PENERTIBAN, PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DAN EKSISTENSI LEMBAGA BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI (Sebuah pemikiran tentang penguatan kelembagaan) Oleh : Bertus Sumada Bangko ) (Pendapat Pribadi)
Karunia Tuhan YME Tanah, adalah salah satu karunia Tuhan YME kepada kita. Menelantarkan tanah, tidak menggunakannya dengan baik berarti menyianyiakan bahkan mengingkari karunia yang telah diberikanNya. Perlu di ingat, bahwa saya, anda dan Malaikat sekalipun tidak bisa membuat yang namanya tanah. Hanya Dialah, yang “Maha” menciptakan semua. Saat ini, sudah banyak cara menelantarkan tanah. Lihat disekitar kita dan tidak perlu menerawang jauh-jauh, keluar dari rumah sambil lari pagi (bisa), jalan menuju kantor (bisa), ke pasar ngantar istri belanja (bisa), silahkan di observasi apakah ada tanah yang ditelantarkan. Membiarkannya begitu saja, setelah dieksploitasi permukaannnya seperti di sebagian areal bekas tambang batubara di kota Samarinda, Provinsi Bangka Belitung sekitarnya setelah timahnya habis dikuras, penebangan hutan secara liar di hutan-hutan di Kalimantan, Riau dan sebagian wilayah lain, untuk diambil kayunya (secara legal dan illegal), sampai dengan model menelantarkan tanah masa kini (populer) yaitu tanahnya digarap sedikit (kadang hanya ± 25%) padahal yang dikuasainya sangat luas dan legal. Sertipikat hak atas tanahnya ada, bahkan kadang sudah menjadi agunan. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan bahwa tanah harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, senafas dengan itu UUPA No. 5/1960 lewat pasal 10, melarang siapapun dengan dalih apapun tidak diperkenakan untuk menelantarkan tanahnya. Tapi pada prakteknya, sangat ironis, banyak sekali para pihak dengan berbagai cara bahkan berlindung di balik kedok peraturan justru melakukan itu dengan santainya, sambil menunggu kalau-kalau ada tawaran yang lebih baik lagi, untuk meraup keuntungan yang lebih besar, misal dengan cara spekulasi menjual tanah itu.
) **)
Fungsional, Peneliti Pertama bidang Pertanahan.2005 Kepala Kantor Pertanahan Kota Tarakan, 2013.
1
Adanya PP No. 11/2010 (yang merupakan pengganti dari PP No. 36/1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar) merupakan penjabaran dari UU No. 5/1960 sekaligus memberi angin segar pada rakyat Indonesia yang utamanya tidak punya tanah atau petani gurem, timbul pertanyaan mengapa demikian? Jawabannya, lihat tabel No. 1 berikut ini, Tabel 1 : Perkembangan Pemilikan Penguasaan Tanah di Indonesia 1983-2003 Wilayah
Rata-rata Penguasaan Tanah Pertanian per Rumah Tangga petani (ha)
Jumlah Petani Gurem*) (ribuan orang)
1983
1993
2003
1983
Indonesia
0.98
0.63
0.55
P. Jawa
0,58
0,47
0.39
1993
1993
2003
9.532 10.937 13.687
18.350 17.665
17.377
7.403
5.716
4.993
8.097
2003
Luas tanah usaha tani (ribuan hektar)
9.990
1983
5.248
1.58 1.27 1.15 2.129 2.840 3.698 12.634 12.417 12.383 Luar P. Jawa Sumber: Sensus Pertanian Indonesia. BPS : 1983,1993 dan 2003, di olah (Dalam hasil penelitian Puslitbang BPN RI, 2006). *) Keluarga petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 ha
Berkaitan dengan tabel 1, terlihat penurunan rata-rata penguasaan tanah pertanian per rumah tangga petani (1983 s.d 2003) dan peningkatan petani gurem secara umum di Indonesia sangat signifikan. Adapun jawaban pertanyaan itu, rata-rata penguasaan tanah pertanian, minimalnya petani gurem (penggarap), akan mendapatkan tambahan luasan tanah dari program Reforma agraria (caranya
bisa saja lewat pendayagunaan tanah
terlantar/redistribusi). Atas terbitnya dan semangat yang diembannya kita patut untuk mengucapkan selamat datang pada PP ini. Keberpihakkan Peraturan Pemerintah No. 11/2010 ini terhadap kepentingan rakyat sangat kental, semangat mengatasi ketimpangan pemilikan, penguasaan tanah sangat terasa karena pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa “Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. Sementara untuk mempermudah implementasinya dilapangan dikeluarkan peraturan teknisnya yakni Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor Nomor 5 tahun 2011 Tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah
2
