PENERAPAN POLA AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN Oleh : Asep Rohandi (Balai Penelitian Teknologi Agroforestry) ABSTRAK Pengembangan sumber benih masih perlu dilakukan baik secara kualitas ataupun kuantitas untuk memenuhi kebutuhan benih unggul pada berbagai kegiatan penanaman. Sumber benih perlu dikelola secara produktif dan lestari serta dikembangkan menjadi sistem usaha yang layak secara finansial. Suatu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan pola agroforestry dalam pengelolaan sumber benih untuk meningkatkan produktifitas lahan dan efisiensi dalam sistem pemeliharaan tanaman pokok. Pola ini dapat dikembangkan untuk mendapatkan hasil multifungsi, selain dalam jangka panjang menghasilkan benih berkualitas juga secara jangka pendek dapat menghasilkan nilai tambah dari hasil tanaman semusim ataupun tanaman tahunan. Selain itu, penerapan pola agroforestry diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat dalam pengembangan sumber benih secara swadaya/mandiri sehingga dapat memberikan kontribusi nyata dalam penyediaan benih unggul secara berkesinambungan. Kata kunci : Benih unggul, pola agroforestry, sumber benih
I. PENDAHULUAN Keberadaan sumber benih sebagai penyedia benih unggul sangat penting untuk meningkatkan produktifitas hutan tanaman. Secara umum penggunaan benih bermutu untuk berbagai kegiatan penanaman pada saat ini masih sangat rendah. Benih yang dihasilkan dari sumber benih yang tersedia hanya mampu memenuhi sekitar 19,35% dari kebutuhan (Pramono, 2006). Sebagian besar bibit yang ditaman berasal dari benih yang bermutu rendah bahkan seringkali dari semai liar yang tumbuh secara alami. Selain itu, adanya dugaan kurang luasnya dasar genetik dari jenis-jenis yang telah didomestikasi seringkali menyebabkan kegagalan penanaman. Pengembangan model sumber benih hutan rakyat merupakan salah satu alternatif penyediaan benih berkualitas untuk meningkatkan produktifitas hutan tanaman berbasis masyarakat. Pembangunan model sumber benih hutan rakyat dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan rakyat tanpa melanggar prinsip-prinsip pembangunan sumber benih untuk menghasilkan benih berkualitas. Berdasarkan jenis tanaman dan pola penanamannya, pengelolaan hutan rakyat dapat digolongkan ke dalam bentuk-bentuk hutan rakyat murni, hutan rakyat campuran dan hutan rakyat dengan sistem agroforestry atau tumpangsari (Hardjanto, 2003). Penanaman dengan pola agroforestry atau tumpangsari dalam pembangunan hutan rakyat lebih Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________ Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 35
menguntungkan dibandingkan dengan sitem monokultur (Wijayanto, 2006). Pola ini dapat dikembangkan dalam pengelolaan sumber benih hutan untuk mendapatkan hasil multifungsi, selain dalam jangka panjang menghasilkan benih berkualitas juga secara jangka pendek dapat menghasilkan nilai tambah dari hasil tanaman semusim. Sumber benih bersertifikat yang tersedia saat ini, sekitar 25% dikelola oleh kelompok tani dan perorangan (Direktur BPDASPS, 2011). Sumber benih tersebut sebagian besar merupakan hasil konversi/penunjukkan yang dikelola berdasarkan prinsif-prinsif pengelolaan hutan rakyat diantaranya dengan penerapan pola agroforestry. Dawson et al., (2008) menjelaskan bahwa jenisjenis pohon dalam pola agroforestry berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat perdesaan dan memainkan peran penting dalam konservasi keanekaragaman hayati. Sementara itu, Leakey et al. (2004), pola agroforestry juga makin banyak diterapkan karena adanya rangsangan permintaan kayu yang cenderung meningkat dengan harga yang menjanjikan. Domestikasi jenis-jenis pohon dalam pola agroforestry merupakan jawaban ketika permintaan kayu melebihi kemampuan suplainya Domestikasi jenis-jenis pohon asli merupakan salah satu cara untuk mendiversifikasi sistem pertanian yang membuatnya lebih lestari melalui tambahan produk dan jasa lingkungan. Strategi domestikasi pohon dalam pola agroforestry melibatkan pemanfaatan 3 populasi yang saling berhubunganya, yaitu populasi