KAJIAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN AGROFORESTRY BERSAMA DENGAN MASYARAKAT DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN BANDUNG SELATAN Triyono Puspitojati dan Idin Saefudin Balai Penelitian Teknology Agroforestry. Jl. Ciamis Banjar Km 4 PO BOX 5 Ciamis 46201 E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Protection forest in Forest District of Bandung Selatan was managed by firm and community through community collaborative agroforestry forest management (CCAFM). In the CCAFM aggrement, community had a right to plant coffee below eucalyptus stand. The objective of this study was to find out the continuity of CCAFM. Transaction costs of the CCAFM were used as tools to evaluate the continuity of the CCAFM. The results were as follows. First, implementation of the CCAFM up to two years was conducted as the aggrement. Eucalyptus dan coffee trees were planted and maintained by community. In the following years, the aggrement was violated. In the aggrement, the share of coffee was 15% for the firm, 80% for community and 5% for realted parties. In reality, the share in the year three and four were generally 100% for community. In the next following years, the share for the firm tent less than 15%. The violation of the aggrement was understood by the firm, which did not spend direct costs for plantation and maintenance of eucalyptus and coffee trees. Second, agroforestry provided sufficient annual income for community, the firm and related parties. Net income obtained by community, the firm and related parties subsequently were Rp 6,15 millions/ha/year, Rp 3 millions/ha/year and Rp 1 million/ha/year. As long as the violation could be minimized and net income could be maintained or increased, the CCAFM would run continuously. Key words: Institution, CCAFM, agroforestry, continuity
1. Pendahuluan Pada akhir tahun 1990-an, hutan lindung seluas 2.637 ha di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan dirambah dan lahannya digunakan untuk usaha pertanian (Ediningtyas, 2007). Melalui upaya yang panjang, akhirnya masyarakat bersedia mengembalikan areal hutan yang dirambah dan bahkan berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Sebagai imbalannya, masyarakat mendapat kesempatan menanam kopi di bawah tegakan hutan. Kesediaan petani bekerja sama mengelola hutan lindung tersebut diwujudkan melalui perjanjian kerjasama pengelolaan hutan agroforestry bersama dengan masyarakat (PHBM). Pelaksanaan PHBM dengan pola agroforestry kopi mulai dilaksanakan pada tahun 2003. Pada tahun 2011, luas PHBM kopi adalah 3.713 ha dan petani yang terlibat dalan PHBM adalah 5.148 orang (Anonim, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa PHBM menguntungkan perusahaan dan masyarakat. Namun, hal ini juga berarti banyaknya pengawasan yang perlu dilakukan untuk
menjaga agar PHBM dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan. Pengawasan yang lemah dapat memicu pelanggaran dan penindakan pelanggaran yang lemah dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas pelanggaran. Hal ini mempengaruhi keberlangsungan PHBM. Penelitian ini dilakukan mengingat permasalahan tersebut di atas. Maksud penelitian adalah mempelajari kesepakatan serta manfaat dan biaya kelembagaan PHBM pola agroforestry. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi pelaksanaan dan keberlangsungan PHBM. 2. Metode penelitian 2.1. Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2012 di wilayah KPH Bandung Selatan. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan petani dan pegawai Perum Perhutani. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui pencatatan di kantor Perum Perhutani dan perpustakaan. Data primer dan sekunder yang dikumpulkan terkait dengan budidaya kopi dan kesepakatan PHBM.
