3.
3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Pedelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan memakai metode sampling
pmposif @r~rposivesampling) yaitu di Kota Batam, khususnya Pulau Batam, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru, dengan mengacu pada peta Kota Batam ymg dikeluarkan oleh pemerintah Kota Batam sebagaimana terdapat pada Gambar 3. Hal ini sedasar dengan pengertian "Kota Batam" menurut Undaneundang No. 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam. Melalui W ini pula diketahui perubahan kewenangan pengelolaan Kota Batam dari Badan Otorita Batam ke Pemerintah Kota Qemkot) Batam.
Penelitian pendahuluan telah dilakukan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam pada bulan Mei sampai dengan Juli 2000. Observasi awal dilakukan dengan mewawancarai responden aparat Otorita Batam, Pemda Kota Batam, dan aparat penegak hukum di sana, di samping melihat dan meneliti secara langsung kawasan tersebut. Penelitian lapangan dilanjutkan lagi dilakukan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam pada bulan September sampai dengan Oktober 2001, serta terakhir pada bulan Febwari 2004, guna mendapatkan fakta yang lebih komprehensif tentang pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan Di samping itu, dilakukan pula penelitian kepustakaan secara kontinu mulai Mei 2000 sampai dengan akhir penulisan disertasi ini, pertengahan bulan April 2004. y n a mendapatkan dan membandingkan agar bahasan tetap aktual untuk diketengahkan 3.2
Metode Penelitiau Mengingat kompleksitas dan integralnya permasalahan yang diteliti, serta
untuk
mendapatkan jawaban
yang
komprehensif,
maka
penelitian
ini
menggunakan metode penelitian empirik dengan pembahasan deskriptifanalisis
Analisis deskriptif diperlukan untuk membuat gambaran faktual
mengenai situasi atau kejadian, sehingga langkah-langkah penelitian dapat menemukan akumulasi data yang berpangkal tolak dari permasalahan yang diteliti Penelitian empirik mencakup metode penelitian yang lebih luas dari pendekatan pendahuluan
historis dan
eksperimental, dan
dimulai
dengan
observasi
Sesuai dengan pendekatan yuridis, diterapkan pula metode
penelitian hukum normatif
Dimensi penegakan hukum lingkungan dan kelembagaan pengelolaan lingkungan merupakan substansi hukum lingkungan dan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan melalui analisis dokumen. Di samping pendekatan yuridis normatif, pembahasan memanfaatkan pula kajian disiplin ilmu non-hukum, yaitu ilmu lingkungan, ilmu politik yang dalam ha1 ini fokus pada kajian pemerintahan, ilmu ekonomi, ilmu budaya dasar, dan disiplin ilmu lain yang relevan. Dengan pembahasan deskriptif-analisis, peneliti tidak hanya memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi juga membahas hubungan, membuat prediksi, serta menemukan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Dalam konteks penelitian ini, diteliti kebijakan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam serta hasil-hasil pembangunannya ditinjau dari aspek ekonomi politik dan aspek hukum lingkungan. Dua aspek ini, aspek ekonomi politik dan aspek hukum lingkungan, menjadi syarat (penentu) bagi tenvujud atau tidaknya pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Adapun
indikasi
terwujudnya
pelaksanaan
konsep
pembangunan
berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam ditandai oleh empat dimensi (Dahuri eta/., 1996). yaitu: 1. Ekologis 2. Sosial ekonomi budaya
3. Sosial politik 4. Hukum lingkungan.
Melalui metode empirik keempat dimensi tersebut diteliti secara deskriptif-analisis juga menelaah dan membahas serta mengidentifikasi masalahmasalah atau kendala-kendala yang ditemukan dalam rangka pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan untuk mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Dalam metode empirik juga dikerjakan evaluasi serta perbandinganperbandingan terhadap hal-ha1 yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa mendatang.
3.3
Sumber Data dan Bahan Hukum
Peneliti memanfaatkan dua jenis data: a) data primer, yaitu data yang berasal dari wawancara langsung dengan responden, melalui pengamatan atau observasi langsung di lapangan, dan b) data sekunder, yaitu data yang telah tersedia yang merupakan hasil penelitian terdahulu, laporan-laporan, atau dokumen-dokumen dari instansi pemerintah/swasta atau perorangan. Di samping itu, juga penelitian
ini
Bahan
digunakan bahan hukum yang diperlukan bagi
hukum
primer
meliputi
(''e~zvironmeiital legislatron"), sedangkan bahan
aturan-aturan hukum
sekunder
hukum yang
dipergunakan adalah katya ilmiah para pakar, laporan mutakhir, kamus, jurnal, majalah, dan media massa cetawelektronik.
