Vol. 1 No. 1, Januari- Juni 2017 ISSN: 2579-9703 (P) | ISSN: 2579-9711 (E)
Tindak Penghinaan Lambang Negara Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam Daimul Ikhsan, Anindita Ari Fatojanah, Bety Wulandari, Khoirunnisa Utami & Nur Hana Fitri IAIN Surakarta Abstract This article was written to examine the action of national identity humiliation that recently happens, considered from the perspective of positive and Islamic law. Using descriptive approach method by analyzing the sources that relevant with the positive and Islamic law. From the analysis of the collected data, shows that the action of national identity humiliation is categorized as criminal action. Every citizen should appreciate and respect to the national symbol as the patriotism actualization. Abstrak Tulisan disusun untuk mengkaji tindakan penghinaan lambang negara yang akhirakhir ini terjadi, ditinjau dari perpektif hukum positif dan hukum Islam. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif melalui sumber-sumber yang berhubungan dengan kajian hukum positif dan hukum Islam. Dari hasil analisis data yang dikumpulkan mengungkapkan bahwa tindakan penghinaan lambang negara termasuk ke dalam tindak pidana yang harus diproses secara hukum. Setiap warga negara wajib untuk menghargai dan menjunjung tinggi lambang negara, sebagai wujud cinta kepada tanah air (hubbul wathan). Keywords: National identity humiliation, Positive-law, Islamic-law
Coressponding author Email:
[email protected]
140
Daimul Iksan, dkk.
Pendahuluan Akhir-akhir ini banyak terjadi tindakan penghinaan lambang negara yang dilakukan oleh banyak kalangan, mulai dari kalangan artis hingga kalangan remaja melalui akun sosial media. Tindakan tersebut menuai banyak kritik dari para pemakai internet (netizen), ada yang berpendapat bahwa sebaiknya orangorang yang melakukan penghinaan lambang negara seharusnya dihukum. Oleh karena itu tulisan ini disusun untuk mengaji tindakan penghinaan lambang negara ditinjau dari perspektif hukum positif dan hukum Islam. Kasus yang pertama yakni dilakukan penyanyi dangdut Zaskia Gotik. Zaskia melakukan tindakan penghinaan lambang negara dalam acara yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Ia menyebut bahwa lambang sila kelima bebek “nungging”. Tindakan ini dinilai telah mencederai rasa hormat terhadap lambang negara Indonesia (http://m.hukumonline.com, diakses 15/02/2017). Penghinaan lambang negara juga dilakukan oleh Sahat S Gurning. Dalam akun Facebook-nya, Sahat mengunggah sebuah foto yang menampilkan dirinya tengah menendang lambang Burung Garuda. Foto tersebut diunggah pada 12 Januari 2014, dan dibagikan sejumlah pengguna facebook. Ia juga mengunggah tulisan, “Pancasila itu hanya lambang negara mimpi”. Menurutnya yang benar adalah “Pancagila”. Selain itu, ia juga menyelewengkan kata-kata semboyan bangsa Indonesia menjadi “Berbeda-Beda Sama Rakus” (http://aceh.tribunnews. com, diakses 14/02/2017). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Lambang negara juga memiliki makna tersendiri sehingga dimasukan dalam ranah hukum, seperti yang diatur dalam UU tersebut.
Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
Tindak Penghinaan Lambang Negara Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
141
Fuad (2013) menyatakan bahwa lambang dalam budaya tertentu dapat diletakkan dalam ruang hukum. Peletakan lambang dalam budaya ke dalam ranah hukum ini terkait dengan adanya kehendak pemilik lambang untuk menciptakan sebuah kondisi di mana tidak semua orang dapat berbuat sekehendaknya. Hal ini dimaksudkan agar lambang-lambang tersebut yang dianggap memiliki pemaknaan nilai ideologis, kesucian, keluhuran budi dan kehendak, serta mempertahankan nilai-nilai spiritual magis dalam budaya tersebut. Tulisan ini membahas tentang tindakan penghinaan lambang negara ditinjau dari perspektif hukum positif dan juga hukum Islam. Tulisan ini terdiri atas beberapa pembahasan yang meliputi bagaimana pengaturan mengenai lambang negara baik dari segi penggunaanya, tindak pidana terhadapnya, dan sanksinya dalam hukum positif, juga beberapa pembahasan yang terkait di dalamnya serta pembahasaya dalam hukum Islam. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode kualitatif. Data-data penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library-research) dengan meneliti beberapa sumber diantaranya Alquran, Hadis, undang-undang terkait lambang negara, KUHP, KUHAP, juga dari beberapa artikel, makalah, buku-buku hukum, serta sumber lain yang relevan. Selain itu, untuk memeperkuat data penelitian, juga dilakukan penelusuran ke koran, majalah dan website berita. Lambang Negara dan Aturan Penggunaanya dalam Perundang-undangan Lambang memiliki beberapa pengertian, salah satunya, lambang adalah sesuatu tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Sedangkan, lambang negara adalah simbol resmi suatu negara (Fuad, 2013). Lambang Negara bukan hanya merupakan sebuah gambar ataupun simbol saja tetapi juga merupakan perwujudan ideologi suatu negara.
Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
142
Daimul Iksan, dkk.
Aturan mengenai lambang negara diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Ketentuan yang khusus mengenai lambang negara tertuang dalam Bab IV dari Pasal 46-57 yang terdiri dari ketentuan umum, ketentuan tentang penggunan lambang negara serta larangan dan sanksinya. Tujuan dari adanya aturan tersebut seperti yang teruang dalam pasal 3 yaitu : memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Bentuk lambang negara diatur dalam beberapa pasal dari pasal 4648. Menurut UU nomor 24 tahun 2009, lambang negara Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan “bhinneka tunggal ika” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Dengan demikian Garuda Pancasila merupakan lambang negara yang harus dihargai dan dihormati oleh seluruh warga negara Indonesia. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 51-56, pemakanaan terhadap lambang negara yang tercermin dalam aturan penggunaan lambang negara hanya berdasarkan atas penafsiran dari penguasa. Mengenai penafsiran secara dan penggunaan lambang negara secara umum masih belum diperhatikan. Hal ini menyebabkan kesan bahwa hanya negara lah yang berhak atas penafsiran mengenai lambang negara (Fokky Fuad, 2013). Jadi dapat disimpulkan bahwa, penggunaan dan penafsiran atas lambang negara masih menjadi kebijakan dari pemerintah, artinya belum ada peraturan mengenai bagaimana seharusnya lambang negara diperlakukan dan ditafsirkan. Dengan demikian, pemerintah seharusnya lebih aktif lagi dalam mengatur penggunaan lambang negara secara luas, agar warga negaranya memahami fungsi dan penggunaan lambang negara.
Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
Tindak Penghinaan Lambang Negara Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
143
Tindak Pidana Penghinaan Lambang Negara menurut Hukum Positif Penghinaan terhadap simbol negara dalam hukum positif jelas merupakan sebuah tindak pidana. Di Indonesia, tindak pidana biasanya disebut dengan istilah delik. Ada beberapa aturan tentang lambang negara yang bisa digunakan sebagai dasar menjatuhkan hukuman bagi siapapun yang melakukan penyalahgunaan lambang negara. Dalam hukum positif, aturan mengenai lambang negara Indonesia diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009. Adapun larangan terhadap pelecehan lambang negara juga diatur dalam UU tersebut, khususnya pasal 5. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 57, setiap warga negara dilarang untuk: (1) mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara (2) menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran (3) membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara dan (4) menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam undang-undang ini. Ilyas (2012) menyatakan bahwa untuk mengetahui suatu perbuatan dalam rumusan pasal, maka haruslah diperhatikan secara seksama mengenai unsurunsur yang ada agar dapat dikelompokkan secara jelas sebagai suatu bentuk perbuatan pidana. Adapun syarat pemidanaan ada 2 yaitu: actus rea (delictum) dan mens rea (Andi Hamzah, 2010, 98). Lebih jelasnya, syarat pemidanaan terbagi menjadi dua yaitu tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, di mana tindak pidana dikenal pula dengan istilah perbuatan (actus reus) yang unsurnya terdiri atas ada perbuatan (mencocoki rumusan delik), ada sifat melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar. Sedangkan pertanggungjawaban pidana yang biasa pula dikenal dengan istilah pembuat (mens rea) memiliki unsur-unsur mampu bertanggungjawab, ada kesalahan dan tidak ada alasan pemaaf (Ilyas, 2012). Tidak terpenuhinya salah satu unsur pada bagian perbuatan akan berakibat putusan bebas secara umum. Sedangkan tidak terpenuhinya salah satu unsur pembuat akan berakibat pada putusan lepas. Hal inilah yang menurut doktrin hukum acara pidana memiliki implikasi hukum yang berbeda dalam penerapan Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
144
Daimul Iksan, dkk.
