“Kesatuan Pengelolaan Hutan” Mungkinkah dibumikan? Bahdarsyah*) Pusat Diklat Kehutanan Bogor
A.
LATAR BELAKANG
Dimasa mendatang, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dijadikan salah satu upaya pengelolaan hutan tropika di level tapak (site management) di luar Jawa. Walaupun sebelumnya sudah ada istilah dengan ruh yang sama dengan pola pengelolaan hutan di jawa yang dilakukan oleh Badan Usaha Milk Negara “Perum Perhutani”. Bahkan ala “KPH” pernah sebelumnya di ujicoba dengan “pilot projek” di Kalimantan Tengah dan Jambi; atau pengembangan hutan tanaman di provinsi NTB. Nah pertanyaannya; pembelajaran apa yang telah kita peroleh dari semua itu??? Jawab saja masing-masing sesuai dengan kepentingan dan pemahaman diri terhadap profesi kehutanan. Apapun jawabannya; realita yang ada pengelolaan hutan tropika perlu dicarikan solusi; bilamana sumberdaya hutan dirasakan perlu diselamatkan. Degradasi hutan merupakan salah satu hasil dari pengelolaan hutan selama ini. Selain itu, muncul ragam masalah pengelolaan hutan tropika selama 4 dekade (bahdarsyah; 2010) yakni 1) keragaman hayati (flora dan fauna) cenderung menurun, 2) paradigma pengelolaan masih bersifat ’timber management’, 3) sumberdaya manusia kehutanan belum diperankan sesuai kapasitas, 4) realisasi penanaman (rehabilitasi) relatif rendah, 5) konflik lahan cenderung meningkat, dan 6) kemiskinan masyarakat desa hutan relatif meningkat. Keenam masalah satu sama lain berhubungan baik sebagai akibat maupun dampak dari rumusan program yang secara substansi masih perlu dicermati pada implementasi pemanfaatan hutan dengan kapling Hak Pengusahaan Hutan (HPH/IUPHHK-HA) dan Hak Tanaman Industri (HTI/IUPHHK-HT). Gambaran masalah di atas, sebagian besar terjadi pada areal yang dicadangkan pada KPH model; baik fungsi Produksi dan Lindung (KPHP/L). KPH ini diharapkan bisa menyelesaikan kegagalan pengelolaan hutan selama ini. Tiga (3)) prinsip dasar sebagai pertimbangan dalam pengelolaan KPH yakni pelestarian sumberdaya hutan, pendistribusian manfaat yang berkemanusian dan berkeadilan, dan penyelesaian masalah konflik lokal. Ketiga prinsip dasar ini perlu pengkondisian di tingkat tapak yakni kepastian kawasan, sistem silvikultur, pemanenan sesuai riap, dan pelibatan parapihak (Simon, 2007; Bahdarsyah, 2010). Pengelolaan KPH salah satunya akan ditentukan dalam perumusuan rencana pengelolaan yang disesuaikan dengan karakteristik bio-geofisik dan sosial masyarakat tempatan. 8 (delapan) prinsip perencanaan hutan level KPH (Kartodihardjo, H., 2011) meliputi kelestarian multi-tujuan (ekonomi, ekologi, dan sosial); integrasi dan sinergi; konsultatif parapihak; otonom; obyektivitas informasi; keterlaksanaan; precautionary (kewaspadaan dan pencegahan resiko); dan pembelajaran dan pengendalian. Untuk merumuskan prinsip perencanaan KPH ini; diperlukan tenaga ahli yang banyak memahami kondisi perkembangan ilmu perenanaan hutan dan pengalaman empiris cukup. Rencana Pengelolaan (jangka panjang); harusnya dirumuskan secara spesifik daerah dan sesuai kondisi kawasan KPHP/L.
