Penerapan TOD (Transit Oriented Development) sebagai Upaya Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan di Kota Surabaya Ketut Dewi Martha Erli Handayeni Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember email:
[email protected];
[email protected]
Abstrak TOD (Transit Oriented Development) merupakan pendekatan transportasi yang berkelanjutan dilihat dari prinsip penyediaan aksesibilitas dan alternatif moda bagi siapa saja, mendukung pertumbuhan ekonomi kota, serta ramah lingkungan. Praktek TOD di dunia semakin populer namun belum banyak diterapkan di kota-kota di Indonesia. Oleh karena itu, perlunya pendekatan TOD dalam mengupayakan terwujudnya transportasi yang berkelanjutan di Kota Surabaya. Pendekatan TOD pada prinsipnya mengedepankan integrasi sistem penggunaan lahan dengan sistem transportasi yang melayaninya. Melalui teknik analisis Overlay dapat diketahui sejauhmana sistem penggunaan lahan (sebaran pusat kegiatan kota Surabaya) terintegrasi dengan sistem transit yang melayaninya. Hasil studi menunjukkan bahwa konsep TOD berpotensi untuk diterapkan di Kota Surabaya. Beberapa unit pengembangan kota yang sudah menunjukkan adanya kedekatan pusat kegiatan dengan simpul transit, yaitu Tambak Osowilangun; Tanjung Perak; dan Wonokromo. Beberapa unit pengembangan lainnya yang berpotensi untuk diterapkan konsep TOD adalah Dharmahusada dan Tunjungan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan TOD di Surabaya adalah arahan penggunaan lahan yang bercampur di sekitar lokasi transit; tingkat kepadatan tinggi di sekitar lokasi transit; serta desain kawasan transit yang ramah pejalan kaki.
Kata kunci: TOD, Transit, Keberlanjutan
1. Pendahuluan Persoalan kemacetan yang seringkali terjadi di kota-kota besar di Indonesia memberi dampak signifikan bagi lingkungan, sosial, dan ekonomi kotanya. Pencemaran lingkungan perkotaan, pemborosan energi, serta tingginya biaya sosial (social cost) merupakan akibat yang ditimbulkan oleh persoalan kemacetan ini. Persoalan kemacetan di kota-kota besar di Indonesia seringkali diatasi hanya dengan
peningkatan kapasitas/suplai jaringan jalan melalui pelebaran maupun penambahan panjang jalan. Hal ini merupakan strategi yang praktis merespon permintaan akan meningkatnya kebutuhan transportasi, namun strategi ini sifatnya temporal dan justru mendorong semakin tingginya tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor di perkotaan. Pada akhirnya kemacetan menjadi siklus permasalahan yang berdampak jangka panjang bagi lingkungan, sosial, dan ekonomi kotanya. 1
Oleh karena itu, persoalan kemacetan perlu dipahami dalam kerangka pikir (framework) sebuah sistem transportasi bahwa secara makro transportasi terbentuk dari sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan orang/barang (Tamin, 2008). Sistem kegiatan yang dimaksud adalah sebaran pusat-pusat kegiatan kota yang diekspresikan melalui sistem penggunaan lahan. Kemudian sistem jaringan adalah infrastruktur atau sarana prasarana transportasi, dan sistem pergerakan adalah karakteristik arus pergerakan barang/orang yang dapat dilihat dari jenis moda yang digunakan, waktu pergerakan, maksud pergerakan, dan sebagainya. Ketiga sistem tersebut memiliki sifat saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan pada sistem jaringan maupun sistem kegiatan akan mempengaruhi perubahan pada sistem pergerakan. Perubahan pada salah satu sistem akan mempengaruhi perubahan pada sistem lainnya yang pada akhirnya dapat menunjukkan tingkat pelayanan (performance) transportasi di suatu kota. Melalui pemahaman sistem transportasi makro tersebut, persoalan kemacetan dapat diatasi dengan cara berpikir sistem yaitu melalui integrasi ketiga sistem tersebut. Persoalan kemacetan tidak hanya diatasi dengan penyediaan jaringan jalan maupun penyediaan moda angkutan umum (public transport) saja, namun perlu diintegrasikan pula sebaran pusat-pusat kegiatan kotanya dengan system transportasi yang melayaninya. Praktek penanganan persoalan kemacetan di kota-kota di dunia sudah mulai banyak yang meninggalkan cara usang melalui pendekatan suplai jaringan. Berbagai strategi inovatif mulai berkembang dengan konsep-konsep yang mengedepankan integrasi antara penggunaan lahan dengan transportasi. Salah satu konsep tersebut adalah TOD (Transit Oriented Development). Konsep
yang merupakan penjabaran dari konsep Smart Growth City ini merupakan evolusi konsep perencanaan kota yang mengedepankan prinsip integrasi antara penggunaan lahan/sistem kegiatan kota dengan sistem transportasi yang menghubungkannya. Ide konsep TOD ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa titik-titik transit (terminal, stasiun, halte/bus stop, dan sebagainya) tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, namun titik-titik transit tersebut sekaligus dapat berfungsi sebagai sebuah tempat berlangsungnya aktivitas perkotaan (pusat permukiman, perkantoran, perdagangan jasa, pendidikan, dan sebagainya). Praktek TOD di dunia semakin populer dengan idenya yang menjanjikan akan terjaminnya kualitas ruang kota yang berkelanjutan dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Keberhasilan penerapan konsep TOD ini telah ditunjukkan dari kemampuannya dalam meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas sehingga mampu mengurangi kemacetan, mereduksi pencemaran lingkungan, serta efisiensi penggunaan energi di sektor transportasi. Kota Calgary, Kanada dalam publikasinya TOD Best Practice Handbook (2004) menunjukkan penerapan konsep TOD yang dilakukan dengan merencanakan titik-titik stasiun LRT (Light Rail Transit) yang diintegrasikan dengan perencanaan guna lahannya (fungsi perumahan dan pusat bisnis/perdagangan jasa) di sekitar stasiun sehingga meningkatkan akses dan mobilitas dari perumahan baru yang direncanakan menuju pusat-pusat kegiatan (bekerja, berbelanja, bersekolah, dan sebagainya). Beberapa praktek TOD yang sudah diterapkan juga dapat ditemui di beberapa kota di Amerika seperti di Dallas, Atlanta, San Diego, Arlington, San Jose (Dittmar dan Ohland, 2004), Hongkong, Korea, Australia, dan Cina. 2
Peningkatan aksesibilitas dan mobilitas yang dipromosikan oleh konsep TOD ini mampu mereduksi ketergantungan yang tinggi terhadap penggunaan kendaraan pribadi. Ketergantungan yang tinggi terhadap penggunaan kendaraan pribadi merupakan konsekuensi atas lemahnya peran sistem transportasi kota dalam menghubungkan sistem kegiatan kota. Hal ini dapat dilihat dari bentukan struktur ruang kota yang tidak efektif dan efisien dalam mengarahkan sistem penggunaan lahan atau sebaran pusat-pusat kegiatan kota yang belum terintegrasi secara baik dengan sistem transportasi yang menghubungkannya. Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia mengalami tantangan dalam hal pengaturan guna lahan dan sistem transportasi. Persoalan kemacetan di Kota Surabaya dapat diidentifikasi dari kinerja jaringan jalan yang menunjukkan kemampuan kapasitas jalan dalam menampung volume kendaraan yang melintasi jalan tersebut, melalui perbandingan volume kendaraan dengan kapasitas jalan (VCR-Volume Capacity Ratio). Beberapa ruas jalan Kota Surabaya menunjukkan VCR yang melebihi 0,5 bahkan 0,8 yang berarti kinerja jalan sangat buruk atau menunjukkan persoalan kemacetan. Pada ruas jalan raya Wonokromo yang mencapai VCR hingga 1,02 (Penyusunan Master Plan Transportasi Surabaya 2017, tahun 2007). Kemacetan ini didominasi oleh penggunaan kendaraan pribadi. Dalam arahan struktur ruang Kota Surabaya, Kecamatan Wonokromo merupakan salah satu kawasan inti kota di sisi selatan dengan karakteristik sebagai pusat kegiatan perdagangan dan jasa, permukiman dan kawasan khusus (Perda No.3 Tahun 2007 tentang RTRW Kota Surabaya). Selain dilayani oleh sistem jaringan jalan, kawasan ini dilayani pula oleh sistem transportasi publik yang dapat dilihat dari adanya pelayanan jaringan rel
kereta api jalur Wonokromo – Gubeng dan stasiun Wonokromo, serta adanya pelayanan jaringan angkutan umum dengan ketersediaan 2.131 armada angkutan kota dan sejumlah halte/shelter angkutan kota di Kecamatan Wonokromo (Dinas Perhubungan Surabaya, 2009). Persoalan kemacetan di kawasan Wonokromo ini mengindikasikan adanya disintegrasi antara kegiatan yang berkembang dengan simpul transportasi (stasiun KA dan halte/shelter angkutan kota) yang melayaninya, sehingga preferensi penggunaan jalan dan kendaraan pribadi lebih tinggi dibandingkan penggunaan kereta api maupun angkutan kota. Disintegrasi guna lahan dengan sistem transportasi merupakan isu strategis di Kota Surabaya. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk memahami bagaimana potensi penerapan konsep TOD dalam mengupayakan integrasi sistem kegiatan kota dengan sistem transportasi yang melayaninya sehingga terwujud sistem transportasi yang berkelanjutan, mampu meminimalisasi penggunaan kendaraan bermotor melalui penyediaan aksesibilitas dan mobilitas yang tinggi. 2. Prinsip TOD (Transit Oriented Development) sebagai Konsep Transportasi yang Berkelanjutan Secara teoritik, tidak ada definisi universal mengenai konsep TOD yang dapat diterima karena maknanya akan berbeda menurut lokasi/tempat yang berbeda (Cervero et al, 2004). Beberapa definisi TOD dikaitkan dengan prinsip smart growth dan prinsip keberlanjutan. Definisi yang lain mengaitkan dengan karakteristik desain lingkungan (urban design) yang menekankan pada lingkungan yang mendukung pejalan kaki (walkable environment), penggunaan lahan bercampur, serta kepadatan tinggi di sekitar titik transit. Kemudian, pemerintah lokal Amerika mendefinisikan TOD secara spesifik melalui Koefisien Lantai Bangunan (KLB) minimum serta jarak ke 3
stasiun kereta api yang seringkali dikaitkan dengan peraturan zonasi (Cervero et al, 2004). Konsep TOD bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mengurangi ketergantungan tinggi terhadap kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi publik (bus, kereta api, angkutan umum, dan sebagainya) melalui promosi aksesibilitas dan mobilitas yang baik menuju titik-titik transit (stasiun, terminal, halte/bus stop). Oleh karena itu, definisi TOD berkaitan dengan upaya peruntukan lahan (perumahan, perdagangan jasa, dan sebagainya) yang dipusatkan pada titik-titik transit atau simpul transportasi dengan karakter desain peruntukan yang bercampur, kemudahan akses kendaraan tidak bermotor (kemudahan berjalan kaki), tingkat kepadatan tinggi di sekitar titik-titik transit. Definisi ini seperti halnya yang dikutip pada http://en.wikipedia.org bahwa: “A transit-oriented development (TOD) is a mixed-use residential or commercial area designed to maximize access to public transport, and often incorporates features to encourage transit ridership. A TOD neighborhood typically has a center with a transit station or stop (train station, metro station, tram stop, or bus stop), surrounded by relatively high-density development with progressively lowerdensity development spreading outward from the center”
