BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantaranya (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum. 1 Makna perjanjian tersebut di atas juga ditegaskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menentukan, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam hukum perjanjian dikenal perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang lahir karena suatu perjanjian. 2 Perikatan yang lahir karena undang-undang, perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum yang muncul antara mereka sebagai akibat perbuatannya, justru dapat dikatakan pada 1
Handi Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal.
2
Ibid., hal. 75.
42.
1
2
umumnya salah satu pihak sama sekali tidak menghendaki akibat hukumnya. Lain halnya dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini lahir karena para pihak menghendakinya dan kehendak para pihak tersebut tertuju pada akibat hukum tertentu (yang dikehendaki para pihak), dengan kata lain munculnya perikatan bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian yang ditutup oleh para pihak. 3 Hubungan hukum di antara masing-masing pihak di dalam suatu perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) didasarkan pada kehendak atau kemauan dan kesukarelaan dari para pihak tanpa ada unsur paksaan sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Begitu pula perjanjian arbitrase diperjanjikan antara kedua belah pihak secara sukarela, maka perjanjian arbitrase termasuk ke dalam perikatan yang lahir karena perjanjian. Frank Elkouri dan Edna Elkouri mengatakan arbitrase sebagai pilihan sukarela dari para pihak, dikatakannya, “Arbitration is a simple proceeding voluntarily chosen by parties who want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on the merits of the case, they agreed in advance to accept as final and binding”. 4Arbitrase merupakan pilihan secara sukarela, perikatan di dalam arbitrase lahir karena suatu perjanjian bukan lahir karena undang-undang. Faktor kesukarelaan masing-masing pihak merupakan landasan keabsahan suatu perjanjian arbitrase. 3
Ibid. Frank Elkouri dan Edna Elkouri dalam Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 36. 4
3
Cara penyelesaian sengketa arbitrase dilaksanakan di luar peradilan umum (non litigasi). Jika para pihak telah terikat dalam perjanjian arbitrase maka pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak. 5 Bahkan eksistensi pilihan domisili Pengadilan Negeri setempat sekalipun bukan merupakan alasan bagi Pengadilan Negeri untuk mengambil kompetensi atau kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam perjanjian yang mengandung klausula arbitrase. 6 Dasar hukum penyelesaian sengketa arbitrase internasional secara umum dimuat dalam Konvensi New York Tahun 1958 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 5 Agustus 1981 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang telah
5
Ibid., hal. 37. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 3, dan Pasal 11 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, secara formil kewenangan penyelesaiannya jatuh pada forum arbitrase. Pasal 1 angka 1 menentukan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Pasal 3 menentukan: Pengadilan Negeri tidal berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11 menentukan: (1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang temuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. (2) Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. 6 Sudargo Gautama, Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1991), hal. 297-301.
4
ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958. 7 Selain itu, khususnya di Indonesia dasar hukum penyelesaian sengketa arbitrase didasarkan pada UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (disingkat UUA dan APS). Pasal 1 angka 1 UUA dan APS menentukan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah “Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase adalah sengketa yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Idealnya
suatu
perjanjian
arbitrase
menurut
Priyatna
Abdurrasyid
mengharuskan perjanjian arbitrase itu harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis dianggap memadai karena menurutnya jika tidak dilakukan dengan perjanjian tertulis, maka para pihak akan menemui kesulitan. 8 Perjanjian arbitrase secara lisan tidak dapat ditegakkan, perjanjian arbitrase yang diakui hanya perjanjian tertulis.
7
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hal. 407 dan hal. 410. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958 ini telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959. 8 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasioal Indonesia-BANI, 2011), hal. 70.
5
Adanya perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa arbitrase ke pengadilan. 9 Bahkan Pasal 1 angka 1 UUA dan APS menentukan perjanjian arbitrase harus dilakukan dibuat secara tertulis. Hal ini dimaksud untuk menghindari kesulitan dalam pembuktian ada atau tidaknya suatu perjanjian di antara para pihak yang sedang bersengketa. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 angka 1 UUA dan APS tersebut berarti hakim pengadilan tidak dibenarkan oleh hukum secara serta merta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang diajukan salah satu pihak ke pengadilan. Artinya para pihak wajib menempuh penyelesaian sengketa tersebut sesuai dengan klausula apa yang diperjanjikan di dalam perjanjian arbitrase tersebut. Jika terdapat klausula di dalam perjanjian arbitrase menentukan pilihan hukum (choice of law) atau pilihan forum penyelesaian sengketa dengan menunjukkan pada suatu arbitrase tertentu, maka secara serta merta penyelesaian sengketa tersebut harus ditempuh melalui lembaga arbitrase yang ditunjuk dalam perjanjian arbitrase tersebut, bukan mengajukan gugatan kepada pengadilan. Kekuatan mengikat para pihak dalam suatu perjanjian merupakan suatu pemenuhan terhadap azas kebebasan berkontrak (freedom of contract), yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. 10
9
Frans Hendra Winarta, Loc. Cit. Ricardo Simanjuntak, “Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008, hal. 44. Menurut Ricardo Simanjuntak, asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) bukan berarti bebas 10
6
Asas-asas penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia sangat banyak macamnya diantaranya adalah asas-asas dalam kontrak yang dikenal menurut ilmu hukum perdata, yaitu: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (togoe dentrow) dan asas kepribadian (personality). 11 Argumentasi asasasas perjanjian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, karena dalam pilihan arbitrase yang dipilih antar para pihak adalah didasarkan pada kontrak/perjanjian. Menurut Priyatna Abdurrasyid, jika perjanjian dilakukan secara sukarela, maka ini berarti kedua belah pihak dalam suatu perjanjian sepakat untuk menyerahkan sengketa yang terjadi kepada lembaga arbitrase tertentu seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), The International Chamber of Commerce (ICC), International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), dan lain-lain 12 termasuk dalam hal ini dapat dipilih Singapore International Arbitrase Centre (SIAC). Azas kebebasan berkontrak terkandung di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menentukan, “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Tentu saja agar berlaku secara sah dan mengikat ke dalam suatu perjanjian, maka asas kebebasan berkontrak yang diterapkan
dalam
membuat
perjanjian
harus
berdampingan
dengan
azas
sebebas-bebasnya. Konsekuensi asas ini adalah dilarang membuat kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau kesusilaan atau ketertiban umum, maka akan mengakibatkan kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan. 11 Ibid, hal. 43. 12 Priyatna Abdurrasyid, Op. cit., hal. 73.
