BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejatinya sebuah hukum dengan corak keislaman mempunyai aspek keseragaman dan keragaman. Berbagai latar belakang telah memberikan corak hukum Islam yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Demikian pula dengan hukum waris, meskipun dengan sumber yang sama yaitu alQu’ran dan Hadis, tetapi terjadi perbedaan hukum waris dari suatu negara dengan negara lainnya. Perbedaan beberapa unsur hukum waris di beberapa negara yang berpenduduk muslim, tampak setelah adanya usaha untuk pengkodifikasian hukum keluarga secara luas dan hukum waris secara lebih khusus. Kodifikasi hukum keluarga muslim dimulai pada tahun 1917 yang dipelopori oleh Negara Turki, kemudian menyusul Mesir pada tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan Pada tahun 1961 dan Indonesia pada tahun 19741 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.2 Dengan upaya kodifikasi hukum nasional Islam, maka masing-masing negara mempunyai cara pandang yang berbeda dengan negara lainnya, 1
M. Atho Mudhar menyebutnya dengan pembaharuan hukum dalam bentuk undang-undang bukan kodifikasi, lihat M. Atho Muzdhor dan Khoiruddin Nasution (Ed), Hukum Keluarga di Dunia Muslim Modern, studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih (Jakarta, Ciputat Press, 2003), h. 1. 2 Sebenarnya Indonesia sudah merintis kodifikasi hukum keluarga sejak tahun 1946 yaitu dengan Undang-Undang 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, namun esensi dari undang-undang ini lebih terasa sejak lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
termasuk tentang wasiat wajibah dalam hukum waris Islam yang ada dalam undang-undang hukum wasiat di Mesir dan dalam KHI di Indonesia. Istilah Wasiat wajibah dipergunakan pertama kali di Mesir melalui Hukum Waris 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim.3 Ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal (ibn al-ibn) atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja (tidak berlanjut sampai generasi selanjutnya). Pemberian wasiat wajibah ini harus tidak melebihi dari sepertiga tirkah (harta yang ditinggalkan).4 Di Mesir, prinsip utama dan penting yang diperkenalkan di Mesir berkenaan hukum warisan adalah hak cucu yatim terhadap harta kakeknya. Hal ini merupakan isu kontroversial yang terdapat dalam hukum Islam karena tidak mengenal pengakuan representasi (mewakili ahli waris/ahli waris pengganti). Solusi yang diberikan untuk mendukung posisi cucu yatim yaitu melalui wasiat wajibah.5 Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah terbatas diberikan kepada cucu pewaris yang orangtuanya meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapat bagian harta warisan disebabkan
3
Atho Mudhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), h. 163-164. 4 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h. 88. 5 Hukum Keluarga Islam di Negara Mesir, Sebuah Resume, http://ciani-srihidayati.blogspot.com/2012/03/hukum-keluarga-islam-di-negara-mesir.html. Diakses pada tanggal 20 Mei 2014.
kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain.6 Mengenai hukum wasiat wajibah di Mesir sudah sejak tahun 1946 yang tertuang dalam Hukum Waris. Kemudian ia dimasukkan dalam amandemen 100 tahun 1985. Pasal 76, misalnya, menyatakan sekiranya seorang pewaris tidak berwasiat untuk keturunan dari anak yang telah meninggal sebelum dia, atau meninggal bersama-sama dengan dia, maka keturunan tersebut akan menerima warisan sebesar bagian ayahnya melalui wasiat wajibah dalam batas tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan.7 Oleh karena itu, sangat menarik dari wasiat wajibahnya Mesir yang memberikan harta pewaris kepada cucu yatim. Proses tersebut tidak terlepas adanya rasa keadilan terhadap suatu kelompok atau golongan yang tidak terbayangkan pada masa Arab awal Islam. di samping adanya adat yang melingkupinya. Berbeda dengan di Indonesia yang ada dalam KHI, wasiat wajibah diperuntukan bagi anak angkat. Apabila anak angkat tidak mendapatkan wasiat ketika hidupnya dari orang tua angkat, ia berhak mendapatkan wasiat wajibah yang dapat dituntut di depan hukum. Besarnya wasiat wajibah tersebut tidak melebihi dari 1/3 bagian harta warisan. Dalam prakteknya, besar wasiat wajibah bagi anak angkat harus mempertimbangkan besarnya bagian bagi anak kandung, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan antara bagian anak angkat dengan anak kandung, sungguh tidak adil apabila bagian anak 6
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’i, Hazairin, dan KHI (Pontianak: PT. Romeo Grafika, 2006), h. 98. Di Indonesia dikenal dengan ahli waris pengganti. 7 Sarmidi Husna, “Wasiat Wajibah Dalam Hukum Keluarga Di Negara Mesir, Tunisia, Syiria, Dan Yordania”, http://sarmidihusna.blogspot.com/2009/01/wasiat-wajibah-dalamhukum-keluarga.html. diakses tanggal 20 Maret 2014.
