Oleh karena, memang langka yang mengidentifikasi, katakanlah seorang kiyai, muballigh, juru dakwah dan sejenisnya, sebagai orang-orang yang berkecimpung dalam dunia kerja. Melainkan, cenderung dipandang semata pengabdian, tugas suci, dan perjuangan agama. Semua itu terjadi, karena dampak pemahaman dikotomis, yang memisahkan agama dengan kehidupan riel di masyarakat, menempatkan dimensi mental-spiritual terpisah dari fisik-material, dan mengeliminasi kepentingan ukhrawi dari aktifitas duniawi ( Imam Bawani, 2003 : 6-7). Atas dasar uraian ringkas tentang Perguruan Tinggi Agama Islam dan Realitas Pasar Kerja di Masyarakat tersebut di atas, maka rangkaian diskusi dan analisis terkait dengan ”Pasar Kerja Alumni Perguruan Tinggi Agama Islam”, secara sistematis bisa dimulai dari upaya melakukan kategorisasi, misalnya ke dalam: pasar kerja tradisional, institusional, inovasi kreatif, lintas sektoral, dan transformasi keilmuan. Agar tertata berurutan, hendak dijelaskan satu persatu sebagai berikut: G. TEMUAN PENELITIAN 1. Hasil Pembelajaran a. Kompetensi yang Dicapai Program Studi Tafsir Hadits sebagai program studi tertua di STAIN Kudus mengharapkan profil lulusan/alumni yang 150
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
tidak hanya bisa meng-hafalkan dalil dan hukum, melainkan alumni yang secara pribadi berakhlaq al-karimah dan secara sosial mampu menyelesaikan masalah dengan berpijak dari al-Qur’an dan Sunnah. Secara institusional, lulusan Program Studi Tafsir Hadits STAIN Kudus diarahkan untuk menjadi ahli dan praktisi Tafsir Hadits dan peneliti kajian keislaman. Kompetensi yang diharapkan adalah menjadi sarjana muslim yang ahli dalam bidang Tafsir Hadits. Kompetensi yang dicapai dibandingkan dengan yang diharapkan sudah cukup bagus. Hal ini bisa dilihat dari indikator-indikator sebagaimana telah dinyatakan dari para lulusan, yang sebagian besar mereka mampu mengaplikasikan materi yang didapat di bangku kuliah dalam kehidupan selanjutnya, baik itu untuk persaingan kepentingan studi lanjut maupun untuk mengabdi di masyarakat ( Dokumen Evaqlusi Diri, 2008). b. Kompetensi , Tuntutan, dan Kebutuhan Lulusan Kompetensi yang dicapai dari para lulusan sudah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan stakeholders. Evaluasi terhadap Program Studi Tafsir Hadits memang secara periodik dilakukan baik yang menyangkut masalah kurikulum maupun non kurikulum. Pada proses inilah prodi berusaha untuk mendapatkan masukan-masukan dari stakeholder tentang perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat, di samping juga informasi-informasi yang berkaitan dengan bagaimana lulusan prodi ketika berada di masyarakat. Program Studi Tafsir Hadits juga selalu meminta dan menerima saran dan masukan dari tokoh masyarakat, instansi dan lembaga-lembaga lain yang berada di Kudus, termasuk sekolah-sekolah yang sudah menjalin kerjasama untuk membicarakan tentang bagaimana tuntutan dan kebutuhan yang diharapkan tentang profil dan kompetensi ahli Tafsir Hadits yang ideal dan dibutuhkan, terutama di Kudus dan sekitarnya (wawancara, dengan Muhammadun, Alumni 2008, tgl 18 Agustus, 2010). c. Kemajuan, Keberhasilan, dan Waktu Penyelesaian Studi Sistem perkuliahan yang diterapkan Program Studi Tafsir Hadits adalah dengan sistem SKS dimana beban studi EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
151
Fathul Mufid
mahasiswa diperhitungkan dengan sistem kredit, Jumlah SKS yang diambil setiap semester tergantung kepada Indeks Prestasinya. Dengan cara ini, kemajuan belajar mahasiswa dapat dipantau dengan mudah dan keberhasilannya juga akan ditentukan oleh kemampuan kompetitif masingmasing mahasiswa. Waktu penyelesaian studi mahasiswa bervariasi antara 8 - 14 semester, tetapi kebanyakan mereka menyelesaikannya dalam waktu 8 semester. Adapun Indeks Prestasi lulusan Program Studi Tafsir Hadits adalah antara 2.8 s/d 3.77. 2. Kepuasan Lulusan dan Penyerapan Lulusan Berdasarkan pelacakan yang dilakukan oleh tim tentang lulusan, sebagian alumni melanjutkan studi ke program pascasarjana (S.2). Sebagian mereka bekerja secara beragam, antara lain : menjadi tenaga kependidikan (guru), dosen, pengasuh pondok pesantren, dai, menjadi tokoh masyarakat, dan lain-lain. Sejauh yang terakses, para lulusan merasa puas terhadap mutu pembelajaran dan pelayanan di Program Studi Tafsir Hadits, walaupun secara kasuistik, terdapat lulusan yang masih perlu mendapatkan peningkatan (Wawancara dengan Muhammadun, alumni 2008, tgl 16 Agustus, 2010). 3. Nilai, Motivasi, dan Sikap Kondisi proses pembelajaran pada Program Studi Tafsir Hadits sebagaimana dipaparkan sebelumnya memberikan kontribusi pada internalisasi nilai, motivasi, dan sikap mahasiswa. Model SKS menstimulasi mahasiswa untuk lebih kreatif, inovatif, percaya diri, ulet dan handal sebagai added value dari core curriculum. Sementara itu, integrasi seluruh komponen mata kuliah dalam konfigurasi kurikulum, Program Studi Tafsir Hadits menumbuhkan nilai komprehensif bagi character building profil mahasiswa untuk beraktualisasi diri. 4. Penilaian Kemajuan dan Keberhasilan Belajar a. Peraturan penilaian dan penyelesaian studi mahasiswa Kualitas akademik dapat dilihat dari perolehan hasil belajar yang dimiliki oleh mahasiswa pada setiap mata kuliah setelah diadakan penilaian. Adapun peraturan mengenai penilaian yang ditetapkan oleh Program Studi Tafsir Hadits adalah sebagai berikut : 152
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
1) Penilaian hasil belajar dinyatakan dengan A, B, C, D, dan E yang masing-masing bernilai 4, 3, 2, 1, dan 0. 2) Penilaian hasil belajar mahasiswa bisa dilakukan dengan: a) Sistem Penilaian Acuan (PAP) yang lebih ditujukan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menguasai materi kuliah. b) Sistem Penilaian Acuan Norma (PAN) ditujukan untuk memperoleh gambaran mengenai kedudukan mahasiswa dalam kelas atau kelompoknya. c) Pada permulaan kuliah, dosen wajib memberikan sistem yang akan dipakai dalam penilaian (ada kontrak belajar antara mahasiswa dan dosen). d) Apabila dosen menggunakan PAP, maka sejak kuliah pertama dosen wajib memberikan patokan nilai yang menggambarkan penguasaan materi kuliah yang dituntut. e) Apabila dosen menggunakan PAN, maka yang harus diperhatikan adalah : (1) Jumlah mahasiswa paling sedikit 30 orang. (2) Prestasi mahasiswa diukur nisbi terhadap prestasi pukul rata dari kelasnya dengan menghitung simpang baku (standard deviation) (3) Atas dasar prestasi kelas pukul rata dan simpang baku ditentukan prestasi mahasiswa dengan huruf A, B, C, D, E. b. Penentuan yudisium Mahsiswa Penilaian hasil belajar total dilaksanakan pada akhir program dan digunakan untuk menentukan yudisium mahasiswa, apakah ia dinyatakan lulus sebagai sarjana S.1 atau tidak. Mahasiswa yang dapat dinyatakan sebagai sarjana S.1 Program Studi Tafsir Hadits Jurusan Ushuluddin adalah apabila: 1) Telah memperoleh kredit yang dibebankan antara 144 160 SKS, dengan IPK minimal 2,0. 2) Tidak ada nilai E . 3) Untuk nilai Bahasa Arab, PPL/PPM, KKN, Skripsi dan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
153
Fathul Mufid
beberapa mata kuliah tertentu oleh jurusan sekurangkurangnya adalah C. 4) Telah menyelesaikan tugas-tugas kokurikuler (SKK) (Dokumen Evaluasi Diri, 2008).
c. Penelaahan mengenai kepuasan mahasiswa Penelaahan mengenai kepuasan mahasiswa, tercermin dalam predikat kelulusan Program Studi Tafsir Hadits Jurusan Ushuluddin yang dinyatakan dalam Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebagai berikut: IPK Akhir Program Kelulusan Sarjana 3,50 – 4,00 3,00 – 3,49 2,50 – 2,99 2,00 – 2,49 0,00 – 1,99
Predikat Cumlaude/Istimewa Amat Baik Baik Cukup Tidak Lulus
Berdasarkan data yang tehimpun di atas, mutu lulusan atau kompetensi yang dicapai sebagian besar para alumni prodi tafsir hadis sudah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan stakeholder. Hal ini karena disebabkan sistem perkuliahan dengan model SKS sangat mendorong mahasiswa untuk lebih kreatif, sehingga sebagian besar mereka dapat menyelesaikan studi tepat waktu. Akan tetapi juga masih ditemukannya lulusan yang tidak menguasai kompetensi sesuai dengan harapan stakeholder maupun lembaga. Perlu di perhitungkan bahwa pada era globalisasi dewasa ini, persoalan masyarakat akan semakin kompleks dan membutuhkan treatment dari alumni Tafsir Hadits, sehingga pencapaian mutu lulusan sesuai dengan kompetensi prodi Tafsir Hadits dalam rangka peningkatan kepuasan pihakpihak pemanfaat lulusan merupakan keniscayaan. Ii. Pasar Kerja Alumni 1. Pemahaman Materi Sesuai Bidangnya Peluang bagi mahasiswa untuk mengembangkan materi perkuli-ahan dapat dilakukan melalui forum-forum kajian ketafsir154
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
haditsan, baik yang diselenggarakan oleh mahasiswa sendiri yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau oleh Program Studi Tafsir Hadits. Di samping itu, mahasiswa juga dapat mengembangkan dirinya dengan memanfaatkan sumber belajar yang disediakan, seperti : perpustakaan, fasilitas internet, dan lain-lain. Di samping itu banyak mahasiswa Tafsir Hadits yang telah terjun langsung sebagai penceramah, penyuluh agama, dan guru di berbagai sekolah, madrasah atau TPQ. Hal ini secara praktis memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan yang diterimanya dari proses pembelajaran di kampus. 2. Ketrampilan Umum dan Yang Dapat Dialihkan (Transferable) Secara kurikuler, Program Studi Tafsir Hadits memberikan kepada mahasiswa keterampilan umum dan keterampilan khusus terkait dengan kompetensi untuk menjadi ahli Tafsir Hadits. Beberapa keterampilan umum sebagai seorang ahli Tafsir Hadits yang dapat ditransfer ketika mereka terjun dalam masyarakat, seperti : keterampilan beribadah (khutbah jum’at, menjadi imam shalat, merawat jenazah, dan sebagainya), kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris), dan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi, seperti komputer dan internet. Hal ini didasarkan pandangan bahwa seorang mahasiswa nantinya harus mempunyai kemampuan yang relatif lengkap untuk dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Keterampilan lain yang dapat ditransferkan kepada masyarakat adalah kemampuan menyelesaikan permasalahan masyarakat atas dasar keilmuan Tafsir dan Hadis, kemampuan menafsir al-Qur’an, kemampuan mensyarah Hadis, kemampuan memimpin atau berorganisasi di dalam masyarakat, seperti : keterampilan memimpin rapat, keterampilan meren-canakan program kegiatan, keterampilan memimpin lembaga, dan lain sebagainya. 3. Pemahaman dan Pemanfaatan Kemampuan Sendiri Sebagaimana model pendidikan di perguruan tinggi, Program Studi Tafsir Hadits memiliki model pendidikan yang berbeda dari jenjang pendidikan sebelumnya, baik di tingkat MTs./SLTP maupun MA/SMU. Pembelajaran lebih menekankan pendekatan andragogi di mana posisi dosen hanya sebagai fasilitator dan motivator bagi EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
155
Fathul Mufid
mahasiswa. Dengan cara ini memberikan kesempatan yang besar bagi mahasiswa untuk dapat mengapresiasi dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya, sehingga akan membedakan prestasinya dengan yang lain. 4. Kemampuan Belajar Mandiri Pendekatan andragogi memberikan keleluasaan dan porsi lebih besar kepada mahasiswa lebih mandiri dalam belajar. Dalam pendekatan ini, keberhasilan atau prestasi mahasiswa ditentukan oleh kesungguhan atau keseriusan mereka dalam belajar secara mandiri. Untuk mengkondisikan kemandirian belajar mahasiswa, kebanyakan dosen memberikan tugas perkuliahan kepada mahasiswa dalam bentuk penyusunan makalah, resume mata kuliah, meresensi dan mereview buku, baik individu maupun kelompok, diskusi kelompok, dan lain sebagainya.Di samping itu, sistem SKS yang diterapkan oleh Program Studi Tafsir Hadits juga memberikan atmosfir kompetisi yang memberi motivasi pada mahasiswa untuk belajar mandiri sehingga waktu studi menjadi terkontrol atau lebih cepat. Untuk menilai Program Studi Tafsir Hadits Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus secara komprehensif diperlukan kejujuran dan kejelian serta ketajaman analisis dalam mencermati komponenkomponen yang dijadikan indikator kelayakan program. Indikatorindikator kelayakan tersebut secara objektif harus dinilai melalui analisis yang bertumpu pada sejauhmana relevansi program, iklim akademik, komitmen institusi, keberlangsungan program, dan efisiensi pelaksanaan program dalam merealisasikan visi dan misi program studi. Adapun pasar kerja alumni prodi tafsir hadis, berdasarkan pelacakan alumni yang selama ini dilaksanakan, diperoleh informasi bahwa di antara alumni mahasiswa Program Studi Tafsir Hadits telah diterima di masyarakat, sebagian besar sebagai da’i, PNS, dosen, guru, aktivis LSM, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Point lain yang dimiliki prodi tafsir hadis adalah berupa peningkatan kerjasama kemitraan dengan instansi lain, baik dalam dan luar negeri dalam rangka untuk pengembangan prodi. H. SIMPULAN 1. Kurikulum prodi tafsir hadis sudah sejalan dengan visi, misi, dan tujuan STAIN, program studi, dan tuntutan stakeholder. 156
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
Kurikulum berfokus pada penguasaan kompetensi prodi tafsir hadis, baik kompetensi utama maupun kompetensi tambahan. Oleh sebab itu, kurikulum tidak hanya memperhatikan normativitas ajaran, tetapi juga bersifat aplikatif. Kurikulum juga memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengembangkan diri. Namun, dirasa sosialisasi dalam mengimplementasikan kurikulum dalam kegiatan perkuliahan/pembelajaran masih kurang. Demikian pula prodi ternyata belum menawarkan mata kuliah pilihan sehingga elastisitas kurikulum menjadi berkurang tatkala menghadapi tuntutan stakeholder yang seringkali berkembang seiring dengan akselerasi perkembangan masyarakat Akan tetapi, peninjauan dan evaluasi kurikulum 5 tahun sekali dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan kurikulum dan disesuaikan dengan kebutuhan stakeholder demi peningkatan mutu lulusan dan merespon pasar kerja yang sedang dibutuhkan masyarakat. 2. Prodi tafsir hadis juga memiliki sistem evaluasi program dan pelacakan lulusan, sehingga diketahui dampak positif mutu pembelajaran dan mutu alumni. Namun hingga sekarang hasil pelacakan alumni belum di manfaatkan secara maksimal oleh prodi dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran. 3. Mutu lulusan atau kompetensi yang dicapai sebagian besar para alumni prodi tafsir hadis sudah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan stakeholder. Hal ini karena disebabkan sistem perkuliahan dengan model SKS sangat mendorong mahasiswa untuk lebih kreatif, sehingga sebagian besar mereka dapat menyelesaikan studi tepat waktu. Akan tetapi juga masih ditemukannya lulusan yang tidak menguasai kompetensi sesuai dengan harapan stakeholder maupun lembaga. Perlu di perhitungkan bahwa pada era globalisasi dewasa ini, persoalan masyarakat akan semakin kompleks dan membutuhkan treatment dari alumni Tafsir Hadits, sehingga pencapaian mutu lulusan sesuai dengan kompetensi prodi Tafsir Hadits dalam rangka peningkatan kepuasan pihak-pihak pemanfaat lulusan merupakan keniscayaan.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
157
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Pedoma n Evaluasi Diri Program Studi Jenjang S1, (Maret 2001) Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Pedoman Visitasi Program Studi Jenjang S1, (Maret 2001) Tim Penyusun, Visi-Misi STAIN dan Program Studi Jurusan Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadits (Buku I), (Kudus: STAIN Kudus Press, 2003) --------, Profil Alumni Jurusan Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadits (Buku II), (Kudus : STAIN Kudus Press, 2003) --------, Landasan Epistemologis dan Metodologi Jurusan Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadits (Buku III), (Kudus : STAIN Kudus Press, 2003) --------, Silabi Jurusan Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadits (Buku IV), (Kudus : STAIN Kudus Press, 2003) --------, Buku Tuntunan dan Panduan untuk Civitas Akademika, (Kudus : STAIN Kudus Press, 2006) --------, Pedoman Akademik Civitas Akademika, (Kudus : STAIN Kudus Press, 2007) --------, Rencana Strategis Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus 20062010 Unit Peningkatan Mutu Akademik STAIN Kudus, Prosedur Pengajuan Akreditasi Program Studi, Pedoman Evaluasi Diri Program Studi dan Surat Edaran BAN- PT tanggal 26 Januari 2008 tentang Penyertaan Data Seluruh Program Studi Non-Reguler yang Diselenggarakan Prodi Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 158
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis
Nomor : DJII/181/ 2002 tentang Penyelenggaraan Program Studi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus Keputusan Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Nomor : Dj.II/114/2005 tentang Penetapan Standar Minimal Kompetensi Dasar dan Kompetensi Utama Lulusan Program Studi Strata Satu Perguruan Tinggi Agama Islam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor : Dj.I/352/2007 tentang Perpanjangan Izin Penyelenggaraan Program Studi Jenjang Strata Satu (S.1) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus. Fathul Mufid, 2010, Evaluasi Kebijakan Akademik Dalam Peningkatan Mutu Penelitian, Makalah Workshop Evaluasi Prodi, 18 Juni 2010. .............., 2010, Visi, Misi, dan Program Kerja Prodi Tafsir Hadis Empat Tahunke depan, Penyampaian Program pada Sidang Senat STAIN Kudus, 28 Juni, 2010. Imam Bawani, 2003, Pasar Kerja Alumni Perguruan Tinggi Agama Islam, Makalah, STAIN, Kudus, 2003 Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor : DJII/181/ 2002 tentang Penyelenggaraan Program Studi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus Prodi Tafsir Hadis, Jurusan Ushuluddin, STAIN Kudus, 2008, Dokumen Evaluasi Diri, 2008 Tim Penyusun, Pedoman Praktikum Prodi Tafsir Hadis, 2010. Prodi Tafsir Hadis, 2010, Dokumen Data Lulusan Prodi Tafsir Hadis, Jurusan Ushuluddin, STAIN Kudus, Data Alumni, 2003-2010. Bogdan & Taylor, 1984, Introduction to Qualitative Research, Jhon Welly and Son Inc, New York. Lexy J. Moleong, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya. Muhadjir, Noeng, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
159
Fathul Mufid
Nasir, Moh, 1988, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia. Nasution, 1988, Metode Naturalistik Kualitatif, Bandung, Tarsita. Neuman, W. Lawrence, 1997, Social Methods, Qualitatiev Quantitative Approachs, Buston, Ally and Bacon.
and
Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, Alfabeta. ______, 2006 a. Metode Penelitian Kualitatif dan R & D, Bandung, Alfabeta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta, Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, Alfabeta. Suharsimi, Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta. Daniel L. Stufflebean, Sistematic Evaluation, Kluwer Nijhoff Publishing, 1986, USA.. Elliot W. Eisner, The Education Imagination, Max Mallon Publishing Company, 1985, New York. Jamaral dan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, 2002, Jakarta. Wawancara, Hj Uma Farida, Sekjur Ushuluddin, STAIN Kudus ………, Ulya, M. Ag. Kajur Ushuluddin STAIN Kudus, Periode Juni 2006 s/d Juni 2010 ……… Shohibul Itmam, Ketua Alumni Prodi tafsir Hadis, Jurusan Ushuluddin. ………, Muhammadun, alumni Jurusan Ushuluddin, 2008 ………., Ahmad Supriyadi, Kepala P3M, Stain Kudus
160
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
PERAN JAM’IYYAH IJTIMA’IYYAH DALAM PEMBENTUKAN TRADISI
(Studi Atas Jam’iyyah NU Ranting Kedung Banteng dalam Perubahan Tradisi Mitung Dina Di Dukuh Kedung Banteng, Desa Wonorejo, Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak) Oleh: Mustaqim Abstrak Nahdlotul Ulama merupakan organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Islam ahlus sunnah waljamaah, dengan tetap melestarikan tradisi masyarakart. Tradisi mitung dina merupakan tradisi Islam yang telah beralkulturasi dengan tradisi pribumi. Di sini, tradisi mitung dina merupakan tradisi keberagamaan warna NU yang sudah mengakar. Secara teknis, tradisi mitung dina ini terkadang membawa beban tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkan. Hal ini kemudian menjadi pembahasan tersendiri bagi pengurus jamiyyah, untuk melakukan perubahan tradisi tersebut menjadi lebih meringankan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa jamiyyah NU ranting kedung banteng telah melakukan perubahan terhadap ritual mitung dina atau ngajekno di dukuh Kedung Banteng Kecamatan Karangayar Kabupaten Demak. Kata Kunci: Jam’iyyah NU, tradisi Mitung Dina
I. PENDAHULUAN Mengkaji Islam, meniscayakan dua domain yang berbeda, yakni domain agama dan domain keberagamaan. Jika ranah agama berisi tentang norma dan ajaran agama yang bersifat universal, maka ranah keberagamaan merupakan pelaksanaan dari agama yang meruang waktu. Di sini, karakteristik keberagamaan bersifat faktual dan beragam, karena dipengaruhi oleh setting sosial di mana ummat Islam berada. Tradisi keberagamaan merupakan akumulasi perilaku beragama yang dilanggengkan secara kolektif dalam sebuah komunitas EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
161
Mustaqim
masyarakat. Di sini tradisi keberagamaan merupakan bagian dari internalisasi ajaran agama, yang dielaborasikan dengan budaya dan kondisi setempat. Tradisi ini bersifat relatif, karena merupakan respon terhadap pemahaman keagamaan komunitas ummat Islam. Salah satu faktor yang mempengaruhi dan membentuk sebuah tradisi adalah institusi sosial. Dalam konteks tradisi keberagamaan, organisasi sosial keagamaan (baca: jam’iyyah ijtima’iyyah) adalah bentuk institusi sosial yang sangat berpengaruh terhadap sebuah tradisi beragama. Melalui jam’iyyah tersebut, tradisi dikenalkan dan dibangun. Karena jam’iyyah ijtima’iyyah dalam hal ini merupakan representasi masyarakat, sebagai wadah komunikasi masyarakat dalam hal keagamaan. Nahdlotul Ulama (NU) merupakan salah satu jam’iyyah ijtima’iyyah yang sangat dominan di Indonesia. NU yang hampir satu abad berdiri, telah meletakkan tradisi keberagamaan sebagai dasar implementasi ajaran agama. Sehingga tak heran jika NU dikenal dengan organisasi “tradisional”, mengingat peran dan tanggung jawabnya dalam menjaga tradisi agama. Bahkan dalam telaah historis, lahirnya NU dilatar-belakangi oleh semangat mempertahankan tradisi dari ancaman aliran-aliran yang meneriakkan modernisasi. Sehingga élan vital ini senantiasa dijaga sampai saat ini. Dalam pelestarian tradisi, kaidah “ al-muhafadloh ‘ala qodim al-shalih, wal akhdzu bi jadid al-ashlah” (melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru - modern - yang lebih baik) menjadi platform yang senantiasa mendasari setiap gerak dan laju jam’iyyah. Kaidah ini menguatkan kiprah NU sebagai organisasi penjaga tradisi, Selama tradisi itu masih relevan dan mengandung unsur kebaikan. Meskipun hal ini tidak kemudian antipati terhadap hal baru yang itu diindikasikan lebih baik untuk digunakan dan dimanfaatkan. Secara struktural, NU merupakan organisasi keagamaan yang memiliki hirarkhi kepengurusan dari pusat (nasional) sampai desa (ranting). Kepengurusan ranting, merupakan garda terdepan bagi NU dalam menjalankan roda organisasi, khusunya dalam bidang sosial keagamaan. Dalam kaitannya dengan penjagaan tradisi, jam’iyyah NU di ranting memiliki peran signifikan yang tidak bisa disepelekan. Dan disinilah platform organisasi menemui titik signifikannya sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah ijtima’iyyah al diniyah). 162
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
Dari sini, akan dibuktikan sejauh mana peran jam’iyyah ijtima’iyyah NU, khusunya pada pengurus ranting dalam penjagaan dan pembentukan sebuah tradisi keberagamaan. Dalam penelitian ini, jam’iyyah NU Ranting Kedung Banteng menjadi locus penelitian dalam rangka menemukan peran jam’iyyah ijtima’iyyah dalam pembentukan tradisi mitung dina. Dalam penelitian ini, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran jam’iyyah NU Ranting Kedung Banteng Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak dalam pembentukan tradisi keberagamaan? 2. Bagaimana pelaksanaan tradisi mitung dina di Dukuh Kedung Banteng, Kecamatan Karangayar Demak? II. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang menyangkut metode penelitian, yaitu: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan studi lapangan (field research) dengan metode penelitian deskriptif atau gambaran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki mengenai faktor-faktor tertentu (Kartini, 1999:102) . 2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua hal, yaitu: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber penelitian dengan menggunakan alat pengukur, alat pengambil data langsung pada objek sebagai sumber informasi yang dicari (Saifuddin, 2001: 91). Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara langsung pada pihak-pihak yang terkait dalam tema penelitian, khususnya pengurus NU Ranting Kedung Banteng, Kecamatan Karanganyar Demak. Selain itu observasi partisipatoris juga digunakan, dalam hal ini peNUlis juga berfungsi sebagai human instrument. b. Data sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh lewat pihak lain,
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
163
Mustaqim
tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitiannya (Sarjono,1982: 12). Yang dalam penelitian ini adalah mencakup tentang data-data, dokumen, buku dan pendapatpendapat para ulama’ atau pihak-pihak lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 3. Metode Pengumpulan Data Salah satu tahap yang penting dalam proses penelitian adalah tahap pengumpulan data, karena data merupakan faktor terpenting dalam suatu penelitian. Tanpa adanya data yang terkumpul, maka tidak mungkin suatu penelitian akan berhasil. Adapun pada penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : a. Metode wawancara Metode wawancara adalah proses meperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil tatap muka antara si penanya dengan si penjawab atau responden (Natsir, 1988:242). Bentuk wawancara yang biasa dipakai adalah wawancara bertipe open ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa yang ada. Dalam hal ini wawancara dilakukan kepada para pengurus jam’iyyah NU ranting Kedung Banteng sebagai pembuat kebijakan dalam Jam’iyyah. b. Metode observasi Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki (Suharsimi, 2002:107). Metode ini peNUlis gunakan untuk melakukan pengamatan dan pengumpulan data terhadap tradisi mitung dina (tujuh hari setelah kematian), yang menjadi tradisi yang dibangun oleh jam’iyyah. c. Metode dokumentasi Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal/ variabel yang berupa catatan, buku-buku, transkip, surat kabar, majalah, notulen rapat, dan lain-lain (Nasution, 2003:13). Metode ini digunakan untuk data-data pendukung yang diperlukan dalam penelitian. 164
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
4. Metode Analisis Data Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan makna data atau fenomena yang dapat ditangkap oleh peneliti dengan mengajukan bukti-buktinya baik melalui wawancara, observasi, ataupun dokumentasi. Agar data yang terkumpul sesuai dengan kerangka kerja atau fokus permasalahan, maka dalam menganalisa data penulis menggunakan teknik triangulasi data. Teknik ini digunakan untuk menganalisis data hasil wawancara antar subjek, sehingga validitas data dari responden akan terpenuhi. Selain itu, teknik ini juga digunakan untuk membandingkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan data yang diperoleh dari hasil observasi atau dengan melihat dokumendokumen yang ada. Jika terdapat kesamaan terhadap data yang diperoleh maka dapat diambil kesimpulan secara langsung. Namun jika terdapat perbedaan antara subjek yang satu dengan yang lain dalam suatu masalah tertentu maka data tersebut akan dianalisis secara objektif sehingga diperoleh data yang valid. Adapun analisis data dalam penelitian ini meliputi tiga hal sebagai berikut (Sugiono, 2005:42): a. Reduksi data Adalah proses memilih, menyederhanakan, memfokuskan, mengabstraksi dan mengubah data kasar ke dalam catatan lapangan. Dalam penelitian yang peNUlis lakukan, data yang direduksi adalah data yang tidak terkait dengan fokus penelitian. b. Display data Adalah suatu cara merangkai data dalam suatu organisasi yang memudahkan untuk pembuatan kesimpulan dan/ tindakan yang diusulkan. Dengan demikian, display data yang dimaksudkan adalah sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif yang telah disusun, diatur, dan diringkas dalam bentuk kategori-kategori sehingga makna yang terkandung di dalamnya mudah dipahami. c. Konklusi Adalah menarik kesimpulan. Dari reduksi data dan penyajian data yang dilakukan oleh peneliti maka dapat ditarik kesimpulan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
