1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia yang lahir sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan Negara yang merdeka dan berdaulat. Wilayah Indonesia terbentang mulai dari Sabang hingga Merauke dan terdiri atas pulau-pulau besar sampai pulau-pulau kecil. Dengan demikian, Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan 1. Kondisi Geografis Indonesia sebagai Negara kepulauan sejalan dengan terdapatnya laut yang merupakan dua pertiga dari bagian wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan bukan hanya wilayah daratan Negara Republik Indonesia saja yang luas, akan tetapi wilayah laut Indonesia juga demikian luasnya. Indonesia memiliki luas wilayah perairan seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari laut territorial seluas 0,3 juta km2 , perairan nusantara seluas 2,8 juta km2, dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2. Laut merupakan sumber makanan bagi kehidupan manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai sarana penaklukan, sebagai tempat pertempuran, sebagai tempat untuk rekreasi dan alat pemersatu bangsa. Di abad ke-20 ini fungsi laut telah meningkat dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang berharga di dasar laut dan dimungkinkannya usaha-usaha mengambil kekayaan
1
Gatot Suparmono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Jakarta : Rineka Cipta, 2011 , hal 1.
2
alam tersebut, baik di airnya maupun di dasar laut dan tanah bawahnya. 2 Indonesia yang memilki laut yang luas ini tentu menyimpan banyak kekayaan laut di dalamnya yang dapat meliputi sumberdaya alam hayati laut yakni perikanan, terumbu karang, bahan tambang dan lainnya. Potensi perikanan yang termasuk dalam kekayaan laut di Indonesia dapat dilihat dari bidang penangkapan ikan sebesar 6,4 juta ton/tahun, perikanan umum sebesar 305.650 ton/tahun serta potensi kelautan kurang lebih 4 miliar USD/tahun. Produk perikanan tangkap di Indonesia pada tahun 2007 sendiri mencapai 4.924.430 ton. 3 . Secara umum, besaran potensi hasil laut dan perikanan Indonesia harusnya mencapai 3000 triliun per tahun, akan tetapi yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 225 triliun atau sekitar 7,5% saja. Dan jika dibandingkan dengan Negara lain yang wilayahnya tidaklah lebih besar daripada Indonesia akan tetapi memiliki produksi ikan tangkap yang sama bahkan lebih dari Indonesia, maka kondisi produksi ikan tangkap di Indonesia berada dalam kondisi tidak baik. Walaupun Indonesia belum maksimal dalam pengelolaan ikan tangkapnya, pengembangan usaha perikanan terus dilakukan demi tercapainya tujuan pemanfaatan sumber daya hayati laut sebaik mungkin. Pengembangan usaha kelautan dan perikanan ini juga dapat digunakan untuk mendorong pemulihan ekonomi diperkirakan sebesar US$82 miliar per tahun.Indonesia memiliki
2
Frans E. Lidkadja dan Daniel F. Bassic, Hukum Laut dan Undang-Udnang Perikanan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985, hal. 21. 3 Marhaeni Ria Siombo, “Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan terhadap Pengetahuan tentang Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke”, Disertasi, Pascasarjana Hukum Universitas Negeri Jakarta, 2009, hal. 2
3
kesempatan untuk menjadi penghasil produk perikanan terbesar dunia, karena kontribusi perikanan pada 2004-2009 terus mengalami kenaikan. Hasil produksi ikan tangkap Indonesia yang mulai membaik ini membuat Negara-negara yang memiliki hasil produksi perikanan dan kelautan yang berada dibawah Indonesia atatupun yang setara dengan Indonesia ingin menikmati hasil peroduksi perikanan dan kelautan Indonesia pula. Akan tetapi, keinginan Negaranegara ataupun warga negaranya tidak didukung dengan itikad atau tindakan mereka yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Banyak terdapat kapal-kapal berbendera asing yang melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Pelanggaran hukum yang dilakukan salah satunya ialah pencurian ikan (illegal fishing). Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, setahun rata-rata ada 100 kapal ikan asing yang ditangkap, baik karena mencuri ikan maupun izinnya tidak lengkap. Bahkan pada tahun 2001 sampai 2012 ada skitar 2469 kasus pencurian ikan yang terjadi di wilayah laut Negara Republik Indonesia. Ini mempengaruhi kondisi produksi perikanan Indonesia dan dapat menyebabkan kerugian tersendiri bagi Negara Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya suatu aturan hukum yang berkenaan dengan perlindungan sumberdaya perikanan Indonesia dan yang memberikan sanksi tegas kepada kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Negara Republik Indonesia memiliki undang undang perikanan yakni UndangUndang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Unadng Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat
4
dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana ini merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Barda Nawawi juga menyatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan-perundang-undangan pidana merupakan bagian integral dari potik social yang dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
4
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan masih memiliki kekurangan untuk mencapai tujuan penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum tersebut, oleh karena itu dibuatlah UndangUndang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 ini ada beberapa perubahan dari Undang-Undang perikanan yang lama, yakni mengenai tentang pengawasan dan penegakan hukum yang menyangkut masalah mekanisme koordinasi antara instansi penyidik dalam penanganan penyidik tindak pidana di bidang perikanan, masalah pengelolaan perikanan antara
lain
ke
pelabuhan
perikanan
dan
konservasi,
perizinan,
dan
kesyahbandaraan, perluasan yurisdikasi pengadilan perikanan Negara RI, penerapa sanksi pidana (Pidana penjara atau pidana denda), hukum acara, fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman dan/atau pembakaran kapal asing yang beroprasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. 5 Fungsi pengawasan perikanan sangat penting dalam mewujudkan keberhasilan penanggulangan tindak 4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 29-30. 5 Gatot Suparmono, op.cit., hal 9.
5
pidana pencurian ikan (illegal fishing), dan bukan hanya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait saja, akan tetapi sanksi-sanksi pidana berupa denda dan penjara dalam Undang-Undang ini juga mendukung terciptanya tujuan penanggulangan tersebut. Terdapat aturan sanksi untuk pencurian ikan, hukumannya tak hanya berlaku bagi operator di atas kapal, tetapi juga dapat menjerat pemilik kapal dan pemilik perusahaan sesuai Pasal 8. Kapal asing pencuri ikan juga boleh dibakar dan ditenggelamkan diatur dalam Pasal 69, 6 bahkan membayar denda hingga Rp 20 miliar. Aturan dan sanksi yang ada dalam undang-undang ini dapat dikatakan memadai. Akan tetapi perlu penindakan secara tegas terhadap para pencuri ikan ini perlu dilakukan, bukan hanya aturan tertulis semata yang ada dalam Undang-undang Perikanan, tetapi tindakan nyata yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum juga diperlukan. Setelah 5 tahun UndangUndang Nomor 45 tahun 2009, tidak terjadi impelementasi yang baik terhadap tindakan khusus yakni penenggelaman dan/atau pembakaran ataupun sanski untuk kapal asing yan melakukan pencurian ikan. Pada pembekalan Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan ke-51 dan ke-52 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) 2014 di Istana Negara, Jakarta, Selasa 18 November 2014, Presiden Republik Indonsia Joko Widodo memerintahkan agar Tentara Nasional Indonesia dan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti langsung menenggelamkan kapal yang tertangkap melakukan pencurian ikan di laut Indonesia. Langkah ini harus dilakukan untuk membuat jera warga negara asing yang mencuri ikan di perairan
6
Harian Nasional Kompas Online. http://nasional.kompas.com/read/2014/12/12/ 14000081/Penenggelaman.Kapal.Asing diakses tanggal 26 februari 2015
6
Indonesia. 7 Persoalan penenggelaman atau pembakaran kapal asing ini bukanlah hal yang baru dalam aturan hukum perikanan Indonesia , karena pada Pasal 69 ayat 4 telah dikatakan demikian. Hal
inilah
yang
melatarbelakangi
penulisan
skripsi
ini
dan
menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di yang telah dijelaskan , menunjukkan bahwa masih banyaknya jumlah kapal berbendera asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia dan sangat merugikan sektor perikanan Indonesia. Selain sanksi pidana penjara dan denda, sesuai dengan Pasal 69 ayat 4 tentang tindakan khusus yaitu melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di wilayah laut Indonesia juga memegang peranan penting dalam upaya menanaggulangi terjadinya tindak pidana pencurian ikan. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu : 1.