7
konsensualitas. Azas konsensualitas ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. 13 Asas konsensualitas sebagaimana yang terkandung di dalam Pasal 1320 KUH Perdata menentukan syarat-syarat sah suatu perjanjian yang menentukan ada 4 (empat) syarat-syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Suatu perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini, jika keempat syarat sudah dipenuhi, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Herlien Budionon mengatakan terkait asas konsensualisme ini bahwa perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas, tidak terikat pada bentuknya dan tidak pula secara formal tetapi cukup melalui konsensus saja. 14 Pokok masalah dalam sengketa arbitrase internasional ini adalah terkait dengan kerjasama usaha patungan (joint venture) yang telah disepakati dalam perjanjian yang bernama Subscription and Shareholders Agreement tertanggal 11 Maret 2005 (disingkat SSA) antara PT. Direct Vision dan Astro Group Malaysia (yang diwakili oleh Astro All Asia Networks Plc., (salah satu Claimants SIAC) sedangkan PT. Ayunda Prima Mitra adalah pemegang saham PT. Direct Vision, di mana para pihak (Astro Group Malaysia dan PT. Ayunda Prima Mitra) tersebut telah sepakat melakukan investasi pada PT. Direct Vision dalam menyelenggarakan kegiatan di bidang jasa penyiaran televisi langganan berbasis satelit di Indonesia. 13
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian di Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2006), hal. 95. 14 Ibid., hal. 95-96.
8
Dalam perkembangannya ternyata terjadi perselisihan antara Astro Group Malaysia (yang diwakili oleh Astro All Asia Networks Plc, salah satu Claimants SIAC Nomor 062, di mana pihak Astro All Asia Networks Plc telah mengajukan penyelesaian sengketa ini ke Arbitrase SIAC di Singapura pada tahun 2005. Arbitrase SIAC telah mengeluarkan Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 atas Sengketa SIAC Nomor 062, setelah dikeluarkannya Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 (putusan ini bertentangan dengan ketertiban umum). Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 telah dinyatakan non eksekuatur berdasarkan suatu keputusan berkekuatan hukum tetap (inckraht van gewijsde), karenanya Putusan SIAC Tahun 2009 tidak dapat dilaksanakan (non eksekuatur) di wilayah hukum Republik Indonesia (vide: Penetapan Non Eksekuatur PN Jakpus juncto Putusan MARI Nomor 01/2010), di mana telah ditegaskan dalam Putusan MARI Nomor 01/2010 sebagai berikut: “Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas souvereignity dari Negara Republik Indonesia tidak ada sesuatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum (public order) di Indonesia”. 15 Lebih lanjut Arbitrase Internasional SIAC yang berkedudukan di Singapura tersebut, mengeluarkan lagi 3 (tiga) putusan yaitu: 16
15
Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 28 Juni 2012, dalam Perkara Antara PT. Direct Vision melawan Astro Group Malaysia, hal. 32. 16 Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 28 Juni 2012, dalam Perkara Antara PT. Direct Vision melawan Astro Group Malaysia, hal. 25-26.
9
1. Putusan Further Partial Award tertanggal 3 Oktober 2009 (Putusan Partial Award); 2. Putusan Award on Cost For Ther Preliminary Hearing From 20-24 April 2009 tertanggal 5 Februari 2010 (Putusan Preliminary Hearing); dan 3. Putusan Interim Final Award tertanggal 16 Februari 2010 yang telah diperbaiki dengan Memorandum of Correction Made Pursuant to Rule 28.1 of the SIAC Rules tertanggal 23 Maret 2010 (Putusan Final Award). Putusan Partial Award, Putusan Preliminary Hearing, dan Putusan Final Award di atas selanjutnya disebut sebagai “Putusan-Putusan SIAC 2010”. Ketiga Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 ini erat kaitannya dengan perkara a quo yang pada intinya memenangkan pihak Astro Group Malaysia (yang diwakili oleh Astro All Asia Networks Plc) dan menghukum PT. Direct Vision. Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 inilah yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) berdasarkan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional Nomor 03/Pdt/Arb-Int/2010/PN.Jkt.Pst jo. Nomor 05/Pdt/Arb-Int/2009/PN.Jkt.Pst tertanggal 27 Mei 2010 (disebut Akta Pendaftaran Putusan-Putusan SIAC 2010). PT. Direct Vision mengajukan upaya atau permohonan penolakan agar majelis hakim PN Jakpus menolak upaya pelaksanaan (eksekuatur) dan tidak memberikan eksekuatur atas Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 tersebut. Namun upaya PT. Direct Vision mengajukan permohonan penolakan Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 tersebut tidak berhasil dan menyatakan gugatan PT. Direct Vision tidak dapat diterima baik di PN Jakpus maupun di Mahkamah Agung.
10
Pada saat yang bersamaan dengan upaya penolakan non eksekuatur oleh PT. Direct Vision, ternyata PT. Ayunda Prima Mitra (pemegang saham PT. Direct Vision) mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggugat kedelapan pihak Astro tersebut (Gorup Astro). Masalahnya mejalis hakim pada Mahkamah Agung menyatakan: 17 Tetapi Pemohon Kasasi/Penggugat justru membawa sengketa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggugat Para Termohon Kasasi/telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Pemohon Kasasi/Penggugat karena timbulnya perselisihan terkait pelaksanaan Perjanjian kerjasama usaha jelas telah bertentangan dengan perjanjian arbitrase. Padahal yang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Astro Group Malaysia tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah PT. Ayunda Prima Mitra (pemegang saham PT. Direct Vision). Majelis hakim seolah-olah melihat upaya pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum dari PT. Ayunda Prima Mitra dan permohonan penolakan non eksekuatur dari PT. Direct Vision adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan sama lain. Jadi dalam perkara ini telah terdapat fakta adanya silang sengketa antara PT. Ayunda Prima Mitra yang merupakan salah satu pemegang saham pada PT. Direct Vision di satu pihak, dengan perusahaanperusahaan yang terafiliasi atau tergabung dalam Astro Group Malaysia di pihak lain. Salah satu klausula dalam perjanjian yang bernama Subscription and Shareholders Agreement tanggal 11 Maret 2005 (disingkat SSA)) kedua belah pihak (PT. Direct Vision dan Astro Group Malaysia) telah sepakat, jika terjadi sengketa,
17
Ibid., hal. 50.