angkat ternyata melebihi bagian anak kandung. Dengan demikian, meskipun wasiat wajibah batas maksimalnya tidak melebihi 1/3 bagian, namun tidak boleh melebihi bagian dari anak kandung. Keberadaan anak angkat di tengah masyarakat merupakan gejala sosial dan dipraktekkan masyarakat dengan berbagai motivasi. Pada umumnya motivasi pengangkatan anak dapat dibedakan dalam dua kategori besar, yaitu motivasi subyektif dan motifasi obyektif. Motivasi subyektif pengangkatan anak merupakan dorongan dan alasan yang berangkat dari kepentingan seseorang
yang
melakukan
pengangkatan
anak.
Motivasi
subyektif
pengangkatan anak meliputi : (1) ketiadaan keturunan atau ahli waris, (2) sebagai upaya memancing lahirnya anak kandung. Adapun motivasi pengangkatan anak obeyktif berarti mengangkat anak dari sudut pandang kepentingan anak yang bersangkutan. Secara garis besar, motivasi obyektif pengangkatan anak juga bersifat sosial spiritual. Bahwa seorang baik yang sudah mempunyai keturunan maupun yang belum, secara sosial spiritual akan terdorong untuk melakukan pengangkatan anak. Di samping itu, motivasi obyektif karena alasan ekonomi orangtua anak tidak mampu. Dalam pasal 171 huruf (h), KHI menjelaskan pengertian anak angkat yaitu anak yang dalam pemeliharaan untuk kehidupan sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. 8 Sedangkan pasal 209 mengatur ketentuan kewarisan anak angkat. Pasal 209 ayat (1) 8
Zainal Abidin Abubakar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Agama (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1991), h. 112.
mengatur wasiat wajibah anak angkat terhadap orang tua angkatnya sebanyakbanyaknya 1/3 bagian. Pasal 209 ayat (2) menentukan bahwa anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua anaknya.9 Dengan demikian wasiat wajibah dipahami sebagai wasiat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (KHI) terhadap orang tua angkat agar memberikan sebagian (maksimal 1/3) harta peninggalannya kepada anak angkat setelah dirinya meninggal dunia. Menurut Mustafa Syalabi, kehadiran lembaga wasiat (wajibah) dalam hukum Islam sebagai penangkal kekisruhan dalam keluarga. Sebab dengan wasiat anggota keluarga yang tidak memperoleh harta waris, dimungkinkan mendapat bagian harta warisan. Padahal boleh jadi anggota keluarga tersebut sangat berjasa dalam keluarga yang bersangkutan, termasuk dalam memperoleh harta.10 Wasiat memungkinkan cucu yang terhalang oleh paman, atau anggota keluarga yang kebetulan non muslim atau anak angkat yang telah menyatu sejak kecil memperoleh harta peninggalan yang akan bermanfaat bagi kehidupannya.11 Dari uraian di atas, tampak jelas kedudukan cucu dan anak angkat dalam hubungan dengan harta peninggalan orang tua angkatnya, yang semula dalam melalui sistem kewarisan tidak berhak, tetapi dengan jalan wasiat wajibah berhak atas 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya.