Secara general, konsep TOD diaplikasikan pada kawasan yang berlokasi di sekitar titik-titik transit atau simpul transportasi dengan radius 400 hingga 800 meter (http://en.wikipedia.org). Ukuran radius ini dipertimbangkan terkait dengan skala/ukuran jarak berjalan kaki. Oleh karena itu, prinsip perencanaan TOD dikaitkan dengan kemudahan menjangkau pusat-pusat kegiatan kota dari titik-titik transit atau sebaliknya kemudahan menjangkau titik-titik transit dengan cara berjalan kaki yang didukung dengan desain kawasan yang ramah bagi pejalan kaki
(pedestrian-friendly). Hal ini diilustrasikan seperti pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1 Ilustrasi Kawasan TOD (Sumber: Mu and Jong, 2012) Pada gambar 1 dijelaskan bahwa prinsipprinsip TOD yang dimaksud adalah (Watson et al, 2003; Dittmar dan Ohland, 2004) : a) Kaya akan pilihan aktivitas perkotaan (rich mix of choices) pada satu unit lingkungan atau unit kawasan melalui sistem penggunaan lahan bercampur di sekitar titik transit. b) Menjadikan “tempat” yang atraktif (place making), titik transit tidak hanya berfungsi sebagai tempat menaikkan maupun menurunkan penumpang. c) Mendorong pertumbuhan pada level regional untuk menjadi lebih kompak (compact) dan didukung oleh sistem transit yang memadai. d) Mengembangkan penggunaan lahan bercampur dalam jarak berjalan kaki dari titik transit. e) Menciptakan jaringan jalan yang ramah bagi pejalan kaki dan berkoneksi baik dengan tempat destinasi/tujuan. f) Melindungi habitat-habitat yang rentan, bantaran sungai, dan ruang-ruang terbuka (open spaces). g) Mendorong pembangunan kembali (infill and redevelopment) sepanjang koridor transit. Konsep TOD ini tidak dipahami sebagai pembangunan pusat-pusat kegiatan kota yang hanya “berdekatan atau 4
berbatasan” dengan titik-titik transit (transit-proximite development), namun pembangunan “berorientasi” dengan titiktitik transit tersebut. Artinya, konsep TOD ini menekankan adanya integrasi antara kegiatan yang berkembang di suatu kawasan dengan titik transit yang melayaninya. Oleh karena itu, konsep TOD mengarahkan adanya upaya-upaya untuk mendorong penggunaan transportasi publik (bus, angkutan kota atau kereta api) dalam melakukan aktivitas perkotaan. Prinsip TOD ini sangat relevan dengan konsep transportasi yang berkelanjutan. Penyediaan aksesibilitas dan moda alternatif bagi siapa saja, mendorong pertumbuhan ekonomi kota, serta ramah lingkungan merupakan prinsip dasar transportasi yang berkelanjutan (Tamin, 2008). Konsep TOD mempromosikan aksesibilitas melalui integrasi pusat kegiatan dengan lokasi titik/simpul transportasi serta memberikan berbagai alternatif moda (angkutan kota, kereta api, berjalan kaki, atau bersepeda) pada kawasan transit. Konsep TOD juga mendorong tumbuhnya pertumbuhan ekonomi kota melalui orientasi penggunaan lahan pada titik transit. Terakhir, konsep TOD mendorong penggunaan transportasi publik serta berjalan kaki/bersepeda melalui desain kawasan transit yang ramah pejalan kaki. 3. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deduktif. Penyusunan hipotesis atas penelitian ini dibangun dari dasardasar teoritik yang kemudian melalui observasi terhadap data-data spesifik di lapangan (data empirik) dilakukan konfirmasi terhadap teori yang dibangun. Penelitian deduktif ini bertujuan untuk menguji suatu teori pada keadaan empirik tertentu. Pada penelitian ini dasar-dasar teoritik mengenai konsep TOD dijadikan dasar membangun hipotesis atas kemacetan yang terjadi di Kota Surabaya. Proses
pengambilan kesimpulan pada penelitian ini adalah melalui observasi data-data empirik untuk mengkonfirmasi teori terhadap kondisi empirik. Pendekatan deduktif pada penelitian ini menggunakan paradigma kuantitatif. Konfirmasi teori berdasarkan kondisi empirik dilakukan dengan pendekatan analisis kuantitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua cara, yaitu dengan cara survey primer dan survey sekunder. Survey primer dilakukan untuk memperoleh datadata primer melalui observasi lapangan. Survey sekunder dilakukan untuk memperoleh data-data sekunder yang bersumber dari lembaga/intansi terkait. Variabel-variabel pada penelitian ini berkaitan dengan definisi dan prinsip TOD, yaitu: 1. Sebaran pusat-pusat kegiatan kota 2. Sebaran titik-titik transit 3. Karakter penggunaan lahan pusat kegiatan yang dekat dengan titik transit 4. Kepadatan bangunan pusat kegiatan yang dekat dengan titik transit (KDB dan KLB) 5. Ketersediaan fasilitas pejalan kaki di sekitar titik transit 6. Tingkat kemudahan, keamanan dan kenyamanan berjalan kaki untuk mencapai bangunan dalam kawasan menuju lokasi transit atau sebaliknya Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode overlay (tumpang susun) yang bertujuan untuk mengetahui sejauhmana sebaran pusatpusat kegiatan kota berorientasi pada sebaran simpul transportasi yang menghubungkannya. Dalam proses analisis, penggunaan metode ini dilakukan dengan aplikasi perangkat lunak ArcGIS. 4. Hasil dan Pembahasan Pembahasan mengenai potensi penerapan TOD di Surabaya ditinjau dari sejauhmana sebaran pusat-pusat kegiatan kota berorientasi pada sebaran titik/simpul transit yang melayaninya. Titik/simpul 5