11
maka diselesaikan melalui SIAC yang berkedudukan di Singapura, lagi pula di dalam Pasal 3 UUA dan APS telah ditentukan larangan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Sementara itu PT. Direct Vision (Pemohon Kasasi/Penggugat) telah digugat oleh Astro Group Malaysia (Para Termohon Kasasi/Para Tergugat) di dalam forum SIAC bahkan SIAC telah menerbitkan Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 atas perselisihan para pihak dan PT. Direct Vision dalam perkara a quo dinyatakan sebagai pihak yang dihukum. Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) oleh Astro Group Malaysia tetapi belum dinyatakan eksekuatur oleh PN Jakpus. Tetapi pada kenyataannya PT. Direct Vision tetap saja mengajukan upaya permohonan penolakan (non eksekuatur) atas Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 yang telah didaftarkan tersebut di PN Jakpus. Jadi masalahnya pada saat yang bersamaan PT. Ayunda Prima Mitra mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan dalam perkara lain PT. Direct Vision mengajukan permohonan penolakan non eksekuatur terhadap Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 di PN Jakpus, yang pada prinsipnya objek perkara a quo dengan objek perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT. Ayunda Prima Mitra memiliki satu kesatuan yang bulat dan tidak dapat dipisahkan. Menurut eksepsi dari para tergugat seharusnya PT. Direct Vision menunggu terlebih dahulu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas perbuatan melawan
12
hukum yang diajukan oleh PT. Ayunda Prima Mitra dan menunggu penetapan eksekuatur dari PN Jakpus. Jika diperhatikan secara seksama dari Pasal 65 s/d Pasal 69 UUA dan APS mengenai arbitrase internasional dan dari Pasal 70 s/d Pasal 72 UUA dan APS tentang Pembatalan Putusan Arbitrase tidak terdapat satu ketentuan pun yang mengatur sampai kapan dapat dilakukan upaya permohonan non eksekuatur oleh pihak yang dikalahkan. Memang ada ditentukan di dalam Pasal 71 UUA dan APS mengenai tenggang waktu tetapi tenggang waktu yang dimaksud bukan untuk pembatalan putusan arbitrase, bukan untuk arbitrase internasional, lagi pula bukan untuk penolakan (non eksekuatur) melainkan untuk pembatalan. Bisa dibaca Pasal 71 UUA dan APS yang menentukan, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri”. Ketentuan ini dari segi judulnya saja tidak tertuju pada permohonan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional tetapi tentang Pembatalan Putusan Arbitrase. Atas dasar pertimbangan yuridis inilah yang membuat posisi PT. Direct Vision tersudut dan terjepit dalam perkara a quo. Jika putusan atas gugatan perbuatan melawan hukum ini yang harus ditunggu oleh PT. Direct Vision baru dilakukannya permohonan penolakan non eksekuatur, maka sebenarnya suatu kesempatan hukum bagi PT. Direct Vision untuk membela haknya dengan menunggu Perkara Perdata
13
Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel agar berkekuatan hukum tetap lebih dulu baru dilakukan permohonan non eksekuatur. Maka wajar saja dalam perkara a quo majelis hakim PN Jakpus menolak permohonan non eksekuatur terhadap Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 tersebut karena adanya upaya pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Perkara Perdata Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel, sehingga belum ditetapkannya eksekuatur atas pendaftaran Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 dan tampak pula jawaban dari dari Astro Group Malaysia selalu mengatakan: 18 Faktanya adalah Putusan-Putusan SIAC 2010 dengan obyek perkara a quo tersebut baru pada tahap pendaftaran di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana Akte Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional Nomor 03/Pdt/Arb-Int/2010/PN.Jkt.Pst. Jo. Nomor 05/Pdt/Arb-Int/2010/PN.Jkt.Pst., tanggal 27 Mei 2010. Walaupun sudah didaftarkan oleh para tergugat tetapi belum ada penetapan eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Mahakamah Agung juga mengatakan permohonan non eksekuatur dari PT. Direct Vision tersebut tidak dapat diterima. Walaupun tidak secara tegas ditentukan dalam UUA dan APS mengenai permohonan penolakan pembatalan putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri di Indonesia, tetapi dalam prakteknya selain sengketa tersebut di atas, ada beberapa kasus putusan arbitrase internasional yang dimohonkan pendaftaran pembatalan dan penolakannya di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agunga, antara
18
Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 28 Juni 2012, dalam Perkara Antara PT. Direct Vision melawan Astro Group Malaysia, hal. 18.
