PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKSI USAHATANI PADI DI KABUPATEN CIANJUR
AGATHA KINANTHI TIOMINAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015
Agatha Kinanthi Tiominar NIM H351130656
RINGKASAN AGATHA KINANTHI TIOMINAR. Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh ANDRIYONO KILAT ADHI dan DWI RACHMINA. Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Data menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 102.87 kg/kapita/tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 255 juta jiwa dan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1.49 persen/tahun, kebutuhan beras nasional mencapai 41.4 juta ton/tahun yang terdiri dari 33.5 juta ton beras untuk konsumsi dan 7.9 juta ton untuk cadangan beras nasional. Di sisi lain, produksi padi di Indonesia belum stabil menopang kebutuhan beras nasional yang terus meningkat. Hal ini terindikasi dari volume dan nilai impor beras yang masih tinggi, yakni sebanyak 1 927 563 ton dan 1 006 973 090 US $ pada tahun 2012. Salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras impor adalah dengan meningkatkan produksi beras domestik melalui penyaluran teknologi kepada pada petani padi. Teknologi yang disalurkan adalah teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, produksi, pendapatan, dan kesejahteraan petani padi. Teknologi PTT padi terdiri dari 13 komponen teknologi yang diciptakan untuk meningkatkan produksi padi sawah melalui efisiensi penggunaan input produksi dengan memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara bijak. Penyaluran teknologi PTT melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu sebagai bagian dari Program Peningkatan Produksi Bears Nasional (P2BN) telah belangsung dari tahun 2008, namun berbagai hasil evaluasi dan penelitian terhadap keberlangsungan program menunjukkan bahwa tingkat penerapan teknologi PTT masih bervariasi di kalangan petani serta belum memberikan peningkatan hasil produksi padi yang optimal. Oleh karena itu, perlu dikaji secara lebih lanjut mengapa terjadi tingkat penerapan teknologi PTT yang bervariasi serta dampaknya terhadap produksi usahatani padi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengukur tingkat penerapan teknologi PTT padi, 2) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT pada usahatani padi, dan 3) menganalisis pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap peningkatan produksi usahatani padi. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cianjur dengan sampel sebanyak 62 petani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang yang telah mengikuti program bantuan SLPTT. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2014, di mana data yang diperoleh merupakan data cross section yang dianalisis menggunakan metode scoring, model regresi linear berganda, serta fungsi produksi Cobb-Douglas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen teknologi yang memiliki persentase tingkat penerapan yang paling tinggi oleh seluruh petani sampel adalah benih Varietas Unggul Baru (VUB) sebesar 97.58 persen, sedangkan komponen teknologi dengan persentase tingkat penerapan yang paling rendah adalah jarak tanam jajar legowo 2 sebesar 43.55 persen. Penerapan paket teknologi PTT secara keseluruhan dalam usahatani padi di Kabupaten Cianjur belum optimal. Hal ini dapat terindikasi dari sebaran tingkat penerapan teknologi PTT oleh para petani yang sebagian besar termasuk dalam kelompok sedang dengan tingkat penerapan
teknologi berkisar antara 36.1 – 54, dengan persentase sebanyak 85.48 persen dari seluruh petani sampel. Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi belum optimalnya tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani. Berdasarkan hasil pendugaan parameter model faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT, faktor yang berpengaruh nyata pada taraf α 5 persen adalah intensitas keiikutsertaan petani dalam pertemuan SLPTT dengan nilai dugaan 5.887 dan jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti petani dengan nilai dugaan 4.802. Adapun pada taraf α 15 persen, faktor yang berpengaruh nyata adalah dummy status pekerjaan petani dengan nilai dugaan sebesar 3.427. Tingkat penerapan teknologi PTT yang belum optimal berdampak pada produksi padi. Hal ini dapat terindikasi dari model dugaan faktor-faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur yang menunjukkan bahwa tingkat penerapan teknologi PTT tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi pada taraf α 10 persen. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi adalah pupuk NPK Phonska dengan nilai dugaan 0.012 dan pupuk urea dengan nilai dugaan 0.017 pada taraf α 10 persen, dan lahan dengan nilai dugaan 0.748 pada taraf α 1 persen. Untuk meningkatkan penerapan teknologi PTT padi ke depannya, pemerintah melalui penyuluh lapang, bekerja sama dengan pengurus kelompok tani perlu meningkatkan motivasi petani dalam mengikuti pertemuan SLPTT. Dengan tingkat penerapan teknologi PTT yang optimal, maka diharapkan dapat berpengaruh signifikan dan positif terhadap peningkatan produksi padi yang hasilnya dapat bermanfaat bagi petani. Kata kunci: produksi, teknologi PTT, tingkat penerapan
SUMMARY AGATHA KINANTHI TIOMINAR. The Implementation of Integrated Crop Management (ICM) Technology in Increasing Rice Farming Production at Cianjur Regency. Supervised by ANDRIYONO KILAT ADHI dan DWI RACHMINA. Rice is the staple food of Indonesia. The data showed that rice consumption level in Indonesia is 102.87 kg/capita/year. With an average amount of population 255 million and population growth at 1.49 percent/year, national rice needs approximately 41.4 million tones/year that consist of 33.5 million tones rice for consumption and 7.9 million tones for national rice stock. On the other hand, Indonesia’s domestic yield was not stable to fulfill the increasing of rice needs. This is indicated fom the high volume and value of imported rice, which were 1 927 563 tones and 1 006 973 090 US $ on 2012. One of the government’s efforts in decreasing dependency of imported rice is by distributing technology to the rice farmers in order to increase national rice production. The distributed technology was Integrated Crop Management (ICM) technology that is aimed to increase the productivity, yield, income, and the welfare of rice farmers. The ICM technology is consisted of 13 technology components, designed to increase the rice yield by using the production inputs efficiently and considering environmental aspects. The distribution of ICM technology through ICM Farmer Field School (ICM-FFS) as a part of National Rice Yield Increasing Program has been conducted since 2008, however, several researches showed various level of ICM technology implementation by farmers that have impact to the unoptimal rice yield. Therefore, further research is needed to discover why the ICM technology is implemented variously among the rice farmers and its impact to rice yield of farming. This research is aimed to: 1) measure the level of rice ICM technology implementation, 2) identify the factors affecting the level of rice ICM technology implementation, and 3) analyze the impact of rice ICM technology implementation level in increasing rice yield farming. The research was conducted at Cianjur Regency with 62 rice farmers also ICM FFS participantspreaded in Warungkondang and Gekbrong Subdistrict as the research sample. The cross section data was collected on June 2014, analyzed using scoring method, multiple linear regression model, and Cobb-Douglas production function. The result showed that the ICM technology component with highest percentage level of implementation is the New Superior Varieties (NSV) seeds on 97.58 percent, meanwhile the technology component with the lowest percentage level of implementation is jajar legowo 2 crop population management with 43.55 percent. The implementation of ICM technology as a whole package in rice farming at Cianjur Regency was not optimal. This was indicated from the ICM technology implementation that were mostly in moderate level (85.48 pecent), score between 36.1 – 54.0. There are several factors that affect the unoptimal ICM technology implementation level. Based on the analysis result of factors affecting ICM technology implementation level, the factors that siginifcantly affect at level α 5 percent are the intensity of farmer’s participation in ICM-FFS training and the quantity of other farming training participated by the farmers with predicted value 5.887 and 4.802. On the other hand, the dummy variable of the farmer’s occupation status significantly affects on level α 15 percent, with predicted value 3.427.
The unoptimal level of ICM technology implementation affects the rice farming yield. This is indicated from the rice production function analysis where the ICM technology implementation level did not significantly affect the rice yield at the level α 10 percent. The analysis result showed the production inputs that significantly affect the rice yield are Urea-based fertilizer and NPK Phonska fertilizer at level α 10 percent with predicted value 0.017 and 0.012, where as land significantly affects atlevel α1 percent with predicted value 0.748. To increase the level of ICM technology implementation in the future, the government through the farming trainers together with the farmer group committee should increase the motivation of the farmers in participating ICM-FFS training. An optimal level of ICM technology implementation will affect significantly and positively on increasing rice yield which will be beneficial for the farmers. Kata kunci: ICM technology, implementation level, production
© Hak Cipta IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENERAPAN TEKNOLOGI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKSI USAHATANI PADI DI KABUPATEN CIANJUR
AGATHA KINANTHI TIOMINAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
2
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM
3 Judul Tesis
Nama NIM
: Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur : Agatha Kinanthi Tiominar : H351130656
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Andriyono Kilat Adhi Ketua
Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof Dr Ir Rita Nurmalina,MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 17 November 2014
Tanggal Lulus:
4
5
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini adalah usahatani, dengan judul Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Andriyono Kilat Adhi dan Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si selaku komisi pembimbing; serta Ibu Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS dan Ibu Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku penguji di luar komisi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang, khususnya Bapak Yayat Duriat dan Bapak Asep selaku kepala Balai, para ketua kelompok tani serta petani padi sampel di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang, keluarga Umi dan Ayah di Desa Sukaratu, serta seluruh pihak terkait yang telah membantu dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya; pihak pemberi Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri (BU-BPKLN) Dikti yang telah membiayai studi dan penelitian penulis selama menyelesaikan pendidikan master; serta seluruh temanteman Fast Track Magister Sains Agribisnis Angkatan 1 atas segala doa, semangat, dukungan, dan perjuangan yang bersama-sama kita lakukan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Agatha Kinanthi Tiominar
6 DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Adopsi Teknologi dalam Usahatani Faktor-faktor yang Memengaruhi Penerapan Teknologi dalam Usahatani Dampak Penerapan Teknologi 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penentuan Sampel Metode Pengolahan dan Analisis Data 5 GAMBARAN UMUM PENELITIAN Deskripsi Lokasi Penelitian Karakteristik Petani Sampel Kondisi Usahatani Petani Keragaan Usahatani Padi 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Faktor –faktor yang Memengaruhi Tingkat Penerapan Teknologi PTT Pengaruh Penerapan Teknologi PTT terhadap Produksi Padi 7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xv xv xvi 1 1 5 7 7 7 8 8 9 12 13 13 19 20 21 21 21 22 29 30 31 37 40 48 48 63 70 75 75 76 77 81 87
7 DAFTAR TABEL 1 Daftar komponen teknologi PTT padi beserta indikator dan nilai bobot 23 2 Luas lahan dan produksi sektor pertanian di Kabupaten Cianjur 2013 31 3 Karakteristik petani padi peserta program SLPTT di Kabupaten Cianjur 2014 33 4 Kondisi sosial-ekonomi usahatani padi di Kabupaten Cianjur 2014 38 5 Rincian materi Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu 50 6 Rata-rata tingkat penerapan masing-masing komponen teknologi PTT di Kabupaten Cianjur tahun 2014 53 7 Rincian biaya pupuk sesuai anjuran teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur tahun 2014 58 8 Rincian biaya pupuk yang tidak sesuai anjuran teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur tahun 2014 58 9 Sebaran tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur tahun 2014 62 10 Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT di Kabupaten Cianjur tahun 2014 63 11 Statistik deskriptif faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT di Kabupaten Cianjur, 2014 65 12 Penggunaan faktor produksi dalam usahatani padi per 1 hektar di Kabupaten Cianjur tahun 2014 72 13 Penggunaan faktor produksi dalam usahatani padi per luas lahan di Kabupaten Cianjur tahun 2014 72 14 Parameter dugaan faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur tahun 2014 73 DAFTAR GAMBAR 1 Perkembangan produksi dan luas panen padi di Indonesia 2007-2013 2 Volume dan nilai impor beras oleh Indonesia, 2007-2012 3 Pergeseran kurva total physical product (TPP) ke atas akibat perubahan teknologi 4 Perubahan teknologi dan fungsi produksi 5 Kerangka operasional penelitian “Penerapan Teknologi PTT dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur” 6 Aktivitas menyebarkan jerami ke sawah 7 Membajak sawah dengan traktor 8 Pembuatan garis tanam dengan caplak 9 Kegiatan mencabut bibit 10 Aktivitas penanaman secara tegel 11 Jarak tanam jajar legowo 3 12 Bahan organik untuk membuat MOL 13 MOL yang sudah jadi
9 2 17 18 20 41 41 42 43 44 44 47 47
8 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Pendugaan model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur Uji normalitas model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur Uji heteroskedastisitas fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur Pendugaan parameter faktor yang memengaruhi tingkat penerapan PTT Uji normalitas model faktor yang memengaruhi tingkat penerapan PTT Uji heteroskedastisitas faktor yang memengaruhi tingkat penerapan PTT
81 82 83 84 85 86
9
1 PENDAHULUAN Latar belakang Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Data menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 102.87 kg/kapita/tahun (Pusdatin Kementan 2013). Angka ini sangat besar jika dibandingkan dengan negara pengonsumsi beras lainnya di wilayah ASEAN, yakni Malaysia dengan tingkat konsumsi beras sebesar 80 kg/kapita/tahun dan Thailand sebesar 70 kg/kapita/tahun1. Dengan jumlah penduduk sekitar 255 juta jiwa (KPU 2012) dan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1.49 persen/tahun (BPS 2014), kebutuhan beras nasional mencapai 41.4 juta ton/tahun yang terdiri dari 33.5 juta ton beras untuk konsumsi dan 7.9 juta ton untuk cadangan beras nasional2. Di sisi lain, produksi padi di Indonesia belum stabil menopang kebutuhan beras nasional yang terus meningkat. Perkembangan luas panen dan produksi gabah kering giling padi tahun 2007 sampai 2013 dapat dilihat pada Gambar 1. 80000000
14000000
70000000
Produksi (ton)
13000000
50000000 40000000
12500000
30000000
12000000
20000000
Luas panen (hektar)
13500000
60000000
11500000
10000000 0
11000000 2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 1 Perkembangan produksi ( Indonesia 2007-2013a a
) dan luas panen padi (
) di
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa produksi padi di Indonesia cenderung mengalami penurunan pada tahun 2010-2011 sebesar 712 490 ton (1.07 persen), yang disebabkan oleh penurunan luas areal padi sebesar 49 807 hektar (0.37 1
Sulihanti, S. 2013. Konsumsi Beras di Indonesia Masih Tertinggi di Dunia. [Internet]. [diunduh 1 April 2013]. Tersedia pada: http://www.merdeka.com/uang/konsumsi-beras-di-indonesiamasihtertinggi-di-dunia.html. 2 Kajian Sekjen Dewan Ketahanan Nasional. 20 April 2012. Mengantisipasi Ketergantungan Terhadap Pangan Impor dan Solusinya.[Internet]. [Diunduh 25 April 2014]. Tersedia pada: http://www.setkab.go.id/artikel-4157-mengantisipasi-ketergantungan-terhadap-pangan-impordan-solusinya.html
2
persen). Penurunan luas area panen padi diduga dipengaruhi oleh terjadinya konversi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman dan industri. Fenomena alih fungsi lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan krusial dalam pertanian tanaman pangan, di mana alih fungsi lahan yang terjadi mencapai 110 000 ha/tahun dan 79.3 persen dari jumlah tersebut terjadi di Pulau Jawa yang merupakan lumbung padi nasional2. Di sisi lain, permintaan terhadap komoditas pertanian tidak menurun tetapi justru meningkat seiiring dengan pertumbuhan penduduk. Produksi beras yang fluktuatif dan tidak stabil mengakibatkan Indonesia harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa volume dan nilai beras yang diimpor Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2012 sangat berfluktuasi. Pada awalnya volume beras yang diimpor cenderung menurun, dapat dilihat dari terjadinya penurunan volume impor sebesar 1 137 183 ton atau sebanyak 81.43 persen dari tahun 2007 ke 2008 seiiring dengan adanya peningkatan produksi beras domestik pada tahun 2008 (Gambar 1), selanjutnya pada tahun 2009 volume impor pun menurun meski dalam persentase yang rendah. 3000000
1600000
Volume (ton)
1200000 2000000
1000000
1500000
800000 600000
1000000
400000 500000
Nilai impor (000 US$)
1400000
2500000
200000
0
0 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun
Gambar 2 Volume ( ) dan nilai impor beras ( 2007-2012a a
) oleh Indonesia,
Sumber: Pusdatin Kementerian Pertanian (2013)
Namun kondisi ini tidak berlangsung lama sebab pada tahun-tahun selanjutnya, yakni 2010 dan 2011 baik volume maupun nilai impor beras Sumber: yang Pusdatin Kementerian mengalami peningkatan cukup signifikan, Pertanian terutama (2013) pada tahun 2011 dimana volume impor beras mengalami peningkatan sebanyak 2 056 470 ton atau sekitar 299 persen dan nilai impor beras mengalaim peningkatan sebesar 1 148 364 000 US$ (Gambar 2). Tingginya tingkat impor beras pada tahun 2011 diduga disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya penurunan produksi beras domestik (Gambar 1), yang berakibat pada tingginya harga beras domestik dibandingkan
3
harga beras di tingkat dunia3, serta adanya pembebasan bea impor beras4. Pada tahun 2012, seiiring dengan peningkatan produksi beras domestik, volume impor berkurang, namun jumlah dan nilainya masih cukup tinggi. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras impor, pemerintah perlu menjaga kestabilan produksi dan produktivitas padi domestik. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menjaga stabilitas produksi beras di Indonesia adalah meningkatkan produksi dan penawaran beras secara keseluruhan melalui penerapan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Kementan 2013). Menurut Coelli (2005), terdapat tiga cara untuk meningkatkan produksi pertanian yaitu dengan peningkatan efisiensi, perubahan teknologi, eksploitasi skala ekonomis, atau kombinasi dari ketiganya. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi dalam usahatani dapat menjadi salah satu alternatif dalam usaha meningkatkan produksi beras. Teknologi merupakan desain tindakan instrumental yang dapat menurunkan ketidakpastian hubungan sebab-akibat dalam usaha mencapai hasil yang diinginkan (Rogers 1995), artinya teknologi dapat mengurangi risiko/ketidakpastian yang dihadapi oleh petani dalam mencapai hasil produksi usahatani yang diinginkan. Teknologi memiliki peranan yang penting dalam pertanian, khususnya berkaitan dengan produksi. Menurut Doll dan Orazem (1984), perubahan teknologi dalam usahatani dapat meningkatkan produksi, biaya, penerimaan, dan keuntungan usahatani. Hal ini terjadi dalam kondisi dimana perubahan teknologi berupa penambahan input yang baru, di mana input yang baru memiliki fungsi produksi dan biaya produksi/unit tersendiri, sehingga dapat meningkatkan biaya produksi dalam hal ini adalah biaya variabel. Namun diharapkan peningkatan hasil produksi yang diperoleh lebih besar daripada peningkatan biaya yang digunakan untuk penambahan input, sehingga dapat terjadi peningkatan penerimaan (TR = P.Q), sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan peningkatan keuntungan usahatani. Teknologi akan menghasilkan peningkatan produksi dan pendapatan secara optimal jika penerapan teknologi tersebut dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yin (1999), Krismawati dan Anggraeni (2011), Awotide (2012), dan Ibrahim (2012) yang menunjukkan bahwa penerapan teknologi yang dilakukan secara menyeluruh dan sesuai anjuran dapat berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani maupun kesejahteraan petani. Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menyalurkan teknologi dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas beras nasional, diantaranya dengan mencanangkan program Peningkatan Produktivitas Beras Nasional (P2BN) sejak tahun 2007 dan direncanakan akan terus dilanjutkan sampai tahun 2014. Program ini bertujuan untuk mencapai target surplus 10 juta ton beras pada akhir tahun 2014. Teknologi yang disalurkan dalam program P2BN adalah teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang disalurkan oleh Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Kementerian Pertanian kepada para petani padi melalui penyelenggaraan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL3
Susanto, H. 4 Januari 2012.Politik Perberasan Nasional, Swasembada Vs Impor.[Internet]. [Diunduh pada 23 April 2014].Tersedia pada: http://www.investor.co.id/home/politikperberasan-nasional-swasembada-vs-impor/27334. 4 [INDEF] Institute for Development of Economics and Finance. 1 Maret 2011. Press release INDEF: Krisis Pangan dan Kegagalan Negara. [Internet]. [Diunduh pada: 23 April 2014]. Tersedia pada: http://indef.or.id/images/xplod/news/press_release_indef%20pangan.pdf.
4
PTT)5. Tujuan penerapan teknologi PTT untuk meningkatkan produktivitas, produksi, pendapatan, dan kesejahteraan petani padi.SLPTT merupakan program memperkenalkan teknologi tepat guna untuk para petani palawija dan serealia, termasuk di dalamnya padi melalui pelatihan dan bantuan langsung berupa subsidi pupuk dan bibit6. Program SLPTT diselenggarakan untuk mencapai tujuan dalam lingkup yang luas dan sempit. Tujuan dari pelaksanaan program SLPTT dalam lingkup yang luas adalah untuk mencapai swasembada beras nasional dan cadangan beras nasional sesuai jumlah target yang telah ditetapkan dalam P2BN. Adapun tujuan dalam lingkup yang lebih sempit adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap petani guna mempercepat penerapan komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi dalam usahataninya agar penyebarluasan teknologi ke petani sekitarnya berjalan lebih cepat. Teknologi PTT padi terdiri dari enam komponen teknologi dasar dan tujuh komponen teknologi pilihan yang diciptakan untuk meningkatkan produksi padi sawah melalui efisiensi penggunaan input produksi dengan memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara bijak (Kementan 2011). Penggunaan input produksi padi berupa benih, pupuk, dan obat-obatan selama ini masih berlebih dan tidak efisien. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Tanaman Pangan (2006) terhadap usahatani padi di seluruh Indonesia, rata-rata jumlah benih yang digunakan dalam usahatani padi adalah sebesar 40 kg/hektar, sedangkan anjuran jumlah benih yang optimal adalah sebanyak 25 kg/hektar. Begitupula dengan tingkat penggunaan pupuk anorganik, khususnya pupuk urea yang masih sangat tinggi di Indonesia, padahal penggunaan pupuk kimiawi yang berlebihan dapat menurunkan produktivitas lahan (Kementan 2010). Dalam program SLPTT, petani diberikan arahan mengenai jumlah input yang seharusnya digunakan dalam produksi padi, serta input substitusi yang diharapkan dapat meningkatkan hasil usahatani sekaligus menurunkan biaya usahatani. Substitusi input yang dianjurkan dalam SLPTT diantaranya adalah pengurangan penggunaan pupuk anorganik dan mensubstitusikannya dengan pupuk organik maupun jerami kering sisa hasil panen musim sebelumnya. Program SLPTT padi telah cukup lama dilaksanakan dengan perubahan teknologi PTT yang terus berkembang sesuai perubahan kebutuhan petani dan perubahan ekosistem lingkungan. Dari berbagai evaluasi terhadap program SLPTT padi yang telah dilakukan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi PTT berhasil memberikan dampak positif terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi, namun adapula penelitian yang menunjukkan bahwa penerapan teknologi PTT tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap usahtani padi, bahkan di beberapa lokasi penelitian penerapan teknologi PTT justru memberikan hasil produksi yang lebih rendah daripada yang tidak menerapkan teknologi PTT. Peningkatan produksi usahatani padi akibat penerapan teknologi PTT diantaranya terjadi di Kecamatan Cijati, Kabupaten Cianjur menunjukkan setelah berlangsungnya program SLPTT padi sawah pada tahun 2010, terjadi peningkatan produksi padi sebesar 8.21 persen dibandingkan tahun 2009. Penelitian 5
Purwanto, Siwi. 2007. Implementasi Kebijakan untuk Pencapaian P2BN. Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007. Hlm. 9 6 Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Pelaksanaan SLPTT Padi dan Seralia 2012.
5
yang dilakukan Tiominar (2013) terhadap pelaksanaan SLPTT padi tahun 2012 di Desa Sukaratu juga menunjukkan terdapat peningkatan produktivitas padi antara petani padi yang mengikuti program SLPTT dengan yang tidak mengikuti program, yakni 6.00 ton/ha untuk produktivitas padi peserta program SLPTT dan 5.17 ton/ha untuk non peserta program SLPTT. Namun hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Irawati (2006) yang mengevaluasi pelaksanaan program SLPTT padi di Kabupaten Karawang dimana produktivitas usahatani padi yang tidak menerapkan teknologi PTT adalah sebesar 4.97 ton/ha sementara produktivitas usahatani padi yang menerapkan teknologi lebih rendah yakni sebesar 4.25 ton/ha. Penelitian mengenai penerapan teknologi PTT padi yang dilakukan oleh Yuliarmi (2006) di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta menunjukkan adanya peningkatan produksi padi akibat penerapan teknologi PTT namun perbedaan produksi dan pendapatan tidak signifikan antara usahatani yang menerapkan teknologi PTT dengan yang tidak. Dampak penerapan teknologi PTT terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi yang tidak konsisten dan signifikan seperti yang telah dijelaskan pada umumnya disebabkan oleh tidak diterapkannya teknologi PTT secara menyeluruh (Yuliarmi 2006, Irawati 2006, Nasution 2003). Menurut Ibrahim et.al (2012), keberhasilan teknologi dalam meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani bergantung pada diseminasi teknologi tersebut di antara para petani pengguna yang dapat diukur melalui tingkat penerapan teknologi oleh petani. Oleh karena itu, pengukuran tingkat penerapan teknologi PTT oleh para petani padi diperlukan sebagai salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan penyaluran dan penerapan teknologi PTT kepada para petani padi di Indonesia. Selain dengan mengukur tingkat penerapan teknologi PTT yang dilakukan oleh petani, indikator lainnya untuk mengukur keberhasilan teknologi PTT adalah pengaruh penerapan teknologi PTT terhadap produksi dan pendapatan usahatani. Tingkat penerapan teknologi diduga berpengaruh positif terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi, artinya semakin tinggi tingkat penerapan teknologi PTT, maka semakin tinggi produksi dan pendapatan usahatani yang dihasilkan. Perumusan Masalah Berdasarkan data BPS tahun 2012, Provinsi Jawa Barat merupakan lumbung padi nasional dengan produksi gabah kering giling (GKG) sebesar 11 403 668 ton. Pada tahun-tahun sebelumnya provinsi Jawa Barat merupakan produsen padi tertinggi di Indonesia, namun posisi ini berubah pada tahun 2012, dimana terjadi penurunan produksi beras di Jawa Barat sehingga produsen beras terbesar di Indonesia diduduki oleh Provinsi Jawa Timur. Sementara itu, kebutuhan beras terus meningkat akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk di provinsi Jawa Barat yang rata-rata mencapai 1.82 persen/tahun pada periode tahun 2007-2012 (RJPMD Provinsi Jawa Barat 2013). Untuk memenuhi kebutuhan beras provinsi dan nasional, pemerintah provinsi Jawa Barat menyalurkan teknologi PTT padi yang diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi dengan menyelenggarakan program bantuan SLPTT padi. Di Provinsi Jawa Barat, terdapat 26 kabupaten dan kota yang menjadi sasaran pelaksanaan SLPTT padi, di mana salah satu Kabupaten yang menjadi sasaran pelaksanaan program adalah Kabupaten Cianjur. Program SLPTT padi telah
6
berlangsung di Cianjur sejak tahun 2008. Dari berbagai penelitian mengenai penerapan teknologi PTT padi yang telah dilakukan, fakta yang terjadi di lapang adalah adanya penerapan teknologi yang bervariasi oleh petani, di mana sebagian besar petani cenderung tidak menerapkan teknologi anjuran secara utuh baik dari segi jumlah komponen teknologi maupun komposisi anjuran dari masing-masing komponen teknologi. Evaluasi yang dilakukan terhadap penerapan teknologi PTT di berbagai wilayah menunjukkan tingkat penerapan teknologi yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Tiominar (2013) terhadap pelaksanaan program SLPTT di Desa Sukaratu, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa sebanyak 4 dari 6 komponen teknologi dasar telah diterapkan oleh sebagian besar petani sampel SLPTT (> 50 persen) sedangkan untuk komponen teknologi pilihan hanya 1 dari teknologi pilihan yang telah diterapkan oleh mayoritas petani sampel. Komponen teknologi PTT yang sebagian besar diterapkan oleh para petani adalah penggunaan benih padi inbrida Varietas Unggul Baru (VUB), penggunaan benih berlabel dan bersertifikat, penggunaan pupuk organik dan jerami kering sebagai pupuk dasar, pemupukan sebanyak tiga kali dalam satu musim tanam, serta penggunaan bibit muda berusia 7-21 hari. Hal yang serupa ditunjukkan oleh hasil evaluasi program SLPTT yang dilakukan oleh BPP (Badan Penyuluh Pelaksana) Pertanian Kecamatan Cijati Kabupaten Cianjur pada tahun 2010 di mana komponen teknologi PTT yang sebagian besar diterapkan hanya komponen teknologi penggunaan benih unggul. Sementara itu, komponen teknologi PTT padi lainnya seperti melakukan pengelolaan air yang tepat, pengendalian hama terpadu, melakukan pengolahan tanah sesuai anjuran, serta perlakuan pasca panen yang baik masih jarang dan sulit diterapkan oleh para petani. Tingkat penerapan teknologi PTT yang bervariasi ini berdampak pada tingkat produksi dan pendapatan usahatani yang tidak sesuai dengan harapan dan target yang ingin dicapai. Berdasarkan laporan penelitian PSE Litbang Deptan tahun 2012, terdapat berbagai hambatan yang mengakibatkan terjadinya variasi tingkat penerapan teknologi PTT oleh para petani di sejumlah agroeksosistem di Indonesia. Hambatan yang umumnya ditemui dalam pelaksanaan teknologi PTT adalah rendahnya akses petani terhadap modal, infrastruktur seperti pengairan yang belum memadai, eksistensi lembaga penunjang seperti kelompok tani yang belum menunjang, serta kemampuan manajemen petani7. Kemampuan manajemen petani merupakan salah satu faktor yang berhubungan erat dengan tingkat penerapan teknologi PTT. Kemampuan manajemen terkait dengan kualitas sumberdaya manusia (SDM). SDM dengan kualitas yang rendah akan sulit menerima dan menerapkan perubahan pola dan metode yang dianjurkan dalam paket teknologi (BPP Kecamatan Cijati 2010). Fenomena penerapan teknologi PTT padi dalam usahatani yang tidak sesuai anjuran dan hasil produksi padi yang tidak optimal memerlukan kajian lebih lanjut yang berfokus pada penerapan teknologi PTT dalam produksi padi agar teknologi PTT padi dapat berdampak optimal bagi usahatani padi. Produksi padi yang optimal sebagai dampak penerapan teknologi PTT diharapkan dapat menjadi salah satu
7
Kementerian Pertanian. 2012. Analisis Kebijakan dan Program SLPTT Menunjang Peningkatan Produksi Nasional. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Balitbang Pertanian, Kementerian Pertanian 2012.