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
375
2.2. Pengolahan data Kajian kelembagaan pengelolaan hutan bersama dengan masyarakat dilakukan dalam rangka mengevaluasi keberlangsungannya. Kajian dilakukan melalui 2 tahap: (1) mengevaluasi pelaksanaan PHBM dan (2) mengevaluasi keberlangsungan PHBM. a. Pelaksanaan PHBM Pelaksanaan PHBM dinilai sesuai dengan kesepakatan jika hak dan kewajiban dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan. Dinilai tidak sesuai dengan kesepakatan jika satu atau kedua belah pihak melanggar kesepakatan. b. Keberlangsungan PHBM Keberlangsungan PHBM dinilai dengan menggunakan parameter biaya transaksi atau manfaat dan biaya kelembagaan (Eggertsson, 1990). Keberlangsungan PHBM dinilai terjamin jika manfaat kelembagaan lebih besar dibanding biaya kelembagaan, yang mana hal tersebut berlangsung sepanjang daur dan berlaku baik untuk perusahaan maupun untuk masyarakat. Keberlangsungan PHBM dinilai tidak terjamin jika satu atau kedua belah pihak menderita kerugian, atau memperoleh keuntungan tidak memadai, atau memperoleh keuntungan tidak sepanjang daur. 3. Hasil dan pembahasan 3.1. Gambaran umum Perum Perhutani KPH Bandung Selatan memiliki areal seluas 55.446 ha, yang terdiri dari 9.145 ha hutan produksi, 44.919 ha hutan lindung dan 1.382 ha hutan penggunaan lain. Areal KPH berada di 2 Kabupaten (Bandung dan Bandung Barat), 23 kecamatan dan 111 desa (Anonim, 2010). Areal KPH yang didominasi hutan lindung tersebut menyediakan kesempatan kerja terbatas kepada masyarakat sekitar hutan. Hal ini dapat memicu terjadinya gangguan hutan. Pada masa reformasi 1997–2003, terjadi perambahan hutan secara serempak dan besarbesaran untuk usaha pertanian. Areal hutan yang dirambah mencapai 2.673 ha (Anonim, 2010). Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Melalui proses yang panjang akhirnya masyarakat bersedia mengikuti Program Pengelolaan Hutan Bersama dengan Masyarakat (PHBM). PHBM dilaksanakan dengan pola agroforestry, yang mana kopi ditanam dibawah tegakan hutan. Ketentuan mengenai budidaya kopi dibawah tegakan serta hak dan kewajiban masing-masing pihak
376
dalam PHBM tercantum dalam Perjanjian Kerjasama PHBM. 3.2. Perjanjian kerjasama PHBM 1) Perjanjian PHBM Perjanjian kerjasama PHBM dilakukan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yang merupakan gabungan dari beberapa kelompok tani hutan (KTH) dan sekaligus mewakili petani yang berpartisipasi dalam PHBM. Perjanjian kerjasama PHBM tersebut antara lain memuat hak dan kewajiban masingmasing pihak dalam PHBM (Anonim 2012b). a. Hak dan kewajiban perusahaan Perusahaan (Perum Perhutani) berhak untuk (a) melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kegiatan PHBM, (b) melakukan pengarahan, peneguran dan pencabutan hak pemanfaatan yang telah diberikan kepada petani, (c) mendapatkan bagi hasil kopi sesuai kesepakatan dan (d) mendapat bantuan dari petani untuk mengamankan hutan. Kewajiban perusahaan adalah (a) mengalokasikan lahan yang dibutuhkan oleh petani, (b) mematuhi segala ketentuan yang telah disepakati dan (c) melakukan pembinaan kepada petani. b. Hak dan kewajiban petani Petani berhak untuk (a) memanfaatkan lahan di bawah tegakan, (b) mengajukan pendapat, saran dan usul tentang pelaksanaan PHBM, (c) mendapat pembinaan dan (d) mendapat bagi hasil kopi sesuai kesepakatan. Petani berkewajiban untuk (a) memelihara tanaman pokok kehutanan, (b) membantu pengamanan dan perlindungan kawasan hutan, (c) menyediakan bibit tanaman kopi dan sarana pendukung lainnya dan (d) memberikan sebagian hasil produksi kepada perusahaan dan pihak lain yang bekerja sama. Besaran bagi hasil kopi adalah 15% untuk perusahaan, 2,5% untuk Pengurus LMDH, 80% untuk petani dan 2,5% untuk Pemerintahan Desa. 2) Pelaksanaan PHBM Secara umum, pelaksanaan PHBM berjalan sesuai dengan kesepakatan. Petani menanam dan memelihara pohon eucalyptus dengan baik. Pemeliharaan pohon eucalyptusi dilakukan oleh petani tidak semata-mata untuk memenuhi kewajibannya, melainkan untuk memberi kondisi yang kondusif bagi tanaman kopi yang membutuhkan naungan (Cahyono, 2010).