14
lain misalnya sengketa antara PT. Sumi Asih melawan Vinmar Overseas Ltd. 19 Sengketa antara PT. Sumber Subur Mas (PT. SSM) melawan Transpac Capital Pte. Ltd. dan Transpac Industrial Holdings dan lain-lain. Kedua contoh ini juga ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung RI. Menyangkut gugatan perusahaan dalam negeri oleh PT. Sumber Subur Mas (PT. SSM) untuk membatalkan putusan The Singapore International Arbitrase Centre (SIAC) di PN Jakpus ditolak. Gugatan PT. SSM terhadap Transpac Capital Pte. Ltd., dan Transpac Industrial Holdings yang diputuskan oleh SIAC tersebut ditolak dengan pertimbangan hakim pada PN Jakpus tidak memiliki kompetensi mengadili. Majelis Hakim menerima eksepsi yang diajukan Transpac Capital Pte. Ltd. dan Transpac Industrial Holdings, terkait kompetensi absolut. Gugatan dalam sengketa ini hanya bisa diajukan di Pengadilan Singapura. 20
19
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 268 K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Sumi Asih (Penggugat) melawan Vinmar Overseas Ltd., dan The American Arbitration Association (AAA). 20 http://www.sindoweekly-magz.com/artikel/46/i/17-23-januari-2013/case/99/salahmenggugat-putusan-arbitrase-internasional, diakses tanggal 12 April 2013. Ditulis oleh: Windarto, “Salah Menggugat Putusan Arbitrase Internasional”. Sengketa antara PT. SSM dengan Transpac Capital Pte. Ltd., berawal ketika PT. SSM gagal membayar kewajibannya sebesar US$12,2 juta kepada Transpac Capital Pte. Ltd yang disebabkan oleh krisis ekonomi menimpa Indonesia pada tahun 1998. PT. SSM memohon kepada Transpac Capital Pte. Ltd., untuk diadakan kesepakatan ulang dalam menyelesaikan utangnya. Kesepakatan tersebut disetujui Transpac Capital Pte. Ltd., dan dituangkan dalam Akta Perjanjian Penyelesaian Utang pada Oktober 2000. PT. SSM membayar kewajibannya secara bertahap, yaitu membayar Rp.2 Miliar beserta menyerahkan dua bidang tanah dan bangunan, dan membayar kembali sebesar Rp.8,7 miliar. Namun, setelah kesepakatan ulang PT. SSM lalai melakukan pembayaran lanjutan untuk melunasi utangnya. Karena itulah, Transpac Capital Pte. Ltd., melakukan upaya hukum ke SIAC yang berkedudukan di Singapura. Dalam akta perjanjian antara PT. SSM dengan Transpac Capital Pte. Ltd., ditentukan klausula, ”jika lalai membayar akan kembali ke perjanjian awal”. Sedangkan dalam perjanjian awal menentukan bila terjadi sengketa akan diselesaikan di SIAC. Dalam penyelesaiannya, SIAC mengeluarkan putusan yang memerintahkan PT. SSM untuk membayar kewajibannya sebesar US$12,2 juta. Selain itu, SSM juga dihukum membayar bunga sebesar 8 % per tahun sejak pembayaran terakhir SSM Juni 2002 hingga pelunasan pembayaran. Tidak hanya itu, SSM juga diperintahkan membayar biaya arbitrase sebesar SIN$.302.801 dan US$18 Ribu.
15
Prinsip di dalam perjanjian adalah bahwa setiap para pihak masing-masing terbuka peluang untuk menuntut haknya, sehubungan dengan salah satu asas dalam perjanjian dengan asas separabilitas (severability) yang bersumber dari perjanjianperjanjian bertradisi common law. Menurut asas ini, tidak akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi batal atau klausula lain dalam perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, jika satu di antara klausula tersebut tidak dapat dilaksanakan. 21 Sehingga dalam perkara a quo (Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011) tidak ada alasan bagi PT. Direct Vision yang beranggapan tidak sah atau batal Subscription and Shareholders Agreement tanggal 11 Maret 2005 sehingga PT. Direct Vision lebih memilih Pengadilan Negeri Jakarta Selatan daripada SIAC. Asas separabilitas ini ternyata dianut di dalam Pasal 10 UUA dan APS, yang menentukan bahwa ”Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan keadaan: meninggalnya salah satu pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi, insolvensi salah satu pihak, pewarisan, berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok, bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrse tersebut, dan berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Gunawan Widjaja mengatakan terkait PT. SSM tidak mau menerima putusan SIAC tersebut begitu saja dengan tindakan yang dilakukan Transpac. PT. SSM menilai penyelesaian tersebut bertentangan dengan Akta Perjanjian Penyelesaian Utang yang telah disepakati para pihak yang salah satu klausula dalam akta itu menentukan, apabila terjadi sengketa diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Karena pertimbangan itulah PT. SSM mengajukan gugatan permohonan pembatalan arbitrase internasional SIAC tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetapi upaya tersebut justru tidak dapat dimohonkan pembatalannya kepada lembaga peradilan di Indonesia dengan alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusata tidak berwenang mengadili melainkan pengadilan Singapura. 21 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Arbitrase VS. Pengadilan Persoalan Kompetensi Absolut yang Tidak Pernah Selesai, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 17.
16
asas ini, “Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok”. 22 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dirasa penting dan menarik untuk dilakukan penelitian dengan menganalisis permasalahan mengenai aturan hukum yang berkenaan dengan kewenangan mengadili sengketa arbitrase internasional, kemudian menganalisis pertimbangan majelis hakim terhadap penolakan putusan arbitrase internasional, dan akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan pelaksanaan putusan yang diajukan oleh pihak PT. Direct Vision dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011. Sehingga dipilih, “Analisis Yuridis Penolakan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 Dalam Perkara Antara PT. Direct Vision Melawan Astro Group Malaysia)” sebagai judul di dalam tesis ini.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijabarkan pada latar belakang tersebut di atas, bahwa sifat khusus arbitrase didasarkan pada perjanjian arbitrase, tetapi fakta menunjukkan bahwa masih terdapat pihak yang tidak tunduk pada perjanjian arbitrase dengan beralih memilih lembaga pengadilan secara sepihak, padahal pilihan terhadap lembaga pengadilan tidak ditentukan di dalam perjanjian arbitrase, maka dirumuskan permasalahan yang diteliti adalah:
22
Ibid.
17
1. Bagaimanakah ketentuan hukum yang mengatur tentang penolakan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional? 2. Apa yang menjadi alasan-alasan majelis hakim menolak permohonan eksekusi putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011? 3. Bagaimanakah akibat hukum penolakan majelis hakim atas permohonan non eksekuatur putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan hukum yang mengatur tentang penolakan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan-alasan majelis hakim yang menolak permohonan eksekusi putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011. 3. Untuk mengetahui akibat hukum penolakan majelis hakim atas permohonan non eksekuatur putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011.