sumber gen untuk konservasi genetik, populasi seleksi untuk pemuliaan, dan populasi produksi untuk digunakan petani dalam program penanaman. Tulisan ini memaparkan tentang pengelolaan sumber benih dengan menerapkan pola agroforestry sebagai upaya dalam peningkatan efisiensi dan optimalisasi lahan. Selain itu, digambarkan pula praktek agroforestry yang sudah dilakukan pada beberapa model sumber benih yang mungkin dapat diadopsi dan dikembangkan dalam pengelolaan sumber benih di masa yang akan datang. II. PENGEMBANGAN SUMBER BENIH DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA Sumber benih adalah suatu tegakan di dalam kawasan dan di luar kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih berkualitas. Berdasarkan Permenhut Nomor P. 72/Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Permenhut Nomor P.01/Menhut-II/2009 tentang penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan, sumber benih diklasifikasikan menjadi 7 kelas yaitu : 1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), 2) Tegakan Benih Terseleksi (TBS), 3) Areal Produksi Benih, 4) Tegakan Benih Provenan (TBP), Kebun Benih Semai (KBS), Kebun Benih Klon (KBK) dan Kebun Pangkas (KP). Ketersediaan sumber benih pada saat ini masih terbatas baik dari jumlah (kuantitas) ataupun kualitas. Menurut Direktur BPDASPS (2011), jumlah lokasi sumber benih sampai tahun 2010 adalah sebanyak 673 lokasi dengan luas 10.533,03 Ha yang tersebar pada beberapa wilayah yaitu Sumatera (129 lokasi/2.024,76 Ha), Kalimantan (60 lokasi/2.248,81 Ha), Jawa Madura (215 lokasi/3.677,15 Ha), Bali dan Nusatenggara (97 lokasi/404,40 Ha), Sulawesi (157
_____________________________________________________________________________________
36
Prosoding Workshop Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry
lokasi/1.817,57 Ha) dan Maluku-Papua (15 lokasi/445,27 Ha). Berdasarkan klasifikasinya, sumber benih tersebut sebagian besar masih memiliki kelas yang cukup rendah yaitu Tegakan Benih Teridentifikasi sebanyak 70%, Tegakan Benih Terseleksi 15%, Areal Produksi Benih 7% dan hanya sebesar 8% yang memiliki kelas cukup tinggi yaitu TBP, KBS, KBK dan KP. Jumlah jenis tanaman pada sumber benih sebanyak 110 jenis. Sementara itu bila dilihat dari kepemilikan, sumber benih yang tersedia saat ini dikelola oleh berbagai pengelola antara lain Dinas Kabupaten/Kota sebanyak 197 lokasi, Kemenhut (Taman Nasional, BKSDA, UPT Litbang) 49 lokasi, kelompok tani/perorangan 169 lokasi dan swasta (BUMN/BUMS) 258 lokasi. Sementara itu, beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini dalam pengembangan sumber benih sebagai penyedia benih bermutu (Rukmini, 2011; Direktur BPDASPS, 2011) antara lain : 1. Sumber benih dengan kualitas genetik tinggi (kebun benih, kebun pangkas) masih sangat sedikit. 2. Pemilik/pengelola sumber benih kelompok tani/perorangan cukup banyak (25%) namun belum ada kejelasan pemasarannya dan belum ada insentif sehingga rawan untuk beralih fungsi (sistem tata usaha perbenihan belum optimal). 3. Pengelola sumber benih atau pengada/pengedar benih belum memiliki tempat penyimpanan benih sehingga pada waktu diperlukan benih tidak tersedia mengingat musim panen tidak sama untuk setiap jenis. 4. Pengelolaan sumber benih kurang intensif oleh pemilik/pengelola pasca sertifikasi. 5. Sumber benih belum dimanfaatkan secara optimal oleh para produsen bibit. 6. Terdapat benih jenis tertentu yang belum ada sumber benihnya karena belum ada tegakan jenis tersebut yang memenuhi persyaratan sumber benih. III. PENGEMBANGAN SUMBER BENIH BERBASIS HUTAN RAKYAT Pembangunan sumber benih hutan rakyat dikembangkan dengan mengadopsi sistem pengelolaan hutan rakyat yang sudah banyak dilakukan masyarakat. Pengembangan model sumber benih hutan rakyat merupakan salah satu alternatif penyediaan benih berkualitas untuk meningkatkan produktifitas hutan tanaman berbasis masyarakat. Model sumber benih ini dikembangkan untuk merubah kenyataan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan benih berkualitas telah disadari oleh para pengembang HTI, namun tidak demikian dengan masyarakat pemilik hutan rakyat. Benih berkualitas belum menjadi bahan pertimbangan penting (Pramono, 2006; Roshetko dan Verbist, 2004). Pengelolaan model sumber benih ini perlu diusahakan dapat memenuhi kelayakan secara finansial. Wijayanto (2006) menjelaskan bahwa agar usaha hutan rakyat layak secara finansial maka perlu dilakukan beberapa hal antara
Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________ Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 37
lain: (1) Pohon ditanam dengan sistem agroforestry, (2) Pembangunan hutan secara monokultur tidak menguntungkan, (3) Tanaman pertaniarn yang dipilih memiliki nilai ekonomi yang tinggi, (4) Campuran pohon memiliki daur yang beragam, (5) Pendapatan yang diperoleh petani bersifat kontinyu, (6) Sejak tahun awal pembangunan hutan, diharapkan petani memperoleh hasil atau pendapatan, (7) Produk yang dihasilkan beranekaragam, (8) Jenis-jenis pohon serbaguna menjadi bagian penting dalam sistem dan (9) Kemitraan dapat dibangun antara perusahaan dan petani dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Berdasarkan hal tersebut, penerapan pola tumpangsari mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dalam model sumber benih hutan rakyat sehingga dapat menguntungkan bagi masyarakat. Pola tumpangsari dapat diterapkan pada beberapa model sumber benih sehingga dapat menjadi sistem usaha yang produktif dan lestari seperti pada beberapa model/tipe sumber benih petani (Roshetko et al, 2004) berupa kebun benih petani berbentuk campuran, barisan ataupun monokultur. Selanjutnya Pramono (2006) menjelaskan beberapa pola model sumber benih yang mungkin dikembangkan sesuai dengan pola hutan rakyat diantaranya pada lahan pekarangan, tegal atau kebun campur. Sumber benih ditanam bercampur dengan tanaman pertanian dan holtikultura tahunan. Dengan model seperti ini, sumber benih bisa merupakan optimalisasi pemanfaatan ruang atau pengayaan dari hutan rakyat yang telah ada. Pengembangan sumber benih hutan rakyat dapat dilkukan melalui penunjukkan/konversi dari tegakan hutan rakyat yang telah ada. Kegiatan tersebut sering dilakukan pada jenis-jenis yang sudah populer seperti sengon, jati dan mahoni, sedangkan untuk jenis lainnya masih sangat terbatas. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh kurangnya informasi keberadaan tegakan potensial yang dapat ditunjuk/dikonversi menjadi sumber benih. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, ditemukan populasi/tegakan yang memiliki potensi untuk dijadikan sumber benih sehingga memenuhi syarat untuk disertifikasi baik di hutan tanaman ataupun hutan alam. Ditemukan pula beberapa tanaman hutan dengan ukuran besar yang selama ini benihnya sudah digunakan oleh masyarakat setempat untuk produksi bibit. Tegakan tersebut sangat potensial untuk digunakan sebagai pohon induk. Populasi potensial untuk beberapa jenis-jenis hutan rakyat yang dapat dikembangkan menjadi sumber benih pada beberapa lokasi selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tegakan potensial beberapa jenis tanaman hutan rakyat di beberapa lokasi yang cukup potensial untuk dikembangkan menjadi sumber benih No 1 2
Jenis Manglid Manglid
Lokasi Desa Wandasari, Kec. Bojonggambir, Kab. Tasikmalaya Desa Jaya Mekar, Kec. Cibugel, Kab.
Tipe Tegakan Hutan Rakyat Monokultur
Rohandi (2010)
et
al.
Hutan Rakyat Monokultur
Rohandi (2010)
et
al.
_____________________________________________________________________________________
38
Sumber
Prosoding Workshop Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry
No
3 4
Jenis Manglid
Ganitri Ganitri
5 6 7 8 9 10 11
Ganitri Ganitri
Mimba Mimba Mimba
Mindi
Lokasi Sumedang Desa Lebak Baru, Kec. Cikupa, Kab. Ciamis Desa Neglasari, Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya Desa Serang, Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya Desa Haruman, Kec. Leles, Kab. Garut Desa Sukahurip, Kec. Sukawening, Kab. Garut Padekanmalang, Panarukan Kab. Situbondo Bangsring Wongsorejo Kab. Banyuwangi Tunggul Paciran, Kab. Lamongan Desa Wanasari, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta.