9
Zainal, Ibid, h. 145. Musthafa Syalabi, Ahkam al Washaya wa al Auqaf, tanpa penerbit, tt, h.13-14; 11 Eko Budiono, “Wasiat Wajibah Menurut Berbagai Refernsi Hukum Islam dan Aplikasinya di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, Mimbar Hukum No. 63, 2004), h. 104. 10
Menurut pendapat Ibn Hazm,12 kewajiban wasiat (wasiat wajibah) berlaku bagi setiap orang yang meninggal dunia dan meningalkan harta tetapi tidak berwasiat, maka hartanya harus disedekahkan untuk memenuhi kewajiban wasiat tersebut.13 Oleh karena itu, ketika cucu dan anak angkat ditetapkan berhak atas sebagaian harta peninggalan, boleh jadi akan menghilangkan atau setidaknya mengurangi bagian ahli waris yang termasuk dzwil furudl atau dzawil arham. Di sinilah diperlukan jawaban hak cucu dan anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya dalam ketentuan wasiat wajibah.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di atas, maka rumusan masalahnya adalah : 1. Bagaimana latar belakang dan alasan pengaturan wasiat wajibah di negara Mesir dan di negara Indonesia? 2. Apa logika dasar hak atas cucu dan anak angkat memperoleh bagian 1/3 pengaturan wasiat wajibah di negara Mesir dan di negara Indonesia dalam tinjauan filosofis?
C. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan penelitian ini yang penulis ingin mencapainya adalah untuk : 12
Ibn Hazm, Al Muhalla, (Bairut: Dar al Fikr, tt), h. 313 Hasanin Muhammad Makkul, Al Mawaristu fi Syari’atil Islam (Kairo Dar al Kutub al Araby, 1954), h. 13. 13
1. Mengetahui pengaturan dan alasan-alasan Undang-undang Mesir dan KHI di Indonesia dalam menetapkan hak cucu dan anak angkat mengenai wasiat wajibah, 2. Mengetahui logika dasar atas hak cucu dan anak angkat memperoleh bagian 1/3 pengaturan wasiat wajibah di Mesir dan Indonesia menurut tinjauan filososfis. Penelitian ini diharapkan menghasilkan kesimpulan yang bermanfaat, yaitu: 1. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang wasiat wajibah sebagai media untuk memberikan hak cucu dan anak angkat. 2. Sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajari lebih dalam permasalahan yang berkaitan dengan cucu dan anak angkat khususnya dalam konteks hukum harta kekayaan.
D. Kajian Pustaka Ada beberapa kajian pustaka yang ada dalam penelitian ini. Penulis mencoba menjelaskan letak posisi penelitian ini: Tesis yang berjudul “Telaah yuridis terhadap penerapan ketentuan wasiat wajibah dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg.No.51.K/AG/1999 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg.No.368.K/AG/1995” karya
Irwan Rosman,
menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan penerapan wasiat wajibah antara Putusan MA. RI. Reg. No.368.WAG/1995 dan Putusan MA. RI. Reg. No.51 .WAG/1999, dalam ha1
pengambilan bagian harta pewaris. Putusan MA. RI. Reg. No.368.WAG/ 1995 menerapkan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim yang bagiannya diambil dari harta peninggalan pewaris muslim, sedangkan Putusan MA. RI. Reg. No.5 1.WAG/1999 menerapkan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim yang bagannya diambil dari harta warisan pewaris muslim. Penerapan bagian wasiat wajibah yang diambil dari harta peninggalan, jika dihubungkan dengan kaedah wasiat yang tidak melarang memberikan bagian harta kepada siapa saja selain ahli waris dengan bagian maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan pewaris juga berdasarkan Pasal 209 KHI yang mernbolehkan memberikan bagian kepada anak angkat atau orang tua angkat yang bagiannya diambil melalui harta peninggalan.14 Tesis ini peruntukan wasiat wajibah bagi non-muslim yang berbeda dengan cucu dan anak angkat. Sistem Kewarisan Islam: Klasik, Modern, dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem) karya Waryani Fajar Riyanto menjelaskan sistem kewarisan dunia muslim (Maroko) yang dianggap paling modern dalam sejarah pembaharuan hukum waris Islam. Fokus tersebut hanya pada negara Maroko.15 Buku tersebut menawarkan teori yang ditawarkan oleh penulis, namun hanya menjangkau secara umum hukum kewarisan dengan penafsiran yang berbeda konteks pembaharuan hukum waris dunia muslim yang masih baru.