18
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis dan praktis sebagai berikut: 1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut serta menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang aspek hukum penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di pengadian Indonesia. 2. Secara praktis bermanfaat bagi struktur/fungsional lembaga peradilan (para hakim pengadilan) agar memahami secara mendalam tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase, bagi arbiter-arbiter agar dapat lebih mengetahui tentang penolakan putusan arbitrase internasional, bagi pelaku usaha dapat memahami pengaturan penolakan putusan arbitrase internasional, dan bagi masyarakat dapat memahami tentang aspek hukum penolakan putusan arbitrase internasional.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini memiliki keaslian dan tidak plagiat dari hasil karya ilmiah pihak lain. Karena sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum. Dari hasil pemeriksaan diperoleh beberapa judul tesis, antara lain: 1. Tesis atas Novran Harisa, NIM: 027005020, dengan judul, “Analisis Hukum Kewenangan Pengadilan Terhadap Putusan Arbitrase Internasional/Putusan
19
Arbitrase Jenewa (Studi: PT. Pertamina Vs Karaha Bodas Company)”. Fokus kajian permasalahan dalam penelitian ini menyangkut kewenangan pengadilan terhadap putusan arbitrase internasional dalam sengketa antara PT. Pertamina menggugat Karaha Bodas Company di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 2. Tesis atas nama Dedi Harianto, NIM: 992105108, dengan judul, ”Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Forum Arbitrase Asing Dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing Di Kota Medan”. Fokus kajian permasalahan utama dalam penelitian ini menyangkut faktor-faktor dipilihnya forum arbitrase asing sebagai forum penyelesaian sengketa dalam kegiatan penanaman modal asing khususnya di Kota Medan. 3. Tesis atas nama Azwir Agus, NIM: 037005008 dengan judul, ”Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)”. Fokus kajian permasalahan dalam penelitian ini menyangkut upaya hukum keberatan terhadap putusan arbitrase dalam negeri yaitu BPSK dalam menyelesaian sengketa konsumen. 4. Tesis atas nama Daniel Pardede, NIM: 037005009, dengan judul, ”Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Fokus kajiannya adalah putusan BPSK. Berdasarkan hasil penelusuran judul tesis di atas dapat disimpulkan bahwa judul dan permasalahan dalam penelitian ini dengan judul, ”Analisis Yuridis Aspek Hukum Penolakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 Dalam Perkara Antara PT.
20
Direct Vision Melawan Group Astro)”, sama sekali belum pernah dilakukan penelitian dalam perkara antara PT. Direct Vision melawan Group Astro. Atas judul dan permasalahan dalam penelitian ini tidak memiliki kesamaan dengan judul dan permasalahan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini baru pertama kali dilakukan, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai pula dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan di dalam penelitian ini adalah teori tentang kewenangan hakim dalam mengadili. Teori kewenangan hakim mengadili dalam kaitannya dengan sengketa antara PT. Direct Vision dan Astro Group Malaysia adalah bahwa antara kedua belah pihak telah sepakat (berjanji) memilih SIAC yang berkedudukan di Singapura sebagai forum penyelesaian sengketa. Tetapi PT. Direct Vision melalui PT. Ayunda Prima Mitra (pemegang saham PT. Direct Vision) justru mengajukan perkara yang sama ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara sepihak, padahal pilihan terhadap lembaga pengadilan tidak ditentukan di dalam perjanjian arbitrase tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUA dan APS menentukan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
21
bersengketa. Berarti ketentuan ini jelas mengatur sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase adalah sengketa yang didasarkan pada perjanjian arbitrase, apa yang disebutkan dalam klausula arbitrase maka berlaku dan menjadi ketentuan hukum mengikat bagi kedua belah pihak. Konsekuensi ini berarti hakim pengadilan tidak dibenarkan menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang diajukan salah satu pihak ke pengadilan. Artinya para pihak wajib mematuhi perjanjian dengan menempuh penyelesaian sengketa tersebut sesuai dengan klausula apa yang diperjanjikan di dalam perjanjian arbitrase tersebut. Jika terdapat klausula di dalam perjanjian arbitrase menentukan pilihan hukum (choice of law) atau pilihan forum penyelesaian sengketa dengan menunjukkan pada suatu arbitrase tertentu, maka secara serta merta penyelesaian sengketa harus ditempuh melalui lembaga arbitrase yang ditunjuk dalam perjanjian itu, bukan mengajukan gugatan kepada pengadilan. Orang akan berbuat atau tidak berbuat sesuatu jika dirinya memiliki kewenangan untuk itu. Pentingnya kewenangan dalam diri seseorang dan jabatannya berdasarkan teori kewenangan, maka kewenangan itu harus ditentukan terlebih dahulu oleh aturan-aturan hukum dan sifatnya berhubungan dengan hukum. Sebelum berbuat sesuatu, maka seseorang dalam jabatannya harus ditentukan dulu di dalam aturan-aturan hukum dan undang-undang, apakah dalam undang-undang ada ditentukan perintah untuk berbuat atau tidak berbuat, di sinilah kaitan hubungan hukum itu.
22
Kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris yaitu, authority, dalam bahasa Belanda yaitu, theorie van het gezag, sedangkan dalam bahasa Jerman yaitu, theorie der autoritat. Teori kewenangan berasal daru dua suku kata yaitu teori dan kewenangan. Kewenangan menyangkut keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang oleh subjek hukum. 23 Kewenangan (authority, gezag) menyangkut apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya menyangkut beberap bagian (onderdeel) dari kewenangan. Wewenang menyangkut lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang pemerintahan, tetapi meliputi wewenang dalam pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditentukan dalam undang-undang. 24 Dalam teori ini kewenangan dibedakan dengan wewenang tetapi tetap saja unsur-unsurnya meliputi adanya keuasaan formil dan kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang menurut Indoharto mengatakan, wewenang secara yuridis menyangkut suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 25
23
H.D. Stoud dalam Ridwan AR., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 110. 24 Ateng Syafruddin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hal. 22. 25 Indroharto dalam H. Salim H.S., dan Erlies Septiana Nurbani, Penerepan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 185.