165
Mustaqim
III. PEMBAHASAN A. Profil Nahdlotul Ulama’ 1. Sejarah NU Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan di Indonesia yang pembentukannya merupakan kelanjutan perjuangan kalangan pesantren dalam melawan kolonialisme di Indonesia. NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sejumlah ulama tradisional yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Organisasi ini berakidah Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916, yang merupakan modal pertama dalam perjuangan ahlus sunnah waljamaah (Feillard, 1999:9). Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota (www. wikipedia.org). Perkembangan politik di Timur Tengah yang terjadi di awal abad ke-20 ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh Islam penganut Ajaran Abdul Wahab dengan ajarannya yang terkenal “Aliran Wahabi”, yakni berubahnya sistem pemerintahan di Turki dari kesultanan ke sistem kerajaan di bawah pimpinan Mustafa Kemal (penganut Wahabi), dan berdiri serta berpengaruhnya pemerintahan golongan Wahabi di bawah kepemimpinan Raja Ibnu Sa’ud di Jazirah Arab dan kota Mekkah. Pada masa Raja Sa’ud ini berkuasa, ia melakukan gerakangerakan modernisme Islam secara radikal terhadap tatanan keagamaan dan masyarakat Islam di kawasan itu, termasuk 166
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
adanya upaya-upaya melakukan perombakan terhadap kuburan empat imam (Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi) yang terletak di sekitar Ka’bah. Selain itu reaksi para ulama penganut Ahlussunah wal Jama’ah terhadap pemerintahan kaum Wahabi saat itu, adalah karena dikahawatirkan kaum Wahabi tidak memberi kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan ibadah sesuai dengan tradisi atau ajaran salah satu dari empat mazhab (Laode, 1996 : 2). Menurut kalangan Wahabi banyak dari ajaran dari empat mazhab itu yang setelah ditelusuri tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadist, seperti masalah taqlid dan ijtihad, ziarah kuburan, bacaan barzanji, pemberian pelajaran bagi jenazah yang baru meninggal (talqin), soal selamatan bagi orang yang telah meninggal, dan lain-lain. Tradisi semacam itu dianggap berdampak terhadap tingkat masalah keimanan dan masalahmasalah keduniaan. Sebagai akibatnya umat Islam menjadi terbelakang, tertinggal dari kemajuan yang dicapai dunia Barat, karena penolakannya terhadap nilai-nilai modernisme. Ketika Raja sa’ud berhasil merebut kekuasan, ia berjanji akan mengadakan pertemuan Islam internasional. Hal ini direspon oleh ummat Islam di Indonesia dengan pelaksanaan konggres Islam. Meskipun terdapat kerjasama antara tokoh-tokoh Islam dalam suatu organisasi yang bernama Kongres Al Islam tetapi tampaknya wadah para ulama tokoh Islam baik dari kalangan tradisi maupun pembaru ini tak mampu mengakomodasi kepentingan semua kalangan, karena didominasi oleh kalangan pembaru. Misalnya pada saat memenuhi undangan Raja Ibnu Sa’ud menghadiri Kongres Al Islam di Mekkah, dengan melalui Kongres Al Islam di bandung pada bulan Januari 1926 telah diputuskan delegasi yang hadir yaitu H.O.S Tjokroaminoto dari Syarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah (Ridwan, 2004: 185). Hal ini menimbulkan kekecewaan dari kalangan tradisi yang berdampak pada beberapa tindakan yang dilakukan oleh kalangan tradisi dalam rangka mempertahankan dan mempertahankan yang mereka anut (penganut salah satu dari empat mazhab). Salah satunya kalangan tradisi mengambil EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
167
Mustaqim
inisiatif untuk membangun kelompok yang bertugas khusus untuk berkunjung di Arab Saudi menemui Raja Sa’ud, penguasa Arab dalam rangka menyampaikan paling tidak dua masalah penting. Pertama, himbauan umat Islam Indonesia (khususnya penganut Ahlusunnah wal Jama’ah atau penganut dari salah satu empat mazhab) agar memberi kebebasan beribadah kepada masyarakat Arab penganut faham yang sama. Kedua, tidak melarang orang-orang Islam yang berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta para sahabatnya, terutama yang mengandung sejarah Islam (Laode, 1996 : 8). Perjuangan itu memang berhasil yang ditandai dengan adanya kebijakan baru Raja Sa’ud tentang kedua himbauan tersebut ditambah dengan upaya memberikan pelayanan kepada jamaah haji dari Indonesia. Kelompok ini semula merupakan Komite Hijaz, yang sesuai dengan kesepakatan awal memang akan berakhir namun bisa juga dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya NU di Indonesia (Laode, 1996 : 9). Komite Hijaz ini dibentuk di rumah Kiai Wahab Chasbullah di Surabaya pada 31 Januari 1926, ia merupakan juru bicara kalangan tradisi yang paling vokal pada Kongres Al Islam. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan megubah diri menjadi sebuah organisasi dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama. Pada tahun-tahun awal berdirinya, pertimbangan mengenai status Hijaz nampaknya tetap merupakan alasan tunggal kehadirannya (Bruinessen, 1994 : 34). 2. Tujuan NU Tujuan NU secara legal-formal dapat dilihat dalam anggaran dasarnya. Anggaran dasar formal NU, pertama kali dibuat pada Muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928. Anggaran dasar ini dibuat dengan tujuan mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda yang pembuatannya sesuai dengan undang-undang perhimpunan Belanda. Atas dasar anggaran dasar ini, NU diberi status berbadan hukum pada Februari 1930 (Bruinessen, 1994 : 42). Anggaran dasar ini tidak menyebutkan dengan sangat eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan 168
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
ajaran-ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Sebagai contoh dalam pasal 2 anggaran dasar NU disebutkan bahwa “Adapun maksud perkumpulan ini yaitu: Memegang dengan teguh pada salah satu dari mazhabnya imam ampat, yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyj-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-NU’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjdakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan Agama Islam” (Bruinessen : 1994 : 44). Dalam pasal 2 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa sikap berpegang teguh kepada salah satu dari emat mazhab merupakan ciri yang secara tegas membedakan kaum tradisionalis dengan kaum pembaharu. Dapat dikatakan bahwa anggaran dasar NU menekankan pada upaya melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum pembaharu. 3. Orientasi Gerakan NU Tujuan didirikannya NU adalah untuk memeperjuangkan berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah di tengah-tengah kehidupan didalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila. Setelah NU terbentuk sebagai sebagai organisasi, kiprahnya dibidang pendidikan melalui pondok-pondok, pesantren-pesantren, madrasah-madrasah tetap digalakkan. Misi utamanya adalah mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam yang menganut salah satu dari empat mazhab. NU yang semula berkedudukan di Surabaya, pada awalnya hanya memiliki pendukung atau jama’ah dari Jawa dan Madura. Tapi tampaknya NU berupaya memperoleh simpati dari masyarakat Islam, yang memang sempat diraihnya setelah perjuangannya melalui Komite Hijaz berhasil ditanggapi secara positif oleh Raja Sa’ud. Di sini basis gerakan yang menjadi orientasi adalah sosial keagamaan. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya, NU pernah juga menjadi organisasi politik (partai), yakni mulai tahun 1952 sampai tahun 1983 (Ridwan, 2004: 186). Namun dalam muktamar EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
169
Mustaqim
tahun 1983 di Situbondo, NU menyatakan kembali ke khittah 1926, artinya NU kembali pada orientasi awal organisasi, yakni organisasi sosial keagamaan (Feillard, 1999: 263). 4. Sekilas tentang Jam’iyyah NU Ranting Kedung Banteng Sebagaimana orientasi jam’iyyah NU pada umumnya, jam’iyyah NU Ranting Kedung Banteng mendasarkan orientasi gerakannya pada bidang sosial keagamaan. Meskipun secara historis tidak tercatat secara pasti kapan jam’iyyah ini berdiri, namun secara kultural peran dan kiprah jam’iyyah ini sangat signifikan dalam pembentukan tradisi beragama. Awalnya jam’iyyah ini merupakan perkumpulanperkumpulan non-formal keagamaan, yakni jam’iyyah tahlilan dan manakiban. Namun seiring dengan perkembangan organisasi modern, jam’iyyah ini berkembang menjadi jam’iyyah yang mempunyai kepengurusan secara formal. Selain itu, komunikasi dan koordinasi dengan kepengurusan di atasnya, yakni Majelis Wakil Cabang (MWC) Karanganyar menjadi sandaran organisatoris yang kuat. Sehingga, saat ini, jam’iyyah NU Ranting Kedung Banteng merupakan salah satu jam’iyyah paling aktif di wilayah MWC Karanganyar. Jam’iyyah NU Ranting Kedung Banteng mempunyai dua program rutin yang dilakukan setiap selapan (35 hari) sekali, yaitu : a. Program Senin Pahing. Program ini dilakukan setiap malam Senin Pahing, yang dilakukan di rumah anggota jam’iyyah secara bergilir. Adapun penentuan giliran berdasarkan undian yang disertai dengan arisan. Program ini merupakan forum koordinasi pengurus ranting tentang masalah-masalah organisasi. Namun sebelumnya diawali dengan ritual-ritual keagamaan. Program ini terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan, yaitu: 1). Tahlilan. Yaitu pembacaan tahlil, untuk mengirim doa pada ahli kubur. Ritual ini dipimpin oleh seorang kiayi. 2). Bacaan nariyah. Yaitu membaca sholawat nariyyah sebanyak 4444 kali, yang dibagi dengan sejumlah anggota 170
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
yang hadir. Jika dulu pembacaan nariyyah menggunakan alat berupa biji ”jagung” sebanyak 4444 biji, namun saat ini telah diganti dengan untaian tasbih. 3). Sambutan Pengurus. Merupakan sambutan dari Ketua Ranting atau yang mewakilinya. Biasanya berisi informasi-informasi keorganisasin dan sosial, yang di dapat dari pertemuan ataupun surat dari kepengurusan NU yang ada di atasnya. 4). Sarasehan. Kegitan ini berisi diskusi tentang berbagai persoalan sosial yang ada di lingkungan Dukuh Kedung Banteng. Termasuk dalam hal ini membahas tentang masalah tradisi agama yang sudah berjalan di masyarakat. Program Senin Pahing merupakan program strategis bagi pengurus untuk koordinasi tentang masalah-masalah faktual dan aktual yang ada di masyarakat. Namun tidak melepaskan ritual agama sebagai basis gerakan jam’iyyah. b Progam Lailatul Ijtima’ Program ini merupakan kegiatan pengajian rutin yang dilaksanakan di musholla-musholla (langgar) dan masjid secara bergilir. Program ini juga dilaksanakan selapan sekali, yakni pada hari rabu pahing. Namun hari pelaksanaan terkadang tidak bisa dipastikan, mengingat harus menyesuaikan dengan kepentingan pengurus dan musholla yang ditempati. Secara konseptual (Manual acara, penanggung jawab) acara ini di handle oleh Pengurus Ranting, namun secara teknis, diserahkan oleh pengurus musolla/ langgar/masjid yang bersangkutan. Jumlah masjid dan musholla di Dukuh Kedung Banteng terdiri dari 7 musholla dan 1 masjid. Meskipun sebenarnya ada satu musholla lagi, tapi karena dikelola oleh Muhammadiyah, sehingga tidak masuk dalam program NU ini. Jika program Senin Pahing merupakan program internal pengurus, maka program Lailatul Ijtima’ merupakan program sosial yang bisa diikuti oleh semua orang. Sehingga program ini merupakan program umum (publik), yang berkaitan dengan keagamaan. Adapun jenis-jenis ritul-kegiatan dalam program ini EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
171
Mustaqim
adalah sebagai berikut: 1). Sholat ghoib.Yaitu pelaksanaan sholat ghoib secara berjamaah kepada arwah warga nahdliyyin yang sudah meninggal. Sholat ghoib dilaksanakan baik ketika ada tokoh ataupun warga NU yang baru meninggal, meskipun tidak ada. Secara substansi, sholat ghaoib diperuntukkan untuk semua arwah warga nahdlityin yang baru meninggal, dimanapun dia berada. 2). Pembacaan arwah jama’.Sebelum pembacaan tahlil, panitia terlebih dahulu membacakan daftar arwah yang sudah didaftarkan oleh warga yang bersangkutan. Setiap warga diberi kesempatan untuk mengirim daftar arwah, dengan ketentuan setiap arwah harus bersedekah 1000 rupiah. Hasil pengumpulan uang sodaqoh tersebut diperuntukkan untuk operasional bagi musholla/masjid penyelenggara. 3). Pembacaan tahlil. Sebagaimana pada pembacaan tahlil secara umum, tahlilan dalam kegiatan ini dipimpin oleh seorang kiayi. Doa dalam tahlil harus menyertakan semua arwah yang telah dibaca dalam pembacaan arwah jama’. 4). Sambutan. Sambutan ini terdiri dari sambutan pengurus musholla, sambutan pengurus ranting dan terkadang juga pengurus MWC NU Karanganyar yang telah diundang. 5). Pengajian (mauidhoh hasanah). Merupakan puncak kegiatan, yang menghadirkan muballigh/da’i dari luar desa/daerah. B. Tradisi Mitung dina 1. Pengertian tradisi keberagamaan Secara etimologi (bahasa), tradisi berasal dari bahasa Latin traditio yang berarti “diteruskan”. Sedangkan dalam terjemahan bebas sering diartikan dengan kata kebiasaan, yaitu sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi 172
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi, baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-istiadat atau kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat. Dalam suatu masyarakat muncul semacam penilaian bahwa cara-cara yang sudah ada merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi belum ada alternatif lain. Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng. Selanjutnya dari konsep tradisi akan lahir istilah tradisional. Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai persoalan dalam masyarakat. Didalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau berpedoman pada nilai dan norma yang belaku dalam masyarakat. Dengan kata lain setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi. Sedangkan keberagamaan dapat diartikan sebagai pelaksanaan dari ajaran agama. Keberagamaan dalam hal ini meruang waktu, sesuai dengan setting sosial dan budaya ummat yang melaksanakan keberagamaan. Di sini, keberagamaan bersifat relative dan beragam. Tradisi keberagamaan merupakan tradisi agama yang dilakukan oleh komunitas masyarakat beragam secara terus menerus dan turun temurun. Semua prilaku keagamaan yang disandarkan pada ajaran agama, dalam hal ini termasuk pada keberagamaan. Dalam hal ini, tradisi mitung dina, atau rtual tujuh hari setelah kematian merupakan tradisi keberagamaan. Praktik pelaksanaan ritual ini, dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain sangatlah berbeda. Apalagi dalam konteks teknis pelaksanaan, sangatlah relatif. Boleh jadi teknis pelaksanaan tradisi mitung dina antara desa yang satu dengan desa yang lain berbeda. 2. Konsep tradisi mitung dina Meskipun secara teknis, pelaksanaan tradisi mitung dina sangatlah variatif, namun secara substansi, tradisi mitung dina mempunyai tujuan mendoakan bagi orang yang baru meninggal. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
173
Mustaqim
Bentuk doa dalam hal ini bisa berupa bacaan-bacaan Al-Qura’an dan kalimah thoyyibah, juga bisa berupa shodaqoh yang pahalanya diperuntukkan untuk orang yang meninggal. Karena merupakan tradisi keberagamaan, ritual ini mempunyai beberapa landasan ajaran Islam. Berikut ini akan dipaparkan beberapa dalil, yang mendasari pelaksanaan tradisi mitung dina. a. Membaca Al Quran Dalam masalah membaca al Quran dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia, para ulama’ berbeda pendapat mengenai sampai dan tidaknya pahala tersebut terhadap orang yang telah meninggal. Apabila yang membacakannya bukan dari anaknya atau kerabatnya (Basyunni, 2004: 278). Diantaranya adalah: § Menurut imam Syafi’i membaca Al Quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal pahala tersebut tidak sampai kepadanya. Karena perbuatan tersebut tidak dilakukan dan diusahakan mereka sendiri. Berdasarkan firman Allah SWT surat an Najm ayat 39, yang artinya:“Dan seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Biarpun demikian sebagian pengikut beliau justru berpendapat bahwa pahala membaca Al- Qur’an pahalanya sampai pada orang yang telah meninggal. Hal ini berdasarkan keterangan dari Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya, yang artinya: "Dan para ulama’ berbeda pendapat mengenai sampai dan tidaknya membaca Al-Qur’an ( kepada mayit), Menurut pendapat Madhab Syafi’i dan para pengikutnya bahwa pahala tersebut tidak akan sampai kepadanya. Berbeda dengan pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya serta sebagian ulama’ pengikut Syafi’I bahwa bacaan tersebut akan sampai kepada orang yang telah meninggal”. § Menurut Ibnu Taimiyyah, dalam masalah ini beliau berpendapat “sesungguhnya berbagai ibadah badaniyah seperti shalat, puasa dan membaca Al-Qur’an akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal sebagaimana bermanfaatnya ibadah yang berbentuk harta seperti shodaqoh dan lain sebagainya, dan hal tersebut selalu menjadi ketetapan seluruh ulama’ sebagaimana orang yang telah meninggal juga akan merasakan manfaat doa’ 174
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
dan permohonan ampun”. § Menurut Ibnu Qoyim dalam kitabnya Ar –Ruh, menjelaskan bahwa: “Hadiah yang paling utama umtuk mayit adalah shodakoh, ishtighfar, doa’ dan haji. Adapun mambaca Al-Qur’an dan menghadiahkan kepadanya secara sunah tanpa mengharap imbalan maka pahalanya juga sampai seperti halnya pahala puasa dan haji. Yang lebih utama ketika melakukan ibadah adakah dihadiahkan kepada mayit dan hal itu tidak disyaratkan dengan mengucapkannya” § Menurut Al-Dahlawi mengatakan termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati) adalah membaca surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan paling luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Diantara do’a Nabi saw. yang terkenal bagi mayat adalah (do’a yang artinya) “Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati di antara kami” (Hujjatullah Al-Balighah, juz II, hal. 93) b. Bershodaqoh Seluruh ulama’ sepakat bahwa pahala shodaqah tersebut bisa sampai kepada mayit hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW, yang artinya: “Dari sayidatina Aisyah r.a., bahwa ada seorang datang mennemuhi Nabi SAW, lalu bertanya “bahwa sanya ibu saya meninggal secara mendadak dan belum sempat berwasiat. Saya kira jika beliau dapat berbicara sebelumnya tentu beliau akan (berwasiat untuk) bershodaqoh. Apakah beliau akan mendapat pahala jika saya bershodaqoh untuknya?” jawab Nabi SAW “ya!”Hadiys diriwayatkan Bukhori, Muslim dan Nasai’I. (Shohih Muslim, 1983: 90). Dalam Hadits yang lain diriwayatkan sebagai berikut yang Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., beliau berkata : ibunya Saad Ibnu Ubadah meninggal, sedangkan ia sedang tidak ada (dirumah), lalu ia bertanya pada Rasulullah SAW “Apakah ada manfaatnya jika saya bershodaqoh untuk beliau?” Rasul menjawab.”Ya” lalu ia berkata “ Saya minta kesaksian dari engkau bahwa kebun saya aku shodaqohkan untuk beliau.” Hadits diriwayatkan oleh Nasa’i. (Sunan Nasai: 203) Beberapa dasar diatas, menjadi acuaan bagi pelaksanaan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
175
Mustaqim
tradisi mitung dina. Di kalangan warga nahdliyin, tradisi mitung dina menjadi sebuah ’platform’ tersendiri. tradisi ini sebagai rangkaian dari tradisi kematian lainnya, mulai nelung dina (tiga hari kenmatian), metang puluh dina (40 hari kematian), nyatus (100 hari kematian), mendak 1, 2 dan 3 ( satu tahun kematian, dilaksanakan selama 3 kali berturut-turut) dan nyewu (1000 hari kematian). Tradisi ini sudah populer di kalangan warga NU, dan menjadi tradisi keberagamaan yang selalu dilaksanakan. Acara mitung ndino atau acara tujuh hari dari kematian, biasanya di adakan acara yasinan atau tahlilan setiap malam dari hari pertama kematian seseorang sampai selama tujuh hari berturut-turut. Menurut cerita, di Indonesia dulu sebelum masuknya agama Islam banyak sekali orang-orang yang mempercayai bahwa pada hari pertama sampai ke tujuh, rohroh orang yang mati akan mengganggu orang kampung, maka untuk mengusir roh-roh yang mengganggu tersebut, mereka berkumpul dirumah si mati pada hari-hari tersebut, membuat sesajen dan membacakan mantera-mantera. Setelah Islam datang, tradisi tersebut oleh para Wali Songo digunakan sebagai alat dakwah. Tradisi tersebut tetap dibiarkan ada dan tidak sertamerta ditolak, tetapi sesajen diganti dengan sedekah makanan, sedangkan bacaan mantera-manteranya diganti dengan bacaan Yasin dan Tahlil. Kemudian oleh tokohtokoh Nahdlotul Ulama tradisi yang sudah berlangsung lama ini direspon dengan baik sebagai napak tilas pendahulunya yaitu Wali Songo Menurut Imam Suyuthi didalam kitab al-Hawi lil Fatawi, tradisi memberi sedekah makanan selama tujuh hari dari kematian ini merupakan kebiasan atau tradisi yang tetap berlaku hingga abad ke-9 Hijriyah di Makkah dan Madinah. Yang jelas tradisi itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi saw. Tradisi ini di ambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi saw). Imam Ahmad bin Hambal juga berkata dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, Juz 2, Hal 178, “Hasyim bin Qosim bercerita kepada kami, Ia berkata, Al-Asyja’i dari Sufyan bercerita kepada kami, Ia berkata, Thowus berkata “Orang yang meninggal dunia di uji selama tujuh hari didalam kubur. Maka para salafus sholih mensunahkan bersedekan makanan untuk mereka 176
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
yang meninggal dunia selama tujuh hari itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178). Adapun praktik pelaksanaan tradisi mitung dina, pada dasarnya adalah pembacaan tahlil secara berjamaah yang dilakukan oleh sanak keluarga dan tetangga yang meninggal. Bacaan tahlil merupakan seperangkat bacaan yang terdiri dari ayat al-quran, kalimah thayyibah dan bacaan dzikir. Formulasi bacaan tahlil inipun ada beberapa perbedaan dikalangan para kiayi dan ulama. IV. HASIL TEMUAN
§
Tradisi mitung dina di Dukuh Kedung Banteng mengalami perubahan secara teknis sekitar tahun 2005. Perubahan ini berarti membentuk pola baru dalam pelaksanaan tradisi mitung dina. Tradisi tahlilan selama tujuh hari berturut-turut ini kemudian dikenal dengan istilah ngejekno. § Ritual ngejeno terdiri dari dua ritual kegiatan, yaitu: 1. Pembacaan fida’ al kubro. Yakni pembacaan Surat al-Ikhlash sebanyak 100.000 kali secara berjamaah. Fida’ secara bahasa berarti tebusan. Fida’ didasarkan dari tuntunan sebuah hadist Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal. 140) Penghitungan ini biasanya berupa batu kecil (kerikil) yang telah dibersihkan, kemudian dibungkus sebanyak 25 biji kedalam plastik. Satu bungkus plastik ini kemudian diberikan pada masing-masing orang yang ngejekno. 2. Pembacaan tahlil. Sebagaimana pembacaan tahlil secara berjamaah pada umumnya, tahlilan ini dipimpin oleh seorang kiayi kampung. § Latar belakang perubahan teknis ngejekno ini adalah analisis EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
177
Mustaqim
para pengurus jam’iyyah terhadap realitas masyarakat sosial, di mana tradisi mitung dina yang model lama dirasa memberatkan bagi keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Indikator memberatkan dalam hal ini berupa pemberian sodaqoh kepada orang yang ngejekno pada setiap malamnya selama 7 hari. Adapun sodaqoh itu berupa: a. Berkat, yakni paket nasi, lauk dan jajan yang biasanya dibungkus kardus nasi ataupun keranjang nasi (cething). Berkat ini diberikan ketika nelung dina (3 hari kematian) dan mitung dina (tujuh hari kematian). Padahal jumlah orang yang ngejekno biasanya sekitar 200 an orang. b. Jaminan (jajan/makanan ringan), yakni suguhan yang diberikan kepada orang yang ngejekno setelah selesai. Jaminan ini diberikan selama 7 hari, namun untuk hari ke3 dan ke 7 biasanya satu paket dengan berkat. c. Uang (wajib), yakni uang yang diberikan kepada orang yang ngejekno pada hari ketujuh. Masyarakat mengistilahkan uang ini sebagai ’wajib”. Kurang diketahui, apakah istilah ini sama dengan pengertian ”wajib” dalam hukum fikih. Sodaqoh ini dulu berkisar antara Rp. 2000,- sampai Rp. 10.000,- disesuaikan dengan kemampuan keluarga yang meninggal. Sodaqoh ini oleh masyarakat, khusunya bagi keluarga yang kurang mampu dianggap memberatkan. Sehingga menjadi pembahasan dalam jam’iyyah Senin Pahing. § Atas dasar masukan dari masyarakat maka rapat dalam jam’iyyah Senin Pahing akhirnya mengeluarkan sebuah keputusan tentang tradisi ngejekno ini. Keputusan ini sampai sekarang berlaku, dan menggeser tradisi ngejekno yang lama. Apapun hasil keputusan tersebut adalah sebagai berikut: § Tradisi ngejekno, secara umum dilakukan selama 3 hari. Artinya masyarakat akan melaksanakan ngejekno hanya selama 3 hari (nelung dina). Dan ngejekno ini bersifat bebas jaminan, artinya keluarga tidak boleh memberikan jaminan, baik makanan maupun jajan kepada orang yang ngajekno. Kecuali pada hari ketiga, maka keluarga diperbolehkan untuk mengeluarkan sodaqoh semampunya. Dalam hal ini, ada yang berupa berkat, ada yang berupa makanan (satu porsi makanan, yang dimakan 178
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Peran Jam’iyyah Ijtima’iyyah dalam Pembentukan Tradisi
di situ), ada pula yang memberikan jajanan, yakni satu paket jajan yang dibungkus dalam plastik ataupun kerdus snake. § Jika keluarga yang meninggal menginginkan untuk melanjutkan ngejekno sampai hari ketujuh (mitung dina), maka keluarga korban harus mengundang sendiri orang-orang yang diinginkan. Dalam hal ini, jam’iyyah NU sudah tidak punya kewajiban untuk ngejekno. Apapun bagi orang yang diundang, maka penghormatan tamu berupa sodaqoh menjadi hak tuan rumah. Dan biasanya pada hari ke enam, tamu yang diundang dapat uang ”wajib”. Mengenai jumlah orang yang diundang, ini tergantung pada keinginan keluarga. § Meskipun perubahan tradisi ini terkadang masih mengalami beberaga persoalan, tapi dengan perubahan tradisi ini setidaknya memberi kemudaan bagi keluarga yang ditinggal. Sehingga, keluarga yang ditinggal mati oleh anggota keluarganya, tidak terbebani oleh sebuah tradisi keberagamaan. Sebagaimana beberapa tradisi yang masih berlaku, baik pada agama Islam maupun agama lain, ritual pasca kematian seringkali menjadi beban tersendiri bagi keluarga. Dengan adanya perubahan tradisi ini, setidaknya meluruskan anggapan bahwa syariat agama (Islam) itu tidak boleh membenani bagi ummat Islam. Sebagaimana bunyi sebuah kaidah fiqh ”al masyaqqot tajlibu bi al-taisir” (kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan). Karena pada dasarnya, agama Islam itu menghendaki kemudahan, sebagaimana firman Allah SWT ”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (AlBaqarah: 185). V. KESIMPULAN Dari paparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: • Jam’iyyah Nahdlotul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang masih mengakomodir tradisi-tradisi yang ada di masyarakat. • Tradisi keberagamaan merupakan kebiasaan yang terus menerus dilakukan, yang didasarkan pada ajaran agama. Tradisi keberagamaan bersifat relatif, meruang waktu dan beragam. Tradisi mitung dina merupakan salah satu tradisi EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
179
Mustaqim
kaum Nahdliyah yang masih berlaku saat ini. Sebagai bagian dari keberagamaan, secara teknis pelaksanaan tradisi ini pun beragam dan bervariasi. • Tradisi mitung dina di Dukuh Kedung Banteng Kecamatan Karanganyar mengalami perubahan secara teknis, atas pertimbangan kepentingan masyarakat yang ada. • Jamiyah NU ranting Kedung Banteng berperan secara aktif dalam perubahan tradisi ke arah yang mudah dan tidak memberatkan. Di sini, sebuah tradisi bisa dibentuk dan dibangun melalui organisasi atau lembaga sosial yang ada di masyarakat. VI. PENUTUP Demikian penelitian ini disajikan. Tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan baik secara redaksional maupun substansi. Saran dan masukan pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Kami ucapkan terima kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. Tak lupa permohonan maaf atas kenaifan dan kekurangan dalam penelitian ini. Semoga mampu memberi manfaat.Amin.