Sejalan dengan prinsip di atas dan pendekatan ekosistem; kebutuhan metode perencanaan hutan hendaknya mampu mengartikulasikan beragam tujuan dan kepentingan. Untuk memperbaiki distorsi pemikiran perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan hutan sebaiknya menggunakan paradigma “kehutanan sosial”. Paradigma kehutanan sosial tidak dimaknai sebagai aktivitas pelibatan masyarakat atau parapihak; akan tetapi dijadikan alternatif konsep pengelolan hutan (Forest Management). Oleh karena itu; semua kebijakan dan tujuan pengelolaan hutan yang dibangun di atas pemikiran yang benar, komprehensif, dan utuh yaitu salah satunya memandang hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem, termasuk umat manusia. Perlu diingat dalam paradigma ‘kehutanan sosial’ pengelolaan sumberdaya hutan merupakan bagian dari rencana pembangunan wilayah, baik pada tingkat nasional, regional maupun tingkat tapak.
B.
ALTERNATIF KELOLA KPH
Namun berjalannya waktu dalam mewujudkan keinginan untuk operasionalisasi KPHP/L model di lapangan; mengahadapi beragam hal diantaranya disharmonisasi kebijakan; SDM Kehutanan dan kelembagaan; land tenure; pemahaman dan resistensi parapihak. Fakta lapangan ini; kiranya diperlukan pemikiran cerdas dan strategis; agar konsep KPH dibumikan; dan bukan sekedar formalitas kegiatan dan slogan. Alternative pemikiran barangkali dapat dijadikan bahan diskusi dalam kelola KPH seperti konsepsi tujuan, pendekatan dan pedoman umum, dan grand strategi sebagai berikut: 1.
Tujuan Pengelolaan
Pengelolaan KPH memiliki beberapa tujuan: 1) meminimalkan konflik lahan antara pengelola dan masyarakat, 2) sebagai sarana memobilisasi partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya hutan, 3) sebagai sarana mendapatkan pengakuan dan kepastian batas kawasan hutan, 4) mengembalikan kawasan hutan sebagai sumber kehidupan, serta 5) salah satu upaya penciptaan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat tempatan. 2.
Pendektan dan Pedoman Umum
Pengelolaan KPH diupayakan dapat memadukan kepentingan parapihak, sehingga sumberdaya hutan kembali sebagai ’open resources’. Untuk itu acuan pengelolaan KPH meliputi: (1) Peningkatan realisasi kegiatan rehabilitasi hutan dengan ragam hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu (2) Pelestarian diversitas flora dan fauna dengan menciptakan kondisi ekosistem hutan yang menyerupai kondisi hutan alam (3) Peningkatan upaya konservasi tanah, pengendalian erosi, dan kualitas air melalui blok perlindungan tempatan dan badan air (4) Penciptaan media partisipasi parapihak untuk bertanggungjawab dalam pelestarian sumberdaya hutan, khusus bagi masyarakat tempatan diberikan akses untuk pengembangan usaha ekonomi produktif pada areal KPH (5) Pemenuhan dimensi sosial sebagai kebutuhan dasar masyarakat berupa kebutuhan lahan, kesempatan kerja, dan kayu pertukangan (6) Mengembangkan kearifan lokal dan sistem budidaya hasil hutan bukan kayu pada pengelolaan kawasan lindung setempat, terutama kawasan interaksi masyarakat
2
Acuan di atas dirumuskan dengan karakteristik ekosistem di antaranya: (1) Pengelolaan ekosistem hutan secara utuh dan terpadu (2) Peningkatan kualitas sumberdaya hutan dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dan keluaran ragam hasil hutan dengan diversifikasi sistem silvikultur (3) Pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan parapihak dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing tanpa salah satu pihak yang diabaikan Permasalahan krusial yang diselesaikan terlebih dahulu dalam pengkkondisian pengelolaan hutan (KPH) adalah penyelesaian batas kawasan hutan dan mendapatkan pengakuan parapihak. Penyelesaian batas kawasan hutan di lapangan melibatkan parapihak di antaranya institusi Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Desa, tokoh adat, Pesukuan, dan masyarakat. Pendekatan penyelesaian batas kawasan melalui zonasi wilayah administrasi desa. Sumber arahan kawasan hutan menggunakan TGHK, peta wilayah desa, dan dokumentasi legal lainnya. Pelaksana pemantapan kawasan hutan dilakukan sepenuhnya oleh Balai Pemantapan Kawasan hutan sebagai UPT Kementerian (convergency activity). Rekayasa teknis dan sosial (technical and social engineering) diatur melalui 3 faktor yakni alokasi areal KPH, pola penanaman, dan kelembagaan. Ketiga faktor dimaksud dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut. 1)