Bagaimanakah tugas dan fungsi pengawas perikanan di wilayah laut Indonesia serta hak dan kewajiban kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia?
7
Harian Batam. http://www.batamtoday.com/berita50309-Jokowi-Perintahkan-MenteriSusi-Tenggelamkan-Kapal-Asing-Pencuri-Ikan.html diakses tanggal 26 Februari 2015
7
2. Bagaimanakah pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah laut?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan terlebih dahulu, makan penulisan skripsi ini bertujuan untuk : 1.
Untuk mengetahui bagaimana pengawasan perikanan termasuk tugas dan fungsi pengawas perikanan serta hak dan kewajiban kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia.
2.
Untuk mengetahui hal-hal apa yang berhubungan dengan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan serta apa yang dimaksud dengan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di wilayah laut Indonesia itu sendiri.
Adapun manfaat penulisan ini adalah : 1.
Secara teoritis : Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan atau ilmu pengetahuan penulis di bidang perikanan khususnya mengenai pengawasan terhadap perikanan, tugas dan fungsi pengawas perikanan serta hak dan kewajiban kapal perikanan dalam melakukan penangkapan ikan.
2.
Secara praktis : Dapat menambah pengetahuan baik kepada penulis ataupun pihak-pihak terkait mengenai faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian ikan
8
serta apa yang dimaksud dengan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpusatakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, adapun skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan” belum pernah dikemukakan. Permasalahan yang diajukan belum pernah dibahas oleh permasalahan skripsi lainnya. Adapun judul skripsi tersebut diatas merupakan tulisan yang masih baru, belum pernah ada tulisan lain dalam bentuk skripsi mengenai masalah ini dan belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawakan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Perbuatan pidana atau yang sering disebut sebagai tindak pidana merupakan pengertian yang dasar yang terdapat dalam ilmu hukum pidana, perbuatan pidana atau tindak pidana ini tentu memiliki hal yang memberikan ciri tersendiri pada peristiwa hukum pidana. Karena perbuatan/tindak pidana memiliki pengertrian yang abstrak dari peristiwa konkret dalam lapangan hukum pidana,
9
maka harus dijelaskan secara ilmiah sehingga pemahamannya tidak sama dengan istilah biasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. 8 Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda yakni “Strafbar feit” atau “delict”. Dalam merumuskan undang-undang, pembuat undang-undang juga menggunakan istilah peristiwa pidana , perbuatan pidana, atau tindak pidana. Sebelum membahas lebih lanjut tentang tindak pidana, terlebih dahulu kita bahas pengertian tindak pidana atau istilah tindak pidana yang digunakan oleh para ahli hukum pidana. Para ahli hukum pidana pun memiliki beberapa penggunaan istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana ini berikut juga pengertiannya. Menurut D. Simsons, peristiwa pidana itu adalah “Een Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon” atau Perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggungjawab. Perumusan Simons tersebut menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana adalah sebagai berikut : a. Handeling : perbuatan manusia Dengan handeling dimaksudkan tidak saja “een doen” (perbuatan) tetapi juga “een nalaten” atau “niet doen” (melalaikan atau tidak berbuat) b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (strafbaar gesteld) oleh undangundang
8
124.
Bambang Poernomo, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993, hal.
10
d. Harus
dilakukan
oleh
seseorang
yang
mampu
bertanggungjawab
(toerekeningsvatbaar) e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pembuat Jika Simons membagi unsur-unsur yang menunjukkan suatu peritiwa pidana maka berbeda dengan Vos. Menurut Vos, terlebih dahulu mengemukaan arti delict sebagai “tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “wesenschau”. Makna tatbestandmassingheit merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka disitu ada delik. Sedangkan makna “wesenschau” merupakan kelakukan yang mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan maka baru merupakankan delik apabila kelakuan itu “dem wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan. 9 Dengan kata lain menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undangundang.