7
penyangga untuk menjaga kestabilan persediaan beras nasional.Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan dari penelitian ini adalah: 1. Mengapa terjadi variasi tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur? 2. Bagaimana pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengukur tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT pada usahatani padi di Kabupaten Cianjur 3. Menganalisis pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap peningkatan produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program SLPTT padi di Kabupaten Cianjur dengan mengukur tingkat penerapan teknologi PTT setelah mengikuti program tersebut dan bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan produksi padi. Diharapkan melalui penelitian ini dapat diketahui variasi tingkat penerapan teknologi yang terjadi sebagai salah satu indikator keberhasilan program, memberikan rujukan kepada pemerintah BPP selaku pelaksana program mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi, sehingga faktor-faktor kunci tersebut dapat ditingkatkan kinerjanya untuk meningkatkan adopsi teknologi oleh petani di kemudian hari. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi motivasi bagi para petani padi untuk menerapkan teknologi PTT secara keseluruhan agar mendapatkan hasil produksi yang optimal. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan, maka objek penelitian ini adalah usahatani padi yang menerapkan teknologi PTT pada tahun 2012 - 2014. Analisis yang digunakan adalah pengukuran tingkat penerapan teknologi PTT, faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT, dan pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT dengan produksi usahatani. Analisis penerapan teknologi dan produksi usahatani dibatasi pada satu musim tanam padi, yakni musim tanam Januari - Mei 2014. Komponen-komponen yang digunakan untuk mengukur tingkat penerapan teknologi PTT padi merupakan 13 komponen teknologi PTT padi spesifik lokasi yang telah diformulasikan oleh Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Warungkondang dan Gekbrong bersama dengan para petani padi setempat, terdiri dari: (1) jarak tanam legowo 4, (2) benih berlabel dan bermutu, (3) benih VUB, (4) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, (5) pengolahan lahan tergantung pola tanam dan musim tanam, (6) penggunaan pupuk organik, (7) bibit muda berumur 17-21 hari, (8) tanam bibit 1-3 batang/rumpun, (9)
8
pengendalian organism pengganggu tanaman (OPT) terpadu, (10) pengairan secara efektif dan efisien, (11) penyiangan minimal sebanyak 2 kali/musim tanam sesuai waktu yang telah ditentukan, (12) panen tepat waktu, dan (13) perontokan gabah sesegera mungkin.
2 TINJAUAN PUSTAKA Adopsi Teknologi dalam Usahatani Adopsi teknologi mengacu pada keputusan petani untuk menerapkan peningkatan teknologi secara berkelanjutan (Roger dan Shoemaker 1971). Dalam berusahatani, petani tidak lepas dari adopsi teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani. Jenis teknologi yang diterapkan pada usahatani dapat berbeda, tergantung pada kondisi agroekosistem usahatani maupun komoditi yang diusahakan. Bentuk teknologi yang disalurkan kepada petani umumnya berupa paket kesatuan yang terdiri dari beberapa komponen teknologi. Masing-masing komponen teknologi tingkat penerapannya dapat berbeda antara satu komponen dengan komponen teknologi lainnya. Chi (2008) meneliti mengenai penerapan teknologi pengelolaan hama terpadu pada usahatani padi di delta Sungai Mekong, Vietnam. Paket teknologi pengelolaan hama terpadu (IPM) yang diberikan terdiri dari teknologi cara penanaman benih berbaris, penurunan penggunaan jumlah pupuk, benih, dan pestisida, penggunaan benih bersertifikat dan varietas unggul, panen menggunakan mesin, serta penggunaan rice dryer. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ogada et.al (2010), teknologi yang diperkenalkan kepada petani jagung di Kenya adalah teknologi konservasi lahan, berupa pembuatan petakan lahan dan lahan bertingkat serta penggunaan pupuk secara proporsional. Adapun dalam Yesuf dan Kohlin (2008) yang meneliti mengenai usahatani di wilayah dataran tinggi Etiopia mengemukakan bahwa adopsi teknologi yang dilakukan oleh petani di wilayah tersebut terdiri dari penggunaan pupuk secara proporsional dan konservasi lahan. Menurut Balitbang Kementerian Pertanian (2008), salah satu teknologi yang memberikan kontribusi paling besar terhadap produktivitas pertanian nasional di Indonesia adalah pengembangan benih varietas unggul. Benih varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi dalam teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT merupakan paket teknologi yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian yang terdiri dari enam komponen teknologi dasar dan tujuh komponen teknologi pilihan. Pada studi kasus adopsi teknologi PTT pada usahatani di Desa Sukaratu, dari enam komponen teknologi dasar, sebanyak 4 komponen teknologi telah diadopsi oleh mayoritas petani sampel (lebih dari 50 persen dari sampel), sedangkan untuk komponen teknologi pilihan, hanya 1 komponen teknologi yang diadopsi oleh sebagian besar petani. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknologi oleh petani padi di Desa Sukaratu masih rendah (Tiominar, 2013). Tingkat penerapan teknologi PTT yang rendah juga ditunjukkan dalam penelitian Zakaria (2010) yang meneliti mengenai penerapan teknologi PTT pada usahatani kedelai. Tingkat penerapan teknologi yang rendah berdampak pada tidak signifikannya perbedaan pendapatan usahatani kedelai antara yang melakukan adopsi teknologi dengan yang tidak.
9
Tingkat adopsi teknologi yang tinggi akan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Ibrahim et.al (2012), di mana para petani padi di wilayah Borno, Nigeria memiliki tingkat adopsi teknologi tinggi terhadap teknologi produksi padi, dengan rincian sebanyak 9 teknologi dari total 13 komponen teknologi peningkatan produksi padi telah diadopsi oleh para petani dengan tingkat adopsi tinggi, sementara 2 komponen teknologi lainnya memiliki tingkat penerapan sedang, dan sisanya rendah. Komponen teknologi yang memiliki tingkat penerapan tinggi yaitu: pemilihan benih, kedalaman tanam benih, jarak tanam, penggunaan pestisida, varietas benih, pengolahan lahan, penggunaan herbisida, penggunaan pupuk, dan penggunaan alat panen kombinasi. Dari ke-13 komponen teknologi tersebut, komponen-komponen teknologi yang memiliki hubungan signifikan terhadap peningkatan produksi padi yaitu: pemilihan benih, kedalaman tanam benih, sistem irigasi, manajemen air, dan, ketersediaan sumur. Dalam melakukan adopsi teknologi, terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian dan pertimbangan bagi petani, di antaranya adanya keuntungan penerapan teknologi secara konkrit (misalnya peningkatan pendapatan), teknologi yang diadopsi harus terjangkau secara finansial, pelaksanaannya sederhana dan tidak rumit, serta pengarahan teknologi yang diberikan harus mudah diamati (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Oleh karena itu, sebelum dilakukannya pelatihan teknologi kepada petani, hendaknya lembaga yang bersangkutan telah menerapkan hal-hal tersebut. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penerapan Teknologi dalam Usahatani Faktor-faktor yang memengaruhi adopsi teknologi petani dalam berusahatani dapat dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan karakteristik petani itu sendiri, seperti persepsi petani, usia petani, pengalaman berusahatani, dan tingkat pendidikan petani (Yuliarmi 2006). Faktor eksternal merupakan faktor-faktor lain di luar karakteristik petani yang dapat memengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi suatu teknologi, seperti: kondisi fisik lingkungan usahatani, cara penyampaian atau pengenalan teknologi, hubungan petani dengan penyuluh pemberi teknologi, kondisi pasar, dan lainnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chi (2008) terhadap para petani padi di wilayah Delta Sungai Mekong, faktor internal yang memengaruhi adopsi teknologi petani adalah tingkat pendidikan, persepsi, tingkat kemiskinan, usia, etnis, jenis kelamin petani, luas lahan, dan jumlah tenaga kerja dalam keluarga. Dari keseluruhan karakteristik petani tersebut, faktor yang menduduki peringkat paling tinggi atau dapat dinyatakan paling berpengaruh terhadap adopsi teknologi adalah tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, dan persepsi petani terhadap teknologi (Chi 2008, Rangkuti 2007, Tiamiyu et.al 2009). Pernyataan ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Suri (2009) yang dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat adopsi teknologi petani dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani itu sendiri dan keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan teknologi. Di samping faktor internal, faktor eksternal turut memengaruhi. Faktor eksternal yang berpengaruh pada adopsi teknologi petani adalah bentuk pelatihan teknologi, tingkat pengetahuan tenaga kerja luar keluarga, kondisi infrastruktur dan ekosistem wilayah, lokasi pelatihan teknologi, penyebaran informasi, kelompok tani, harga
10
input yang digunakan dalam adopsi teknologi, iklan dan akses terhadap produk input pertanian, keakraban bertetangga, dan keberadaan clinic station yang dapat menjadi sarana konsultasi petani terkait teknologi yang diterapkan (Chi 2008, Diiro 2012). Dari faktor-faktor eksternal tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah bentuk pelatihan teknologi, tingkat pengetahuan tenaga kerja luar keluarga, kondisi infrastruktur dan ekosistem wilayah (Chi 2008). Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Awotide et.al (2012), akses terhadap input pertanian, dalam kasus ini benih, dan akses terhadap informasi seperti melalui telepon selular, maupun media komunikasi massa lainnya merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap adopsi teknologi oleh petani. Bentuk dan jumlah pelatihan teknologi merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam penerapan teknologi. Faktor ini menyebabkan petani dapat lebih mudah menerima pengetahuan mengenai teknologi baru, serta memperluas akses petani terhadap informasi teknologi pertanian. Bentuk pelatihan yang mudah dimengerti, diterima, dan diterapkan akan mendorong petani untuk mengadopsi teknologi. Selain itu, pengawasan dan bimbingan secara berkelanjutan juga sangat diperlukan oleh petani dalam proses adopsi teknologi. Chi (2008), Tiamiyu et.al (2009), dan Awotide et.al (2012) menyatakan bahwa ketersediaan pelatihan teknologi berpengaruh secara nyata dan positif terhadap adopsi teknologi oleh petani. Hal ini berarti dengan adanya pelatihan, akan meningkatkan keputusan petani untuk mengadopsi teknologi. Hal senada yang menyatakan bahwa kondisi ekosistem wilayah berpengaruh pada tingkat adopsi teknologi dikemukakan oleh Ogada et.al (2010) yang menganalisis mengenai tingkat adopsi teknologi oleh petani jagung di wilayah lahan kering tadah hujan di Kenya. Ogada mengaitkan hubungan antara kondisi ekosistem dengan kemungkinan tingkat risiko produksi usahatani jagung terhadap tingkat adopsi teknologi (Ogada (2010), Yesuf dan Kohlin (2008), Pribadi (2002). Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa kondisi ekosistem di lokasi penelitian yang sangat gersang dan pengairannya mengandalkan air hujan mengakibatkan terjadinya varians produksi yang tinggi yang kemudian akhirnya berdampak pada rendahnya tingkat adopsi teknologi oleh petani karena ketakutan akan menghadapi risiko produksi yang lebih tinggi akibat penerapan teknologi. Penelitian yang dilakukan oleh Diiro (2012) terhadap para petani jagung di Uganda menemukan fenomena lain, yakni selain faktor internal berupa karakteristik petani, tingkat pendapatan off-farm keluarga petani turut. berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi. Penelitian ini menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan off-farm suatu rumah tangga petani, maka semakin tinggi keinginannya untuk mengadopsi teknologi, dalam konteks ini adalah penggunaan benih unggul jagung. Yesuf dan Kohlin (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ketidaksempurnaan pasar (market imperfections) merupakan salah satu faktor yang turut memengaruhi tingkat adopsi teknologi oleh petani. Faktor-faktor yang termasuk dalam ketidaksempurnaan pasar di antaranya akses terhadap kredit yang terbatas, luas lahan, tingkat risiko, dan tingkat preferensi waktu dari uang. Akses terhadap kredit memiliki peranan penting dalam adopsi teknologi. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan biaya usahatani pada awal proses adopsi teknologi, sehingga dengan akses terhadap kredit yang lebih mudah, akan menjadi dorongan bagi petani untuk melakukan adopsi teknologi karena memiliki
11
kemudahan untuk memperoleh modal tambahan dalam rangka penerapan teknologi. Pernyataan ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Yesuf dan Kohlin (2008), Tiamiyu et.al (2009), dan Uaiene (2011) yang menyatakan bahwa akses petani terhadap kredit berpengaruh positif terhadap adopsi teknologi oleh petani, yang berarti semakin mudah akses petani terhadap kredit, maka akan semakin tinggi tingkat adopsi teknologi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yesuf dan Kohlin ini terdapat kecenderungan yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliarmi (2006), di mana luas lahan petani justru tidak berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi oleh petani. Adopsi teknologi pada pertanian turut dipengaruhi oleh perubahan biaya usahatani. Penerapan teknologi pada awalnya akan meningkatkan biaya produksi, karena adanya penyesuaian jumlah input yang dilakukan oleh petani sebelum dan sesudah menerapkan teknologi. Namun dalam jangka waktu panjang, adopsi teknologi diharapkan dapat mengurangi biaya usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan usahatani. Kondisi peningkatan biaya usahatani di awal adopsi ini dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuliarmi (2006) di mana biaya pupuk dalam adopsi teknologi pupuk berimbang dalam usahatani padi berpengaruh nyata dan negatif terhadap adopsi teknologi petani. Semakin tinggi biaya pupuk yang harus dikeluarkan akibat penerapan teknologi, maka semakin rendah keinginan petani untuk mengadopsi teknologi tersebut. Faktor lain yang memengaruhi adopsi teknologi dan berhubungan dengan biaya pupuk adalah luas lahan yang dimiliki oleh petani. Hasil penelitian menyatakan bahwa semakin besar luas lahan, semakin tinggi tingkat adopsi teknologi. Dari ini dapat disimpulkan bahwa luas lahan besar yang umumnya dimiliki oleh petani dengan kesejahteraan baik cenderung memiliki tingkat adopsi teknologi yang lebih tinggi. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chi (2008), Ogada et.al (2010), Awotide et.al (2012) yang menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh negatif terhadap tingkat adopsi teknologi petani, yang memiliki arti bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan petani, semakin rendah tingkat adopsi teknologi yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim (2012) menemukan bahwa keanggotaan petani terhadap kelompok tani berpengaruh secara nyata terhadap adopsi teknologi berupa benih kacang varietas unggul. Selain keanggotaan kelompok tani, faktor lain yang berpengaruh adalah nyata adalah lokasi lahan usahatani, dan jumlah sepeda yang dimiliki oleh petani. Berdasarkan uraian di atas, faktor internal yang memengaruhi tingkat adopsi teknologi terdiri dari: usia petani, pengalaman berusahatani, dan tingkat pendidikan petani, persepsi petani terhadap teknologi, luas lahan usahatani, status kepemilikan lahan, keanggotaan petani dalam kelompok tani, dan tingkat kesejahteraan petani. Selain dipengaruhi oleh karakteristik petani, tingkat adopsi suatu teknologi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terdiri dari: akses terhadap modal/kredit, ketersediaan dan harga input, ketersediaan pelatihan dan konsultasi penerapan teknologi, ketersediaan dan kualitas tenaga kerja luar keluarga, dan akses terhadap informasi teknologi.
12
Dampak Penerapan Teknologi Penerapan teknologi usahatani yang baik dan berkelanjutan dapat memberikan dampak positif kepada petani, berupa peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani, yang diharapkan pada kemudian hari dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan menurunkan tingkat kemiskinan petani. Pernyataan ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Nguezet (2011), Kuyenhoven et.al dalam Wageningen Working Papers (2001) yang menganalisis mengenai dampak penerapan teknologi benih padi New Rice for Africa varieties (NERICAs) terhadap tingkat kesejahteraan petani di Nigeria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi benih padi NERICAs secara signifikan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani, yang telah diukur dengan indikator pengeluaran per kapita dan tingkat penurunan kemiskinan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa penerapan teknologi benih padi NERICAs terbukti dapat meningkatkan rata-rata pengeluaran per kapita petani serta menurunkan probabilitas tingkat kemiskinan keluarga. Peningkatan pendapatan usahatani berkaitan erat dengan peningkatan produksi dan produktivitas usahatani. Hasil produksi usahatani yang meningkat akibat penerapan teknologi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan usahatani, dan pada akhirnya berdampak pada pendapatan usahatani. Menurut Kementan (2008), beberapa komoditas pertanian nasional mengalami peningkatan produktivitas akibat penerapan teknologi benih varietas unggul, komoditas tersebut diantaranya padi dengan kontribusi teknologi sebesar 0.75 ton GKG/hektar, jagung sebesar 1 ton pipilan/hektar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau masingmasing sebesar 0.5 ton/hektar, ubikayu sebesar 6 ton/hektar; dan ubi jalar sebesar 1 ton/hektar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Awotide et.al (2012), terdapat lima indikator untuk melihat dampak adopsi teknologi, yaitu: pendapatan dari usahatani padi, pendapatan dari usahatani non padi (sebab petani sampel merupakan petani yang berusahatani secara tumpangsari dan terintegrasi, misalnya dengan peternakan), pendapatan non-usahatani, pengeluaran total usahatani, dan pengeluaran konsumsi per kapita. Dari kelima indikator tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa adopsi teknologi di Nigeria meningkatkan 4 indikator, hanya indikator ketiga yakni pendapatan non-usahatani yang tidak mengalami peningkatan akibat adopsi teknologi. Namun dari 4 indikator tersebut, hanya 2 indikator yang menunjukkan bahwa adopsi teknologi berpengaruh secara nyata, yakni pendapatan dari usahatani padi dan pengeluaran total usahatani. Hasil penelitian yang serupa, dimana adopsi teknologi berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani terdapat dalam Yin (1999). Yin menganalisis dampak adopsi teknologi benih padi hibrida terhadap pendapatan rumah tangga petani di Cina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adopsi teknologi benih padi hibrida berpengaruh secara nyata dan signifikan terhadap pendapatan usahatani padi, namun di sisi lain berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap sumber pendapatan rumah tangga petani lainnya, yakni usahatani non-padi maupun nonusahatani.
13
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Adopsi Teknologi Menurut Rogers (1995), inovasi merupakan suatu ide atau gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh individu atau unit pengadopsi lainnya, sedangkan teknologi merupakan rancangan tindakan instrumental untuk mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab akibat yang terdapat dalam upaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu. Olayide (1980) menyatakan bahwa teknologi merupakan aplikasi sistematis dan sikap rasionalis individu terhadap solusi dari masalah tertentu dengan cara mengendalikan sumberdaya alam dan sumber daya manusia yang tersedia. Adapun Atala (2002) mendefinisikan teknologi sebagai kapasitas yang terorganisasi untuk kegiatan - kegiatan tertentu. Pribadi (2002) menyebutkan bahwa hanya teknologi barulah yang dapat dikatakan sebagai inovasi, oleh karena itu dalam penggunaan sehari-hari istilah inovasi seringkali disetarakan dengan istilah teknologi. Dari uraian definisi teknologi di atas, dapat disimpulkan bahwa teknologi pertanian ide, tindakan, maupun alat baru yang dapat digunakan untuk mengurangi ketidakpastian yang dapat terjadi dalam produksi pertanian. Proses adopsi merupakan proses mental seseorang sejak mendengar suatu inovasi, sampai dengan mengadopsinya (Rogers 1995). Proses adopsi dapat dibedakan menjadi individual adoption dan aggregate adoption. Individual adoption merupakan ukuran sejauh mana seorang individu menggunakan teknologi dalam jangka panjang setelah mengetahui informasi yang lengkap mengenai teknologi tersebut. Aggregate adoption merupakan proses penyebarluasan suatu informasi teknologi dalam suatu daerah tertentu. Menurut Rogers (1983), terdapat beberapa faktor yang menentukan tingkat adopsi teknologi seseorang, yaitu: (1) sejauh mana inovasi dianggap lebih menguntungkan (relative advantage), (2) kesesuaian dengan norma dan kebutuhan yang ada (compatibility), (3) tingkat kerumitan dalam penerapannya oleh pengguna (complexity), (4) dapat dicoba oleh pengguna dengan sumberdaya yang ada (trialability), dan (5) sejauh mana manfaat penerapan inovasi dapat diketahui oleh penggunanya. Proses seorang individu dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi suatu teknologi/inovasi terdiri dari lima langkah, yaitu: (1) Pengenalan (knowledge), adanya pemahaman terhadap inovasi baru, (2) Persuasi (persuation), adanya sikap terhadap inovasi, (3) Keputusan (Decision), adanya keputusan menerima atau menolak inovasi, (4) Implementasi (Implementation), melakukan inovasi, dan (5) konfirmasi (confirmation), penguatan dari keputusan yang telah dibuat (Rogers 1995). Dari proses pengambilan keputusan adopsi teknologi di atas, dapat dilihat bahwa seorang individu/petani dapat menerima atau menolak teknologi yang diperkenalkan kepadanya. Menurut Rogers (1995), terdapat beberapa variabel yang berpengaruh terhadap tingkat inovasi/adopsi teknologi seorang individu, yaitu: status sosial ekonomi individu, sifat individu itu sendiri, dan perilaku komunikasi individu. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang memengaruhi tingkat adopsi teknologi
14
SLPTT padi fokus dilihat dari status sosial ekonomi individu dan beberapa faktor eksternal lainnya terkait pelaksanaan program SLPTT padi. Status sosial ekonomi individu yang berpengaruh terhadap adopsi teknologi terdiri dari: umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan/kesejahteraan keluarga, luas lahan, status kepemilikan lahan, akses terhadap kredit, dan kemampuan/kualitas sumberdaya manusia petani (Rogers 1995). Konsep Produksi dan Usahatani Pada dasarnya produksi merupakan hubungan input-output yang menjelaskan bagaimana sumberdaya (input) yang dimiliki dapat ditransformasikan menjadi sejumlah hasil (output) yang diinginkan pada tingkat tertentu (Doll dan Orazem 1984). Produksi merupakan kegiatan mengalokasikan sejumlah input yang ketersediaannya terbatas untuk menghasilkan barang atau jasa dengan kualitas yang baik. Tujuan dari teori produksi adalah untuk menentukan kombinasi terbaik dari input dan output yang akan menghasilkan keuntungan maksimum (Seitz et.al 1994). Input yang digunakan dalam proses produksi dapat berupa input variabel maupun input tetap yang bergantung pada lama waktu yang dipakai perusahaan untuk menggunakan input tersebut. Hubungan antara input dan output dalam proses produksi digambarkan dalam fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara input dan output yang menunjukkan jumlah output maksimum yang dapat diproduksi dengan sejumlah input variabel tertentu yang dikombinasikan dengan satu atau lebih input tetap dengan pengaruh teknologi di dalamnya (Seitz et.al 1994). Proses produksi pertanian merupakan proses yang cukup kompleks sebab terjadi perubahan teknologi di sektor produksi pertanian terjadi secara terusmenerus, misalnya penemuan varietas baru, pupuk dan obat-obatan baru, serta komposisi input yang baru. Dalam penelitian ini, fungsi produksi yang akan digunakan adalah salah satu bentuk fungsi produksi eksponensial, yaitu fungsi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1928 untuk mengestimasi produktivitas komparatif antara modal dan tenaga kerja di Amerika Serikat. Fungsi Cobb-Douglas digunakan karena penggunaan fungsi produksi ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui pengaruh teknologi terhadap produksi padi, serta dapat melihat hubungan input-output antara faktor produksi dengan hasil produksi usahatani. Fungsi produksi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut (Debertin 2002): Y= f (X1, X2, Xi,…,Xn) ……………………………………………………………(1) di mana: Y = variabel yang dijelaskan Xi = variabel yang menjelaskan Sementara dalam fungsi produksi Cobb Douglas, terdapat beberapa karakteristik tertentu yang membedakan fungsi produksi Cobb Douglas dari fungsi produksi lainnya. Fungsi produksi Cobb Douglas pada saat pertama kali digunakan tahun 1928 dinotasikan sebagai berikut (Debertin 2002): Y = AX1b1X21-b1eu……………………………………………………………… (2) di mana:
15
Y = variabel yang dijelaskan Xi = variabel yang menjelaskan a,b= besaran yang akan diduga u = kesalahan (disturbance term) e = logaritma natural, e= 2.718 Karakteristik dari fungsi produksi Cobb Douglas adalah sebagai berikut: 1. Homogenous berderajat satu Pada publikasi artikel pertama yang menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas, terdapat 2 variabel independen yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa jumlah pangkat keduanya dalam model adalah 1, sehingga jumlah koefisien estimator dalam fungsi produksi Cobb Douglas pada masa itu harus 1, atau dalam kondisi skala ekonomi constant return to scale. 2. Berlakunya hukum the law of diminishing returns pada variabel modal dan tenaga kerja Koefisien estimator pada fungsi Cobb Douglas berfungsi juga sebagai nilai elastisitas produksi dari estimator tersebut. Namun hal itu dapat diterapkan apabila faktor produksi lainnya dianggap tetap. 3. Fungsi produksi Cobb Douglas mudah diestimasi dengan kondisi saat ini. Untuk memudahkan estimasi faktor produksi dengan fungsi Cobb-Douglas, kedua sisi dari fungsi (2) dapat ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma maupun logaritma natural. Hal ini dilakukan agar estimasi fungsi Cobb Douglas memenuhi syarat fungsi produksi untuk berproduksi pada wilayah rasional (estimator fungsi produksi memiliki tanda positif/daerah II). Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari caracara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin (Suratiyah 2009). Usahatani dapat dinyatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi 2002). Soekartawi (2002) mengemukakan bahwa tujuan usahatani dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan pengeluaran. Konsep memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk memperoleh keuntungan maksimum. Konsep meminimumkan pengeluaran berarti bagaimana menekan pengeluaran produksi sekecil-kecilnya untuk mencapai tingkat produksi tertentu. Menurut Hernanto (1988), terdapat beberapa faktor yang memengaruhi produksi pertanian, yaitu : 1. Lahan Pertanian Lahan pertanian merupakan penentu dari pengaruh faktor produksi komoditas pertanian. Secara umum dikatakan, semakin luas lahan (yang digarap atau ditanami), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut. Pengusahaan pertanian selalu didasarkan pada luasan lahan pertanian tertentu,
16
2.
3.
4.
5.
6.
7.