transit yang dimaksud adalah terminal dan stasiun. Oleh karena itu, perlu ditinjau bagaimana sebaran pusat kegiatan kota dan titik/simpul transit yang melayaninya. 4.1 Identifikasi Sebaran Pusat Kegiatan Kota Surabaya Pusat kegiatan Kota Surabaya diidentifikasi dari struktur ruang Kota Surabaya yang membagi wilayah kotanya kedalam 12 Unit Pengembangan (UP). Masing-masing UP memiliki peran dan fungsi yang spesifik dan diarahkan pusat kegiatannya pada kawasan tertentu. Hal ini dapat dilihat seperti pada tabel 1. Tabel 1 Pusat Kegiatan Kota Surabaya berdasarkan Unit Pengembangan Kota UP
Tanjung Perak
Pusat UP
Skala Pelayanan Kegiatan Pusat UP Regional
Kawasan Tanjung Perak Tunjungan Kawasan Kota Tunjungan Kertajaya Kawasan Kertajaya IndahDharmahusada Indah Sub Kota Satelit Kawasan Segi Delapan Satelit Rungkut Kawasan Rungkut Madya Tambak Wedi Kawasan kaki Jembatan Suramadu Dharmahusada Kawasan Karangmenjangan UP Wonokromo Kawasan Wonokromo Wiyung Kawasan Wiyung Tambak Kawasan Tambak Osowilangun Osowilangun Ahmad Yani Koridor Jl. Ahmad Yani Sambikerep Kawasan Sambikerep Sumber: RTRW Kota Surabaya 2003-2013
UP yang berfungsi sebagai Pusat Regional dimaksudkan sebagai kawasan yang berfungsi melayani kegiatan-kegiatan dalam lingkup regional, hubungan kegiatan antara Kota Surabaya dengan kota-kota lainnya dalam ruang lingkup
Gerbangkertasusila (GKS). UP yang berfungsi sebagai Pusat Kota dimaksudkan sebagai kawasan yang berfungsi melayani kegiatan-kegiatan dalam lingkup internal Kota Surabaya. Skala pelayanan kegiatan di UP ini adalah seluruh Kota Surabaya dan mendukung kegiatan-kegiatan yang berkembang di Pusat Regional. Sedangkan, UP yang berfungsi sebagai Pusat Sub Kota dimaksudkan sebagai kawasan yang berfungsi melayani kegiatan-kegiatan dalam lingkup kecamatan antar UP. Pusat Sub Kota ini berperan dalam mendukung kegiatan-kegiatan yang berkembang di Pusat Kota. Terakhir, UP yang berfungsi sebagai Pusat Unit Pengembangan merupakan kawasan yang berfungsi melayani kegiatan-kegiatan antar kecamatan dalam UP. Pusat Unit Pengembangan ini berperan dalam mendukung kegiatan yang berkembang di Pusat Sub Kota. Sebaran pusat-pusat kegiatan di masing-masing UP ini dapat dilihat seperti pada gambar 2. Adapun fungsi-fungsi utama dari masing-masing UP adalah sebagai berikut: a) UP Rungkut memiliki fungsi utama permukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa, lindung terhadap alam dan industri b) UP Kertajaya memiliki fungsi utama permukiman, perdagangan, pendidikan, dan lindung terhadap alam c) UP Tambak Wedi memiliki fungsi utama permukiman, perdagangan jasa, rekreasi dan lindung terhadap alam d) UP Dharmahusada memiliki fungsi utama permukiman, perdagangan, pendidikan dan kesehatan e) UP Tanjung Perak memiliki fungsi utama pelabuhan, kawasan militer, kawasan industri strategis, perdagangan dan jasa, dan lindung terhadap bangunan dan lingkungan cagar budaya f) UP Tunjungan memiliki fungsi utama permukiman, pemerintahan, dan perdagangan dan jasa
6
g) UP Wonokromo memiliki fungsi utama permukiman, perdagangan dan jasa, dan kawasan khusus (kawasan militer)
h) UP Satelit memiliki fungsi utama permukiman, perdagangan dan jasa, industry, dan kawasan militer
Gambar 2 Sebaran Pusat-pusat Kegiatan di Masing-masing UP l) UP XII Sambikerep dengan pusat di memiliki fungsi utama permukiman, perdagangan dan jasa dan konservasi
i) UP Ahmad Yani memiliki fungsi utama permukiman, perdagangan dan jasa, dengan titik pertumbuhan perdagangan jasa dan perkantoran pemerintah maupun swasta j) UP Wiyung memiliki fungsi utama kegiatan permukiman, pendidikan, industri dan konservasi, dengan k) UP Tambak Osowilangun memiliki fungsi utama permukiman, perdaganagan dan jasa, pergudangan, kawasan khusus dan konservasi
Intensitas kegiatan-kegiatan yang direncanakan di masing-masing UP dapat dilihat dari rencana intensitas pemanfaatan ruang UP melalui koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien lantai bangunan (KLB). Ilustrasi KDB dan KLB di masing-masing UP dapat dilihat seperti pada tabel 2.
Tabel 2 Rencana KDB dan KLB Masing-masing UP Kota Surabaya No
Unit Pengembangan (UP)
Sumber Rencana
1.
UP Rungkut
RDTRK UP. Rungkut (1996/1997)
2.
UP Kertajaya
RDTRK UP. Kertajaya (2008)
3.
UP Tambak Wedi
RDTRK UP. Tambak Wedi (2008-2018)
Rencana Peruntukan
Pemukiman Fasilitas Umum Bangunan Komersil Perumahan Fasilitas Umum Perdagangan Komersial Industri/Pergudangan RTH dan Makam Perumahan Kawasan Perdagangan Jasa Industri Pergudangan Fasilitas Umum dan
KDB (%)
KLB (Lantai)
50%-60% 40%-50% 50%-60% 50%-70% 50%-60% 50%-60% 50%-60% 50%-60% 0%-10% 40%-100% 50%-100%
1-3 lt 1-6 lt 1-20 lt 1-12 lt 1-6 lt 1-5 lt 1-10 lt 2 lt 1 lt 1-5 lt 1-6 lt
60%-80% 40%-80%
1-2 lt 1-2 lt
7
No
Unit Pengembangan (UP)
Sumber Rencana
Rencana Peruntukan
KDB (%)
KLB (Lantai)
Bangunan Pemerintahan
4.