10
Menurut Pompe pengertian strafbaar feit dibedakan :
a. Defenisi menurut teori memberikan pengetian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggara terhadap norma , yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan penyelamatan kesejahteraan umum
9
Bambang Poernomo. Asas asas hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994. hal
90-91. 10
Prof. Drs. CST Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana – Hukum Pidana Untuk Tiap Orang. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2007. hal 38.
11
b. Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaarfeit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Selain defenisi menurut teori dan menurut hukum positif yang dikemukakan oleh Pompe, terdapat pula definisi tindak pidana menurut J.E Jonkers. J.E Jonkers membagi definisi strafbaar feit menjadi dua bagian pengertian, yakni: 11 a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang. b. Defenisi panjang atau lebih mendalam memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Di dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 angka 1 pengertian perikanan adalah : “Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.” Tindak pidana dibidang perikanan yang diatur dalam Undang-Undang Perikanan hanya mencakup 2 (dua) macam delik yaitu delik kejahatan (misdrijven) dan delik pelanggaran (overtredingen). Disebut kejahatan karena perbuatan pelaku bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan delik 11
Bambang Poernomo, op. cit., hal 91.
12
pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan penguasa Negara. 12 Tindak Pidana Pencurian Ikan / illegal fishing termasuk dalam delik kejahatan karena bertentangan dengan kepentingan hukum atau aturan hukum yang ada. Pengertian atau defenisi tindak pidana pencurian ikan atau illegal fishing
dalam peraturan perundang-undangan
termasuk Undang-undang perikanan memang tidak dijelaskan secara terperinci dan tegas. Menurut Contemporary English Indonesian Dictionary , “illegal” berarti tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, sedangkan “fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan. Berdasarkan penjelasan defenisi kata “illegal fishing” diatas maka secara singkat dapat dikatakan bahwa “illegal fishing” adalah penangkapan ikan secara tidak sah atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Dalam dunia internasional dikenal istilah Illegal, Unreporterd and Unregulated (IUU) Fishing Practices. Dalam istilah diatas termasuk juga wacana mengenai illegal fishing. Dalam IUU Fishing , secara singkat illegal fishing adalah penangkapan ikan secara tidak sah di perairan wilayah atau ZEE suatu negara atau tidak memiliki izin dari negara tersebut. Berdasarkan pada penjelasan diatas dan sesuai dengan aturan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan UndanUndang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan maka tindak pidana penangkapan ikan secara tidak sah atau illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang memakai Surat Penangkapan Ikan (SPI) palsu, tidak
12
Arif Satria , Pesisir dan Laut untuk Rakyat, Bogor : IPB Press, 2009, hal 153
13
dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), isi dokumen tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap jenis atau ukuran ikan yang dilarang, serta kegiatan penangkapan ikan secara illegal di wilayah perairan atau ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) suatu negara dengan tidak memiliki izin dari negara pantai. 13 3. Kapal Perikanan Kapal, adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dan sebagainya) seperti halnya sampan atau perahu yang lebih kecil. Kapal biasanya cukup besar untuk membawa perahu kecil seperti sekoci. Sedangkan dalam istilah inggris, dipisahkan antara ship yang lebih besar dan boat yang lebih kecil. Secara kebiasaannya kapal dapat membawa perahu tetapi perahu tidak dapat membawa kapal. Ukuran sebenarnya dimana sebuah perahu disebut kapal selalu ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan atau kebiasaan setempat. Berabad-abad kapal digunakan oleh manusia untuk mengarungi sungai atau lautan yang diawali oleh penemuan perahu. Biasanya manusia pada masa lampau menggunakan kano, rakit ataupun perahu, semakin besar kebutuhan akan daya muat maka dibuatlah perahu atau rakit yang berukuran lebih besar yang dinamakan kapal. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan kapal pada masa lampau menggunakan kayu, bambu ataupun batang-batang papirus seperti yang digunakan bangsa mesir kuno kemudian digunakan bahan bahan logam seperti besi/baja karena kebutuhan manusia akan kapal yang kuat. Untuk penggeraknya manusia pada awalnya menggunakan dayung kemudian angin 13
Ed : Anjarotni, dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan , Jakarta : Badan Pembinaan HUkum Nasional, 2009 hal 48
14