walaupun akhir-akhir ini pengusahaan pertanian tidak hanya didasarkan pada luasan lahan tertentu, tetapi juga pada sumberdaya lain seperti media air ataulainnya. Pentingnya faktor produksi lahan tidak hanya dilihat dari segi luas atau sempitnya lahan, tetapi juga dari segi yang lain, misalnya aspek kesuburan tanah jenis penggunaan lahan (tanah sawah, tegalan, dan sebagainya), dan topografi (tanah dataran pantai, rendah, dan dataran tinggi). Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam hal ini petani merupakan faktor penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi komoditas pertanian. Tenaga kerja harus mempunyai kualitas berfikir yang maju seperti petani yang mampu mengadopsi inovasi-inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian komoditas yang bagus sehingga nilai jual tinggi. Penggunaan tenaga kerja dapat dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Usahatani yang mempunyai ukuran lahan berskala kecil disebut usahatani skala kecil, dan biasanya menggunakan tenaga kerja keluarga. Lain halnya dengan usahatani skala besar, selain menggunakan tenaga kerja luar keluarga juga memiliki tenaga ahli. Ukuran tenaga kerja dapat dinyatakan dalam hari orang kerja (HOK). Manajemen Faktor produksi manajemen menjadi semakin penting jika dikaitkan dengan efisiensi. Produksi yang diharapkan tinggi tidak akan tercapai apabila tidak dilakukan pengelolaan yang baik terhadap faktor produksi tanah, tenaga kerja dan modal. Variabel manajemen jarang digunakan dalam analisa karena pengukuran variabel tersebut sulit dilakukan. Manajemen memiliki peranan yang sangat penting dalam usahatani modern. Manajemen diperlukan dalam mengelola produksi pertanian mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengendalian (controlling), dan evaluasi (evaluation). Pupuk Seperti halnya manusia selain mengkonsumsi makanan pokok, dibutuhkan pula konsumsi nutrisi vitamin sebagai tambahan makanan pokok. Tanah pun demikian, selain air sebagai konsumsi pokoknya, pupuk juga sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Jenis pupuk dalam usahatani berdasarkan bentuknya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pupuk padat dan pupuk cair, sedangkan berdasarkan kandungan dalam pupuk tersebut dapat dibagi menjadi pupuk organik dan anorganik. Pestisida Pestisida dibutuhkan tanaman untuk mencegah serta membasmi hama dan penyakit yang menyerangnya. Pestisida merupakan racun yang mengandung zatzat aktif sebagai pembasmi hama dan penyakit pada tanaman. Benih Benih menentukan keunggulan dari suatu komoditas. Bibit yang unggul biasanya tahan terhadap penyakit, hasil komoditasnya berkualitas tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga dapat bersaing di pasar. Teknologi Penggunaan teknologi dapat menciptakan rekayasa perlakuan terhadap tanaman dan dapat mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
17
Berdasarkan uraian Hernanto (1988) tersebut, teknologi merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam produksi pertanian. Teknologi dalam usahatani berkaitan langsung dengan produksi. Teknologi dalam usahatani dapat berupa teknologi dalam input yang digunakan, maupun cara budidaya. Dampak Penerapan Teknologi terhadap Produksi Usahatani Teknologi memiliki peranan yang sangat penting dalam usahatani. Perubahan dalam teknologi pertanian dapat mengubah output yang dihasilkan, menciptakan maupun mensubstitusi input yang digunakan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap proses produksi (Doll dan Orazem 1984). Secara teori, teknologi yang baru yang lebih efisien dapat menggantikan teknologi produksi yang sudah ada dan mengubah fungsi produksinya. Perubahan fungsi produksi tersebut ditunjukkan oleh pergeseran kurva fungsi produksi dan kurva isokuan (Koutsoyiannis 1979 dalam Pribadi 2002). Gambar 3 menunjukkan pergeseran kurva TPP yang terjadi akibat adanya pengaruh teknologi. Total physical product (TPP) merupakan kurva yang menggambarkan hubungan antara jumlah output yang dihasilkan dengan salah satu input variabel, dengan asumsi penggunaan input variabel (tidak tetap) lainnya tetap. Kurva TPP merupakan bagian dari kurva produksi yang menunjukkan seberapa banyak peningkatan output yang terjadi akibat terjadinya peningkatan jumlah salah satu input variabel, dengan asumsi input variabel lainnya tetap (Seitz et.al 1994). Pada Gambar 3 menunjukkan adanya teknologi baru yang lebih efisien akan menggeser kurva total physical product ke atas (TPP ke TPP’), artinya dengan teknologi yang baru, pada jumlah input yang sama akan menghasilkan jumlah output yang lebih tinggi. Atau pada kondisi lain, dengan adanya teknologi, pada penggunaan jumlah input yang lebih rendah, akan menghasilkan jumlah output yang sama dengan kondisi sebelum adanya teknologi. Jumlah output
TPP ’ TPP
Jumlah input variabel yang digunakan dengan asumsi jumlah input variabel lainnya tetap Gambar 3 Pergeseran kurva total physical product (TPP) ke atas akibat perubahan teknologia a
Sumber: Seitz et.al (1994)
Selain berpengaruh terhadap produksi, penerapan teknologi dalam usahatani dapat berpengaruh pada biaya usahatani. Hal ini dikemukakan oleh Doll dan Orazem (1984). Menurut Doll dan Orazem (1984), terdapat 3 dampak dari
18
perubahan teknologi terhadap produksi dan biaya usahatani yang dapat dilihat pada Gambar 4. Y
$ Y P P’ X
Xo or Xt
VMP
(a)
Xo or Xt
Y
X
$ Y’’
Y’ VMP (b)
VMP’
X
Xo or Xt
Xo or Xt
X
$
Y Y’’ Y’ (c) Xo or Xt
X
Xo or Xt
X
Gambar 4 Perubahan teknologi dan fungsi produksia a
Sumber: Doll dan Orazem (1984)
di mana: Y = output X = input Y’’ = fungsi produksi baru dengan adanya teknologi Y’ = fungsi produksi lama tanpa adanya teknologi VMP = Value Marginal Product $ = harga input Penjelasan dari Gambar 4 mengenai tiga dampak teknologi menurut Doll dan Orazaem (1984) adalah sebagai berikut:
19
1. Gambar 4 (a) menunjukkan jika penerapan teknologi yang baru dan yang lama memiliki kurva produksi yang sama (tingkat output yang dihasilkan antara teknologi baru dan lama adalah sama), maka substitusi input produksi teknologi lama oleh input produksi teknologi baru dikatakan sebagai penerapan teknologi yang menurunkan biaya produksi. 2. Gambar 4 (b) menunjukkan terjadinya pergeseran kurva produksi ke atas, yang menunjukkan terjadinya peningkatan produksi dan produktivitas marjinal produk, meskipun untuk memperolehnya diperlukan peningkatan biaya produksi untuk menambah input sesuai dengan teknologi baru. 3. Gambar 4 (c) menunjukkan bahwa dengan adanya teknologi baru, kurva produksi bergeser secara simetris ke atas, yang menunjukkan terjadinya peningkatan produksi, namun pertambahan marginal physical product yang dihasilkan akibat penggunaan teknologi adalah konstan. Manfaat dari penerapan teknologi oleh Doll dan Orazem diadopsi dalam teknologi PTT yang diharapkan dapat menghasilkan peningkatan produksi, produktivitas, dan pendapatan dari usahatani padi, serta mengurangi biaya usahatani. Kerangka Pemikiran Operasional Konsumsi beras di Indonesia yang terus meningkat seiiring dengan pertumbuhan penduduk tidak diimbangi oleh produksi nasional yang belum stabil. Untuk memenuhi kebutuhan beras nasional pemerintah mengimpor beras dengan volume dan nilai yang tinggi setiap tahunnya. Pada tahun 2007, pemerintah mencanangkan tercapainya swasembada beras pada tahun 2014 dengan target cadangan beras nasional sebanyak 10 juta ton beras pada akhir tahun 2014. Salah satu cara pemerintah dalam menjaga kestabilan produksi beras domestik adalah dengan menyalurkan teknologi melalui pelaksanakan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT). Program bantuan SLPTT dimaksudkan untuk memperkenalkan teknologiteknologi baru yang dapat meningkatkan produksi dan produktivitas beberapa komoditas pangan di antaranya padi. Ke-13 komponen teknologi PTT yang dikeluarkan oleh BP2TP terdiri dari: pengaturan jarak tanam dengan legowo 2, menggunakan benih berlabel dan bermutu, penggunaan benih varietas unggul baru (VUB), pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengolahan lahan tergantung pola tanam dan musim tanam, menggunakan pupuk organik sebanyak 1 ton/ha serta melakukan pengembalian jerami kering ke sawah, penggunaan bibit muda yang berumur antara 17-21 hari, tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) terpadu, pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan minimal sebanyak 2 kali/musim, panen tepat waktu, perontokan gabah sesegera mungkin. Paket teknologi akan memberikan hasil dan manfaat yang optimal jika diterapkan/diadopsi secara utuh dan sesuai ketentuan anjuran. Dalam mengadopsi teknologi, terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi petani untuk menerapkannya. Dalam penelitian berjudul Penerapan Teknologi PTT dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur ini, faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi adalah pendapatan non usahatani padi, intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT padi oleh petani, jumlah tenaga kerja
20
dalam keluarga, pengalaman usahatani, jumlah pelatihan di luar SLPTT, lama pendidikan formal, status pekerjaan petani, dan ketersediaan bantuan input. Tingkat penerapan teknologi yang bervariasi berdampak pada hasil produksi yang bervariasi dan tidak optimal, tidak sesuai target yang diharapkan. Oleh karena itu kajian lebih lanjut mengenai pengaruh penerapan teknologi PTT dan terhadap produksi usahatani diperlukan agar pelaksanaan program bantuan pemerintah berupa teknologi PTT dapat memberikan hasil dan manfaat yang optimal bagi petani di masa yang akan datang. Untuk menganalisis pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap produksi padi, digunakan fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana tingkat penerapan teknologi PTT sebagai salah satu faktor produksi usahatani padi yang menggambarkan kemampuan manajemen petani dan teknologi yang diterapkan oleh petani. Kerangka operasional penelitian Penerapan Teknologi PTT dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur terdapat pada Gambar 5. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT (Pendapatan non usahatani padi, intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT, jumlah tenaga kerja dalam keluarga, pengalaman usahatani, jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT, pendidikan formal,status pekerjaan petani, ketersediaan bantuan input)
Variasi tingkat penerapan teknologi PTT padi (13 komponen teknologi PTT spesifik lokasi)
Faktor-faktor produksi padi (benih, pupuk organik, pupuk NPK, pupuk urea, obat-obatan, dan tenaga kerja)
Variasi tingkat produksi padi antar usahatani padi yang menerapkan teknologi PTT
Rekomendasi peningkatan penerapan teknologi PTT untuk meningkatkan produksi padi di Kabupaten Cianjur
Keterangan Gambar: = menunjukkan hubungan sebab-akibat = menunjukkan hubungan pengaruh Gambar 5 Kerangka operasional penelitian “Penerapan Teknologi PTT dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur”
21
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Cianjur dipilih sebagai lokasi penelitian atas pertimbangan wilayah tersebut merupakan salah satu sentra produksi beras di Jawa Barat serta menerima program SLPTT padi pada tahun 2012. Pengambilan kecamatan sampel dilakukan secara purposive yaitu Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang, dengan pertimbangan kedua kecamatan merupakan sentra produksi beras di Cianjur dengan tingkat produktivitas padi di atas rata-rata produktivitas padi secara keseluruhan di Kabupaten Cianjur, di mana produktivitas padi masing-masing kecamatan adalah sebesar 65.77 kuintal/ha dan 63.93 kuintal/ha sedangkan rata-rata produktivitas padi Kabupaten Cianjur adalah sebesar 61.76 kuintal/ha (Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur 2013). Selanjutnya pemilihan desa dilakukan secara purposive, dengan memenuhi syarat: sebagian besar penduduk desanya berprofesi sebagai petani padi, menerima program bantuan SLPTT padi pada tahun 2012, serta berproduksi pada musim tanam Januari – Mei 2014. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2014. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan bantuan kuesioner dengan petani sampel. Data yang diperoleh kuesioner ini berupa data tingkat penerapan teknologi PTT yang dilakukan, faktor-faktor apa saja yang memengaruhi petani dalam melakukan adopsi teknologi, kendala dalam menerapkan teknologi, faktor-faktor produksi, serta hasil produksi usahatani padi. Selain itu dilakukan pula wawancara dengan pengurus kelompok tani, dan Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan penerapan teknologi PTT oleh para petani. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran berbagai bahan pustaka terkait penelitian, antara lain buku, hasil penelitian, website, dan data dari lembaga pemerintahan yaitu dari Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur, profil Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang . Metode Penentuan Sampel Unit analisis dalam penelitian ini adalah usahatani padi dan petani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang yang mengikuti pelaksanaan program bantuan SLPTT padi pada tahun 2012 dan menerapkan teknologi PTT pada tahun 2014. Pemilihan sampel unit analisis dilakukan secara stratifikasi dengan memenuhi kriteria: menerima bantuan SLPTT padi pada tahun 2012 dan memiliki musim tanam padi yang sama yaitu Januari – Mei 2014. Populasi penelitian adalah petani padi yang mengikuti program SLPTT padi pada tahun 2012, yakni sebanyak 500 petani, di mana masing-masing kecamatan terdapat 250 petani yang tergabung dalam 10 kelompok tani. Dari 250 petani di masing-masing kecamatan, petani yang
22
menanam padi pada musim tanam Januari-Mei 2014 di Kecamatan Warungkondang adalah sebanyak 101 petani, sementara di Kecamatan Gekbrong adalah sebanyak 125 petani. Untuk mendapatkan hasil model regresi linear berganda, maka diambil sampel masing-masing sebanyak 31 petani dari masingmasing kecamatan yang diperoleh secara acak, tanpa proporsi dari masing-masing desa di setiap kecamatan. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat 5 desa dan 10 kampung terpilih, dimana desa sampel terdiri dari: Desa Sukaratu, Desa Bunikasih, Desa Bunisari, Desa Jambudipa, dan Desa Cieundeur. Pemilihan petani sampel sebanyak 62 sampel dilakukan secara simple random sampling dengan bantuan software Microsoft Excel 2007 dengan kerangka contoh daftar nama petani padi yang mengikuti program SLPTT padi 2012 yang diperoleh dari Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikutura Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang. Metode Pengolahan dan Analisis Data Tingkat Penerapan Teknologi PTT dalam Usahatani Padi Analisis tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang dilakukan untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat penerapan/adopsi dari ke-13 komponen teknologi PTT padi yang dianjurkan oleh para petani padi peserta program SLPTT 2012 di Kabupaten Cianjur. Data yang digunakan dalam analisis ini merupakan data kualitatif dari hasil wawancara langsung dengan petani yang dikuantitantifkan dengan metode skor dengan daftar komponen faktor penentu (impact point). Komponen faktor penentu yang digunakan dalam scoring tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur diturunkan dari 6 komponen teknologi dasar dan 7 komponen teknologi pilihan yang telah ditetapkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kementerian Pertanian yang terdapat pada Petunjuk Teknis SLPTT Padi Jawa Barat serta telah dimodifikasi oleh petugas penyuluh lapang (PPL) Kecamatan sesuai dengan kebutuhan petani dan agroekosistem setempat. Berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Teknis SLPTT Padi, 6 komponen teknologi dasar dan 7 komponen teknologi pilihan yang telah dikeluarkan oleh BPTP bukan merupakan hal yang mutlak, sehingga komponen teknologi pilihan dapat menjadi komponen teknologi dasar begitupula sebaliknya sesuai dengan kebutuhan lokasi pelaksanaan SLPTT. Oleh karena itu, dalam metode scoring tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur tidak dilakukan persentase pembobotan yang berbeda antara kelompok komponen teknologi dasar dengan kelompok komponen teknologi pilihan. Masing-masing komponen teknologi dijabarkan ke dalam beberapa indikator tertentu, di mana nilai maksimum dari setiap indikator adalah 4, dan nilai terendah adalah 1. Nilai 4 diberikan jika komponen teknologi diterapkan sesuai dengan anjuran yang diberikan dalam SLPTT, baik dari segi jumlah, waktu, maupun perlakuan, sementara nilai 3, 2 diberikan jika komponen teknologi tidak sesuai anjuran, dan nilai 1 diberikan jika komponen teknologi tidak dilakukan. Daftar faktor penentu tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 1.
23
Tabel 1 Daftar komponen teknologi PTT padi beserta indikator dan nilai bobot No. 1. 1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
2. 2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
Faktor penentu Benih Jumlah benih a. 25 kg/hektar b. 26-35 kg/hektar c. 36 - 45 kg/hektar d. > 45 kg/hektar Benih varietas unggul baru (VUB) a. Benih VUB sesuai yang dianjurkan (Ciherang/Mekongga/Inpari 7/Sintanur/IR 64) b. VUB dengan varietas benih selain yang dianjurkan c. Campuran VUB dengan varietas lokal d. Menggunakan benih varietas lokal (tidak VUB) Benih bermutu dan berlabel a. Benih 100% bermutu dan bersertifikat b. Benih campuran berlabel dan tidak, komposisi benih berlabel lebih banyak c. Komposisi benih berlabel dan tidak berlabel 50:50 d. Benih 100% tidak berlabel Bibit muda a. 15-21 hari b. 22 - 25 hari c. 26 – 29 hari d. > 29 hari Jumlah bibit per lubang tanam a. 2 - 3 bibit b. 4 - 6 bibit c. 6 – 8 bibit d. > 8 bibit Pupuk Pupuk organik a. 500 – 1 000 kg/hektar b. 250 kg ≤ x < 500 kg/ hektar c. < 250 kg/hektar d. Tidak menggunakan pupuk organic Pupuk NPK Phonska a. 300 kg/hektar b. 150 kg ≤ x < 300 kg / hektar c. < 150 kg/hektar d. Tidak menggunakan pupuk NPK Phonska Pupuk Urea a. 100 kg/hektar b. 50 ≤ x < 100 kg/hektar c. < 50 kg/hektar d. Tidak menggunakan pupuk urea Intensitas pemupukan/ musim tanam a. 3 kali/ musim tanam b. 2 kali/musim tanam c. 1 kali/musim tanam d. Tidak melakukan pemupukan Waktu pemupukan a. Pemupukan dilakukan pada waktu yang sesuai anjuran: - Pemupukan I: 0-7 HST - Pemupukan II: 15-25 HST - Pemupukan III: 40-45 HST b. Pemupukan dilakukan pada waktu yang tidak sesuai anjuran
Bobot (1-20) 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 (1-28) 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4
1
24
No. 2.6
2.7
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Faktor penentu Komposisi pupuk pada setiap pemupukan a. Komposisi pupuk pada setiap kali pemupukan sesuai anjuran: - I: 1 ton organik, jerami kering, 33.33 persen dari 1 kw urea - II: 60 persen dari 3 kw NPK Phonska, 33.33 persen dari 1 kw urea - III: 40 persen dari 3 kw NPK Phonska, 33.33 persen dari 1 kw urea. b. Komposisi pupuk pada setiap pemupukan tidak sesuai anjuran Menggunakan jerami kering sebagai pupuk dasar a. Seluruh jerami tanpa dibakar,dibusukkan dengan pupuk organic b. Seluruh jerami tanpa dibakar c. Sebagian jerami dibakar d. Tidak menggunakan jerami Menerapkan jarak tanam jajar legowo a. Jajar legowo 2,4 b. Jajar legowo modifikasi (3,5) c. Jajar legowo dan tegel d. Tegel Melakukan penyiangan a. Penyiangan sesuai anjuran: - Penyiangan I: 15-25 HST - Penyiangan II: 45 HST b. Penyiangan sebanyak 2 kali, waktunya tidak sesuai anjuran c. Melakukan penyiangan sebanyak 1 kali d. Tidak melakukan penyiangan Melakukan pengendalian hama terpadu (PHT) a. PHT 100% organik dengan pemanfaatan musuh alami dengan membuat pestisida alami b. PHT dengan pemanfaatan musuh alami, tidak menggunakan pestisida kimia, tidak membuat pestisida alami c. PHT, dengan penggunaan obat kimia sebagai pilihan terakhir setelah usaha lainnya dilakukan d. Tidak melakukan pengamatan hama, obat kimia solusi utama Panen tepat waktu a. Panen sesuai umur tanaman padi VUB tersebut b. Panen tidak sesuai umur tanaman padi VUB Perontokan gabah secara langsung setelah panen a. Gabah dirontokkan langsung b. Gabah tidak dirontokkan langsung Pengairan Waktu pengairan a. Waktu pengairan sesuai anjuran: - Pengairan I: 2-3 HST - Pengairan berselang setiap 2 hari sekali - 10 hari menjelang panen lahan sudah dikeringkan b. Melakukan pengairan berselang setiap 2 hari sekali namun 10 hari menjelang panen lahan masih digenangi air c. Tidak melakukan pengairan berselang setiap 2 hari sekali d. Tidak melakukan pengairan berselang Total Nilai Maksimum Total Nilai Minimum
Bobot 4
1 4 3 2 1 (1-4) 4 3 2 1 (1-4) 4
3 2 1 (1-4) 4 3
2 1 (1-4) 4 1 (1-4) 4 1 (1-8) 4
3 2 1 72 18
Cara perhitungan tingkat penerapan keseluruhan paket teknologi PTT yang dilakukan oleh masing-masing petani sampel dilakukan dengan menjumlahkan nilai dari masing-masing faktor penentu yang telah disebutkan. Adapun cara perhitungan persentase (%) tingkat penerapan dari masing-masing komponen teknologi PTT oleh seluruh petani sampel adalah sebagai berikut:
25
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙
% TPT = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚x 100% dimana: % TPT : Persentase (%) tingkat penerapan teknologi dari komponen teknologi tertentu Bobot aktual : Penjumlahan bobot dari masing-masing sampel untuk komponen teknologi PTT tertentu Bobot maks : Bobot maksimum yang dapat diperoleh keseluruhan sampel untuk komponen teknologi PTT tertentu Selanjutnya, tingkat penerapan teknologi PTT oleh masing-masing petani sampel diklasifikasikan ke dalam 3 golongan: rendah, sedang, dan tinggi, dimana pembagian interval kelas dilakukan dengan rumus Sturges. Rumus Sturges merupakan sebuah rumus untuk menentukan jumlah kelas interval kelas yang sebaiknya digunakan dalam pengelompokan data (Supranto 2008). Rumus Sturges dapat dituliskan sebagai berikut: I=r/k dimana: I = interval kelas r = rentang (selisih nilai terbesar dengan terkecil) k = jumlah interval kelas Dari rumus tersebut, didapatkan pembagian kelas tingkat penerapan teknologi PTT sebagai berikut: Rendah : 18.0 – 36.0 Sedang : 36.1 – 54.0 Tinggi : 54.1 – 72.0 Model Regresi Linear Berganda Analisis regresi merupakan studi tentang hubungan antara satu variabel yang disebut variabel tak bebas atau variabel yang dijelaskan dan satu atau lebih variabel bebas atau variabel penjelas. Model regresi linier merupakan model regresi linier yangmempunyai lebih dari satu variabel penjelas (Gujarati 2004). Dalam penelitian ini, model regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT dalam usahatani padi, dengan variabel dependen tingkat penerapan teknologi PTT padi oleh petani dan variabel independen faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani. Model regresi linier berganda faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT pada usahatani padi merupakan model regresi yang didapat dari data sampel atau bisa disebut juga fungsi regresi sampel. Maka untuk menaksir fungsi regresi keseluruhan populasi berdasarkanfungsi regresi sampel yang ada digunakan metode kuadrat terkecil biasa atau ordinary least square (OLS). Menurut Gujarati (2004), terdapat beberapa 10 asumsi yang harus dipenuhi dalam merumuskan model regresi linear berganda dengan metode OLS agar model tersebut memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimation) yang dapat diukur melalui 4 uji, yaitu:
26
1. Uji autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk mendeteksi ada/tidaknya hubungan antar covarians variabel-variabel independen. Uji autokorelasi memenuhi kriteria BLUE apabila tidak terdapat hubungan antar covarians variabel-variabel independen. Untuk mendeteksi ada tidaknya gejala autokorelasi pada model, dapat digunakan uji Durbin-Watson, dengan hipotesis sebagai berikut: H0: p = 0 (jika p = 0, maka tidak terdapat gejala autokorelasi) H1: p ≠ 0 (jika p ≠ 0 , maka terdapat gejala autokorelasi) Keputusan ada/tidaknya autokorelasi dapat ditentukan jika: a. Bila nilai DW lebih kecil daripada dL, koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, hal ini mengindikasikan terdapat gejala autokorelasi positif. b. Bila nilai DW berada di antara dU sampai dengan 4 - dU maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, hal ini menunjukkan tidak ada autokorelasi. c. Bila nilai DW terletak di antara dL dan dU, maka tidak dapat disimpulkan. d. Bila nilai DW lebih besar daripada 4 - dL, koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, hal ini mengindikasikan terdapat gejala autokorelasi negatif. e. Bila nilai DW terletak di antara 4 – dU dan 4 - dL, maka tidak dapat disimpulkan. 2. Uji multikolinearitas Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan keterkaitan antar variabel-variabel independen. Uji multikolinearitas memenuhi kriteria BLUE apabila hasil uji menunjukkan tidak terdapat hubungan linear antara variabel-variabel independen (no collinearity). Untuk mendeteksi ada/tidaknya gejala multikolinearitas di antara variabel-variabel independen dalam model, dapat melihat nilai VIF pada tabel estimasi koefisien variabel independen, di mana jika nilai VIF berada di bawah 10, maka dapat disimpulkan bahwa antar variabel independen tidak terdeteksi gejala multikolinearitas. 3. Uji normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam merumuskan model, baik data variabel dependen maupun independen menyebar normal. Untuk mengetahui apakah data terdistribusi dengan normal atau tidak, dapat digunakan rasio skewness dan kurtosis. Jika rasio skewness dan kurtosis berada diantara -2 sampai +2, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan untuk merumuskan model terdistribusi normal. 4. Uji heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah setiap varians error µi untuk setiap pengamatan Xi adalah sama. Uji heteroskedastisitas memenuhi kriteria BLUE apabila varians error µi untuk setiap pengamatan Xi sama (homoskedastisitas). Untuk melihat ada/tidaknya gejala heteroskedastisitas pada model, dapat dilakukan Uji Glejser yang dinotasikan: |e| = b1 + b2X2 + v dimana: |e| = nilai absolut dari residual yang dihasilkan dari regresi model X2 = variabel penjelas Jika hasil uji Glejser menunjukkan bahwa nilai t-hitung dari masing-masing variabel penjelas tidak signifikan secara statistik (ΙthitΙ> 0.05), maka tidak
27
terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, atau varians error untuk setiap pengamatan Xi adalah sama. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat penerapan PTT pada usahatani padi adalah pendapatan non usahatani padi, intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT padi oleh petani, jumlah tenaga kerja dalam keluarga, pengalaman usahatani, jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti, lama pendidikan formal, status pekerjaan petani, dan ketersediaan bantuan input. Persamaan regresi untuk faktor-faktor yangmemengaruhi penerapan teknologi PTT pada usahatani padi adalah sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 +β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7D1+β8D2 +ε ………… (1) dimana: Y = Tingkat penerapan teknologi SLPTT dalam usahatani padi Β0 = Konstanta X1 = Pendapatan non usahatani padi (Rp 00000/bulan) X2 = intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT padi oleh petani X3 = Jumlah tenaga kerja dalam keluarga (HOK) X4 = Pengalaman usahatani (tahun) X5 = Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti X6 = Lama pendidikan formal (tahun) D1 = Dummy status pekerjaan petani (1= utama, 0= sampingan) D2 = Dummy ketersediaan bantuan input (1= ada, 0 = tidak) βi = koefisien dugaan dari variabel independen ε = eror Hipotesis yang digunakan dalam model regresi linear berganda faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT adalah sebagai berikut: 1. Pendapatan non usahatani padi Penelitian yang dilakukan oleh Diiro (2012) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan off-farm keluarga petani turut. berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi. Penelitian ini menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan off-farm suatu rumah tangga petani, maka semakin tinggi keinginannya untuk mengadopsi teknologi, sehingga dalam model ini variabel pendapatan non usahatani berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Pendapatan non usahatani dalam model ini diukur dalam satuan 000 (ribu) rupiah. 2. Intensitas mengikuti pelatihan SLPTT padi Semakin tinggi intensitas mengikuti pelatihan maka semakin banyak materi yang diterima oleh petani sehingga tingkat penerapan teknologi diharapkan semakin tinggi. Intensitas mengikuti pelatihan SLPTT padi berkisar dari 0 -1, di mana 0 menunjukkan bahwa petani tidak hadir sama sekali dalam pelatihan SLPTT, dan 1 menunjukkan bahwa petani 100% hadir dalam seluruh pelatihan SLPTT. 3. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga Jumlah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) menjadi salah satu faktor yang memengaruhi penerapan teknologi PTT sebab beberapa komponen teknologi ini memerlukan keterampilan dan jumlah sumberdaya manusia yang memadai. Salah satunya adalah komponen teknologi jarak tanam jajar legowo yang belum
28
4.
5.
6.
7.
8.
umum di kalangan buruh tani. Fenomena menurunnya ketersediaan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) di Kabupaten Cianjur akibat beralihnya tenaga kerja di sektor pertanian ke sektor non pertanian mengakibatkan petani harus mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dalam menjalankan usahataninya. Oleh karena itu, jumlah TKDK diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT, dimana semakin banyak jumlah TKDK yang tersedia, maka semakin tinggi tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani. Jumlah TKDK diukur dalam satuang orang. Pengalaman berusahatani Pengalaman berusahatani berdampak negatif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Hal ini disebabkan semakin lama petani berusahatani, petani semakin mempercayai teknik bercocok tanam yang selama ini telah diterapkan dan cenderung kurang terbuka terhadap informasi teknologi yang baru. Pengalaman berusahatani padi diukur dalam satuan tahun. Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT Di samping program SLPTT, sebagian petani memiliki akses terhadap informasi mengenai teknologi pertanian lainnya berupa pelatihan manajemen pertanian lain di luar program SLPTT yang dikelola oleh Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura kecamatan setempat. Program pelatihan di luar program SLPTT di antaranya program SRI (System Rice Intensification), pelatihan teknologi pertanian oleh lembaga akademik seperti IPB, pelatihan oleh organisasi pertanian lainnya seperti HKTI (Himpunan Kelompok Tani Indonesia) dan KTNA (Kelompok Tani Nelayan Andalan). Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT, sebab semakin banyak informasi yang diperoleh petani dari berbagai pelatihan yang diikuti, maka pengetahuan petani mengenai teknologi semakin luas dan berdampak pada semakin tinggi tingkat penerapan teknologi PTT yang dilakukan oleh petani. Pendidikan formal petani Pendidikan formal petani diduga berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT, dimana semakin tinggi pendidikan formal petani maka semakin terbuka terhadap adanya perubahan teknologi. Lama pendidikan formal petani diukur dalam satuan tahun. Dummy status pekerjaan petani padi Status pekerjaan merupakan kedudukan pekerjaan yang dimiliki seseorang. Status pekerjaan dapat dibagi menjadi 2: pekerjaan utama dan sampingan. Dalam model faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT asumsi yang digunakan adalah petani yang menjadikan pekerjaan petani padi sebagai pekerjaan utama memiliki tingkat penerapan teknologi PTT yang lebih tinggi daripada petani sampel dengan pekerjaan petani padi sebagai pekerjaan sampingan. Status pekerjaan petani dilambangkan dalam variabel dummy dimana ‘1’ untuk kategori petani padi sebagai pekerjaan utama dan ‘0’ untuk kategori petani padi sebagai pekerjaan sampingan. Dummy ketersediaan bantuan input. Bantuan berupa input usahatani yakni benih, pupuk, obat-obatan, dan alat mesin pertanian merupakan insentif pemerintah bagi petani untuk menerapkan teknologi PTT. Dalam model faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT ketersediaan bantuan dinyatakan dalam variabel dummy, di mana
29
kategori ‘1’ diberikan untuk petani sampel yang mendapatkan bantuan input usahatani dan ‘0’ diberikan kepada petani yang tidak mendapatkan bantuan input usahatani. Asumsi yang digunakan adalah petani yang mendapatkan bantuan input usahatani memiliki rata-rata tingkat penerapan teknologi PTT yang lebih tinggi daripada petani yang tidak mendapatkan bantuan. Variabel-variabel pendidikan formal dan pengalaman usahatani dipilih dalam persamaan fungsi linear berganda di atas dengan pertimbangan bahwa variabel independen yang berhubungan dengan proses adopsi suatu teknologi (Roger and Shoemaker, 1971) dipengaruhi oleh personal petani sendiri (personality variable) dan kondisi sosial ekonomi (socioeconomic status) dari petani yang akan mengadopsi suatu teknologi dalam usahataninya. Variabel pendidikan formal dan pengalaman usahatani diharapkan dapat menggambarkan sumberdaya manusia (personality variable) dan luas lahan, biaya pupuk dan benih, dan diharapkan dapat menggambarkan sosial ekonomi (socioeconomic variable). Selain faktor personal dan sosio ekonomi, menurut Chi (2008) dan Diiro (2012) terdapat faktor-faktor eksternal lainnya yang berpengaruh pada penerapan teknologi petani, yaitu: intensitas keiikutsertaan pelatihan teknologi, akses terhadap produk input pertanian, dan keberadaan clinic station yang dapat menjadi sarana konsultasi petani terkait teknologi yang diterapkan. Model Fungsi Produksi Untuk menduga pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap produksi padi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi sawah di Kabupaten Cianjur, digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Menurut Hernanto (1988), faktor produksi dalam usahatani terdiri dari 7 input, yaitu: lahan, tenaga kerja, manajemen, pupuk, benih, pestisida, dan teknologi. Faktor – faktor produksi tersebut yang menjadi dasar penyusunan model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur. Berdasarkan faktor – faktor produksi tersebut, maka persamaan regresi untuk faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut: Ln Y = β0+β1LnX1+β2LnX2+β3LnX3+β4LnX4+β5LnX5+ β6LnX6+ β7LnX7 + β8LnX8+ μ ………………………………………………………… (2) dimana: Y = tingkat produksi padi (kg) β0 = intersep X1 = luas lahan (hektar) X2 = jumlah benih (kg) X3 = jumlah pupuk organik (kg) X4 = jumlah pupuk NPK Phonska (kg) X5 = jumlah pupuk urea (kg) X6 = jumlah obat-obatan padat (kg) X7 = jumlah tenaga kerja (HOK) X8 = tingkat penerapan teknologi PTT (bobot 1 – 72) λi,βi = parameter dugaan dari variabel independen μ = residual eror
30
Pada persamaan (2), variabel X1 – X7 merupakan faktor produksi usahatani padi yang dapat diukur secara kuantitatif, sementara X8 merupakan faktor produksi padi kualitatif yang menggambarkan kemampuan manajemen petani dalam mengelola usahatani serta teknologi yang digunakan petani yang diukur dengan pendekatan kuantitatif melalui pembobotan komponen – komponen teknologi PTT yang diterapkan oleh petani. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas koefisien dari setiap input produksi menunjukkan elastisitas produksi dari masing-masing input, di mana βi merupakan persentase perubahan (peningkatan/penurunan) output Y untuk perubahan 1 persen setiap input Xi. Selain menunjukkan elastisitas produksi, jumlah dari koefisien input dalam fungsi produksi Cobb Douglas menunjukkan derajat homogenitas yang mengindikasikan skala ekonomi fungsi produksi dalam model, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Jika (β1+β2+β3+…+βi) = 1, maka skala ekonomi fungsi produksi berada dalam kondisi constant return to scale. (2) Jika (β1+β2+β3+…+βi) < 1, maka skala ekonomi fungsi produksi berada dalam kondisi decreasing return to scale. (3) Jika (β1+β2+β3+…+βi) > 1, maka skala ekonomi fungsi produksi berada dalam kondisi increasing returns to scale (Mari FM et.al 2007).