3.4
Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam metode
ilmiah, karena pada umumnya, data yang dikumpulkan digunakan untuk menguji kerangka pemikiran yang telah dimmuskan, kecuali untuk penelitian eksploratif. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dan bahan hukum dilakukan dengan beragam cara, yakni mulai dengan observasi langsung, wawancara, diskusi terbatas dan fokus @cf/s gror~pdiscnssion), serta studi kepustakaan Campuran dari berbagai teknik pengumpulan data ini sangat dibutuhkan mengingat kompleksitas dari permasalahan yang dihadapi dan harapan untuk mendapatkan gambaran permasalahan secara lebih komprehensif. Data yang dikumpulkan berupa data primer maupun data sekunder. Data primer mencakup data-data yang relevan untuk menjawab berbagai pertanyaan peneliti serta untuk menguji kerangka pemikiran. Data ini diperoleh dengan wawancara, foc~tsgrottp disctlssiot~,dan pengamatan langsung di lapangan secara purposif (yurpos,shwsnn~plir~g). Sumber data primer adalah para responden (aparat pemerintah Kota Batam, aparat Badan Otorita Batam, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
perusahaan swasta dalam negeri, perusahaan swasta asing, BUMN, instansi pemerintah lainnya) dan informan (tokoh masyarakat, tokoh LSM, buruh, nelayan, pekej a informal). Penyebaran kuesioner merupakan bagian dari sumber data primer, seperti penyebaran kuesioner untuk melihat partisipasi aparat pengambil kebijakan terhadap kepedulian lingkungan. Jenis pengambilan sampel yang digunakan adalah pr~rposive sanlpling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara sengaja pada suatu objek yang sudah ditentukan karena mempunyai karakteristik tertentu. Namun demikian, pengambilan sampel ini hams memenuhi persyaratan mewakili (represetitafive) populasi. Sebanyak 24 orang responden diteliti secara khusus dan mewakili aparat pengambil keputusan (decisiw~makers) yang berada di kantor-kantor pemerintah dan swasta Atas dasar lembaga atau instansi asalnya, semua responden ini dikelompokkan menjadi : Otorita Batam, Pemda Batam, kepolisian, perusahaan swasta dalam negeri, pemsahaan swasta asing, BUMN, dan instansi pemerintah lainnya. Uraian masing-masing unit responden adalah sebagai berikut : (1)
Otorita Batam Pada Otorita Batam dimaksudkan sebagai unit instansional
responden yang mewakili pemerintahan yang menangani tugas-tugas koordinasi investasi wilayah pengembangan Batam. (2)
Pemda Batam
Hampir sama dengan Otorita Batam, namun Pemda Batam sebagai unit instansional responden yang mewakili pemerintahan yang menangani tugas-tugas administrasi investasi wilayah pengembangan Batam. (3)
Kepolisian Dimaksudkan untuk memberikan tanggapan terhadap realitas dan
persoalan-persoalan dari kacarnata pelaksana tanggung jawab keamanan. (4)
Perusahaan swasta dalam negeri Perusahaan swasta dalam negeri dianggap sebagai unit sampel
yang mewakili pihak pelaku investasi dalam negeri dalam memandang Batam sebagai ekosistem industrialisasi.