Tipe Tegakan
Sumber
Hutan Rakyat Monokultur Hutan Rakyat Monokultur
Rohandi (2010) Rohandi (2011)
et
al.
et
al.
Hutan Rakyat Monokultur
Rohandi (2011)
et
al.
Hutan Rakyat Monokultur Hutan Rakyat Monokultur Hutan Rakyat Monokultur
Rohandi (2011) Rohandi (2011)
et
al.
et
al.
Hutan Rakyat Monokultur Hutan Rakyat Monokultur Hutan Rakyat Monokultur
Danu et al. (2007) Danu et al. (2007) Pramono et al. (2008)
Danu (2007)
et
al.
IV. PRAKTEK/PENERAPAN POLA AGROFORESTRY PADA BEBERAPA MODEL SUMBER BENIH A. Pola Tanam, Pemeliharaan dan Produksi Penerapan pola agroforestry dalam pengelolaan model sumber benih sebenarnya hampir sama dengan pola agroforestry pada hutan rakyat. Hal yang membedakannya adalah perlunya penerapan prinsip-prinsip pembangunan sumber benih untuk menghasilkan benih berkualitas. Roshetko et al. (2004), kebun benih petani terdiri dari keanekaragaman spesies dan untuk menghasilkan beraneka ragam produk. Kebun hendaknya merupakan tumpangsari antara tanaman semusim dan tahunan. Pramono (2006) menjelaskan bahwa pola tanam sumber benih yang selama ini monokultur, merata dan teratur disesuaikan menjadi pola tanam campuran. Karakteristik hutan rakyat yang multifungsi tetap dipertahankan yaitu pola tanam gabungan antara pertanian dan kehutanan, untuk menyeimbangkan kegiatan produksi dengan usaha konservasi. Dalam pengembangan sumber benih hutan rakyat, karena yang diharapkan dari hasilnya terutama adalah benih maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tindakan pemeliharaan yang menjamin pembungaan dan pembuahan bisa berjalan dengan optimal, dan produksi benihnya maksimal. Pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman semusim Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________ Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 39
merupakan hal penting dalam penerapan pola agroforestry pada pengelolaan sumber benih. Pertimbangan aspek teknis dan ekonomis perlu diperhatikan sehingga dapat dilakukan secara efektif dan efesien. Pengetahuan tentang karakteristik tumbuh dan pengetahuan mengenai prediksi harga tanaman semusim sangat penting sehingga dapat tumbuh optimal serta produk yang dihasilkan dapat dijual dengan harga yang menguntungkan. Tanaman semusim dapat ditumpangsarikan mulai dari awal pembangunan sumber benih terutama untuk jenis yang tidak tahan naungan seperti tanaman hortikultura, selanjutnya dapat dilakukan penanaman untuk jenis-jenis yang tahan naungan seperti jenisjenis herbal/obat-obatan. Roshetko et al. (2004) menyebutkan bahwa beberapa jenis tanaman obat seperti jahe, kunyit dan kapulaga merupakan tanaman yang bisa tumbuh dibawah naungan sehingga jenis ini dapat ditanam setelah tajuk mulai rapat yaitu sekitar tahun ketiga setelah pembangunan. Pola tanam yang digunakan perlu disesuaikan dan sebaiknya tidak mengganggu tanaman pokok. Tanaman semusim dapat terdiri dari lebih dari satu jenis dengan pengaturan sedemikian rupa sehingga dapat berproduksi secara optimal. Sebagai contoh penerapan pola agroforestry pada tegakan benih provenan sengon di Ciamis dimana pada umur 1-3 bulan ditanami ketimun, kemudian kacang panjang dan cabe rawit umur 4 sampai 7 bulan yang selanjutnya diganti dengan kacang tanah dan jagung mulai umur 8 bulan. Pengaturan siklus penanaman dan pengaturan jenis perlu terus dilakukan untuk optimalisasi penggunaan lahan sekaligus akan membantu mempermudah pemeliharaan tanaman pokok pada sumber benih. Meskipun demikian, Roshetko et al. (2004) menjelaskan bahwa untuk mencapai skala produksi yang ekonomis sebaiknya membatasi jumlah komponen utama menjadi 4-5 spesies. Pengaturan spesies ini dapat diselang-seling dengan pohon atau barisan atau kombinasi keduanya.