Terlantar.1 BPN berusaha menata kembali penguasaan tanah yang dirasa kurang tepat akibat penelantaran sebagaimana pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut : Penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan tahapan : a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar; b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar; c. Peringatan terhadap pemegang hak; d. Penetapan tanah terlantar. Tanah tidak pernah mengeluh terhadap perlakuan yang kita berikan, paling-paling dia bekerja sama dengan kekuatan alam yang lain seperti angin badai, gempa bumi, air bah (banjir bandang) yang semuanya bisa mengeluarkan kekuatan yang amat dahsyat, contoh sebagian permukaan pantai di kawasan pesisir kota Banda Aceh (2004) yang berubah menjadi laut akibat bencana Tsunami, lumpur Lapindo yang menenggelamkan desa Siring Kab Sidoarjo dan yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, amblesnya tanah yang menjadi badan jalan RE Martadinata Tanjung priok Jakarta utara dan 3 (tiga) ha tanah sawah di Desa Karangnangka kecamatan Bukateja Purbalingga ambles sedalam ± 8 meter (Kompas, 20/09/10). Ada apa dengan tanah akhir-akhir ini, padahal dia Karunia Tuhan YME untuk kita.
Fenomena Tanah Terlantar Mengamati fenomena ini, menelantarkan tanah, kita coba lihat dari sisi lain yaitu sisi ekonomisnya, dari ± 7,3 ha tanah yang terindikasi terlantar, kerugian yang diderita negara (sudah barang tentu rakyat Indonesia) diasumsikan mencapai ± 1.200 triliun rupiah per tahun, kurang lebih sama dengan nilai APBN RI 2010 dan kalau dihitung per lima tahunan secara rata-rata (sama dengan 1 X periode Pemilu dan 1 X masa jabatan Presiden) mencapai ± 6.000-an triliun rupiah, besaran yang sangat fantastis (Policy Paper, SAINS & Puslitbang BPN, Draft,28/09/10). Bila angka ini riil, rasa-rasanya tidak ada lagi angka 1
Tanah yang diindikasi terlantar adalah tanah yang diduga tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Penertiban tanah terlantar adalah proses penataan kembali tanah terlantar agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan Negara. Selengkapnya lihat Peraturan Kepala BPN No. 4/2010 Tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.
3
kemiskinan 13,33% (31,2 juta) dan 1,39 juta balita bergizi buruk, semua akan teratasi, dan kasus seperti Winfaidah (tenaga kerja wanita) asal Lampung yang bekerja di negeri jiran Malaysia, mungkin tidak akan pernah menderita karena dianiaya majikannya, sebab dia tidak pernah menjejakkan kakinya disana, kita yakin dengan uang sebanyak itu di negeri sendiri pasti lebih makmur (bila tidak salah urus, akibat pemborosan disamping juga banyaknya korupsi). Di sisi lain, terkait ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah perlu dicermati statemen Kepala BPN RI (Joyo winoto), bahwa selama ± 50 tahun ini yang terjadi malah justru makin maraknya rekonsentrasi aset tanah yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan penguasaan tanah, dimana sekelompok kecil orang yaitu ± 6,2% penduduk Indonesia menguasai ± 56% aset nasional (62%-87% aset itu dalam bentuk tanah), sebaliknya banyak orang tanpa tanah dan atau ada orang menguasai tanah dengan luasan yang sangat kecil di negeri ini. Dampak dari semua itu adalah konflik pertanahan akan terus muncul, dikhawatirkan malah memunculkan konflik komunal (Kompas, 24/09/10). Masih terkait dengan masalah yang sama, konflik ini bisa menjadi komoditas politik. Lihat contoh, dalam pilkada di beberapa daerah mulai ada kecenderungan yang menggunakan isu konflik pertanahan dalam menarik simpati pemilihnya2. BPN (sebagai lembaga yang diberi mandat oleh Pemerintah lewat Perpres Nomor 10 tahun 2006 serta pengemban UU No. 5/1960 dan berbagai peraturan pelaksanaannya) berkepentingan
untuk
mewujudkan
optimalisasi
tanah
sebesar-besarnya
untuk
kemakmuran rakyat, dimana peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan TCUN didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui program reforma agraria, alokasi program strategis negara dan peruntukan cadangan negara lainnya. Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan TCUN sebagaimana dimaksud, dilaksanakan oleh Kepala BPN atas pertimbangan teknis Tim Nasional, Pertimbangan teknis Tim Nasional sebagaimana dimaksud antara lain : a. Kepentingan Strategis Nasional; b. Rencana Umum Tata Ruang; c. Luas TCUN hasil pengukuran keliling; dan 2
Saat ini ada kecenderungan tanah terlantar digunakan hanya untuk jualan isu politik praktis dan kepentingan yang tidak bertanggungjawab. Sebaiknya, disarankan untuk lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat lewat program-program strategis seperti Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar dimana didalamnya terdapat Tanah Cadangan Umum Negara yang dapat dialokasikan secara Nasional untuk kepentingan Masyarakat dan Negara melalui reforma agraria, program strategis Negara, dan cadangan Negara lainnya.