5 GAMBARAN UMUM PENELITIAN Deskripsi Lokasi Penelitian Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak pada koordinat 106° 42 - 107° 25 Bujur Timur dan 6° 21 - 7° 25 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Cianjur pada tahun 2013 adalah sebesar 361 434.98 hektar (Cianjur dalam Angka 2013). Kabupaten Cianjur terdiri dari 32 kecamatan yang terbagi ke dalam 3 wilayah, yaitu: wilayah Cianjur Utara, Tengah, dan Selatan dengan batas – batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Garut. Penduduk Kabupaten Cianjur pada tahun 2012 sebanyak 2 231 107 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 617 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian dengan persentase sebesar 55.81 persen dari total angkatan kerja, sementara sektor lainnya yang turut memberikan kontribusi besar terhadap angkatan kerja yaitu sektor jasa rumah makan dan hotel yang mencapai 18.78 persen dari total angkatan kerja. Sisa angkatan kerja sebesar 25.41 persen terbagi ke dalam sektor industri pengolahan, jasa kemasyarakatan, pertambangan dan penggalian, listrik, gas, air, bangunan, angkutan, komunikasi, jasa keuangan, dan perusahaan. Sektor pertanian berperan besar terhadap perekonomian Kabupaten Cianjur, di mana luas lahan pertanian mencapai 65.75 persen dari total luas wilayah Kabupaten Cianjur. Luas lahan pertanian produktif tersebut terdiri dari lahan sawah
31
seluas 66 180 hektar dan lahan kering seluas 171 470 hektar. Komoditas tanaman yang menjadi unggulan Kabupaten Cianjur di antaranya padi termasuk di dalamnya beras aromatik Pandanwangi; sayuran; dan tanaman hias. Sebaran luas lahan dan produksi sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas lahan dan produksi sektor pertanian di Kabupaten Cianjur 2013 Komoditas Tanaman pangan dan hortikultura a. Tanaman pangan Padi Jagung Ubi kayu Ubi jalar Kedelai Kacang hijau Kacang tanah b. Hortikultura Wortel Bawang daun Sawi c. Tanaman obat-obatan Jahe Kencur Kunyit Kehutanan Hutan produksi Hutan lindung Perkebunan Teh Aren Kelapa Karet Kelapa hibrida Peternakan Sapi potong Sapi perah Kerbau Kuda Perikanan Ikan air tawar Ikan air laut
Luas lahan (hektar)
Produksi (ton)
903 547.00 55 098.00 128 598.00 16 001.00 12 462.00 434.00 16 337.00 41 816.40 39 296.00 36 874.70 8 387.60 4 867.87 2 784.23 24 259.79 45 894.61 23 613.30 8 574.55 5 846.67
20 713.10 4 958.80 4 726.45 2 366.42 645.55 31 478.00a 2 102.00a 9 875.00a 1 484.00a 9 139 848.00 27 234.00
Sumber: Cianjur dalam Angka 2013
Secara geografis, Kabupaten Cianjur dibagi menjadi 3 wilayah pembangunan, yaitu: wilayah Cianjur utara dengan komoditi unggulan padi, sayuran, teh, dan tanaman hias; wilayah Cianjur tengah dengan padi, kelapa, dan buah-buahan sebagai komoditas unggulan; dan wilayah Cianjur selatan dengan palawija, teh,
32
karet, aren, coklat, kelapa, dan buah-buahan sebagai komoditas unggulan. Pada umumnya padi dapat tumbuh dengan baik di seluruh wilayah Kabupaten Cianjur, hal ini terbukti dengan Kabupaten Cianjur sebagai salah satu sentra produksi beras di Provinsi Jawa Barat sudah mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri (swasembada beras), serta menghasilkan surplus produksi beras sebanyak 40 persen yang digunakan untuk cadangan beras serta dipasok ke berbagai kota dan kabupaten lainnya, di antaranya DKI Jakarta dan Bogor. Sementara itu sentra produksi sayuran dan tanaman hias terletak di Kecamatan Pacet dan Sukanagara yang merupakan wilayah dengan ketinggian tertinggi di yakni 1 080 – 2 962 m di atas permukaan laut (mdpl). Oleh karena itu komoditas hortikultura khususnya sayuran dapat tumbuh dengan baik di wilayah ini. Karakteristik Petani Sampel Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), kondisi sosial ekonomi individu berhubungan erat dengan tingkat penerapan teknologi yang dilakukan oleh individu tersebut, dalam penelitian ini yang dimaksud dengan individu adalah petani padi. Kondisi sosial ekonomi petani yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari kondisi internal, yaitu karakteristik yang berasal dari petani itu sendiri, dan kondisi eksternal yaitu kondisi di lingkungan petani yang dapat memengaruhi petani dalam menerapkan teknologi (Yuliarmi 2006). Dalam penelitian ini, karakteristik petani yang diamati terdiri dari: (1) umur petani, (2) jenis kelamin, (3) pendidikan formal petani, (4) pengalaman berusahatani padi, (5) status kepemilikan lahan, (6) luas lahan padi, (7) status pekerjaan sebagai petani padi, (8) besar pendapatan non usahatani padi per bulan, (9) jumlah tanggungan keluarga, dan (10) jumlah anggota keluarga yang ikut dalam kegiatan usahatani. Rincian karakteristik petani sampel dapat dilihat pada Tabel 3. 1. Umur petani Menurut Depkes (2011), usia produktif penduduk di Indonesia berada pada 15 – 64 tahun. Menurut data yang telah diperoleh di lokasi penelitian, sebagian besar petani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang berada pada usia produktif, yakni sebesar 85.78 persen dari total sampel. Sementara itu, terdapat 14.28 persen petani yang sudah melewati usia produktif. Usia produktif turut berperan dalam kinerja petani dalam mengelola usahatani. Petani yang sudah melewati usia produktif umumnya tidak dapat melakukan pekerjaan sebanyak petani yang masih berada dalam usia produktif. Meski sebagian besar petani berada dalam kisaran usia produktif, namun rata-rata petani berada pada usia 52 tahun yang sudah tergolong dalam usia pertengahan, dan regenerasi petani padi di Kabupaten Cianjur masih rendah, sebab penduduk yang berada pada usia angkatan kerja umumnya memilihi untuk bekerja di luar sektor pertanian, yakni dengan menjadi buruh pabrik atau ojek. 2. Jenis kelamin Berdasarkan data di lokasi penelitian, sebagian besar petani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang merupakan laki-laki yakni sebanyak 98.41 persen.Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usahatani masih didominasi oleh laki – laki sebagai kepala keluarga, sementara perempuan sebagian besar tidak bekerja.
33
Tabel 3 Karakteristik petani padi peserta program SLPTT di Kabupaten Cianjur, 2014 Karakteristik Petani 1. Umur (tahun) 15 – 64 (usia produktif) > 64 2. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 3. Pendidikan (tahun) 0 6 9 12 4. Pengalaman berusahatani padi (tahun) 5 – 12 13 – 20 21 – 28 29 – 36 37 – 44 45 – 52 53 – 60 5. Status kepemilikan lahan Pemilik Bagi hasil Gadai Sewa Pemilik dan bagi hasil 6. Luas lahan padi (hektar) 0.07 - 0.24 0.25 - 0.42 0.43 - 0.60 0.61 - 0.78 0.79 - 0.96 0.96 - 1.13 1.13 - 1.30 7. Status pekerjaan sebagai petani padi Utama Sampingan 8. Besar pendapatan non usahatani padi (Rp/bulan) 0 – 1 000 000 1 000 001 – 2 000 000 2 000 001 – 3 000 000 3 000 001 – 4 000 000 4 000 001 – 5 000 000 > 5 000 000 9. Jumlah tanggungan keluarga (orang) 1–3 4–6 7–9 10. Jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usahatani (orang) 1 2 3
Jumlah petani (orang)
Persentase (%)
53 9
85.48 14.52
61 1
96.83 1.59
2 46 5 9
3.23 74.19 8.06 14.52
10 13 11 14 8 5 1
16.13 20.97 17.74 22.58 12.90 8.06 1.61
21 26 1 5 9
33.87 41.94 1.61 8.06 14.52
18 19 9 4 4 7 1
29.03 30.65 14.52 6.45 6.45 11.29 1.61
53 9
85.48 14.52
41 11 4 1 4 1
66.13 17.74 6.45 1.61 6.45 1.61
19 35 8
30.65 56.45 12.90
35 26 1
56.45 41.94 1.61
34
3. Pengalaman berusahatani padi Pengalaman berusahatani padi para petani sampel cukup bervariasi, mulai dari 5 sampai 60 tahun. Terdapat sebanyak 15.87 persen dari petani sampel yang pengalaman usahatani padinya berkisar antara 5 sampai 12 tahun. Petani dengan pengalaman usahatani padi kurang dari 12 tahun ini umumnya baru menekuni usahatani padi setelah pensiun dari pekerjaan sebelumnya, atau sampai saat ini masih memiliki pekerjaan tetap lain, sehingga usahatani padi bersifat usaha sampingan untuk menambah pendapatan rumah tangga. Rata-rata pengalaman usahatani padi para petani adalah 26 tahun, di mana data menunjukkan bahwa sebagian besar petani yaitu sebanyak 50.78 persen memiliki pengalaman usahatani di bawah rata-rata sampel. Pengalaman usahatani dapat mengindikasikan kemampuan petani mengelola usahatani padi yang semakin baik sebab telah banyak belajar dari pengalaman berusahatani sebelumnya, namun di sisi lain juga dapat menghambat petani dalam menerima teknologi baru sebab petani dengan pengalaman usahatani yang lama sudah sangat mempercayai cara bercocok tanam yang sudah lama diterapkan selama ini, sebelum ada introduksi teknologi. 4. Pendidikan formal Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari lokasi penelitian, tingkat pendidikan para petani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang tergolong rendah. Sebagian besar petani (73.02 persen) menempuh pendidikan formal sampai tingkat SD, bahkan terdapat petani sampel yang tidak menempuh pendidikan formal sama sekali yaitu sebanyak 3.17 persen. Petani sampel yang tidak menempuh pendidikan formal sama sekali umumnya buta huruf, hal ini dapat memengaruhi dalam proses memahami dan menerapkan teknologi PTT yang disampaikan dalam sekolah lapang. Petani yang buta huruf tidak dapat menerima informasi teknologi yang disampaikan secara optimal, hanya mengandalkan informasi yang disampaikan secara verbal, tidak tertulis. Di sisi lain materi teknologi yang disampaikan dalam sekolah lapang tidak hanya disampaikan secara verbal oleh petugas penyuluh lapang (PPL), namun juga secara tertulis, berupa catatan-catatan mengenai bahan-bahan pembuatan pestisida dan pupuk organik, cara pengendalian hama terpadu, serta pelaksanaan pre-test dan post test di setiap pertemuan sekolah lapang. 5. Status kepemilikan lahan Status kepemilikan lahan secara garis besar dapat dibagi menjadi 2: lahan milik sendiri dan penggarap. Dalam praktek di lokasi penelitian, lahan milik sendiri dapat dibagi menjadi 2: lahan yang benar-benar milik petani tersebut, serta lahan gadai. Keuntungan dari status kepemilikan lahan milik sendiri adalah petani sebagai pemilik dan pengguna seluruh faktor produksi baik berupa pupuk, benih, obat-obatan, dan lahan dapat leluasa menggunakan faktor-faktor produksi yang dimiliki sesuai keinginan petani, termasuk dalam hal ini penggunaan faktor produksi sesuai teknologi PTT yang disampaikan kepada petani dalam sekolah lapang. Di sisi lain status kepemilikan lahan milik orang lain/ penggarap dapat dibagi menjadi 2, yaitu: bagi hasil dan sewa. Sistem bagi hasil adalah sistem di mana petani penggarap membagi hasil panen dengan pemilik lahan sesuai dengan hasil panen yang didapatkan pada musim tanam tersebut dan
35
kesepakatan antara petani penggarap dan pemilik lahan. Di lokasi penelitian, terdapat 2 sistem bagi hasil antara petani penggarap dan pemilik lahan, yaitu maro yaitu sistem bagi hasil di mana baik petani penggarap maupun pemilik lahan masing-masing mendapatkan 50 persen dari hasil panen, sementara sistem bagi hasil lainnya yaitu 5:2, yaitu sistem bagi hasil di mana pemilik lahan mendapatkan bagian yang lebih besar dari hasil panen, yaitu sebesar 60 persen, sementara petani penggarap mendapatkan 40 persen dari hasil panen. Selain sistem bagi hasil terdapat sistem sewa lahan yaitu petani penggarap harus memberikan hasil panen dalam jumlah yang tetap setiap musimnya kepada pemilik lahan, tidak bergantung pada fluktuasi hasil panen. Sistem sewa ini cukup merugikan petani terutama pada musim hujan, di mana hasil produksi lebih rendah dibandingkan musim tanam lainnya, sementara sewa yang harus dibayarkan kepada pemilik lahan sama dengan musim tanam lainnya. Secara keseluruhan baik didalam sistem bagi hasil maupun sistem sewa petani memiliki keterbatasan dalam mengelola faktor produksi baik lahan, benih, pupuk, dan obat-obatan. Petani penggarap memiliki beban yang lebih besar dibandingkan petani pemilik lahan dalam berusahatani, karena harus membayar bagi hasil kepada pemilik lahan. Jika hasil panen rendah, petani penggarap tetap harus memberikan sebagian hasilnya kepada pemilik lahan akibatnya hasil panen yang menjadi bagian petani penggarap menjadi sangat sedikit, sedangkan untuk petani pemilik lahan sendiri/gadai dapat menerima seluruh hasil panen dalam jumlah berapapun. Status kepemilikan lahan juga membedakan dalam pengelolaan faktor produksi lainnya seperti benih, pupuk, dan obat-obatan. Jenis, kualitas dan kuantitas benih yang ingin ditanam oleh petani penggarap sesuai dengan anjuran teknologi PTT belum tentu disetujui oleh pemilik lahan, sehingga pada akhirnya petani penggarap mengikuti keputusan pemilik lahan. Begitu pula dalam penggunaan pupuk dan obat-obatan. Beberapa pemilik lahan bersedia menanggung sebagian atau seluruh biaya produksi berupa benih dan pupuk, namun terdapat pula petani penggarap yang harus menanggung seluruh biaya produksi sendiri. Dengan gambaran usahatani seperti itu, petani penggarap memiliki beban dalam mengelola usahatani karena memiliki beban bagi hasil/sewa kepada pemilik lahan, hal ini mengakibatkan petani penggarap cenderung bersifat risk averse terhadap teknologi PTT. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mosher (1987) bahwa petani merasa lebih senang berusahatani jika lahan yang diusahakannya adalah milik sendiri, karena memberi perasaan terj amin dan lebih bebas, petani dapatmengelolanya kapan saja selama petani itu mau, tanpa harus mempertimbangkankeinginan orang lain yang menjadi pemilik lahan. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di lokasi penelitian, sebagian besar petani yaitu sebesar 50.79 persen merupakan petani penggarap yang terdiri dari 26 petani penggarap dengan sistem bagi hasil dan 6 petani penggarap dengan sistem sewa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani sampel tidak memiliki kuasa penuh terhadap pengelolaan faktor produksi usahatani padi. Adapun petani dengan status kepemilikan lahan milik sendiri terdapat sebanyak 33.33 persen dari total petani sampel, lahan sawah gadai sebanyak 1.59 persen, sementara sisanya merupakan petani yang
36
memiliki lahan sawah sendiri dengan luas yang sempit sekaligus menggarap lahan sawah milik orang lain. 6. Luas lahan padi Luas lahan para petani sampel di lokasi penelitian cukup bervariasi, yaitu di antara 0.07 – 1.25 hektar. Menurut Cahyono (1983), petani di Pulau Jawa berdasarkan luas lahannya dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0.5 hektar, petani menengah dengan luas lahan 0.5 – 1 hektar, dan petani luas dengan luas lahan di atas 1 hektar. Berdasarkan penggolongan tersebut, maka sebagian besar petani padi sampel (60.31 persen) tergolong petani gurem dengan luas lahan garapan kurang dari 0.5 hektar, sementara 23.81 persen tergolong petani menengah, dan sebesar 1.59 persen petani tergolong ke dalam petani luas. Petani dengan lahan luas umumnya mencoba menerapkan teknologi PTT pada sebagian dari total luas lahannya. Hal ini dilakukan oleh petani untuk meminimalisasi risiko yang terjadi akibat penerapan teknologi sekaligus membandingkan antara luas lahan yang menerapkan teknologi PTT dengan yang tidak. Jika teknologi PTT yang telah diterapkan pada luasan lahan tertentu memberikan hasil produksi yang lebih baik dibandingkan luasan lahan tanpa penerapan program PTT, maka petani akan termotivasi untuk menerapkan teknologi PTT pada lahan yang lebih luas, bahkan lahan secara keseluruhan. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka petani akan kembali ke cara tanam konvensional tanpa teknologi. 7. Status pekerjaan petani padi Status pekerjaan petani padi dapat dibagi menjadi 2, yaitu sebagai pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan. Usahatani padi dikategorikan sebagai pekerjaan utama ketika sebagian besar pendapatan rumah tangga diperoleh dari berusahatani padi, dan sebagian besar jam kerja per hari dicurahkan untuk usahatani padi. Sebaliknya, usahatani padi dikategorikan sebagai pekerjaan sampingan ketika petani memiliki sumber pendapatan rumah tangga lain yang lebih besar dibandingkan pendapatan usahatani padi dan sebagian besar jam kerja per hari dicurahkan untuk pekerjaan lain di luar usahatani padi. Berdasarkan data yang diperoleh di lokasi penelitian, sebanyak 85.71 persen dari total petani sampel usahatani padinya dapat digolongkan sebagai pekerjaan utama. 8. Besar pendapatan non usahatani padi Di samping usahatani padi, para petani sampel di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang pada umumnya memiliki sumber pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini disebabkan padi merupakan tanaman musiman yang dapat diperoleh hasilnya satu kali setiap 3 – 4. Meskipun begitu, terdapat pula petani sampel yang hanya mengandalkan pendapatan dari usahatani padi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, yakni sebanyak 21 orang (33.33 persen). Pendapatan non usahatani padi para petani di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang bervariasi dari Rp 141 667.00 – Rp 10 000 000.00 per bulan. Jenis pekerjaan yang ditekuni pun beragam, di antaranya sebagai aparat desa; PNS; menarik ojek; berdagang sayuran, alat pertanian, pupuk, dan obat-obatan pertanian; mengelola penggilingan padi; pensiunan; buruh bangunan, dan lainnya. Pendapatan non-usahatani selain dapat berfungsi untuk memenuhi
37
kebutuhan sehari-hari juga dapat menjadi tambahan modal bagi petani untuk menerapkan teknologi PTT dalam menjalankan usahatani padi. 9. Jumlah tanggungan keluarga Jumlah tanggungan keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang menjadi beban/tanggungan petani selaku kepala rumah tangga. Data di lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani sampel (57.14 persen) memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 4 – 6 orang termasuk petani sampel, dengan rataan jumlah tanggungan keluarga sebanyak 4 orang. Tanggungan keluarga umumnya terdiri dari kepala keluarga, istri, dan 2 orang anak. 10. Jumlah anggota keluarga yang ikut dalam kegiatan usahatani padi Jumlah anggota keluarga yang ikut serta dalam kegiatan usahatani padi berkaitan dengan ketersediaan tenaga kerja. Ketersediaan tenaga kerja yang terampil merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam penerapan teknologi PTT pada usahatani padi. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Cianjur berkurang sebanyak 1.13 persen/tahun. Hal ini disebabkan oleh tingginya alih fungsi lahan ke fungsi non pertanian serta berkurangnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian. Fenomena serupa terjadi di wilayah Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang di mana dalam 5 tahun terakhir telah dilakukan pembangunan 3 pabrik usaha non pertanian yang cukup menyerap banyak tenaga kerja, khususnya tenaga kerja perempuan. Berkurangnya ketersediaan tenaga kerja berdampak pada kesulitan dalam penerapan teknologi PTT pada usahatani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang, di antaranya: a. Ketiadaan tenaga kerja wanita mengakibatkan penanaman bibit muda gagal dilakukan, sehingga terpaksa bibit yang ditanam berumur tua karena menunggu giliran dalam menggunakan tenaga kerja wanita untuk penanaman padi b. Ketiadaan tenaga kerja pria dan wanita juga mengakibatkan panen hasil produksi menjadi terlambat sebab harus menunggu giliran tenaga kerja panen dengan usahatani padi lainnya yang juga panen. Akibatnya panen menjadi tidak tepat waktu, dan hasil panen yang diperoleh tidak maksimal. Penelitian di lokasi menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan usahatani adalah 1 orang, yaitu petani tersebut sendiri, yang umumnya merupakan kepala keluarga. Adapun usahatani padi yang turut dikerjakan oleh 2 orang anggota keluarga yang umumnya merupakan pasangan suami istri adalah sebanyak 42.86 persen dari total petani sampel. Rendahnya minat generasi muda untuk bekerja pada usahatani padi dapat dilihat dari rendahnya persentase jumlah anak sebagai anggota rumah tangga usaha pertanian yang ikut serta dalam kegiatan usahatani padi, yaitu sebesar 1.59 persen. Kondisi sosial-ekonomi usahatani padi Selain karakteristik petani itu sendiri, terdapat pula faktor eksternal yang menggambarkan kondisi sosial-ekonomi petani dalam usahatani padi. Dalam penelitian ini, faktor eksternal yang diduga memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT dalam usahatani padi terdiri dari: 1) sistem panen, 2) tujuan
38
penjualan gabah, 3) intensitas kehadiran SLPTT, 4) keikutsertaan dalam pelatihan lain di luar SLPTT, 5) mendapatkan bantuan sarana produksi dari program SLPTT. Rincian kondisi eksternal petani padi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kondisi sosial-ekonomi usahatani padi di Kabupaten Cianjur, 2014 Uraian 1. Sistem panen Bukti Borong Bukti dan borong 2. Tujuan penjualan Tengkulak Penggilingan Tengkulak dan penggilingan 3. Intensitas kehadiran sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT) 0.1 - 0.25 0.26 - 0.50 0.51 - 0.75 0.76 – 1 4. Keikutsertaan dalam pelatihan usahatani lainnya di luar SLPTT Tidak pernah 1 kali 2 kali 5. Mendapatkan bantuan saprodi Ya Tidak
Jumlah petani (orang)
Persentase (%)
50 5 7
80.65 8.06 11.29
47 13 2
75.81 20.97 3.23
15 24 11 12
24.19 38.71 17.74 19.35
51 10 1
82.26 16.13 1.61
48 14
77.42 22.58
1. Sistem panen Pada Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu, petani diberikan pelatihan mengenai cara budidaya dan pemeliharaan tanaman dari benih sampai pengelolaan pasca panen. Petani dianjurkan untuk mengelola hasil panen sendiri untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pada petani peserta SLPTT model, kelompok tani diberikan mesin perontok gabah agar hasil perontokan gabah dapat optimal dan tidak banyak yang terbuang. Hasil rontokan gabah yang optimal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usahatani padi. Sistem panen padi merupakan salah satu bagian dari cara pengelolaan pasca panen yang diterapkan oleh petani. Di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang, sistem panen padi di dibagi menjadi 2, yaitu sistem tebas (borongan) dan sistem jual bukti. Sistem panen borong adalah cara panen padi di mana hasil panen yang diperoleh tidak ditimbang sebelum dijual kepada tengkulak, penentuan hasil panen dilakukan berdasarkan penaksiran oleh tengkulak yang dilanjutkan dengan tawar-menawar oleh pihak petani. Dalam
39
sistem panen borong, seluruh proses panen padi dari ngala, perontokkan gabah, sampai penjemuran gabah basah menjadi gabah kering panen sebelum dijual ke penggilingan padi dilakukan oleh tengkulak. Sistem panen borong ini pada umumnya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain, di mana nilai gabah berdasarkan hasil taksiran, maka nilai gabah sesungguhnya dapat berada di atas/di bawah nilai taksiran. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lokasi penelitian, persentase petani yang menerapkan sistem panen borong saja sebanyak 7.94 persen, sementara sistem panen borong dan jual bukti sebanyak 11.11 persen. Persentase petani yang memanen padinya dengan sistem borong rendah, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: kondisi tanaman padi yang kurang baik, sehingga tengkulak tidak mau memborong karena dianggap kurang menguntungkan, namun terdapat pula petani yang tidak mau melakukan sistem panen borong karena sudah mengerti bahwa sistem panen ini akan merugikan salah pihak. 2. Tujuan penjualan gabah Dalam pelatihan SLPTT, selain diberikan pelatihan mengenai budidaya tanaman padi, petani peserta yang umumnya sudah tergabung dalam kelompok tani juga diberikan pengetahuan mengenai manajemen usahatani, diantaranya yaitu dengan memotivasi petani untuk menjual produk dalam bentuk nilai yang lebih tinggi, misalnya gabah kering giling atau beras. Hasil penelitian di lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani yakni sebanyak 76.19 persen menjual hasil panennya berupa gabah basah kepada tengkulak. Tengkulak melakukan pengolahan pasca panen gabah selanjutnya, sehingga keuntungan dari pertambahan nilai produk diambil oleh tengkulak. 3. Intensitas kehadiran SLPTT Penyampaian dan praktek langsung teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dilakukan dalam wadah Sekolah Lapang (SL). Jumlah total pertemuan dalam SLPTT bervariasi antar kelompok tani sampel, yakni 8 -10 pertemuan. Intensitas kehadiran SLPTT merupakan perbandingan antara jumlah pertemuan SLPTT yang dihadiri oleh petani sampel dengan jumlah pertemuan total SLPTT yang dilaksanakan di kelompok tani, di mana nilai intensitas paling rendah adalah 0.1, dan nilai maksimum adalah 1 jika petani menghadiri seluruh pertemuan SLPTT yang diselenggarakan. Intensitas kehadiran petani dalam SLPTT di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang cukup bervariasi, namun dapat digolongkan rendah, sebab persentase jumlah petani dengan intensitas kehadiran ≤ 0.5 lebih tinggi daripada persentase jumlah petani dengan intensitas kehadiran > 0.5. Sebagian besar petani sampel rata-rata memiliki intensitas kehadiran SLPTT 0.26 – 0.50, yaitu sebanyak 38.71 persen. Adapun petani dengan Intensitas kehadiran SLPTT yang tinggi umumnya pengurus inti kelompok tani, yaitu ketua, sekretaris, dan bendahara kelompok. Penyebab rendahnya intensitas kehadiran petani dalam SLPTT diantaranya adalah rendahnya motivasi petani dalam mengikuti pelatihan. 4. Keikutsertaan dalam pelatihan lain di luar SLPTT Informasi mengenai teknologi budidaya dan manajemen usahatani tidak hanya dapat diperoleh petani melalui SLPTT. Beberapa petani yang aktif mendapatkan informasi dari sumber lainnya, di antaranya pelatihan pertanian
40
di luar SLPTT yang diadakan baik oleh Balai Pengembangan Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan, maupun oleh pihak luar seperti institusi pendidikan dan organisasi masyarakat. Semakin banyak informasi yang diterima oleh petani, maka petani akan semakin termotivasi untuk menerapkan teknologi yang disampaikan dalam berbagai pelatihan tersebut. Namun, akses terhadap informasi mengenai pelatihan pertanian di luar SLPTT di Kabupaten Cianjur masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah petani yang pernah mengikuti pelatihan pertanian di luar SLPTT yang rendah, yakni sebesar 17.74 persen. Sisanya 82.26 persen memperoleh informasi mengenai budidaya dan manajemen pertanian hanya dari SLPTT. 5. Mendapatkan bantuan saprodi Program SLPTT memberikan pengetahuan teknologi PTT melalui teori dan praktek langsung, serta bantuan sarana produksi pertanian sebagai insentif bagi petani untuk menerapkan teknologi tersebut. Namun, tidak semua petani yang telah mengikuti pelatihan SLPTT menerima bantuan saprodi dalam jumlah dan bentuk yang sama. Hal ini terjadi karena keterbatasan dana dan tujuan utama pelaksanaan SLPTT bukanlah untuk menyalurkan bantuan saprodi kepada petani. Untuk petani peserta SLPTT model, seluruh petani yang ikut serta dalam pelatihan (umumnya tergabung dalam 1 kelompok tani) mendapatkan bantuan input produksi berupa benih dan pupuk organik, namun untuk petani peserta SLPTT reguler, yang mendapatkan bantuan input produksi adalah petani peserta yang lahan sawahnya termasuk dalam lahan laboratorium (LL) seluas 1 hektar. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel, sebagian besar petani yakni sebesar 77.42 persen mendapatkan bantuan input produksi, namun dalam jumlah dan bentuk bantuan yang berbeda-beda. Keragaan Usahatani Padi Teknik budidaya padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang tidak jauh berbeda dengan teknik budidaya padi pada umumnya, yakni terdiri dari tujuh tahap: persiapan lahan, persemaian, penanaman, pengairan, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, dan pemanenan. Pada masing-masing tahapan budidaya padi, terdapat teknologi anjuran Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam budidaya padi di lokasi penelitian: 1. Persiapan Lahan Tahapan persiapan lahan merupakan kegiatan mempersiapkan lahan sejak setelah didiamkan pasca panen sampai siap ditanam.Tahapan persiapan lahan terdiri dari beberapa aktivitas, yaitu mengawurkan jerami, menetan, membajak lahan menggunakan traktor, meratakan tanah, menggenangi sawah dengan air, mengeringkan sawah, dan membuat garis untuk jarak tanam benih padi. Tahapan pertama dalam persiapan lahan adalah menyebarkan jerami sisa hasil panen ke lahan sawah menggunakan gacokan. Aktivitas menyebarkan jerami ke lahan sawah dapat dilihat pada Gambar 6. Jerami didiamkan kurang lebih 2 minggu sampai membusuk dan menyatu dengan tanah. Jerami yang dibusukkan ini berfungsi sebagai pupuk organik untuk mengembalikan unsur hara pada sawah. Hal ini disebabkan jerami mengandung unsur K, dan jika digunakan dalam jumlah yang sesuai anjuran dapat mengurangi penggunaan
41
pupuk kimia yang mengandung unsur K, yaitu pupuk KCl dan NPK (BPTP 2011). Meskipun para petani sampel umumnya sudah mengetahui mengenai manfaat jerami dari pelatihan SLPTT yang diikuti, tidak semua petani memanfaatkan jerami sebagai sisa hasil panen padi. Berdasarkan hasil wawancara di lokasi penelitian, terdapat sekitar 6 persen petani yang membakar sebagian jerami di sawah, tidak membiarkan pembusukan jerami terjadi secara alami, dan 3 persen petani yang membakar seluruh jerami, serta tidak menyebarkannya secara merata ke seluruh sawah sehingga kandungan unsur hara dalam jerami hilang. Selama menunggu jerami yang disebarkan menyatu dengan tanah, aktivitas pengolahan lahan lainnya dilakukan. Aktivitas yang berikutnya dilakukan adalah menetan. Menetan merupakan kegiatan membuat pematang sawah menggunakan cangkul, serta membersihkan rumputrumput liar yang terdapat di tepi sawah.
Gambar 6 Aktivitas menyebarkan jerami ke sawah Sekitar 15 hari setelah jerami disebar (atau ketika benih sudah berusia 15 hari setelah tanam) dan jerami sudah membusuk, lahan sawah dibajak menggunakan traktor. Kegiatan membajak sawah dengan traktor terdapat pada Gambar 7.
Gambar 7 Membajak sawah dengan traktor Rata-rata biaya sewa traktor termasuk upah borongan pekerjanya dan bahan bakar solar adalah sebesar Rp 70 000 – Rp 100 000 / 1 000 m2. Sebagian besar petani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang sudah menggunakan traktor untuk membajak sawahnya, hanya sebagian kecil petani yang masih menggunakan cangkul untuk membajak sawahnya, yakni petani yang luas garapan sawahnya kurang dari 1 000 m2.
42
Selanjutnya, lahan sawah yang sudah dibajak diratakan menggunakan sorongan, kemudian digenangi melalui saluran air (kemalir) selama 3 hari. Proses terakhir adalah pengeringan sawah dan membuat jarak tanam padi menggunakan caplak/garisan. Bagi petani yang menerapkan PTT secara benar, caplak umumnya dibuat sendiri sesuai dengan ukuran jarak tanam jajar legowo 2:1 yang sesuai anjuran yaitu 25 cm x 12.5 cm x 50 cm, namun sebagian besar petani menggunakan caplak dengan ukuran tegel, yaitu 25 cm x 25 cm. Kegiatan membuat garis tanam dengan jarak tanam tegel dapat dilihat pada Gambar 8. Tahapan persiapan lahan ini umumnya selesai dikerjakan bersamaan dengan umur benih 20-25 hari setelah sebar.