Alokasi Peruntukan Kawasan
Alokasi areal KPH dibagi ke dalam tiga (3) yaitu ekologi, produksi, dan sosial. Pengelolaan ketiga ruang dilakukan dalam satu hamparan bentang lahan pada setiap unit usaha terkecil pengelolaan hutan. Ruang ekologi ditujukan untuk penyelamatan keaslian ekosistem hutan dengan keragaman flora-fauna, habitat satwaliar, fungsi pengaturan tata air, multiplier proses ekologi lingkungan, dan salah satu media pelibatan masyarakat tempatan dalam usaha ekonomi produktif. Ruang produksi ditujukan pada pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pulp dan kayu pertukangan yang berkualitas baik. Ruang sosial ditujukan untuk menciptakan usaha ekonomi produktif yang dikelola secara komunal, sehingga berfungsi sebagai alternatif sumber pendapatan tetap yang berkelanjutan. 2)
Pola Penanaman
Penanaman KPH disesuaikan arahan alokasi ruang di atas dengan menggunakan pola monokultur dan polikultur. Monokultur digunakan pada areal dengan kondisi yang sangat kritis dengan jenis cepat tumbuh, sedangkan jenis unggulan (indigeneous species) untuk pemenuhan kebutuhan kayu pertukangan. Polikultur diterapkan pada penanaman areal tanaman kehidupan dan kawasan konservasi (multiple purpose trees spesies) seperti penghasil getah, buah, dan kayu pertukangan. Jenis yang telah dikuasai sistem budidaya oleh masyarakat tempatan seperti karet, petai, durian, cempedak, dan mata kucing. Pengembangan kawasan konservasi dilakukan penanaman jenis bukan kayu seperti rotan, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan. Peningkatan kualitas habitat dengan menanam jenis penghasil buah sebagai sumber pangan satwaliar. Jenis unggulan ditanam pada batas blok, petak, dan topografi relatif tinggi di atas 25%, sehingga berfungsi sebagai tempat berkembang biak dan sarana migrasi satwaliar. Pengembangan kawasan ini dapat digunakan pola silvofishery. Sempadan sungai (kanan/kiri) penting dilakukan pelebaran di
3
atas batas ketentuan, agar dapat mengurangi sisa bahan kimia yang potensial sebagai racun bagi populasi hewan perairan. 3)
Kelembagaan
Kelembagaan pada tingkat tapak (KPH) disesuaikan tujuan pemanfaatannya dengan komposisi produksi komersial, ekologi dan sosial; serta pelibatan parapihak, terutama masyarakat tempatan. Alternatif bentuk kelembagaan meliputi: a.
b. c.
Kemitraan: pelibatan masyarakat tempatan dalam ranah pekerjaan teknis kehutanan dan usaha bisnis. Ranah pekerjaan teknis seperti tenaga kerja dan penyuplai bibit, sedangkan usaha bisnis seperti usaha transportasi hasil hutan, pemasaran hasil hutan, kontraktor lapangan, dan supplier bahan-bahan pendukung Pemanfaatan ruang bersama (Share-spatial based atau profit sharing): pelibatan masyarakat tempatan pada areal kawasan yang dapat dikelola secara bersama-sama Pelimpahan wewenang ruang pengelolaan (Share-authority based): pelibatan masyarakat tempatan dengan memberikan kewenangan pengelolaan secara penuh pada ruang tertentu sesuai fungsi, peruntukan dan kemampuan masyarakat. Secara skematis konsep sistem pembangunan KPH dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Tanaman Pokok
Unggulan
Ekologi Produksi Sosial
Akses Pemanfaatan
Sumber Kehidupan
Ragam Hasil Hutan
Diversitas
Penanaman Kayu Bukan Kayu
Alokasi Ruang
Manajemen KPH
KPHP/L Model ~
+
Kelembagaan +
Konflik Lahan Kebutuhan Lahan
Konsumsi Lahan Per KK
Pola Penanaman
Kebutuhan Kptk
Dimensi Sosek Masyarakat Konsumsi Kptk
Ketersediaan Naker
Landless Rate KKtk
Pengurangan
Penambahan
Jumlah Penduduk Tingkat Kelahiran
Kebutuhan Kerja
Emigrasi Tingkat Kematian
Imigrasi
Gambar 1. Konsep Pengembangan Sistem KPH 3.