upaya hukumnya. Berdasarkan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap putusan bebas tidak terdapat upaya hukum sedangkan terhadap putusan lepas masih memungkinkan penuntut umum untuk melakukan kasasi (Ilyas, 2012). Dari bentuk larangan dalam pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2009 diatas, unsur-unsur pidananya yaitu: (1) setiap orang (2) mencoret, menulisi, menggambari, membuat rusak lambang negara, dan (3) dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara. Mengenai unsur diatas, penyidik seharusnya tidak melupakan prinsip utama hukum pidana ketika memeriksa kasus terkait. Meskipun suatu perbuatan memenuhi unsur pidana, tapi belum tentu layak untuk dihukum. Sebab, penyidik harus mampu membuktikan terlebih dahulu adanya kehendak jahat (mens rea) yang ditunjukan dalam perbuatan itu. Unsur dengan maksud, menunjukan unsur kesengajaan (opzet) yang harus terpenui dalam suatu perbuatan yang dianggap sebagai penghinaan lambang negara. Dalam memeriksa pelaku, maka harus terbukti bawasanya pelaku telah menghendaki penghinaan terhadap lambang negara dan juga pelaku itu mengetahui bahwa yang dihina adalah lambang negara (Lamintang & Lamintang, 2010). Perbuatan menodai, menghina, ataupun merendahkan merupakan suatu perbuatan yang bersifat abstrak, karena merupakan bentuk abstrak, maka dalam kejadian konkretnya akan banyak wujudnya. Tampaknya, dalam hal ini undangundang menyerahkan penafsiran tentang pebuatan-perbuatan tersebut kepada hakim. Mengenai pembuktian terhadap kasus penghinaan lambang negara dan hal lainya yang berhubungan dengan pembuktian pada hukum acara pidana telah diatur dalam KUHAP. Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.
Ketenuan ini untuk menjamin kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana ialah : (1) Keterangan saksi, (2) Keterangan ahli, (3) Surat, (4) Keterangan terdakwa. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
Tindak Penghinaan Lambang Negara Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
145
Sanksi Terhadap pelaku penghinaan Lambang Negara Menurut Hukum Positif Ancaman terhadap pelanggaran pasal-pasal mengenai larangan terhadap lambang negara disebutkan dalam Pasal 68 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009: Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sanksi hukum terhadap penghinaan lambang negara juga diatur dalam KUHP pasal 154a: Barang siapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan Lambang Negara Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh ribu rupiah.