23
Kewenangan dalam Black’s Law Dictionary adalah “right to exercise powers, to implement and enforce law’s, to exact obedience, to command, to judge. Control over, jurisdiction. Often synonymous with power”. 26 Dalam kontruksi ini, kewenangan tidak hanya menyangkut sebagai hak untuk melakukan praktik kekuasaan, namun kewenangan juga menyangkut: penarapan dan penegakan hukum, ketaatan yang pasti, perintah, memutuskan, pengawasan, yurisdiksi, atau kekuasaan. Dalam
kamus
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan
disebutkan
kewenangan diartikan sebagai kekuasaan yang menegaskan suatu “kemampuan dari orang atau golongan untuk menguasai orang lain atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, kewenangan, kharisma atau kekuatan fisik. 27 Sementara dalam Kamus Hukum disebut kewenangan berhak, kewenangan biasa, kewenangan daerah, kewenangan Mahkamah Konstitusi, kewenangan mutlak. Kewenangan mutlak diartikan, “sebagai bentuk kewenangan yang dimiliki oleh badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. 28 Pandangan-pandangan tentang kewenangan sebagaimana di atas, tidak tampak dalam bentuk teori kewenangan (authority theory), menurut Salim dan Erlies Septiana Nurbani, teori kewenangan menyangkut “kekuasaan dari organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya baik dalam lapangan hukum publik maupun dalam 26
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (Amerika Serikat: West Publishing Co., 1978), hal. 121. 27 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 801. 28 M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 363.
24
hukum privat”. Sehingga unsur-unsur dalam kewenangan semestinya terdapat: adanya kekuasaan, adanya organ pemerintah, dan mengandung sifat hubungan hukum. 29 Jenis-jenis kewenangan dalam Black’s Law dictionary dibedakan dalam bentuk 17 (tujuh belas) macam, antara lain: 30 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.
Kewenangan delegasi (the power delegated); Kekuasaan hukum (legal Power); Kewenangan nyata (apparent authority); Kewenangan untuk menyangkal (authority by estopples); Kewenangan yang digabungkan dengan kepentingan (authority coupled with an interes); Kewenangan yang diberikan secara jelas, apakah dalam bentuk tertulis atau lisan (express authority); Kewenangan umum (general authority); Kewenangan yang tersirat (implied authority); Kewenangan yang benar-benar ada/terjadi (actual authority); Kewenangan yang bersifat kebetulan (incidental authority); Kewenangan dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (inferred authority); Kewenangan yang tidak bisa dipisahkan (inherent authority); Kewenangan yang terbatas (limited authority); Kewenangan yang terbuka (naked authority); Kewenangan semu/pura-pura (ostensible authority); Kewenangan khusus (special authority); Kewenangan yang tidak terbatas (unlimited authority). Berdasarkan sumbernya kewenangan dibedakan menjadi kewenangan
personal dan kewenangan ofisial. Kewenangan personal yaitu bersumber pada inteligensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin. Sedangkan kewenangan ofisial yaitu kewenangan resmi yang diterima dari wewenang
29 30
H. Salim H.S., dan Erlies Septiana Nurbani, Op. cit., hal. 186. Henry Campbell Black, Loc. cit.
25
yang ada diatasnya. 31 Selanjutnya Max weber membedakan jenis-jenis kewenangan sebagai: wewenang kharismatik, tradisional, dan rasional; wewenang resmi dan tidak resmi; wewenang pribadi dan teritorial; serta wewenang terbatas dan menyeluruh. 32 Wewenang kharismatik merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma yang merupakan suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang dan dimiliki sejak lahir. Wewenang tradisonal diperoleh seseorang atau sekelompok orang. Wewenang rasional atau legal yaitu wewenang yang disandarkan pada sistim hukum yang berlaku dalam masyarakat, dipahamkan sebagai kaidahkaidah yang telah diakui serta ditaati oleh masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara. Wewenang tidak resmi merupakan hubungan-hubungan yang timbul antar pripadi yang sifatnya siituasional dan sangat ditentukan oleh pihak-pihak yang
saling
berhubungan
itu.
Wewenang
resmi
secara
sistematis
dapat
diperhitungkan dan rasional biasanya dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan aturan dan tata tertib yang tegas serta bersifat tetap. 33 Selanjutnya wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi dan atau kharisma. Wewenang teritorial dilihat dari wilayah di mana tempat tinggal. Wewenang terbatas sifatnya terbatas dalam arti tidak mencakup semua sektor, misalnya seorang Jaksa memiliki wewenang atas nama negara untuk menuntut seorang warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana, akan tetapi Jaksa
31
H. Salim H.S., dan Erlies Septiana Nurbani, Op. cit., hal. 187. Max Weber dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 280. 33 Ibid., hal. 281-284. 32
26
tersebut tidak berwenang untuk mengadilinya. Wewenang menyeluruh merupakan wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang tertentu, contoh setiap negara memiliki wewenang yang menyeluruh dan mutlak untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya. 34 Berdasarkan
pengertian-pengertian
kewenangan
dan
teori
tentang
kewenangan serta pembagian jenis-jenis kewenangan tersebut di atas, maka hakim memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa, memutus, dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Di samping kewenangan-kewenangan tersebut, masih banyak lagi kewenangan hakim dalam hal menerima, memeriksa, memutus, dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Kewenangan-kewenangan hakim tersebut tersebar di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Antara lain kewenangan hakim yang cukup menonjol dalam mengadili dan memutus perkara adalah kewenangan yudisial independen yakni kewenangan kebebasan hakim dalam memutus
perkara,
hakim
juga
memiliki
kewenangan
untuk
menafsirkan
(mengintrepretasi undang-undang) karena yang demikian itu hakim diharuskan dapat melakukan penemuan hukum. Selain itu hakim juga memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi yaitu kewenangan yang dibenarkan jika menurut keyakinan harus dilaksanakan dalam situasi yang mendesak atau darurat, serta kewenangan hakim untuk berperilaku dengan menunjung tinggi nilai dan moralitas hukum karena hakim
34
Ibid., hal. 284-288.