Gambar 8 Pembuatan garis tanam dengan caplak 2. Persemaian Membuat persemaian merupakan aktivitas yang dilakukan bersamaan dengan aktivitas persiapan lahan. Sebelum benih disebar, teknologi PTT menganjurkan dilakukan uji benih terlebih dahulu untuk menyeleksi benih yang berisi dan dapat tumbuh dengan baik. Proses uji benih dilakukan dengan larutan air dan garam yang di dalamnya terdapat telur. Ketika telur yang dimasukkan ke dalam larutan garam telah mengambang, mengindikasikan bahwa larutan tersebut siap untuk dilakukan uji benih. Ketika telur sudah mengambang, maka telur dikeluarkan dari larutan, kemudian benih yang akan disebar dimasukkan ke dalam larutan tersebut. Benih diaduk secara perlahan, benih yang kualitasnya baik dan siap disebar adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut. Adapun benih yang terapung menunjukkan bahwa benih tersebut kosong dan tidak dapat tumbuh ketika disemai.Tujuan proses uji benih adalah untuk memastikan bahwa benih yang disebar adalah benih dengan kualitas terbaik. Proses uji benih ini hanya diterapkan oleh 2 dari 62 petani sampel. Petani lainnya melakukan proses uji benih namun tidak sesuai anjuran, yaitu dengan merendam benih ke dalam air biasa. Petani lainnya bahkan tidak melakukan uji benih sama sekali yakni dengan langsung menyebar benih yang dibeli dari toko, ataupun dengan memilih benih yang tidak keluar ketika sedang ditampah dengan penampah beras. Tidak dilakukannya uji benih merupakan salah satu penyebab banyaknya benih sebar yang tidak tumbuh dengan baik. Pada lahan sawah tertentu yang terdapat banyak cacing, beberapa petani merendam benih
43
yang hendak disebar dengan furadan untuk mencegah benih padi yang disebar dimakan oleh cacing. Teknologi PTT menganjurkan untuk menyemai benih di tanah kering yang diletakkan di atas nampan. Namun tidak ada petani sampel yang mengikuti anjuran tersebut karena dirasakan tidak praktis dan tidak memberikan manfaat yang signifikan terhadap pertumbuhan benih dibandingkan jika benih disemai langsung di sawah. Jika benih disemai langsung di persemaian sawah, luas persemaian benih yang dianjurkan oleh PPL adalah 4 persen dari luas tanam padi, misalnya untuk luas tanam 10 000 m2, maka luas persemaiannya adalah 400 m2, hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan benih di lahan yang lebih luas dan tidak terlalu padat. Namun penerapan di lapang menunjukkan tidak ada petani yang mengikuti anjuran tersebut. Seluruh petani sampel masih menyebar benih di lahan yang sempit, sekitar 1 persen dari luas tanam padi keseluruhan. Jumlah benih yang optimal untuk disebar sesuai ketentuan teknologi PTT adalah sebanyak 25 kg/hektar. Namun petani peserta program SLPTT menyatakan jumlah tersebut tidak mencukupi untuk luas tanam satu hektar, di antaranya: tidak seluruh benih yang disemai tumbuh menjadi bibit (ada benih yang mati), banyaknya hama berupa keong yang memakan bibit yang telah ditanam di lahan tanam sehingga perlu adanya cadangan bibit, serta sebagian besar petani peserta program PTT tidak mengikuti aturan tanam bibit yakni 2-3 rumpun per lubang tanam, tetapi menanam 4-6 rumpun bibit per lubang tanam. Sebelum benih disebar, persemaian telah ditaburi pupuk organik untuk menyuburkan tanah dan mendorong pertumbuhan benih menjadi bibit. Setelah benih disebar, lahan pembenihan ditutup dengan plastik untuk melindungi pembenihan agar tidak rusak oleh cuaca. Ketentuan umur persemaian benih adalah sekitar 15 - 21 hari. Sebagian besar petani sampel telah menananam bibit sesuai umur yang dianjurkan. Setelah benih yang disemai mencapai umur 15-21 hari, bibit dicabut dari persemaian untuk selanjutnya ditanam pada lahan sawah yang telah selesai digarap. Kegiatan mencabut bibit padi yang siap tanam terdapat pada Gambar 9.
Gambar 9 Kegiatan mencabut bibit 3. Penanaman Salah satu komponen teknologi PTT adalah menerapkan sistem tanam jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo adalah pola tanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat) baris tanaman padi dan satu
44
baris kosong (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012). Tujuan dari penerapan sistem tanam ini adalah untuk meningkatkan populasi tanaman padi per hektarnya, yakni dari 160 000 rumpun/hektar dengan sistem tanam tegel (yang umumnya diterapkan oleh petani) menjadi sekitar 170 000 rumpun/hektar ha dengan sistem tanam legowo 4, bahkan 231 000 rumpun/hektar ha dengan legowo 2 serta mengoptimalkan unsur hara dan cahaya matahari yang dapat diserap oleh tanaman padi. Dari 62 petani sampel, sebanyak 14.51 persen yang mengikuti anjuran teknologi PTT dengan menerapkan jarak tanam jajar legowo 2, sementara petani lainnya memodifikasi jarak tanam jajar legowo 2 menjadi jajar legowo 3, 4, dan 5, namun adapula petani yang tetap bertahan menerapkan jarak tanam tegel. Kegiatan menanam bibit padi secara tegel dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Aktivitas penanaman secara tegel Salah satu penyebab petani enggan menerapkan jarak tanam jajar legowo 2 adalah ketidaktersediaan tenaga kerja yang terampil. Buruh tanam umumnya terbiasa dengan jarak tanam tegel, sehingga untuk menerapkan jarak tanam jajar legowo 2 akan memerlukan waktu pengerjaan yang lebih lama, sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan melebihi jumlah tenaga kerja yang digunakan jika menerapkan jarak tanam tegel. Contoh petani yang telah menerapkan jarak tanam jajar legowo 3 terdapat pada Gambar 11.
Gambar 11 Jarak tanam jajar legowo 3 4. Pengairan Jenis padi yang terdapat di lokasi penelitian merupakan padi sawah irigasi. Oleh karena itu sumber pengairan sawah berasal dari sungai dan mata air
45
pegunungan yang sebagian dikelola oleh mitra cai (ulu-ulu) dan sebagian lagi oleh petani sendiri. Teknologi PTT menganjurkan pengairan secara efektif dan efisien yang menggunakan indikator paralon, untuk mengetahui apakah air masih terdapat di sawah meskipun tidak terlihat. Teknik pengairan dapat dilakukan secara berselang, gilir-giring, gilir-glontor, macak-macak, dan basah-kering. Pengairan di lokasi penelitian sebagian besar menerapkan teknik pengairan berselang, meskipun terdapat pula sebagian petani yang menerapkan sistem pengairan yang lebih sering tergenang. Teknik pengairan berselang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: selama 3 hari setelah bibit padi ditanam, sawah dikeringkan, setelah itu, sawah dialirkan sedikit air sampai lahan sawah terlihat macak-macak. Kondisi sawah dengan air macak-macak ini dilakukan sampai tanaman padi berumur 30 HST. Setelah tanaman padi berumur 30 HST, sawah kembali dikeringkan sampai berumur 40 HST atau bersamaan dengan dilakukannya ngarambet (penyiangan) kedua. Setelah penyiangan selesai dilakukan, sawah kembali digenangi air dengan tinggi sekitar 2-3 cm, namun pada hari-hari selanjutnya volume air dinaikkan menjadi 5-6 cm. Setelah itu setiap 10 hari sekali sawah dikeringkan, kemudian digenangi kembali sampai padi berumur 70 HST. Pada saat padi berumur 70 HST, sawah dikeringkan sampai tiba waktu panen. 5. Penyiangan Aktivitas penyiangan rumput liar dalam usahatani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang terdiri dari kegiatan ngabutik, ngarambet, dan ngagedag. Ngabutik merupakan kegiatan membersihkan rumput liar dan semak-semak di pinggir pematang sawah maupun di lahan tanam sawah menggunakan parang serta dilakukan oleh tenaga kerja pria.Ngabutik umumnya dilakukan dua kali dalam satu musim tanam padi, yakni sebelum tanam bibit serta pada saat dilakukan ngarambet II. Kegiatan ngabutik bertujuan untuk membersihkan semak-semak yang menghalangi pandangan petani, sehingga petani dapat melihat jelas apabila terdapat hama yang sedang menyerang sawah, seperti keong dan tikus. Kegiatan ngarambet dan ngagedag dilakukan secara bersamaan, oleh tenaga kerja perempuan. Ngarambet merupakan kegiatan mencabut rumput-rumput liar yang terdapat di sela-sela tanaman padi, kemudian mengacak-acak rumput yang sudah dicabut tersebut dengan pupuk yang sudah ditaburkan. Setelah pupuk dan rumput diacak-acak, kemudian digedag, atau dipukul-pukul supaya meresap ke dalam tanah dan tanaman. Inilah yang disebut dengan istilah ngagedag. Aktivitas ngarambet dapat dilakukan 2-3 kali dalam satu musim tanam padi, bergantung pada jumlah rumput liar yang terdapat di sela-sela tanaman padi. Ngarambet I dilakukan pada saat 15-25 hari setelah tanam (HST), Ngarambet II dilakukan saat tanaman padi berusia 45 HST, selanjutnya jika masih terdapat banyak rumput saat padi mulai menguning, ngarambet III dilakukan pada saat 90 HST. Aturan yang ditetapkan dalam komponen teknologi PTT adalah ngarambet dengan alat, berupa lalandak/gasrok. Hal ini bertujuan untuk mengurangi biaya, yakni tenaga kerja, karena dengan gasrok kegiatan ngarambet menjadi lebih cepat dan dapat dilakukan oleh petani tersebut sendiri tanpa mempekerjakan buruh tani. Di samping itu, ngarambet dengan gasrok membuat tanah lebih gembur. Namun kondisi di lapang menunjukkan seluruh petani melakukan
46
aktivitas penyiangan secara manual dengan tangan. Petani mengungkapkan bahwa pada musim hujan kondisi tanah tidak terlalu keras, sehingga penyiangan dengan tangan masih dapat dilakukan. 6. Pemupukan Aturan pemupukan yang diberikan dalam teknologi PTT adalah melakukan pemupukan berimbang dengan memperhatikan bagan warna daun (BWD). BWD merupakan alat skala warna yang terbuat dari plastik, terdiri atas enam skala warna mulai dari skala 1 dengan warna hijau kekuningan hingga skala 6 dengan warna hijau tua, dan berukuran 7 cm x 19,50 cm. Alat ini digunakan untuk mendeteksi status kandungan Nitrogen (N) pada tanaman padi. Alat ini merupakan bantuan alat ukur bagi petani untuk menentukan kapan dan berapa jumlah pupuk yang sebaiknya diberikan pada tanaman. Teknologi ini diperlukan sebab petani padi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap penggunaan pupuk urea yang memiliki kandungan N yang cukup tinggi, di mana kandungan N yang berlebihan dalam tanah dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan (Wahid 2003). Untuk memudahkan petani dalam menerapkan pemupukan berimbang dalam usahatani, Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang telah menentukan waktu, jumlah, dan jenis pupuk yang harus digunakan oleh petani padi setempat. Namun, meskipun petani telah diberikan dilakukan dengan sebanyak tiga kali dengan komposisi pupuk yang seimbang, sebagian besar petani sampel belum menerapakan pemupukan berimbang dalam usahatani padi. Pemupukan seharusnya dilakukan sebanyak 3 kali, dengan ketentuan pemupukan pertama merupakan pemupukan dasar yang dilakukan sebelum sawah akan dibajak di mana pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang/organik dan pupuk urea. Pemupukan kedua dilakukan saat tanaman berumur 15 HST dengan komposisi pupuk NPK Phonska dan Urea. Selanjutnya pemupukan ketiga dilakukan saat tanaman berumur 45 HST dengan komposisi pupuk NPK Phonska dan Urea. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar petani sampel masih melakukan pemupukan sebanyak 2 kali, tanpa melakukan pemupukan dasar. 7. Pengendalian hama Petani di lokasi penelitian melakukan pengendalian hama dengan berbagai cara. Beberapa cara yang ditempuh petani dalam mengendalikan dan mencegah munculnya hama adalah dengan melakukan pengamatan, penangkapan dan pembersihan dengan tangan, pembuatan obat organik dengan bahan-bahan dan sampah rumah tangga, namun yang paling banyak dilakukan adalah penyemprotan tanaman dengan obat-obatan kimiawi. Obat-obatan yang umumnya digunakan berupa insektisida bermerek Furadan untuk mengurangi jumlah cacing dalam tanah, Rizotin, Decis, dan Mipcinta untuk mengurangi hama wereng, penggerek batang, walang sangit, dan ulat. Selain insektisida, petani juga umumnya menggunakan fungisida Score untuk memberantas penyakit bercak daun dan tungro. Penyemprotan obat-obatan dilakukan secara bervariasi oleh para petani, menyesuaikan dengan kondisi hama di lahan. Namun secara umum, penyemprotan dilakukan sebanyak 2 – 5 kali, di mulai pada umur 15 HST sampai 90 HST.
47
Gambar 12 Bahan organik untuk membuat MOL Pengendalian hama secara alami oleh petani diantaranya dilakukan dengan membuat cairan mikroorganisme lokal (MOL). Gambar 12 menunjukkan bahan-bahan organik yang digunakan untuk membuat MOL. MOL yang digunakan terbuat dari bahan-bahan alami air beras, bonggol pisang, rumput hasil penyiangan sawah, air kelapa, gula merah, rebung, pelepah daun pisang, bawang merah dan sampah rumah tangga lainnya yang diendapkan dalam kumpan/jerigen dan dibiarkan membusuk selama beberapa minggu. MOL berfungsi sebagai pupuk organik, perangsang pertumbuhan, serta fungisida alami sebab memiliki bau yang menyengat dan mampu mengusir hama padi. Cairan MOL yang sudah jadi dan siap digunakan terdapat pada Gambar 13.
Gambar 13 MOL yang sudah jadi Untuk petani yang menggunakan 100 persen bahan alami untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman, penyemprotan cairan MOL (mikroorganisme lokal) dilakukan setiap 3 hari sekali selama masa tanam padi, dari umur 7 HST sampai 80 HST. 8. Pemanenan Sistem panen padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang dibagi menjadi 2, yakni dengan sistem jual bukti kepada tengkulak dan sistem tebas, di mana tengkulak dan petani melakukan taksiran terhadap hasil panen tanpa menimbang hasil panen yang sesungguhnya diperoleh. Sistem yang kedua ini dapat merugikan salah satu pihak, ketika taksiran produksi tidak sesuai dengan kenyataan setelah gabah hasil panen ditimbang. Berdasarkan anjuran teknologi PTT, panen harus dilakukan tepat waktu, dengan indikator sebagai berikut: 1) umur varietas yang tercantum di deskripsi varietas benih padi, 2) kadar air 21-26 persen, 3) saat 30 -35 hari setelah
48
tanaman berbunga, 4) penampakan malai 90-95 persen gabah telah berwarna kuning (BPTP 2011). Panen tepat waktu bertujuan untuk menghindari banyaknya gabah yang hampa/kosong, gabah hijau, butir kapur, dan banyaknya kehilangan hasil akibat gabah yang telah rontok sebelum dipanen.Petani di lokasi penelitian umumnya melakukan kegiatan panen pada saat tanaman padi berumur 90 - 120 HST. Proses panen masih dilakukan secara konvensional, yakni panen dilakukan oleh buruh panen menggunakan sabit biasa dengan upah Rp 300/kg. Setelah selesai disabit, tanaman padi ditumpuk dan diendapkan semalam, kemudian keesokan harinya gabah dirontokkan secara manual dengan cara dibanting/dipukul. Setelah seluruh gabah rontok, petani umumnya langsung menjual gabah yang diperoleh kepada tengkulak, tanpa dijemur terlebih dahulu dengan harga jual Rp 3 000.00 sampai Rp 4 000.00/kg.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, akan dibahas mengenai tujuan-tujuan dilakukannya penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat 3 tujuan yang akan dibahas, yaitu bagaimana tingkat penerapan teknologi PTT oleh para petani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang, faktor-faktor apa saja yang memengaruhi petani dalam menerapkan teknologi PTT tersebut, serta bagaimana pengaruh teknologi PTT terhadap produksi padi di Kecamatan Gekbrong danWarungkondang. Dalam sub bab penerapan teknologi Pengelolaaan Tanaman Terpadu (PTT) akan dideskripsikan mengenai teknis pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang, bagaimana cara penyampaian teknologi kepada petani, teknologi apa saja yang dianjurkan oleh penyuluh, bantuan apa saja yang diperoleh petani dalam mengikuti SLPTT, sejauh mana petani peserta SLPTT padi masih menerapkan komponenkomponen teknologi yang dianjurkan, serta kendala yang dihadapi oleh petani dalam menerapkan teknologi PTT. Pengukuran sejauh mana teknologi PTT masih diterapkan oleh para petani padi dilakukan dengan metode scoring yang diturunkan dari 13 komponen teknologi PTT yang terdapat dalam Petunjuk Teknis SLPTT Padi 2013. Pada sub bab kedua, dilakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani dengan model regresi linear berganda. Analisis ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan penerapan teknologi PTT pada program-program selanjutnya. Analisis faktorfaktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT dilakukan dengan model regresi linear berganda. Pada sub bab ketiga, dilakukan analisis bagaimana pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap produksi padi. Untuk menganalisis pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap produksi padi menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi PTT padi oleh para petani, perlu dideskripsikan mengenai bagaimana teknologi PTT disalurkan kepada masyarakat, yakni melalui program SLPTT padi dari pemerintah, apa tujuan
49
penyaluran teknologi PTT melalui SLPTT, bagaimana teknis penyaluran teknologi dari pemerintah, dan bagaimana kondisi penyaluran teknologi PTT yang terjadi di lokasi penelitian. Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan pendekatan dalam upaya mengelola lahan,air, tanaman, OPT dan iklim secara terpadu dan dapat diterapkan secara berkelanjutan. PTT dapat diilustrasikan sebagai sistem pengelolaan yang menggabungkanberbagai sub sistem pengelolaan, seperti sub sistem pengelolaan unsur hara tanaman, konservasi tanah dan air, bahan organik danorganisme tanah, tanaman (benih, varietas, bibit, populasitanaman dan jarak tanam), pengendalian hama dan penyakit, dan sumberdaya manusia (BPTP 2011). Berdasarkan paket teknologi yang telah dikeluarkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, teknologi PTT terdiri dari 6 komponen teknologi dasar dan 7 komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar diharapkan memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap peningkatan produksi padi dibandingkan teknologi pilihan. Namun, berdasarkan sifat teknologi PTT yang spesifik lokasi, maka komponen teknologi pilihan dapat menjadi komponen teknologi dasar dan begitu pula sebaliknya. Komponen teknologi dasar PTT yang dianjurkan oleh BPTP adalah: 1) Benih Varietas Unggul Baru (VUB), 2) Benih bermutu dan berlabel, 3) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, 4) Pengenalian organism pengganggu tanaman (OPT) melalu pengendalian hama terpadu (PHT), 5) Pengaturan populasi secara optimum, 6) Pemberian bahan organik berupa pengembalian jerami dan/atau pemberian pupuk organik /kandang ke sawah. Sementara itu, komponen teknologi pilihan PTT terdiri dari: 1) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, 2) menggunakan bibit muda berusia kurang dari 21 hari, 3) tanam 1-3 batang bibit padi per lubang tanam, 4) Pengairan secara efektif dan efisien, 5) Penyiangan menggunakan landak/gasrok, 6) Panen tepat waktu, 7) Perontokan gabah sesegera mungkin. Teknologi PTT disalurkan oleh pemerintah melalui media pembelajaran informal sekolah lapang yang dikenal dengan istilah Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). SLPTT adalah salah satu metode penyuluhan, proses diseminasi atau proses tranformasi informasi dan teknologi PTT sebagai tempat belajar non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menggali permasalahan, mengenali potensi/peluang, menyususn rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan, menerapkan teknologi, mengevaluasi dan memperbaiki teknologi sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara berkelanjutan. Dalam SLPTT ditekankan prinsip bahwa petani harus langsung mempraktekkan teknologi yang dianjurkan serta menemukan sendiri pemecahan masalah usahatani yang seringkali dihadapi dengan memodifikasi teknologi anjuran PTT. Oleh karena itu, teknologi PTT yang dianjurkan kepada petani berbeda-beda antar lokasi dengan kondisi ekosistem yang berbeda, berdasarkan sifat teknologi PTT yang spesifik lokasi. Materi SLPTT di Kabupaten Cianjur tahun 2012 terdapat pada Tabel 5.
50
Tabel 5 Rincian materi Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadua Pertemuan ke1 (5 minggu sebelum tanam) 2 (4 minggu sebelum tanam)
Tujuan kegiatan Perkenalan, penyusunan rencana usahatani kelompok (RUK). Pembuatan mikroorganisme lokal (MOL) dan kompos, Pengolahan lahan,
3 (3 minggu sebelum tanam)
Seleksi benih, pembuatan persemaian, tabur benih
4 (1 minggu sebelum tanam)
Penjelasan jajar legowo, bibit muda, pemupukan berimbang, dan jumlah bibit padi 1-3.
5 (hari penanaman)
Penanaman dengan jarak tanam jajar legowo 2:1, bibit muda dengan umur kurang dari 21 hari, jumlah bibit 1-3 batang per rumpun, pemupukan dasar.
6 (14 HST)
Pengamatan OPT, pengaturan pengairan
Kegiatan yang dilakukan -
Menyusun RUK: luas lahan, lokasi lahan, jumlah input, jumlah pertemuan SL.
- Membuat MOL dari: bonggol pisang, air beras, daun suren, rebung, air kelapa, ubi; kompos dari jerami dan decomposer. - Melakukan pengolahan lahan LL, pemberian kompos pada sawah, perataan tanah dengan sorongan - Proses seleksi benih dengan larutan air, garam, dan telur. - Persemaian di nampan dengan tanah kering, menggunakan benih padi lolos. - Penjelasan mengenai komponenkomponen yang terdapat dalam teknologi PTT secara teoritis dengan bantuan alat peraga. - Melakukan penanaman di lahan LL sesuai anjuran teknologi PTT
- Melakukan pengamatan tanaman dan organisme apa saja yang terdapat di sekitar tanaman dan lahan sawah, serta dampaknya terhadap tanaman (serangga, cacing). Menggambar jenis OPT yang ditemui, kemudian berdiskusi bersama penyuluh untuk mencari solusi - Melakukan penggenangan air 2 cm. 7 (21 HST) Pengamatan OPT, penyiangan - Melakukan pengamatan HPT gulma, pemupukan - Melakukan penyiangan gulma berdasarkan BWD, pengaturan - Melakukan pemupukan sesuai anjuran air. - Air di sawah mulai dikeringkan 8 (42 HST Pengamatan OPT, penyiangan - Perlakuan yang diberikan sama dengan dan 56 HST) gulma, pemupukan pertemuan ketujuh, kecuali penyiangan berdasarkan BWD, pengaturan gulma air. - Melakukan pengairan berselang 9 (84 HST) Pengamatan OPT, pengaturan - Perlakuan yang diberikan sama dengan air pertemuan keenam, kecuali penyiangan gulma - Sawah dikeringkan bersiap untuk panen 10 (100 – 110 Panen - Melakukan panen dengan sabit HST) - Melakukan pengolahan pasca panen dengan merontokkan, dan menjemur gabah a Sumber: Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikutura Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang 2012
Penyampaian teknologi PTT dilakukan di 2 lokasi, yaitu di tempat pertemuan kelompok tani, yang umumnya berada di rumah pengurus kelompok tani, serta di lahan LL. Teknologi PTT disampaikan dan dipraktekkan langsung oleh petani
51
dalam 4 - 10 pertemuan, bergantung pada kesepakatan antara penyuluh dan kelompok tani serta jenis kawasan lahan pertanian SLPTT. Satu unit SLPTT terdiri dari satu kelompok tani yang dianjurkan terdiri dari petani yang lahan sawahnya merupakan satu hamparan dan seluas 25 hektar. Dalam setiap SLPTT terdapat lahan Laboratorium Lapang (LL) seluas 1 hektar yang digunakan sebagai lokasi mempraktekkan teknologi PTT. Dalam pelaksanaan SLPTT, petani peserta mendapatkan bantuan saprodi untuk menunjang penerapan teknologi PTT anjuran. Bentuk dan besar bantuan saprodi yang diterima oleh kelompok tani berdasarkan pada jenis bantuan program SLPTT yang diperoleh serta jenis kawasan lahan pertanian yang menjadi peserta program SLPTT. Terdapat 2 jenis SLPTT padi, yaitu SLPTT model dan SLPTT reguler. Dalam SLPTT model, seluruh anggota kelompok tani peserta SLPTT mendapatkan bantuan input produksi berupa pupuk Urea, pupuk NPK, pupuk Organik, pupuk organik cair, dan obat-obatan kimia, serta beberapa sarana produksi yang dapat digunakan secara bergiliran dalam satu kelompok yang terdiri dari traktor, sprayer, dan tresher (alat perontok gabah). Adapun untuk kelompok tani penerima bantuan SLPTT reguler, maka yang mendapatkan bantuan input adalah petani yang sawahnya termasuk lahan LL seluas 1 hektar, dan tidak mendapatkan sarana produksi. Pada lokasi penelitian, terdapat 1 kelompok tani yang mendapat bantuan program SLPTT model dan 7 kelompok tani yang mendapat bantuan program SLPTT reguler. Pertemuan sekolah lapang di lokasi penelitian dilakukan pada hari Jumat, sebab pada hari tersebut merupakan hari libur bagi para petani untuk tidak ke sawah. Pertemuan dilaksanakan di rumah/saung kelompok tani dan lahan LL yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal para anggota kelompok tani, hal ini bertujuan untuk memudahkan para petani untuk menjangkau lokasi dan menghadiri sekolah lapang. Meskipun pelaksanaan sekolah lapang dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara penyuluh, pengurus kelompok, dan anggota kelompok tani, tidak seluruh anggota kelompok berkomitmen mengikuti pelatihan. Fenomena yang terjadi adalah sebagian besar anggota kelompok hadir pada 1-2 pertemuan awal dari sekolah lapang, namun untuk pertemuan selanjutnya jumlah anggota kelompok yang hadir semakin sedikit. Kecenderungan yang terjadi adalah pengurus kelompok tani yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara yang menghadiri pelatihan sekolah lapang dari awal sampai akhir. Akibatnya, informasi mengenai teknologi PTT padi tidak diterima dan dipahami secara utuh oleh para petani, yang mengakibatkan rendahnya tingkat penerapan teknologi PTT padi oleh petani. Beberapa alasan petani tidak menghadiri pelatihan SLPTT dari awal sampai akhir adalah malas, berlangsungnya program yang tidak bersamaan dengan musim tanam yang sedang berlangsung, tidak tersedianya bantuan input untuk setiap petani, petani lain yang tidak ikut serta dalam pelatihan, atau justru ketidakhadiran dari penyuluh pertanian sendiri. Rencana pelaksanaan SLPTT adalah bersamaan dengan musim tanam di lokasi pelaksanaan. Hal ini bertujuan agar petani dapat menerapkan prinsip learning by doing, sehingga petani dapat langsung menerapkan materi yang telah diperoleh di sekolah lapang ke sawah masing-masing. Namun, kenyataan di lapang adalah realisasi program SLPTT dan turunnya bantuan input terjadi setelah musim tanam berlangsung, akibatnya petani sudah melakukan pengolahan lahan, pembenihan, dan tanam bibit terlebih dahulu. Pelaksanaan program SLPTT yang tidak tepat
52