(5)
Perusahaan swasta asing Perusahaan swasta asing dianggap sebagai pelaku investasi yang
mempunyai kehadiran tinggi di kawasan Batam. Sehubungan dengan ini, maka kondisi yang dimilikinya itu dijadikan dasar pengambilan sampel
BUMN dipandang sebagai instansi yang mempunyai dua beban misi usaha yang hams dilakukan, yaitu di samping hams melakukan misinya sebagai perusahaan yang mengutamakan keuntungan tapi juga
hams memenuhi kewajibannya sebagai aset negara. Kondisi yang melekat pada diri BUMN ini dijadikan dasar pemilihan sampel penelitian. (7)
Instansi pemerintah lainnya Sehubungan dengan kepentingan penelitian instansi pemerintah
lainnya dipandang sebagai unit instansional yang mewakili lembaga pemerintahan dalam menyelesaikan tugas administrasi tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Instansi yang diambil sebagai unit instansional
penelitian
ini
adalah Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan (Bapedal) dan Kantor Menteri Neagara Lingkungan Hidup. Sementara itu, dilakukan kegiatan berupa observasi
yang meliputi
kunjungan langsung ke lokasi objek penelitian. Observasi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk melihat langsung keadaan dan kondisi sebenarnya yang ada di lokasi penelitian, semisal kualitas air dan perairan di areal penelitian, pemukiman atau rumah liar (ruli) dan kunjungan ke pabrik-pabrik, serta pengamatan ke Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru sebagai sebuah kesatuan dari wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Observasi ini juga meliputi kunjungan ke berbagai instansi yang ada relevansinya dengan proses pengambilan kebijakan pengembangan Kota Batam, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Selain itu, observasi juga dilakukan ke perkampungan nelayan dan melakukan wawancara dengan mereka. Kunjungan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan akurasi dan validitas data.
Data sekunder mencakup data tentang keadaan geografi, demografi, kondisi habitat Master Plail Kota Batam, struktur pemerintahan, Badan Otorita Batam, potensi sumberdaya alam, dan sosial ekonomi. Untuk teknis pengambilan contoh-contoh yang diperlukan dalam arti sampling terhadap area atau lokasi juga sampling materil (bahan) sepeni tentang keadaan air di perairan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam, peneliti mengolahnya melalui data sekunder (hasil penelitian PRC, Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau) yang ditampilkan dalam bentuk tabulasi. Sementara itu, pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode "bola salju" (sno~vball method) melalui prosedur identifikasi dan inventarisasi serta klasifikasi dengan mempergunakan sistem kartu ("card systenz"). Penjelasannya yaitu, diupayakan dengan cara menghubungkan satu dengan yang lain produk perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan menteri, keputusan Otorita Batam, dengan pendekatan kontekstual, sehingga snow ball yang dimaksud adalah terjadi konklusi hukum yang jelas terhadap permasalahan yang dibahas secara kontekstual yang selanjutnya d a p a t segera dijatuhi hukuman. Selanjutnya, bahan hukum yang berkaitan dengan hukum lingkungan dan Kota Batam diperoleh dari berbagai dokumen atau arsip tertulis, laporan hasil penelitian, dan publikasi lainnya yang bersumber dari Badan Otorita Batam, Pemerintah Kota Batam, Biro Pusat Statistik Batam, Kepolisian Batam, Kejaksaan
Batam, Pengadilan Negeri Batam, PRC (Plata~ingResearch Coorporafio~~), dan lainnya.
3.5
Pengolahan dan Analisis Data serta Bahan Hukum
Dalam konteks penelitian ini diteliti kebijakan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam serta hasil-hasil pembangunannya ditinjau dari aspek ekonomi politik dan aspek hukum lingkungan yang meliputi penegakan hukum lingkungan dan kelembagaannya. Dua aspek ini, yakni ekonomi politik dan hukum lingkungan menjadi syarat (penentu) bagi tenvujud atau tidaknya pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Pentingnya aspek analisis ekonomi politik dan hukum lingkungan dalam menentukan tenvujud atau tidaknya pelaksanaan konsep
pembangunan
berkelanjutan merupakan kekuatan dari disertasi ini. Dengan kata lain, formulasi dari gabungan analisis ekonomi politik dan hukum lingkungan merupakan temuan baru dalam memperkaya khasanah pengembangan ilmu ekonomi, politik, dan hukum yang sangat membantu perkembangan ilmu lingkungan dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan terjaganya kelestarian lingkungan hidup. Dalam mewujudkan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan kawasan pesisir dan lautan tidak mungkin lepas dari dukungan atau keputusan politik bangsa. Thailand dan Korea Selatan adalah contoh negara yang berhasil dalam pembangunannya melalui dukungan politik bangsanya.