4
d. Kesesuaian
tanah
dan
daya
dukung
wilayah
untuk
masing-masing
jenis
peruntukannya, Senada dengan itu, Idham Arsyad “Petani Sejahtera Baru Sebatas Mimpi” Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengutarakan keprihatinannya atas pemilikan tanah khususnya oleh para petani di pulau Jawa yang cenderung terus mengalami penurunan, 40 tahun terakhir ini sekitar ± 0,45 hektar (Bachriadi & Wiradi, 2009). Bagi para petani penggarap/tanpa tanah dan gurem, tanah adalah modal utama di samping unsur lain yang juga merupakan ikutan dari segala rangkaian kegiatannya, dengan demikian keberadaan tanah adalah mutlak. Tidak hanya terbatas pada kemutlakan keberadaannya, luasannya pun turut mempengaruhi nilai ekonomis penggunaannya. Sorotan lain oleh KPA, sangat diperlukan peran Pemerintah (lewat BPN) untuk melakukan reforma agraria guna mencapai keadilan dalam menyelesaikan kesenjangan pemilikan dan penggunaan tanah. Program redistribusi (aset) tanah harus disertai dengan pembenahan akses dalam pemanfaatannya dan diharapkan mampu mengurangi angka kemiskinan di pedesaan. Janji reforma agraria ini kembali dicanangkan oleh Pemerintahan Presiden SBY, disamping itu program ini diharapkan juga bisa menjadi jalan keluar dalam mengatasi masalah pengangguran, laju urbanisasi, kerusakan lingkungan dan krisis pangan. Bila hal ini belum terlaksana maka judul tulisan itu memang betul, bahwa menjadi Petani Sejahtera Baru Sebatas Mimpi. Peraturan Kepala BPN No. 4/2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar telah dikeluarkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan di lapangan, demikian pula dengan Peraturan Kepala BPN No. 5/2011 Tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar, tidak ada kata-kata terlambat demi sebuah kerja besar bersifat mulia yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Harapannya, peraturan yang mengusung pendayagunaannya ini bisa sekaligus menjawab kebutuhan tanah yang diperlukan oleh pemerintah dalam menyediakan berbagai sarana kepentingan yang bersifat umum, yang diperlukan oleh masyarakat itu sendiri dan juga sekaligus menjadi cadangan negara untuk dipergunakan sesuai kebutuhannya di masa-masa yang akan datang. Terkait hal ini, Gunawan (Sekjen IHCS) mensinyalir meskipun semangat UU No. 5/1960 berpihak pada petani kecil, tetapi ketiadaan peraturan pelaksanaan lainnya yang membuat daya tekan ketentuan itu menjadi rendah (Kompas, 24/09/10).