dengan bantuan layar, mesin uap setelah muncul revolusi Industri dan mesin diesel serta Nuklir. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tentang pengertian kapal dirumuskan dalam Pasal 309 ayat (1) sebagai berikut : “semua alat pelayaran dengan nama atau sifat apapun juga” Berdasarkan rumusan tersebut diatas, maka masih belum dapat diberikan pengertian yang jelas tentang kapal karena tidak dimuat dari arti kata alat pelayaran dalam KUHD tersebut maupun dalam penjelasannya. Mengenai “alat pelayaran”, Wirjono Pradjodikoro, SH menyatakan : “kebanyakan ahli hukum di Negeri Belanda dan juga Jurisprudensi disana mengambil pengertian ini dalam arti yang sangat luas, yaitu meliputi semua alat yang dibikin oleh manusia untuk berada dan bergerak di air dengan alat itu. Jadi tidak diperdulikan, apakah alat tersebut dapat digerakkan sendiri atau ditarik oleh alat lain” 14 Selanjutnya dalam Pasal 209 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merumuskan bahwa Kapal meliputi juga semua alat-alat perkapalan, yang selanjutnya pada Pasal 309 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dijelaskan lebih lanjut tentang “alat-alat perkapalan” yakni semua barang yang tidak merupakan bagian dari tubuh kapal, tetapi ditujukan untuk tetap dipakai bersama-sama tubuh kapal dalam pelayaran. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang yang berlaku sendiri tidak ditemukan pengertian dari kapal itu sendiri. Dengan demikian , maka dapat dikatakan bahwa kapal perikanan termasuk dalam bagian pengertian kapal itu sendiri. Pengertian kapal perikanan terdapat dalam beberapa Undang-Undang. Menurut Undang14
hal 60.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut bagi Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 1963,
15
Undang Nomor 31 tahun 200 tentang Perikanan padal 1 ayat 9 dikatakan pengertian kapal perikanan ialah: “kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/ eksplorasi perikanan” Pengertian kapal perikanan tersebut diatas sama dengan pengertian kapal perikanan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER. 05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. 4. Kebijakan Penanggulangan kejahatan Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy). Prof.Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan penanggulangan kejahatan atau kebijakan kriminal, yaitu: 15 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari aparat kepolisian, kejaksaaan, dan pengadilan; c. Dalam arti paling luas , ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi , yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dalam kehidupan masyarakat.
15
Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1983, hal 15.
16
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social walfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 16 Hal ini berarti bahwa masalah kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana saja, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan. Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. a. Kebijakan diluar Hukum Pidana (Non-Penal policy) Upaya non-penal ini bersifat tindakan preventif atau pencegahan sebelum terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan 17, maka sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut ialah faktor-faktor yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung
atau
tidak
langsung
menumbuhsuburkan kejahatan.
dapat
menimbulkan
atau
Dengan dimikian dilihat dari sudut
pandang politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non16
Barda Nawawi Arief, op. cit., hal 2. Teguh prasetro, Abdul Halim, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2005, hal. 17. 17
17
penal menduduki posisi kunci atau strategis dari keseluruhan upaya politik atau kebijakan kriminal (criminal policy). 18 Pernyataan diatas juga didukung oleh hasil dari Kongres PBB tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venzuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crjime Trend and Crime Prevention Strategis, antara lain : 1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people); 2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (Crime prevention strategis should be based upon the elemination of causes and condition giving rise to crime); 3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan di berbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan dikriminasi nasional, standart hidup yang rendah , pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk (the main course of crime in many countries are social inequality, ratial and national dicrimination, low standart of living,
18
Barda Nawawi.. op.cit. hal. 49
18
unemployment and illiteracy among broad section of the population). Kondisi sosial yang ditengarai diatas sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah pemecahan masalah diatas didukung oleh pendekatan nonpenal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.
19
Menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan
kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment)
yaitu
antara
lain
perancangan
kesehatan
masarakat
(communtiy planning mental health), social network, social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative and civil law.) 20Jadi upaya non-penal yakni pencegahan sebelum terjadinya kejahatan merupakan upaya yang dilakukan dengan memperbaiki kualitas kondisi sosial yang ada yaitu masyarakat itu sendiri, sehingga dengan diperbaikinya kualitas tersebut dapat diharapkan mengurangi perilaku kejahatan dalam masyarakat. b.