waktu merupakan salah satu penyebab petani enggan mengikuti pelatihan dalam sekolah lapang. Hal ini dikarenakan materi yang diterima petani di sekolah lapang tidak dapat langsung dipraktekkan di lahan petani tersebut, sehingga apa yang disampaikan tidak diingat oleh petani. Untuk mengingat teknologi PTT, petani dapat menuliskan materi dalam buku, namun dengan tingkat pendidikan petani yang rendah, tidak semua petani memiliki keterampilan membaca dan menulis yang baik. Turunnya bantuan yang tidak tepat waktu juga memengaruhi keengganan petani dalam mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam SLPTT. Bentuk dan jumlah bantuan yang diterima oleh para petani peserta program SLPTT padi bervariasi. Bentuk dan jumlah bantuan yang diterima oleh petani padi bergantung pada jenis kawasan lahan pertanian kelompok tani yang menjadi peserta program SLPTT, apakah termasuk kawasan pertumbuhan, pengembangan, atau pemantapan. Kawasan pertumbuhan merupakan daerah yang tingkat produktivitasnya masih di bawah produktivitas rata-rata wilayahnya (daerah-daerah sub-optimal) dan berpeluang untuk ditingkatkan misalnya melalui pergantian varietas, kawasan pengembangan merupakan daerah yang tingkat produktivitasnya sudah mencapai rata - rata produktivitas di wilayahnya akan tetapi belum sesuai dengan potensi hasil dan masih berpeluang untuk ditingkatkan misalnya dengan pergantian varietas atau mengusahakan varietas hibrida, sedangkan kawasan pemantapan adalah daerah yang tingkat produktivitasnya sudah di atas rata-rata produktivitas wilayahnya namun masih berpeluang untuk ditingkatkan melalui penggunaan varietas hibrida. Berdasarkan data Distan Kabupaten Cianjur 2013, kedua kecamatan yang menjadi lokasi penelitian tingkat produktivitas padi di atas rata-rata produktivitas padi di atas rata – rata produktivitas padi Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat, di mana produktivitas padi masing-masing kecamatan adalah sebesar 65.77 kuintal/ha dan 63.93 kuintal/ha sedangkan rata-rata produktivitas padi Kabupaten Cianjur adalah sebesar 61.76 kuintal/ha (Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur 2013), dan produktivitas padi di Provinsi Jawa Barat sebesar 59.53 kuintal/ha (BPS 2013), oleh karena itu lokasi penelitian dikategorikan dalam kawasan pemantapan (produktivitas kawasan berada di atas produktivitas provinsi). Berdasarkan pedoman Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu 2013, bantuan yang diterima oleh kawasan pemantapan adalah pupuk urea sebanyak 100 kg/ha, NPK 250 kg/ha, dan organik sebanyak 1.000 kg, yang mendapatkan bantuan adalah petani yang lahannya termasuk laboratorium lapang seluas 1 hektar, sementara petani lainnya seluas 24 hektar tidak mendapatkan bantuan saprodi. Namun untuk penerapan sekolah lapang di lokasi penelitian berlangsung sedikit berbeda dengan pedoman. Pada lokasi penelitian, terdapat 2 jenis SLPTT yakni SLPTT model dan SLPTT reguler. Bantuan berupa input dan sarana produksi diharapkan dapat menjadi insentif dan motivasi bagi petani untuk menerapkan teknologi PTT sesuai anjuran. Untuk peserta SLPTT model (kawasan pertumbuhan), seluruh anggota kelompok tani yang telah disetujui sebagai peserta SLPTT (jumlahnya sekitar 25 orang petani), masing-masing petani mendapatkan 5 kg benih, 120 kg pupuk organik, 50 kg pupuk NPK, 50 kg pupuk urea, serta cairan MOL yang telah dibuat bersama-sama di kelompok tani. Adapun sarana produksi berupa traktor, sprayer, tresher, dapat digunakan secara bergiliran. Untuk peserta SLPTT reguler (kawasan pemantapan), petani yang mendapatkan bantuan input adalah petani yang lahannya termasuk dalam wilayah 1 hektar laboratorium lapang
53
(LL). Umumnya lahan yang digunakan sebagai LL adalah lahan milik pengurus kelompok tani. Anggota kelompok tani lainnya mendapatkan cairan MOL yang telah dibuat bersama-sama. Variasi tingkat penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Penerapan teknologi PTT di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang memiliki tingkatan yang cukup bervariasi, di mana terdapat petani yang termasuk di setiap tingkatan penerapan teknologi PTT, yakni rendah, sedang, dan tinggi; meskipun sebagian besar sampel (85.48 persen) berada pada tingkat penerapan teknologi sedang (Tabel 7). Penentuan tingkat rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan nilai minimal dan maksimal yang dapat diperoleh dari pembobotan komponen teknologi PTT, di mana nilai minimal adalah 18, dan nilai maksimal 72. Adapun persentase rata-rata tingkat penerapan masing-masing komponen teknologi PTT dihitung berdasarkan rumus berikut: 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛 𝑥 100% 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛 Pembobotan diturunkan dari 13 komponen teknologi PTT dari Petunjuk Teknis SLPTT padi yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, serta telah dimodifikasi sesuai kondisi spesifik lokasi berdasarkan anjuran Balai Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang. Dari 13 komponen teknologi, terdapat 10 indikator yang dijadikan landasan ukuran pembobotan, yaitu: jarak tanam jajar legowo 2, penggunaan benih berlabel dan bermutu, penggunaan benih VUB, pemupukan berimbang, pemberian pupuk organik sebanyak 500 – 1 000 kg/hektar dan pengembalian jerami kering ke sawah, jumlah bibit 1 – 3 batang per rumpun, pengelolaan hama terpadu, pengairan secara efektif dan efisien, dan pengelolaan pasca panen. Rincian persentase rata-rata tingkat penerapan masing-masing komponen teknologi dapat dilihat pada Tabel 6: Tabel 6 Rata-rata tingkat penerapan masing-masing komponen teknologi PTT di Kabupaten Cianjur tahun 2014 Komponen teknologi PTT Benih Varietas Unggul Baru (VUB) Benih berlabel dan bermutu Bibit muda 17 – 21 hari Jumlah rumpun bibit 1-3 batang Pupuk organik sebanyak 500 – 1 000 kg/hektar dan pengembalian jerami ke sawah Pemupukan berimbang Pengairan efektif dan efisien Pengelolaan Hama Terpadu Jarak tanam jajar legowo 2 Pengelolaan panen dan pasca panen
Rata-rata tingkat penerapan (%) 97.58 62.50 91.94 75.81 72.98 56.49 46.37 47.18 43.55 50.40
54
1. Benih Varietas Unggul Baru (VUB) Berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel, komponen teknologi PTT dengan persentase paling tinggi adalah penggunaan benih varietas unggul baru (VUB) sesuai jenis benih VUB yang telah dianjurkan dalam SLPTT, yakni sebesar 97.58 persen. VUB merupakan varietas benih dengan hasil tinggi, ketahanan terhadap biotik dan abiotik, atau sifat khusus, sesuai dengan karakteristik masing-masing VUB (BPTP 2011). Menurut Balitbang Departemen Pertanian 2013, terdapat beberapa varietas benih inhibrida yang termasuk VUB dan dianjurkan digunakan dalam SLPTT padi, diantaranya Ciherang, Mekongga, Bondoyudo, Inpari 1-7, Sintanur, dan IR 64. Benih padi VUB yang digunakan di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang terdiri dari varietas Ciherang, Mekongga, IR 64, Bondoyudo, Sintanur, dan Inpari 7, dengan mayoritas penggunaan varietas Mekongga, yakni sebanyak 58.06 persen. Alasan petani memilih menggunakan benih varietas Mekongga adalah karena rasanya yang pulen, sehingga enak untuk dikonsumsi, tanamannya memiliki ketahanan terhadap hama wereng coklat dan hawar daun, serta memiliki potensi hasil yang tinggi, mencapai 8.4 ton/ha. Namun terdapat juga beberapa petani yang tidak menggunakan benih VUB dalam usahatani padinya, tetapi menggunakan varietas lokal. Tingginya persentase sampel dalam menerapkan komponen teknologi penggunaan benih VUB menunjukkan bahwa sebagian besar petani telah menerapkan komponen teknologi tersebut. Petani memiliki tingkat penerapan yang tinggi terhadap komponen teknologi penggunaan benih VUB sebab komponen teknologi ini relatif mudah diterapkan (tidak memerlukan keahlian khusus), tidak memerlukan biaya tambahan, dan ketersediaan benih VUB yang mudah didapatkan. Sementara petani sampel lainnya, sebanyak 2.42 persen tidak menggunakan benih VUB dengan alasan ingin mencoba benih varietas lain, serta berdasarkan hasil pengamatan terhadap hasil padi dari petani lainnya. 2. Benih berlabel dan bermutu Di sisi lain, meskipun sebagian besar petani menggunakan benih VUB, tidak berarti benih VUB yang digunakan petani tersebut bermutu dan bersertifikat, karena sebagian petani menggunakan benih VUB yang berasal dari hasil panen 2 musim sebelumnya, sedangkan jenis benih padi yang beredar di kalangan petani adalah BS (benih sebar) yang hanya dapat digunakan untuk 1 kali musim tanam (tidak dapat digunakan kembali). Hal ini dapat dilihat dari persentase tingkat penerapan komponen teknologi penggunaan benih berlabel dan bermutu yang tidak setinggi komponen teknologi penggunaan benih VUB, yakni sebesar 62.50 persen. Dari angka tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar petani telah menggunakan benih berlabel dan bermutu yang diperoleh dari toko saprodi terdekat atau petani penangkar benih bersertifikasi, sementara sebagian petani lainnya memilih untuk menggunakan benih yang dibuat sendiri, menggunakan gabah kualitas terbaik yang telah diseleksi yang berasal dari hasil panen 2 musim tanam sebelumnya. Alasan petani yang tidak menggunakan benih VUB yang berlabel dan bersertifikat diantaranya ketiadaan biaya untuk membeli benih bersertifikat, serta kualitas benih yang tidak maksimal meskipun bersertifikat dan dibeli di toko saprodi. Tidak optimalnya persentase penggunaan benih berlabel dan
55
bersertifikat, serta kualitas benih bersertifikat yang kurang baik diduga berdampak pada tidak signifikannya pengaruh benih terhadap produksi padi. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan kontrol kualitas benih bersertifikat kepada para produsen benih maupun toko penyedia saprodi pertanian, agar kualitas benih bersertifikat dapat terjamin dan petani lebih termotivasi menggunakannya. 3. Bibit muda 17 – 21 hari Komponen teknologi PTT selanjutnya yang memiliki persentase tingkat penerapan yang tinggi adalah penggunaan bibit muda berusia 17 – 21 hari, dengan rata-rata persentase tingkat penerapan sebesar 91.94 persen. Penanaman bibit muda bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan bibit padi di lahan tanam, sebab bibit berusia muda lebih tahan menghadapi stres akibat pencabutan bibit di pesemaian, pengangkutan dan penanaman kembali dibandingkan dengan bibit berusia tua. Selain itu, bibit muda juga memiliki kadar nitrogen yang lebih tinggi di daunnya dibandingkan bibit yang lebih tua, sehingga daunnya berwarna lebih hijau. Sebelum adanya program SLPTT, petani cenderung menanam bibit padi dengan usia tua, yakni 25 – 30 hari. Setelah petani mengetahui teknologi PTT, petani mulai menanam bibit muda dengan umur kurang dari 21 hari. Pada mulanya petani diperkenalkan untuk menanam bibit muda dengan usia 7 hari, namun petani kurang sepakat sebab bibit padi dengan umur tersebut masih lemah batang sehingga habis dikonsumsi oleh hama keong ketika ditanam di lahan sawah. Setelah berdiskusi bersama dengan penyuluh, petani menyepakati untuk menanam bibit muda dengan umur maksimal 21 hari. Penanaman bibit muda memiliki konsekuensi yaitu memerlukan pemeliharaan tanaman yang lebih intens, diantaranya untuk menjaga agar bibit tidak habis oleh hama keong sebelum tumbuh. Sebanyak 8.06 persen petani yang tidak menanam bibit muda menyatakan memilih untuk menggunakan bibit tua daripada harus meningkatkan pemeliharaan tanaman. 4. Jumlah bibit padi 1-3 batang per lubang tanam Indikator komponen teknologi PTT berikutnya dengan persentase rata-rata tingkat penerapan yang tinggi adalah jumlah bibit 1-3 bibit padi per lubang tanam. Penanaman bibit dengan jumlah yang rendah per lubang tanam bertujuan untuk memaksimumkan penyerapan unsur hara dan cahaya matahari oleh bibit padi dengan meminimalisasi persaingan antar bibit padi dalam rumpun (lubang tanam) yang sama. Persentase rata-rata tingkat penerapan komponen teknologi jumlah bibit padi 1-3 batang per rumpun cukup tinggi, yakni sebesar 75.79 persen. Namun angka ini merupakan persentase penjumlahan nilai dari seluruh sampel pada indikator jumlah bibit terhadap jumlah nilai jika setiap sampel mencapai nilai maksimum (4) untuk indikator tersebut, sehingga persentase yang tinggi tidak berarti sebagian besar petani sampel telah mengikuti anjuran PTT dengan jumlah bibit 1-3 batang per rumpun, namun terdapat juga petani yang menanam dengan jumlah bibit 4-6 batang per rumpun. Rata-rata nilai pada komponen teknologi ini adalah 3.03, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang ratarata menanam jumlah bibit padi sebanyak 4-6 batang per rumpun, atau belum sesuai anjuran teknologi PTT. Para petani mengemukakan bahwa jika jumlah
56
bibit per rumpun yang ditanam terlalu sedikit, maka akan mudah dimakan oleh hama keong. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi habisnya bibit padi dimakan, petani menanam bibit dalam jumlah yang sedikit melebihi anjuran teknologi PTT. Jumlah bibit yang sedikit membutuhkan perhatian tambahan dari petani, yakni petani harus lebih sering memperhatikan sawah untuk mengendalikan jumlah hama keong yang menyebar, serta harus siap menyulam (mengganti) bibit padi yang telah habis dimakan dengan bibit yang baru. Hal ini yang menjadi alasan petani enggan menanam bibit padi dalam jumlah yang rendah per rumpun. Hama keong menjadi salah satu hama yang sangat menghambat pertumbuhan padi. Oleh karena itu penyuluhan mengenai pengendalian hama keong perlu lebih sering disampaikan kepada petani, serta perlu adanya alternatif pengendalian hama keong yang lebih inovatif agar dapat lebih mudah diaplikasikan oleh petani. 5. Pemberian jerami dan bahan organik Komponen teknologi PTT pemberian bahan organik ke sawah memiliki tingkat penerapan yang cukup tinggi, yakni sebesar 72.98 persen. Bahan organik yang dianjurkan yaitu berupa jerami kering yang merupakan waste dari hasil panen musim tanam sebelumnya dan pupuk organik/pupuk kompos/pupuk kandang. Dosis pupuk organik yang dianjurkan oleh penyuluh di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang adalah 500 – 1 000 kg/ha. Hal ini berdasarkan jumlah pupuk organik bantuan yang diberikan oleh pemerintah.Namun, untuk mendapatkan pengaruh yang nyata dari pupuk organik, maka jumlah yang dianjurkan dalam Petunjuk Teknis SLPTT Padi adalah sebanyak 2 – 3 ton/ha. Pupuk organik berfungsi untuk menjaga keseimbangan unsur hara tanah, serta meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan tanah berperan penting untuk meningkatkan produktivitas tanaman, oleh karena itu penggunaan pupuk organik pada usahatani padi berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas tanaman padi. Jenis pupuk organik yang digunakan oleh para petani sampel diantaranya Pupuk petroganik, pupuk kandang dari kotoran ayam/kotoran kelinci/kotoran kambing. Harga pupuk petroganik adalah sekitar Rp 25 000.00/40 kg, pupuk kandang dari kotoran ayam sekitar Rp 10 000.00/40 kg, sementara kotoran kelinci dan kotoran kambing umumnya diambil dari hewan ternak milik petani itu sendiri. Dampak penggunaan pupuk organik tidak dapat langsung terlihat di tanaman. Hal ini merupakan salah satu penyebab petani enggan memberikan pupuk organik dan lebih memilih pupuk anorganik seperti urea pada lahan sawah. Dampak pemberian pupuk urea dapat langsung dilihat beberapa hari setelah pemberian pupuk, yakni warna daun tanaman padi menjadi lebih hijau. Adapun dampak pupuk organik lebih berpengaruh terhadap kualitas tanah, tidak langsung terlihat dampaknya pada penampilan tanaman, serta untuk memberikan pengaruh yang signifikan, harus digunakan dalam jumlah yang tinggi. Dosis anjuran pupuk organik yang tinggi cukup memberatkan petani dari segi biaya, terlebih bagi petani yang tidak memiliki hewan ternak, sehingga untuk memperoleh pupuk organik maka harus membeli di toko saprodi. Pemahaman petani mengenai pentingnya peranan pupuk organik untuk mengembalikan kesuburan tanah masih kurang, sebab petani cenderung berorientasi terhadap hasil pada waktu tersebut, belum menyadari pentingnya
57
pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pemberian pemahaman mengenai pentingnya peranan bahan organik dalam meningkatkan produktivitas lahan kepada petani perlu ditunjang dengan pemberian solusi mengenai akses terhadap sumber pupuk organik yang mudah dan terjangkau, agar petani memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk mensubstitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik. Dalam teknologi PTT, pengembalian jerami ke sawah dianjurkan dilakukan dengan membuat dekomposer jerami agar lebih mudah menyerap ke dalam tanah. Namun berdasarkan hasil wawancara terhadap petani sampel, tidak ada petani yang menerapkan cara tersebut dalam proses pemupukan. Seluruh petani sampel mengembalikan jerami ke sawah dengan cara menyebarkan jerami di lahan sawah dan membiarkan jerami membusuk dan menyatu dengan tanpa diberikan perlakuan dekomposer. Berdasarkan hasil penilaian pembobotan indikator pemberian jerami kering ke sawah, sebagian besar petani yakni 93.65 persen telah sadar akan manfaat pemberian jerami ke sawah, namun sebagian kecil lainnya belum memanfaatkan jerami sebagai pupuk organik sawah. Petani yang belum memanfaatkan jerami cenderung membakar jerami sisa hasil panen, sehingga unsur hara yang terkandung dalam jerami hilang, adapula yang membiarkan jerami di pinggir sawah untuk diambil dan dimanfaatkan peternak sapi. Padahal, jerami mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman padi, yaitu N sebanyak 0.5 – 0.8 persen, P2O5 sebanyak 0.15 – 0.26 persen, dan K2O sebanyak 1.2 – 1.7 persen. Hal yang menjadi penyebab 6.35 persen petani sampel belum memanfaatkan jerami kering sebagain penyubur tanah adalah 1) ketidaktahuan akan manfaat jerami terhadap tanah, 2) menginginkan proses pengolahan tanah lebih cepat dan praktis, sehingga membakar sebagian jerami atau tidak menggunakannya sama sekali. 6. Pemupukan berimbang Komponen teknologi pemupukan berimbang memiliki persentase rata-rata tingkat penerapan sebesar 56.49 persen. Komponen teknologi pemupukan berimbang diturunkan dari beberapa indikator: dosis pupuk urea 100 kg/ha, NPK Phonska 300 kg/ha, intensitas pemupukan minimal sebanyak 3 kali termasuk pupuk dasar, waktu pemupukan sesuai ketentuan, serta komposisi pemupukan. Dari indikator-indikator tersebut, indikator dengan persentase rata-rata tingkat penerapan yang paling rendah adalah komposisi pemupukan, yaitu sebesar 25 persen. Sementara persentase tingkat penerapan indikatorindikator lainnya adalah sebagai berikut: 1) jumlah penggunaan pupuk NPK Phonska sebanyak 300 kg dan pupuk urea sebanyak 100 kg masing-masing sebesar 49.60 persen dan 60.32 persen, 2) intensitas pemupukan sebanyak 3 kali per musim tanam termasuk pupuk dasar sebesar 72.98 persen, dan 3) waktu pemupukan sesuai anjuran sebesar 74.59 persen. Komposisi pemupukan sesuai anjuran penyuluh yang disampaikan dalam SLPTT adalah sebagai berikut: a. Pemupukan I (0 – 7 HST) : 1 ton pupuk organik, jerami kering, dan 33.33 persen dari 1 kuintal pupuk urea b. Pemupukan II (15 – 25 HST) : 60 persen dari 3 kuintal pupuk NPK Phonska, 33.33 persen dari 1 kuintal pupuk urea c. Pemupukan III (40 – 45 HST) : 40 persen dari 3 kuintal pupuk NPK Phonska, 33.33 persen dari 1 kuintal pupuk urea.
58
Dari 62 petani sampel, tidak terdapat petani yang mengikuti komposisi pemupukan, baik dari jumlah masing-masing jenis pupuk secara total, maupun dosis masing-masing jenis pupuk pada setiap pemupukan. Para petani sampel masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk urea sehingga memberikan dosis pupuk melebihi anjuran, sedangkan untuk pemberian pupuk NPK Phonska masih di bawah dosis anjuran dalam teknologi PTT. Salah satu penyebab persentase tingkat penerapan komponen teknologi pemupukan berimbang yang tidak terlalu tinggi adalah selain dari ketergantungan petani terhadap pupuk urea adalah dari segi komposisi biaya. Jika mengikuti aturan pemupukan berimbang yang dianjurkan dalam SLPTT, maka rincian biaya yang diperlukan untuk pemupukan untuk ukuran 1 hektar dalam satu musim tanam padi terdapat pada Tabel 7. Tabel 7 Rincian biaya pupuk sesuai anjuran teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur tahun 2014 Jenis pupuk Pupuk organik Pupuk NPK Phonska Pupuk urea Total biaya
Jumlah anjuran (kg) 1000 300
Harga satuan (Rp) 625 2300
Total biaya (Rp) 625 000 690 000
100
1900
190 000 1 505 000
Di sisi lain, jika petani tidak menggunakan pupuk sesuai anjuran teknologi PTT padi, rincian jumlah dan biaya pupuk yang digunakan selama satu musim tanam untuk luas 1 hektar terdapat pada Tabel 8. Tabel 8 Rincian biaya pupuk yang tidak sesuai anjuran teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur tahun 2014 Jenis pupuk Pupuk TSP Pupuk NPK Phonska Pupuk urea Pupuk organik Total biaya
Rata – rata jumlah pemakaian (kg) 99 151
Harga satuan (Rp) 2400 2300
Total biaya (Rp) 237 600 347 300
261 118
1900 625
495 900 73 750 1 154 550
Dari perbandingan analisis biaya pada tabel 7 dan 8 di atas, maka dapat dilihat terdapat selisih biaya antara penggunaan pupuk sesuai anjuran teknologi PTT dengan tidak, yaitu sebanyak Rp 350 450.00. Selisih biaya ini cukup besar bagi petani yang sebagian besar merupakan petani gurem, serta masih mengalami kesulitan modal, sehingga peningkatan biaya menjadi pertimbangan bagi petani dalam menggunakan input produksi. Untuk meningkatkan tingkat penerapan petani pada komponen teknologi pemupukan berimbang, perlu ada
59
solusi bersama untuk menjadikan pupuk murah dan terjangkau bagi petani, diantaranya dengan memanfaatkan sumber alami sebagai pupuk organik sehingga petani tidak perlu membeli pupuk organik, serta pengendalian harga pupuk anorganik di tingkat pengecer. Usaha penggunaan sumber pupuk organik alami dapat dilakukan dengan pengoptimalan penggunaan jerami serta penggunaan kotoran ternak (kambing, ayam, kelinci, bebek) yang diusahakan sendiri oleh petani. Sementara pengendalian harga pupuk anorganik di tingkat pengecer dapat dilakukan dengan melakukan sistem kupon, di mana satu petani hanya dapat membeli jumlah pupuk sesuai jumlah anjuran teknologi PTT dengan harga subsidi, selanjutnya untuk pembelian melebihi jumlah PTT, maka petani harus membeli dengan harga normal (non-subsidi). 7. Pengairan secara efektif dan efisien Komponen teknologi PTT yang berikutnya adalah pengairan secara efektif dan efisien. Terdapat beberapa cara pengairan efektif dan efisien menurut teknologi PTT, yaitu: teknik berselang, gilir-giring; gilir glontor,macak-macak dan basah-kering. Melalui pengelolaan air yang baik, pemakaian air dapat dihemat sampai 30 persen tanpa menurunkan hasil panen (BPTP 2011). Pengelolaan air perlu dilakukan agar kebutuhan air tanaman dapat tercukupi, tidak berlebihan dan tidak kekurangan, serta diharapkan dengan adanya pengelolaan air yang efektif dan efisien, seluruh sawah dalam suatu wilayah dapat terpenuhi kebutuhan airnya, tidak terdapat lahan sawah yang tidak mendapat pengairan. Pengelolaan air memiliki peranan penting di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang, sebab sejumlah lahan sawah di wilayah ini mengalami krisis pengairan, akibat adanya penggalian pasir di gunung mata air yang menjadi sumber pengairan sebagian sawah. Ketidaktersediaan air bersih memengaruhi produksi padi, di mana produksi padi dapat berkurang 1 – 2 ton/ha akibat ketidaktersediaan air bersih untuk pengairan. Ketentuan pengelolaan pengairan berselang yang dianjurkan di lokasi penelitian adalah sebagai berikut: a. Pengeringan lahan sawah pada saat umur 2-3 HST, pada umur tersebut lahan sawah dalam kondisi macak-macak (lahan berair, namun tidak tergenang), selanjutnya digenangi air setinggi 2-3 cm. b. Pengairan berselang dilakukan secara rutin setiap 2 hari setelah tandur sampai tanaman memasuki masa malai (berisi). c. Pada waktu 10 hari menjelang panen, lahan sawah dikeringkan. Tingkat penerapan komponen teknologi pengelolaan pengairan adalah sebesar 46.37 persen. Hal ini menunjukan bahwa sebagian petani telah melakukan pengairan secara efektif dan efisien, sedangkan sebagian lainnya tidak, dalam proporsi yang relatif seimbang. Sebagian petani yang tidak melakukan pengairan secara efektif dan efisien cenderung lebih lama menggenangi lahan sawahnya,dan tidak melakukan pengairan berselang secara teratur. 8. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Komponen teknologi pengelolaan hama terpadu (PHT) memegang peranan penting dalam usahatani padi. PHT bertujuan agar petani dapat memahami dan memanfaatkan musuh alami untuk mengendalikan hama lainnya, serta berusaha mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan obat-obatan kimiawi. Pengendalian hama dapat dilakukan melalui: pemeliharaan dengan
60
mengusahakan tanaman sehat, pengendalian hayati, menggunakan varietas tahan penyakit, mekanik, fisik, senyawa semi-kima (hormon zat pengatur tumbuh), dan pestisida sebagai pilihan terakhir jika langkah-langkah sebelumnya tidak dapat memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Penilaian komponen teknologi PHT berdasarkan diterapkan/tidaknya 4 prinsip PHT, yaitu: pengamatan mingguan, pemanfaatan musuh alami, pestisida alami preventif, pestisida kimia sebagai solusi terakhir. Pengamatan mingguan bermanfaat untuk mengamati ambang batas ekonomi hama, di mana penyemprotan pestisida disarankan apabila populasi hama/daun telah melewati ambang batas ekonomi. Pengamatan mingguan perlu ditunjang dengan pengamatan harian, terutama untuk mengendalikan jumlah hama keong yang menjadi salah satu hama yang paling banyak menyerang di lokasi penelitian. Hama keong hanya dapat diberantas secara manual yakni dengan mengeringkan sawah sampai benar-benar kering, serta mengambil hama keong dan telur-telurnya yang berada di sawah. Perkembangbiakan hama keong sangat cepat, oleh karena itu jika tidak dilakukan pengamatan harian, maka tanaman dapat habis akibat serangan hama keong. Serangan hama keong umumnya terjadi saat tanaman berusia 0 – 20 HST, yang merupakan usia dimana batang tanaman padi masih muda dan belum kokoh, sehingga mudah dikonsumsi oleh hama keong. Hama dan penyakit lainnya yang banyak menyerang tanaman padi di lokasi penelitian adalah wereng coklat, wereng hijau penyebab penyakit tungro, dan penyakit hawar daun bakteri. Hama wereng hijau merupakan hama yang mengakibatkan biji padi kosong, yang berdampak pada penurunan produksi padi saat panen. Adapun penyakit hawar daun bakteri mengakibatkan daun tanaman berwarna kekuning-kuningan.Persentase rata-rata tingkat penerapan komponen teknologi PHT cukup rendah, yakni sebesar 47.18 persen. Beberapa aspek yang menyebabkan rendahnya tingkat penerapan PHT oleh petani adalah bahwa sebagian besar petani masih mengandalkan pestisida kimiawi sebagai pilihan pertama untuk mengendalikan hama, di mana meskipun hama belum menyerang tanaman, pestisida kimiawi sudah disemprotkan pada tanaman. Penyemprotan pestisida yang berlebihan dapat menyebabkan tanaman resisten terhadap obat-obatan yang diberikan, sehingga pada saat hama menyerang, obat yang disemprotkan tidak dapat berfungsi dengan optimal dalam pengendalian hama. Sebagian besar petani juga belum memanfaatkan pestisida preventif alami dalam pengendalian hama. Hanya 2 dari 62 sampel yang sudah 100 persen menggunakan pestisida alami untuk mengendalikan hama. Pestisida alami berupa MOL yang disemprotkan setiap 3 hari sekali. Selain berfungsi untuk menyuburkan tanaman, baunya yang menyengat juga mengurangi jumlah hama untuk menyerang tanaman.Pembuatan cairan MOL memerlukan waktu yang cukup lama sampai bahan-bahan organik membusuk dan menjadi cairan serta memerlukan ketekunan petani dalam membuat larutan. Selain itu, tidak semua petani menanam tanaman perkebunan yang sampahnya merupakan bahan pembuat MOL. Hal ini merupakan penyebab rendahnya jumlah petani sampel yang menggunakan bahan alami untuk pengendalian hama dan memilih menggunakan pestisida kimiawi.