5.
UP Darmahusada
UP Tanjung Perak
RDTRK UP. Dharmahusada (2006-2016)
RDTRK UP. Tanjung Perak (2011-2031)
6.
UP Tunjungan
RDTRK UP. Tunjungan
7.
UP Wonokromo
RDTRK UP Wonokromo (2008-2018)
8.
UP Satelit
RDTRK UP Satelit
9.
UP Wiyung
RDTRK UP Wiyung
10.
UP Tambak Osowilangun
RDTRK UP Tambak Osowilangun (2008-2018)
Perumahan Fasilitas Umum Kawasan Perdagangan Jasa Industri Pergudangan Fasilitas Umum Perdagangan Jasa Campuran Fasilitas Umum dan Perdagangan Jasa Perumahan Ruang Terbuka Hijau Perdagangan Jasa Fasilitas Umum Ruang Terbuka Hijau Perumahan Fasilitas Umum dan Pemerintahan Perumahan Perdagangan Jasa Fasilitas Umum Perumahan Perdagangan Jasa Fasilitas Umum Industri Pergudangan Perumahan Perdagangan Jasa Fasilitas Umum Industri Pergudangan RTH dan Makam
60%-70% 50%-60% 50%
1-2 lt 1-8 lt 2-4 lt
50% 50% 50%-60% 60%
1-2 lt 1-8 lt 1-30 lt 1-6 lt
50%-75% 0%-20% 70%-100% 70%-100% 0%-20% 40%-100% 40%-60%
1-3 lt 1-2 lt 2-20 lt 2-8 lt 1-2 lt 1-6 lt 1-2 lt
50%-70% 50%-70% 50%-70% 20%-80% 50%-70% 50%-70% 40%-50% 60%-70% 50% 50% 50% 0%-10%
> 3 lt > 3 lt > 3 lt 1-6 lt 2-10 lt 2 lt 1 lt
Sumber: diolah dari berbagai sumber, 2012 Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa intensitas kegiatan yang cukup tinggi diarahkan di dua UP utama, yaitu UP Tanjung Perak dan UP Tunjungan. Hal ini dapat dilihat dari arahan KDB yang melebihi 80% dan arahan KLB melebihi 5 lantai. Arahan KDB dan KLB ini dapat mengindikasikan arahan pemusatan kegiatan kota yang cukup intensif di kedua UP tersebut, khususnya pemusatan kegiatan perdagangan jasa. Jika dilihat dari skala pelayanan kegiatan, kedua UP ini berfungsi melayani kegiatan regional dan pusat kota. Selanjutnya, intensitas kegiatan yang cukup tinggi khususnya peruntukan perumahan terdapat di UP Kertajaya sesuai dengan fungsinya sebagai pusat sub kota dengan arahan KDB hingga 70% dan arahan KLB hingga 12 lantai dimana tipologi perumahan diarahkan ke horizontal housing seperti
apartemen yang terintegrasi dengan perkantoran dan pusat perbelanjaan. Intensitas kegiatan peruntukan perumahan yang tinggi juga terdapat di UP Tambak Wedi dan UP Wonokromo yang sesuai dengan skala pelayanan kegiatannya pada lingkup unit pengembangan. Di kedua UP ini tipologi perumahan juga diarahkan ke pembangunan rumah susun dengan arahan KLB hingga 5-6 lantai. Intensitas kegiatan yang cukup tinggi untuk peruntukan fasilitas umum terdapat di UP Dharmahusada dan UP Tambak Osowilangun.
8
4.2 Identifikasi Sebaran Titik/Simpul Transit Kota Surabaya Titik-titik transit Kota Surabaya merupakan simpul transportasi yang membentuk sistem jaringan pelayanan transportasi Kota Surabaya. Adapun titik transit yang dimaksud adalah terminal dan stasiun. Terminal tipe A di Kota Surabaya adalah Terminal Purbaya dan Terminal Tambak Osowilangun. Terminal Tipe B adalah Terminal Joyoboyo. Terminal tipe C di Kota Surabaya meliputi Terminal Balongsari, Terminal Benowo, Terminal Dukuh Kupang, Terminal Kalimas Barat, Terminal Kenjeran, Terminal Manukan, Terminal Menanggal, Terminal Bratang, dan Terminal Kedung Cowek. Kemudian, terdapat rencana penambahan terminal dari kondisi eksisting yang sudah ada (RTRW Kota Surabaya 2003-2013) sehingga jumlah terminal tipe C menjadi 14 terminal. Sementara, terdapat 7 titik stasiun di Kota Surabaya, yaitu Stasiun Pasar Turi, Stasiun Tandes, Stasiun Kandangan, Stasiun Sidotopo, Stasiun Surabaya Kota/ Semut, Stasiun Gubeng, dan Stasiun Wonokromo. Stasiun yang termasuk klasifikasi stasiun besar adalah Stasiun Pasar Turi, Stasiun Surabaya Kota/ Semut, Stasiun Sidotopo, Stasiun Gubeng, dan Stasiun Wonokromo. Sementara, stasiun kecil adalah Stasiun Tandes dan Stasiun Kandangan. Karakteristik jumlah penumpang terminal di Kota Surabaya dapat dilihat dari jumlah penumpang datang dan berangkat dari fasilitas terminal.
Berdasarkan gambar 3, jumlah penumpang terbesar terdapat di Terminal Purabaya. Hal ini disebabkan tipe Terminal Purabaya adalah tipe A yang melayani pergerakan penumpang dalam lingkup regional. Sementara, Terminal Tambak Osowilangun merupakan terminal tipe A namun jumlah penumpangnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan Terminal Joyoboyo yang merupakan terminal tipe B. Berdasarkan gambar 4 dapat diketahui jumlah penumpang kereta api di Surabaya menurut stasiun dan kelasnya. Jumlah penumpang kereta api terbesar terdapat di Stasiun Gubeng, Stasiun Wonokromo, Stasiun Surabaya Kota/Semut, dan Stasiun Surabaya Pasar Turi. Keempat stasiun ini merupakan stasiun besar. Sedangkan, tiga stasiun lainnya yaitu Stasiun Tandes, Stasiun Kandangan, dan Stasiun Benowo merupakan stasiun kecil sehingga jumlah pergerakan penumpang di stasiun ini jauh lebih kecil dibandingkan keempat stasiun lainnya.