5
Kepentingan Pihak Ketiga Kepentingan pihak ketiga3 tentunya juga tidak dikesampingkan begitu saja, tapi pemegang hak atas tanah yang menelantarkan tanahnya begitu saja dan katakanlah telah memperoleh fasilitas kredit dari berbagai lembaga keuangan misal Bank, jangan justru mendalihkan itu (perlindungan terhadap pihak ketiga/mitra tersebut) untuk melindungi kepentingannya dan sekaligus jurus jitu untuk mencoba menghindar dari ketentuan PP No. 11/2010 ini (masih bersifat dugaan dan mudah-mudahan tidak benar). Modus semacam ini kelihatannya mulai diketengahkan dan dijadikan semacam tameng dalam melepaskan diri oleh beberapa pihak, BPN harus benar-benar mencermatinya dan mempersiapkan langkah yang bersifat antisipasi sesuai koridor aturan yang berlaku. Esensi keadilan, perlakuan yang seadil-adilnya terhadap semua pihak dan keberpihakan kepada masyarakat kecil atau golongan ekonomi lemah yang tidak bertanah serta petani gurem memang menjiwai UUPA No. 5/1960 dan PP No. 11/2010 ini, begitu juga dengan Peraturan Kepala BPN No. 5/2011 yang mengatur pendayagunaannya, harus menjadi acuan sekaligus sebagai landasan dalam penyelesaian tanah terlantar. Tinggal komitmen kita (BPN) bersama seluruh rakyat dan institusi terkait, khususnya bagaimana menerapkannya dengan benar dan tanpa pandang bulu, itu yang kita tunggu. Perlunya Kelembagaan yang stabil Kedudukan lembaga setingkat “Badan” dirasakan kurang memadai mengingat masalah tanah yang sudah sedemikian kompleks, fakta menunjukkan bahwa masalah tanah sudah bergeser, dan mencakup multi dimensi yaitu dimensi ekonomi, sosial, budaya, hukum bahkan politik serta lintas sektor, antara lain sektor kehutanan, pertambangan, industri, pertanian dan sebagainya. Masing-masing sektor ini mempunyai UU (terbit setelah UUPA) dan mendasari tupoksinya, yang kalau dicermati cenderung tidak sejalan dengan UUPA itu sendiri (tidak mengacu pada UUPA sebagai payungnya). Dengan kata lain, cenderung menafsirkan dan megimplementasikannya secara parsial, tidak utuh dan sesuai kepentingannya4.
3
Disinyalir, ada tanggapan/asumsi umum, yang mencoba mereduksi kekuatan aturan ini dengan dalih hukum yang melindunginya. 4 Perlu dikaji secara akademis terkait kekuatan hukum yang dipakai BPN untuk melakukan eksekusi tanah terlantar agar tidak memunculkan dualisme atau keraguan didalam implementasinya. Dan upaya penguatan lembaga yang benar-benar tanggap, kritis, inovatif dan mantab sebab banyak hal yang akan menjadi sebuah perdebatan dan uji konsistensi dan eksistensi bagi BPN dan upaya optimalisasi kelembagaan yang seperti apa yang mampu membuat aturan ini terlihat konsisten ditengah kepentingan multi sektor.
6
Berkaitan dengan kelembagaan BPN, penulis mencoba membandingkannya dengan kelembagaan Kehutanan dan Perikanan (dahulu keduanya setingkat Ditjend), saat ini keduanya sudah menjadi Kementrian Kehutanan dan Kementrian Kelautan dan Perikanan, bukankah kedua lembaga ini juga sangat terkait dengan tanah atau lembaga BPN, dan yang diatur adalah penggunaan tanah dipermukaan tanah. Untuk mengelola sumberdaya tanah dengan komprehensif dan benar diperlukan wadah/kelembagaan pertanahan yang sesuai dengan bobot kebutuhannya, Perpres No. 10/2006 dirasakan kurang mempunyai cakupan dan cengkeraman yang mempunyai fungsi kontrol (catatan : fungsi kontrol yang bersifat positif) dalam hal penekanan sanksi dan tataran koordinasi antar sektor. Bisa dibayangkan, dalam PerPres No. 10/2006 tugas pokok dan fungsi yang diemban BPN sedemikian pentingnya, yaitu
“melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang
pertanahan secara nasional, regional dan sektoral” (cetak tebal dari penulis). Asumsi penulis, artinya mempunyai bobot kewajiban yang sedemikian besarnya karena tanah adalah salah satu sumberdaya yang menyangkut kepentingan hidup/hajat seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Disamping itu, juga merupakan salah satu syarat berdirinya Negara (baca : tanah adalah bagian dari adanya suatu wilayah disamping teritori lautan & udara) sekaligus dimaknai sebagai salah satu alat pemersatu (ada pendapat yang mengatakan keutuhan wilayah RI dari sisi daratan, ± 50% nya menjadi sebagian tanggungjawab BPN), dan yang paling penting untuk dicamkan oleh kita semuanya, bahwa tanah adalah salah satu karunia Tuhan YME bagi bangsa Indonesia. Sedemikian pentingnya arti tanah, namun disisi lain tanah yang ditelantarkan mencakup luasan yang sangat besar dan letaknya ada diberbagai tempat diseluruh wilayah RI. Penyelesaian masalah tanah terlantar ini dapat dipastikan memerlukan kerja besar dan pemikiran yang komprehensif. Salah satu alternatifnya, perlu dikembangkan wacana revitalisasi bahwa saat ini memang perlu untuk dipertimbangkan, bahwa lembaga BPN itu harus ditingkatkan setara dengan Kementrian, mengapa demikian? Jawabannya, berdasarkan bobot tugas yang sedemikian penting, yaitu mencakup multi dimensi dan lintas sektor seperti yang sudah disebutkan, yang menurut penulis sangat bersifat spesifik, sesuai kondisi kebutuhan saat ini dan sekaligus untuk menjawab semua yang dibutuhkan itu. Pernyataan itu (dasar pertimbangannya), didasari antara lain adalah dengan mencermati amanat Undang-undang RI No. 39/2008 tentang Kementrian Negara khususnya Bab I Ketentuan Umum, pada pasal 1 ayat (1) menyatakan Kementrian Negara
7
yang selanjutnya disebut Kementrian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu (cetak tebal dari penulis) dalam pemerintahan, adapun Bab II Kedudukan dan urusan pemerintahan Pasal 2 ayat (1) juga berbunyi demikian. Asumsi yang dibangun penulis terkait hal ini, masalah tanah adalah masalah tertentu (bersifat sangat spesifik) dan memerlukan penanganan yang berkesinambungan karena menyangkut multi dimensi dan lintas sektor. Undang undang No. 39/2008 yang dibuat ini tentunya telah melalui pertimbangan yang matang, dan sama sekali tidak bermaksud untuk mencampuri hak Presiden dalam menyusun Kementrian Negara yang akan membantunya untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan (terkait tanah). Hal ini, semata mengingat masalah pertanahan sudah sedemikian urgennya dan perlu perencanaan yang komprehensif serta berkesinambungan. Dengan kata lain, ada kepentingan kedepan dari sisi kelestariannya sendiri yaitu bahwa tanah ini bukan semata-mata hak generasi saat ini saja, akan tetapi ada hak generasi mendatang didalamnya yang justru dititipkan mereka kepada kita, generasi saat ini. Dilain pihak, dengan menjadikannya Kementrian, koordinasi yang dilakukan, cakupannya pasti jauh lebih komprehensif, ada unsur daya penekanan serta dapat diimplementasikan. Demikian pula dengan muara capaian akhir seperti yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) Tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat yang senafas dengan cita-cita UU No. 5/1960 dan PP No. 11/2010, juga sekaligus sebagai jawaban reformasi dalam penyelesaian ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah yang dikerjakan BPN bersama institusi lain yang terkait, dapat terwujud. Akhir kata, sesuatu yang paling penting dari itu dan untuk direnungkan serta dipertanyakan pada diri kita masing-masing, “Apakah kita selaku pemilik tanah (perorangan, Badan hukum pemerintah/swasta dan ulayat/tanpa terkecuali) pernah menyianyiakan karunia Tuhan YME itu dengan cara membuatnya terlantar secara sengaja ataupun tidak sengaja”. Semoga jawabannya seperti ini; sikap saya, anda dan kita semua tidak akan pernah menelantarkan tanah. Sebab yang saya, anda dan kita miliki ini adalah sebuah karunia dari Tuhan YME, sekaligus juga sebagai sebuah titipan dari generasi mendatang. Perlu diingat sekali lagi, sebagai makhluk Tuhan yang ber-akal jangan pernah menelantarkan salah satu karuniaNya yaitu tanah, agar di alam yaumil akhir nanti (jangan lupa jasad kita dikuburkan dalam tanah terlebih dahulu), Insya Allah, kita tidak dituntut untuk mempertanggungjawabkannya, Amin!
8