Grand Strategy
Formulasi rekayasa teknis dan sosial dilakukan dari tahap perencanaan sampai evaluasi pengelolaan KPH. Untuk keterlaksanaan strategi dimaksud beberapa kegiatan teknis kehutanan harus dilakukan secara benar dan dilandasi kelimuan yang memadai yakni:
4
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Melakukan identifikasi dan inventarisasi secara detil kondisi bio-fisik areal dan dimensi sosial masyarakat Merumuskan arahan alokasi peruntukan lahan kawasan KPH, guna kepentingan pengelolaan dimensi ekologi, produksi, dan sosial Melakukan rehabilitasi hutan sedapat mungkin dengan penanaman jenis asli Merekayasa ulang kawasan KPH untuk meminimalkan dampak kerusakan lingkungan terutama erosi dan polusi sumber air Membuka akses pemanfaatan sumberdaya hutan, sebagai media partisipasi dalam pelestarian sumberdaya hutan Peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat tempatan dengan pelibatan parapihak sesuai tugas, funsi, dan kompetensi Acuan rekayasa teknis kehutanan dan sosial secara detil meliputi: a. Komposisi areal KPH terdiri dari ruang produksi, ekologi, dan sosial sebesar 60%, 30%, 10% dari total luasan. Areal KPH dengan kondisi bio-fisik dan penutupan lahan berupa badan air, kemiringan, dan topografi relatif berat tidak dilakukan perubahan bentang alam b. Pola penanaman KPH terdiri dari: (a) Ruang ekologi; berupa kawasan konservasi dan pengelolaan sungai, anak sungai, danau, dan resapan air. Aktivitas penanaman berupa pengkayaan dan pengembangan usaha produktif. Jenis tanaman disesuaikan potensi sumberdaya hutan baik kayu dan bukan kayu. Usaha ekonomi produktif menggunakan pola silvofishery dengan kombinasi budidaya ikan keramba dan usaha tanaman hias, rotan, dan obat-obatan. (b) Ruang produksi terbagi menjadi dua (2) kelompok; jenis serat dan pertukangan (7:3). Sistem silvikultur adalah sistem Tebang Habis Permudaan Buatan dan Tebang Pilih. Pemilihan dan penetapan dari kedua sistem ini disesuaikan dengan kondisi awal bio-fisik kawasan hutan. Penanaman jenis asli dilakukan pada batas blok, petak, puncak-puncak bukit atau tempat-tempat yang tinggi, dan zona antara sempadan kawasan perairan dan tanaman serat. Penanaman tanaman produksi komersial dilakukan dengan pembuatan blok dan petak dengan luasan tertentu. Untuk mendorong peningkatan produktivitas kayu digunakan prinsip silvikultur intensif. (c) Ruang sosial bertujuan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tempatan. Jenis tanaman utama seperti karet (Hevea brasielensis), dicampur dengan tanaman penghasil buah dan kayu pertukangan. Luas areal yang dicadangkan untuk kepentingan masyarakat tempatan berkisar 48-198 ha atau rata-rata 111 ha per desa. Jenis tanaman antara pemukiman atau lahan masyarakat dan ruang sosial bisa ditanam bambu dan jenis hasil hutan bukan kayu lainnya. Polikultur dikembangkan pada ruang ekologi dan sosial. c.