Terdapat dua peratuan perundang-undangan yang mengatur tentang sanksi terhadap tindak pidana penghinaan lambang negara. Dalam Pasal 103 KUHAP, tindak pidana boleh diberlakukan terhadap pebuatan yang atasnya ditentukan pidana menurut undang-undang, peraturan umum atau ordonansi kecuali undang-undang menentukan lain. Dalam hal ini terkandung asas lex specialis derogat legi generalis yang artinya aturan khusus menyingkirkan aturan umum (Hamzah, 2010). Aturan umum dalam pembahasan ini maksudnya adalah perundangundangan umum yaitu KUHP beserta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP itu, sedangkan aturan khusus yaitu perundangundangan pidana khusus yang meliputi semua perudang-undangan diluar KUHP beserta perundang-undangan pelengkapnya baik perundang-undangan pidana maupun perundan-undangan bersanksi pidana (Hamzah, 2010). Artinya, bahwa UU nomor 24 Tahun 2009 merupakan suatu aturan khusus yang dikategorikan sebagai perundang-undangan diluar KUHP yang bersanksi pidana. Menurut asas lex specialis derogat legi generalis berarti undang-undang tersebut dapat mengesampingkan Pasal 154a KUHP. Kansil (1986) menyebutkan bahwa sebab undang-undang pidana tidak berlaku lagi, apabila : (1) Suatu peraturan tidak berlaku lagi bila waktu yang telah ditentukan oleh peraturan itu sudah lampau (2) Bila keadaan untuk mana bunyi peraturan itu diadakan sudah tidak ada lagi (3) Bila peraturan itu dicabut Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
146
Daimul Iksan, dkk.
(dengan tegas atau tidak langsung), dan (4) Bila telah ada peraturan yang baru yang isinya bertentangan dengan peraturan yang sebelumnya (kebijaksanaan dalam ketatanegaraan) . Ketika reformasi pasal pada tahun 2009 karena dianggap melanggar HAM, pasal 154 dicabut dari KUHP, dan dijadikan pasal sendiri yang dikenal dengan nama Undang-Undang No. 24 tahun 2009. Dalam undang-undang tersebut, ancaman hukuman bagi pelaku penghinaan lambang negara yaitu penjara 5 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah. Tindak Pidana Penghinaan Pancasila dalam Pandangan Hukum Islam Tindak pidana dalam hukum Islam disebut dengan jarimah. Secara etimologi, jarimah berarti melukai, berbuat dosa, kesalahan. Jarimah dapat dimaknai sebagaiperbuatan dosa atau kesalahan, berbuat kesalahan dan delik. Sedangkan secara terminologi, jarimah yaitu larangan syara’ yang diancam oleh Alloh SWT dengan hukuman had dan ta’zir (Mardani, 2004). Menurut hukum Islam, sesorang dianggap melakukan tindak pidana atau jarimah apabila telah memenuhi unsur-unsur jarimah (Mardani, 2004). Unsur-unsur jarimah dalam Islam yang pertama, yaitu ada nash yang melarang tindak pidana (unsur formil jarimah). Dalam hukum positif, masalah ini dikenal istilah asas legalitas, yaitu suatu tindak pidana tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang mengundangkanya. Sedangkan dalam hukum Islam, lebih dikenal dengan istilah ar-rukn asy-syar’i. Kedua. adalah adanya perbuatan yang berbentuk jarimah, berupa perbuatan atau sikap berbuat (unsur materil jarimah). Artinya, ada tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum islam disebut dengan ar-rukn-al-madi. Yang ketiga, yaitu pelaku dari tindak pidana tersebut adalah orang mukallaf (cakap hukum), yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawabanya. Dalam hukum Islam unsur moril disebut dengan ar-rukn-al-adabi. Munajat dalam desertasimya yang dikutip oleh Makhrus Munajat menambahkan bahwa orang yang melakukan tindak pidana dapat dibersalahkan dan dapat disalahkan dan dapat disesalkan, artinya bukan orang gila, bukan anak-anak dan bukan karena Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
Tindak Penghinaan Lambang Negara Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
147
dipaksa atau karena pembelaan diri (Munajat, 2008). Apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka perbuatan yang dilakukan tidak bisa disebut tindak pidana/jarimah. Penghinaan lambang negara tidak disebutkan secara spesifik di dalam Alquran maupun Hadis sebagai sumber utama hukum Islam. Akan tetapi, nilainilai yang terkandung dalam Pancasila semuanya ada di dalam Alquran maupun Hadis. Artinya, perbuatan yang melanggar ataupun menyalahi aturan tersebut berarti kurang sesuai dengan ketentuan Alquran. Menghina lambang negara dapat memecah persatuan (Fatchur R, 1993). Padahal dalam Alquran surat Ali Imron ayat 103 sudah diterangkan bahwa semua orang diperintah untuk menjaga persatuan: “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (Q.S Ali Imron; 103).