Aspek ekonomi politik terdiri dari dua faktor penentu, yakni kebijakan ekonomi dan kultur birokrasi. Kebijakan ekonomi terdiri dari dua jenis, yakni kebijakan ekonomi konvensional dan kebijakan ekonomi fungsional yang memiliki indikator spesifik. Indikator kebijakan ekonomi konvensional adalah :
a). Orientasi pembangunan hanya pada pertumbuhan tanpa memperhatikan pernerataan dan aspek aset ekonorni produktif tidak terakses oleh rakyat kecil. b). Keberpihakan pembangunan hanya kepada materi semata (projt oriented) tanpa memperhatikan pelestarian lingkungan. c). Pendekatan sistem pembangunan yang digunakan adalah sistem pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Indikator kebijakan ekonomi fungsional adalah :
a). Orientasi pembangunan selain pada pertumbuhan juga pada pernerataan dan aspek asset ekonomi produktif dipemntukkan (diakses) bagi rakyat kecil. b). Keberpihakan pembangunan tidak hanya kepada rnateri sernata (profit oriented) tetapi juga memperhatikan pelestarian lingkungan. c). Pendekatan sistem pembangunan yang digunakan adalah sistem pemanfaatan berkelanjutan.
Sementara itu, kultur birokrasi yang dapat mewujudkan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam adalah tata pemerintahan yang baik ( s o d go~~ertmmmce). Adapun indikator kultur
birokrasi yang dapat mewujudkan tata pemerintahan yang baik adalah sebagai berikut : a). Pemerintahan bersifat demokratis b). Pemerintahan bersifat terbuka, responsif, partisipatif, dan transparan.
c). Mental birokrat yang objektif, sistematis, dan konsisten serta berakhlak mulia. Variabel atau penentu hukum lingkungan, yang terdiri dari dua aspek, yaitu
penegakan
hukum
lingkungan
dan
kelembagaan
wewenang
pengelolaan, merupakan faktor penentu dalam menentukan tenvujudnya pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Menurut Rangkuti (2000), aspek penting yang menjamin pembangunan berkelanjutan adalah penegakan hukum lingkungan yang efektif. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman terhadap perangkat hukum lingkungan, serta kemampuan aparat penegak hukum yang profesional dalam mengemban tugas. Menurut Dahuri (2003), implementasi dan penegakan hukum (law eirfocemitt) bidang kelautan di Indonesia yang masih lemah menjadi penyebab tidak tenvujudnya pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. Selain itu, tidak adanya lembaga yang mampu mengkoordinasikan setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan menjadi kendala tenvujudnya pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan.
Menurut Sorensen (1990), keberadaan lembaga pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (It~tegatedCoosfat Management) mempakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini harus dilaksanakan secara kontinu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada. Perencanaan sumberdaya secara terpadu mempakan suatu upaya secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem sumberdaya alam secara opitimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Pemanfaatan optimal dalam ha1 ini mempakan suatu cara pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat. Bahkan,
Lang (1986), menyarankan bahwa keterpaduan dalam
perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti pesisir dan lautan, hendaknya dilakukan pada tiga tataran (le~je[): teknis, konsultatif, dan koordinatif Pada level teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan hendaknya secara proporsional masuk ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir. Pada level konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan pihak stakeholder serta pihak penderita dampak pembangunan sumberdaya tersebut hendaknya diperhatikan. Pada tingkat koordinatif diperlukan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dengan semua
pihak demi menuju tujuan bersama yang diinginkan, yaitu pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka aspek hukum lingkungan yang terdiri atas dua faktor penentu, yakni penegakan hukum lingkungan dan kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, merupakan faktor yang sangat menentukan untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, bahan-bahan hukum maupun data yang diperoleh diolah sesuai dengan mmusan masalah tentang "penegakan hukum" dan "kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan". Selanjutnya, dilakukan pengkajian deskriptif-analisis melalui analisis kualitatif dengan menelaah konsepkonsep ekonomi politik dan hukum lingkungan yang berkaitan dengan rumusan masalah Pada tahap analisis, pembangunan berkelanjutan
sebagai
suatu
keterpaduan perlu dikaji dari 4 (empat) dimensilindikator berikut : a)
Dimensi Ekologis Keberhasilan dimensi ekologis ditandai dengan tiga persyaratan yang
hams terjamin, yakni (1) keharmonisan spasial, dengan indikasi zona preservasi dan konservasi, (2) kapasitas asimilasi, yang diindikasikan dengan tingkat pencemaran, (3). Pemanfaatan berkelanjutan, memiliki indikasi laju ekstraksi sumberdaya alam.
