Penerbit Kin’S Gallery
CINDERELLA Oleh: Arliza Septianingsih Copyright © 2010 by Arliza Septianingsih
Penerbit
Kin’S Gallery
Desain Sampul: Fitria Afkarina
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Goresan ini…. Hanya untukmu yang selalu di hati….
3
4
CINDERELLA Cinderella, semua orang pasti ingin sekali mempunyai kejadian yang berakhir bahagia seperti dia. Kejadian yang aku alami memang mirip, tapi itu dulu, ketika aku berumur 12 tahun, bersama saudara kembarku, namun tidak happy ending sama sekali tapi sad ending. Hingga membuatku tidak ingin mengulangi kejadian itu lagi. 4 tahun sudah aku jalani hidupku yang tenang, di desa bersama keluargaku, namun sendiri. Kakak yang juga saudara kembarku telah meninggal 3 tahun yang lalu akibat kelainan jantung. Hidupku benar-benar hampa tanpanya, tak ada tawa canda seperti dulu, tak ada kesedihan seperti dulu, yang ada hanyalah kesendirianku yang tak berarti apa apa. Selama beberapa tahun setelah kematian kakak, aku mencoba untuk memulai hidupku yang baru walau tak sesempurna dulu. Hari ini, tanggal 5 september, hari dimana kakaku meninggal. Aku melangkahkan kakiku menuju tempat peristirahatan terakhirnya, tak jauh dari rumahku, tepatnya dibelakang kebun milik ayahku. Dari kejauhan kumelihat seorang pria duduk di dekat pusara kakakku, aku menghampirinya dan melihat wajah pria itu, wajah yang aku kenal, pria dengan lesung pipit di sebelah kanan pipinya dan gigi yang gingsul. “Alto????” Aku memanggil namanya, dan pria itu menoleh. Diam selama beberapa menit dan menatapku kemudian dia berdiri dan menyalami tanganku. “Lama tak berjumpa, Eve. Kupikir kau sudah lupa padaku” Aku duduk di samping pusara kakakku, dan meletakkan sekeranjang bunga di sampingnya, Alto juga menyusulku duduk. “Bagaimana aku bisa lupa pada orang yang sudah mengubah hidupku, layaknya seorang putri walau itu hanya 5
dalam semalam tapi juga yang menghancurkan hidupku dalam sedetik.” “Aku tidak menyangka dia pergi begitu cepat. . . “ “Sebelum kau menyatakan perasaanmu padanya?” Aku memotong pembicaraannya. “aku benar bukan????” Kulihat wajahnya yang memerah, seperti habis berjemur seharian. Aku menyukainya, tapi sayang perasaanku ini hanyalah perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Kakakku dan Alto, saling menyukai sejak dulu, yah walaupun waktu itu adalah masa anak – anak dan merupakan cinta monyet. “Kau tidak berubah ya?? Tetap seperti dulu, tetap menjadi seorang gadis yang selalu membuat sekeliling menjadi gembira” “Ayolah, aku bukan badut yang tiap saat selalu tertawa.” Aku menabur bunga pada pusara kakakku, tanpa menatap wajahnya. Baru kali ini aku tidak nyaman di pusara kakakku dan aku ingin cepat – cepat pulang. Aku beranjak dari tempatku. “Aku mau balik, kau mau mampir atau nggak?” betapa begonya aku menawarkan hal itu padanya. Dan kulihat diapun mengangguk setuju. Akhirnya kami berdua menuju rumah nyamanku, hanya memakan waktu beberapa menit saja kami sudah tiba disana. Mama menyambut kami berdua dengan hangat dan menyuruh Alto duduk dikursi kayu yang dibuat ayahku puluhan tahun yang lalu. Mama kembali sambil membawa 2 cangkir coklat panas yang nikmat. Aku duduk didepannya, tanpa menatap wajahnya, melihat sekeliling rumahku yang menurutku tidak penting sama sekali. “Bagaimana kabarmu?” Alto memulai pembicaraan. “Yah, seperti yang kau lihat.” Aku benar-benar malas melakukan ini. “Sepertinya aku datang disaat yang tidak tepat ya?” Baguslah kalau kau sadar, batinku. Hidupku sudah mulai tenang, jangan sampai kau datang dan mulai mengganggu lagi. 6