Gambar 1.
Penerapan beberapa pola agroforestry pada pembangunan Tegakan Benih Provenan sengon di Cimaragas, Kabupaten Ciamis
_____________________________________________________________________________________
40
Prosoding Workshop Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry
B. Studi Kasus Penerapan Pola Agroforestry Dalam Pengelolaan Sumber Benih Penerapan pola agroforestry dalam pengelolaan sumber benih sebenarnya sudah dilaksanakan dalam pengelolaan model sumber benih di beberapa lokasi (Tabel 2). Selain ditujukan untuk keperluan penelitian, pola ini sebenarnya diterapkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat sekitar lokasi sumber benih dalam rangka peningkatan pendapatan melalui peningkatan produktifitas lahan. Tanaman tumpangsari yang di budidayakan merupakan tanaman hortikultura yang sudah dikenal dan biasa dibudidayakan masyarakat setempat. Tabel 2. Praktek penerapan pola agroforestry pada beberapa model sumber benih No. 1.
2. 3.
4.
Lokasi
Model Sumber Benih
Parungpanjang KBS uji keturunan A. Bogor mangium (1992), P. falcataria (1992), S. macrophylla (1993), G. arborea (1994); kebun klon A. mangium (1998), introduksi Acacia spp. (1998), penanaman jenis AYU (1997), dan tegakan terseleksi E. pellita (1998). Cibugel Sumber benih hutan rakyat Sumedang jenis suren (Toona sureni) Cimaragas Tegakan Benih Provenan Ciamis Jenis Sengon (Falcataria moluccana)
Banjaran, Bandung
Sumber benih pinus (Pinus merkusii)
Tanaman Tumpangsari padi, kacang tanah, kacang tunggak, kentang hitam, singkong.
jagung Ketimun, cabe, kacang panjang, kacang tanah, jagung Kopi
Pengelola Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kelompok Tani Makmur, Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
Perum Perhutani
Sumber : Iriantono (2000); Iriantono et al. (2004); Rohandi (2011) Pada beberapa kasus seperti penerapan pola agroforestry di Parungpanjang Bogor, kegiatan hanya dilakukan selama 2 tahun. Setelah periode ini, tajuk pohon mulai rapat dan pesanggem mulai enggan bercocok tanam di bawah tegakan. Selain dilakukan pada awal pembangunan kebun benih, pola ini juga digunakan sebagai sistem pemeliharaan kebun benih setelah uji keturunan dijarangi. Tanaman pertanian ditanam di bawah tegakan pohon A. mangium yang sudah berumur 5 tahun. Penerapan pola tersebut memberikan manfaat yang saling menguntungkan, baik bagi pengelola sumber benih maupun bagi masyarakat (pesanggem). Sementara itu, pada kegiatan yang dilakukan pada pembangunan Tegakan Benih Provenan Sengon di Cimaragas Ciamis, meskipun dilakukan pada awal pembangunan tetapi beberapa keuntungan sudah diperoleh dimana penanaman tanaman semusim mampu memacu pertumbuhan awal Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________ Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 41
tanaman sengon. Selain itu, produksi yang diperoleh dari tanaman semusim cukup baik karena intensitas cahaya masih cukup optimal. Sampai umur tanaman 6 bulan dapat dilakukan dua kali panen yaitu ketimun dengan produksi 6,2 ton/ha dan kacang panjang 2,3 ton/ha. Studi kasus di atas merupakan gambaran dan selanjutnya dapat diadopsi dalam pengelolaan sumber benih yang dikembangkan sehingga pengelolaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien serta dapat memberikan hasil yang optimal. Selain menanam tanaman hotikultura, untuk selanjutnya pola agroforestry dalam pengelolaan sumber benih ini perlu dikembangkan tanaman lain yang mungkin dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi. V. PENUTUP Penyediaan benih bermutu melalui pengembangan sumber benih perlu terus dilakukan baik dari segi kualitas ataupun kuantitasnya. Sebagai upaya untuk mendapatkan hasil yang optimal, sumber benih yang telah dibangun ataupun ditunjuk perlu dikelola secara intensif. Salah satu sistem pengelolaan yang cukup potensial adalah dengan menerapkan pola agroforestry. Pola ini dapat dikembangkan untuk mendapatkan hasil multifungsi, selain dalam jangka panjang menghasilkan benih berkualitas juga secara jangka pendek dapat menghasilkan nilai tambah dari hasil tanaman semusim/tahunan. Penerapan pola ini juga diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat dalam pengembangan sumber benih secara swadaya yang dikelola secara produktif dan lestari sehingga dapat memberikan kontribusi nyata dalam penyediaan benih berkualitas secara berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA Danu, A. Rohandi, A. A. Pramono, A. Z. Abidin, Made Suartana dan H. Royani. 