Gambar 4 Jumlah Penumpang Kereta Api Menurut Stasiun dan Kelas Kereta Api di Kota Surabaya Tahun 2011 (Sumber: diolah dari data PT. KAI Daop VIII Surabaya, 2012)
Kelas kereta api Eksekutif, Bisnis, dan Ekonomi biasanya merupakan pergerakan antar kota. Sementara, kelas lokal merupakan pergerakan di dalam kota. Berdasarkan gambar 4 dapat diketahui bahwa pergerakan lokal terbesar terdapat di Stasiun Gubeng, kemudian disusul oleh Stasiun Wonokromo, Stasiun Surabaya Semut/Kota, dan Stasiun Surabaya Pasar Turi.
Gambar 3 Jumlah Penumpang menurut Terminal Kota Surabaya Tahun 2011 (Sumber: diolah dari data Dinas Perhubungan, 2012)
9
4.3 Analisis Kesesuaian Sebaran Pusat Kegiatan Kota dengan Titik/ Simpul Transit Konsep TOD pada prinsipnya mengarahkan pusat-pusat kegiatan kota di sekitar titik transit. Sesuai hasil kajian pustaka, konsep TOD tergambar dari jarak minimum antara fasilitas transit terhadap pusat kegiatan di sekitarnya dalam radius 400-800 meter. Pada analisis ini dilakukan overlay antara sebaran pusat kegiatan kota
dengan sebaran titik-titik transit (terminal dan stasiun). Hasil overlay pada gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat tiga UP yang menunjukkan sebaran pusat kegiatan berdekatan dengan titik/simpul transportasi, yaitu UP Tanjung Perak, UP Tambak Osowilangun, dan UP Wonokromo. Sisanya, sembilan UP memiliki pusat kegiatan yang tidak berdekatan dengan lokasi titik transit, baik terminal maupun stasiun.
Gambar 5 Hasil Overlay Sebaran Pusat Kegiatan Kota dan Titik Transit Kota Surabaya Konsep TOD tidak dipahami sebagai pembangunan pusat-pusat kegiatan kota yang hanya “berdekatan atau berbatasan” dengan titik-titik transit (transit-proximite development), namun pembangunan “berorientasi” pada titik-titik transit tersebut. Artinya, konsep TOD ini menekankan adanya integrasi antara kegiatan yang berkembang dengan titik transit yang melayaninya. Integrasi yang dimaksud adalah adanya dorongan menggunakan transportasi publik (bus, angkutan kota atau kereta api) dalam melakukan aktivitas perkotaan melalui pengembangan kawasan yang sesuai dengan prinsip perencanaan kawasan TOD, yaitu: penggunaan lahan bercampur
(mixed uses), tingkat kepadatan tinggi, dan pedestrian-friendly. Oleh karena itu, perlu ditinjau sejauhmana kawasan-kawasan yang merupakan pusat kegiatan di ketiga UP tersebut sudah mengarah pada prinsip perencanaan konsep TOD. 4.4 Analisis Potensi Penerapan Konsep TOD di Surabaya A. Kawasan Tanjung Perak dengan Terminal Kalimas Barat Pada UP Tanjung Perak yang berpusat di kawasan Tanjung Perak, jenis kegiatan yang berkembang pada kawasan ini adalah pelabuhan, permukiman, industri, dan perdagangan jasa. Bila dilihat dari intensitas kegiatannya, bangunan yang digunakan untuk industri memiliki KDB 10
40-70% dengan KLB 40-70%. Sedangkan bangunan perdagangan dan jasa memiliki KDB 70-90% dengan KLB 70-210%. Ukuran KDB dan KLB ini menunjukkan intensitas kegiatan yang cukup tinggi mengingat kawasan Tanjung Perak berperan sebagai pusat kegiatan kota yang melayani lingkup regional. Perkembangan jenis kegiatan yang ada di kawasan ini ditunjang dengan adanya simpul transportasi berupa Pelabuhan Tanjung Perak dan Terminal Kalimas Barat. Jenis kegiatan yang berkembang di kawasan ini sudah menunjukkan penggunaan lahan bercampur, namun belum menunjukkan adanya keragaman (diversity) guna lahan karena penggunaan lahannya masih didominasi oleh penggunaan lahan industri dan perdagangan jasa. Lokasi Terminal Kalimas Barat berada di pertigaan jalan sehingga mempengaruhi tingkat kemudahan, keamanan maupun kenyamanan bagi pejalan kaki yang menuju terminal tersebut atau sebaliknya menuju lokasi industri dan perdagangan jasa. Lokasi terminal ini cukup rentan menyebabkan kecelakaan bagi pejalan kaki di sekitar kawasan. Pada kawasan ini juga tidak terdapat fasilitas pedestrian way seperti zebra cross, jembatan penyeberangan, maupun trotoar yang dapat digunakan guna mencapai terminal maupun sebaliknya mencapai lokasi industri dan perdagangan jasa. Hal ini dapat diketahui bahwa desain kawasan Tanjung Perak belum ramah terhadap pejalan kaki sehingga berdampak pada rendahnya probabilitas penggunaan angkutan publik/umum di sekitar kawasan. Pelayanan sistem transit di Terminal Kalimas Barat kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya kuantitas maupun kualitas fasilitas utama dan penunjang terminal. Pada terminal ini hanya dilengkapi fasilitas informasi trayek serta kios-kios makanan dan minuman. Pelayanan terminal yang masih kurang memadai berdampak pada rendahnya kemauan pelaku pergerakan untuk menggunakan angkutan publik/umum di