14
Irwan Rosman, “Telaah yuridis terhadap penerapan ketentuan wasiat wajibah dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg.No.51.K/AG/1999 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg.No.368.K/AG/1995” Tesis S2 Ilmu Hukum UGM, 2002. 15 Waryani Fajar Riyanto, Sistem Kewarisan Islam : Klasik, Modern, dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem) (Pekalongan, STAIN Pekalongan Press, 2012), h. 347.
Rekontruksi
hukum
kewarisan
Islam
di
Indonesia,
karya
Habiburrahman yang merupakan hasil disertasinya, menjelaskan secara komprehensif
beberapa persoalan yang menarik tentang pasang surut
diskursus ketentuan waris bagi ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama dalam konteks hukum waris di Indonesia yang secara normatif terkait dengan masalah asas, sejarah dan peraturan perundangan.16 Namun karya tersebut hanya sebatas pembahasan yang kurang mendalam tentang wasiat wajibah dari sisi undang-undang Mesir walaupun terdapat di Indonesia. Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Epistemologi Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga karya disertasinya Asni, menjelaskan perdebatan posisi KHI sebagai undang-undang, namun KHI selama ini diakui sebagai hukum Islam yang mandiri dan diakui keberadaannya secara formal karena pemberlakuannya didasarkan atas Intruksi Presiden. Namun dalam hal ini KHI masih sebatas memperjuangkan kewarisan Islam terhadap perempuan dengan masih berkutat pada fikih klasik yang memarjinalkan perempuan, sehingga perempuan dianggap sebagai masyarakat yang dianggap kurang mampu.17 Isinya tersebut masih berkutat perdebatan mengenai eksistensi hukum Islam termasuk hukum waris tanpa ada contoh yang kongkret. Apalagi terkait dengan wasiat wajibah.
16
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011) h. 14 17 Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Epistemologi Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesi, 2012), h. 209.
Wasiat wajibah: Pergumulan antara hukum adat dan hukum Islam di Indonesia karya Ahmad Junaedi. Buku ini berusaha menjelaskan denagan menyoroti pasal 209 Kompilasi Hukum Islam tentang wasiat wajibah yang diberikan untuk anak angkat menurut hukum Islam. peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan fikih bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku diberbagai dunia Islam kontemporer. Al-Qur’an menolak penyamaan hubungan karena pengankatan anak yang telah berkembang di dalam adat masuarakat bangsa Arab waktu itu karena ada hubungan pertalian darah.18 Buku tersebut hanya menyoroti tentang wasiat wajibah yang ada di Indonesia dengan perspektif hukum adat dan hukum Islam. Berdasarkan penelusuran temuan tulisan di atas, kebaruan tesis ini adanya nilai pentingnya keadilan mengenai wasiat wajibah di negara Mesir dan di negara Indonesia. Proses inilah yang akan dilakukan penelitian untuk menemukan jawabannya.
E. Kerangka Teori Kajian mengenai keadilan (justice) merupakan kajian filosofis, karena keadilan bersifat radikal dan mendalam. Para filosof sudah merumuskan definisi keadilan menurut sudut pandang dan membaginya titik tekan substansinya. Keadilan ( justice)
dalam bahasa Inggris diberi pengertian
sebagai “ a basic in or conforming to facts or reason –mempunyai dasar 18
Ahmad Junaedi, Wasiat Wajibah: Pergumulan Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-STAIN jember Press, 2013), h. iv.