180
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
DAFTAR PUSTAKA
Andre Feillard, NU Vis a Vis Negara, Yogyakarta: LKIS, 1999. http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama/26 oktober 2010 http://jalius12.wordpress.com/2009/10/06/tradisional/26 oktober 2010 http://masdodod.wordpress.com/2009/01/20/catatan-pentingtentang-tahlilan/27 oktober 2010 Kartini Kartono, Pengantar Metode Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju, 1999. Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam, dan Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKIS, 1994. Moh. Natsir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah Cet VI, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Ridwan, Paradigma Politik NU:Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Shohih Muslim, Beirut: Dar Fikr, 1983. Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI, 1982. Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta, 2008. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
181
Mustaqim
Jakarta: Bina Aksara, 2002. Sunan Nasai, Semarang: Toha Putra. Syaikh Muhammad Bayumi, Fikih Jinayah, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2004.
182
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
PEMBAGIAN HARTA KEKAYAAN OLEH KOMUNITAS SANTRI STUDI DI DESA TANGGUNGHARJO KECAMATAN GROBOGAN
Oleh : Drs. H. Yasin, M.Ag
Abstrak Penelitian yang tujuan akhirnya ingin mengetahui model-model pembagian harta kekayaan orang tua kepada anak-cucu dengan judul “Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri: studi di desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan” ini menggunakan metode kualitatif, suatu metode yang diharapkan dapat mengungkap halhal yang berada di belakang fenomena yang nampak di permukaan. Beberapa tokoh masyarakat yang ditemui dan dimintai informasi sekitar focus kajian dirasa cukup kompeten dalam menjawab masalah yang diangkat. Para tokoh yang dijadikan nara sumber itu di samping mengalami sendiri juga kaya dengan pengalaman pembagian harta kekayaan masyarakat sekitar sebagai orang tua kepada ahli waris terutama anak-anak dan cucunya. Artinya para informan yang menjadi nara sumber itu pernah melakukan pembagian harta kekayaannya kepada ahli warisnya, juga pernah menerima pembagian harta dari orang tuanya. Hasil penelitian dimaksud adalah : 1. Bahwa komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan dalam membagi harta peninggalan pewaris lebih cenderung menggunakan model musyawarah. Musyawarah keluarga itu dihadiri oleh seluruh anggota keluarga dekat yang ada dan berpotensi mendapatkan bagian dari harta peninggalan itu. Pembagian model musyawarah ini ada yang dengan menghadirkan seorang tokoh masyarakat ada yang tanpa kehadiran tokoh masyarakat (kyai). Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bahwa meskipun tokoh yang dihadirkan itu seorang kyai, dan atas dasar musyawarah, namun pembagian EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
183
H. Yasin
2 : 1 antara anak laki dan perempuan sering atau bahkan selalu dikesampingkan. Artinya bagian anak laki-laki dan anak perempuan itu sama 1 : 1. Alasannya adalah bahwa kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan itu sama, bahkan kontribusi anak perempuan terhadap penyelesaian pekerjaan rumah tangga dirasa lebih banyak, terutama bagi masyarakat desa seperti Tanggungharjo. Ungkapan ”sepikul segendongan” (perbandingan 2:1) dalam pembagian harta waris ternyata telah terkubur dalam pelaksanaan. 2. Masih ada satu model lagi dalam proses pengalihan harta kekayaan kepada para ahli waris, yaitu pembagian sebelum pewaris meninggal dunia, sehingga saat pewaris meninggal, harta telah habis terbagi atau tinggal sedikit. Argumen yang dapat digali dari lapangan menunjukkan bahwa model terakhir inilah yang dirasa dapat menyelesaikan masalah yang sering timbul di antara anggota keluarga. Jika dengan musyawarah ini, persoalan tak dapat diselesaikan, komunitas santri desa Tanggungharjo lebih cenderung menyerahkan penyelesaian masalah mereka ke Pengadilan Negeri, meskipun penyelesaian lewat lembaga Peradilan ini lebih sering tidak menguntungkan para pihak yang bersengketa, untuk tidak mengatakan “malah rugi”. Pengalihan kewenangan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa waris komunitas santri pasca UU No. 3 Tahun 2006 belum banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya. Kata Kunci: Model, Harta, Ahli waris, penyelesaian.
A. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini diilhami oleh suatu kegelisahan akademik yang dirasakan oleh peneliti sehubungan dengan kesenjangan antara teori dan realita di kalangan komunitas santri yang peduli dengan hukum Islam terutama yang berhubungan dengan harta benda. Kegelisahan dimaksud bermula dari teori-teori hasil temuan para pakar hukum Islam yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi. Sebut saja misalnya, teori Van den Berg sebagaimana dikutip oleh Bustanul Arifin yang meyatakan bahwa umat Islam di Indonesia selama ini melaksanakan hukum Islam meskipun ada sedikit penyimpangan (Bustanul Arifin, 2001: 36); teori Ichtiyanto sebagai lanjutan dari penemuan Hazairin menyatakan bahwa hukum Islam itu “ada” di Indonesia, teori eksistensi ini menyatakan bahwa hukum Islam di Indonesia ini ada 184
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
dalam arti merupakan bagian integral dari, sebagai bahan penyaring bahan-bahan, diakui kemandiriannya dan diberi status sebagai, serta sebagai bahan dan unsur utama dalam pembentukan hukum nasional (Ichtiyanto, 1990: 79). Sementara itu H.M. Tahir Azhary menyampaikan teorinya “konsentris”, yakni bahwa antara agama, hukum dan Negara mempunyai hubungan yang apabila disatukan akan membentuk lingkaran konsentris dan merupakan satu kesatuan serta saling membutuhkan (Tahir Azhary, 1992: 43) Berikutnya Teori Penerimaan Autorita Hukum: teori ini menyatakan bahwa seseorang yang telah menyatakan dan menerima bahwa Islam sebagai agamanya, maka semua norma yang ada pada ajaran Islam memiliki otoritas, kekuasaan untuk memaksa orang itu untuk melaksanakan ajarannya (H.A.R Gibb, 1993: 85) meskipun bentuk paksaan sebuah ajaran terhadap pemeluknya masih perlu dipertanyakan, kecuali atas dasar kepercayaan dan keimanan. Di pihak lain ada teori yang dikemukakan oleh tokoh lain yang sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan teori-teori di atas. Yang terakhir ini misalnya teori yang ditemukan oleh Snouck Hurgronje, yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat dianggap digunakan dan dilaksanakan bagi umat Islam Indonesia manakala ia telah diserap oleh hukum adat. Artinya hukum Islam yang belum diterima oleh adat dan menjadi tradisi masyarakat tidak dapat digunakan sebagai alat dan norma hukum untuk menyelesaikan masalah yang menjadi sengketa dalam komunitas santri yang mengajukan perkaranya dalam rangka mencari keadilan, kecuali jika hakim yang menyelesaikan perkara itu memperhatikan nilai dan norma hukum yang hiduip di masyarakat itu. Dalam proses penyelesaian perkara hakim tidak boleh hanya menemukan norma hukum yang telah ada dalam Undang-undang sebagai hukum materiil pengadilan itu. Hakim harus menggali dan memperhatikan rasa keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat bersangkutan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penggunaannya oleh masyarakat yang membutuhkan ditetapkan melalui instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun 1991 tidak dapat mengangkat kedudukan norma hukum Islam yang tertuang di dalamnya menjadi “hukum tertulis”, KHI tetap sebagai hukum yang tidak tertulis, meskipun materi hukum Islam ini telah EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
185
H. Yasin
dikumpulkan dalam sebuah buku serta proses pengumpulannya memerlukan waktu yang cukup panjang, serta metode yang bervariasi. Metode penelitian pandangan para ulama masa lalu dilakukan dengan library research. Materi-materi yang berhubungan dengan masalah perkawinan, kewarisan serta masalah sedekah dan wakaf diteliti melalui penelusuran pada kitab-kitab karya ulama ratusan tahun yang lalu. Metode perbandingan juga digunakan untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana materi hukum Islam dijadikan sebagai norma hukum tertulis di beberapa Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di samping dua metode tersebut di atas, metode wawancara juga dimanfaatkan, wawancara dilakukan kepada beberapa tokoh / ulama yang diyakini mengerti bagaimana sesungguhnya norma hukum yang dilaksanakan oleh komunitas santri. Namun nampaknya metode yang terakhir ini kurang dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam proses penyatuan norma hukum Islam yang akan diberlakukan kepada komunitas santri di Indonesia. Ini dapat dilihat bahwa para ulama yang diwawancarai tidak ada yang mengangkat norma mana yang sesungguhnya berlaku dan hidup di komunitas santri, utamanya dalam bidang kewarisan oleh komunitas santri Jawa. Dalam bidang kewarisan ini, jawaban para informan yang terdiri dari para ulama sesuai dengan pandangan ulama yang termaktub dalam karya-karya mereka. Artinya jawaban ulama itu lebih mengarah pada bagaimana norma hukum itu “seharusnya” berlaku bagi umat muslim, tanpa mengungkap bagaimana norma hukum yang “sesungguhnya hidup” di komunitas santri tempat para tokoh itu berada. Hal ini dapat dimengerti karena sangat mungkin para ulama dan tokoh masyarakat itu kurang mengerti norma mana yang sesungguhnya hidup di komunitas santri tersebut. Di sini letak ketidaksinkronan antara yang dikehendaki para pembina hukum nasional dengan para tokoh yang diwawancarai. Hasil wawancara akan menjadi lain jika yang diwawancarai adalahparabirokratdesayangselalumendapatlaporanpembagianharta waris pasca pembagian yang dilakukan oleh para ahli waris. Meskipun harus diakui bahwa hakim agama hampir selalu memanfaatkan KHI ini - sejak diinstruksikan penyebaran dan penggunaannya oleh Presiden Soeharto bagi yang ingin menggunakannya - dalam proses penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya. Dengan ungkapan lain kedudukan KHI tetap sama dengan norma hukum tidak tertulis lainnya, seperti norma hukum adat. 186
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
Dua arus besar teori tersebut di atas membuat peneliti bergegas mengadakan penelitian untuk memastikan bagaimana sesungguhnya realita di lapangan. Hukum Islam yang termaktub dalam KHI buku I tentang perkawinan harus kita akui bahwa komunitas santri di Indonesia benar-benar menaatinya. Ini terbukti komunitas santri yang berkehendak melaksanakan pernikahan selalu mencari tahu apa saja yang harus dipenuhi untuk mengadakan akad tersebut menurut hukum Islam.1Demikian juga, aturan tentang wakaf yang tertuang dalam buku III KHI, komunitas santri juga telah sadar untuk menyelamatkan harta wakaf umat Islam dengan mengajukan pensertifikatannya2 sebagai bukti fisik eksistensi harta wakaf itu. Info resmi dari sekretaris desa “semua tanah wakaf di desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan ini telah bersertifikat” baik itu mushalla, masjid atau bangunan untuk pendidikaan. (Wawancara dengan sekdes pada tanggal 09 September 2009), Di dua bidang tersebut, hukum Islam memang telah merupakan hukum yang hidup di komunitas santri di Indonesia. Sementara penelitian lapangan tentang pelaksanaan norma hukum di bidang kewarisan yang termaktup dalam KHI buku II, belum banyak tersentuh. DipilihnyadesaTanggungharjokecamatanGrobogankabupaten Grobogan sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa secara geografis kabupaten ini merupakan wilayah persimpangan dan sekaligus pertemuan Islam santri dan Islam kejawen. Islam santri 1. Khusus di desa Tanggungharjo, tempat penelitian ini dilak kan, pernikahan secara diam-diam yang menurut istilah yang berkembang di masyarakat disebut “nikah sirri” hamper tidak ada. Disebut hamper tidak ada karena kurang lebih sudah 15 tahun yang lalu atau 4 tahun setelah KHI diresmikan penggunaannya pernah terjadi ada seorang gadis yang diketahui telah hamil sebelum nikah, dan laki-laki yang menghamilinya siap bertanggungjawab dengan menikahinya, namun karena laki-laki ini masih dalam proses pendidikan sebagai calon anggota ABRI, yang menurut regulasi yang ditetapkan tidak boleh menikah sebelum pendidikan selesai, maka nikah dilakukan secara sirri, tanpa pencatatan oleh Pegawai pencatat nikah. Sayangnya sesaat setelah pendidikan selesai, lakilaki calon ABRI ini tidak menepati janjinya. Berita itupun sangat cepat menyebar di seluruh penjuru desa tersebut. Dampak negatifnya pasti ada utamanya bagi keluarga gadis yang dinikah secara sirri itu. Namun dampak positifnya ternyata juga ada, yakni bahwa para orang tua di desa tersebut tidak bersedia menikahkan anak gadisnya secara sirri, karena takut akan dikecewakan oleh calon menantu laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Artinya sejak 1995 yang lalu pernikahan secara sirri di desa Tanggungharjo tidak pernah terjadi lagi. 2 . EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
187
H. Yasin
berada di daerah Demak dan Kudus yang merupakan batas sebelah barat dan barat laut wilayah Grobogan sementara daerah Pati dan Rembang berada di sebelah utara dan timur laut kabupaten yang unik itu. Daerah-daerah tersebut merupakan lumbung dan lambang Islam santri sedang di sebelah selatan, Grobogan berdekatan dengan Surakarta, lambang supremasi Islam kejawen. Pertemuan atau konflik (meminjam istilah Bustanul Arifin) dua nilai atau lebih menurut teori antropologi hukum akan selesai dengan wajar. Jika masyarakat menganggap nilai baru yang datang sebagai nilai yang cocok dengan budaya dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat itu, maka masyarakat bersangkutan akan menerimanya dengan senang hati. Namun jika masyarakat menganggap bahwa nilai-nilai yang datang belakangan itu tidak sesuai dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat itu, maka nilai itu dibiarkan, mereka hanya tidak memakainya. Inilah arti wajar dalam pertemuan dua nilai atau lebih. Masyarakat mempunyai daya serap dan daya penyesuaian terhadap konflik-konflik sistem nilai tersebut. Norma hukum adat merupakan nilai yang paling awal mendampingi orang Jawa sejak sebelum norma hukum ajaran Islam dan kolonial Belanda datang ke bumi nusantara ini. Kehadiran agama Islam dengan ajaran yang penuh toleransi dengan cepat dapat beradaptasi dengan norma-norma yang ada sebelumnya. Islam membiarkan norma-norma masyarakat itu berkomunikasi dan berkumpul. Masyarakat dipersilakan memahami, menilai, dan menentukan pilihan nilai mana yang dijadikan sebagai norma hukum yang akan mengatur perilaku mereka dalam mengarungi kehidupan mareka sehari-hari. Sesuai teori pertemuan / konflik nilai, sesbenarnya kehadiran norma hukum BW yang dibawa oleh pemerintah Belanda juga akan berlaku teori itu. Namun karena pertemuan nilai yang terakhir ini direkayasa dengan menggunakan sarana kekuasaan, maka konflik tidak dapat dihindari, karena pertemuannya tidak berjalan secara alami, yang ujungnya tidak dapat selesai dengan wajar. Penggunaan kekuasaan untuk memberlakukan BW di kalangan seluruh rakyat Indonesia Aturan peralihan harta kekayaan oleh orang Jawa baik yang beragama Islam ataupun tidak dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan bagian dari norma hukum yang ada di antara mereka. Kenyataan di lapangan menunjukkan semakin kuatnya teori 188
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
Qodri Azizy bahwa ada tiga sistem hukum yang benar-benar ada di lingkungan orang Jawa itu, yakni norma hukum BW, Islam dan adat. Tiga sistem hukum ini saling berebut di hati masyarakat Jawa. Penelitian ini ingin mengkaji peralihan harta kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya oleh komunitas santri di desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Agar tidak terjadi salah pemahaman, di bawah ini akan diuraikan beberapa term pada judul yang sangat mungkin para pembaca salah mengerti. Istilah “komunitas santri” dalam penelitian ini ditujukan pada sebuah komunitas muslim yang taat menjalankan ajaran agama dengan indikator aktif melakukan shalat lima waktu dan aktif menjalankan puasa pada bulan Ramadhan. Dengan demikian maksud judul di atas adalah kajian ilmiah dan sistematis yang pokok bahasannya pada pelaksanaan pembagian harta waris kepada ahli warisnya yang dilakukan oleh komunitas muslim, aktif menjalankan shalat lima waktu serta menjalankan puasa Ramadhan, dan sebagai penduduk asli desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan Jawa Tengah serta masih berdomisili di desa tersebut sampai saat penelitian ini dilakukan. 1.2. Rumusan Masalah Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Bagaimana model penyelesaian masalah kewarisan yang dilaksanakan komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan Jawa Tengah b. Mengapa masyarakat tersebut lebih cenderung menggunakan model tertentu dalam pembagian harta waris 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara spesifik ingin mengetahui : a. Model penyelesaian masalah kewarisan yang dilaksanakan oleh komunitas santri desa tersebut b. Alasan mengapa komunitas santri desa tersebut lebih cenderung memilih model tertentu dalam pembagian harta waris 1.4. Manfaat Penelitian Fenomena sosial yang terkait dengan dunia komunitas santri masih mengandung banyak misteri. yang belum terungkap seluruhnya EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
189
H. Yasin
melalui kajian teoritis maupun penelitian empiris. Karena itu, penelitian ini dipandang memiliki signifikansi dalam upaya menggali dan memahami lebih mendalam sebagian dari misteri dan permasalahan khususnya pada komunitas santri dalam proses pembagian harta waris yang menjadi model dan didasari atas kesadaran mereka. Manfaat praktis dari penelitian ini terutama terletak pada posisi penelitian sebagai kajian sosiologis yang terfokus pada kegiatan pembagian harta waris oleh komunitas santri sebagai bagian dari komunitas santri yang tentu memiliki makna penting dan strategis dalam upaya pembinaan hukum nasional. Para hakim agama juga dapat memanfaatkan hasil kajian ini terutama dalam menangani dan menyelesaikan kasus sengketa pembagian harta waris di komunitas santri tempat penelitian ini dilakukan dan tempat lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan komunitas tersebut. Hal ini penting karena hakim dalam memutus perkara / sengketa yang harus diselesaikan tidak boleh hanya berdasar pada norma hukum yang tertulis tanpa memperhatikan rasa keadilan dan norma hukum yang hidup di masyarakat tempat para pihak berada. Manfaat teoritis penelitian ini terletak pada sumbangan yang diberikan dalam bentuk pengembangan atau koreksi terhadap teori-teori yang berkaitan dengan hukum Islam, khususnya hukum kewarisan, terutama teori sosiologi hukum setelah dihubungkan dengan teori eksistensi hukum Islam Ichtiyanto dan teori eklektisisme Qadri Azizi, dalam bentuk interpretatif, khususnya mengenai makna pemilihan tindakan pemilihan sistem hukum pembagian harta waris oleh komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan Jawa Tengah, penentuan pilihan tindakan, dan nilai-nilai yang menjadi orientasi tindakan mereka, yang dalam banyak penelitian cenderung terlewati. Karena itu penelitian ini juga ingin menggali makna pilihan tindakan ahli waris dalam proses pembagian harta waris, yang pada hakikatnya merupakan “perantara” dalam hubungan dua fakta, yaitu harta waris sebagai fakta 1 di satu sisi, dan tindakan ahli waris, sebagai fakta 2 di sisi lain. B. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL 2.1. Kajian Pustaka Kajian pustaka dalam setiap karya penelitian sesungguhnya diperlukan di samping untuk memperluas wawasan si peneliti, 190
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
yang justru lebih penting adalah untuk menunjukkan posisi masalah penelitian yang akan dikaji di antara penelitian-penelitian yang telah ada itu. Ada beberapa karya yang membicarakan tentang pembagian harta waris yang ditulis atas dasar penelitian. Pertama, hasil karya M. Djupri Syahro3 dengan judul “ Pengaruh Hukum Islam dalam Penyelesaian Masalah Kewarisan di Palembang” Karya ini ditulis pada tahun 1993 di IAIN Raden Patah Pelembang dan tidak diterbitkan. Skripsi ini menjelaskan bahwa masyarakat Palembang masih banyak yang terlambat atau sengaja menunda pembagian harta waris. Kedua, tulisan M. Syakroni dengan judul “Sistem Kewarisan Masyarakat Palembang”. Karya ini merupakan hasil penelitian di IAIN Raden Fatah Palembang juga. Jika yang pertama dilakukan oleh seorang mahasiswa dalam rangka penyelesaian studinya di S.1, sementara yang kedua ini dilakukan oleh seorang dosen, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 1990 dan dalam laporannya diungkapkan bahwa masyarakat Palembang dalam menyelesaikan pembagian harta terbagi dua, yaitu ada harta waris yang langsung dapat dibagi dan ada harta waris yang pembagiannya ditunda. Ketiga, hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdullah Syah dengan judul “ Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Kewarisan Suku Melayu di Kecamatan Tanjung Pura Langkat”. Laporan yang merupakan penelitian yang ditulis di IAIN Sarif Hidayatullah Jakarta ini di samping membuktikan adanya integrasi antara hukum Islam dan hukum adat, juga mengurai meskipun tidak panjang lebar, masalah penundaan pembagian harta waris untuk menjaga hubungan silaturrahim di antara keluarga. Keempat, tulisan Amir Syarifuddin dengan judul “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau”. Dalam buku itu disebutkan pula keterlambatan pembagian harta waris pencarian di Minangkabau. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat Minangkabau yang menunda pembagian harta waris mencapai 50,2 %. Kelima, hasil penelitian dalam rangka penyelesaian studi S.3 3. Pembaca dipersilakan membaca buku karya Syakroni, Konflik Harta Warisan: Akar Permasalahan dan Metode Penyelesaian dalam Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, h. 5-6. Buku ini berasal dari tesis yang berjudul “Penundaan Pembagian Harta Warisan dalam Perspektif Hukum Islam” yang diajukan untuk melengkapi penyelesaian studi S.2 di IAIN Ar-Raniri Banda Aceh. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
191
H. Yasin
(disetasi) yang dilakukan oleh Otje Salman, penelitian ini dilaksanakan di wilayah Cirebon pada tahun 1990. Dalam kesimpulan laporannya, dikemukakan bahwa hukum waris yang berlaku dalam masyarakat Cirebon adalah hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris (KUH Perdata Indonesia); dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris yang berlaku relatif rendah. Keenam, karya Zaenuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, 2008. Yang terakhir ini merupakan penelitian di kabupaten Donggala. Dalam laporannya, pembagian harta waris oleh komunitas santri kabupaten Donggala di luar pengadilan agama terdapat tiga (3) bentuk pelaksanaan, yaitu (1) pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri. (Zainuddin Ali, 2008: 154) Penelitian lapangan dalam bidang kewarisan di Jawa Tengah masih sangat langka untuk tidak mengatakan tidak ada. Sedang penelitian ini akan memfokuskan kajiannya pada tingkat kesadaran komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan terhadap norma hukum waris. Kearah manakah kecenderungan kesadaran hukum komunitas tersebut dalam proses menyelesaikan masalah kewarisan. Hukum manakah sesungguhnya yang hidup di komunitas santri tersebut. 2.2. Kerangka Konseptual Untuk mengetahui hukum mana yang merupakan cerminan kesadaran hukum komunitas santri masa kini dan untuk masa akan datang, perlu dilakukan penelitian yang mendalam secara berkesinambungan. Hukum bukan saja merupakan gejala normatif, melainkan juga merupakan gejala sosial atau empiris. Hal tersebut diketahui dari pengertian hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu:" Jika hukum kita artikan dalam artinya yang luas maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Kata “asas-asas dan kaidah-kaidah” menunjukkan hukum sebagai gejala normative, sedang kata “lembaga-lembaga dan prosesproses” menunjukkan hukum sebagai sosial. Dengan lain ungkapan 192
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
pendekatan yang normative saja dalam mengkaji sebuah hukum dirasa tidak cukup. Pendekatan hukum sebagai gejala sosial juga sangat dibutuhkan.