Untuk bisa dikatakan sebagai perbuatan jarimah, maka perbuatan menghina atau melecehkan lambang negara harus memenuhi unsur-unsur jarimah yang telah disebutkan. Adapun jarimah menurut berat ringanya uqubah (hukuman) dibagi menjadi menjadi tiga yaitu: Pertama, jarimah hudud yaitu hukum yang diancam oleh Allah dengan had dan ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah. Hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara, tidak ada batas minimal maksimal. Macam-macam tindak pidana hudud adalah: (1) Tindak pidana riddah, (2) Tindak pidana hirabah (pembegalan, perampokan, gangguan keamanan), (3) Tindak pidana bughat (pemberontakan); (4) Tindak pidana perzinahan, (5) Tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), (6) Tindak pidana pencurian, (7) Tindak pidana minum khamr. Semua sanksi (uqubah) dari semua tindak pidana tersebut sudah ada ketetapanya dalam Alquran (Ahmad Rizal, 2009). Kedua, qishos secara etimologis berarti balasan dari perbuatan yang sama seperti yang seseorang perbuat, misalnya potong tangan dibalas dengan potong tangan. Sedangkan diyat secara etimologi adalah denda. Jarimah qishos diyat secara terminologi adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishos dan diyat. Setiap hukuman memiliki kadar hukuman yang telah ditentukan, sebagai hak perseorangan. Jarimah qishos diyat meliputi pembunuhan dan penganiayaan (Mardani, 2004). Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
148
Daimul Iksan, dkk.
Ketiga, jarimah ta’zir adalah jarimah yang sanksi hukumnya tidak ditetapkan oleh nash, akan tetapi bergantung pada penguasa setelah mempertimbangkan faktor- faktor lain (Usman, 2009). Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penghinaan terhadap lambang negara masuk dalam kategori jarimah ta’zir karena ketentuannya tidak disebutkan secara langsung dalam nash Alquran. Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Lambang Negara dalam Hukum Islam Dalam hukum Islam, penghinaan terhadap lambang negara dikategorikan sebagai jarimah ta’zir karena sanksi dan perbuatanya tidak ditetapkan dalam Alquran. Abu Ishaq Al-Syiraji berpendapat bahwa hukuman ta’zir difungsikan untuk memberi pelajaran kepada terpidana agar tidak mengulangi perbuatanya. Mawardi menafsirkan tujuan dari sanksi ta’zir bersifat preventif (pencegahan), represif (diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi terpidana), dan kuratif (diharapkan mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku terpidana dikemudian hari) dan edukatif (diharapkan dapat menyembuhkan hasrat terpidana untuk mengubah pola hidupnya kearah yang lebih baik) (Mardani, 2004). Syara’ tidak menetapkan hukuman dalam tindak pidana penghinaan lambang negara. Dalam hal ini, Hakim diberi kebebasan dalam menentukan hukumanya menurut peraturan yang berlaku. Di Indonesia sendiri, sanksi terhadap tindak pidana penghinaan lambang negara telah diatur dalam Pasal 68 UU No.24 Tahun 2009. Dalam pasal tersebut, tindak pidana penghinaan lambang negara diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Langkah Preventif Masyarakat Tindakan penghinaan lambang negara termasuk ke dalam tindak pidana yang berikibat pada sanksi hukum. Selain itu, tindakan penghinaan lambang negara juga termasuk tindakan yang tidak dibenarkan dalam hukum Islam. Oleh karena itu, masyarakat perlu berhati-hati dalam menggunakan dan menafsirkan lambang negara.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan penghinaan lambang negara. Salah satunya adalah kurangnya edukasi terhadap masyarakat Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