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
Kewajiban petani melindungi dan mengamankan hutan juga dilaksanakan sepenuhnya. Secara periodis, petani pergi ke hutan untuk memelihara dan memanen kopi. Buah kopi dipanen sekitar 6–8 bulan setelah bunga muncul dan panen dilakukan 2 (dua) minggu sekali selama 4 bulan. Dengan cara ini, petani melindungi dan mengamankan hutan. Kewajiban perusahaan melakukan pembinaan antara lain dilakukan dengan mendatangkan penyuluh untuk memberi penyuluhan kopi kepada petani, mengajak beberapa petani mengunjungi beberapa daerah sentra kopi dan membiayai beberapa petani mengikuti kursus budidaya kopi di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember. Menurut petani, pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan memang bermanfaat bagi petani namun akan lebih baik jika perusahaan juga terlibat langsung dalam pengelolaan hutan lindung dan budidaya kopi (misalnya: membiayai penanaman tanaman kehutanan dan berkontribusi dalam pemupukan kopi). Ketidak puasan petani tersebut diwujudkan dengan melanggar kesepakatan bagi hasil kopi. Panen kopi tahun perdana dan kedua sepenuhnya untuk petani, sedangkan yang diserahkankan kepada perusahaan untuk panen tahun-tahun selanjutnya cenderung kurang dari 15%. Perusahaan, yang tidak mengeluarkan biaya langsung penanaman dan pemeliharaan pohon eucaluptus dan kopi, mengetahui pelanggaran tersebut namun tidak melakukan tindakan. Hal ini dapat mempengaruhi keberlangsungan PHBM. 3) Keberlangsungan PHBM Kerjasama PHBM dengan pola telah berlangsung hampir 10 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan lindung yang dilaksanakan dengan pola agroforestry menguntungkan perusahaan dan masyarakat, antara lain dalam bentuk pemulihan hutan yang rusak, terjaganya keamanan hutan, meningkatnya kesempatan kerja di dalam dan luar kawasan hutan dan berfungsinya hutan lindung sebagai pemelihara tanah dan air. Keberlangsungan PHBM sampai hampir 8 tahun tersebut disebabkan biaya transaksi (biaya yang timbul karena adanya kesepakatan, di luar biaya produksi) pelaksanaan PHBM yang dikeluarkan oleh perusahaan dan masyarakat lebih rendah dibanding manfaat yang diperoleh. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh perusahaan
untuk mengawasi ribuan petani (agar menjalankan kewajibannya) sangat terbatas karena ada atau tidak ada pengawasan petani tetap melaksanakan kewajibannya dalam rangka memperoleh pendapatan yang tinggi. Dengan adanya PHBM, perusahaan justru memperoleh keuntungan dalam bentuk bagi hasil kopi serta penurunan biaya rehabilitasi dan pengamanan hutan. Biaya rehabilitasi hutan dipindahkan kepada masyarakat, sedangkan biaya pengamanan hutan jauh menurun karena hutan dijaga oleh masyarakat. Dengan adanya PHBM, masyarakat memperoleh kesempatan untuk mengusahakan kopi di bawah tegakan. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh masyarakat terdiri dari (a) biaya untuk penanaman dan pemeliharaan pohon eucalyptus, (b) biaya pengamanan dan perlindungan hutan dan (c) biaya bagi hasil sebesar 20% (diserahkan kepada perusahaan, LMDH dan Desa). Biaya transaksi yang berupa penanaman dan pemeliharaan pohon eucalyptus serta biaya pengamanan dan perlindungan hutan dapat dianggap nol atau rendah karena biaya tersebut melekat dengan usaha kopi di bawah tegakan. Manfaat PHBM yang diperoleh petani disajikan pada Tabel 1. Dapat dilihat bahwa panen perdana kopi dilakukan pada tahun ke-3 dan usaha kopi mulai menghasilkan keuntungan sejak tahun ke-4. Jika bagi hasil dilakukan sesuai dengan kesepakatan maka pendapatan bersih yang diperoleh petani dapat lebih rendah dibanding bagi hasil yang diterima oleh perusahaan. Pada tahun ke-3, kerugian yang ditanggung oleh petani akan meningkat dari Rp 750.000,-/ha menjadi Rp 1.750.000,-/ha. Pada tahun ke 4, pendapatan bersih yang diperoleh petani (Rp 1.400.000,-/ha) akan lebih rendah dibanding pendapatan (bagi hasil) yang diperoleh perusahaan (Rp 1.500.000,/ha). Pada tahun ke-5 dan seterusnya, pendapatan bersih yang diperoleh petani hanya sekitar 61% dari keuntungan usaha, sedangkan 39% lainnya harus diserahkan kepada Perusahaan, LMDH dan Pemerintah Desa. Dalam kondisi yang demikian, dapat dimaklumi bahwa petani menyerahkan bagi hasil lebih rendah dari kesepakatan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa PHBM menguntungkan perusahaan dan petani sehingga dapat diharapkan keberlangsungannya terjamin. Meskipun demikian, tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan dan petani berbeda. Perusahaan akan selalu memperoleh bagi hasil