dalam fakta atau sesuai dengan fakta dan akal. Keadilan juga diartikan dengan “conforming to a standar of correctness” - sesuai dan cocok dengan ukuran yang benar /kebenaran.19 Dalam bahasa Arab asal kata keadilan (adl) berarti lurus, konsisten, berimbang dan patut.20 Keadilan dalam bahasa Arab berkaitan erat dengan hukum, sehingga keadilan juga dimaknai “ wadl’u
syain ala mahallih”-
menempatkan sesuatu pada tempatnya atau i’tha al mar’i maa lahu wa akhdza maa alayh- memberikan apa yang menjadi milik seseorang dan mengambil darinya apa yang menjadi haknya.21 Dari pengertian keadilan menurut istilah bahasa Arab, keadilan tampak berkaitan dengan diri sendiri dan masyarakat sekaligus. Dengan kata lain keadilan berkaitan dengan hukum (law) dan hak (rights). Hans Kelsen menyatakan keadilan merupakan sebuah kualitas masyarakat yang mengatur hubungan timbal balik yang mesti diwujudkan mekipun tidak selalu dapat diwujudkan.22
Akan tetapi keadilan harus
diusahakan untuk diwujudkan dengan membuat aturan tingkah laku yang memuaskan semua orang. Sebab dalam aturan yang adil akan mengantar manusia kepada kebahagiaan. Sehingga Plato mengatakan, orang yang berbuat adil akan berbahagia dan orang yang tidak adil, tidak akan bahagia.23
19
Rifyal Kabah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), h.
35. 20
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 28. Moch. Hashem Kamali, Freedom, Equality, and Justice in Islam, (Sdn. Bhd Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher, 1999), h. 140 22 Hans Kelsen, What’s Justice ? Justice, Law and Politiics in the Mirror of Science, (Berkeley and Los Angeles University of California, 1957), h. 1-2. 23 Hans Kelsen, Ibid. 21
Sungguhpun dibuat seadil-adilnya tidak ada aturan yang benar-benar adil dan akhirnya membahagiakan semua orang. Karena itu, menurut Jeremy Bentham
keadilan dan kebahagaiaan yang diwujudkan melalui aturan
ditujukan adalah untuk kebahagiaan sebanyak-banyaknya individu dalam masyarakat (the greatest possible happiness of the greatest people numbers of individual).24 Demikian keadilan yang diwujudkan dalam aturan adalah keadilan relatif sejauh yang bisa diusahakan oleh pembuat aturan yang sangat terbatas. Bagi Kelsen keadilan juga dapat dilihat dari peraturan yang menata masyarakat mampu memberikan perlindungan kepada pencarian kebenaran. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa keadilan berhubungan dengan kebahagiaan dan pemenuhan hak seseorang dengan cara yang dapat dibenarkan oleh masyarakat dan oleh peraturan yang telah dibuat bersama. Keadilan yang demikian itulah yang digunakan untuk menelisik ketentuan Undang-undang Wasiat di Mesir dan KHI di Indonesia yang telah menetapkan hak anak angkat untuk memperoleh hak atas harta orang tua angkatnya sebesar 1/3 bagian termasuk juga Undang-undang hukum wasiat Mesir bagi cucu yang memandang berhak mendapat wasiat wajibah. Prinsip utama dan penting yang diperkenalkan di Mesir berkenaan hukum warisan adalah hak cucu yatim terhadap harta kakeknya. Hal ini merupakan isu kontroversial yang terdapat dalam hukum Islam karena tidak mengenal pengakuan representasi (mewakili ahli waris/ahli waris pengganti).
24
Hans Kelsen, Ibid
Solusi yang diberikan untuk mendukung posisi cucu yatim yaitu melalui wasiat wajibah. Dengan mengikuti perkembangan hukum kewarisan terutama Mesir,25 KHI mengadopsi dengan modifikasi doktrin wasiat wajibah yang diberikan kepada anak angkat. Artinya satu wasiat yang diwajibkan untuk diberikan kepada anak angkat yang tidak mungkin memperoleh hak atas harta kewarisan menurut kaidah hukum faraidl. Anak angkat menurut pasal 209 KHI memperoleh sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Dari hal tersebut memunculkan istilah wasiat wajibah. Istilah wasiat wajibah pertama kali diperkenalkan oleh Ibn Hazm yang menyatakan wajib bagi tiap-tiap orang yang akan meninggal dan memiliki harta kekayaan, terutama kepada kerabat yang tidak memperoleh bagian warisan, karena kedudukan sebagai hamba, kekafirannya, atau hal yang menghalangi mereka dari hak kewarisan atau karena memang tidak berhak atas warisan.26 Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum.