kawasan ini. Namun, kondisi lalu lintas di kawasan ini tidak terlalu padat dilihat dari rata-rata VCR jalan Tanjung Perak Timur, Barat adalah 0,32 (Master Plan Transportasi Surabaya 2017, tahun 2007) yang berarti pada kondisi LOS B, artinya pada kondisi lalu lintas stabil. Hal ini disebabkan oleh besarnya kapasitas jalan yang tersedia dibandingkan volume pergerakan yang dilayaninya. Kawasan Tanjung Perak belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip TOD karena desain kawasan yang belum ramah bagi pejalan kaki/pesepeda. B. Kawasan Tambak Osowilangun dengan Terminal Tambak Osowilangun Kawasan Tambak Osowilangun merupakan kawasan yang memiliki kegiatan utama permukiman, perdagangan dan jasa, serta pergudangan. Kegiatan permukiman di kawasan tersebut didominasi dengan permukiman kampung yang memiliki kepadatan tinggi dengan KDB 90%-100%, KLB 90%-200 %, dan GSB 0 meter. Kegiatan perdagangan dan jasa di kawasan ini berupa kios dan perkantoran yang menunjang kegiatan pergudangan. KDB pada bangunan perdagangan dan jasa bekisar antara 60%90% dengan KLB 120%-180%. Sedangkan pada kegiatan pergudangan memiliki KDB bekisar antara 60%-70% dan KLB 60%70%. Intensitas kegiatan yang cukup tinggi dapat dilihat di kawasan ini, meskipun penggunaan lahan yang masih didominasi oleh kegiatan perdagangan jasa serta pergudangan. Pada kawasan Tambak Osowilangun terdapat satu simpul transportasi yakni Terminal Tambak Osowilangun. Terminal tipe A ini berlokasi di perbatasan Surabaya – Gresik dan berada pada ruas jalan arteri primer. Untuk menuju terminal Tambak Osowilangun, para pejalan kaki terfasilitasi dengan keberadaan zebra cross, lampu lalu lintas bagi penyebrang jalan dan trotoar. Menurut hasil survey wawancara pada pejalan kaki yang akan menuju terminal, 11
bila dilihat dari segi kenyamanan pada fasilitas pedestrian way yang ada, para pejalan kaki merasa kurang nyaman dan aman akibat lalu lintas yang cukup padat serta fasilitas pejalan kaki yang tidak nyaman, terutama ketika cuaca tidak mendukung bagi pejalan kaki untuk berjalan kaki menuju terminal maupun menuju lokasi perdagangan jasa. Kondisi lalu lintas di Jalan Osowilangun terlihat cukup padat pada jam-jam tertentu. Rata-rata VCR Jalan Osowilangun ini adalah 0,33 (Master Plan Transportasi Surabaya 2017, tahun 2007) yang berarti memiliki LOS B artinya kondisi lalu lintas yang cukup stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa desain kawasan yang mengarah pada lokasi terminal sudah cukup mengatasi tingkat kemacetan di Jalan Osowilangun, karena mampu mendorong penggunaan angkutan publik/umum. Namun, kawasan ini belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip TOD karena desain kawasan yang belum ramah bagi pejalan kaki/pesepeda serta penggunaan lahan yang cenderung single use development. C. Kawasan Wonokromo Terminal Joyoboyo dan Wonokromo
dengan Stasiun
Kawasan Wonokromo memiliki kegiatan utama berupa permukiman dan perdagangan jasa. Kegiatan permukiman di kawasan ini didominasi dengan permukiman kampung dengan kepadatan bangunan yang tinggi. KDB pada bangunan permukiman sebesar 90%-100 %, KLB sebesar 90%-200% dan GSB 1-0 meter. Kegiatan lain yang ada di kawasan ini adalah perdagangan jasa yang terlihat pada sepanjang koridor Jalan Wonokromo. Bentuk perdagangan jasa berupa pertokoan, pasar tradisional dan pasar modern. KDB pada bangunan perdagangan jasa ini berkisar antara 70%-100 % dengan KLB berkisar antara 100%-350%. Karakter penggunaan lahan di kawasan ini dapat dikatakan sebagai karakter guna lahan campuran. Intensitas kegiatan di
kawasan ini cukup tinggi dilihat dari besarnya rata-rata KDB dan KLB. Keberadaan kegiatan-kegiatan di kawasan ini ditunjang oleh simpul transportasi yakni Terminal Joyoboyo dan Terminal bayangan Wonokromo. Kegiatan perdagangan dan jasa memiliki hubungan erat dengan keberadaan terminal bayangan Wonokromo yang berada di dekat Pasar Wonokromo lama dan stasiun Wonokromo. Kegiatan yang paling mendominasi di kawasan ini adalah DTC (Darmo Trade Center). Untuk menuju DTC atau terminal bayangan tersebut, pejalan kaki disediakan jembatan penyebrangan yang sangat memudahkan pergerakan orang maupun barang dari pusat pertokoan menuju terminal atau sebaliknya. Menurut hasil survey wawancara, pejalan kaki merasa sangat aman dengan keberadaan jembatan penyeberangan yang menghubungkan DTC dengan terminal bayangan yang ada. Namun, belum tersedia jembatan penyebrangan yang menghubungkan lokasi pusat perdagangan jasa dengan Stasiun Wonokromo. Kondisi trotoar yang menghubungkan lokasi transit dengan pusat kegiatan perdagangan jasa memiliki kualitas yang kurang memadai sehingga mempengaruhi tingkat kenyamanan pejalan kaki di kawasan ini. Fasilitas Terminal Joyoboyo yang terdapat di kawasan ini merupakan terminal tipe B yang menunjang kegiatan sekitar kawasan. Lokasi terminal dengan lokasi pusat permukiman dan perdagangan jasa belum terintegrasi dengan baik dilihat dari rendahnya kuantitas dan kualitas fasilitas-fasilitas penghubung yang memudahkan pejalan kaki mencapai lokasi terminal maupun lokasi pusat kegiatan. Pada Terminal Joyoboyo sudah terdapat beberapa fasilitas penunjang pelayanan seperti informasi trayek yang terletak di setiap tempat parkir angkutan. Fasilitas pedestrian way yang ada di terminal joyoboyo ini berupa jembatan penyebrangan dan trotoar. Meskipun 12
kawasan ini sudah berdekatan dengan lokasi transit terminal dan stasiun, kondisi lalu lintas di kawasan ini tergolong buruk dilihat dari rata-rata VCR sebesar 0,85 (Master Plan Transportasi Surabaya 2017, tahun 2007) yang berarti LOS E dengan karakteristik lalu lintas tidak stabil. Hal ini mengindikasikan belum adanya integrasi yang baik antara kegiatan yang berkembang di pusat kawasan Wonokromo dengan sistem transit yang melayaninya
karena belum didukung oleh desain kawasan yang ramah bagi pejalan kaki/pesepeda. Pada tabel 3 dapat dilihat tinjauan kesesuaian karakteristik kawasan pusat kegiatan kota dengan prinsip TOD. Pada tabel 3 menunjukkan bahwa ketiga UP yang memiliki lokasi pusat kegiatan kota dekat dengan titik transit belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip TOD.