“Kalau begitu aku pulang saja” Alto beranjak dari tempat duduknya. ”Semoga lain kali kita bertemu”. Aku hanya terdiam, melihatnya beranjak dari rumahku. Yang terlihat hanyalah punggungnya yang bidang dan lebar. Kapan terkahir kali aku memegang punggung itu, dulu tidak selebar itu tanyaku dalam hati. Aku masuk kedalam rumah, melanjutkan pekerjaanku yang tertinggal tadi. Aku berpikir kembali, apa setelah kedatangan Alto hidupku akan tenang ataukah sebaliknya lagi????? Malam hari aku bermimpi tentang pesta itu, kejadian bebrapa tahun yang lalu. Waktu tepat menunjukkan 10 malam, aku dan Vent memandangi pesta yang berlangsung megah di halaman rumah para orang kaya itu. Kami berdua yang hanya merupakan anak petani mustahil untuk pergi kesana, namun ada sebuah keajaiban yang tidak bisa kami lupakan. Seorang anak sebaya kami datang dan menghampiri kami berdua, membawakan sepasang gaun indah yang pas untuk kami. Dia Alto, aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya, namun aku tahu, Vent mempunyai perasaan yang sama sepertiku padanya. “ Keajaiban ini milik kalian, aku tunggu kalian berdua”. Alto menyerahkan gaun itu kepada kami dan kemudian pergi. Tanpa pikir panjang, kami berdua berganti gaun dan langsung menuju pesta orang kaya itu. Kami bersenangsenang, bertemu Alto dan Tian. Bagiku Alto adalah sosok malaikat yang datang untuk memberikan kami berdua keajaiban, sedangkan Tian, kakak Alto, sosok malaikat dingin, tapi aku tau, dia punya hati yang hangat. Aku agak bosan dengan pestanya, Tian menemaniku karna dia punya feel yang sama denganku, namun Vent dan Alto berbeda, mereka berdua menikmati pestanya. Tepat jam 12 malam lewat, orang yang memberikan kami keajaiban kini dalam sekejap memberikan kehancuran pada kami. Alto membuat kami malu dan tidak bisa menunjukkan wajah kami didepan mereka semua. 7
“Lihatlah kalian semua, inilah wajah para anak petani yang ingin menjadi Cinderella, Eve dan Vent, gadis kembar yang mimpinya ketinggian”. Alto mempermalukan kami berdua. Semua anak yang datang menertawakan kami. Kulihat Vent berlari dan menangis sesenggukan tak tahan dengan ocehan Alto, sedangkan aku, aku hanya geram mendengar dia mengoceh, ingin rasanya ku tonjok wajahnya, namun aku tak punya pilihan sama sekali karena aku bukan siapa-siapa. Namun disisi lain, Tian menenangkanku. Aku terbangun dalam gelapnya malam, mimpi yang membuatku mengingat kejadian itu, kejadian yang ingin kulupakan. Jendela kamarku terbuka, angin di luar tak bersahabat sama siapapun, ku tutup jendela kamarku dan aku teringat akan kehangatan Tian yang membantuku keluar dari keterpurukan. Bisakah aku bertemu dia lagi?. Saat ini dialah yang ingin kutemui, batinku. Aku bersandar ke tembok yang dingin. Berpikir untuk benci pada Alto, memang ada, tapi kalau bukan karna kakakku yang sayang sama dia. Seumur-umur aku nggak akan maafin dia. Aku tertidur hingga pagi. Mama mengedor-ngedor pintu kamarku, begitu tergesagesa sehingga membuatku kaget. “Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu”. Mama terlihat ngos-ngosan. Aku bingung, kenapa mama sampai seperti ini kalau itu bukan orang yang penting. Aku mengganti pakaianku, sedangkan mama tetap menyuruhku untuk bergegas. Aku keluar kamar dan menuju ruangan depan untuk melihat siapa yang ingin bertemu denganku. Kulihat sosoknya, tinggi, kurus berbanding terbalik dengan Alto yang proposional. “Maaf”. Aku meminta maaf padanya karena aku tidak tau dia itu sebelum dia berbalik dan pria itu menoleh, pria yang semalam ingin kutemui, Tian. Kuingat wajahnya yang bersih dan senyumnya yang manis, masih seperti dulu dingin namun hangat. “Hai, lama tak jumpa”. Tian tersenyum. Rasanya ingin kuteteskan air mataku, namun entah mengapa air mata itu tak 8