2007. Sebaran Populasi Tanaman Hutan Jenis Mimba (Azadirachta indica) untuk Sumber Benih di Jawa. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Dawson, I.K., Lengkeek, A., Weber, C.J., and Jamnadass, R. 2008. Managing genetic variation in tropical trees: linking knowledge with action in agroforestry ecosystems for improved conservation and enhanced livelihoods. Biodivers Conserv., 18:969-986. Direktur BPDASPS. 2011. Kebijakan Sumber Benih dan Potensi Kebutuhan Benih untuk Mendukung Penanaman satu Milyar Pohon. Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih : Peran Sumber Benih Unggul Dalam Mendukung Keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon. Yogyakarta, 30 Juni 2011. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
_____________________________________________________________________________________
42
Prosoding Workshop Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry
Leakey, R.R.B., Tchoundjeu, Z., Smith, R.I., Munro, R.C., Fondoun, JM., Kengue, J., Anegbeh, PO., Atangana, AR., Waruhiu, AW., Asaah, E., Usoro C., and V Ukafor. 2004. Evidence that subsistence farmers have domesticated indigenous fruits (Dacryodes edulis and Irvingia gabonensis) in Cameroon and Nigeria. Agroforestry Systems 60:101-111. Iriantono. D. 2000. Laporan Kegiatan Tumpangsari di Kebun Benih Parungpanjang. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Tidak Diterbitkan. Iriantono, D, J. Siswandi dan A. Saefullah. 2004. Bagaimana Petani Cibugel Meningkatkan Produksi Kayu Suren?. Suplemen GEDEHA Edisi XIV 2004 “Benih Untuk Rakyat”.Kerjasama Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, IFSP, World Agroforestry Centre- ICRAF dan Bina Swadaya. Bogor. Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Kayu Rakyat Di Pulau Jawa. Disertasi (tidak diterbitkan). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pramono, A.A. 2006. Memilih dan Membangun Sumber Benih. Makalah Gelar Teknologi, Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor di Tanggamus tanggal 13 September 2006. Lampung. Pramono, A., danu dan Asep Rohandi. 2008. Zona Sebaran Populasi Mindi (Melia azedarach Lin.) di Jawa Barat dan Potensi Tegakannya untuk Sumber Benih. Belum diterbitkan. Rohandi, A., Gunawan, Levina A. G. P. dan D. Swestiani. 2010. Strategi Pengembangan Tanaman Potensial Jenis Ganitri Berbasis Sebaran Populasi dan Lahan Potensial di Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Agroforetry. Ciamis. Tidak diterbitkan. Rohandi, A., Gunawan dan Y. Nadiharto. 2011. Pembangunan Demplot Sumber Benih Jenis Unggulan Lokal. Laporan Hasil Kegiatan. Balai Penelitian Teknologi Agroforetry. Ciamis. Tidak diterbitkan. Roshetko, J. dan Verbist, B. (2004). Domestikasi Pohon. Indonesia Forest Seed Project (IFSP). Roshetko MJ, Mulawarman, Djoko Iriantono. 2004. Kebun Benih untuk Petani dan LSM. Mengapa dan Bagaimana?. Suplemen GEDEHA Edisi XIV 2004 “Benih Untuk Rakyat”.Kerjasama Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, IFSP, World Agroforestry Centre- ICRAF dan Bina Swadaya. Bogor. Rukmini, N. 2011. Kebijakan Sumber Benih dan Potensi Kebutuhan Benih untuk Mendukung Penanaman satu Milyar Pohon. Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih : Peran Sumber Benih Unggul Dalam Mendukung Keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon. Yogyakarta, 30 Juni 2011. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Wijayanto, N. 2006. Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Makalah Seminar Nasional Pekan Hutan Rakyat Nasional I, Ciamis, 5 September 2006. Balai Penelitian Kehutanan. Ciamis. Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________ Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 43