Tabel 3 Kesesuaian Karakteristik Kawasan Pusat Kegiatan Kota dengan Prinsip TOD No
Indikator
1.
Karakter penggunaan lahan campuran (mixed-uses development) Tingkat kepadatan tinggi Desain kawasan yang ramah bagi pejalan kaki/pesepeda (pedestrian friendly) Sumber: hasil analisis, 2012
2. 3.
Kawasan berbasis TOD di Kota Surabaya sangat potensial dikembangkan dengan tetap menyesuaikan desain kawasan-kawasan yang berperan sebagai pusat kegiatan kota dengan prinsip perencanaan kawasan TOD. Beberapa kawasan lainnya yang potensial dikembangkan sebagai aplikasi dari konsep TOD di Surabaya adalah kawasan sekitar Stasiun Gubeng (pusat kegiatan di UP Dharmahusada) dan Stasiun Surabaya Pasar Turi (pusat kegiatan di UP Tunjungan). Kawasan yang berkembang sebagai pusat kegiatan di UP Dharmahusada perlu berorientasi pada Stasiun Gubeng mengingat jumlah penumpang di stasiun ini paling tinggi dan sangat potensial untuk dikembangkan pusat-pusat kegiatan sekitar stasiun. UP Dharmahusada memiliki karakteristik kawasan dengan intensitas kegiatan yang cukup tinggi. Begitupula dengan Stasiun Surabaya Pasar Turi yang memiliki potensi jumlah penumpang yang cukup besar mengingat stasiun ini terletak di UP Tunjungan yang memiliki
Kawasan Pusat Kegiatan Kota Tanjung Tambak Wonokromo Perak Osowilangun x
x
√
√
√
√
x
x
x
karakteristik kawasan dengan arahan intensitas kegiatan yang sangat tinggi khususnya pada kegiatan perdagangan jasa. 5. Kesimpulan Sebaran pusat kegiatan kota Surabaya belum sepenuhnya berorientasi pada titiktitik transit. Terdapat tiga Unit Pengembangan (UP) di Kota Surabaya yang menunjukkan kedekatan pusat kegiatan kota dengan lokasi titik transit, yaitu UP Tanjung Perak, UP Tambak Osowilangun, dan UP Wonokromo. Namun, kawasan pusat kegiatan di sekitar titik transit belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip TOD, sehingga kawasan ini masih menunjukkan tingkat kemacetan yang cukup signifikan. Artinya, moda transit di kawasan ini belum dimanfaatkan secara optimal karena belum didukung oleh ciri kawasan yang berbasis TOD. Ketiga kawasan pusat kegiatan kota Surabaya di UP ini sangat potensial diterapkan konsep TOD untuk mendorong 13
penggunaan moda transit. Begitupula dengan kawasan pusat kota yang berada di UP Dharmahusada dan Tunjungan. Dengan menerapkan ciri kawasan pusat kota berbasis TOD, yaitu karakter penggunaan lahannya campuran, tingkat kepadatan tinggi di sekitar titik transit, serta desain kawasan yang ramah bagi pejalan kaki maka akan mendorong penggunaan moda transit. Upaya mendorong penggunaan moda transit melalui penrapan TOD dapat mewujudkan transportasi yang berkelanjutan di Kota Surabaya. 6. Daftar Pustaka Bappeko Surabaya, 2009, Laporan Pendataan dan Identifikasi Review Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya 20032013 Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 Cervero, Robert et al., 2004, TransitOriented Development in The United States: Experiences, Challenges, and Prospects, TCRP Report 102, Washington: Transportation Research Board Cervero, Robert and Jennifer Day, Suburbanization and transitoriented development in China, Transport Policy, Vol.15, pp.315 –323
Dittmar, H., dan G. Ohland, 2004, The New Transit Town Best Practice in Transit Oriented Development, Wasingthon, DC: Island Press Mu, Rui dan Martin de Jong, 2012, Establishing The Conditions For Effective Transit-Oriented Development In China: The Case Of Dalian, Journal of Transport Geography Olaru, Doina, Brett Smith, and John H.E Taplin, 2011, Residential location and transit-oriented development in a new rail corridor, Transportation Research Part A, Vol.45, pp.219–237 Renne, John L., 2008, Smart Growth and Transit-Oriented Development at the State Level: Lessons from California, New Jersey, and Western Australia, Journal of Public Transportation, Vol. 11, No.3, pp.77-108 The City of Calgary Land Use Planning and Policy, 2004, TOD Best Practice Handbook Tamin, 2008, Perencanaan, Pemodelan, dan Rekayasa Transportasi: Teori, Contoh Soal dan Aplikasi, Bandung: Penerbit ITB Watson et al, 2003, Time-Saver Standards, USA: The McGrawHill Companies, Inc
14