Beberapa teori yang digunakan dalam kerangka penelitian ini, sebagai landasan pemikiran dan alat analisis, adalah sebagai berikut. Teori Pertemuan Nilai Teori ini pada hakikatnya merupakan teori yang menyangkut kebudayaan dan perubahan sosial atau lebih tepatnya teori tentang hukum dan perubahan sosial. Para antropolog dan sosiolog sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto menyatakan bahwa proses pembaharuan (perubahan) terjadi apabila dua kebudayaan (atau lebih) berhubungan. Pembaharuan terjadi bukan semata-mata karena terjadi proses peniruan atau pemaksaan, akan tetapi juga karena alam pikiran menjadi lebih terbuka, hal mana berarti kemungkinan terjadinya hal-hal baru juga sangat banyak. Sebelum terjadinya hubungan tadi, alam pikiran warga-warga masyarakat hanya terbatas pada pikiran masyarakat serta kebuyaannya sendiri. Norma hukum yang baru mungkin timbul sebagai akibat terjadinya kontak kebudayaan tersebut oleh karena dengan terjadinya hubungan, diketahui pula unsur-unsur yang baik dari kebudayaan lain maupun kekurangankekurangnannya.(Soerjono Soekanto, 1997: 96) Setelah warga masyarakat mengetahui unsur kelebihan dan kekurangan kebudayaan lain, maka proses berikutnya mereka akan menentukan pilihan. Hal ini sejalan dengan pandangan Bustanul Arifin yang mengatakan bahwa pertemuan dua nilai atau lebih, akan diakhiri dengan damai. Jika dihubungkan dengan focus kajian dalam rancangan penelitian ini, maka penentuan warga masyarakat (komunitas santri) diarahkan pada model pembagian harta waris yang menjadi kesadaran mereka. Komunitas santri akan menentukan pilihannya dari tiga sistem nilai (adat, Islam dan BW) yang ada dalam masyarakat. Komunitas santri setelah banyak berhubungan dengan komunitas lain dapat saja memilih sistem hukum Islam untuk menyelesaikan masalah pembagian harta waris, karena inilah yang dianggap paling cocok dengan eksistensinya sebagai seorang muslim. Tetapi juga tidak mustahil mereka justru lebih memilih sistem hukum BW, karena hukum inilah yang mereka anggap lebih mencerminkan keadilan. Bagi komunitas santri yang kebetulan termasuk orang jawa, dapat juga mereka tetap memilih hukum adat sebagai norma hukum yang dianggapnya lebih tepat bagi orang Jawa. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
193
H. Yasin
Teori hukum yang hidup
Pandangan Soepomo tentang hukum adat adalah "suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, serta hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya." (Soepomo, 1983: 7) Temuan Soepomo tersebut bila ditelusuri lebih lanjut akan ditemukan bahwa pandangannya itu dilandasi pemikiran F.C. von Savigny dengan mazhab sejarah dan kebudayaannya sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto. Dari situ dapat dimengerti bahwa hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Dalam bahasa Friedrich Carl von Savigny, hal tersebut disebut Volksgeist Oiwa bangsa). Volksgeist berbeda-beda menurut tempat dan zaman, yang dinyatakan dalam bahasa adat-istiadat dan organisasi sosial rakyat. Hukum adat tidak saja merupakan adat-adat yang mempunyai akibat-akibat hukum, atau keputusan-keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat, karena antara adat yang mempunyai
akibat hukum dan yang tidak mempunyai akibat hukum tidak ada pemisahan yang tegas. Dengan kata lain bahwa setiap kebiasaan yang kemudian menjadi perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari merupakan adat atau hukum adat. (Sorjono Soekanto, 1982: 36-37) Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Soepomo, yaitu: ……dalam penelitian hukum adat yang menentukan bukan banyaknya perbuatan-perbuatan yang terjadi, meskipun jumlah itu adalah panting sebagai petunjuk bahwa perbuatan itu adalah dirasakan sebagai hal yang diharuskan oleh masyarakat. Meskipun jumlah perbuatan yang sama di dalam daerah yang bersangkutan itu hanya ada dua, apabila perbuatan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai hal yang memang sudah seharusnya, maka dari dua fakta itu sudah dapat ditarik kesimpulan adanya suatu norma hukum." (Soepomo, 1983: 33)
bahwa:
Atas pemikiran Soepomo tersebut, Soerjono Soekanto mengatakan Pendapat Soepomo di atas perlu digarisbawahi oleh karena me nunjukkan dari sumber manakah hukum adat dapat diungkapkan, yaitu dari masyarakat dan dari pemimpin-pemimpinnya. Ada ke cenderungan bahwa data yang diperoleh dari pemimpin-pemimpin itu terutama menyangkut hal-hal ideal, yang menurut tradisi perlu dipertahankan. Oleh karenanya, data itu perlu sekali dilengkapi dengan informasi yang secara langsung diperoleh dari warga ma
194
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
syarakat biasa. Sementara itu, Mochtar Kusumaatmadja dengan bahasa yang lain mengemukakan pandangannya bahwa hukum bukan saja merupakan gejala normatif, melainkan juga merupakan gejala sosial atau empirik (Mochtar Kusumatmadja, 1975: 11).
Tentang fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan ma syarakat, dikemukakan suatu konsepsi ilmu hukum yang mirip atau bersumber dari teori Roscoe Pound sebagai pemuka utama mazhab Sociological Jurisprudence dan Pragmatic Legal Realism di Amerika Serikat. Teorinya dikenal sebagai "Law as a tool of sosial engineering" yang dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja di Indonesia dalam jangkauan dan ruang lingkup yang lebih luas. Di samping diilhami oleh konsepsi Roscoe Pound tampaknya konsep Mochtar Kusumaatmadja dipengaruhi pula oleh pemikiran Eugen Ehrlich, dan pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia sendiri. Ehrlich mengetengahkan konsepsi dasar tentang hukum yang merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang ia nama kan sebagai hukum yang hidup (living law). Menurut pendapatnya, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup tadi.(Soerjono Soekanto, 1988: 36) Sesuai berarti mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat. Menurut Ehrlich, syarat tersebut merupakan hal yang patut diperhatikan dalam pembuatan suatu undang-undang agar undang-undang tersebut dapat berlaku secara efektif di masyarakat. Teori Kesadaran Hukum Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah, bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum mereka. Di Indonesia masalah kesadaran hukum mendapat tempat yang sangat penting di dalam politik hukum khususnya, serta pembangunan pada umumnya yang merupakan suatu perubah an yang direncanakan. Baik dalam Repelita II maupun Repelita III, kesadaran hukum merupakan salah satu asas dari pembangunan nasional di Indonesia. Kesadaran hukum dianggap sebagai variabel bebas, sedangkan taraf ketaatan merupakan variabel tergantung EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
195
H. Yasin
(Soerjono Soekanto, 1982: 208). Selain itu kesadaran hukum dapat merupakan variabel antara, yang terletak antara hukum dengan perilaku manusia yang nyata. Perilaku yang nyata terwujud dalam ketaatan hukum, namun hal itu tidak dengan sendirinya hukum mendapat dukungan sosial, dukungan sosial hanyalah diperoleh, apabila ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan, oleh karena kepuasan merupakan hasil pencapaian hasrat akan keadilan. Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa masalah kesadaran hukum di Indonesia perlu dikaji secara mendalam dengan maksud untuk dapat menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengannya.
Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan lain perkataan, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hu kum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyara kat. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat. Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masingmasing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu: 1. Pengetahuan hukum; 2. Pemahaman hukum; 3. Sikap hukum; dan 4. Pola perilaku hukum.4 Setiap tahapan menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang terting gi. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang men genai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, 4. Bandingkan dengan pendapat Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan K patuhan Hukum, Jakarta, CV Rajawali, 1982, h. 140
196
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum. Pengetahuan hukum tersebut erat kaitannya, dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan. Terdapat kaitan antara kesadaran hukum dengan kebudayaan hukum. Keterkaitan tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran hukum banyak sekali berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang seringkali dianggap faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya ajaran kesadaran hukum lebih menitikberatkan kepada nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Sistem nilai-nilai akan menghasilkan patokan-patokan untuk berproses yang bersifat psikologis, antara lain pola-pola berpikir yang menentukan sikap mental manusia, sikap mental itu pada hakikatnya merupak an kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk polapola perilaku maupun kaidah-kaidah. Bila jalan pikir yang menyatakan bahwa hukum merupakan konkritisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dapat diterima, maka suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan peru bahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Nyatalah bahwa kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai.5 Jadi kesadaran hukum adalah konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. 5. Sampai di sini teori Qadri Azizy dapat dimengerti, hanya nilai mana diantara nilai-nilai yang ada di sekitar masyarakat dan bangsa Indonesia itu yang benar-benar dipilih. Perebutan tempat itu akan selalu berlangsung, dan yang da�pat menentukan hanyalah masyarakat sebagai pelaku nilai yang telah menjadi norma hukum itu, bukan yang lain. Yang selalu harus diingat utamanya bagi para Pembina Hukum dan penegak hukum adalah bahwa hukum positif atau undangundang yang mengabaikan hukum yang hidup dalam masyarakat pasti akan mandul atau bahkan akan ditinggalkan oleh masyarakat itu. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
197
H. Yasin
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila unsurunsur dari kesadaran hukum dipenuhi, maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum warga masyarakat mengakibatkan para warga masyarakat menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, begitu pula sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah, maka derajat ketaatan terhadap hukum juga rendah. C. METODE PENELITIAN 1. Metode Untuk menemukan model yang menjadi kecenderungan komunitas santri desa Tanggungharjo dalam upaya menyelesaikan pembagian harta waris lengkap dengan alasan mengapa mereka memilih cara sesuai rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, maka digunakan metode penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini yang akan diamati adalah orang, yaitu para tokoh komunitas santri yang diyakini dapat menjawab hal-hal yang diperlukan dalam menjawab masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Dengan menggunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel dan bermakna, sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sampel sumber data dipilih dengan sengaja, dan mengutamakan perspektif emic, artinya mementingkan pandangan informan, yakni bagaimana mereka memandang dan menafsirkan dunia dan lingkungannya. Dunia dan lingkungan yang dimaksud di sini adalah cara atau system pembagian harta peninggalan atau kekayaan si pewaris serta alasan mengapa pilihan jatuh pada system itu. Secara rinci sesuai focus kajian, maka sample yang dijadikan nara sumber dan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut : a. Untuk mendapatkan data tentang model pembagian harta waris, sumber datanya adalah keluarga-keluarga yang pernah melakukan pembagian harta peninggalan si pewaris dengan cara wawancara mendalam dan jika 198
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
mungkin mengamati proses. Yang terakhir ini dapat dilakukan manakala terdapat pembagian warisan saat peneliti melakukan wawancara. b. Untuk mendapatkan data tentang alasan atau argumentasi mengapa cara tersebut yang dipilih dalam menyelesaikan pembagian harta waris, sumber datanya juga keluarga-keluarga tersebut ditambah para tokoh atau kiyai yang dimintai tolong dalam proses pembagian itu dengan wawancara mendalam. Sumber data tambahan dapat diperoleh dari dokumen perangkat desa yang mendapatkan laporan setelah proses pembagian selesai atau bahkan yang diminta ikut menghadiri proses itu sebagai saksi 3. Instrumen dan informan Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang utama adalah peneliti itu sendiri, namun sangat mungkin akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat digunakan untuk menjaring data pada sumber data yang lebih luas, dan mempertajam serta melengkapi data hasil pengamatan dan observasi. Sementara informan penelitian diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu informan pendahuluan, informan utama dan informan konfirmasi. Informan pendahuluan adalah birokrat pemerintah desa yang dijadikan pintu masuk ke informan utama. Informan pendahuluan ini terdiri dari para kadus 3 (tiga) orang, kaur umum, dan sekretaris desa. Jumlah seluruhnya 5 (lima) orang. Dari mereka inilah, peneliti mendapatkan nama dan alamat informan utama. Dari informan penelitian utama pertama, peneliti mendapatkan nama dan alamat informan berikutnya dengan kriteria yang konsisten. Begitu dan seterusnya, sampai data yang diperoleh jenuh dan tidak ada data yang berbeda dari informan satu dengan lainnya. Informan penelitian konfirmasi adalah subyek yang difungsikan untuk pengecekan silang terhadap masukan dan informasi yang diterima dari informan utama. Dalam penelitian ini informan konfirmasi berjumlah 3 (tiga) orang, yang kesemuanya adalah kiyai yang kredibilatas keilmuannya telah diakui oleh masyarakat tempat penelitian dilakukan. Tiga orang informan konfirmasi ini adalah : K.H.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
199
H. Yasin
Ahmad Fathoni, KH. Ahmad Sholihin (dusun Sidomulyo) dan K. Sholihin (dusun Sidoharjo). 4. Teknik Analisis Data
Gejala social sebagai data kualitatif akan dianalisis dengan mengikuti teknik Miles dan Huberman serta Spradley. Aktivitas dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman dilakukan secara interaktif dan berlangsung serta terus menerus pada setiap tahapan penelitian sampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktivitas konkritnya adalah data reduction, data display dan conclution drawing / verification. Selanjutnya menurut Spradly teknik analisis data disesuaikan dengan tahapan dalam penelitian. Pada tahap penjelajahan dengan teknik pengumpulan data grand tour question, analisis data dilakukan dengan analisis domain. Pada tahap penentuan focus analisisa data dilakukan dengan analisis taksonomi. Pada tahap selection, analisis data dilakukan dengan analisis komponensial. Selanjutnya untuk sampai menghasilkan judul dilakukan dengan analisis tema.
5. Pengujian Kredibilitas Data
Sebagaimana penelitian kualitatif yang lain, pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan: a. Perpanjangan Pengamatan, b. Meningkatkan Ketekunan, c. Trianggulasi (sumber data, waktu dan teknik), d. Diskusi Teman Sejawat, dan e. Member Check
D. HASIL PENELITIAN Sebuah desa dengan luas tanahnya 1.163.500 ha (satu juta seratus enam puluh tiga ribu lima ratus hektar) dan dihuni oleh 6975 jiwa menurut ukuran biasa termasuk desa yang sedang, tidak terlalu luas dan juga tidak terlalu kecil. Dari sebanyak itu, hanya tercatat 5 (lima) orang penduduk yang beragama selain Islam, Katolik. Ini artinya 99,043 % penduduk desa ini beragama Islam. Menggali lebih dalam keberislaman mereka utamanya dalam melaksanakan ajaran agama tentang tata cara pembagian harta waris, penelitian ini dilakukan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana sesungguhnya komunitas santri desa yang dinakodai oleh seorang nasionalis, Prapto, dan dibimbing oleh empat orang kiyai yang cukup handal. Dikatakan handal karena secara lahiriyah para kiyai ini diparcaya menjadi pengurus organisasi 200
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
social keagamaan terbesar di kecamatan itu, yakni Nahdhatul Ulama. Ini menunjukkan bahwa kiyai yang berada di desa tersebut paling tidak dituakan di kecamatan yang terdiri dari 12 desa itu. Fatwa-fatwanya juga diikuti di seluruh wilayah kecamatan, bahkan salah satu dari mereka terpilih menjadi pengurus cabang (tingkat kabupaten). Sehubungan dengan focus penelitian, pertanyaan yang segera muncul adalah apakah fatwa-fatwa para kiyai itu juga menjangkau ke masalah proses pembagian harta warisan ? Dari hasil wawancara yang penulis lakukan kepada para kiyai bersangkutan, dan juga dimintakan konfirmasi kepada para tokoh dan kiyai yang lain, menunjukkan bahwa masyarakat tidak pernah mendapat penjelasan tata cara pembagian harta peninggalan. Hal ini sudah barang tentu mengakibatkan pengertian dan pemahaman komunitas santri desa tersebut terhadap hukum kewarisan Islam sangat rendah, untuk tidak mengatakan nol persen. Bukan nol persen karena di antar warga masyarakat ada juga yang belajar ke pondok pesantren yang nota bene di sanalah ilmu waris dipelajari, meskipun tidak ada kewajiban bagi santri untuk mengikuti pembelajaran materi tersebut. Sehingga meskipun status seseorang sebagai alumni pondok pesantren, namun pemahaman tentang tata raca pembagian harta warisan menurut fiqh tidak ada jaminan dapat dikuasai.Bisa jadi seorang alumni pondok pesantren sama sekali tidak pernah mempelajari fiqh mawaris.6 Tidak dibedakannya porsi perolehan dalam pembagian harta kekayaan orang tua antara anak laki-laki dan anak perempuan ternyata menjadi sangat menarik untuk dikemukakan. Menarik karena alasan yang disampaikan oleh masyarakat awam berbeda dengan argument yang disampaikan oleh kiyai yang sempat penulis wawancarai. Masyarakat awam berpendapat bahwa anak perempuan lebih banyak memberikan sumbangannya kepada orang tuanya, terutama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Untuk kepentingan ini, anak laki-laki dalam usianya yang sama belum banyak memberikan 6. Bagian dari ilmu fiqh yang khusus membicarakan tata cara pembag an harta waris, dari bahasan tentang siapa saja yang termasuk ahli waris, hajib mahjub, bagian masing-masing ahli waris sampai dengan aturan main regulasi penghitungannya. Sebagai konsekuensi sebuah fiqh yang merupakan hasil ijtihad ulama, maka dalam ilmu ini bisa saja terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama, misalnya dalam masalah pelaksanaan wasiat dan hutang. Mana di antara keduanya yang harus didahulukan manakala harta si mayat tidak mencukupi keduanya. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
201
H. Yasin
kontribusinya terhadap orang tuanya. Inilah yang sesungguhnya yang mendorong agar anak perempuan tidak dibedakan dari anak lakilaki dalam proses pengalihan atau pembagian harta kekayaan orang tua. Sementara argument kiyai mengapa bagian anak perempuan disamakan dengan bagian anak laki-laki, adalah karena pembagian ini bukan “bagi waris”, tapi hibah atau pemberian, dalam pemberian ini, lanjut kiyai tersebut, rasul Allah saw memberikan rambu-rambu, yakni agar menyamaratakan, bahkan kalau mungkin perempuan diberi lebih. Hadis dimaksud adalah:
أوالدكم في العطية ولوكنت مفضال لفضلت )النساء (رواه الطبراني Upayakan sama-rata di antara anak-anakmu dalam hal pemberian. Bahkan jika aku (rasul Allah saw) berkeinginan memberi lebih, niscaya saya berikan kepada perempuan (Sayyid Ahmad al-Hasyimy, tth: 85)
Demikian juga dalam hal waktu pembagian harta kekayaan dilaksanakan semasa orang tua masih hidup, argument yang disampaikan juga berbeda, meskipun nuansanya nampaknya juga sama. Masyarakat awam memberikan keterangan bahwa pembagian sebelum orang tua meninggal dunia untuk menghindari perselisihan, pertengkaran, atau bahkan perebutan di kemudian hari manakala si pewaris sudah meninggal dunia. Alasan ini berbeda dengan yang disampaikan oleh salah seorang tokoh masyarakat yang sekaligus juga pengasuh pondok pesantren, KH. Ilyas Mahfuzhi. Pembagian harta kekayaan sebelum si pewaris mati agar hisab, pengitungan amal pada hari pembalasan tidak dialamatkan kepada orang tua, sebagai pemberi, karena pada saat si pewaris meninggal dunia harta tersebut sudah tidak menjadi miliknya. Harta telah berpindah kepemilikannya kepada anak-anaknya, maka hisab diharapkan dialamatkan kepada anak sebagai penerima pengalihan harta tersebut. Alasan kiyai ini sesungguhnya tidak kuat, tapi inilah pandangan beliau. Ada satu hal lagi yang juga perlu diangkat dan mendapat perhatian khusus adalah bahwa harta “gawan” atau harta “warisan” dari orang tua oleh masyarakat desa Tanggungharjo tidak dimasukkan ke dalam harta peninggalan yang dapat
202
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
diwaris. Harta gawan dan warisan ini hanya mengalir kepada kerabat pemilik harta itu, seperti anak, cucu, orang tua, saudara dari si mati, istri tidak dapat ikut mewaris harta gawan sang suami dan sebaliknya. Yang terakhir, ditemukan bahwa ahli waris kelompok ke II tidak dapat mewaris bersama ahli waris kelompok ke I. Jadi kewarisan yang dilaksanakan masyarakat desa Tanggungharjo ini tidak mengacu pada system kewarisan Islam yang memungkinkan ahli waris kelompok II mewaris bersama ahli waris kelompok I. Dari uraian-uraian di muka dapatlah dilihat bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa kesadaran hukum nara sumber terhadap norma hukum waris relatif kurang. Dibedakannya jenis harta peninggalan yang diikuti pembedaan tata cara dan alur pembagiannya merupakan bukti tersendiri bahwa sistem kewarisan yang hidup di komunitas santri desa Tanggungharjo adalah hukum adat . Harta bawaan akan kembali kepada keluarga manakala suami bersangkutan tidak dikaruniai anak, dan suami atau istri sama sekali tidak mendapat hak dari harta bawaan itu. (Wawancara dengan tokoh masyarakat, H. Kuswadi tgl.20 September 2009). Hal ini berbeda dengan system kewarisan Islam yang masih memberi hak waris kepada suami atau istri dari harta bawaan patnernya. Artinya ketika sang suami meninggal dunia, dan meninggalkan harta bawaan, maka sang istri tetap mendapat bagian dari harta bawaan milik mantan suaminya itu. Disebut mantan karena sang suami telah meninggal dunia. Bukti berikut juga mendukung bahwa hukum kewarisan yang hidup di kalangan komunitas santri desa Tanggungharjo adalah bahwa ahli waris garis ke atas (bapak-ibu) tidak dapat mewaris bersama ahli waris garis ke bawah (anak-anak atau cucu). Sebab dalam kewarisan Islam seorang ayah, ibu, atau keduanya dapat mewaris bersama anak, baik laki-laki meupun perempuan, meskipun porsinya tidak sebanyak manakala tidak bersama ahli waris garis ke bawah itu. Jawaban nara sumber sangat meyakinkan bahwa orang tua si pewaris tidak dapat mewaris bersama anak si pewaris.(Wawancara dengan sekretaris desa, Purnomo, pada tanggal 24 September 2009) Sehubungan dengan pelunasan hutang si mayat, komunitas santri desa Tanggungharjo yang sempat diwawancarai menyatakan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
203
H. Yasin
bahwa hal itu merupakan kewajiban ahli waris yang harus dipenuhi, berapapun banyaknya. Ini menunjukkan rasa empati keluarga kepada pewaris mereka, meskipun sesungguhnya fiqh Islam tidak mewajibkan pelunasan hutang melewati jumlah harta peninggalan si pewaris. Dalam hal pelunasan hutang si mayat ini, nampaknya nilai yang ada pada system kewarisan Islam juga diserap oleh masyarakat desa ini. Belum terlunasinya hutang sebagai tanggungan si mayat akan mengganggu kelancarannya menghadap Sang Maha Agung, hutang itu tetap akan ditagih saat penghitungan amal di hari pembalasan. Inilah yang membuat komunitas santri desa Tanggungharjo merasa berkewajiban membayar hutang keluarganya yang telah meninggal dan belum dapat melunasinya. Penyerapan ini pada hakikatnya menguatkan teori yang menyatakan bahwa pertemuan dua nilai yang berbeda akan selesai dengan wajar atau damai.Bustanul Arifin, 1996: 34) Penelitian hukum untuk mengetahui kesadaran hukum terhadap beberapa sistem hukum sejenis mempunyai karakteristik yang berbeda dengan penelitian hukum terhadap satu sistem hukum saja. Dalam penelitian hukum seperti itu terbuka kemungkinan berbaurnya kesadaran hukum masyarakat terhadap sistem-sistem hukum tersebut. Oleh sebab itu analisis terhadap setiap indikator kesadaran hukum memerlukan acuan yang bervariasi. Secara umum, analisis tersebut meliputi 2 (dua) hal pokok, yaitu: 1. Seberapa jauh kesadaran hukum komunitas santri terhadap sis tem hukum kewarisan tertentu (yang dianut); 2. Terhadap sistem hukum kewarisan manakah kecenderungan kesadaran hukum komunitas santri, tempat penelitian Analisis pertama cenderung untuk melihat kesadaran hukum masyarakat, yang-menyatakan diri tunduk pada suatu sistem hukum tertentu, terhadap sistem hukum itu sendiri. Dalam hal itu, sampel dibatasi terhadap responden yang yang menyatakan tunduk pada sistem hukum tersebut. Dari hasil penelitian, ternyata kelompok yang menundukkan diri terhadap sistem hukum Islam merupakan kelompok terbesar. Hal itu terlihat dari jumlah responden yang memilih sistem hukum Islam, sebagai sistem hukum yang sebaiknya mengatur masalah waris berjumlah 56.% dari keseluruhan sampel. Kelompok kedua terbesar 204
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
adalah kelompok yang menundukkan diri terhadap sistem hukum adat, yaitu sebanyak 22.% dari keseluruhan sampel. Namun demikian, dari hasil penelitian diperoleh fakta bahwa kesadaran hukum anggota setiap kelompok terhadap sistem hukum yang dianutnya tersebut relatif kurang. Pengetahuan dan pemahaman responden terha dap sistem hukum tersebut tidak menunjukkan hubungan yang erat dengan sikap dan pola perilaku hukumnya. Apabila dipandang secara sepintas, tampak seolah-olah tidak terdapat hubungan yang nyata antara indikator kesadaran hukum yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi alangkah bijaknya kalau kita mau melihat apa yang terdapat di balik semua itu. Pengetahuan responden tentang sistem hukum yang diketahuinya ternyata relatif rendah, menurut hemat penulis, hal ini adalah wajar karena beberapa alasan, yaitu: a. Nara sumber atau responden selain Kyai tidak pernah secara nyata mendapatkan pendidikan tentang sistem hukum yang diteliti, khususnya masalah waris; b. Proses kewarisan dianggap merupakan masalah yang jarang terjadi, yaitu umumnya hanya terjadi 2 (dua) kali seumur hidup, yakni ketika orang-tua meninggal dunia, sekali saat ayah meninggal, dan sekali saat ibu meninggal. Meskipun anggapan ini sesungguhnya tidak selamanya benar, karena setiap ada kasus kematian semestinya proses kewarisan (pembagian harta waris) juga terjadi. Itu berlainan dengan hukum lalu-lintas, pajak, tanah, dan lain-lain, yang dalam kehidupan sehari-hari dialami oleh setiap pribadi. c. Sistem kewarisan berada pada lingkungan hukum perdata, sehingga peranan aparat hukum dan perundang-undangan tidak tampak jika tidak ada perkara yang diangkat. Diangkat artinya menjadi sebuah sengketa yang perkaranya dilanjutkan ke Pengadilan. d. Begitu pula tentang pemahaman hukum masyarakat. Seperti
disebutkan oleh Soerjono Soekanto:
"... pengetahuan tentang isi peraturan dipengaruhi, oleh proses internalisasi dan imitasi..."maka dapat dipahami kenapa pemahaman hukum masyarakat relatif lebih baik. Faktor imitasi di samping mempunyai nilai positif juga dapat mengakibatkan hal-hal yang negatif, yaitu dalam hal yang ditiru EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
205
H. Yasin
adalah tindakan-tindakan yang menyimpang, misalnya pergaulan bebas laki-laki perempuan tanpa batas sama sekali.