Keharmonisan ruang (spatial harntony), antara ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan dengan ruang untuk pelestarian lingkungan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan. Idealnya, suatu kawasan witayah pesisir dan lautan hendaknya tidak semuanya dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan (de~~elopntent/t~lilizatior, zo~te),tetapi sebagian haws dialokasikan untuk zona
presewasi dan zona konservasi. Menurut Odum (1976) proporsi perbandingan, luasan zona preservasi dibanding zona konservasi dibanding zona pemanfaatan dalam suatu wilayah pesisir dan lautan idealnya adalah 20% : 20% : 60%. Berdasarkan karakteristik biofisik serta pertimbangan sosial-ekonomi dan budaya, zona pemanfaatan (pembangunan), yang sekitar 60 persen dari total wilayah pesisir dan lautan yang dikelola dibagi-bagi (sazeited) menjadi berbagai lokasi kegiatan pembangunan (seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, pertambangan dan energi, kepelabuhan dan transportasi, dan industri) sesuai dengan daya dukung lingkungan yang tersedia Keberadaan zona preservasi dan konsewasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber keanekaragarnan hayati (biodiversity, bergantung pada kondisi alamnya. Luas zona presewasi dan konsewasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya antara 30-50% dari luas totalnya. (Dahuri et a/.,1996).
Persyaratan kedua yang haws terjamin adalah kapasitas asimilasi. Kapasitas asimilasi ditandai dengan keharusan tingkat laju (rate) pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (seperti sumberdaya perikanan dan hutan mangrove) tidak boleh melebihi kemampuan pulih (retteivable capacity) dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu. Selain itu, indikasi kapasitas asimilasi juga ditentukan dengan tingkat pencemaran yang terjadi. Artinya, laju pembuangan limbah yang dapat terurai tersebut, tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan. Kapasitas asimilasi mensyaratkan adanya jaminan bahwa jumlah total dari limbah yang dibuang ke wilayah pesisir dan lautan tidak boleh melebihi kapasitas asimilasinya (assiniilaliir capacity). Dalam ha1 ini, yang dimasksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Krom, 1986). Menurut Krom (1986) pencemaran sebuah kawasan sangat menentukan kapasitas asimilasi yang diterapkan pada suatu kawasan. Menurutnya, kapasitas asimilasi adalah kemampuan lingkungan pesisir dan lautan untuk menerima sejumlah limbah, tanpa mengakibatkan lingkungan tersebut tercemar. Dengan dernikian, secara logis tingkat pencemaran suatu kawasan pasti menjadi indikasi keberhasilan atau kegagalan pembangunan berkelanjutan di kawasan tersebut Persyaratan ketiga yang hams terjamin adalah pemanfaatan berkelanjutan. Pada sisi pemanfaatan berkelanjutan, pembangunan yang dilaksanakan hams
memegang pola kesinambungan (strrstat~able)Pembangunan suatu kawasan akan bersifat berkesinambungan (stristat~able) apabila tingkat (laju) pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkannya secara agregat (totalitas) tidak melebihi daya dukung lingkungan kawasan tersebut. Kriteria untuk sumberdaya yang dapat pulih (retlewable resotrrces) laju ekstrasinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan suatu periode tertentu (Clark R.B., 1986) Sementara bagi sumberdaya alam tak dapat pulih (itor,-renewable resozrrces), segala aktivitas pemanfaatan (eksploitasi), proses produksi (pengolahan), dan distribusi I tranportasinya hams dilakukan secara cermat, sehingga efeknya tidak memsak lingkungan sekitarnya Idealnya, laju pemanfaatan sumberdaya tidak dapat pulih diatur sedemikian rupa, sehingga sebelum sumberdaya tersebut habis, sudah ditemukan bahan substitusinya
b)
Dimensi Sosial Ekonomi Budaya Dimensi ini mensyaratkan, bahwa keuntungan yang diperoleh dari
kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alam hams diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan proyek tersebut (stakeholders). Keberhasilan pembangunan berkelanjutan dari dimensi sosial ekonomi budaya dapat dilihat dari keadaan ekonomi masyarakat sekitar. Apakah pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sekitar, dengan perlindungan kepada masyarakat miskin serta terjadinya pastisipasi dan akuntabilitas politik.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut, maka berbagai potensi ekonomi dari sumberdaya alam, khususnya sumberdaya pesisir dan lautan, dapat dimanfaatkan secara optimal. Maksimal dalam pertumbuhan dan minimal dalam kemsakan lingkungan. Selain menekankan pada kegiatan produksi berbasis ekonomi kerakyatan temas.uk pemasarannya, juga dapat dilakukan melalui pembukaan akses yang lebih luas bagi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan.