Kebijakan Hukum Pidana (Penal policy) Istilah “kebijakan berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa belanda “politiek”. Istilah di dalam bahsa Indonesia sering diterjemahkan dengan
19
Mahmud Mulyadi. Criminal Policy- Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan masalah Kejahatan kekerasan. 20 G. Pieter Hoefnagels. The Other Side of Criminology, an Inversion of The Concept of Crime. Holland : Kluwer, Deventer. Hal
19
kata “politik” , oleh karena itu kebijakan hukum pidana sering disebut juga politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan dari politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum, oleh karena itu sangat penting dibicarakan mengenai kebijakan hukum atau politik hukum. Menurut Prof. Soedarto, politik hukum atau kebijakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam juga dikemukakan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat kelengkapannya yang berwenang menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yan terkandung dalam masyarakat dalam mencapai apa yang dicita-citakan. 21 Lebih lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”. 22 Dikemukakan oleh Marc Ancel bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang , tetapi juga kepada
21
Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1983, hal 18. 22 Marc Ancel. Social Defence, A modern Approach to Criminal Problems. London : Routledge & Kegan Paul , 1965, hal 4-5.
20
pengadilan
yang
menerapkan
undang-undang
dan
juga
kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan diatas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakan hukum saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. Dengan demikian , penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberi pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). 23 Hukum pidana harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum terjadinya suatu kejahatan. Dengan demikian, jika politik kriminil menggunakan politik hukum pidana, maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat secara sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan segala faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau berkerjanya hukum pidana dalam kenyataan. Kemudian, dalam setiap kebijakan yang dilakukan dan diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembagunan harus dilihat dalam tiga kerangka , yaitu struktur,
23
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, op.cit., hal. 18.
21
substansi dan kultur. Hal ini penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai tejebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Akhirnya justtru merugikan masyarakat sendiri dan tidak dapat mencegah dan menangulangi kejahatan.
F. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Dalam
penelitian hukum normatif dilakukan dengan meneliti peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, berbagai literatur dan bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan skripsi ini. Perolehan data dalam penelitian hukum normatif juga berasal dari data sekunder. Metode penelitian ini dipilih unjtuk mengetahui pembakaran dan penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan sebagai upaya penanggulangan tindak pidana pencurian ikan.
2.
Data dan sumber data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder
adalah data yang diperoleh dari : a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni merupakan peraturan perundang-undangan.
22
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana dibidang perikanan, buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaiatan dengan permasalahan dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensikloperdia dan sebagainya. 3.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah
ini adalah sudi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperi buku-buku pendapat sarjana , bahan kuliah, artikel dan berita yang diperoleh dari internet yang bertujuan mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkeaan dengan tindak pidana di bidang perikanan. 4. Analisis data Ada dua analisis data yang diketahui yakni metode analsisi data kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini telah dibuat secara terperinci dan sistematis, hal ini bertujuan agar dapat memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami
23
makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan daripada sistematika tersebut adalah satu kesatuan yang saling berkesinambungan dan berhubungan antara satu sama lain yang dapat dilihat sebagai berikut : BAB I
: Bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, pada bab ini dimuat apa yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis skripsi ini, kemudian apa masalah yang dapat dirumuskan dalam rumusan masalah, tujuan dan menfaat penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan
BAB II
: Bab kedua merupakan bab pembahasan, pada bab pembahasan ini akan membahas mengenai pengawasan sektor perikanan di Negara Republik Indonesia khususnya pada wilayah laut Indonesia, tugas dan fungsi pengawas perikanan serta hak dan kewajiban kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia.
BAB III
: Bab ketiga ini juga merupakan bab pembahasan, pada bab ini akan membahas
mengenai
penyebab
terjadinya
tindak
pidana
pencurian ikan, kemudian tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal berbendera asing, dan bagaimana penerapan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan. BAB IV
: Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran yang berfungsi untuk memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.