61
9. Jarak tanam jajar legowo 2 Salah satu komponen teknologi yang menjadi ciri khas teknologi PTT adalah menerapkan jarak tanam jajar legowo 2:1. Jarak tanam jajar legowo bertujuan untuk meningkatkan jumlah populasi tanaman, serta memaksimalkan penyerapan cahaya matahari yang dibutuhkan oleh tanaman. Persentase penerapan teknologi jarak tanam jajar legowo cukup rendah, yakni sebesar 43.55 persen. Hal ini disebabkan sebagian besar petani memilih untuk menanam dengan jarak tanam tegel. Berdasarkan persepsi dari para petani, kenaikan hasil dari penerapan jarak tanam jajar legowo tidak terlalu signifikan dibandingkan jarak tanam tegel, namun biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar buruh tanam lebih tinggi. Hal ini disebabkan buruh tanam di lokasi penelitian umumnya belum terampil dan familiar dengan jarak tanam jajar legowo, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penanaman suatu lahan lebih lama dibandingkan jarak tanam tegel. Agar penanaman dapat selesai tepat waktu, maka jumlah tenaga kerja harus ditambah, yang berdampak pada peningkatan biaya usahatani. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tiominar (2013), penanaman dengan jarak tanam tegel memerlukan tenaga kerja sebanyak 13.68 HOK, sementara penanaman dengan jarak tanam jajar legowo memerlukan tenaga kerja sebanyak 22.06 HOK per satu hektar. Peningkatan jumlah HOK berdampak pada peningkatan upah yang harus dibayarkan kepada buruh tanam, sehingga akan meningkatkan biaya usahatani. Untuk menyiasatinya, petani perlu memberdayakan tenaga kerja dalam keluarga untuk aktivitas penanaman, sehingga biaya tunai untuk membayar buruh tanam dapat diminimalisasi. 10. Pengelolaan panen dan pasca panen Komponen teknologi PTT yang terakhir adalah pengelolaan panen dan pasca panen. Komponen teknologi ini terdiri dari 2 indikator, yaitu: panen tepat waktu, dan perontokan gabah secara langsung. Tingkat penerapan komponen teknologi ini sebesar 50.40 persen, dimana kedua indikator memiliki persentase tingkat penerapan komponen teknologi sebesar 50.40 persen. Nilai komponen teknologi yang tidak optimal iniini disebabkan sebagian besar petani tidak melakukan panen tepat waktu, yakni sebelum umur yang telah ditentukan dalam karakteristik masing-masing benih VUB yang digunakan. Panen yang tidak tepat waktu mengakibatkan tidak seluruh gabah rontok dalam proses perontokkan. Untuk mengantisipasi hal tersebut petani menumpuk dan mendiamkan gabah hasil panen sebelum dirontokkan. Beberapa hal yang menjadi penyebab petani tidak panen tepat waktu adalah tanam yang tidak serentak, sehingga pertumbuhan tanaman padi satu hamparan tidak bersamaan, yang dapat mengakibatkan berpindahnya hama antara satu lahan dengan lahan lainnya. Untuk menghindari berpindahnya hama dari lahan yang telah selesai panen ke lahan yang belum waktunya panen, petani memutuskan untuk memanen padinya sebelum umur padi tiba. Adapula petani yang memanen tanamannya sebelum waktunya akibat tanaman padinya telah diborong oleh tengkulak, sehingga petani bersedia menjual hasil padinya tanpa menunggu masak dan tanpa ditimbang. Pengukuran tingkat penerapan keseluruhan paket teknologi PTT padi oleh masing-masing petani sampel dilakukan dengan menjumlahkan bobot dari faktor
62
penentu tingkat penerapan teknologi PTT. Sebaran tingkat penerapan paket teknologi PTT padi secara keseluruhan oleh petani sampel dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur tahun 2014 Tingkat penerapan Rendah Sedang Tinggi
Skor 18.0 –36.0 36.1 –54.0 54.1 –72.0
Jumlah petani 5 53 4
Persentase (%) 8.06 85.48 6.45
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa untuk tingkat penerapan teknologi PTT secara keseluruhan, sebagian besar petani yakni sebanyak 85.48 persen menerapkan teknologi PTT pada level sedang, sementara petani yang menerapkan teknologi PTT pada level tinggi sebanyak 6.49 persen. Tingkat penerapan teknologi PTT yang sebagian besar berada pada level sedang menunjukkan bahwa sebagian besar komponen teknologi PTT padi anjuran belum dilaksanakan secara optimal. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan input produksi padi yang tidak sesuai dengan anjuran PTT. Tabel 11 pada pembahasan selanjutnya menunjukkan bahwa tidak ada satu pun input produksi padi yang telah digunakan dalam jumlah yang sesuai anjuran teknologi PTT di lokasi penelitian. Selain penggunaan input produksi yang sebagian besar melebihi anjuran PTT, tingkat penerapan teknologi PTT yang tergolong sedang juga disebabkan oleh rendahnya persentase tingkat penerapan beberapa komponen teknologi yakni pengairan secara efektif dan efisien, pengelolaan hama terpadu, dan jarak tanam jajar legowo 2. Komponen teknologi PTT yang tingkat penerapannya masih rendah dapat dioptimalkan melalui berbagai cara. Peningkatan tingkat penerapan komponen teknologi pengaian secara efektif dan efisien dapat dilakukan dengan perbaikan saluran irigasi untuk memudahkan petani melakukan pengairan, serta agar seluruh petani pada wilayah tersebut mendapatkan pengairan yang berkecukupan. Untuk meningkatkan penerapan komponen teknologi pengelolaan hama terpadu (PHT), dapat dilakukan diskusi bersama antara petani yang telah melakukan PHT dengan petani yang belum menerapkan. Tidak jarang petani yang telah melakukan PHT memiliki cara pengendalian hama yang tidak diketahui petani lainnya. Bentuk PHT yang sudah dilakukan diantaranya: pengendalian hama keong dengan memberi makanan alternatif bagi keong, berupa umbi-umbian yang diletakkan di sekeliling pematang sawah, sehingga hama keong tidak lagi menyerang padi sebagai sumber makanan. Cara lainnya yakni dengan melakukan pengairan berselang saat umur bibit padi masih muda, sehingga sawah tidak sering tergenang dan hama keong tidak menyerang lahan sawah tersebut. Untuk meningkatkan penerapan komponen teknologi jarak tanam jajar legowo, perlu perhatian bersama antara pengurus kelompok tani, penyuluh, dan anggota kelompok tani. Kondisi di lapang menunjukkan bahwa petani menjadikan ketua kelompok tani sebagai panutan, artinya jika ketua kelompok tani menerapkan seluruh komponen teknologi PTT dan mengalami peningkatan hasil, maka anggota kelompok tani akan mengikuti cara beliau bercocok tanam, begitupula sebaliknya. Oleh karena itu pengurus kelompok tani perlu member contoh dengan menerapkan
63
seluruh komponen teknologi PTT, dimana penerapan teknologi ini perlu diawasi oleh penyuluh setiap hari secara bergiliran antar pengurus-anggota kelompok tani. Dengan diperhatikan, kesulitan petani dalam menerapkan teknologi dapat diakomodir, serta petani lebih termotivasi untuk menerapkan teknologi. Hal lainnya yang menjadi kendala bagi petani untuk menerapkan jarak tanam jajar legowo adalah ketidakterampilan buruh tanam, sehingga untuk mengerjakan jarak tanam jajar legowo membutuhkan buruh tanam dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan jarak tanam tegel agar dapat selesai tanam. Solusi untuk kendala ini adalah dengan melatih memberdayakan anggota keluarga agar dapat menjadi tenaga dalam keluarga sehingga biaya tunai usahatani dapat ditekan. Faktor –faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT Analisis faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT padi dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang bepengaruh terhadap tingkat penerapan teknologi, sehingga diharapkan dapat menjadi masukan bagi petani, pengurus kelompok tani, penyuluh lapangan, maupun pemerintah dalam menyusun program pertanian selanjutnya agar program bantuan yang tersalurkan dapat bermanfaat secara optimal bagi petani. Model faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT terdiri dari 1 variabel dependen yaitu tingkat penerapan teknologi PTT yang diperoleh dari penjumlahan bobot indikator-indikator komponen teknologi PTT yang diterapkan oleh masing – masing petani, dan 8 variabel independen yaitu: pendapatan non usahatani padi, intensitas keiikutsertaan petani dalam pelatihan SLPTT, jumlah tenaga kerja dalam keluarga, pengalaman usahatani, jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti oleh petani, lama pendidikan formal, dummy status pekerjaan petani, dummy ketersediaan bantuan input. Parameter dugaan model faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT padi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT di Kabupaten Cianjur, tahun 2014 Variabel Koefisien Konstanta 34.265 Pendapatan non usahatani padi (Rp/bulan) 0.076 Intensitas keiikutsertaan pelatihan 5.887a) a) SLPTT Jumlah tenaga kerja dalam keluarga 0.936 (HOK) Pengalaman usahatani (tahun) - 0.034 Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT 4.802a) yang diikuti a) Lama pendidikan (tahun) 0.282 b) Dummy Status pekerjaan petani 3.427b) Dummy Ketersediaan bantuan input 0.180 b) a) nyata pada α 5 persen, nyata α 15 persen
t-hitung 6.452 1.178 2.398
Sig 0.000 0.244 0.020
0.670
0.506
-0.542 2.484
0.590 0.016
0.818 1.504 0.116
0.417 0.139 0.908
64
Dari segi kebaikan model, model faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur telah memenuhi syarat model OLS, yakni dengan melakukan uji autokorelasi, normalitas, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas terhadap model. Uji autokorelasi dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Berdasarkan hasil pengolahan data faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT, diperoleh nilai DW sebesar 2.138 (Lampiran 4) yang memenuhi asumsi ke-5 uji autokorelasi, yaitu berada di antara 4 – dU dan 4 – dL (2.111 < 2.138 < 2.864), artinya ada/tidaknya gejala autokorelasi belum dapat disimpulkan. Berdasarkan uji normalitas, dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam perumusan model faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT di Kabupaten Cianjur telah menyebar normal, hal ini dapat dilihat dari data yang tersebar disekitar garis normal (Lampiran 5), selain itu, baik rasio kurtosis maupun rasio skewness berada di antara -2 dan +2 yang mengindikasikan bahwa data menyebar normal. Rasio kurtosis dan rasio skewness dari model ini masing – masing sebesar – 0.710 dan – 0.746. Selanjutnya uji multikolinearitas dilakukan untuk melihat ada/tidaknya hubungan antar variabel independen, yang salah satu indikatornya adalah nilai VIF yang terdapat pada tabel koefisien pendugaan parameter model (Lampiran 4). Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai VIF dari setiap variabel < 10, yang menunjukkan tidak adanya gejala multikolinearitas pada model. Untuk menguji ada/tidaknya gejala heteroskedastisitas pada model, maka dilakukan uji Glejser yang hasilnya dapat dilihat pada tabel di Lampiran 6. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai ΙthitΙ > 0.05 untuk setiap variabel independen, artinya, tidak terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Di sisi lain, variabel – variabel independen yang terdapat di dalam model belum cukup menggambarkan dengan baik kondisi sesungguhnya yang terjadi lapang. Hal ini terindikasi dari nilai R square model yang kurang dari 50 persen, yakni sebesar 41.1 persen. Nilai R square tersebut memiliki arti bahwa sebanyak 41.1 persen variasi tingkat penerapan teknologi PTT padi dipengaruhi oleh variabel – variabel independen yang terdapat di dalam model, sementara 58.9 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Pada analisis faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT, faktor yang berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat penerapan teknologi PTT padi yang dilakukan oleh petani adalah intensitas pelatihan SLPTT yang diikuti oleh petani, jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti oleh petani, serta status pekerjaan petani (Tabel 10). Variabel intensitas pelatihan SLPTT yang diikuti oleh petani dan jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti oleh petani berpengaruh nyata terhadap tingkat penerapan teknologi PTT padi pada α 5 persen, dengan nilai parameter dugaan masing – masing sebesar 5.887 dan 4.802. Sementara variabel dummy status pekerjaan petani berpengaruh nyata terhadap tingkat penerapan teknologi PTT pada α 15 persen dengan nilai parameter dugaan sebesar 3.427. Variabel – variabel independen lainnya, yaitu pendapatan non usahatani, pengalaman usahatani, jumlah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), lama pendidikan formal petani, dan dummy ketersediaan bantuan input produksi tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat penerapan teknologi PTT padi baik pada α 5 persen maupun 15 persen. Namun jika kedelapan variabel independen digunakan secara bersama – sama dalam model, maka berpengaruh nyata terhadap tingkat penerapan teknologi PTT padi. Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value pada
65
Uji F di tabel ANOVA yaitu sebesar 0.000, di mana nilai tersebut kurang dari nilai α 5 persen dan 15 persen, yang menunjukkan bahwa secara bersama – sama faktor –faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT berkorelasi terhadap tingkat penerapan teknologi PTT padi. Statistik deskriptif mengenai faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT di Kabupaten Cianjur tahun 2014 terdapat pada Tabel 11. Tabel 11 Statistik deskriptif faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT di Kabupaten Cianjur, 2014 Faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT Pendapatan non usahatani padi (Rp/bulan) Intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT Jumlah tenaga kerja dalam keluarga (HOK) Pengalaman usahatani (tahun) Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti Lama pendidikan (tahun) Dummy Status pekerjaan petani (utama = ya/sampingan = tidak) Dummy Ketersediaan bantuan input (ya/tidak)
Rata-rata
S. Dev
Min
1 152 634.41
1 459 967.29
0.00
5 000 000.00
0.52
0.29
0.10
1.00
35.27
26.74
0.00
148.21
26.09 0.19
12.37 0.43
5.00 0.00
60.00 2.00
6.92
2.52
0.00 Ya 53
12.00 Tidak 9
48
Max
14
Faktor pendapatan non usahatani padi Pendapatan non usahatani merupakan pendapatan yang diperoleh petani di luar dari berusahatani padi. Para petani di lokasi penelitian selain berprofesi sebagai petani padi, juga memperoleh pendapatan tambahan dari menjadi PNS, berwiraswasta, mengusahakan ternak, dll, dengan rata – rata pendapatan non usahatani adalah sebesar Rp 1 152 634/bulan. Oleh karena itu, pendapatan non usahatani dapat menjadi sumber modal tambahan untuk membeli input usahatani padi sesuai teknologi PTT, sebab usahatani padi dengan menerapkan teknologi PTT membutuhkan modal yang lebih besar daripada tidak menggunakan teknologi PTT, diantaranya untuk membeli benih VUB, pupuk organik dalam jumlah besar, serta membayar tenaga kerja untuk perawatan yang lebih intensif. Hipotesis yang diuji adalah pendapatan non usahatani padi berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Berdasarkan Tabel 10, faktor pendapatan non usahatani padi telah sesuai dengan hipotesis, yaitu berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT, namun tidak signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diiro (2012) terhadap petani jagung dalam mengadopsi teknologi benih jagung unggul. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diiro menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan off farm jagung, maka semakin tinggi keinginan petani untuk mengadopsi teknologi benih jagung unggul.
66
Faktor intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT Intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT menggambarkan jumlah pelatihan SLPTT yang dihadiri oleh petani dibagi jumlah pelatihan SLPTT yang berlangsung pada kelompok tani tersebut. Penelitian dilakukan di 2 kecamatan yang terdiri dari 8 kelompok tani yang memiliki jumlah pertemuan yang berbeda – beda, berkisar antara 4 – 10 pertemuan. Hipotesis yang digunakan adalahh semakin tinggi intensitas petani dalam mengikuti pelatihan SLPTT, maka semakin tinggi tingkat penerapan teknologi PTT. Hal ini terjadi karena pelatihan SLPTT diberikan secara komprehensif dalam pelatihan SLPTT secara keseluruhan, di mana pertemuan pertama diawali dengan penyusunan RUK (rencana usahatani kelompok) dan diakhiri dengan panen hasil usahatani padi secara bersama – sama pada lahan LL (laboratorium lapang). Jika petani tidak menghadiri salah satu/lebih pelatihan SLPTT, maka intensitas kehadiran petani dalam pelatihan SLPTT semakin rendah, dan pengetahuan mengenai teknologi PTT tidak diperoleh secara komprehensif dan petani berkurang kepercayaannya terhadap keberhasilan penggunaan teknologi tersebut dalam usahatani sebab tidak melihat secara langsung cara penerapan teknologi PTT dan perbedaan hasil produksi yang dihasilkan dibandingkan tidak menerapkan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas kehadiran petani dalam pelatihan SLPTT berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat penerapan teknologi PTT pada α 5 persen. Nilai parameter dugaan intensitas keiikutsertaan petani dalam pelatihan SLPTT sebesar 5.887 memiliki arti bahwa, setiap peningkatan intensitas keiikutsertaan petani dalam pelatihan SLPTT sebesar 1 unit, maka penerapan teknologi PTT padi oleh petani akan meningkat sebanyak 5.887 unit, dengan asumsi variabel independen lainnya tetap. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering petani mengikuti pertemuan dalam SLPTT, maka semakin tinggi tingkat penerapan teknologi PTT yang dilakukan oleh petani. Rata – rata intensitas kehadiran petani dalam pelatihan SLPTT adalah sebesar 0.52 (Tabel 11), yang mengindikasikan bahwa rata – rata petani sampel telah menghadiri lebih dari separuh dari total pelatihan dalam SLPTT. Nilai rata – rata intensitas sebesar 0.52 juga menunjukkan bahwa para petani sampel telah menghadiri sebagian besar pertemuan SLPTT, namun tingkat kehadirannya belum optimal (belum 100 persen). Terdapat berbagai alasan para petani tidak menghadiri pertemuan SLPTT, diantaranya adalah pembagian bantuan input yang tidak merata, penyaluran bantuan program yang terlambat/ tidak bersamaan dengan musim tanam yang sedang berlangsung di lokasi penelitiaan, ketiakhadiran dari penyuluh lapang, serta pengurus kelompok tani (ketua, sekretaris, bendahara) yang tidak menerapkan seluruh komponen teknologi PTT yang sudah diajarkan. Intensitas kehadiran petani dalam pelatihan SLPTT berperan penting dalam tingkat penerapan teknologi yang dilakukan oleh petani. Hal ini diantaranya ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Olagunju et.al (2010) mengenai faktor – faktor yang memengaruhi petani lahan skala kecil di Boluwardo dalam menerapkan teknologi pola pemupukan berimbang. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah interaksi antara petani dengan penyuluh lapangan berpengaruh positif terhadap diterapkan/tidaknya teknologi pemupukan berimbang oleh petani. Ghimire et.al (2015) juga menunjukkan bahwa tersedianya pelatihan teknologi memengaruhi tingkat penerapan teknologi secara positif dan signifikan.
67
Oleh karena itu, melihat pentingnya peningkatan intensitas kehadiran petani dalam pertemuan SLPTT perlu dilakukan untuk meningkatkan penerapan teknologi PTT, maka dapat dilakukan berbagai upaya, diantaranya dengan melaksanakan sekolah lapang pada waktu yang bersamaan dengan musim tanam di lokasi SL, agar materi di SL dapat langsung dipraktekkan petani di lahan masing – masing, turunnya bantuan input produksi yang tepat waktu, serta motivasi dari pengurus kelompok baik berupa ajakan, maupun penerapan teknologi secara optimal di lahan milik pengurus kelompok tani. Faktor jumlah tenaga kerja dalam keluarga Jumlah tenaga kerja dalam keluarga menunjukkan jumlah HOK dari dalam keluarga petani yang digunakan untuk melakukan aktivitas usahatani padi. Tabel 11 menunjukkan bahwa rata – rata petani sampel menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dalam aktivitas usahataninya sebanyak 35.27 HOK/hektar/musim tanam, sementara rata – rata penggunaan tenaga kerja secara keseluruhan, baik dalam keluarga maupun luar keluarga dalam usahatani padi di Kabupaten Cianjur adalah sebesar 107.71 HOK/hektar/musim tanam, artinya tenaga kerja dalam keluarga (selanjutnya disebut TKDK) memiliki kontribusi sebesar 32.75 persen terhadap rata – rata total kebutuhan tenaga kerja dalam usahatani padi. Ketersediaan TKDK menjadi salah satu faktor penentu bagi petani dalam menerapkan teknologi PTT, sebab penerapan teknologi PTT membutuhkan keterampilan yang sedikit berbeda dibandingkan tidak diterapkannya teknologi, yang berarti bahwa kebutuhan akan tenaga kerja pun meningkat. Di sisi lain, para petani padi di Kabupaten Cianjur menghadapi kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerja luar keluarga (selanjutnya disebut TKLK) sebab tidak adanya regenerasi petani padi, serta sebagian besar buruh tani wanita terserap ke industri non pertanian yang sedang berkembang di wilayah Kabupaten Cianjur. Ketidaktersediaan TKLK mengakibatkan petani harus mengandalkan sumberdaya manusia dari dalam keluarga sendiri untuk dapat terus melakukan aktivitas usahatani padi dan menerapkan teknologi PTT. Diharapkan dengan semakin banyaknya penggunaan TKDK, maka semakin tinggi tingkat penerapan teknologi PTT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah TKDK berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT, tetapi tidak signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ghimire et.al (2015) yang meneliti mengenai faktor yang memengaruhi penerapan teknologi benih varietas unggul baru di Nepal. Penelitian yang dilakukan oleh Chi (2008) juga menunjukkan bahwa ketersediaan TKDK menduduki peringkat 4 dari 5 peringkat tingkat kepentingan faktor yang memengaruhi penerapan teknologi benih padi VUB di Delta Sunga Mekong. Faktor pengalaman usahatani Pengalaman usahatani menunjukkan berapa tahun petani sampel berpengalaman dalam melakukan usahatani padi. Tabel 11 menunjukkan bahwa rata – rata petani sampel memiliki pengalaman usahatani padi sebanyak 26.09 tahun. Pengalaman usahatani di satu sisi menunjukkan bahwa petani memiliki ilmu yang banyak dalam usahatani padi, dimana petani dapat belajar dari pengalaman bertani, namun di sisi lain petani yaangg sudah lama berusahatani paddi cenderung tutup terhadap adanya inovasi, pengetahuan, dan teknologi baru. Oleh karena itu
68
hipotesis yang diharapkan dari faktor pengalaman usahatani adalah berpengaruh negatif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pengalaman usahatani berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliarmi (2006) yang menunjukkan bahwa pengalaman usahatani berpengaruh negatif terhadap diterapkan/tidak diterapkannya teknologi pupuk berimbang di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Faktor jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti petani menunjukkan akses petani terhadap sumber informasi lainnya mengenai teknologi budidaya padi di luar dari sekolah lapang. Nilai parameter dugaan variabel intensitas keiikutsertaan petani dalam pelatihan SLPTT dan jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti petani yang tinggi menunjukkan bahwa kedua faktor ini berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani padi. Selain intensitas pelatihan SLPTT, faktor lain yang berpengaruh positif adalah jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti oleh petani. Nilai parameter dugaan variabel independen ini cukup besar, yaitu 4.802, artinya setiap penambahan jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti oleh petani sebanyak 1 unit, maka akan meningkatkan tingkat penerapan teknologi PTT sebanyak 4.802 unit dengan asumsi variabel independen lainnya tetap. Beberapa petani sampel tergolong petani aktif yang rajin mencari informasi dan mengikuti pelatihan di luar SLPTT yang diselenggarakan oleh Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan. Pelatihan tersebut dapat berupa pelatihan teknologi PTT oleh organisasi lain, pelatihan manajemen usahatani, pelatihan cara tanam padi organik, dan lainnya. Semakin banyak pelatihan yang diikuti oleh petani, semakin bertambah pengetahuan petani mengenai pengelolaan tanaman padi yang baik, yang tanpa disadari di dalamnya terdapat komponen teknologi PTT. Kuatnya pengaruh variabel intensitas keiikutsertaan SLPTT dan jumlah pelatihan di luar SLPTT menunjukkan bahwa akses terhadap informasi berpengaruh nyata dan positif terhadap tingkat penerapan teknologi. Semakin banyak petani menerima informasi, baik secara lisan maupun secara visual dengan melihat secara langsung cara penerapan teknologi dan bukti hasil penerapan teknologi, maka petani akan semakin termotivasi untuk menerapkan teknologi. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa dan Dewi (2012) yang menunjukkan bahwa jarak terhadap sumber informasi berpengaruh nyata dan negatif terhadap probabilitas penerapan teknologi PTT padi oleh petani. Artinya semakin jauh jarak petani terhadap sumber informasi, maka semakin rendah probabilitas petani untuk menerapkan teknologi PTT. Tingginya peranan informasi dalam penerapan teknologi oleh petani menunjukkan bahwa penyebaran informasi mengenai teknologi PTT perlu lebih diperluas dan lebih intensif dilakukan agar semakin banyak petani yang mengetahui dan termotivasi menerapkan teknologi. Untuk menyebarluaskan informasi agar dapat menjangkau lebih banyak petani, pelaksanaan SLPTT dapat dilakukan secara bergiliran antara satu kelompok tani dengan kelompok tani lainnya. Namun penyebarluasan informasi melalui sekolah
69
lapang harus diikuti oleh motivasi yang tinggi dari petani untuk mengikuti pertemuan, yang ditandai dengan intensitas kehadiran yang tinggi. Faktor lama pendidikan Lama pendidikan menunjukkan banyaknya tahun yang dipakai oleh petani untuk menyelesaikan pendidikan formal, yaitu 6 tahun untuk SD, 9 tahun untuk tingkat SMP, 12 tahun untuk tingkat SMA, dan lebih dari 12 tahun untuk pendidikan jenjang perguruan tinggi. Berdasarkan Tabel 11, para petani padi di lokasi penelitian rata – rata memiliki lama pendidikan formal sebanyak 6.92 tahun, artinya sebagian besar petani mengenyam bangku pendidikan formal sampai tingkat sekolah dasar (SD). Faktor lama pendidikan berkaitan erat dengan kemampuan petani dalam menyerap pengetahuan mengenai teknologi, serta keterbukaan petani terhadap adanya inovasi teknologi baru. Hipotesis yang diuji adalah lama pendidikan formal berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa lama pendidikan formal berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Olagunju et.al (2010), Ghimire et.al (2015), dan Ntege-Nyanyeenya W (1997). Faktor status pekerjaan petani Faktor status pekerjaan petani menunjukkan status pekerjaan sebagai petani padi, apakah sebagai pekerjaaan utama atau pekerjaan sampingan. Jika usahatani padi merupakan sumber pendapatan utama bagi rumah tangga petani padi, maka petani padi akan memiliki curahan waktu yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas usahatani padi dibandingkan petani yang menjadikan usahatani padi sebagai sumber pendapatan sampingan bagi rumah tangga. Nilai parameter dugaan variabel dummy status pekerjaan petani adalah 3.427, artinya pada taraf α 15 persen, rata-rata tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani yang menjadikan usahatani padi sebagai pekerjaan utama 3.427 kali lebih tinggi daripada rata-rata tingkat penerapan teknologi PTT yang dilakukan oleh petani yang menjadikan usahatani padi sebagai pekerjaan sampingan. Hal ini disebabkan oleh petani sampel dengan pekerjaan utama sebagai petani padi memilki curahan waktu kerja untuk usahatani padi yang lebih besar dibandingkan petani yang menjadikan usahatani padi sebagai pekerjaan sampingan. Penerapan teknologi PTT memerlukan curahan waktu yang lebih banyak, dianataranya untuk melakukan pengamatan hama secara rutin sesuai pengelolaan hama terpadu (PHT) dan menanam bibit padi dengan sistem tanam jajar legowo. Petani yang menjadikan usahatani padi sebagai pekerjaan sampingan umumnya memiliki pekerjaan utama antara lain sebagai PNS aktif, tengkulak beras, serta pedagang. Faktor ketersediaan bantuan input Faktor ketersediaan bantuan input menunjukkan apakah petani mendapatkan/tidak mendapatkan bantuan input dalam mengikuti pelatihan SLPTT. Berdasarkan kawasan sekolah lapang, program dan bantuan input SLPTT dibagi menjadi 3: kawasan pertumbuhan, pengembangan, dan pemantapan. Penentuan kawasan ini berdasarkan tingkat rata – rata produktivitas padi di kawasan tersebut. Berdasarkan data Distan Kabupaten Cianjur 2013, kedua kecamatan yang menjadi lokasi penelitian merupakan sentra produksi beras di Cianjur dengan tingkat
70
produktivitas padi di atas rata-rata produktivitas padi secara keseluruhan di Kabupaten Cianjur, di mana produktivitas padi masing-masing kecamatan adalah sebesar 65.77 kuintal/ha dan 63.93 kuintal/ha sedangkan rata-rata produktivitas padi Kabupaten Cianjur adalah sebesar 61.76 kuintal/ha (Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur 2013), nilai ini di atas rata – rata produktivitas padi di Provinsi Jawa Barat, yakni sebesar 59.53 kuintal/ha (BPS 2013), oleh karena itu lokasi penelitian dikategorikan dalam kawasan pemantapan (produktivitas kawasan berada di atas produktivitas provinsi). Kawasan sekolah lapang (SL) yang berbeda akan menentukan jenis dan jumlah bantuan yang diterima oleh petani peserta SLPTT. Menurut Pedoman Pelaksanaan SLPTT tahun 2013, pada kawasan pertumbuhan, bantuan input yang diberikan berupa pupuk urea, pupuk NPK, pupuk organik, herbisida, benih, kaptan, dan peertemuan kelompok; pada kawassan pengembangan bantuan yang diperoleh petani berupa pupuk urea, pupuk NPK, pupuk organik, dan pertemuan kelompok; sementara kawasan pemantapan mendapatkan bantuan berupa pupuk urea dan pupuk organik. Penerapan yang terjadi di lokasi penelitian sedikit berbeda dengan pedoman pelaksanaan SLPTT. Sampel penelitian ini adalah 8 kelompok tani yang terdiri dari 1 kelompok tani penerima bantuan SLPTT full paket, dan 7 kelompok tani penerima bantuan SLPTT regular. Kelompok tani yang menerima bantuan SLPTT full paket menerima bantuan input berupa pupuk organik, NPK, urea, benih, herbisida, dan saprodi untuk masing – masing kepala petani, namun untuk kelompok tani peserta SLPTT regular, maka bantuan input berupa pupuk organik, NPK, urea, dan herbisida hanya diterima oleh petani yang lahannya digunakan sebagai Laboratorium Lapang (LL) yakni seluas 1 hektar, sedangkan petani lainnya yang tergabung dalam kelompok tani dan menjadi peserta SLPTT tetapi lahannya tidak termasuk dalam luas LL tidak mendapatkan bantuan. Berdasarkan Tabel 11, jumlah petani sampel yang mendapatkan bantuan input adalah sebanyak 48 petani, sedangkan yang tidak menerima bantuan adalah sebanyak 14 petani. Meskipun sebagian besar petani sampel menerima bantuan input, namun jenis dan jumlah bantuan yang diterima berbeda – beda. Terdapat petani yang menerima bantuan input secara lengkap, namun terdapat juga petani yang mendapatkan satu jenis dari berbagai bantuan input. Ketersediaan bantuan input diharapkan berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan, dummy ketersediaan bantuan input benar berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi, namun tidak signifikan. Pengaruh penerapan teknologi PTT terhadap produksi padi Analisis pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap produksi padi dilakukan dengan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas per satuan luas lahan dengan tingkat penerapan teknologi PTT sebagai salah satu variabel penjelas dalam fungsi produksi. Tingkat penerapan teknologi PTT termasuk salah satu variabel independen dalam model faktor produksi dalam usahatani padi sebab tingkat penerapan teknologi menggambarkan kualitas dari faktor produksi yang digunakan dalam usahatani. Variabel tingkat penerapan teknologi PTT juga menggambarkan kemampuan manajemen petani dalam mengelola usahatani padi, serta teknologi yang diterapkan oleh petani dalam usahatani padi. Faktor produksi lainnya yang
71
termasuk di dalam model dugaan adalah luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk NPK Phonska, pupuk urea, obat – obatan padat, dan tenaga kerja. Dilihat dari jumlah penggunaan, rata-rata faktor produksi usahatani padi per satu hektar di lokasi penelitian belum digunakan sesuai dengan anjuran yang disampaikan dalam SLPTT. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa tidak terdapat satu pun rata – rata penggunaan faktor produksi yang sesuai dengan anjuran teknologi PTT, di mana penggunaan input benih aktual mencapai 2.5 kali dari jumlah anjuran, pupuk organik dan NPK Phonska di bawah jumlah anjuran, dan pupuk urea melebihi jumlah anjuran. Penggunaan benih yang melebihi jumlah anjuran dan hampir merata di antara seluruh petani sampel (dapat dilihat dari nilai standar deviasi yang berada di bawah nilai rata-rata penggunaan input benih, sehingga nilai rata-rata cukup menggambarkan data sampel secara keseluruhan) menyebabkan input benih tidak berpengaruh secara signifikan dalam fungsi produksi usahatani padi (Tabel 13). Penggunaan input benih yang berlebih disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya rendahnya kualitas benih VUB bersertifikat yang tersedia di kios alat pertanian, serta tingginya hama keong di musim hujan yang mengakibatkan bibit padi yang sudah ditanam habis dimakan jika tidak dilakukan pengamatan hama secara rutin. Oleh karena itu, untuk mendorong motivasi agar petani dapat menanam benih sesuai jumlah anjuran, pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap kualitas benih yang tersedia di kios alat pertanian, sehingga jumlah bibit yang dihasilkan dalam persemaian sesuai dengan jumlah benih yang digunakan. Selain itu pemberian contoh penggunaan benih dengan jumlah yang sesuai anjuran perlu terus dilaksanakan secara kontinu oleh para pengurus kelompok tani sehingga anggota kelompok tani termotivasi untuk turut serta menerapkannya. Bimbingan dan arahan dari penyuluh juga diperlukan untuk membantu para petani dalam membuat persemaian yang baik, serta untuk mencegah serangan hama pada penanaman bibit mudah dengan jumlah bibit yang minimal (2 – 3 rumpun per lubang tanam). Di sisi lain, penggunaan input pupuk organik berada di bawah jumlah anjuran, hal ini berakibat pada tidak signifikannya pengaruh pupuk organik terhadap peningkatan produksi. Padahal, pupuk organik, termasuk di dalamnya pupuk kandang dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah yang berdampak pada peningkatan produksi padi (Souri 2001). Penggunaan pupuk organik juga dapat meningkatkan jumlah anakan dan berat gabah kering permanen (Padmanabha et.al 2014). Tabel 12 dan 13 menunjukkan bahwa tingkat penggunaan pupuk organik masih sangat rendah, bahkan ada petani sampel yang tidak menggunakan pupuk organik sama sekali. Hal ini berdampak pada tidak signifikannya pengaruh pupuk organik pada preoduksi padi. Petani cenderung tidak menggunakan pupuk organik dalam jumlah yang dianjurkan karena pupuk organik dibutuhkan dalam jumlah yang sangat banyak, yakni 2 – 3 ton/hektar, yang berdampak pada biaya usahatani yang semakin tinggi. Perbandingan penggunaan faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur aktual dan anjuran secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 12. Penggunaan input pupuk organik berada di bawah jumlah anjuran, hal ini berakibat pada tidak signifikannya pengaruh pupuk organik terhadap peningkatan produksi. Tabel 12 menunjukkan bahwa pupuk organik, NPK phonska, dan urea belum digunakan oleh seluruh petani sampel. Hal ini dapat dilihat dari adanya nilai minimum 0 untuk penggunaan masing – masing input pupuk tersebut