keluar. Aku begitu kangen padanya, tapi aku tidak tahu perasaan apa yang datang padaku. Aku tak dapat mengatakan apapun dan suaraku tak mau keluar. “Kenapa? Ada yang aneh denganku?”. Tian menjadi grogi sendiri. Aku menggeleng kepalaku. Tanpa sadar aku sudah melompat dan memeluknya. “Eve…”. Kurasakan punggungku dielus olehnya, membuatku menjadi tenang. Kulepaskan pelukanku, entah benar atau tidak kurasakan wajahku memerah. “Maaf . . . . aku refleks”. “Kau itu, sebenarnya suka padaku atau Alto?” Tiba-tiba Tian bertanya hal yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku hanya diam terpaku, kaget akan pertanyaannya. Aku yakin, saat ini wajahku tambah memerah melebihi yang tadi. “Eh, duduk dulu deh.” Aku mengalihkan pembicaraan. “Kau pintar sekali mengalihkan pembicaraan ya.” Tian tersenyum dan duduk. Kulihat Tian mengambil 1 bungkus rokok dari kantong bajunya. Inilah yang tidak aku suka darinya. Dia perokok berat. “Maaf ya.” Tian minta maaf sambil menyalakan rokok dan menghisapnya. Tian sudah tahu kalau aku benci dengan perokok, tapi dia tetap saja merokok didepanku. “Tian, berapa kali aku bilang untuk tidak merokok. Kau itu sudah benar-benar terkontaminasi.” “Eve, cowok itu kalau tidak merokok pasti akan ada yang kurang.” Tian menyembulkan asap rokok. “Jadi jangan heran kalau kau lihat benyak cowok yang merokok.” “Aku tidak peduli dengan yang lainnya, tapi aku peduli denganmu.” Aku kesal dan langsung mengambil rokok yang sedang dihisapnya. “Jangan pernah merokok di depanku. Kau itu beda banget sama adikmu, kau bisa tidak seperti dia yang tidak pernah pernah merokok.” “Maaf aku tidak bisa seperti yang kau minta. Karena aku adalah aku. Karena aku adalah Tian, bukan Alto orang yang 9
kau suka.” Raut wajah Tian langsung dingin. Dia kembali mengambil rokoknya dan menghisapnya. Akupun terdiam, menunduk dan menyesal dengan apa yang telah aku perbuat. Kemudian aku melihat Tian, ekspresinya tetap sama. Tiba-tiba dia beranjak dari tempatnya. “Aku pulang.” Katanya tanpa melihat kearahku. Tian merapikan bajunya dan pergi begitu saja. Aku tambah menyesal berkata hal yang tidak penting tadi. Punggungnya semakin jauh. Ingin rasanya ku tahan, tapi untuk apa?. Aku bukan siapasiapanya. Malam hari, aku terus menyesali perkataanku. Merenung dikamar sendiri, memeluk bantal yang selalu menemaniku. Papa masuk ke kamar dan kini giliran Papa yang gelisah. “ ada apa Pa???” tanyaku. “Eve, tadi sewaktu Tian datang dia memberikan surat kepada Papa dan isi suratnya itu, kau diterima di SMA yang sama dengan dia.” Aku kaget. Tian datang ke desa hanya untuk memberikan surat atas diterimanya aku di SMA yang sama dengannya???? “bagaimana Eve??? Kau mau??? Papa tahu kau punya masa lalu yang tidak enak ketika berada di kota, tapi papa juga tidak mau kau terus berada di desa. Papa mau kau melanjutkan sekolahmu.” Aku berpikir sejenak. Kehidupanku disini sudah nyaman, tapi impian Papa lah yang saat ini paling penting. Aku melihat papa dan mengangguk. Senyum lebar merekah diwajahnya, baru kali ini kulihat papa begitu bahagia setelah sekian lama. Akhir pekan ini aku berangkat menuju kota, tempat yang aku sudah janji pada diriku sendiri tak akan pernah aku datangi. Dengan hanya berbekal sedikit uang dan bekal makan, aku menuju kota yang harus aku tempuh dalam waktu 12 jam. Rasanya aku sudah berjam-jam tidur di kereta. Pukul 8 malam kurang 5 menit aku sampai juga di kota. Semuanya telah berubah, kota yang dulu kecil kini telah maju. Begitu banyak kenangan yang tersimpan di kota ini.
10