Tindak Penghinaan Lambang Negara Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
149
sehingga perbuatan semacam ini dianggap sebagai perbuatan yang lazim. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah preventif seperti perbaikan kurikulum pendidikan, menyosialisasikan pentingnya rasa cinta tanah air melalui media masa, dan lain sebagainya. Artinya, pemerintah sebagai pihak yang bertangunggjawab atas penggunaan dan penafsiran lambang negara perlu melakukan edukasi kepada masyarakat sebagai langkah preventif. Kesimpulan Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan penghinaan terhadap lambang negara menjadi suatu tindak pidana baik dalam hukum positif maupun hukum Islam. Dalam hukum positif, aturan mengenai bentuk lambang negara terdapat dalam Pasal 46-48 UU No.24 Tahun 2009. Sedangkan larangannya termuat dalam undang-undang yang sama pasal 57 dan sanksi terhadap pelanggaran pasal tersebut termuat dalam pasal 68. Sanksi terhadap pelecehan lambang negara yang termuat dalam UU No. 24 Tahun 2009 pasal 68 adalah hukuman maksimal 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00. Agar dapat dikatakan sebagai tindak pidana, sutau perbuatan harus memenuhi dua unsur pemidanaan yaitu melawan hukum (actus rea) dan kesengajaan (mens rea). Menurut hukum Islam, penghinaan terhadap lambang negara, termasuk dalam jarimah ta’zir karena perbuatan dan sanksinya tidak disebutkan secara langsung dalam Alquran. Sanksi terhadap tindak pidana tersebut menurut hukum islam berupa ta’zir di mana hakim diberi kewenangan dalam menentukan hukumanya menurut perundang-undangan yang berlaku karena hukuman ta’zir tidak ditetapkan dalam Alquran. Daftar Pustaka Kansil. 1986.Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hamzah, Andi. 2010. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017
150
Daimul Iksan, dkk.
Ilyas, Amir. (2012). Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan.Yogyakarta : Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia. Mardani. (2004). Sikripsi: Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Nasional. Yogyakarta. Munajat, Makhrus. (2009). Hukum Pidana Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Teras. Rochman, Fatchur. (1993). 160 Ayat-Ayat Hukum Al-Qur’an Surabaya: APOLLO. Usman, M. (2009). Buku Daras Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam STAIN Surakarta. Sukoharjo: Jurusan Syari’ah STAIN Surakarta. Oentoro, Yurica. (2012). Representasi Figur Burung Garuda yang Digunakan sebagai Lambang Negara. NIRMANA 14, 1: 47-64. 2012 Fuad, Fokky. (2013). “Lambang Negara antara Budaya dan Hukum Negara Sebuah Tinjauan Antropologi Hukum tentang Larangan Penggunaan Lambang Negara Garuda Pancasila.” Memutus Sakralisasi Lambang Negara demi Nasionalisme Bangsa terhadap Negara, Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-X/2012. Jakarta. http://kbbi.kemendikbud.go.id .KBBI. jakarta: badan bahasa, kementrian pendidikan dan kebudayaan edisi 5, diakses pada 15/2/2017. http://m.kompasiana.com, diakses pada: 15 Februari 2017. Oentoro, Yurica. (2012). “Representasi Figur Burung Garuda yang Digunakan sebagai Lambang Negara”. NIRMANA 14 (1): 47-64. Rizal, Ahmad. (2009). Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Analisis Yurisprudensi Terhadap Kasus Yang Betmuatan Penistaan Agama. Serambi Indonesia, Lecekan Pancasila, Pemuda Asal Tobasa Ditangkap Polisi, diakses dari http://aceh.tribunnews.com/2016/04/12/lecehkan-pancasilapemuda-asal-tobasa-ditangkap-polisi pada tanggal 14 Februari 2017 pukul 16.00 WIB.
Academica - Vol. 1 No. 1, Januari - Juni 2017