UI Haq (1971), menuntut agar fokus pertumbuhan ekonomi perlu diperbesar dengan memberikan penekanan yang lebih pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara keselumhan. Fokus pertumbuhan ekonomi tersebut, selain diikuti dengan pemerataan, juga hams memperhatikan faktor kelestarian lingkungan. c)
Dimensi Sosial Politik Dimensi ini terkait dengan kultur birokrasi. Birokrasi pemerintahan
betapapun juga turut bertanggung jawab dalam menciptakan masyarakat terdidik. Birokrasi pemerintahan hams mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bukan untuk mendikte. Masyarakat tidak dibiarkan dalam ketidaktahuan sehingga akan lebih mudah memerintah mereka. Begitu pula masyarakat hams mendapat perlakuan yang sama, mereka dilayani sesuai dengan hak dan kewajibannya, tanpa didasari satu kepentingan apapun. Oleh karenanya, diperlukan suatu netralitas birokrasi
Sebagaimana diungkapkan Damanhuri (2003)', Birokrasi pemerintahan harus iletral, dalam arti sisi politik bukan m e ~ p a k a nkekuatan politik. Apabila birokrasi pemerintahan menjadi kekuatan politik, maka ia akan tidak netral, memihak kepada kekuatan 1 aliran politik tertentu. Netralitas birokrasi diharuskan agar pelayanan umum yang dilakukan bisa diberikan pada seluruh masyarakat, tanpa membedakan aliran atau partai politik yang diikuti oleh anggota masyarakat tersebut. Kedudukan birokrasi terhadap partai politik semenjak pemerintahan Presiden Soeharto tidak lagi bisa dikatakan netral. Politisasi birokrasi terjadi, mulai dari 'kapling' terhadap birokrasi sampai terfokusnya kekuasaan pada sejumlah kecil orang dari partai politik yang berkuasa. Tak terkecuali dengan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Dalam iklim yang sentralistik, pemerintah pusat begitu dominan dalam menentukan dan melahirkan hitam putihnya kebijakan yang menyangkut pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan memang tidak bisa lagi dihindari. Akan tetapi, kebutuhan menciptakan sitem birokrasi pemerintahan yang netral, tidak bisa juga dihindari. Oleh karena itu, tuntutan terhadap kelembagaan birokrasi
yang
profesional
merupakan
suatu
prioritas.
Profesionalitas
kelembagaan birokrasi pemerintah akan rnenciptakan sistem pemerintahan yang baik. Dalam usaha perbaikan birokrasi, profesionalitas kelembagaan birokrasi juga hams memperhatikan kondisi perubahan sistem politik nasional. Dengan Damnanlwi, D.S., Menuju Refonnasi Birokrasi. Republikn, 13-14 Mei 2003.
demikian, dibutuhkan reformasi kultur birokrasi untuk mengoptimalkan kinerja birokrasi agar efisien dan efektif serta bersih dari praktik-praktik KKN. d)
Dimensi Hukum Lingkungan Dimensi ini terkait dengan penegakan hukum lingkungan yang ditandai
dengan peraturan perundang-undangan yang tegas dan konsisten. Selain itu, juga terkait dengan keberadaan kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di Kota Batam untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap perangkat hukum lingkungan dan kemampuan aparat penegak hukum yang profesional; dan sistem koordinasi antarlembaga pengelola wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dan kontinu. Faktor penegakan hukum lingkungan dikatakan berjalan secara fungsional, ditandai dengan berlangsungnya penegakan hukum lingkungan secara efektif dan tertib. Proses penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara administratif, kepidanaan, dan penyelesaian sengketa lingkungan atau perdata. Selanjutnya, kajian terhadap faktor keberadaan lembaga pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan dikatakan berjalan dengan fungsional apabila keberadaannya berfungsi secara terpadu dengan indikasi terjalinnya
sinergitas pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di Kota Batam dan terhindar dari adanya tumpang tindih (o~~erlappit~g) pengelolaan. Gambaran Korelasi antar penentu dan yang ditentukan dalam penelitian ini sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Aspek Ekonomi Politik (Penentu)
-
Fungsional
Aspek Hukum Lingkungan (Penentu)
Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam akan Tenvujud, melalui ukuran : - Dimensi Ekologis Dimensi Sosial Ekonomi Maka, Budaya - Dimensi Sosial Politik - Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Gambar 4. Korelasi Antar Penentu dan yang Ditentukan dalam Pelaksanaan Konsep Pembaugunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam Pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dikatakan tenvujud apabila indikator pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dapat terealisasi, yakni (1) Dimensi Ekologis, (2) Dimensi Sosial Ekonomi, Budaya (3) Dimensi Sosial Politik, dan (4) Dimensi Hukum Lingkungan. Keempat dimensi tersebut berjalan secara fungsional, artinya formulasi dari gabungan analisis ekonomi politik dan hukum lingkunsan dapat direalisasikan dan ditegakan, sehingga pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan.