72
Tabel 12 Penggunaan faktor produksi dalam usahatani padi per 1 hektar di Kabupaten Cianjur tahun 2014 Faktor produksi
Hasil produksi (kg) Benih (kg) Pupuk organik (kg) Pupuk NPK Phonska (kg) Pupuk urea (kg) Obat padat (kg) Tenaga kerja (HOK)
Jumlah anjuran pemakaian 25 500 – 1000 300 100 -
Rata-rata 5 067.76 59.90 345.20 104.50 242.50 3.04 107.71
Jumlah aktual Std. Min Deviasi 1692.81 2 000.00 29.10 18.80 632.34 0.00 153.40 0.00 192.00 0.00 4.82 0.00 95.23 39.39
Max 10 588.20 160.00 2 857.10 800.00 1 000.00 32.00 312.50
Tabel 13 Penggunaan faktor produksi dalam usahatani padi per luas lahan di Kabupaten Cianjur tahun 2014 Faktor produksi Hasil produksi (kg) Luas lahan (hektar) Benih (kg) Pupuk organik (kg) Pupuk NPK Phonska (kg) Pupuk urea (kg) Obat padat (kg) Tenaga kerja (HOK)
Rata-rata 2 167.50 0.46 23.20 161.88 50.00 94.17 1.32 44.81
Jumlah aktual S. Dev Min 1 428.54 400.00 0.31 0.07 13.60 3.00 336.31 0.00 77.92 0.00 78.87 0.00 2.01 0.00 36.57 1.34
Max 8 500.00 1.25 60.00 2 000.00 400.00 400.00 10.00 158.03
Pada Tabel 12 dan 13 dapat dilihat bahwa pupuk urea tidak digunakan sama sekali oleh petani yang telah menerapkan cara berusahatani semi-organik, di mana petani tidak menggunakan bahan kimiawi baik berupa pupuk maupun obat-obatan dalam usahataninya. Namun untuk petani lainnya, ketergantungan terhadap pupuk urea masih tinggi, hal ini terlihat dari rata – rata penggunaan pupuk urea per hektar yang melebihi anjuran PTT di mana rata – rata penggunaan pupuk urea adalah sebanyak 242.50 kg/hektar sedangkan jumlah anjuran adalah sebanyak 100 kg/hektar. Salah satu cara pemerintah untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk Urea adalah dengan mengurangi pasokan pupuk urea di pasar. Hal ini terjadi di Kabupaten Cianjur, di mana saat dilakukan penelitian, pupuk urea sedang sulit didapatkan. Namun karena petani belum mengetahui pupuk apa yang dapat menggantikan, petani rela untuk tetap membeli pupuk urea meskipun dengan harga yang lebih tinggi daripada harga normal. Dari perilaku petani ini, pemerintah perlu mencari alternatif lain, misalnya dengan mengusahakan pusat pembuatan pupuk organik bersama yang dikelola bersama oleh kelompok tani, sehingga petani memiliki akses yang lebih mudah terhadap substitusi pupuk urea. Pusat pembuatan pupuk organik dapat berupa pengelolaan hewan ternak bersama seperti ayam, kelinci, atau kambing yang kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk pada usahatani padi. Pembuatan pusat pupuk organik menjadi penting sebab pupuk organik harus digunakan dalam jumlah yang banyak yakni sebanyak 2 – 3 ton/hektar/musim tanam namun manfaatnya tidak langsung terlihat pada tanaman padi, tidak seperti pupuk urea yang berdampak langsung pada hijaunya tanaman padi. Jika pupuk
73
organik tidak mudah dijangkau dengan harga yang murah, maka petani akan enggan menggunakannya sebab pupuk organik diperlukan dalam jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan pupuk urea. Hal ini yang menyebabkan rendahnya tingkat penggunaan pupuk organik oleh petani padi. Penggunaan pupuk NPK Phonska masih berada di bawah anjuran akibat petani belum terbiasa menggunakan pupuk tersebut, dan lebih terbiasa menggunakan pupuk urea. Berdasarkan analisis faktor produksi usahatani padi, diperoleh hasil bahwa tingkat penerapan teknologi PTT tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi, hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi variabel tingkat penerapan teknologi PTT yang berada di atas α 5 persen maupun 10 persen, yakni sebesar 0.527. Adapun faktor produksi yang berpengaruh nyata dan positif terhadap produksi padi di Kabupaten Cianjur adalah luas lahan pada selang kepercayaan 99 persen, serta pupuk NPK Phonska, dan pupuk Urea pada selang kepercayaan 90 persen. Pada fungsi produksi Cobb Douglas dengan metode OLS, nilai parameter dugaan dari setiap faktor produksi sekaligus menunjukkan elastisitas produksi dari masing – masing variabel. Dari ketiga variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi, faktor produksi yang memiliki elastisitas produksi yang paling tinggi adalah luas lahan. Parameter dugaan model faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur terdapat pada Tabel 14. Tabel 14 Parameter dugaan faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur tahun 2014 Variabel input produksi Konstanta Luas lahan (hektar) Benih (kg) Pupuk organik (kg) Pupuk NPK Phonska (kg) Pupuk urea (kg) Obat padat (kg) Tenaga kerja (HOK) Tingkat penerapan PTT a) nyata pada α 1 persen, b) nyata pada α 10 persen
Koefisien 6.841 0.748a) 0.025 0.006 0.012b) 0.017b) 0.005 0.043 0.319
t-hitung 3.146 6.769 0.214 0.892 1.943 1.939 0.670 0.626 0.637
Sig 0.003 0.000 0.831 0.376 0.057 0.058 0.506 0.534 0.527
Fungsi produksi Cobb Douglas yang digunakan sebagai model memakai metode OLS, oleh karena itu, asumsi – asumsi OLS harus dipenuhi. Berdasarkan uji autokorelasi yang dilakukan, ada/tidaknya gejala autokorelasi pada fungsi produksi belum dapat disimpulkan, hal ini disebabkan nilai DW (Lampiran 1) berada diantara dL dan dU (1.3136 < 1.872 < 1.8889). Dari uji normalitas yang dilakukan, model fungsi produksi padi di Kabupaten Cianjur telah memenuhi syarat, di mana data menyebar di sekitar garis normal (Lampiran 2). Adapun variabel- variabel independen yang digunakan dalam model telah memenuhi syarat multikoliniearitas, di mana nilai VIF dari setiap variabel dalam model < 10 (Lampiran 1). Gejala heteroskedastisitas juga tidak ditemui dalam model, hal ini dapat dilihat berdasarkan uji Glejser yang dilakukan, nilai ΙthitΙ > 0.05 untuk setiap variabel, artinya tidak terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Model faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur cukup baik menggambarkan keadaan sesungguhnya yang terjadi di lapang, hal ini dapat dilihat dari nilai R square yang tinggi, yakni sebesar 82.8 persen, yang menunjukkan bahwa sebanyak 82.8 persen
74
variasi tingkat produksi padi di Kabupaten Cianjur dapat dijelaskan oleh variabel – variabel independen yang terdapat di dalam model, sementara 17.2 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model. Nilai p – value dari Uji F fungsi produksi padi sebesar 0.000 menunjukkan bahwa secara bersama – sama faktor produksi memengaruhi produksi padi. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa koefisien dari seluruh faktor produksi bernilai positif, artinya seluruh faktor produksi berpengaruh secara positif terhadap produksi padi, serta termasuk daerah rasional fungsi produksi (daerah II). Nilai parameter dugaan luas lahan adalah sebesar 0.748, nilai ini berarti peningkatan luas lahan sebesar 1 persen akan mengakibatkan peningkatan produksi padi sebesar 0.748 persen, dengan asumsi faktor produksi lainnya tetap. Nilai ini menunjukkan bahwa lahan merupakan input produksi yang paling elastis terhadap peningkatan produksi. Adapun pupuk Urea dan pupuk NPK Phonska memiliki elastisitas produksi yang rendah, yakni masing – masing sebesar 0.017 dan 0.012. Artinya peningkatan jumlah pupuk Urea sebesar 1 persen hanya akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.017 persen dalam kondisi ceteris paribus. Parameter dugaan pupuk urea yang tidak responsif diduga akibat rata – rata tingkat penggunaan pupuk Urea di Kabupaten Cianjur telah melebihi anjuran, yakni mencapai 242.5 kg/hektar, sementara jumlah anjuran penggunaan pupuk Urea adalah sebanyak 100 kg/hektar. Sementara itu, faktor produksi lainnya yakni benih, pupuk organik, obat padat, tenaga kerja, dan tingkat penerapan teknologi PTT tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kabupaten Cianjur. Nilai parameter dugaan pada masing-masing input fungsi produksi padi menunjukkan elastisitas produksi dari penggunaan input dimana kondisi constant return to scale akan tercapai jika jumlah parameter dugaaan fungsi produksi mendekati nilai 1 (CRTS≈1). Kondisi CRTS mengindikasikan bahwa peningkatan 1 persen input secara bersamaan akan berdampak pada peningkatan output sebesar 1 persen (berpengaruh positif). Pada model dugaan fungsi produksi padi di Kabupaten Cianjur, asumsi CRTS sudah terpenuhi dimana jumlah koefisien parameter dugaan adalah sebesar 1.175. Variabel tingkat penerapan teknologi PTT yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi menunjukkan bahwa tingkat produksi usahatani padi dengan dan tanpa menggunakan teknologi PTT adalah sama (Gambar 4a). Tingkat produksi yang sama antara yang menerapkan teknologi PTT menunjukkan bahwa penerapan teknologi PTT belum optimal, sehingga tidak berdampak pada peningkatan produksi padi. Tidak berpengaruhnya tingkat penerapan teknologi terhadap produksi padi diduga disebabkan oleh tingkat penerapan teknologi yang belum optimal oleh petani, dimana sebagian besar petani yakni sebanyak 85.48 persen menerapkan pada level sedang. Oleh karena itu, peningkatan penerapan teknologi PTT di Kabupaten Cianjur perlu dilakukan melalui berbagai upaya, agar penerapan teknologi PTT dapat berdampak pada peningkatan produksi padi. Tidak berpengaruhnya tingkat penerapan teknologi terhadap produksi padi juga disebabkan oleh proses adopsi teknologi yang terjadi di lokasi penelitian belum optimal. Hal ini terindikasi dari rendahnya persentase tingkat penerapan komponen – komponen teknologi PTT tertentu, yaitu jarak tanam jajar legowo 2, pengairan secara efektif dan efisien, serta pengendalian hama terpadu. Menurut Rogers (1995), proses adopsi teknologi terdiri dari 5 tahapan: pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi
75
penelitian, meskipun program SLPTT padi telah berlangsung pada tahun 2012, namun hingga saat ini proses adopsi teknologi yang berlangsung sampai tahapan keputusan, dimana petani menentukan untuk menerapkan atau menolak suatu inovasi. Persentase tingkat penerapan komponen teknologi yang rendah mengindikasikan bahwa terdapat sebagian petani sampel yang menolak adanya inovasi, sehingga tidak menerapkan komponen teknologi PTT tersebut dalam usahatani padinya. Tingkat penerapan teknologi yang tidak berpengaruh signifikan dan positif terhadap produksi padi dapat terindikasi dari jumlah produksi padi pada musim tanam tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data recall usahatani padi pada musim tanam Januari – Mei 2014, yang merupakan musim hujan, di mana musim ini merupakan musim tanam dengan hasil produksi paling rendah dibandingkan 2 musim tanam lainnya. Hal ini diantaranya disebabkan oleh tingginya curah hujan yang mengakibatkan lahan tergenang air dan mudah diserang hama keong serta banyaknya angin yang mengakibatkan padi sulit berbuah sehingga tanaman padi cenderung tidak berisi (hapa). Teknologi diciptakan dengan tujuan menurunkan ketidakpastian hubungan sebab-akibat dalam usaha mencapai hasil yang diinginkan (Rogers 1995). Berdasarkan hasil penelitian, rata – rata produktivitas usahatani padi di Kabupaten Cianjur adalah sebesar 5.07 ton/hektar, sedangkan pada musim tanam optimal hasil produksi padi dapat mencapai 6 – 6.5 ton/hektar. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi PTT di Kabupaten Cianjur belum dapat meminimalisasi penurunan produksi padi yang disebabkan oleh cuaca/musim hujan. Hal ini diduga disebabkan oleh tingkat penerapan teknologi PTT padi yang sebagian besar berada pada level sedang, di mana penerapan teknologi PTT belum optimal, sehingga tidak memberikan pengaruh yang positif terhadap produksi padi. Faktor eksternal lainnya yang diduga turut berpengaruh pada rendahnya produksi sehingga tingkat penerapan teknologi PTT tidak berpengaruh secara signifikan adalah rendahnya kualitas infrastruktur pertanian khususnya pengairan. Pada beberapa lokasi sawah petani sampel, terdapat lahan sawah yang tidak mendapat air bersih sebagai pengairan. Hal ini disebabkan sungai sumber pengairan sawah tercemar oleh limbah pengerukan semen. Tidak tersedianya sumber pengairan sawah yang baik mengakibatkan penurunan produksi mencapai 20 - 30 persen, sebab air yang tercemar membuat lahan sawah keras, sehingga tanaman padi tidak dapat menyerap pupuk dan unsur hara lainnya dengan baik.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan: 1. Sebagian besar petani padi sampel telah menerapkan teknologi PTT padi pada tingkat sedang dimana komponen teknologi dengan tingkat penerapan paling rendah adalah jarak tanam jajar legowo 2 dengan persentase tingkat penerapan sebesar 43.55 persen.
76
2. Faktor-faktor yang berpengaruh secara positif tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur adalah intensitas keiikutsertaan petani dalam Sekolah Lapang PTT, jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti oleh petani, dan status pekerjaan petani. 3. Input yang berpengaruh secara positif terhadap produksi padi di Kabupaten Cianjur adalah pupuk urea dan NPK Phonska, namun di sisi lain tingkat penerapan teknologi PTT berpengaruh positif terhadap produksi padi, namun pengaruhnya tidak signifikan sebab tingkat penerapan teknologi belum optimal, masih berada pada kategori sedang. Saran Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa intensitas kehadiran petani dalam pelatihan SLPTT berdampak positif dan signifikan terhadap tingkat penerapan teknologi PTT berimplikasi pada perlunya upaya dari berbagai pihak untuk meningkatkan kehadiran dan partisipasi petani dalam SLPTT, di antaranya: motivasi dari ketua kelompok tani sebagai panutan petani setempat, pelaksanaan program SLPTT yang bertepatan dengan musim tanam, pemberian bantuan input produksi yang tepat waktu, serta meluasnya penerapan program SLPTT padi sehingga seluruh petani padi dapat terjangkau pelaksanaan program. Selain itu, pemerintah bersama petani perlu melakukan pengawasan dalam subsistem input, di antaranya berupa kontrol terhadap kualitas benih bersertifikat yang beredar di petani dan pengadaan bersama pupuk organik di tingkat petani secara swasembada.
77
DAFTAR PUSTAKA Atala S. (2002). Dependable Food and Agriculture News. Agricultural Business Today. 1(7):16 Awotide BA, Diagne A, Omonona BT. 2012. Impact of Improved Agricultural Technology Adoption on Sustainable Rice Productivity and Rural Farmers’ Welfare in Nigeria: A Local Average Treatment Effect (LATE) Technique. African Economic Conference; October 30- November 2, 2012 Kigali, Rwanda. [Internet]. [Diunduh pada 26 Oktober 2013]. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian.2008. Kontribusi Teknologi Balitbangtan terhadap Produktivitas Pertanian Nasional tahun 2007. Jakarta: Balitbang Deptan. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2014. Luas Panen-Produksi-Produktivitas Padi Seluruh Indonesia 2007-2013. [Internet]. [Diunduh 20 Februari 2014]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php? kat=3&id_ subyek=53 ¬ab=0. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Cianjur dalam Angka 2013. [Internet]. [Diakses pada 15 Agustus 2014]. Tersedia pada: http://cianjurkab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=1. [BPTP]. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2011. Jerami Padi sebagai Bahan Organik di Lahan Sawah. Bandung (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. [BPTP]. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2011. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah. Bandung (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Chi TTN. 2008. Factors Affecting Technology Adoption among Rice Farmers in The Mekong Delta Trough the lens of the Local Authorial Managers: An Analysis of Qualitative Data. [Internet]. [diunduh 29 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://clrri.org/ver2/uploads/noidung/16-14.pdf. Omonrice Vol (16) Tahun 2008. Hlm. 107 – 112. Coelli TJ, Rao DSP, O’Donnel CJ, Battese GE. 2005. An introduction to efficiency and productivity analysis. 2nd edition. New York (US): Springer. Debertin DL. 2002. Agricultural Production Economics: Second Edition. Kentucky (US): University of Kentucky. Doll JP, Orazem F. 1984. Production Economics: Theory with Applications. Second Edition. John Wiley & Sons Inc (US) : United States of America. Darmadi DE. 2013. Pengaruh Tingkat Penerapan Konservasi terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Sayuran di Kecamatan Bumiaji Kota Batu. [Jurnal]. Malang (ID): Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Diiro, Gracious M. 2012. Impact of Off-farm Income on Agricultural Technology Adoption Intensity and Productivity. International Food Policy Research Institute, Working Paper 11 Tahun 2013. Hlm 1 – 13. [Diperta]. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2013. Petunjuk Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman ddan Sumberdaya Terpadu (SLPTT) di Provinsi Jawa Barat. Bandung: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat.
78
[Distan]. Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. 2013. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur 2013. Cianjur (ID): Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. The Mc Graw HillCompanies (US): United States of America. Ghimire R, Wen-chi H, Rudra BS. 2015. Factors Affecting Adoption of Improved Rice Varieties among Rural Farm Households in Central Nepal. Rice Science, 2015, 22(1): 35−43. [Internet]. Tersedia pada: http://www.ricescience.org/fileup/PDF/2014-0007W.pdf. Hernanto F. 1988. Ilmu Usahatani. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ibrahim AA, Mustapha SB, Nuhu SH. 2012. Effects of Adoption of Rice Production Technologies on Farmers’ Income in Borno State, Nigeria. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science.Vol.1, Edisi 4 (Nov. - Dec. 2012), hlm.19-22. Ibrahim AA. 2012. The Determinants of Farmer Adoption of Improved Peanut Varieties and Their Impact on Farm Income: Evidence from Northern Ghana. [Internet]. [Diunduh pada 26 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/125000/2/IbrahimEtAl.pdf. Irawati IN. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor- Faktor Produksi Usahatani Padi Program PTT dan Non-Program PTT (Kasus: Penerapan Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di Kabupaten Karawang). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Johannes et.al. 2010. Adoption of Maize and Cassava Production Technologies in the Forest-Savannah Zone of Cameroon: Implications for Poverty Reduction. World Applied Sciences Journal Vol.11, Edisi 2, hlm.196-209. [Internet] [Diunduh pada 27 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://idosi.org/wasj/wasj11%282%29/13.pdf. Kariyasa K dan Dewi YA. 2012. Analysis of Factors Affecting Adoption of Integrated Crop Management Farmer Field School (ICM - FFS) in Swampy Areas. International Journal of Food and Agricultural Economics. Vol. 1 (2).p 29-38 [Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Peta Potensi Penghematan Pupuk Anorganik dan Pengembangan Pupuk Organik pada Lahan Sawah di Indonesia. Jakarta (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan. [KPU] Komisi Pemilihan Umum. 2012. Jumlah Penduduk Indonesia 255 juta jiwa. [Internet]. [Diunduh pada: 1 April 2013]. Tersedia pada: http://nasional.sindonews.com/read/2012/10/15/12/679990/kpu-jumlahpenduduk-indonesia-255-juta. Koutsoyiannis. 1979. Modern Microeconomics. The Macmiliian Press Ltd. London. Lin JYF. 1999. Technological Change and Agricultural Household Income Distribution: Theory and Evidence from China. Tersedia pada: The Australian Journal of Agricultural and Resource Economics 43:2, pp 179194. Mari FM dan Lohano HD. 2007. Measuring Production Function and Technical Efficiency of Onion, Tomato, and Chillies Farms in Sindh, Pakistan. The Pakistan Development Review. Vol. 46 (4) Part II. p. 1053 – 1064.
79
Muslimin. 2012. Pengaruh Penerapan Teknologi dan Kelembagaan terhadap Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Padi di Provinsi Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Musyafak A dan Ibrahim TM. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. [Internet]. [Diunduh pada 26 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ ART031a.pdf. Neter J, William W, Kutner MH. 1989. Applied Linear Regression Models. Second Edition. Boston (US): Homewood IL. Nguezet, et.al. 2011. Impact of Improved Rice Technology on Income and Poverty among Rice Farming Household in Nigeria: A Local Average Treatment Effect (LATE) Approach. Quaterly Journal of International Agriculture 50 Vol (3) Tahun 2011. Hlm. 267 – 291. [Internet]. [diunduh pada 26 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://www.csae.ox.ac.uk/conferences/2011EDiA/papers/247DontsopNguez et.pdf Ntege-Nyanyeenya W, Maria MM, Wilfred M, Hugo V. 1997. An Assessment of Factors Affecting Adoption of Maize Production Technologies in Iganga District, Uganda. [NARO – National Agricultural Researcher Organisation]. International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT).Addis Ababa: etiopia. [Internet]. Tersedia pada: http://repository.cimmyt.org/xmlui/bitstream/handle/10883/956/65998.pdf. Ogada MJ, et.al. 2010. Production risk and farm technology adoption in the rainfed semi-arid lands of Kenya. Olagunju Iyabo F, Salimonu, Kayode K. 2010. Effect of Adoption Pattern of Fertilizer Technology on Small Scale Farmer’s Productivity in Boluwaduro Local Government. World Rural Observations 2010 2 (3). [Internet]. Tersedia pada: http://www.sciencepub.net/rural/rural0203/03_3975wro0203_23_33.pdf. [OECD]. Organization for Economic Co – Operation and Develeopment. 2001. Adoption of Technologies for Sustainable Farming Systems. Working Papers. [Internet]. [Diunduh pada 26 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://www.oecd.org/greengrowth/sustainable-agriculture/2739771. pdf. Olayide SO. 1980. Nigeria small farmers’ problems and process in integrated Rural Development. Center for Agriculture and Rural Development (CARD) University Ibadan, Nigeria Hlm. 20-22. [Pusdatin Kementan]. Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian. 2013. Statistika Pertanian 2012. Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian. [PPBTP]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2006. Sistem Produksi Padi Hemat Input. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 28 (2). Hlm: 4-5. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (ID): Bogor. [Pemprov Jabar]. Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. 2013. Rencana Jangka Menengah Daerah 2013 [internet] tersedia pada: http://www.jabarprov.go.id/assets/data/menu/2BAB_II_RPJMD_20_Septem ber_2013.pdf [diunduh 15 April 2014].
80
Pribadi Y. 2002. Analisis Produksi dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi Sawit Dupa pada Usahatani Padi di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan. [Tesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rogers EM dan Shoemaker. 1971. Communication of Innovation: Across –cultural Approach. The Free Press, A Division of Macmillian Publishing Co.Inc, New York (US). Rogers EM. 1995. Diffusion of Innovations (Second Edition). The Free Press, A Division of Macmillian Publishing Co.Inc, New York (US). Seitz WD, Nelson GC, HalcrowHG. 1994. Economics of Resources, Agriculture, and Food. Singapura (SG): McGraw-Hill Book Co. Setyadharma A. 2010. Uji Asumsi Klasik dengan SPSS 16.0. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI Press. Supranto. 2008. Statistik: Teori dan Aplikasi. Edisi ke-7.Jakarta (ID): Penerbit Erlangga Suratiyah K. 2009. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penerbit Swadaya. Suri T. 2009. Selection and Comparative Advantage in Technology Adoption. National Bureau of Economic Research, Working Paper No. 15346. [Internet]. [diunduh pada 26 Oktober 2013]. Tersedia pada: www.nber.org/papers/w15346. Tiamiyu et.al. 2009. Technology Adoption and Productivity Difference among Growers of New Rice for Africa in Savanna Zone of Nigeria. Tropicultural Journal, 27 (4). Hlm 193-197. Tiominar AK. Keragaan dan Pendapatan Usahatani Padi SLPTT dan Non SLPTT di Desa Sukaratu, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Uaiene RN. 2011. Determinants of Agricultural Technology Adoption in Mozambique. Dialogue on Promoting Agricultural Growth in Mozambique; 21 July 2011 [Internet]. [Diunduh pada: 27 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://fsg.afre.msu.edu/mozambique/caadp/ Uaiene_Adopcao_Tecnologias ENG.pdf. Wahid AS. Peningkatan Efisiensi Pupuk Nitrogen pada Padi Sawah dengan Metode Bagan Warna Daun. Jurnal Litbang Pertanian. Vol.22 (4) tahun 2003. Hlm 156 – 161. Yesuf M dan Kohlin G. 2008. Market Imperfections and Farm Technology Adoption Decisions: A Case Study from the Highlands of Ethiopia. Working Papers in Economics No 403; November 2009 University of Gothenburg, School of Economics, Business, and Law. [Internet]. [diunduh pada 26 Oktober 2013]. Tersedia pada: https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/21494/1/gupea_2077_21494_1.pdf. Yuliarmi. 2006. Analisis Produksi dan Faktor-faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang pada Usahatani Padi.[Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Zakaria AK. 2010. Dampak Penerapan Teknologi Usahatani Kedelai di Agroekosistem Lahan Kering terhadap Pendapatan Petani.Jurnal Agrika 4(2) hlm.67-78.
81
Lampiran 1
Hasil pendugaan model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur, Januari – Mei 2014 Model Summaryb Change Statistics
Std. Error R Model 1
R
Adjusted
Square R Square
0.910a
0.828
of the
R Square
F
Estimate
Change
Change
0.802 0.31742076
df1
0.828 31.969
df2 8
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
53
0.000
1.872
a. Predictors: (Constant), LN PTT, LN HOK, LN OPADAT, LN UREA, LN POSKA, LN ORGANIK, LN BENIH, LN LAHAN b. Dependent Variable: LN PANENKG ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
Df
Mean Square
F
25.768
8
3.221
5.340
53
0.101
31.109
61
Sig. 0.000a
31.969
a. Predictors: (Constant), LN PTT, LN HOK, LN OPADAT, LN UREA, LN POSKA, LN ORGANIK, LN BENIH, LN LAHAN b. Dependent Variable: LN PANENKG Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B
Standardized Coefficients
Std. Error
(Constant)
6.841
2.174
LNLAHAN
0.748
0.110
LNBENIH
0.025
LNORGANIK
Collinearity Statistics
Beta
t
Sig.
Tolerance
VIF
3.146
0.003
0.749
6.769
0.000
0.265
3.776
0.118
0.023
0.214
0.831
0.294
3.404
0.006
0.007
0.070
0.892
0.376
0.526
1.900
LNPOSKA
0.012
0.006
0.133
1.943
0.057
0.689
1.451
LNUREA
0.017
0.009
0.117
1.939
0.058
0.885
1.130
LNOPADAT
0.005
0.008
0.041
0.670
0.506
0.865
1.156
LNHOK
0.043
0.068
0.056
0.626
0.534
0.407
2.455
LNPTT
0.319
0.501
0.059
0.637
0.527
0.374
2.671
a. Dependent Variable: LNPANENKG Residuals Statisticsa Minimum Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual
6.0126801 - 0.86350006 -2.224 -2.720
a. Dependent Variable: LNPANENKG
Maximum 8.6989164 0.63176489 1.909 1.990
Mean 7.4584033 0.00000000 0.000 0.000
Std. Deviation 0.64994886 0.29587505 1.000 0.932
N 62 62 62 62
82
Lampiran 2
Hasil uji normalitas model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur, Januari – Mei 2014
N Statistic Unstandardized Residual Valid N (listwise)
62 62
Skewness Statistic Std. Error - 0.254 0.304
Kurtosis Statistic Std. Error 0.663
0.599
83
Lampiran 3
Hasil uji heteroskedastisitas model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur, Januari – Mei 2014
Coefficientsa Model Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) -0.676 1.260 Ln lahan 0.051 0.064 0.188 Ln benih -0.031 0.068 -0.103 Ln organik -0.004 0.004 -0.195 1 Ln poska -0.004 0.004 -0.153 Ln urea -0.011 0.005 -0.262 Ln opadat -0.010 0.005 -0.287 Ln hok -0.015 0.040 -0.073 Ln ptt 0.277 0.290 0.188 a. Dependent Variable: abresid
t
-0.537 0.801 -0.461 -1.172 -1.051 -2.043 -2.212 -0.389 0.955
Sig.
0.594 0.427 0.647 0.246 0.298 0.046 0.031 0.699 0.344
Collinearity Statistics Tolerance VIF 0.265 0.294 0.526 0.689 0.885 0.865 0.407 0.374
3.776 3.404 1.900 1.451 1.130 1.156 2.455 2.671
84
Lampiran 4
Hasil output pendugaan parameter model faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT
Model Summaryb Model R R Adjusted Std. Change Statistics DurbinSquare R Square Error of Watson R F df1 df2 Sig. F the Square Change Change Estimate Change a 1 0.641 0.411 0.322 4.923 0.411 4.618 8 53 0.000 2.138 a. Predictors: (Constant), tkdk, status petani, intensitas slptt, bantuan, pengalaman ustan, pelatihan luar, pendidikan, pendapatan non ustan b. Dependent Variable: tkptt
Model Regression 1
ANOVAa df
Sum of Squares 895.397
8
Mean Square 111.925 24.236
Residual
1284.490
53
Total
2179.887
61
F 4.618
Sig. 0.000b
a. Dependent Variable: tkptt b. Predictors: (Constant), tkdk, status petani, intensitas slptt, bantuan, pengalaman ustan, pelatihan luar, pendidikan, pendapatan non ustan
Coefficients Model
(Constant) Pendidikan Pengalaman ustan Status petani 1 Pendapatan non ustan Intensitas slptt Pelatihan luar Bantuan Tkdk
Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual a. Dependent Variable: tkptt
Unstandardized Coefficients B Std. Error 34.265
5.311
0.282 -0.034 3.427 0.076 5.887 4.802 0.180 0.936
0.344 0.062 2.279 0.065 2.455 1.933 1.549 1.398
Minimum 39.03 -9.696 -1.469 -1.970
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
6.452 0.000 0.119 -0.069 0.204 0.186 0.285 0.351 0.013 0.084
0.818 -0.542 1.504 1.178 2.398 2.484 0.116 0.670
Residuals Statisticsa Maximum Mean 59.93 44.66 9.268 0.000 3.986 0.000 1.883 0.000
0.417 0.590 0.139 0.244 0.020 0.016 0.908 0.506
0.526 0.679 0.607 0.446 0.789 0.555 0.851 0.715
Std. Deviation 3.831 4.589 1.000 0.932
1.901 1.472 1.649 2.243 1.267 1.801 1.175 1.399
N 62 62 62 62
85
Lampiran 5
Hasil uji normalitas model faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur
N Statistic Unstandardized Residual Valid N (listwise)
62 62
Skewness Statistic Std. Error -.216 .304
Kurtosis Statistic Std. Error -.447 .599
86
Lampiran 6
Hasil uji heteroskedastisitas model faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur
Model
Coefficientsa Unstandardized Coefficients B
(Constant) Tkdk Pendidikan pengalamanustan 1 statuspetani pendapatanonustan intensitaslptt pelatihanluar Bantuan a. Dependent Variable: abresid
3.543 -0.178 -0.101 -0.034 1.638 -0.016 1.775 -0.131 -0.267
Std. Error 3.062 0.806 0.199 0.036 1.314 0.037 1.415 1.115 0.893
Standardized Coefficients Beta -0.034 -0.091 -0.153 0.208 -0.085 0.184 -0.020 -0.042
t
1.157 -0.220 -0.508 -0.966 1.247 -0.435 1.254 -0.117 -0.300
Sig.
0.252 0.826 0.614 0.339 0.218 0.665 0.215 0.907 0.766
87
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 April 1991 dari pasangan Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil dan Ibu Ir. Andri Ernawati, M.AgrSc. Penulis merupakan sulung dari 2 bersaudara. Adik penulis bernama Benedicto Samosir. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program Mayor Agribisnis di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Penulis memulai jenjang pendidikan Master dengan jurusan Magister Sains Agribisnis pada tahun 2012, melalui program Fast Track Sinergi S1-S2. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis menerima beasiswa dari Yayasan Marga Jaya pada tahun terakhir penulis di pendidikan sarjana, dan Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri (BU-BPKLN) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional pada tingkat pendidikan Magister. Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di IPB seperti International Association of Students in Agricuture and Related Sciences (IAAS) selama tiga periode kepengurusan yakni 2009-2010, 2010-2011, hingga menjadi Executive Secretary pada tahun kepengurusan 2011-2012. Selain aktif di organisasi IAAS, penulis juga aktif di koor mahasiswa Kemaki Puella Domini Choir dan menjuarai Fesparawi tingkat Jabodetabek pada tahun 2011. Penulis juga menjadi delegasi IPB dalam program JENESYS 2012 serta mengikuti kepanitiaan acaraacara lainnya seperti OMI 2011 dan Masa Perkenalan Departemen Agribisnis 2011. Saat ini penulis telah diterima bekerja dalam Management Development Program PT. Qatar National Bank Indonesia, Tbk.