e. Sikap mayoritas nara sumber sebagai responden memilih sistem hukum Islam sebagai sistem hukum yang sebaiknya mengatur masalah waris pun tidak menunjukkan sikap yang sebenarnya, karena fakta-fakta lainnya yang berkaitan dengan sikap terhadap sistem hukum tersebut tidak menunjang, bahkan cukup banyak yang bertentangan. Menurut hemat penulis, sikap responden memilih sistem hukum Islam lebih disebabkan oleh faktor ra sional beragama yang tidak mencerminkan pengetahuan dan pemahaman tentang hal itu, mereka sebagai umat Islam seyo gianya tunduk pada sistem hukum Islam, sementara itu bagai mana sistem hukum Islam mengatur masalah pembagian harta waris, mereka kurang mengetahui dan memahaminya. Di situlah letak hubungan antara indikator pengetahuan dan pemahaman hukum dengan sikap terhadap hukum dapat ditemukan, yaitu akibat pengetahuan hukum yang rendah serta pemahaman hukum yang salah mengakibatkan sikap terhadap hukum menjadi salah. f. Selanjutnya, terhadap sistem hukum manakah kecenderungan kesadaran hukum komunitas santri Tanggungharjo? Dengan melihat hasil penelitian terlihat bahwa kecenderungan tersebut adalah terhadap sistem hukum adat. Namun demikian, dengan memperhatikan terhadap masing-masing kelompok para nara sumber sebagai responden, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Kelompok masyarakat Islam yang kesadaran hukumnya cenderung pada sistem hukum adat disebabkan oleh pengetahuan dan pemahamannya tentang sistem hukum Islam yang rendah. Sementara kelompok masyarakat adat yang kesadaran hukumnya cenderung pada sistem hukum Islam disebabkan salah mengira bahwa sistem hukum adat itu sama dengan sistem hukum Islam. Dengan memperhatikan uraian di atas serta uraian-uraian terdahulu, dapatlah dikemukakan bahwa sistem hukum adat dan sistem hukum Islam, dalam masalah kewarisan, keduanya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat. Keduanya berjalan beriringan, berbaur, dan kadangkala berbenturan dalam mengisi kebutuhan hukum masyarakat. Penulis berpandangan bahwa hukum 206
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
waris merupakan salah satu bidang hukum keperdataan, yang penanganannya lebih banyak bergantung pada para pihak yang terlibat (para ahli waris). Proporsi perkara waris yang masuk ke pengadilan sangatlah kecil bila dibandingkan dengan jumlah kematian yang terjadi. Padahal pada setiap kematian di mana si mati meninggalkan harta seharusnya terdapat masalah kewarisan. Di tempat penelitian, ditemukan bahwa pembagian harta waris oleh komunitas santri desa Tanggungharjo selalu terlambat atau bahkan sengaja ditunda. Penundaan ini dilakukan karena salah satu orang tua belum meninggal dunia di samping para ahli waris lain merasa kurang etis manakala menuntut pembagian harta waris dilaksanakan sesegera mungkin padahal salah satu dari kedua orang tua masih hidup. Dalam kaitannya dengan hukum pertanahan dan kepemilikan barang atas-nama lainnya, hukum waris nasional diperlukan guna memudahkan administrasi dan hal-hal lainnya yang ber kaitan dengan harta peninggalan. Dari kasus-kasus yang diteli ti, cukup banyak harta peninggalan yang belum dibagikan ka rena masih terdapatnya janda atau anak yang belum dewasa. Harta peninggalan seperti itu masih tercatat atas nama almar hum. Secara hukum itu tidak benar, orang yang sudah me ninggal tidak lagi merupakan subjek hukum sehingga tidak lagi dipandang sebagai pemilik harta peninggalan. Secara administratif, hal itu pun cukup menyulitkan, seperti kepada siapa penarikan pajak atas harta peninggalan tersebut harus dilakukan. Karena salah seorang ahli waris, tidak mustahil akan menolak melakukan itu dengan alasan belum ada pembagian waris. Begitu pula hakhak pihak ketiga, yang mempunyai piutang pada almarhum, dapat terkatung-katung haknya oleh alasan harta peninggalan belum dibagi. Dari kasus-kasus yang pernah mencuat saat wawancara ternyata mayoritas kasus waris disebabkan oleh penun daan pembagian harta peninggalan, sehingga harta peninggalan menjadi kabur dan ahli waris tidak mendapatkan haknya. Beberapa hal yang menyangkut masalah kewarisan, khus usnya menyangkut masalah harta peninggalan, ada diatur pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Harta benda dalam perkawinan, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
207
H. Yasin
dalam undang-undang terse-but, dibedakan antara harta bersama dan harta bawaan. Nam un demikian, sekalipun dikemukakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan, undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas kedudukan atau petunjuk ke arah itu untuk harta bawaan sebagai akibat putusnya perkawinan. Begitu pula tentang harta bersama, pasal 37 undang-undang perkawinan hanya menyebutkan bahwa "Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing". Apa yang dimaksud dengan kata "hukumnya masing-masing" tidak ada penjelasan lebih jauh. Namun demikian, dengan mengaitkannya pada pasal-pasal lainnya, dapatlah dikemukakan hal-hal penting dari undang-undang perkawinan yang akan sangat bermanfaat bagi hukum kewarisan, yaitu sebagai berikut. Pertama, undang-undang perkawinan mengakui adanya pemis ahan/pembedaan harta bers a m a d a n h a r t a b a wa a n masing-masing. Pads dasarnya harta bawaan masing-masing sepenuhnya merupakan hak masing-masing pihak. Sementara harta bersama merupakan hak bersama, setiap pihak dapat bertindak atas persetujuan kedua belch pihak. Itu berarti bahwa kedudukan swami dan istri adalah sederajat terhadap harta bersama. Kedua, pengaturan harta bersama, dalam hal terjadinya perce raian diatur oleh hukumnya masing-masing. Apabila itu dikaitkan dengan pasal 2 ayat (1) maka yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing tersebut adalah hukum agama atau kepercayaan masing-masing pihak. Ketiga, apabila terhadap harta bersama diterapkan hukum agama atau kepercayaan masing-masing pihak, apakah itu da pat diperluas menjadi terhadap harta bawaan pun diterapkan hukum agama atau kepercayaannya itu. Keempat, apabila terhadap perceraian dapat diterapkan hukumnya masing-masing untuk pembagian harta dalam perkawinan, apakah itu pun dapat diterapkan untuk putusnya perkawinan karena kematian atau atas keputusan pengadilan. Bukankah substansi ketiganya adalah sama, yaitu memutuskan tali perkawinan, sementara perbedaannya hanyalah terletak pada pihak yang berhak menerima bagian harta perkawinan itu, yaitu dalam 208
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
hal perceraian adalah masing-masing pihak, sementara dalam kematian adalah salah satu pihak dan ahli-warisnya. Sesungguhnya problema sebagaimana tersebut di atas telah dapat dijawab dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penyebarluasannya dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991. Sedikitnya ada 13 (tigabelas) pasal KHI (pasal 85 s/d 97) yang mengatur masalah yang berhubungan dengan harta suami istri dengan bab “Harta Kekayaan dalam Perkawinan”. Misalnya jika terjadi sengketa antara suami istri tentang harta bersama, maka proses penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama; Terhadap harta bersama, suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Dengan 13 pasal tersebut diharapkan problema harta kekayaan dalam pernikahan yang muncul dapat diselesaikan. Dari hasil penelitian di desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan, pengalihan harta kekayaan kepada para keluarga yang berhak menerimanya sangat jarang terjadi sengketa di antara mereka. Dominasi dan power serta antisipasi dari pihak orang tua ternyata berhasil menekan keinginan anak-anak dan cucu-cucu yang berhak menerima warisan mengajukan protes. Orang tua memiliki hak veto dalam mentasarufkan harta yang dimiliki, anak laki-laki tertua yang sudah banyak mengenyam harta dari orang tua (beaya pendidikan dan lain-lain) bisa jadi diberi lebih sedikit dari anak perempuan yang baru saja menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Tsanawiyah terdekat. Antisipasi dimaksud adalah pengalihan harta kekayaan itu melalui hibah dan wasiat jika dirasa masih ada sisa harta yang dimiliki orang saat usia calon pewaris sudah cukup lanjut. E. Kesimpulan Sebagaimana karya penelitian yang lain, penelitian ini juga akan diakhiri dengan memberikan kesimpulan sebagai rumusan akhir dalam upaya menjawab persoalan yang dikaji atau diangkat pada penelitian ini.Rumusan kesimpulan dimaksud adalah : 1. Bahwa komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan dalam membagi harta peninggalan pewaris lebih cenderung menggunakan model musyawarah. Musyawarah keluarga itu dihadiri oleh seluruh anggota keluarga dekat EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
209
H. Yasin
yang ada kemungkinan mendapatkan bagian dari harta peninggalan itu. Pembagian model musyawarah ini ada yang dengan menghadirkan seorang tokoh masyarakat ada yang tanpa kehadiran tokoh masyarakat (kiyai). Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bahwa meskipun tokoh yang dihadirkan itu seorang kiyai, atas dasar musyawarah itu pembagian 2 : 1 antara anak laki dan perempuan sering atau bahkan selalu dikesampingkan. Artinya bagian anak laki-laki dan anak perempuan itu sama 1 : 1. Alasannya adalah bahwa kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan itu sama, bahkan kontribusi anak perempuan terhadap penyelesaian pekerjaan rumah tangga dirasa lebih banyak, terutama bagi masyarakat desa seperti Tanggungharjo. 2. Masih ada satu model lagi dalam proses pengalihan harta kekayaan kepada para ahli waris, yaitu pembagian sebelum pewaris meninggal dunia, sehingga saat pewaris meninggal, harta telah habis terbagi atau tinggal sedikit. Argumen yang dapat digali dari lapangan menunjukkan bahwa model terakhir inilah yang dirasa dapat menyelesaikan masalah yang sering timbul di antara anggota keluarga. Jika dengan musyawarah ini, persoalan tak dapat diselesaikan, komunitas santri desa Tanggungharjo lebih cenderung menyerahkan penyelesaian masalah mereka ke Pengadilan Negeri, meskipun penyelesaian lewat lembaga Peradilan ini lebih sering tidak menguntungkan para pihak yang bersengketa, untuk tidak mengatakan “malah rugi”. Pengalihan kewenangan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa waris komunitas santri pasca UU No. 3 Tahun 2006 belum banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya E. REKOMENDASI DAN PENUTUP 1. Rekomendasi Setelah kesimpulan dari penelitian ini telah dirumuskan, penulis menganggap perlu untuk memberikan rekomendasi kepada beberapa lembaga dan tokoh masyarakat tempat penelitian ini dilakukan meskipun penulis juga menyadari bahwa rekomendasi ini belum tentu dilaksanakan dengan penuh kesadaran. Rekomendasi itu adalah : 210
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
a. Kepada instansi yang mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa waris (Pengadilan Agama), yang dalam hal ini para hakim agama, sebaiknya memperhatikan kesadaran hukum masyarakat muslim yang mengajukan penyelesaian perkaranya ke Pengadilan Agama. Selanjutnya kesadaran hukum masyarakat muslim itu dijadikan pertimbangan dalam proses penyelesaian sengketa yang muncul b. Kepada para tokoh masyarakat terutama para Kiyai yang fatwa dan materi pengajiannya dijadikan norma perilaku bagi masyarakat muslim, seyogyanya memasukkan materi system kewarisan ke dalam pengajian, baik yang mingguan, bulanan atau selapanan, (36 hari) yang selama ini tugas yang berat ini masih terabaikan tanpa disadari. 2. Penutup Dengan memuji syukur ke hadirat Sang Maha Sempurna, laporan penelitian ini dengan segala kekurangannya dapat diselesaikan sesuai jadual. Saran dan kritik demi kesempurnaan hasil penelitian ini selalu kami tunggu, karena tak ada gading yang tak retak. Dan jika penelitian ini dapat digunakan dan bermanfaat, itu bagian dari harapan kami.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
211
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, H., SH., MH., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 1992 Abd al-Wahhab Khalaf dalam karyanya Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta, alMajlis al-A`la al-Indonesy, 1392 H Abdul Manan, H, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007 Abu al-Mawahib, Abd al-Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari alMa`ruf bi al-Sya`rani, Al-Mizan al-Kubra, Dar al-Fikr, 1398 H / 1978 M Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayah al-Mujtahid, juz. II., Semarang, Maktabah wa Mathba`ah Thaha Putra, t.th. Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin al-Hasan alRajiy, Matn al-Rahabiyah, Surabaya, Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa`ad bin Nabhan wa Awladuh, t.th. Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Sayyid al-Bakry bin Muhammad Syatha al-Dimyathy, Hasyiyah I`anah al-Thalibin `ala hilli Alfazh Fath al-Mu`in, juz III., Semarang, Maktabah alAlawiyah, t.th Abu Zakariya Muhyi al-Din bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu`, Syarh al-Muhadzdzab, juz XVI, Dar al-Fikr li al-Thiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi`, t.th A. Hamid. S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia: Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, 1992 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Ditutup, Bandung, Penerbit Pustaka, 1405 H- 1984
212
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
Ahmad Husnan, Hukum Islam Tidak Mengenal Reaktualisasi, Solo, Pustaka Mantiq, 1989 Amin, Muhammad, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fiqh, Jakarta, INIS, 1991 Anderson, J.N.D., Islamic Law in the Modern World, terj. Machnun Husain dengan judul “Hukum Islam di Dunia Modern”, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994 Bustanul Arifin, Trasformasi Hukum lslam ke Hukum Nasional, Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2001. ___________, P e l e m b a g a a n H u k u m I s l a m d i I n d o n e s i a , Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, Ahmad Husnan, Hukum Islam Tidak Mengenal Reaktualisasi, Solo, Pustaka Mantiq, 1989 Berl Kutchinsky, “The Legal Consciousness”, dalam C.M. Campbell et. Al. (eds.), Knowlrdge snd Opinion About Law, London, Martin Robenson, 1973 Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, cet. , ke 1, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003 Daniel S. Lev., Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions, London, University of California Press David S. Powers, Studies in Al-Qur`an and Hadith : The Formation of the Islamic Law of Inheritance, penerjemah Arif Maftuhin dengan judul Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan : Kritik Historis Hukum Waris, Yogyakarta, LKiS, 2001 Haidar Baqir dan Syafiq Basri, (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung, Mizan Khazanah ilmu-Ilmu Islam, 1991 H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam, diterjemahkan oleh Machsun Husain, cet. Ke 3, Jakarta,: Raja Grafindo Persada, 1993 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith, Djakarta, Tintamas, 1967 EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
213
H. Yasin
___________, Hukum Kekeluargaan Nasional, Djakarta, Tintamas, 1968 ___________, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta, Bina Aksara, 1981 Ibrahim al-Bajury, Hasyiyah al-Bajury a` la Syarh al-`Allamah Ibn Qasim al`uzzy, juz II., Semarang, Maktabah al-`Alawiyah, t.th Ichtiyanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta: Ind-Hill Co, 1990 Idris Ramulyo, M, Hukum Kewarisan Islam : Studi kasus, Perbandingan Ajaran Syafi`I (Patrilinial) Hazairin (Bilateral) dan Praktek di Pengadilan, Jakarta, IND-HILL, CO, 1983 Iqbal Abdurrauf Saimima, penyunting, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988 Jaenal Aripin, Dr., MA., Peradilan Agama dalam Bingkai Hukum Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group, 2008 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, jilid. I, cet., ke-1 _____________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, 2005, ct. ke-1 Mas`adi, Ghufron A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada,1997 Muhammad Ali al-Sayis, Nasy`ah al-Fiqh al-Ijtihady, Silsilah al-Buhuts al-Islamiyah, 1970 Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fiqh Islam, Jakarta, Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies, (INIS), 1991 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, cet., ke 21
214
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri
Mochtar Kusumatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung, LPHK Fakultas Hukum UNPAD- Bina cipta cet. I., 1975 Moh. Mahfud, M.D., Perdebatan Hukum Tatanegara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, LP3ES, 2007, cet., ke 1. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikr al-Araby, 1377 H/ 1958 M. ___________, al-Imam, Syarh Qanun al-Wasiyah: Dirasah Muqaranah li masa`ilih wa Bayan li Mashadirih al-Fiqhiyyah, Dar al-Fikr al`Araby, 1369 H / 1950 M. Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I), Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1990 Muhammad Muhyiddin a` bd al-Hamid, Ahkam al-Mawarits fi Syari`ah al-Islamiyah a` la Madzahib alAimah al-Arba-ah, 1404 H. / 1984 M Mushthafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyri`al-Islamy wa Najm al-Dien alThufy, Dar al-Fikr al-Araby, cet. II Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan: Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003 Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional : Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gama Media, 2004 Sayyid Ahmad al-Hasyimy, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah wa alHikam al-Muhammadiyah, Dar al-Fikr li al-Thiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi`, Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, Kurnia Esa, 1982 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983 Sudirman Tebba, ed., Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara : Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Bandung, Mizan, 1993 EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
215
H. Yasin
Tahir Azhary, Negara Hukum (Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah), Jakarta, Bulan Bintang, 1992 Tajj al-Din Abd al-Wahhab Ibn al-Subky, Jam`al-Jawami`, Dar Ihya`alKutub al-Arabiyah, t.th Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008 Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, juz II, Damsyiq, Dar al-Fikr li al –Thiba`ah wa al-Tauzi`wa al-nasyr, 1986 M/ 1406 H
216
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
MODEL PEMBINAAN PENGAWAS SEKOLAH DILINGKUNGAN KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KUDUS
Oleh: M. Saekhan Muchith
Abstrak Pengawas sekolah merupakan salah satu elemen yang sangat dominan untuk mewujudkan kualitas pendidikan. Oleh sebab itu pengawas sekolah perlu memperoleh perhatian secara serius darti berbagai pihak agar dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan Tupoksi yang dimiliki. Perhatian terhadap pengawas perlu dilakukan secara sistematais, utuh dan komprehensif dari berbagai pihak khususnya dari pejabat atau atasan yang memiliki kewenangan untuk membina kualitas kinerja pengawas sekolah. Kentao kementerian agama (kemenag) kabupaten Kudus sebagai salah satu bagian yang memiliki wewenang untuk membina pengawas sekolah perlu melakukan berbagai terosbosan untuk melakukan pembinaan terhadap pengawas sekolah. Pembinaan terhadap pengawas yang selama ini berjalan perlu disempurnakan melalui proses secara ilmiah. Karena pembinaan terhadap pengawas sekolah selama ini masih bersifat formal birokrasi yang belum mampu mengoptimalkan kinerja pengawas sekolah khususnya pengawas sekolah yang ada dilingkungan kantor kementerian agama kabupaten Kudus. Pembinaan itu perlu dimulai dari cara melakukan seleksi atau rekrutmen, sistem pelatihan, sistem penilaianj kinerja, sistem pembinaan, pendekatan, aspek yang menjadi penekanan dalam pembinaan dan elemen yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan. Semua aspek ini perlu disempurnakan agar mampu melahirkan sosok atau profil pengawas sekolah yang ideal. Kata kunci: pengawas sekolah, pembinaan. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
217
M. Saekhan Muchith
A. PENDAHULUAN Posisi Pengawas Sekolah adalah memiliki peran dominan dalam proses pendidikan baik proses yang menyangkut kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran maupun proses kepemimpinan yang dilaksanakan masing-masing kepala sekolah. Oleh sebab itu Pengawas Sekolah memiliki makna pedagogis yaitu bagaimana Pengawas Sekolah mampu memberi arahan, bimbingan dan pengawasan terhadap guru dalam menjalankan pembelajaran, dan juga memiliki makna manajerial yaitu sejauhmana Pengawas Sekolah mampu membantu kepala sekolah dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya. Dalam naskah akademik Standar Pengawas Sekolah yang diterbitkan Badan Standar Nasional pendidikan (BNSP) tahun (2006: 16) dijelaskan bahwa pengawas sekolah yang disebut Pengawas Sekolah adalah tenaga kependidikan profesional yang berstatus PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat berwenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan pada sekolah/satuan pendidikan. Dalam petunjuk tehnis (juknis) jabatan fungsional Pengawas Sekolah dijelaskan bahwa ruanglingkup tugas Pengawas Sekolah meliputi hal-hal sebagai berikut: Pertama, melakukan kegiatan pengawasan terhadap guru dan manajerial lembaga penbdidikan baik dilingkungan kantor kementerian pendidikan nasional dan kantor kementerian agama baik sekolah negeri maupun swasta. Kedua, Pengawas di lembaga pendidikan merupakan pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam satu kabupaten/kota, pengawas sekolah dikoordinasikan dan dipimpin oleh seorang koordinator pengawas (Korwas) sekolah/ satuan pendidikan. Berdasarkan tugas dan fungsi serta kewenangan Pengawas Sekolah tersebut, dapat penulis kemukakan beberapa asumsi bahwa: Pertama, Pengawas Sekolah adalah suatu jabatan fungsional yang memiliki tugas dan wewenang sangat jelas dalam mewujudkan 218
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
kualitas pendidikan kususnya kualitas sumber daya manusia (SDM) guru maupun kualitas kepemimpinan. Elemen yang memiliki peran dominan dalam mewujudkan kualitas pendidikan harus selalu diberi pendidikan atau pelatihan agar kualiats Pengawas Sekolah selalu sesuai dengan dinamika dan perkembangan serta tuntutan ilmu pengetahuan dan sosial budaya masyarakat. Kedua, ruang lingkup pekerjaan Pengawas Sekolah adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan juga evaluasi segala proses pembelajaran dan kepemimpinan yang ada disetiap setuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai jenjang pendidikan menengah. Agar ruang lingkup pekerjaan dapat dilaksanakan secara optimal, maka Pengawas Sekolah perlu memiliki persepsi dan motivasi yang tinggi terhadap pekerjaannya. Ketiga, Pengawas Sekolah harus memiliki kompetensi yang utuh dan komprehensif agar mampu melaksanakan fungsi dan kewenangannya secara optimal. Kompetensi yang harus dimiliki Pengawas Sekolah antara lain: kompetensi personal, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial. Kompetensi tersebut diharapkan akan mampu melahirkan kinerja Pengawas Sekolah dalam melaksankan tugasnya. Oleh sebab itu Pengawas Sekolah perlu diketahui kualitas kinerja dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Pengawas sekolah dilingkungan kantor kementerian agama (kemenag) Kudud memiliki beberapa realitas yang dapat dijadikan bahan awal untuk merumuskan model pembinaan pengawas sehingga pengawas mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Realitas pengawas sekolah di Kantor kemenag adalah sebagai berikut: Pertama, di lingkungan Departemen Agama kabupaten Kudus hanya memiliki Pengawas Sekolah dalam rumpun Pendidikan Agama Islam (PAI) sementara Kemenag di samping mengangkat guru PAI juga mengangkat guru non PAI seperti Guru Matematika, Guru Biologi, Guru Fisika, Guru IPS, Guru olah raga. Konsekuensi dari mengangkat juga memiliki tugas membina. Secara administratif Kemenag belum memiliki Pengawas Sekolah khsusus guru non PAI, sehingga untuk guru nonj PAI belum pernah dilakukan pembinaan terhadap Pengawas Sekolah . EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
219
M. Saekhan Muchith
Kedua, Hasil wawancara sementara dengan Dra. Hj. Fahriyah, selaku Kasi Mapenda tanggal 29 agustus 2009 diperoleh data bahwa pengawas sekolah di kantor Depag (sekarang kementerian agama ) kabupaten Kudus memiliki potensi yang positif untuk dikembangkan atau diberdayakan. Jumlah pengawas 23 orang terdiri dari 18 pengawas RA/TK/MI/SD Madin Ula, Pengawas SMP sebanyak 1 orang Pengawas SMP/SMA sebanyak 2 orang dan Pengawas MTS/ MA sebanyak 2 orang. Pengawas RA/TK/MI/SD/Madin Ula tersebar disembilan kecamatan antara lain: a. Kecamatan Kaliwungu 2 pengawas b. Kecamatan Kota 2 pengawas c. Kecamatan Jati 2 pengawas d. Kecamatan Undaan 2 pengawas e. Kecamatan Mejobo 2 pengawas f. Kecamatan Jekulo 2 pengawas g. Kecamatan Bae 2 pengawas h. Kecamatan Gebog 2 pengawas i. Kecamatan Dawe 2 pengawas Ketiga, Berdasarkan biodata yang diperoleh peneliti pada tanggal 10 desember 2009 dapat ditemukan data bahwa, dari sebanyak 23 pengawas satuan pendidikan, 3 pengawas yang memiliki pendidikan magister (S2), dalam proses studi lanjut magister 6 orang. Keempat, dilihat dari usia, mayoritas usia para pengawas di kantor kemenag Kudus berada dalam rentang usia produktif. 19 pengawas berada dalam usia antara 40-50 tahun. Dan hanya 4 pengawas yang berada dalam rentang usia 50-56 tahun. Artinya dengan usia seperti ini, maka pengawas satuan pendidikan memiliki potensi untuk diberdayakan. Pengawas sekolah, pada saat diangkat menjadi pengawas 20 orang dalam usia 35-45 tahun. Sedangkan 3 orang pengawas diangkat sebagai pengawas pada usia 46-50 tahun. Kelima, Program kegiatan pengawas satuan pendidikan di kantor kemenag Kudus memiliki beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan sebagai media atau sarana untuk pembinaan para pengawas secara optimal. Kegiatan rutin yang dilakukan para pengawas meliputi, Rapat Koordinasi pengawas (rakorwas), Rapat dinas tetap (radintap), Rapat dinas gabungan (Radingab). Realitas Pengawas Sekolah yang seperti tersebut di atas, perlu didukung dengan model pembinaan yang tepat, efektif dan optimal 220
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
agar potensi pengawas sekolah dilingkuang kantor kemenag benarbenar dapat berjalans esuai dengan harapan. Tetapi realitas pembinaan di kantor kemenag masih birokrasi dan rutinitas yaitu hanya berjalan secara seremonial. Realitas model pembinaan berjalan seperti realitas sebabagi berikut: Pertama, pertemuan rutin diantara Pengawas Sekolah secara berkala tiga bulan sekali. Pertemuan ini secara teoritis membahasa berbagai hal yang problematika yang dirasakan Pengawas Sekolah selama tiga bulan sebelumnya. Meskipun dalam dataran teoritis dilakukan secara berkala dan rutin, tetapi dalam kenyataannya belum bisa dilakukan secara rutin. Hal ini disebabkan karena sulitnya mengangendakan jadual kegiatan. Kedua, pejabat yang melakukan pembinaan adalah kepala kantor, tetapi secara manajerial dilakukan oleh bidang dibawah kepala kantor, untuk kantor Depag secara administratif dibawah pembinaan kepala seksi mapenda, sedangkan dilingkungan Kantor Kementerian Agama kabupaten Kudus dibawah langsung kepala kantor Kementerian Agama Kabupaten Kudus. Model pembinaan seperti ini sangat terkesan birokratis, sehingga pembinaaanya belum berjalan secara optimal, akibatnya kualitas Pengawas Sekolah juga belum optimal. Ketiga, penilaian terhadap pengawas baru sebatas penilaian formal birokrasi yang dilakukan melalui DP3 setiap akhir tahun. Penilaian kinerja dengan DP3 ini kurang efektif jika untuk mengukur kualitas kinerja pengawas sekolah. Model pembinaan dengan tiga macam itu dapat dikatakan belum optimal jika diharapkan dapat melahirkan Pengawas Sekolah secara optimal yang menyangkut kompetensi yang dimiliki. Oleh sebab itu perlu dicari format model yang lebih baik dan efektif untuk melahirkan kualitas Pengawas Sekolah sehingga Pengawas Sekolah memiliki kemampuan untuk melakukan pembinaan kepada guru secara optimal. Berdasarkan asumsi permikiran tersebut maka perlu ditemukan atau dirumuskan tentang MODEL PEMBINAAN PENGAWAS SEKOLAH DIKANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN KUDUS.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
221
M. Saekhan Muchith
B. RUMUSAN MASALAH Untuk memudahkan proses penelitian, maka dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana sistem rekrutmen atau pengangkatan Pengawas Sekolah yang ada di kantor kementeriaan agama kabupaten Kudus? b. Bagaimana sistem pelatihan atau training yang efektif untuk meningkatkan kualitas kinerja Pengawas Sekolah di kantor kementerian agama kabupaten Kudus? c. Bagaimana sistem penilaian yang tepat untuk mengetahui kinerja pengawas saatuan pendidikan di kantor kementerian agama kabupaten Kudus? d. Bagaimana pendekatan yang dilakukan dalam melakukan pembinaan Pengawas Sekolah di kantor kementerian agama kabupaten Kudus?; e. Aspek apa saja yang ditekankan dalam melakukan pembinaan pengawas sataun pendidikan di kantor kementerian agama kabupaten Kudus? f. Elemen apa saja yang terlibat dalam pembinaan Pengawas Sekolah di kantor kementerian agama kabupaten Kudus?. C. LANDASAN TEORI Pegawai dalam konteks manajemen bagian dari fungsi manajemen staffing yaitu proses merencanakan dan mengembangkan pegawai yang ada di dalam suatu lembaga atau perusahaan. Dalam manajemen personalia, pembinaan pegawai dilakukan melalui tahapan yang terdiri dari proses seleksi atau rekruitmen, pelatihan (training), pengupahan (konpensasi) dan penilaian. Pembinaan pegawai memiliki nilai urgensial yang sangat tinggi baik bagi perusahaan atau lembaga maupun bagi masyarakat. Gary Desler (1993: 4-6), dijelaskan bahwa pentingnya pembinaan disebabkan karena adanya kecenderungan social, ekonomi dan politik. Secara rinci, pentingnya pembinana pegawai dapat dilihat dari aspek sebagai berikut: Pertama, adanya ketidakpuasan dari pegawai. Akibat adanya dinamika budaya, seringkali menimbulkan rasa ketidakpuasan dari pegawai. Ketidakpuasan disebabkan dari faktor dari kelemahan 222
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
manajerial dan juga dapat disebabkan dari karakter dari pegawai. Kedua, angkatan kerja baru. Setiap tahun tingkat pencari kerja selalu meningkat. Pencari kerja dipenuhi oleh lulusan dari pendidikan tinggi. Akibatnya mayoritas para pencari kerja adalah para lulusan dari perguruan tinggi. Jika dilihat dari relevansi kemampuan akademik dan ketrampilan dalam pekerjaan mengalami kesenjangan yaitu antara ijzah yang dimiliki dengan ketrampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan tidak seimbang. Oleh sebab itu maka pegawai yang baru masuk poerlu ada pembinaan secara tepat, utuh dan komprehensif. Ketiga, Gaya Hidup Baru. Para pegawai ada kecenderungan lebih tertarik untuk memilih gaya hidup atau berkarir dari pada sekedar menekuni pekerjaan secara rutin. Oleh sebab itu pengembangan karir pegawai dan adaptasi pekerjaan terhadap gaya hidup baru bagi setiap pegawai menjadi penting dilakukan. Keempat, Peraturan perundang-undangan. Banyak peraturan atau perundang-undangan yang mengatur tentang kesempatan kerja dan larangan diskriminasi, atas dasar ras, suku, agama, kelompok, jenis kelamin dan asal usul kebangsaan. Perundang-undangan itu harus dissosialisasikan kepada seluruh manajer dan pegawai agar memiliki kesamaan persepsi dalam melakukan proses manajerial. Sosialisasi perundang-undangan bisa dilakukan melalui pembinaan pegawai. Kelima, Perubahan nilai. Nilai-nilai dasar pekerjaan akan selalu berubah seiring dengan perubahan dinamika social. Nilai pekerjaan tahun sekarang akan dipahami berbeda pada 10 tahun mendatng. Oleh sebab itu pembinana pegawai terkait dengan pemahaman nilai pekerjaan harus selalu dilakukan agar tidak menimbulkan kesenjangan diantara para pegawai dan antara pegawai dengan manajer. Pembinaan pegawai merupakan suatu proses yang sangat penting jika dikaitkan dengan kualitas suatu lembaga baik kualitas yang menyangkut proses maupun hasil. Pembinaan dimaksudkan merencanakan, mengelola dan mengembangkan sumberdaya manusia agar mampu digerakkan untuk mencapai tujuan. Williaam B Castetter (1981) mendefinisikan pembinaan adalah: “Personal development is preminent among those processes designed by the system to attract retain, and improve the quality and quantity of staff members need to solve its problems and to achieve its goals”
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
223
M. Saekhan Muchith
Pendapat tersebut dapat diambil makna bahwa dalama suatu organisasi pembinaan pegawai merupakan suatu yang penting, dimana pembinaan itu dimaksudkan untuk menarik dan mempertahankan jumlah pegawai baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam rangka mencapai tujuan serta untuk memecahkan masalah yang dihadapi organaisasi atau lembaga. Esensi pembinaan pegawai adalah bagaimana mempertahankan atau menjaga antara kebutuhan pekerjaan dengan tenaga yang melaksanakan pekerjaan tetap seimbang. Dengan pembinaan pegawai ini, perencanaan yang telah dirumuskan akan dapat diwujudkan dengan jadual waktu yang telah ditetapkan. Didalam pembinaan terkandung makna perencanaan, pemberdayaan dan juga evaluasi pegawai terhadap kinerja yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Hal I ni sesuai dengan pandangan William B Castetter bahwa unsur dalam pembinaan pegawai meliputi, recruitment, selection, induction, appraisal, development, compensation. Recriutment merupakan kegiatan yang dirancang dalam memikat atau menarik pegawai yang dibutuhkan. Penarikan dapat berbentuk jangka pendek dan jangka panjang serta dapat bersumber dari dalam maupun dari luar. Dasar penarikan pegawai adalah dilihat dari kebutuhan yang diperlukan oelh lembaga atau perusahaan. Oleh sebab itu penarikan atau rekrutmen harus melihat rasio antara kebutuhan dan jumlah yang diterima. Selection, merupakan suatu proses pengambilan keputusan untuk menentukan seseorang menduduki suatu jabatan. Seleksi yang tepat dan bermutu akan mengurangi pemborosan waktu, usaha dan dana. Seleksi dapat dilakukan dengan mempelajari data calon pelamar, rekomendasi, test dan wawancara. Dengan seleksi ini, perusahaan memiliki peluang besar untuk memiliki kualitas pegawai yang sesuai dengan kebutuhan nyata lembaga atau perusahaan. Induction merupakan usaha membantu pegawai baru untuk menyesuaikan diri dalam tugas yang akan diemban. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara memberi informasi yang diperlukan dan pengakuan serta penerimaan dari pegawai yang telah ada. Induction ini dapat dilakukan secara formal-informal, langusng-tidak langsung, individual-kelompok.