27
juga adalah hukum, berarti baik di dalam diri hakim maupun pada hukum nilai moral harus tetap ada. Teori kewenangan hakim mengadili dalam sistim hukum di Indonesia dikenal dengan istilah kompetensi yang maksudnya sama dengan kewenangan. Kompetensi hakim mengadili dibagi dua yaitu kompetensi absolut dan ada kompetensi relatif. Dalam hukum acara di Indonesia dikenal 2 (dua) macam kompetensi yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kedua macam ini dihubungkan dengan masalah kewenangan mengadili dari lembaga peradilan atau pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara para pihak. Pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak pengadilan yang berwenang. Sedangkan pada kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan dari lembaga penyelesaian sengketa yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi, apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 35 Klausula arbitrase dalam kontrak/perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baik sebelum maupun sesudah terjadinya sengketa menentukan tentang kompetensi absolut arbitrase. 36 Dalam perjanjian biasanya ditentukan pilihan hukum dan pilihan 35
Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 117. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2010), hal. 631. Lihat juga, Eman Suparman, Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia-BANI, 2012), hal. 67. Sebelum terjadi sengketa disebut dengan pactum de compromittendo yakni berkenaan dengan sengketa yang baru akan terjadi di kemudian hari. Oleh karena itu rumusan arbitrse tidak selalu dapat dibuat secara rinci, karena belum dapat diketahui sengketa apa yang kelak akan terjadi dan belum diketahui pula bagaimana para pihak akan menyelesaikan sengketa dengan cara yang paling baik. Sedangkan sesudah terjadinya sengketa disebut submission agreement atau akta kompromis yaitu berkenaan dengan sengketa yang telah terjadi sehingga rumusan substansi agreement-nya dapat disusun secara pasti dan rinci sesuai dengan kondisi sengketanya sekaligus pula dapat dirancang bagaimana lembaga arbitrase akan menyelesaikan sengketa tersebut. Kedua bentuk perjanjian arbitrase ini, baik pactum de 36
28
arbitrase untuk menyelesaikan sengketa jika terjadi perselisihan. Para pihak bebas menentukan pilihan hukum maupun pilihan forum penyelesaian sengketa. 37 Jika dalam perjanjian arbitrase yang sebelumnya telah disepakati dan ditentukan pilihan hukum dan pilihan forum terhadap arbitrase mana yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa sebagaimana telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase, maka dalam hal ada pihak yang mengajukan gugatan ke lembaga arbitrase lain, atau mengajukan gugatan ke pengadilan, maka masalah yang muncul adalah masalah kompetensi mengadili yaitu kompetensi absolut. Pada dasarnya apa yang disengketakan secara materil, termasuk yurisdiksi Peradilan Umum (Pengadilan Negeri), akan tetapi secara formil, jatuh menjadi yurisdiksi absolut arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian. Atas landasan kesepakatan penyelesaian yang dituangkan para pihak dalam klausul perjanjian, maka berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 11 UUA dan APS secara formil kewenangan penyelesaiannya jatuh pada forum arbitrase. Klausul arbitrase menyangkut kekuasaan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian.
Meskipun
demikian
masalah
yang
merupakan
bidang
perdata
(perdagangan) yang masuk dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri, namun haknya untuk mengadili sengketa itu, disingkrikan oleh klausul perjanjian. 38
compromittendo maupun submission agreement atau akta kompromis pada dasarnya memiliki tujuan yang sama bahwa perjanjian arbitrase itu untuk melahirkan kompetensi absolut. 37 Sudargo Gautama, Hukum Acara Perdata Internasional, Jilid III Bagian 2 Buku ke-8, (Bandung: Alumni, 2010), hal. 233. 38 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 185.
29
Para pihak menyetujui penyelesaian sengketa dalam suatu perjanjian arbitrase yang disepakati, berarti para pihak telah memilih jurisdiksi arbitrase dan mengeyampingkan forum peradilan umum dalam bentuk tertulis, hal ini penting untuk memberi batasan bagi para pihak tentang pilihan forum yang telah disepakati bersama. Kompetensi absolut ini juga diatur dalam Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 yang menentukan: Each Contracting State shall recognize an agreement in writing under which the parties undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not, concerning a subject matter capable of settlement by arbitration. Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 tersebut di atas menentukan bahwa setiap negara peserta konvensi mengakui perjanjian tertulis di mana para pihak telah setuju untuk menyerahkan kepada arbitrase semua atau setiap perbedaan paham yang timbul atau yang mungkin timbul antara para pihak mengenai suatu hubungan hukum, baik yang berdasarkan kontrak maupun yang tidak, mengenai suatu masalah yang dapat diselesaikan dengan arbitrase. 39 Pasal 2 UUA dan APS menentukan: Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari 39
Tineke Louise Tueguh Longdong, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Sebuah Tinjauan atas Pelaksanaan Konvensi New York 1958 Pada Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Asing, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1998), hal. 21. Konvensi New York Tahun 1958 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 5 Agustus 1981 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958.
30
hubungan hukum tersebut akan diselesaiakan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Kompetensi absolut juga ditemukan dalam Pasal 3 UUA dan APS yang menentukan, “Pengadilan Negeri tidal berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Penegasan dari ketentuan ini berarti setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak akan menghapuskan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dari perjanjian arbitrase. Dengan demikian kompetensi absolut berkenaan dengan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa apakah melalui arbitrase atau melalui pengadilan umum. 40 Keabsolutan untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase yang tipilih oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan di dalam perjanjian arbitrase juga pada prinsipnya dapat beralih atau menjadi tidak absolut, jika antara para pihak menyepakatinya dalam akta komprimis. Terkadang kemauan pihak yang kalah untuk tunduk dan mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela merupakan suatu yang sulit diterima bagi pihak yang kalah, itu sebabnya instrumen Pengadilan diperlukan untuk sarana bilamana ada pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. 41
40
Erman Rajagukguk, Op. Cit., hal. 15. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), (Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia-BANI, 2009), hal. 217. 41
31
2. Landasan Konsepsional Landasan konsepsional digunakan untuk menghindari penafsiran dan pemahaman yang berbeda terhadap istilah-istilah yang yang digunakan di dalam penelitian ini, antara lain: a. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. 42 b. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara arbitrase. c. Arbitrase internasional adalah suatu lembaga arbitrase di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau suatu lembaga arbitrase yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional, 43 yang dalam hal ini adalah Singapore International Arbitrase Centre (SIAC) yang berkedudukan di Negara Singapura. d. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan arbitrase internasional yang dikeluarkan oleh Arbitrase Internasional SIAC Nomor 062 Tahun 2009 yang ditetapkan pada tanggal 7 Mei 2009 yang disingkat Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 dan Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010.