25
Muhammad Abu Zahrah, 1993. Ahkam al Tirkah wa al Mawarits (Beirut: Dar al Fikr Al Araby), hlm. 29. 26 Ibn Hazm, al-Muhalla, Tahqiq al-Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Jilid VIII (Bairut: Dar al-Fikr, t.t), h. 349, 353, 356.
Keberadaan cucu yatim untuk memperoleh wasiat wajibah sepertiga dari kakeknya yang meninggal menurut UU Mesir dan keberadaan anak angkat
dalam kedudukannya terhadap harta warisan menurut
memperoleh
sepertiga
bagian
untuk
merealisasikan
wasiat
KHI
wajibah
menimbulkan probkematika normatif, sehingga perlu penelitian filosofis untuk mengetahui kesesuainnya ketentuan syariah melalui pengkajian nilai-nilai keadilan dan maqāṣid al-syarī’ah. Problematika normarif itu semakin nyata ketika persoalan hukum waris apalagi wasiat dikategorikan sebagai sumbernya sudah qaṭ’i dengan ayat-ayatnya mufassar (terinci). Hal itu berbeda jika dengan pendekatan keadilan atau kemaslahatan. Dalam konteks hukum Islam, keadilan dan maqāṣid al-syarī’ah/kemaslahatan merupakan prinsip yang harus ditegakkan dalam kondisi apa pun. Menurut Kelsen ada empat prinsip keadilan yang mesti dipenuhi yaitu prinsip kebebasan (freedom), perdamaian (peace) kebersamaan (democracy) dan toleransi (tolerance).27 Dengan demikian sejatinya keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilan terdapat jaminan perlindungan terhadap kepentingan individu sekaligus jaminan ketertiban sosial (sosial order).28 Dalam suasana yang adil tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu. Dan untuk menjamin keadilan itulah dibentuk aturan-atruan yang adil. Demikian juga KHI yang telah mengatur hak anak angkat atas harta orang tua angkatnya dibentuk untuk memberikan keadilan. 27 28
Hans Kelsen, Loc. Cit. Hamka, Al Akhlaqul Karimah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 5
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan hukum Islam adalah konsep maqasid at-tasyri' atau maqasid alsyariah yang menegaskan bahwa hukum Islam itu untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Teori maslahat menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial dalam hukum.29 Keadilan yang tertinggi adalah keadilan yang bersumber dari nilai yang luhur (agama)30 untuk mencapai kesejahteraan bersama, dan untuk itu keadilan harus ditegakkan. Dengan demikian keadilan dalam kehidupan masyarakat biasanya dikatakan sebagai keadilan moral, keadilan sosial dan keadilan hukum. Meskipun keadilan moral, sosial dan hukum dapat dibedakan, tetapi dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan. Karena ketiga keadilan tersebut sebenarnya bermuara pada pelaksanaan hak dan keajiban individu dalam bergaulan sosialnya. Al-Qur’an sendiri telah menetapkan bahwa manusia itu mempunyai hak dan kewajiban yang berimbang antara sesama jenis dan sesama manusia.31 Perbedaan manusia hanyalah aneka ragam usaha dan kerjanya dalam konteks tugas besar manusia yaitu sebagi hamba yang mengabdi hanya kepada Allah sekaligus menjadi khalifah-Nya untuk mensejahterakan semua makhluk, sehingga tidak ada kedhaliman di muka bumi.
29 Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" (Jakarta: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI, 1995), h. 97. 30 31
Rifyal Ka’bah, Op. Cit. h. 156 Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 245.
E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum filosofis-komparatif, yang dimaksudkan untuk menemukan landasan mendalam, mengenai kedudukan cucu dan anak angkat terhadap harta warisan Undang-unang Wasiat Mesir dan KHI Indonesia. Sedang untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan cucu dan anak angkat terhadap harta warisan ini, maka kemudian diadakan riset kepustakaan karenanya disebut pula library research. Penelitian dilakukan dengan meneliti data dan bahan yang ada di perpustakaan yang berkenaan dengan tema cucu dan anak angkat serta harta kekayaan. 2. Sumber Data Data dan bahan tersebut diambil dari sumber sekunder. Sumber tersebut, antara lain: Undang-undang wasiat Mesir dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia serta buku-buku tentang hukum keluarga,
harta
kekayaan dalam lingkup hukum Islam dan hukum lainnya32 yang akan digunakan sebagai referensi pembanding semata, serta hasil penelitian mengenai anak angkat. Untuk sumber sekunder pengumpulan data diambil melalui kamus, ensiklopedi dan bibliografi lainnya.