224
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
Appraisal merupakan aktivitas membantu personil agar bekerja lebih produktif. Penilaian personil harus didasarkan pada partisipasi individu dan perannya yang dikaitkan dengan kegiatan supervisi atau pengawasan (pembinaan). Compensation merupakan proses pemberian kesejahteraan pegawai dengan cara mengalokasikan sumber-sumber keuangan. Bentuk kepuasan antara lain transaksi ekonomis (gaji), transaksi psikologis (kepuasan dan kenyamanan personil), transaksi sosiologis (hubungan yang menyenangkan), transaksi politis (memperoleh kepuasan dalam jabatan) transaksi etis (adanya kejujuran diantara keduabelah pihak). William B Castetter (1981), mengejelaskan bahwa dalam melakukan pembinaan pegawai harus didasarkan beberapa asumsi sebagai berikut; Pertama, the concept of the interrelations among system, unit and individual goals has implication for the design an implementation of personal development programs. Artinya pembinaan harus melihat keterkaitan berbagai elemen atau pihak pihak yang terkait dalam suatu lembaga atau organisasi/perusahaan agar tujuannya tercapai secara efektif dan optimal. Kedua, development includes all school personnel on playroll. Although emphasis on professional staff is quite proper application of the discussion that follows is to total staff development. Artinya pembinaan harus bisa dirasakan secara merata bukan hanya dirasakan atau dinikmati sekelompok kecil saja yang ada disuatu organisasi, perusahaan dan lembaga. Ketiga, development includes all activities designed to increase an individuals ability to perform assignment effectively whatever the role and whatever the levels at which the are performed. Artinya pembinaan ini meliputi seluruh kegiatan yang direncanakan untuk meningkatkan kemampuan personil dalam melaksanakan tugasnya secara efektif, apapun tingkat dan perananya dalam suatu organisasi. Keempat, development is focused on two kind of activity: specifically planned and administrated by the school system (formal approaches) and those initiated by personnel (informal approaches). Artinya pembinaan dapat secara melembaga oleh organisasi atau secara individual berdasarkan inisiatif sendiri. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
225
M. Saekhan Muchith
Kelima, personnel development is aimed at changing the behavior of those angaged in the process. Artinya pembinaan disamping dapat memperluas pengetahuan dan ketrampilan juga dimaksudkan untuk melakukan perubahan tingkat laku bagi personil yang mengalami pembinaan. Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembinaan pegawai merupakan proses yang sangat kompleks, utuh dan harus dilakukan secara sadar dan terencana serta lebih berorientasi kemasa depan, artinya pembinaan pegawai tidak bisa hanya didasarkan kebutuhan masa sekarang tetapi juga harus melihat dinamika dan perkembangan masa yang akan datang . D. METODE DAN PENDEKATAN Penelitian dapat dikategorikan jenis penelitian kualitatif. Penelitian, menurut Sudarwan Danim dalam Buku Menjadi Peneliti Kualitatif (2002:60-64) dijelaskan bahwa cirri-ciri penelitian kualitatif adalah (a) penelitian kualitatif memiliki setting alami sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai instrument utamanya (b) penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan angka-angka. Kalaupun ada angka hanya sebagai data penunjang. Data ayang diperoleh diantaranya berupa transkrip interviu, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi dll. (c) Penelitian kualitatif lebih bersifat proses dari pada hasil (d) penelitian kualitatif lebih cenderung menggunakan pendekatan induktif (e) Penelitian kualitatif memberi makna, yaitu fokus penelaahan terpaut langsung dengan masalah kehidupan manusia. E. TEHNIK PENGUMPULAN DATA Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara antara lain; Pertama, Observasi. Amirul Hadi (2005:129) “Metodologi Penelitian Pendidikan” dijelaskan bahwa observasi adalah suatu proses mencatat pengalaman secara sistematis yang diperoleh malalui pengamatan terhadap suatu obyek. 226
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
Kedua, Wawancara mendalam. Sudarwan Danim (2002:130) “ Menjadi Peneliti Kualitatif” dijelaskan bahwa wawancara adalah percakapan antara dua orang atau lebih yang pertanyaannya ditujuan kepada obyek peneliti atau sekelompok obyek penelitian. Wawancara dalam penelitian ini digunakan kepada Para pimpinan Kantor Kemenag kab. Kudus, Kasi Mapenda, Kasi Peka Pontren, Kasubag TU, Pengawas Sekolah, Kepala Madrasah dan para guru di lingkungan Kantor kementerian Agama Kabupaten Kudus. Ketiga, Dokumentasi. Sugiono (2008:329), “Metode Penelitian Pendidikan” menjelaskan bahwa dokumentasi adalah salah satu cara untuk melengkapi data penelitian. Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu seperti tulisan, gambar, atau karya-karya monumental seseorang. Dokumentasi yang diperlukan peneliti adalah berupa beberapa peraturan yang menyangkut tentang Pengawas Sekolah khususnya yang terkait dengan Model Pembinaan Pengawas Sekolah , seperti Permendiknas nomor 12 tahun 2007, tentang Standar Pengawas sekolah/Madrasah, naskah Akademik Tentang Standar Pengawas Sekolah (kualifikasi dan kompetensi), Keputusan menteri Agama (KMA) Nomor 381 tahun 1999 tentang Petunjuk Tehnis Pelaksanaan jabatan fungsional Pengawas pendidikan Agama dan Angka Kreditnya, Anggaran dasar dan Anggaran Rumah tangga (AD/ ART) Asosiasi pengawas sekolah Indonesia (APSI). F. ANALISIS DATA Analisis data adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, cacatan lapangan dan bahan-bahan lain yang telah dikumpulkan atau dihimpun oleh peneliti setelah melakukan proses pengambilan data dari lapangan. Kegiatan analisis data ini dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan sehingga dapat dikelola yang akhirnya dapat ditemukan makna yang sebenarnya sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan. Hal-hal yang harus dihindari peneliti pada saat analisa data dilapangan ada 4 hal ; a. Jangan takut membuat spekulasi karena hal itu dapat membantu peneliti dalam membangun ide-ide baru yang reflektif dan bermakna EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
227
M. Saekhan Muchith
b. Jangan menyimpulkan ide-ide yang ada didalam pikiran peneliti karena tindakan seperti itu akan mudah membuat peneliti melupakan apa yang sebenarnya terjadi c. Lakukan pertukaran (venting) dengana cara mendiskusikan ide peneliti dengan kawan atau menulis apa saja yang sedeang dipikirkan d. Ketika peneliti mereviu data, gunakan tanda-tanda khusus, lingkari, kata-kata kunci dan ungkapan pendek yang digunakan subjek. G. TEMUAN PENELITIAN Pertama, Rekrutmen/seleksi pengawas Berdasarkan wawancara dengan Ketua Kelompok Kerja Pengawas (Pokjawas) H. Supa’at, S.Ag pada tanggal 1 dan 12 oktober 2009 dan 5 januari 2010 diperoleh data bahwa sistem rekrutmen/ seleksi pengawas sekolah di kantor kementerian agama Kabupaten Kudus menggunakan dasar yuridis yang berasal dari Kementerian Agama yaitu lebih didasarkan kepada KMA nomor 381 tahun 1999. Aturan Permendiknas nomor 12 tahun 2007 menjadi bahan pengayaan, sehingga sistem seleksi pengawas sekolah di kantor kementerian agama Kudus masih kurang ideal/pas. Oleh sebab itu proses rekrutmen /seleksi perlu ada penyempurnaan atau penambahan agar terwujud kualitas pengawas sekolah yang ideal. H. Supa’at, S.Ag Ketua Pokjawas kudus menuturkan sebagai berikut: “menurut pendapat saya, tetapi ini pendapat saya lho…. Bahwa proses pengangkatan pengawas di depag sudah sesuai dengan KMA nomor 381 tahun 1999, tetapi menurut saya jika hayna memperhatikan seperti dalam KMA saja kok rasanya masih kurang ideal. Maka menurut pendapat saya perlu ada penambahan atau pengembangan yaitu pengawas yang diangkat harus terlebih dahulu pernah menjadi kepala sekolah dan juga pernah menjadi guru teladan. Hal ini penting agar para pengawas memiliki kemampuan dan kesiapan mental yang baik”
Sebagai ketua pokjawas, H. Supa’at memiliki harapan bahwa proses rekrutmen/seleksi pengawas perlu melibatkan pengawas secara proporsional minimal dalam perencanaan. Berdasarkan wawancara tanggal 12 oktober 2009, H. Supaat, S.Ag menuturkan sebagai berikut:
228
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
“ begini mas, seleksi itukan suatu tahapan mulai dari input, proses dan hasil. Tahapan itu perlu ada perbaikan atau penyempurnaan. Misalnya tadi, inputnya atau syaratnya jangan hanya mengacu KMA saja, tetapi perlu ada tambahantambahan seperti yang saya sebutkan tadi. Terus dalam seleksi harus ada juga penyempurnaan, misalnya ketua pokjawas atau para pengawas dilibatkan minimal diajak bicara dalam menentukan perencanaan, sehingga kami bisa rembugan atau bisa kami rapatkan dengan bapak-bapak pengawas lainnya agar terwujud pengawas yang berkualitas. Idealnya, kami dari pengawas dimintai data mentah tentang pengawas, selanjutnya data atersebut kami konsultasikan dengan pimpinan. Koordinasi seperti ini peru dilakukan sebelum seleksi pengawas. Tentang seleksi barangkali tidak cukup hanya tertulis dan wawancara, tetapi perlu ada tes lainnya yang diharapkan dapat melahirkan pengawas yang benar-benar ideal dalama artian mampu melakukan bimbingan dan pembinaan yang baik kepada para guru dan juga kepala sekolah”.
Hasil wawancara kepada pengawas sekolah tanggal 2 desember 2009, 2 pebruari, 21 april dan 12, 14, 19, 20 mei 2010 diperoleh data bahwa pengawas sependapat dengan yang diusulkan ketua pokjawas dan pengawas memiliki harapan tambahan persyaratan proses rekrutmen/seleksi pengawas sekolah yang akan datang diantaranya, memiliki pengalaman organisasi khusus misalnya organisasi dalam bidang pendidikan/ pembelajaran, memiliki karya ilmiah yang pernah dipublikasikan. Alasan pengawas sekolah memberikan tambahan persyaratan ini karena pengawas sekolah memiliki peran sangat dominan untuk mewujudkan kualitas pendidikan. Senada dengan pengawas, Drs. H. Akhmad Mundakir, M.Si selaku kasubag Tata Usaha (TU) dan Plh Kasi Mapenda dalam wawancara tanggal 10 mei 2010 mengatakan: “ memang kalau rasio rekrutmen/seleksi secara formal memamg belum diatur, tetapi secara kenyataan rasio menurut saya sudah cukup baik tetapi memang masih perlu ditingkatkan. Selama ini rasio antara jumlah yang diseleksi dan yang diterima selalu lebih banyak dibanding dengan yang diterima. Kalau bicara idealnya ya rasio itu berkisar 1:5 atau minimal 1:3”
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala kantor kementerian agama Kudus tanggal 18 maret dan 1 april 2010, dan wawancara dengan kepala sub bagian tata usaha (kasubag EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
229
M. Saekhan Muchith
TU) tanggal 5 & 10 april 2010 diperoleh data bahwa dalam proses rekrutmen/seleksi pengawas belum melibatkan elemen yang terkait. Kepala kantor dan kasubag dilibatkan sesuai dengan kewenanangannya yaitu keterlibatan bersifat administratif. Berdasarkan hasil wawancara dengan kasi mapenda tanggal 29 agustus, 5 oktober 2009 dan 10 mei 2010, diperoleh data bahwa agar proses rkerutmen/seleksi pengawas sekolah di kantor kementerian agama Kudus menghasilkan penegawas yang berkualitas maka elemen lain seperti ketua pokjawas harus dilibatkan dalam hal jatah kebutuhan dan nama-nama calon yang layak diusulkan mengikuti proses rekrutmen/ seleksi. Eelemen lain seperti LPMP atau lembaga yang memiliki kompetensi dalam hal rekrutmen/seleksi pengawas selain LPMP jika ada perlu dilibatkan dalam proses seleksi. Dra. Fahriyah selaku Kasi Mapenda dalam wawancara tanggal 29 agustus 2009 menyatakan “ Saya sebagai kasi mapenda tidak pernah terlibat dalam proses rekrutmen/seleksi pengawas sekolah, saya hanya terlibat secara administrative ya seperti menerima surat dan kemudian melakukan kordinasi dengan pihak lain. Keterlibatan dalam TIM wawancara, terlibat dalam penyusunan soal atau dimintai masukan sebelum penentuan akhir juga tidak pernah”.
Proses rekrtumen/seleksi diharaapkan menghasilkan profil pengawas yang ideal. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala kentor kementerian agama Kudus pada tanggal, 18 dan 1 april 2010, diperoleh data bahwa profil pengawas yang yang diharapkan adalah pengawas yang memiliki ketrampilan dalam memimpin, memiliki ketrampilan melakukan komunikasi, memiliki ketrampilan berfikir logis dan memahami teknologi khusunya teknologi pembelajaran. Berdasarkan temuan dari lapangan, dan setelah di roses melalui FGD maka dapat dikatakan bahwa perlu ada aturan atau regulasi yang mengatur keterlibatan elemen dalam proses rekrutmen/seleksi pengawas dengan ketentuan seperti dalam diagram dibawah ini.
230
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
INPUT 1. Guru berkualifikasi S2 2. Berpengalaman sebagai guru 6 tahun 3. Berpengalaman sebagai Kepala sekolah 4 tahun 4. memiliki prestasi dalam bidang pendidikan 5. memiliki karya ilmiah/buku ajar 6. Pengalaman mengikuti pelatihan metode pembelajaran 7. Aktif organisasi dalam pendidikan
Otonom
Proses
Transparan
1. data dari pengawas 2. dibahas dalam rapat pokjawas 3. dibahas dalam radintap 4. dikonsultasi kan hirarkhis 1. terbuka 2. seleksi administratif 1:5 3. Tes tertulis 4. wawancara 5. Tes tindakan 6. Kerjasama dengan pihak ketiga 7. Tim asistensi
QUOTA
Calon Pengawas
Legalisasi/SK Pengangkatan
Kedua, Sistem Pelatihan Pengawas Sekolah Dra. H. Fahriyah selaku Kasi mapenda dalam wawancara tanggal 29 oktober 2009 menuturkan “ pelatihan itu tidak akan ada manfaatnya jika tidak dibarengi dengan penyempurnaan rasio dan penambahan spesialisasi pengawas. Depag selama ini hanya memiliki pengawas PAI dan pengawas madrasah. Untuk pengawas mata pelajaran non PAI khususnya yang ada di madrasah belum punya, misalnya pengaws MTK, IPS, Biologi, Ekonomi. Karena di madrasah itu tidak hanya mengajarkan PAI saja tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum seperti yang tadi saya sebutkan. Olkeh sebab itu menurut saya depag harus mengusulkan penambahyan atau pemisahan pengawas antara pengaws PAI di sekolah umum dan pengawas mata pelajaran umum yang ada di madrasah dan pengawas khusus untuk madin. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
231
M. Saekhan Muchith
Pelatihan terhadap pengawas dirasakan belum optimal bagi para pengawas. Hal ini menimbulkan adanya cara pembinaan yang dilakukan para pengawas itu hanya berdasarkan pengalaman masing-masing pengawas. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua pokjaws pada tanggal 1 dan 12 oktober 2009, tanggal 5 januari 2010 diperoleh hasil bahwa pelatihan terhadap pengawas belum terjadual secara rutin, sehingga masing-masing pengawas melakukan pembinaan terhadap guru dan sekolah didasarkan pengalamnnya sendiri atau hasil kreativitas sendiri-sendiri. Pengawas dilingkungan kanor kemenag juga memiliki tugas mengawasi atau membina madin, oleh sebab itu pembinaan juga harus diarahkan untuk memberi bekal kemampuan dan ketrampilan agar pengawas sekolah memiliki kemampuan membina madin sesuai dengan jenjangnya. Pelatihan harus diarahkan untuk memenuhi rasio pengawasan, idealnya pengawasan 1:20/25.
Dalam pandangan pengawas sekolah, pelatihan yang efektif adalah pelatihyan yang dilakukan dengan metode yang lebih tepat bagi pengawas terkait dengan penambahan pengetahuan dalam melakukan pembinaan terhadap guru dan pimpinan satuan pendidikan dan dilakukan secara terus menerus baik yang bersifat full time dan part time. Dalam tanggal 21 april 2010, Dra. H. Siti Zumaroh juga menuturkan tentang pelatihan pengawas “ untuk mewujudkan pengaws yang ideal perlu dilakukan pelatihan secara rutin dan kontinyu, agar pelatihannya optimal maka pelatihan perlu dilakukan dengan cara dua macam model yaitu cara model total (ful time) maksudnya pengawas diberi waktu pelatihan selama kurun waktu tertentu mungkin 1 minggu atau 2 minggu dan berasrama ataud engan cara tidak total (part time) maksudnya disela-sela kegiatan perlua da pelatihan yang waktunya mungkin setengah hari, atau satu hari, memang pelatihan itu harus dilakukan dengan berbagai cara. Drs. HM. Subhan, M.PdI selaku pengawas PAI di SMP/SMA dalam wawancara tanggal 21 april 2010 menuturkan “ menurut saya pelatihan itu perlu dilakukan dengan berbagai cara, tetapi yang penting pelatihan itu mampu mewujudkan profil ideal bagi pengawas”
Berdasarkan temuan data dari lapangandan hasil FGD maka sistem pelatihan pengawas sekolah di kantor kementerian agama kabupaten Kudus dapat dilakukan seperti gambar dibawah ini: 232
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
PROFIL IDEAL
1. Pengetahuan dasar 2. Kemampuan Problem solving 3. Daya fikir kritis 4. Terampil komunikasi 5. Berwawasan luas 6. Ketrampilan teknologi
Pendekatan
Sistem pelatihan
Andragogic Part time Full time
Matode pelatihan
-
Klasikal Small group Presentasi Tugas lapangan
Evaluasi
Proses
O U T P U T
Hasil
Ketiga, Penilaian Kinerja pengawas
Sistem penilaian terhadap pengawas sekolah di kantor kementerian agama Kudus belum dilakukan secara optimal. Penilaian baru dilakukan dengan satu cara yaitu melalui Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3). Berdasarkan wawancara dengan kasi mapenda, diperoleh data, sebagai berikut: Dra. H. Fahriyah kasi Mapenda dalam wawancara tanggal 02 nopember 2009 menuturkan “ sebenarnya dalam diktum atau aspek penilaian DP3 sudah mencakup banyak hal, seperti kesetiaan, tanggung jawab, prestasi dan lain sebagainya, tetapi cara untuk mengetahui aspek yang dinilai itu masih kesulitan, oleh sebab itu kalau dimungkinkan memang perlu ada cara lain selain DP3 untuk mengetahui kinerja pengawas sekolah. Mengenai siapa yang layak diberi kewenangan untuk menilai pengawas, H. Supa’at selaku ketua pokjawas dalam wawancara tanggal 12 oktober 2010 menuturkan “ kalau selama ini, sampai hari ini yang menilai pengawas hanya kepala kantor yaitu dengan DP3 tadi. Tetapi kalau ingin ada perbaikan penilaian tidak hanya DP3, ya mestinya ada tambahan orang yang menilai pengawas. Tambahan itu bias ketua pokjawas, teman sejawat bahkan bisa EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
233
M. Saekhan Muchith
jadi kepala sekolah atau madrasah. Tetapi perlu dicari format yang tepat agar proporsional atau tidak tumpang tindih”.
Berdasarkan data penelitian dan hasil FGD maka dapat dikatakan penilaian kinerja perlu disempurnakan dengan sistem penilaian yang utuh dan komprehensif seperti dalam gambar di bawah ini:
Aspek yang dinilai
Kompetensi kepribadian Kompetensi supervisi Manajerial Kompetensi supervisi Akademik Kompetensi evaluasi Pendidikan Kompetensi penelitian pengembangan Kompetensi sosial
Instrument penilaian
Skala sikap, cek list, portofolio, DP3
Elemen penilaian
Pimp Kantor, Kamad/Guru, Pokjawas, teman sejawat.
Target
234
Kesesuaian antara keterampilan dengan kompetensi
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
Keempat, Pendekatan dalam pembinaan pengawas sekolah
Berdasarkan wawancara dengan kasi mapenda tanggal 29 oktober 2009 diperoleh hasil bahwa pembinaan pengawas akan efektif jika menggunakan pendekatan andragogie, kekeluargaan dan informal. Semua kebijakan termasuk pembinaan akan efektif jika didukung dengan dukungan perlengkapan sarana, alat kantor dan trasportasi. Dra. H. Fahriyah selaku kasi mapenda dalam wawancara tanggal 29 oktober 2009 menuturkan bahwa “ pendekatan dalam pembinaan merupakan sesuatu yang kompleks sekali. Jadi menurut saya pembinaan harus dimulai dari pemahaman orang yang membina kepada yang dibina dalam hal ini pengawas sekolah. Pertama, pembinaan jangan selalu dilakukan secara formal saja, mengapa demikian? Karena pengawas merupakan sosok jabatan yang memiliki tugas dan tangung jawab sangat besar. Maka pengawas harus diposisikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kepengawasan, jangan sampai dilakukan dengan anggapan bahwa pengawas tidak mengetahui persoalan sama sekali. Kalau istilahnya ya dengan pendekatan andragogie. Selain itu pendekatan juga harus mengedepankan sistem kekeluargaan dalam artian positif lho. Kekeluargaan jangan diartikan nepotisme, kekeluargaan yang saya maksud adalah pembinaan itu dikemas dengan suasana yang enak, tidak mencar-cari kesalahan melainkan benar-benar mencari solusi pengembangan dan peningkatan kinerja pengawas. Pembinaan juga harus dilakukan secara informal, jangan selalu dilakukan dengan caracara formal. Karena sesuatu itu akan mudah teratasi jika dikemas dengan suasana informal. Jadi kalau disimpulkann ya ada tiga pendekatan, andragogie, kekeluargaan dan informal”.
Berdasarkan hasil FGD kepada kepala madin dan pengawas sekolah yang dilaksanakan tanggal 23 deswember 2009 tentang problematika pengelolaan madin diperoleh data ter kait dengan madin, antara lain: Pertama, madin memiliki problem mendasar berupa problem yang bersifat cultural yaitu masyarakat secara budaya masih menganggap bahwa madin sekedar pendidikan tambahan bukan pendidikan utama. Hal ini menyebabkan munculnya sikap dan perilaku masuarakat yang kurang optimal untuk memberikan dukungan pengembangan. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
235
M. Saekhan Muchith
Kedua, kesadaran untuk memberi kontribusi atau membayar biaya pendidikan masih sangat rendah, tidak seperti kesadaran untuk mengelurkan uang dalam pembiayaan les atau pendidikan formal. Ketiga, pembinaan yang diharapkan adalah pembinaan dari pengawas tentang ketertiban administrasi agar madin mampu sejajar dengan pendidikan formal agama yang lain seperti MI/ MTS/MA. Keempat, pengawas sekolah diharapkan mengoptimalkan perjuangan agar ijazah madin dapat disetarakan dengan sekolah formal lainnya yaitu sederajat dengan MI/MTS/SMP/MA/SMU/ SMK. Kelima, intensitas kunjungan pengawas sekolah perlu diintensifkan dengan cara ada jadual secara rutin setiap bulan, tri wulan atau semesteran. Keenam, bagi guru madin perlu ada pelatihan secara intensif tentang pembelajaran dan manajerial madin seperti pelatihan KTSP dan aktif learning bagi madin. Ketujuh, pengawas diharapkan mampu memperjuangkan agar madin ada system akreditasi seperti yang ada di sekolah formal seperti MI/SD/MTS/SMP/MA/SMU/SMK. Berdasarkan hasil FGD bersama pimpinan kantor kemenag, pengawas sekolah, kepala madrasah dan penglola madin pada tanggal 1 juni 010 tentang model pembinaan pengawas sekolaha maka Pendekatan pembinaan terhadap pengawas sekolah dapat diilustrasikan melalui gambar sebagai bderikut:
Asumsi : - sebagai individu - sebagai manager - sebagai profesi Metode : - Klasikal - Kunjungan - Birokrasi - Portofolio
236
Teknik : - Individuaal - Kelompok - Fungsional
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
Kelima, Aspek pembinaan Pengawas Sekolah
Banyak aspek yang melekat dalam diri setiap manusia termasuk pengawas sekolah yang ada di kantor kementerian agama. Aspek yang perlu dibina bagi manusia meliputi aspek kedisiplinan, kejujuran, semangat menjalkankan tugasnya dan aspek kepatuhyan terhadap aturan atau birokrasi. Drs. H. Akhmad Mundakir, M.Si selaku Kasubag TU dalam wawancara tanggal 10 mei 2010 menyatakan bahwa daris ekian banyak aspek yang melekat dalam diri pengawas, perlu ada skala prioritas. Maka agar pengawas mampu menjalankan tugasnya secara optimal maka aspek yang perlu ditekankan dalam pembinaan adalah bagaimana pengawas mampu memngembangkan profesinya sebagai jabatan professional pengawas, terus kedisiplinan dalam menjalankan tugas pengawasan. Kasi Mapenda memiliki pendapat yang senada dengan kepala kantor kemenetrian agama dan kasubag TU bahwa pembinaan terhadap pengawas perlu diarahkan untuk menciptakan kedisiplinan dan kesadaran untuk memahami dan pengembangan profesinya. Pembinaan perlu dilakukan dengan cara formal dan informal dan pembinaan juga perlu dilakukan dengan suasana kekeluargaan. Dra. H. Fahriyah, selaku kasi Mapenda dalam wawancara tanggal 29 oktober 2009 menjelaskan tentang istilah kekeluargaan. Beliau menuturkan kekeluargaan itu jangan diartikan nepotisme, kekeluargaan yang saya maksud adalah bagaimana pembinaan terhadap pengawas itu dikemas dalam suasana yang enak, tidak mencari-cari kesalahan melainkan benar-benar mencari solusi pengembangan dan peningkatan kinerja pengawas.