Kelembagaan ditetapkan sebagai berikut: (a) Ruang ekologi dikelola secara kelompok atau individu (b) Ruang produksi dikelola oleh pengelola dengan prinsip-prinsip bisnis komersil (c) Ruang sosial dikelola secara komunal dalam bentuk Lembaga Usaha Ekonomi Produktif Desa dengan pelibatan parapihak melalui program pemberdayaan masyarakat
5
Pelibatan parapihak dalam pelestarian sumberdaya hutan penting dalam mendukung keberhasilan penerapan strategi kehutanan sosial. Mekanisme pelibatan disesuaikan dengan tugas pokok, fungsi dan kewajiban dari masing-masing lembaga baik dalam peningkatan kapasitas masyarakat maupun bantuan teknis dan modal. Instrumen pelibatan parapihak dengan penyediaan ruang dan sarana bukan ruang. Penyediaan ruang dilakukan dengan mengalokasikan areal KPH baik areal tanaman kehidupan maupun areal konservasi. Sarana bukan ruang dijabarkan pada mekanisme kerja program pemberdayaan masyarakat desa hutan. Program pemberdayaan masyarakat dilakukan secara bersama-sama. Pengelola KPH berperan sebagai penyedia lahan, kesempatan kerja, kayu pertukangan, dan menjamin pasar hasil hutan. Koordinasi program dilakukan oleh Badan Perencanaan Daerah Kabupaten atau Kota. Pengelola KPH dilibatkan secara aktif pada Musyawarah Rencana Pembangunan tingkat desa; kecamatan; kabuapaten; dan provinsi. Pelaksana pemberdayaan masyarakat hutan pada tingkat desa menjadi tanggung jawab Kepala Desa, lembaga Usaha Desa, dan Lembaga Adat yang dijabarkan pada Lembaga Usaha Desa. Lembaga Usaha Desa merupakan usaha ekonomi produktif dalam bentuk semi corporate dan masyarakat sebagai pemegang saham. Secara skematis pelibatan parapihak dapat diikuti pada Gambar 2. Dinas Kehutanan
Pemerintah Pusat Provinsi
KKPH
Pemerintah Daerah (Bupati/wako)
Bappeda Provinsi
Penataan Areal Kerja KPH Kepala Resort
Bappeda Kab/Kota Camat
Alokasi Areal KPH
Program Pemberdayaan Masyarakat Hutan Kepala Desa Pendanaan Bantuan Teknis Sarana Produksi
Lembaga Adat Kepala Usaha Ekonomi Desa Hutan
Keterangan: Kelola Ruang Konservasi dan Sosial : Garis Instruksional
Pengelolaan Tanaman HuTan
• • •
Kementerian Kehutanan Lembaga Keuangan Industri Kehutanan
Perguruan Tinggi Litbang Lembaga Diklat
Kawasan Konservasi
Masyarakat Tempatan (Desa Interaksi)
P E R E N C A N A A N P E L A K S N A A N E V A L U A S I
Gambar 2. Model Pelibatan Parapihak dalam Pengelolaan KPH
C.
SIMPULAN
Sinkronisasi pengaturan ruang; pola penanaman; dan kelembagaan merupakan satu kesatuan yang dijabarkan lebih lanjut pada pengorganisasian pekerjaan lapangan dan mekanisme pelibatan parapihak. Oleh karena itu; pengelolaan KPH dengan paradigma kehutanan sosial memiliki indikasi keberhasilan sebagai berikut: 1) Pengelolaan KPH berlandaskan dimensi ekologi, produksi, dan sosial dengan dukungan ketepatan pola penanaman dan kelembagaan
6
2) Terpeliharanya diversitas areal KPH dengan menyerupai ekosistem hutan alam 3) Penanaman kayu dan bukan kayu secara proporsional sebagai aktivitas utama pengelolaan KPH 4) Terbangunnya areal KPH dengan ragam hasil hutan dan bermanfaat sebagai sumber kehidupan, dan terbukanya akses pemanfaatan kawasan hutan 5) Konflik lahan ditetapkan sebagai indikator utama dalam keberhasilan pengelolaan KPH 6) Pelibatan masyarakat tempatan perlu diintegrasikan dalam bentuk pemenuhan kesempatan kerja, kebutuhan kayu pertukangan, dan lahan. Simpulan; pembentukan kelembagaan secara formal (Permendagri No. 61 Tahun 2010) perlu ditinjau ulang; dalam waktu lima tahun (5) proses perumusan kelembagaan disesuikan kebutuhan pengelolaan KPH di lapangan. KPH sebagai inovasi baru perlu proses sosialisasi dan diseminasi secara intensif, sehingga dapat dipahami dan meminimalisir resistensi parapihak. Untuk mendorong pembangunan KPH, pada tahap awal cukup dikoordinasi oleh Wakil Gubernur atau Bupati sesuai keberadaan kawasan KPHP/L Model. Kebijakan pembangunan KPHP/L perlu didukung Peraturan Presiden dengan difasilitasi lembaga independen seperti Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4/Perpres No. 54 Tahun 2009). Insya Allah Sumberdaya hutan bisa dilestarikan dan masyarakat sejahtera…….wallahualam bishawab. ================== *) Pemerhati Pembangunan Kehutanan.