32
Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Madzhab, Pengangkatan Anak dalam Perspektif Hukum Islam, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Epistemologi Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dan lain-lain.
3. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif33-analitis, yang dengannya penelitian ini akan digambarkan bagaimana kedudukan cucu yatim dan anak angkat dalam keluarga berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan hukum Islam, termasuk spirit hukum dalam Undang-undang Wasiat Mesir dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Gambaran tersebut akan menjelaskan bagaimana wasiat wajibah sebagai media hukum dan sarana bagi cucu dan anak angkat untuk memperoleh hak atas harta warisan dari kakek. 4. Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian library research dengan pengumpulan data diambil dari sumber : a. bahan hukum primer,
yaitu
al Qur’an, al Sunnah dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan cucu yatim dan anak angkat serta wasiat serta harta peninggalan b. bahan hukum sekunder, yaitu menelaah berbagai literatur/bahan kepustakaan yang membahas tentang cucu yatim dan anak angkat, wasiat, dan harta peninggalan, c. bahan hukum tertier meliputi kamus dan ensikolpedi hukum serta bibliografi
33
Di dalam deskriptif mengambil bentuk tentang norma, konsep, dan institusi dari sistem terkait. Di lain pihak, bagian terpentingnya bisa terletak pada pengkajian terhadap masalahmasalah hukum serta solusi-solusi hukum yang diberikan oleh sistem yang menjadi bahan kajian. Lihat Peter De Cruz, Comparative Law in a Changing World, terj. Narulita Yusran, Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law, Common Law, dan Socialist Law (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 334.
5. Analisis data Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan dengan metode di atas, penulis akan melakukan metode komparatif, yaitu metode yang bersifat
melakukan analisis dan membandingkan terhadap keduanya.
Dengan metode komparatif tersebut, maka hasilnya akan penulis sajikan dalam bentuk uraian yang bersifat kualitataif bukan bersifat kuantitatif.
F. Sistematika Penulisan Dalam menyusun sistematika penulisan tesis ini, ada 3 pola penyusunannya, yaitu : pertama, kerangka teori; kedua, ketentuan wasiat wajibah di Mesir dan Indonesia dan ketiga, gagasan nilai-nilai keadilan dalam wasiat wajibah di Mesir dan Indonesia. Dalam kerangka teori akan disajikan filsafat hukum Islam dan kewarisan wasiat. Pemikiran filsafat hukum Islam merupakan kerangka dasar untuk berpikir terhadap obyek penelitian tentang wasiat wajibah. Hasil dari filsafat hukum Islam tersebut memunculkan kemaslahatan dan keadilan sebagai kerangka dasar untuk membidik nilai-nilai yang terkandung dalam wasiat wajibat yang pada prinsip kemaslahatan tersebut memuat kemaslahatan daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat di samping keadilan distributif dan korektif. Gagasan wasiat wajibah dalam hukum kewarisan sebagai jalur alternatif di mana dimensi kemaslahatan dan keadilan menghendaki yang digali dari nilai-nilai hukum Islam yang belum dimunculkan sebagai solusi terhadap problematika normatif kewarisan yang tidak menghendaki diluar ketentuannya.
Ketentuan wasiat wajibah di Mesir dan Indonesia merupakan ketentuan terobosan terhadap hukum kewarisan yang disajikan mengenai ketentuannya masing-masing yang beawal dari UU Wasiat di Mesir dan KHI di Indonesia yang sama-sama mempunyai aspek pentingnya. Dalam analisis keduanya akan disajikan nilai-nilai kemaslahatan dan keadilan yang melingkupi dalam wasiat wajibah, sehingga menjawab kaitan dengan wasiat wajibah yang dianggap sebagai alternatif dalam konteks hukum kewarisan.