Pengawas sekolah dikantor kementerian agama Kudus memiliki tugas tambahan untuk melakukan pengawasan terhadap pembinaan guru madin dan juga pengawasan tentang pengembangan dan pengelolaan lembaga madin. Masih banyak problem yang perlu dibina dan ditertibkan terkait dngan pembinaan madin baik sistem pengelolaan kelembagaan maupun pengembangan profesionalisme guru. Drs. HM. Su’udi, M.Pdi selaku kasi pekapontren dalam wawancara tanggal 3 nopember 2009 menuturkan bahwa … “ya masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh madin seperti problem pendanaan atau dukunagn dana dari pemerintah, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
237
M. Saekhan Muchith
masalah kualifikasi formal para gurunya, masalah evaluasi dan masalah pengakuan lulusan, kan belum semua lulusan madin itu dapat disetarakan dengan lembaga formal, baru madin tertentu saja yang diakui kesetaraannya”
Aspek pembinaan yang perlu ditekankan dalam membina pengawas sekolah terkait dengan tugas tambahan melakukan pengawasan madin harus ditekankan kepada aspek kemampuan melakukan efektivitas pengawasan yaitu pengawas sekolah harus mampu memberi motivasi kepada para guru madin agar memiliki kompetensi yang tepat. Kompetensi yang perlu dimiliki guru madin tidak cukup hanya menguasai kemampuan secara akademik melainkan yang penting adalah kemampuan melakukan komunikasi atau hubungan social atau kemasyarakatan. Drs. HM. Su’udi, M.Pdi selaku kasi pekapontren dalam wawancaranya tanggal 26 april 2010 menuturkan bahwa karema madin itu lembaga non formal, menurut saya masalah kedisiplinan dalam pengelolaan dan pemebelajaran itu perlu ditingkatkan agar efektivitas pembelajaran dan manajerial dapat diwujudkan secara optimal “ Dra. H. Fahriyah selaku kasi mapenda dalam wawancara tanggal 29 oktober 2009 menuturkan bahwa “Pengawas mata pelajaran non PAI khususnya di madrasah belum punya, misalnya pengawas MTK, IPS, biologi, Ekonomi. Karena madrasah tidak hanya mengajarkan mata pelajaran PAI saja tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum seperti yang saya sebutkan tadi. Oleh sebab itu depag seharusnya mengusulkan penambahan atau pemisahan pengawas yaitu pengawas PAI disekolah umum, pengawas mata pelajaran umum di madrasah dan pengawas khusus madin”
Berdasarkan data tersebut ditemukan dan hasil FGD maka dapaat ditemukan data seperti dalam gambar dibawah ini: Kedisiplinan Aspek yang dibina
Efektivitas melaksanakan pengawasan Pengembangan Profesi
238
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
Keenam, Elemen yang memiliki kewenangan melakukan pembinaan
Kepala Seksi mapenda berpendapat bahwa pembinaan terhadap pengawas tidak cukup haanya kepala kantor saja, tetapi perlu ditambah elemen lain yang dianggap terkait dan relevan misalnya para kasi dilingkungan depag, piminan pokjawas, kepala sekolah dan guru juga perlu diposisikan sebagai salah satu sumber informasi untuk mengetahui kinerja atau kualitas pengawas. Dra. H. Fahriyah selaku kasi Mapenda dalam wawancara tanggal 29 oktober 2009 menuturkan “ menurut saya beberapa elemen terkait yang perlu memiliki kewenangan membina pengawas misalnya kepala kantor, para kasi, bila perlu pimpinan pokjawas,bila perlu kepala sekolah dan guru juga perlu diposisikan sebagai sumber informasi yang dapat dijadikan masukan membina pengawas.
Sedangkan menurut kasi pekapontren memiliki pandangan bahwa elemen yang memiliki wewenang untuk membina pengawas memang perlu disempurnakan. Elemen yang memiliki wewenang membina tidak cukup hanya kepala kantor saja, tetapi perlu ditambah dengan elemen lain yang terkait misalnya kasi dan pokjawas. Drs. HM. Su’udi, M.PdI selaku kasi pekapontren dalam wawancara tanggal 26 april 2010 menuturkan “ ya kalau bicara untuk masa yang akan datang menurut saya memang siapa yang membina pengawas perlu disempurnakan, tidak hanya kepala kantor saja, tetapi juga perlu elemen lain yang terkait, misalnya para kasi dan bisa jadi pimpinan kelompok pengawas atau pokjawas”
Pembinaan pengawas sekolah perlu selalu dioptimalkan untuk menghasilkan produk pengawasn yang efektif dan efisien. Jika dengan kondisi pengawas seperti sekarang ini, kinerja pengawas tidak mampu berjalan secara optimal. Untuk melakukan penyempurnaan kinerja pengawas perlu dilakaukand engan dua cara yaitu dengan cara penambahan jumlah pengawas sehingga ada keseimbangan rasio pnegawas dengan lokasi yang dibina. Rasio yang ideal tidak didasarkan dengan jumlahs ekolah atau satuan pendidikan melainkan didasarkan dnegan jumlah guru. Berdasarkan data dari EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
239
M. Saekhan Muchith
lembaga Pengembangan profesi Guru (LPPG) Kudus tahun 2010 diperoleh data bahwa jumlah guru MI, MTS dan MA di Kudus sebanyak 4.005 guru dengan rincian Guru MI sebanyak 1560, Guru MTs 1570 dan guru MA sebanyak 875. H. Mursidi, BA selaku kepala MTS Matholi’ul Huda Kecamatan Gebog Kudus dalam wawancara tanggal 10 mei 2010 menuturkan “ kalau berbicara ideal ya masih banyak yang perlu dilakukan. Misalnya pertama, perlu ada penambahan personil pengawas yang sesuai dengan rasio jumlah guru dan madrasah. Rasio pengawasan bisa jadi tidak didasarkan dengn jumlah sekolah tetapi dengan jumlah guru. Kedua, perlu adas pengawas IPA, IPS, Ekonomi, Biologi, Kimia, Fisika dll. Selama ini guru guru kami mapel umum bingung kemana dan dengan siapa meminta saran dan pembinaan jika ada kesulitan. Sementara pengawas di kantor depag baru pengawas PAI saja. Ketiga, kalau pengawas mata pelajaran belum cukup, maka masing-masing pengawas harus memiliki kesadaran dalam penguasaan ilmu pengetahuan sehingga mampu memberi masukan kepada para guru guru mapel umum yang ada di madrasah”.
Berdasarkan data yang ditemukan penelitia dan berdasarkan hasil FGD maka peneliti memberikan pendapat bahwa pembinaan terhadap pengawas setidaknya dilakukan dengan dua jenis pembinaan yaitu pembinaan yang bersifat pengembangaan profesi dan pembinaan yang bersifat administratif. Ada beberapa elemen yang memiliki kewennagan melakaukan pembinaan. Pembinaan profesi di lakukan oleh elemen kepala kantor, Kasi mapenda, teman sejawat/pokjawas dan kepala madrasah. Diagram dapat dilihat seperti dalam gambar sebagai berikut:
240
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
Kepala Kantor
Kasi Kasubag
TIM KHUSUS KAMAD Teman Sejawat Pengawas Keterangan: ________ : Pembinaan Profesi -------------- : Pembinaan Administratif
I. PENUTUP Sebagai manusia, peneliti menyadari pasti memiliki kekurangan atau kesalahan baik yang disengaja atau tidak disengaja. Melalui media ini penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya bila dirasa menyinggung beberapa pihak selama melaksanakan penelitian dalam penyusunan desertasi ini. Semoga semua amal baik dari semua pihak yang mendukung penulisan desertasi ini menjaid amal yang sholeh dan kelak akan memperoleh imbalan yang setimpal, amien yarobbal ‘alamiin.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
241
DAFTAR PUSTAKA
AA.Anwar Prabu Mangkunegara (2009), Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Refika Aditama, Bandung Jawa Barat. Amirul Hadi (2005), Metodologi Penelitian Pendidikan, Pustaka Setia Bandung, Jawa barat. Burhan Bungis (2007), Penelitian Kuaalitatif, Komunikais, Ekonomi, Kebijakan Publik dean ilmu social lainnya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Castetter William B, (1981) The Personal Functional in Aducation Administration, Ed 3, New York: Mc Milan Publishing Co, Inc. Burton WH & Lee J Bruckner (1955), Supervision, New York: Appleton Century Craff, Inc Davis, GA (1989), Effective School and Effective Teacher, Boston: Allyn and Bacon. Frances Hesselbein & Rob Johnston (ed) (2005), Misi dan kepemimpinan, PT Alex Media Komputindo, Jakarta Good CV (1973), Dictionary of Education, New York, Mc Grow Hill Book Company. James J. Jones & Donald L. Walters (2008), Manajemen Sumber Daya Manusia, Q- Media, Yogyakarta. Jerome S Arcaro (2006), Pendidikan Berbasis Mutu, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Johan Holland (1973), Making Vocational Choices: A Theory of Careers, Engliwood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc. Mohammad Ali (1993), Strategi Penelitian Pendidikan, Angkasa, Bandung Jawa Barat Mc Millan H James & Sally Schumacher (2001), Research In Education, A Conceptual introduction, Longman, New York, Sanfransisco Madya Ekosusilo (2003), Sekolah Unggulan berbasis Nilai, Univet bantara Press, Sukoharjo 242
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus
Mantja W (2007), Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Elang Emas, Malang Jawa Timur Marihot Tua Efendi Hariandja (2007), Manajemen Sumber Daya Manusia, Pengadaan, pengembangan, pengkompensasian dan peninkatan Produktivitas Pegawai, Grasindo, Jakarta. Masyhuri (2008), Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis dan Aplikatif, PT. Refika Aditama, Bandung, Jawa Barat Mondy R Wayne (2008), Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Erlangga, Jakarta. Nana Sudjana (2006), Standar Mutu Pengawas Sekolah, Depdiknas, Jakarta Ndraha, Taliziduhu (2005), Teori Budaya Organisasi, Rineka Cipta, Jakarta. Peter, Oliva F (1976), Supervison for Today Schools, Logman, New York & London Petunjuk tehnis (juknis) Jabatan Fungsional pengawas sekolah tahun 2000 Retno Sriningsih Satmoko (1999), Landasan Kependidikan, CV. IKIP Semarang Press, Jawa Tengah Ronald S Brandt (ed) (1982), Supervision of Teaching, Yearbook Committee. Samana A (1994), Profesionalisme Keguruan, kanisius, Yogyakarta Soetjipto (2007), Profesi Keguruan, Rineka Cipta, Jakarta Soekidjo Notoatmodjo (2009) Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rinike Cipta, Jakarta. Sergiovanni J Thomas & Starrtt J Robert (1993), Supervison, McGrowHill, Inc New York Sudarwan Danim (2002), Menjadi Peneliti Kuaalitatif, Cv Pustaka Setia, Bandung Jawa Barat. Suharsimki Arikunto (2008) Manajemen Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta _____________________ (2008), Evaluasi Program Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
243
M. Saekhan Muchith
Surat keputusan (SK) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional Pengawas Sekolah Surat keputusan (SK) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 091/KEP/M.PAN/10/2001 tentang jabatan fungsional Pengawas Sekolah Sugiono (2008), Metode Penelitian Pendidikan, Alfabeta, Bandung, Jawa Barat. Tony Bush (2006), Theories of Educational Leadership and Management, SAGE Publications, London Werther, William B dan Keith Davis (1996), Human Reseources and Personel Management (Fifth Edition), Mcgraw-Hill, Inc New York. Zaenal Aqib (2007), Profesionalisme Guru dan Pengawas sekolah, CV YRama Widya, Bandung Jawa Barat ____________ (2009), Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, CV Yrama Widya, bandung Jawa Barat. Depdikbud (1997), Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan angka kreditnya, Jakarta Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Naskah Akademik tentang Standar Pengawas Sekolah , Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah P. Robbin Stephen – Timothy A Judge (2008) Perilaku Organisasi, Salemba Empat, Jakarta. Peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 381 tahun 1999 tentang Petunjuk Tehnis Pelaksanaan Jabatan fungsional Pengawas Pendidikan Agama dan angka kreditnya. Keputusan Mendiknas nomor 020/U/1998 tentang petunjuk tehnis tata kerja Pengawas Sekolah 244
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
PENGARUH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DI ERA KEKHALIFAHAN ABBASIYAH Umar
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran suasana kerukunan diantara umat beragama yang mungkin berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dengan mengambil sampel di masa pemarintahan Abbasiyah. Bukti ekstrim yang mendukung orgensi penelitian ini adalah bahwa di bawah kekuasaan umat Islam selama 500 tahun di Spanyol muncul tiga agama: Islam, Yahudi, dan Nasrani. Mereka hidup rukun dalam satu negara dan mengembangkan peradaban-inklusif ilmu pengetahuan- yang begitu cemerlang. Dengan demikian, penelitian yang diharapkan berhasil mengungkapkan adanya kerukunan umat beragama dan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di masa pemerintahan Abbasiyah dapat dijadikan model bagi usaha pengembangan ilmu pengetahuan di masa kini. Metodelogi penelitian yang dipilih adalah metodelogi kualitatif karena mempunyai sifat responsif dan sarat nilai. Karena penelitian ini termasuk jenis penelitian library research, maka data yang diperolehnya adalah bertumpu pada pemahaman teks yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas dengan menggunakan pendekatan sejarah/history, dalam arti mejelaskan apa yang sesungguhnya telah terjadi di masa lampau. Sedangkan hasil sementara yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah adanya kerukunan antar umat beragama dalam wilayah pemerintahan Abbasiyah, dan kerukunan antar umat beragama mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Kata kunci: Kerukunan umat beragama, perkembangan ilmu pengetahuan, kekhalifahan Abbasiyah. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
245
Umar
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ada tiga periode besar sejarah umat Islam, yaitu periode klasik, pengetahuan, dan modern (Harun Nasution,1975:12). Dalam periode klasik terdapat suatu fase yang disebut fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan yang berlangsung antara tahun 650-1000 M. Dalam subfase puncak kemajuan memuncak pula perkermbangan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun bidang non-agama (Harun Nasution,1975:13). Artinya, pasca tahun 1000 M grafik prestasi umat Islam mengalami pasang surut dan pasang naik. Akan tetapi, pasang naik sejarah umat Islam hingga kini tidak dapat disejajarkan dengan puncak kemajuan zaman klasik. Rentang waktu antara tahun 650 hingga tahun 1000 M, umat Islam secara politis dikuasai oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Kurang lebih seratus tahun pertama (650-750) mereka dikuasai oleh Bani Umayyah (Abu Ja’far Muchammad Ibnu Jarir at-Thabari,1987:315317) dan sisanya dikuasai oleh Bani Abbasiyah. Secara keseluruhan Bani Umayyah berkuasa pada tahun 661-750 M (Dilip Hiro,1980:26). Dan pada masanya disebut sebagai periode ekspansi dalam Islam (Dilip Hiro,1980:26). Secara keseluruhan Bani Abbasiyah berkuasa pada tahun 750-1258 M/ 132-656 H (H.A. Gibb,1960:15). Dengan demikian puncak kemajuan ilmu pengetahuan terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Sementara itu yang menonjol di era ini adalah Islam sebagai sistim sosial, yang antara lain ditegakkan oleh kaum intelektualnya. Dapat dipahami bahwa kiranya di era Abbasiyah terdapat sejumlah kelas sosial keagamaan atau sejumlah umat beragama, atau pula sejumlah agama yang dianut oleh umatnya masing-masing. Di wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah itu terdapat tertib dan maksudmaksud tertentu di balik hubungan-hubungan antara umat beragama. Maksud-maksud itu adalah memperkembangkan ilmu pengetahuan. Pelaku pengembang ilmu pengetahuan itu adalah kaum intelektualnya. Pengertian sistem menurut The Liang Gie adalah kebulatan dari jumlah unsur-unsur yang saling berhubungan menurut suatu pengaturan guna mencapai suatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Jadi sesuatu sistem apapun tersesusun dari empat hal, yakni: sejumlah unsur, serangkaian hubungan, asas tertib, dan maksud / peranan tertentu. 246
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Adanya hubungan diantara umat beragama yang satu dengan yang lain atas dasar tertib tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu kiranya takkan dapat terwujud kecuali dalam suasana hidup rukun diantara mereka. Kerukunan antar umat beragama pada masa khalifah Abbasiyah sangat dijunjung tinggi, misalnya pada masa khalifah al-Hadi, Ali bin Sulaiman gubernur Mesir telah membonngkar gereja Katerdral untuk suatu alasan. Perkara ini diajukan kepada khalifah Harun al-Rasyid, pengganti khalifah al-Hadi. Khalifah baru ini menjatuhkan hubungan berat atas diri Ali bin Sulaiman dengan memberhentikannya sebagai gubernur serta menggantikannya dengan Musa bin Isa, yang segera berkonsultasi dengan para ahli hukum Islam mengenai tindakan apa yang akan diambil dalam perkara pembongkaran itu. Para ahli hukum itu dengan suara bulat beranggapan bahwa gereja-gereja yang telah dibongkar oleh khalifah terdahulu, harus dibagun kembali dengan biaya negara. Masalahnya adalah apa memang benar ada kerukunan umat beragama dan kerukunan umat beragama itu mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di era kekhalifahan Bani Abbasiyah? B. Hipotesis Atas dasar pemikiran tersebut, maka dapat diajukan hipotesis bahwa terdapat kerukunan antar umat beragama dalam wilayah pemerintahan Abbasiyah, dan kerukunan antar umat beragama mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. C. Rumusan Masalah Bertolak dari pengertian istilah tersebut dapat dinyatakan bahwa judul pengertian ini hendak menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah terdapat kondisi rukun diantara para penganut agama yang satu terhadap penganut agama yang lain. Kerukunan umat beragama itu mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah: 1) Kerukunan umat beragama dari penganut agama yang satu dengan penganut agama yang lain. 2) Perkembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
247
Umar
3) Korelasi antara umat beragama dengan perkembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Korelasi masalah ini dibatasi dalam wilayah kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah dalam kurun waktu antara tahun 750-1000 M atau padanan Hijriyahnya. D. Urgensi, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian Di era globalisasi sekarang ini, kerukunan umat beragama, khususnya intern umat Islam belum dapat diwujudkan secara maksimal. Kondisi umat Islam di negara-negara yang penduduk muslimnya minoritas menjadi kebrutalan rezim yang berkuasa. Wujud solidaritas umat Islam dari negara-negara lain atau negara yang penduduk mayoritasnya muslim,ataupun antar penganut agama masih terbatas pada level diplomasi. Maka, penelitian yang temuantemuannya hendak menggambarkan suasana kerukuanan diantara umat beragama yang mungkin berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dengan mengambil sampel di masa pemerintahan Abbasiyah tampak relevan. Sedikitnya terdapat dua bukti ekstrim yang mendukung orgensi penelitian ini: 1) Di bawah kekuasaan umat Islam selama 500 tahun di Spanyol muncul tiga agama: Islam, Yahudi, dan Nasrani. Mereka hidup rukun dalam satu negara dan mengembangkan peradabaninklusif ilmu pengetahuan- yang begitu cemerlang (Max I. Dimont dalam Nur Cholish Madjid,1992:27). 2) Peradaban yang berkembang sekarang ini adalah peradaban Barat dan merupakan produk sekularisme. Peradaban ini hanya berhasil mensejahterakan manusia di bidang material-lahiriah, tetapi gagal mengangkat derajat manusia dalam keutuhannya bahkan terasing dengan dirinya sendiri (C.A Qadir dalam Hasan Basri,1989:5). Dengan demikian, penelitian yang diharapkan berhasil mengungkapkan adanya kerukunan umat beragama dan pengaruhnya terhadap perkenmbangan ilmu pengetahuan di masa pemerintahan Abbasiyah dapat dijadikan model bagi usaha pengembanagn ilmu pengetahuan di masa kini yang pada gilirannya dapat mensejahterakan manusia secara lahir maupun batin. 248
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Karena penelitian ini merupakan kegiatan akademik, maka diharapkan dapat memberikan pengalaman konkrit kepada para mahasiswa, para akademisi, dan pembaca pada umumnya. Penelitian jenis Literer ini, dilakukan di lokasi semenjak dari penyusunan proposal, perumusan masalah, penyusunan kerangka metodelogi, penyusunan item-item yang diperlukan sampai penyusunan laporannya. E. Metodologi Penelitian Untuk menyelesaikan penelitian ini digunakan metodologi yang mencakup: landasan filosofis, populasi, teknik sampling, rekaman data, teknik analisis, dan penarikan kesimpulan,lokasi penelitian. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Landasan Filosofis Oleh karena kerukunan umat beragama di wilayah kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah mencakup persoalan-persoalan etik hingga persoalan yang transendental, maka metodologi penelitian adalah metodologi kualitatif karena mempunyai sifat adabtable, responsif, dan sarat nilai. Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan positifistik yang langkah-langkahnya sama dengan metodologi kuantitatif kecuali dalam hal rekaman data dan pemaknaannya. 2. Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh pemeluk agama di wilayah kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah dalam kurun waktu antara tahun 750-1000 M atau padanan Hijriyahnya. 3. Teknik Sampling Asumsi adanya heterogenitas pemeluk agama di lokasi penelitian maka teknik sampling yang digunakan adalah purposif sampling dan sertifikasi sampling. Teknik sampling yang pertama secara praktis menunjukkan pada kalangan-kalangan pemeluk agama. Teknik sampling yang kedua menunjukkan pada kelas intelektual dari masing-masing kalangan pemeluk agama. Termasuk kelas intelektual adalah mereka yang mempunyai otoritas dalam keilmuan dan mempunyai karya tertulis atau dicatat oleh sejarawan, penguasa yang mempunyai komitmen terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan para sponsor perkembangan ilmu pengetahuan. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
249
Umar
4. Rekaman Data Sesuai dengan judul penelitian ini dan karakter metodologi kualitatif, maka metode pengumpulan data yang dipilih adalah library research (penelitian kepustakaan). Penelitian ini bertumpu pada pemahaman teks yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas. Dengan demikian, penelitian ini juga menggunakan pendekatan sejarah (history), dalam arti menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau (Patrick Lancaster Gardiner,1979:961). Sikap yang dipegangi terhadap sesuatu yang telah terjadi itu adalah hanya membatasi fakta-fakta empiris dan bukan keyakinan agama (Hans Meyerhoff,1959:5). Tentu saja, fakta-fakta empirik yang dimaksud telah terekam dalam bentuk catatan-catatan sejarah. Menyadari keterbatasan penelitian ini, kritik intern dan kritik ekstern seperti yang dijelaskan oleh Carter V. Good Douglas Scates (Carter V. Good Douglas E. Scates dalam Koentjaraningrat,1977:89, 83-84) tidak dilalui. Hal ini dilakukan karena begitu jauhnya jarak waktu antara kegiatan penelitian ini dan peristiwa-peristiwa sejarah dan para saksinya, baik yang primer maupun yang sekunder di satu pihak dan kredibilitas pribadi para saksi sejarah dipihak lain. Catatan sejarah dari sumber sejarawan secara apriori dijadikan sebagai sumber informasi. Sejauh yang dapat dijadikan patokan untuk menguji keabsahan catatan sejarah adalah memberlakukan antara catatan sejarah yang satu dengan catatan sejarah yang lain dalam persoalan yang sama sebagai saling menjadi koroborasi = pendukung. 5. Teknik Analisis Data Karena kumpulan data berwujud ungkapan-ungkapan verbal dan bukan angka, maka data akan diolah sesegera mungkin, yakni ketika kegiatan penelitian ini masih berada dalam tahap pengumpulan data di lapangan. Teknik analisis data meliputi reduksi, pengkodean, pengeditan, klasifikasi, kategorisasi, pencatatan objektif, catatan reflektif, dan catatan marginal. 6. Penyimpulan Tata pikir yang digunakan dalam penarikan penyimpulan ini adalah menggunakan model yang ditawarkan oleh Miles dan 250
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Huberman, tetapi hanya terbatas pada siasat ke enam, yaitu memecah variabel dan sub-variabel dan siasat tiga nampak cukup beralasan (Noeng Muhadjir,1989:50-51). 7. Lokasi Penelitian Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan di perpustakaan STAIN Kudus, Perpustakaan Universitas Muria Kudus, dan Perpustakaan Islam di Kudus. Sasarannya adalah koleksikoleksi yang bisa memberikan jawaban atas item-item yang telah disiapkan. II. HASIL TEMUAN PENELITIAN A. Ajaran Islam yang Berkenaan dengan Kerukunan Umat Beragama Islam membolehkan dan menjamin kebebasan hati nurani, kemerdekaan beribadah kepada pengikut tiap-tiap agama di bawah kekuasaan Islam dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip adanya toleransi dan kedermawaan (Syed Amir Ali:362). Dalam ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 disebutkan bahwa ”tidaklah ada paksaan dalam agama.” Dengan begitu, ajaran Islam sangat menekankan tentang adanya pola kebebasan yang mengarah pada pemilihan agama sesuai dengan kehendaknya. Seperti dalam bidang politik, orang perorangan dan golonggan mengajarkan toleransi dan menganjurkannya, tetapi hanya mereka selama tidak berkuasa dan lemah. Dalam arti situasi dan kondisinya mendukung. Dalam toleransi Nabi Muhammad tidak sekedar mengajarkan, tetapi toleransi itu dijalin dalam undangundang, kepada semua bangsa yang ditaklukkannya, kemudian diberinya kebebasan beribadah. Jika keyakinan dan kebebasan mutlak suatu agama serta rasa kewajiban pemeluknya untuk menyiarkan agama keseluruh masyarakat itu dapat melahirkan intoleransi, maka adanya ajaran agama monoteisme dapat membawa kepada toleransi (Harun Nasution, 1996:269). Karena tujuan hidup beragama dari agamaagama monoteis adalah membina manusia agar berjiwa suci dan berakhlak tinggi. Jika dipandang dari sudut asalnya, manusia berasal dari satu sumber yaitu makhluk Tuhan, mereka bisa jadi mempunyai keyakinan dan agama yang berlainan, tetapi sebenarnya mereka itu EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
251
Umar
adalah bersaudara dipandang dari sudut asalnya. Rasa persaudaraan yang demikian itu, bisa menjadi landasan bagi adanya toleransi (Harun Nasution, 1996:270). Hadirnya lima agama besar di dunia memperlihatkan pada dunia akan adanya suatu dinamika keagamaan yang diwujudkan dengan sikap keberagamaan. Namun di zaman modern ini telah terjadi hal-hal yang akan menjauhkan manusia dari agama secara lebih jauh lagi, yang lebih menonjol dalam segi penghidupan yang semua orang dapat melihatnya dengan mata telanjang baik dalam lingkungan kelompok maupun dalam lingkungan bangsa yang beragama. Setiap bangsa yang beragama akan memberikan kemerdekaan tiap agama untuk berkembang sehingga akan terwujud kerukunan agama. Peran serta umat beragama dalam pembangunan inilah yang dapat mempengaruhi nilai positif untuk memperkokoh sikap dan perilaku manusia serta berkepribadian yang luhur. Islam membenarkan hal ini. Setiap muslim diajarkan untuk bersikap toleransi berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang berada di luar Islam selama tidak memerangi kaum muslim. Lebih tegas lagi dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 8 yang artinya ”Tidaklah Allah melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu lantaran agamamu dan tidak pula mengusir kamu dari tanah airmu, sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil.” Ayat ini menunjukkan bolehnya saling berbuat baik antara sesama kaum muslim dan orang-orang non Islam yang tidak memusuhi dan memerangi kaum muslim. Ayat tersebut di atas juga menerangkan dengan jelas bahwa orang-orang Islam dapat berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja yang bukan muslim, dan dilarang berbuat sebaliknya lantaran masalah agama (Prof. Dr. Moh. Ardhani,1995:322). B. Kebijakan – Kebijakan Khalifah yang Berkenaan dengan Kerukunan Umat Beragama Kemenangan militer Arab serta kebangkitan politik dan sosial mereka membawa kebenaran dan keadilan bagi orang-orang yang tidak pernah mengenal persamaan derajat dan persaudaraan manusia. Lebih menakjubkan lagi ialah kenyataan bahwa kaum penguasa Arab 252
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
mempunyai rakyat yang kebangsaannya sangat berbeda dengan kebangasaan mereka sendiri. Politik toleransi,keadilan dan demokrasi, yang dimulai oleh Nabi Muhammad SAW dan doperkuat oleh khalifah, dilanjutkan oleh dua Dinasti penguasa yang sangat penting yaitu: Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Penaklukan yang dilakukan oleh Umayah serta konsolidasi kebudayaan yang dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah tadi, tidak bersikap membiarkan mereka orangorang bukan Islam terlantar. Berhubung dengan itu, di bawah kekuasaan kaum Umayah dan Abbasiyah baik para pejabat pemerintah pusat maupun propinsi tidak mengijinkan terjadinya pengajaran ataupun gangguan terhadap orang-orang Zimmah dan masyarakat- masyarakat lainnya. Kepentingan mereka dilindungi dan kebebasan mereka dipertahankan. Perlindungan atas hak-hak mereka sampai pada ”Pemberian kebebasan menjalankan kebiasaan-kebiasaan mereka yang bertentangan dengan kebiasaan Islam sekalipun”. Mereka mengkonsumsi, menjual dan membeli barang-barang yang terlarang bagi orang-orang muslim. Hal yang sama berlaku bagi beberapa kesempatan lain seperti perkawinan dengan sanak saudara yang dekat serta kontrak-kontrak yang menetapkan ahli waris atas benda-benda dan lain-lain (Sheikh Moh. Iqbal:266-267). Pemerintah Umayah maupun Abbasiyah tidak mengingkari hak warga negara yang bukan muslim untuk mempunyai sangkut paut dengan administrasi negara. Dalam mengangkat orang-orang Yahudi, Kristen dan lain-lain sebagai pejabat pemerintahan, pegawai dan perwira-perwira tinggi, kaum Abbasiyah telah memberi beberapa contoh penting. Satu- satunya jabatan yang tidak dapat dipegang oleh orang non Islam di dalam negara Islam hanyalah jabatan kepala eksekutif dan legislatif. Alasannya ialah bahwa Islam mengemban tugas mengkoordinasi semua segi kehidupan masyarakat muslimin, baik yang spiritual maupun yang bersifat keduniawian (Sheikh Moh. Iqbal:269-270). Kaum Abbasiyah benci sekali kepada setiap kekendoran dalam menjalankan sikap bermurah hati terhadap orang-orang nono muslim. Mereka bahkan membentuk sebuah departemen khusus yang mengurus kepentingan dan kebutuhan kaum Zimmah. Semua penguasa menjalankan garis baru menyadari sepenuhnya tanggung EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
253
Umar
jawab yang mereka pikul untuk menjamin kesejahteraan orang-orang ini. Teristimewa, sementara hubungan masyarakat muslimin dengan dunia luar meningkat. Para khalifah Abbasiyah dan para gubernur propinsi mereka diminta agar berlaku adil terhadap semua rakyatnya tanpa pandang bulu, apapun agama atau kepercayaan mereka (Sheikh Moh. Iqbal:276). Lebih konkrit lagi dari pada kebijakan tersebut tampak pada masa pemerintahan al-Ma’mun - al-Rasyid, mereka penguasa yang sangat liberal dalam urusan administrasi dan kebudayaan, diberinya kebebasan bagi orang-orang non muslim untuk menikmati kemakmuran dan kepuasan yang menyeluruh. Khalifah tidak menyetujui usaha untuk memasukkan orang-orang Zimmah kedalam agamanya sendiri hanya dengan motif keduniaan. Ia sangat menghargai pengalihan agama hanya dalam hal orang-orang yang tidak menerima Islam untuk kepentingan-kepentingan duniawi. Karena itu pengalihan kesuatu agama lain dengan kesadarannya sendiri itulah yang dijunjung tinggi. Bersamaan itu pula ia sering memberikan motifasi-motifasi kepada misionaris-misionaris yang damai (Muhammad Iqbal:278). Kebijakan-kebijakan yang dilakukan al-Ma’mun ini, justru memberi peluang mereka untuk saling berkomunikasi, dan bahkan adanya sambutan yang baik untuk Islam itu sendiri dalam meraih simpatik demi pengembangan agama Islam. C. Wujud Kongkrit Kerukunan Antar Umat Beragama Salah satu tindakan Nabi Muhammad SAW pada waktu hijrah ke Madinah adalah mempersatukan dalam konfederasi yang teratur unsur-unsur yang terdiri dari berbagai jenis atau golongan dan saling bermusuhan di dalam kota itu maupun sekitarnya. Rasulullah menyodorkan sebuah piagam rakyat yang mana dirumuskan dengan jelas hak-hak dan kewajiban orang-orang Islam diantara mereka sendiri, serta hak-hak dan kewajiban antara orang Islam dengan Yahudi (Syed Ameer Ali:362). Demikian pula terbukti, kerukunan antar umat beragama pada masa khalifah Abbasiyah sangat dijunjung tinggi. Hal ini terbukti dari tindakan para khalifah yang melindungi orang-orang non muslim, dan memberikan kebebasan bagi mereka, baik dalam beribadah maupun dalam kehidupan mereka sehari-hari. 254
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan khalifah Hadi, Ali bin Sulaiman gubernur Mesir telah membongkar gereja Katerdral untuk suatu alasan. Perkara ini diajukan kepada khalifah Harun al-Rasyid, pengganti khalifah Hadi. Khalifah baru ini mejatuhkan hukuman berat atas diri Ali bin Sulaiman dengan memberhentikannya sebagai gubernur serta menggantikannya dengan Musa bin Isa, yang segera berkonsultasi dengan para ahli hukum Islam mengenai tindakan apa yang akan diambil dalam perkara pembongkaran itu. Para ahli hukum itu dengan suara bulat beranggapan bahwa gereja-gereja yang telah dibongkar oleh khalifah terdahulu, harus dibangun kembali dengan biaya negara. Ini berrti bahwa tidak seorangpun dalam khalifah Islam, bahkan tidak pejabat tingginya yang dapat mudahnya dapat melukai perasaan keagamaan masyarakat-masyarakat yang bukan Islam (Sheikh Moh. Iqbal:276). D. Kebijakan-Kebijakan Khalifah dalam Usaha Pengembangan Ilmu Pengetahuan Pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah adalah merupakan zaman perkembangan umat Islam yang mempunyai pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan yang mencerminkan dalam pemerintahannya. Khalifah yang alim menitikberatkan pada ilmu pengetahuan, khalifah yang gagah meluaskan ruang lingkup kekuasaannya serta memperbanyak penaklukan-penaklukan negeri (Hasan Ibrahim Hasan,1989:41). Sebagai kekuatan politik internasional cepat meluas daerah kekuasaannya keluar semenanjung Arabia hingga mencakup Siria, Palestina, Mesir, Afrika, Spanyol, dan pulau laut tengah seperti Sisilia di Barat dan Mesopotamia (Irak), Persia, Asia Tengah, dan India Timur. Daerah-daerah yang jatuh ke daerah kekuasaan Islam ini terdapat tiga peradaban yakni Yunani, Persia, dan India (Harun Nasution,1975:52). Para khalifah Abbasiyah yang sangat besar perhatiannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan yaitu : 1. Abu Ja’far al-Manshur (136-148 H) Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Tabita tentang kehidupan alManshur sebagai berikut: Al-Manshur adalah seorang raja yang agung, tegas, alim, dan berpikiran cerdas. Pemerintahannya rapi, amat disegani, dan EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
255
Umar
baik budi pekerti. Al-Manshurlah yang telah memantapkan dan menegakkan kerajaan Abbasiyah, menyusun peraturanperaturan, dan membuat undang-undang ,dengan penuh keberanian menghadapi berbagai pemberontakan yang mengancam tahta kerajaan (Hasan Ibrahim,1989:50).