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
377
Tabel 1. Biaya dan pendapatan usaha kopi dibawah tegakan hutan (Rp/ha/th) Satuan Harga/sat Uraian Rp 1 2 I. Biaya 8.425.000 3.700.000 A. Tenaga kerja HOK 1. Persiapan 20 25.000 500.000 2. Penanaman - eucalyptus 25 25.000 625.000 - kopi 25 25.000 625.000 3. Pemeliharaan 50 25.000 1.250.000 1.250.000 4. Pemanenan 32 25.000 B. Bahan 1. Bibit kopi 2200 bt 1.500 3.300.000 2. Bibit eucalypt 700 bt 500 350.000 3. Pupuk kandang 8 - 16 ton 300.000 2.400.000 2,400.000 4. Pupuk anorganik 2-4 kw 650.000 Pendapatan A. Produksi ton/ha B. Harga kopi Rp/kg 5.000 III. Keuntungan -8.425.000 -3.700.000 IV. Bagi Hasil A. Petani (bagi hasil/ pendapatan bersih) B. Perusahaan C. LMDH D. Pemerintah desa Sumber: Anonim (2012a) (data diolah)
Tahun 3 5.750.000 -
4 7.600.000 -
5 – 20 9.850.000 -
1.250.000 800.000
1.250.000 800.000
1.250.000 800.000
2.400.000 1.300.000 5.000.000 1
3.600.000 1.950.000 10.000.000 2
5.200.000 2.600.000 20.000.000 3
-750.000
3.400.000
10.150.000
4.000.000 (-1.750.000)
8.000.000 (1.400.000)
16.000.000 (6.150.000)
750.000 125.000 125.000
1.500.000 250.000 250.000
3.000.000 500.000 500.000
sepanjang tanaman kopi produktif. Sementara itu, keuntungan yang diperoleh petani adalah dalam bentuk keuntungan usaha yang dipotong bagi hasil untuk pihak lain. Petani dapat menderita kerugian, mendapatkan pendapatan bersih yang lebih rendah atau lebih tinggi dibanding pendapatan bagi hasil yang diperoleh perusahaan. Kondisi tersebut menimbulkan ketidak puasan petani yang diwujudkan dengan melanggar kesepakatan. Oleh karena itu, kesepakatan tersebut perlu diatur kembali. Jika kesepakatan bagi hasil dipertahankan maka perusahaan harus berkontribusi dalam pembiayaan pengusahaan kopi. Jika biaya pengusahaan kopi sepenuhnya ditanggung oleh petani maka bagi hasil kopi untuk perusahaan sebaiknya diturunkan. Dengan mengatur kembali perjanjian kerjasama, keberlangsungan PHBM dapat diharapkan lebih terjanim. 4. Kesimpulan dan saran 4.1. Kesimpulan 1) Pengelolaan hutan lindung bersama dengan masyarakat (PHBM) yang dilaksanakan dengan pola agroforestry mampu membenahi hutan yang rusak dan mengatasi gangguan hutan. 2) Pendapatan bersih tahunan yang diperoleh masyarakat, perusahaan dan LMDH/Desa dari agroforestry kopi secara berturutturut adalah Rp 6,15 juta/ha/th dan Rp 3 juta/ha/th dan Rp 1 juta/ha/th. 3) Keberlangsungan PHBM pola agroforestry terjamin sepanjang pelanggaran kesepakatan dapat dieliminir dan pendapatan dari kopi dapat dipertahankan atau ditingkatkan.
5. Daftar pustaka Anonim. 2010. Sekilas KPH Bandung Selatan. Perum Perhutani KPH Bandung Selatan. 2012a. Analisis Usaha Budidaya Tanaman Kopi dibawah Tegakan Hutan (Tidak diterbitkan). Perum Perhutani KPH Bandung Selatan. 2012b. Perjanjian Kerjasama PHBM Tentang Pemanfaatan Lahan di Bawah Tegakan Dengan Budidaya Tanaman Kopi. Perum Perhutani KPH Bandung Selatan. Cahyono, B. 2011. Sukses Berkebun Kopi. Pustaka Mina, Jakarta. Ediningtyas, D. 2007. Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dalam Melakukan Usaha Agroforestry: Studi Kasus Usaha Agroforestry Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan. Thesis (Tidak dipublikasi). Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Eggertsson, T. 1990. Economic Behaviour and Institution. Cambridge University Press. New York, USA.
4.2. Saran Mengingat peran penting masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung dan dalam rangka lebih menjamin keberlangsungan PHBM maka perjanjian kerjasama PHBM perlu diatur kembali.
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
379