Dalam upaya proses mewujudkan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam, yang menjadi ukuran reliabilitas dan validitas yang digunakannya sangat bergantung pada definisi operasional. Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti, atau menspesifikasi kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut (Nazir, 1999) Dengan demikian, validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstrak, yaitu abstraksi dan generalisasi khusus merupakan konsep yang diciptakan khusus untuk kebutuhan ilmiah dan mempunyai pengertian terbatas. Konstrak atau variabel tersebut diberi definisi sehingga dapat diamati dan diukur (Nazir, 1999) Variabel-variabel atau penentu-penentu dan indikator-indikator inilah yang kemudian akan dianalisis untuk selanjutnya dihubungkan dengan perumusan masalah, kerarlgka pemikiran, dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan Hasil analisis data dan bahan hukum inilah yang kemudian menjawab pertanyaan terwujud atau tidaknya
pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan
di
wilayah pesisir dan lautan Kota Batam Selanjutnya untuk tetap mengedepankan informasi akurat hasil penelitian
(real iifornmtron), maka dalam pembahasan tetap diupayakan penjabaran hasilhasil penelitian langsung dengan menyertakan lampiran-lampiran hasil penelitian yang diolah secara kualitatif.
Perumusan Masalah
1 Kerangka Pemikiran
1 Tujuan Penelitian
1
-
Identifikasi Variabel Penelitian Kondisi Awal Kota Batam
r-----l r--l Ekonomi Politik
Kebijakan Ekonomi
* Hukum Lingkungan
Kultur Birokrasi
Penegakan Kelembagaan Hukum Lingkungan
1
-
Metode Pengumpulan Data dan Bahan Hukum
r z lD Data Sekunder
i
Bahan Hukum
I Pengumpulan Data
a Pengujian
+
Analisis 4 Dimensi Pembangunan Berkelanjutan
u L EKOMGI 3 lnd~kas~
I
Tingkat Pence~naran2 Daya Asimilasinya
-+
- 1. Kel~annonisanSpasial
Zona Konsewasi & Preservasi < 30-50%
.+-
1
2. MpasiIas Asimilasi
Zona Kowrvasi & heservasi 2 30-50%
+ Tingkat Pene~naran<
Daya Asimilasinya P
Lajn Ekstrasi < Daya Pulil~
Laju Ekstrasi 2 Daya Pulih
IL SOSEKBUD
1. Pert~unbulmdiiuti Pemerataan 2. Memnperlutikan juga Kelestarian 'Lingkungan
2. Keberpihakan Pemnbangnfi?n Imnya pada Materi
I
KKN dan Ko~npradorisasi
-
1. Penegakan Huku~n Lingkungan tidak Tertib dan tidak Erektif 2. Duplikasi Kele~nbagaa
Netralitas Birokrasi
c
-
IV.HUKUM LINGKUNGAN 1. Penegakan Huku~n 2. Kele~nbagaanWewenang
I.Penegakan Hukurn Lingkungan Tertib dan Efektif 2.Kelembagaan Pengelolaan Terpadu I
I
Pembangunan Berkelanjutan Di Kota Batam Belum Terwujud
I I
Analisis Aspek Lain
Studi Pendahuluan G a m b a r 5. Metodologi Penelitian
I