Pada tahun 762 M, al-Manshur meletakkan batu pertama bagi ibu kota kerajaannya adalah Baghdad. Ia telah mengirimkan para cerdik dan pandai diberbagai lapangan, untuk menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dan sastra dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Diantara mereka yang terkenal adalah Abdullah bin Mustaffa’ yang mulanya seorang Majusi lalu masuk Islam. Terjemahannya yang terkenal adalah buku Kahilah Bala Dhummah. 2. Harun al-Rasyid (786-809 M) Khalifah Harun al-Rasyid dapat mengatasi berbagai pemberontakan. Disamping itu usaha yang sedang maju adalah pengembangan ilmu pengetahuan sehingga muncul orang cerdik dan pandai yang memiliki berbagai disiplin ilmu. 3. Al-Ma’mun (813-833 M) Al-Ma’mun dalam usaha meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan adalah dengan mengirim utusan-utusan ke kerajaan Byzantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan dalam bahasa Arab. Untuk keperluan penterjemahan ini, mka al-Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad dibawah pimpinan Hunain ibn Ishaq, seorang penganut agama Kristen yang berasal dari Hirah. Ia pernah pergi ke Yunani dan disana belajar bahasa Yunani. Selain bahasa Arab dan Yunani, ia juga menguasai bahasa Syiriak (Siryani) yang di zaman itu merupakan salah satu bahasa ilmiah. Hunain mempunyai pembantu-pembantu dan murid-murid dalam kegiatan penerjemahan itu. Sebagian bukubuku yang diterjemahkan itu berasal dari karangan Aristoteles, Plato, dan buku-buku mengenai neo-platonisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Harun Nasution ,1986:46-47). Dengan demikian usaha-usaha pengembangan ilmu pengetahuan itu meliputi beberapa tahap: 1) Kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, diantaranya yang terkemuka di zaman Abbasiyah adalah Imam Malik yang 256
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
menyusun buku al-Muwaththa’, ibn Ishaq menyusun sejarah hidup Nabi saw, dan Imam Abu Hanifah menyusun fiqh. 2) Penyusunan ilmu-ilmu Islam yang sedang berkembang di zaman pemerintahan Abbasiyah yakni ilmu tafsir, ilmu qiro’ah, ilmu hadits, fiqh, ilmu kalam, nahwu, bayan, dan ilmu sastra. 3) Terjemahan dari bahasa asing meliputi: filsafat, logika, kedokteran, matematika, astrologi, musik, geografi, dan sejarah. Kesemuanya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selama dalam pemerintahan Abbasiyah pertama ada empat orang penterjemah yang terkemuka, yaitu Hunain ibn Ishaq, Ya’kub ibn Ishaq dari suku Arab Kinda, Tsabit ibn Qurra dari Haran, dan Umar ibn Farrakhan dari Tabanstan (Hasan Ibrahim,1989:134). E. Bait Hikmah Sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan Bait hikmah sebagai pusat ilmu pengetahuan muncul pada waktu bercampurnya macam-macam bangsa dan peradaban pada masa kejayaan Abbasiyah dan pada masa bangkitnya gerakan intelek yang hebat yang telah mendorong orang-orang Islam pada waktu itu untuk memperoleh ilmu pengetahuan untuk dapat dimanfaatkan (Hasan Ibrahim:136), sehingga seluruh ilmu yang ada di zaman itu tak ada terkecuali filsafat. Pemasukan filsafat dan ilmu pegetahuan Yunani ke dalam Islam banyak terjadi melalui Irak dengan ibukota Baghdad daripada tempat-tempat lain. Disanalah timbul gerakan penterjemah buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab atas dorongan khalifah al-Mansur dan khalifah Harun al-Rasyid kemudian dilanjutkan dan giatkan khalifah al-Ma’mun yakni putra Harun al-Rasyid dengan didirikannya Baitul Hikmah (Harun Nasution,1996:55). Tujuan utama daripada mendirikan Baitul Hikmah adalah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing terutama ilmu pengetahuan orang Griek dan falsafah mereka ke dalam bahasa Arab. Untuk dipelajari pada waktu itu telah diterjemahkan kitab-kitab bahasa asing ke dalam bahasa Arab, dan telah menghasilkan para ulama-ulama terkenal yang masyur diantaranya Khuwarizzmi sebagai ahli ilmu Falaq, kemudian yang masyur dari Abu Ja’far Muhammad sebagai ahli dalam ilmu Ukur dan Mantiq (Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:38). Selain itu Baitul Hikmah juga menjadi pusat EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
257
Umar
perkembangan falsafat dan ilmu-ilmu yang ditinggalkan peradaban oleh Yunani Klasik, selain itu buku-buku Yunani dan buku-buku Persia dan India juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Harun Nasution:56). Disamping itu Baitul Hikmah juga merupakan tempat berkembangnya ahli-ahli ilmu Nahwu, ilmu Bahasa, ilmu Kedokteran dengan terbukti mendapatkan pelayanan dari pegawai di situ (Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:39). Darul Hikmah sebagai perpustakaan terbesar pada saat itu sebagian besar dikelola dan dikuasai oleh para ulama yang mempunyai keahlian dalam berbagai ilmu pengetahuan yang mengajar serta memberi penjelasan-penjelasan kepada orang yang mengunjungi perpustakaan tersebut. Lembaga ini adalah mirip universitas dewasa ini, dalam pengertian disana belajar segolongan pelajar dari bermacam-macam ilmu pengetahuan secara mendalam dengan kebebasan berpikir. Dengan adanya hubungan yang erat antara perpustakaan dengan lembaga-lembaga yang ada ini merupakan faktor untuk mencapai tujuan (Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:40). F. Hambatan-Hambatan Usaha Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Pemecahannya Dengan adanya kerusuhan-kerusuhan di beberapa daerah seperti di Syria pada tahun 161 H (676- 677 M) para perusuh atau pengacau dikalahkan dan khalifah al-Mahdi memberi ampunan pada mereka. Pada tahun berikutnya Yaskuri mengadakan pemberontakan melawan khalifah al-Mahdi di Mesopotamia, pengikut Yaskuri bertambah banyak dan mereka menghancurkan di beberapa daerah, Yaskuri dikalahkan dan dibunuh (Harun Nasution,1996:73-74). Disamping itu juga, golongan ‘Alawiyah melakukan pemberontakan dan perlawanan, sedangkan golongan Abbasiyah menggunakan seluruh tenaga dan kekuatan menindas dan menekan, sehingga ahli-ahli sejarah menyebutkan bahwa penderitaan golongan ‘Alawiyah akibat kekejaman yang dilakukan golongan Abbasiyah lebih dari penderitaan sewaktu pemberontakan Bani Umayah (W.Monthgomory Wott,1990:58). Peperangan yang timbul antara bangsa Arab dan Byzantium belum berhenti sejak kebangkitan Islam, bangsa Arab seperti yang telah kita ketahui bermaksud untuk menguasai Konstantinopel 3 kali: 258
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pertama: Selama pemerintahan ke-3 khalifah Utsman Kedua : Di masa pemerintahan Mu’awiyah I Ketiga : Di masa kekhalifahan Sulaiman. Perang-perang Sipil melemahkan bangsa Arab di akhir masa pemerinyahan Bani Umayah dan Kiasar Byzantin. Konstantin menggunakan kesempatan ini untuk menyerbu kekuasaan umat Islam diperbatasan negaranya (Hasan Ibrahim Hasan,1989:110). Al Husein ibn Ali al Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib dengan didukung oleh kaum kelompok orang-orang kenamaan dari kerabatnya, dia menentang golongan Abbasiyah akibat kekejaman pegawai pemerintah Madinah atas keluarga Ali di zaman pemerintahan khalifah al-Hadi yang menyebabkan keluarga Abu Thalib memberontak. Al Husein banyak dukungannya sehingga berhasil menjebol semua tahanan dan kemudian ia dilantik sebagai khalifah mereka (Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:38-40) Pemerintahan al-Shaffah dan al-Mansur disibukkan oleh penumpasan-penumpasan pemberontakan dari perasaan yag tidak puas. Hal ini menimbulkan pemberontakan masyarakat Nazdak terhadap kekuasaan Sasania dalam abad ke IV, pemberontakan Ishaq al-Turki di Transkiana tahun 735. Banyaknya pemberontakan menggambarkan kesulitan-kesulitan menjaga ketertiban yang harus dihadapi pemerintah khalifah, tetapi tidak membatalkan pengakuan bahwa abad I Abbasiyah adalah abad ketentraman dan kemakmuran (Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:39). Sebelum Nabi Muhammad wafat beliau telah mengisyaratkan bahwa Ali sebagai penggantinya. Dia adalah imam bagi kaum Islam terutama bagi kaum yang ekstrim yaitu kaum Syi’ah. Di dalam tahuntahun awal Abbasiyah telah menjungkirkan dua pendukung utama mereka yaitu Abu Salamah (750 M) dan Abu Muslim (755 M), yang bersimpati pada keluarga Ali ibn Abi Thalib dank arena yang keduanya ada hubungan dengan kaum Mazdaqiyah, sementara peristiwaperistiwa itu diunikkan dengan jelas pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, bahkan pada masa ini terjadi perang saudara antara khalifah al-Amin dan al-Ma’mun. Dari sederetan pemberontakan dan peperangan tersebut di atas baik berupa material maupun intelektual ataupun pertikaian EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
259
Umar
antar kelompok terjadi di masa kejayaan Islam. Kesemuanya itu menjadikan factor hambatan ilmu pengetahuan. Adapun pemecahan dari hambatan-hambatan usaha pengembangan ilmu pengetahuan diantaranya terjadi pada tahun 403 H. Sekumpulan orang-orang yang terdiri dari bermacam-macam ahli ilmu pengetahuan dari Darul Hikmah telah menghadap al-Hakim Biamrillah diantara mereka itu terdapat ahli hisab dan ahli mantiq, sekumpulan para fuqaha (diantaranya Abd. al-Ghani ibn Sa’id) dan sekumpulan para dokter di Darul Hikmah Baghdad telah berjalan terus sampai tahun 516 H. Pada waktu al-Afdal salah satu seorang perdana menteri Fatimiyah memerintahkan menutupnya dengan alas an bahwa Darul Hikmah telah merusak para guru-guru istana. Adapun sejarah Darul Hikmah di Baghdad diliputi oleh sedikit kesamaan sesudah masa al-Ma’mun yaitu terjalinnya ilmu filsafat. Menurut dugaan, lembaga ini mengalami perubahan yang lainnya dengan keadaan yang semula dan tetap memakai Dar alIlmi sampai ke abad 12 M. Disana ada sebagian dari sumber yang berbahasa Arab yang menyebut tentang lembaga ini dimana dikatakan bahwa al-Daulah telah mendirikan dua buah Dar yang memakai nama Dar al-Ilmi, satu di kota Ram Harmaz dan satu lagi di kota Basrah. Sebagaimana perdana menteri Bani Buwaih mendirikan sebuah Dar lagi sebuah kota Karkh disebelah kota Baghdad, dimana lembagalembaga ini dan perpustakaan yang ada sebagian besar dikelola oleh para ulama (Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:40). G. Partisipasi Swasta Pengetahuan
Dalam
Usaha
Pengembangan
Ilmu
Ketika pemerintahan khalifah Abbasiyah khususnya alMansur, Harun al-Rasyid, al-Ma’mun menaruh perhatian yang sangat khusus untuk mendapatkan ilmu-ilmu pengetahuan dari orang Persia dan Yunani, oleh karena itu mereka mengirimkan utusan ke Konstantinipel untuk mencari manuskrip-manuskrip ilmu filsafat, logika, kedokteran, matematika, astrologia (ilmu perbintangan), musik,geografi dan sejarah. Kemudian memerintahkan agar hasil karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Asma Hasan Fahmi:1979:38) Keluarga Barmak misalnya yang berasal Baktra, pusat ilmu pengetahuan dari Yunani dan Persia mempunyai pengaruh dalam 260
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di Baghdad. Mereka disamping menjadi wazir,juga menjadi guru anak-anak khalifah (Harun Nasution,1975:69-70). Termasuk diantaranya penyambut kedatangan tentara Islam ialah kaum Kristen Nestoria yang selama ini mereka ditindas oleh bangsa Konstantinopel, mereka amat bahagia dengan penyambutan itu. Salah satu orang Kristen yang menjadi penterjemah yang terkenal adalah Hunain ibn Ishaq, yang berhasil menterjemah beratus-ratus buku (Noor Cholis Madjid,1984:143-144) Jadi banyak sekali jasa orang Kriten (Nestorian) untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Tetapi sebetulnya kaum Nestorian tidak sendirian disamping mereka ialah kaum Yahudi, malah kaum musyrik peninggalan Yunani( seperti yang tinggal di kota Harran Mesopotamia Utara, yang kelak menamaka diri kaum Sabi’un). Terdapat indikasi bahwa mula-mula orang Kristen tidak mempedulikan ilmu pengetahuan peninggalan kaum musyrik Yunani itu, sehingga banyak dari padanya yang hilang dan bahasa Yunani terlupakan. Max.I. Dimont mengatakan bahwa justru orangorang Yahudi yang mempunyai peranan penting, anatara lain, karena mereka menguasai bahasa- bahasa asing khususnya Yunani, Arab Suryani dan Persia (Noor Cholis Madjid,1984:144) Kaum Yahudi meskipun jumlahnya kecil, mereka tampil dengan kontribusi yang sangat kaya dan mengesankan diberbagai bidang ilmu pengetahuan kecuali kesenian, dengan tokoh –tokoh yang banyak jumlahnya dan terkenal. Dan dalam pengakuan peradaban Islam itulah bangsa Yahudi mengalami zaman keemasan (Noor Cholis Madjid,1984:145). Sedemikian indahnya kenangan orang-orang Yahudi tentang zaman keemasan mereka dalam Islam itu, sehingga mereka juga ikut meratapi keruntuhan peradaban Islam yang juga membawa keruntuhan mereka sendiri (Noor cholis Madjid,1984:148). Demikian perhatian yang begitu mendalam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, bukan saja dimotifasi oleh pemerintah, namun pihak swastapun banyak yang memberikan sepirit demi kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini banyak dilakukan pada masa kekhalifahan Abbasiyah terutama pada masa khalifah al-Ma’mun. H. Kesimpulan Berpijak pada keseluruhan isi laporan penelitian yang mengambil sebuah tema ”Pengaruh Kerukunan Umat Beragama EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
261
Umar
Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Era Khalifah Abbasiyah”, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Islam sebagai agama yang universal, memberikan tuntunan segala segi kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi. Termasuk di dalamnya tentang toleransi ( kerukunan antar umat beragama).Selain al-Qur’an, Nabi telah banyak memberikan contoh tentang perilaku dalam menghadapi orang-orang non muslim. 2. Masa Abasiyah merupakan zaman keemasan Islam yang mana pada zaman itu wilayah Islam meliputi seluruh Jazirah Arab, bahkan sampai Eropa dan Afrika. Islam mencapai puncak keharuman pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan alMa’mun. Di bawah kekhalifahan mereka mengalami kemajuan di berbagai bidang antara lain dibidang ekonomi, politik, sosial, budaya, khususnya dibidang ilmu pengetahuan dan filsafat. 3. Khalifah Abbasiyah menjunjung tinggi nilai kerukunan antar umat beragama dengan politik liberalnya membawa Abbasiyah mengalami kemajuan, dikarenakan adanya kerjasama baik antara orang muslim dan non muslim dalam memajukan peradaban masa itu. Kerukunan beragama merupakan salah satu penyebab terjadinya stabilitas keamanan pada masa khalifah Abbasiyah dimana kondisi yang aman dan tenteram serta damai juga merupakan salah satu faktor maju dan berkembangnya umat Islam saat itu. 4. Atas kebijaksanaan para khalifah telah didirikan sebuah lembaga ( Bait al-Hikmah) yang mana lembaga ini dipergunakan untuk tempat berkumpulnya para penterjekah-penterjemah yang pandai dalam menerjemahkan buku-buku asing. Maka dari sinilah muncul ulama-ulama yang pandai.
262
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an , Jakarta, Depag RI, 1996. Al-Bukhary, Muhammad ibn Ismail, Shahih al-Bukhary, Kairo, ,Dar alFikr 1953. Ali Musthafa al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Kairo, Mathbaah Ali Shahih, 1959 Abul A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, Terjemah Muhammad Baqir, Bandung, Mizan, 1984 Abdul Razak, Kalimat Efektif: Strutur, Gaya, dan Variasi, Jakarta, Gramedia, 1990. Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo, Maktabah al-Nahdlah, 1965. ......................, Dhuha al-Islam, Mathbaah al-Nahdlah, 1972. Al-Thabary, Abu Ja’far ibn Jarir , Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Bairut, Dar al-Fikr, Juz VIII, 1987 Amin Hasan Siddiqi, Studies In Islamic History, Alih Bahasa, H.M.J.Irawan , t.t Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1979. Bernard Lewis (ed), Islam From The Prophet Muhammad to The Copture of Constantinopel, London, The Macmillan Press Ltd, 1976. C.A Qadir, Philosophy and Science The Islamic World , Terjemahan Hasan Basri dengan Judul Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1989 Carter V, Good and Douglas E.Scate, Methods of Research Educational Psicological, Sosiological, New York, Appleton Century- Crafts, dalam Koentjaraningrat (ed), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, 1977. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
263
Umar
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta ,Ichtiar Baru Van Houve, 1994 Dilip Hiro, Islamic Fundamentalism, London, Paladin Grafton Books, 1980 Fazlurrahman, Islam, Alih Bahasa Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka, 1994 Fuad Moh Fahrudin, Pemikiran Politik Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1986. H.A.Giib (ed), The Encyclopedia of Islam, Lieden, E.J. Brill, 1960. Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1996 ........................., Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, Bulan Bintang, 1975 ........................., Akal dan Wahyu Dalam Islam, Universitas Indonesia, 1986. Hans Mayerhoff, Introduction dalam The Pkilosophy of History in Our Time, New York, Doublade & Company, Inc., 1959 Hasan Ibrahim Hasan, Islamic Historis and Cultur, Terjemah jhahdan Human, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989. ..............................,Tarikh al-Islam: al-Siyasy wa al-Diniy wa al- Tsaqafiy wa al-Ijtima’iy, Kairo, Maktabah al-Nahdlah, Juz II, Cet VII,1964. H.M Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, Jakarta, Bulan Bintang, 1974. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Terjemah, Ahmad Thoha, jakarta, Pustaka Firdaus, 1986. Imam Munawir, Kebangkitan Islam : Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Dari Masa ke Masa, Surabaya, Bina Ilmu, 1984. Jamil ahmad, Hundret Great Muslims, Terjemah,Tim Penerjemah, Jakarta, PustakaFirdaus, 1987. Jirji Zaidan, Tarikh Tamaddun al-Islam,Kairo, Dar al-Hilal, 1957. 264
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Joesoef So’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah I, Jakarta, Bulan Bintang, 1977. Liang Gie, Kamus Logika, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1975. Max I.Dimont, The Indestructible Jews, New York, New American Library,1973 Moh Ardan, Al-Qur’an dan Sufisme,Mangkunegaran VI, Serat-Serat Piwulang, Dana Bakti wakaf, Yogyakarta, 1955 Muhammad Natsir, Islam is Concern and History, Terjemah Adang Afandi, Bandung, Rosda, 1988 Muhammad Abdul Aziz al-Khuly, Al-Adab al-Nabawi, Dar al-Fikr, t.t. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, t.t Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogayakarta, Rake Sarasin, 1989. Nur Cholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995 ............................., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984. Oemar Amin Hoesen, Kultur Islam, Jakarta , Bulan Bintang, 1964. Patrick Lancaster Gardiner, Hitoriography and Histirical Metodology, dalam Encyclopardia Britanicia, Vol. VIII, 1979. Philip K. Hitti, History of The Arab, London, The Macirillan Press Ltd. 1974. Pringgodigdo dan Hasan Sadely, Encyclopedi Umum, Jakarta, Rajawali, 1982 Sheikh Moh. Iqbal, Misi Islam (The Mission of Islam), Jakarta, Gunung Jati, t.t. Syed Ameer Ali, Api Islam : Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad, Jakarta, Bulan Bintang, t.t. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
265
Umar
Syekh Khudhary Beik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, Kairo, Maktabah alIstiqamah, 1960. T.J. De Beer, The History of Philosophy in Islam, London, 1970. T.M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1954. The Liang Gie, Kamus Logika, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1975. Tim Penyusun Kamus pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990. W. Montgomery Watt, The Majesty That Was Islam, Terjemahan Kartono, Hadikusumo, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990. ................................, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990.
266
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010