SUMBER BACAAN Anonimous. 2010. Permendagri Nomor 61 Tahun 2010; Tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Di Daerah. Jakarta. Kemendagri. Bahdarsyah. 2010. Strategi Pengembangan Hutan Tanaman Berwawasan kehutanan Sosial. Disertasi Strata 3; Tidak dipublikasi. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. Biro Hukum dan Organisasi. 2008. PP Nomor 6 Tahun 2007 jo Nomor 3 Tahun 2008, Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta. Kemenhut. Biro Hukum dan Organisasi. 2009. Permenhut Nomor: Nomor: P.6/Menhut-II/2009, Tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan. Jakarta. Kemenhut. Biro Hukum dan Organisasi. 2010. Permenhut Nomor: P.1/Menhut-II/2012, Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi. Jakarta. Kemenhut. Biro Hukum dan Organisasi. 2010. Permenhut Nomor: P.34/Menhut-II/2010, Tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. Jakarta. Kemenhut. Biro Hukum dan Organisasi. 2010. Permenhut Nomor: P.42/Menhut-II/2010, Tentang Sistem Perencanaan Kehutanan. Jakarta. Kemenhut. Biro Hukum dan Organisasi. 2010. Permenhut Nomor: P.51/Menhut-II/2010, Tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Jakarta. Kemenhut.
7
Biro Hukum dan Organisasi. 2010. Permenhut Nomor: P.6/Menhut-II/2010, Tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Jakarta. Kemenhut. Biro Hukum dan Organisasi. 2010. Permenhut Nomor: P.7/Menhut-II/2010, Tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2010 Kepada 33 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah. Jakarta. Kemenhut. Biro Hukum dan Organisasi. 2010. PP Nomor 24 Tahun 2010, Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Jakarta. Kemenhut. Biro Hukum dan Organisasi. 2011. Permenhut Nomor: P.17/Menhut-II/2011, Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-Ii/2010 Tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi. Jakarta. Kemenhut. Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat. 2007. PP Nomor. 38 Tahun 2007, Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Jakarta. Sekretariat Negara RI. Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat. 2004. UU Nomor 25 Tahun 2004, Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Sekretariat Negara. Davis, L.S., K.N. Johnson, P.S. Bettinger, T.E. Howard. 2001. Forest management, to sustain ecological, economic, and social values. Boston. Mc Graw Hill. pp 27-30. Fujimori, T. 2001. Ecological and silvicultural strategies for sustainable forest management. Tokyo. Alsevier. xiii-398. Kartodihardjo, H., Bramasto Nugroho, dan Haryanto R. Putro. 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Jakarta. Kementerian Kehutanan; Ditjen Palnologi-Direktorat WP3KH. Kimmins, J.P. 1987. Forest ecology; A Foundation for sustainable forest management and environmental ethics in forestry. 3rd edition. New Jersey. Prentice Hill. xviii-611.G); Simon, H. 2007. Perencanaan pembangunan sumberdaya hutan. Materi Kuliah Perencanaan. Yogyakarta. Fahutan UGM.
8