42
Pasal 1 angka 1 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 43 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal. 163.
32
e. Sengketa adalah sengketa arbitrase antara Astra Group Malaysia dan PT. Direct
Vision
berdasarkan
perjanjian
bernama
”Subscription
and
Shareholders Agreement” tertanggal 11 Maret 2005. f. Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 adalah Putusan Arbitrase Internasional SIAC atas Sengketa Arbitrase Internasional SIAC Nomor 062 atau SIAC Registered Of Awards Nomor 062 Tahun 2009 yang diputuskan pada tanggal 7 Mei 2009. g. Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 adalah terdiri dari: Putusan Further Partial Award tertanggal 3 Oktober 2009 (Putusan Partial Award); Putusan Award on Cost For Ther Preliminary Hearing From 20-24 April 2009 tertanggal 5 Februari 2010 (Putusan Preliminary Hearing); dan Putusan Interim Final Award tertanggal 16 Februari 2010 yang telah diperbaiki dengan Memorandum of Correction Made Pursuant to Rule 28.1 of the SIAC Rules tertanggal 23 Maret 2010 (Putusan Final Award). h. Perkara a quo adalah perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 Dalam Perkara Antara PT. Direct Vision melawan Astro Group Malaysia. i. Penolakan pelaksanaan putusan adalah upaya yang dilakukan oleh PT. Direct Vision untuk menolak pelaksanaan putusan Putusan Arbitrase SIAC Nomor 062 Tahun 2009 yang ditetapkan pada tanggal 7 Mei 2009 (disingkat Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009) dan penolakan non eksekuatur terhadap Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009.
33
j. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tempat diajukannya penetapan non eksekuatur atas Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 dan Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 serta termasuk Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai tempat diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT. Direct Vision atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Astro Group Malaysia (diwakili oleh Astro All Asia Networks Plc). k. Mahkamah Agung adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia.
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah hukum atau disebut juga dengan penelitian doktrinal atau menganalisis ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. 44 Ronald Dworkin menyebut metode penelitian normatif sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it is written in the books, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. 45 Alasan pemilihan yuridis normatif ini adalah untuk meneliti
44
Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 96. Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan 45
34
norma-norma hukum yang berlaku terhadap arbitrase yang terdapat di dalam UUA dan APS dikaitkan dengan penerapan norma yang terdapat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 antara PT. Direct Vision melawan Group Astro. Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta hukum tentang penyelesaian sengketa dalam perkara tersebut di atas secara analitis dan sistematis.46 2. Sumber Data Sebagai data dalam penelitian ini digunakan adalah data sekunder yang terbagi dalam: a. Bahan hukum primer yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUA dan APS), Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri di Indonesia, serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 dalam perkara antara PT. Direct Vision melawan
Hasil Penulisan Hukum Pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. 46 Wiranto Surakhmad, Dasar-Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Transito, 1978), hal. 132.
35
Group Astro. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasanulasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari: buku-buku, artikel, jurnal, majalah, surat kabar, internet, termasuk makalah-makalah yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dapat berupa Ensiklopedia, Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Hukum serta Kamus Bahasa Inggris. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara penelitian pustaka (library research) yaitu mengumpulkan referensi yang berkenaan dengan bahan hukum tentang arbitrase, selain itu dilakukan pula pengumpulan data terhadap putusan pengadilan yang diperoleh dari Direktori Mahkamah Agung Republik Indonesia, data putusan yang diperoleh adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 dalam perkara antara PT. Direct Vision melawan Group Astro. Data yang telah dikumpulkan kemudian dipilah-pilah guna memperoleh kaitan antara satu sama lain serta diurutkan sesuai dengan kegunaan dan relevansi data tersebut dengan kajian masalah yang sedang diteliti dalam penelitian ini. 4. Analisis Data Data dianalisis secara kualitatif bukan secara kuantitatif (banyaknya data). Analisis kualitatif yaitu menganalisis data berdasarkan norma hukum secara
36
mendalam dengan melihat tingkat relevansi norma-norma, teori, asas, dan prinsipprinsip
hukum
dan
termasuk
doktrin-doktrin
tentang
arbitrase
terhadap
permasalahan. 47 Data yang dianalisis secara kualitatif ini dikaitkan dengan pasalpasal terpenting dalam UUA dan APS dan peraturan lainnya dengan memberikan argumentasi-argumentasi yuridis, memberikan penilaian benar atau salah atau apa dan bagaimana yang semestinya menurut asas, norma-norma hukum, kaidah, dan doktrin. Teori-teori kewenangan hakim mengadili digunakan sebagai alat untuk menganalisis masalah secara tajam. Data yang telah dianalisis kemudian diungkapkan secara deduktif 48 dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data sehingga permasalahan akan dapat dijawab.
47
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 160. 48 Ibid., hal. 107-108. Pengungkapan data secara deduktif sering juga disebut dengan logika silogisme yakni yaitu argumentasi yang terdiri dari tiga proposisi berupa premis mayor, premis minor, dan kongklusi. Premis mayor merupakan ketentuan yang bersifat umum sedangkan premis minor lebih bersifat khusus, maka dalam menarik kesimpulan atau membuat konklusi dapat ditarik dari logika umum ke logika khusus.