BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam di Indonesia memperlihatkan corak Islam yang khas dibandingkan Islam di negara-negara lain. Di berbagai wilayah Indonesia, Islam dipraktekkan secara berbeda bergantung kultur masyarakat setempat. Praktek pelaksanaan agama dalam banyak masyarakat Indonesia menyuguhkan fakta agama tak selalu bisa dipisahkan secara tegas dari praktek adat atau tradisi lokal. Penelitianpenelitian tentang Islam Jawa banyak menegaskan fenomena ini. Sebut saja misalnya Jay (1969); Nakamura (1984); Koentjaraningrat (1985). Agama yang dipraktekkan di Jawa adalah Islam dengan ciri lokalitasnya (Muhaimin, 2002), perbedaan antara tradisi dan agama dalam masyarakat Jawa demikian kabur; tak ada pembedaan yang tegas antara santri dan non santri (Beatty, 2001); bahkan betapapun ‘nominalnya’ muslim melakukan ibadahnya, akan tetapi komitmen mereka terhadap Islam adalah sesuatu yang pasti (Pranowo, 2009). Tidak hanya di Jawa, perpaduan Islam dan kultur lokal di Sulawesi Tenggara juga bisa dirujuk dengan jelas. Haliadi (2001) menemukan bahwa Islam di Buton adalah Islam yang sinkretis, sebuah perpaduan timbal balik antara kepercayaan pra-Islam dan kepercayaan Islam. Haliadi menguraikan bagaimana kepercayaan animisme-dinamisme yang dilanjutkan dengan kepercayaan HinduBudha bercampur dengan kepercayaan Islam masih dipegang teguh oleh masyarakat Buton dan mewarnai sistem pengelolaan pemerintahan dan masyarakat di Kesultanan Buton, khususnya pada rentang tahun 1873-1938. Banyak sistem kepercayaan lokal yang menyatu dengan kepercayaan Islam sehingga membentuk sinkretisme antara Buton dan Islam atau antara Islam dan Buton, di antaranya tentang kepercayaan reinkarnasi yang disebutnya dengan rohi polimba, sistem gelar, upacara dan terbentuknya komunitas Islam di Kesultanan Buton, serta pembahasan tentang Keraton Buton yang kental akan nuansa adat dan Islam. Sistem pemerintahan dan sistem kemasyarakatan di Kesultanan Buton pada masa itu ditegaskan Haliadi sebagai legalitas timbal balik antara Islam dan budaya pra-Islam.
Tulisan tersebut memberikan gambaran bahwa Islam di Buton tidaklah benar-benar murni Islam, ia bercampur dengan tradisi lokal yang berasal dari kepercayaan pra-Islam dan dielaborasikan dengan kepercayaan Islam serta dianggap sebagai praktek Islam. Haliadi mengurai sinkretisme Buton dan Islam pada periode abad 19 yang merupakan masa perkembangan Islam di Buton dan dilanjutkan pada periode masuknya Belanda ke Buton. Meskipun pada masa tersebut disebut dengan masa perkembangan Islam, akan tetapi bentuk sinkretisme tersebut masih bisa ditemui dalam kepercayaan masyarakat Buton hingga saat ini, bahkan masyarakat di sekitarnya termasuk juga masyarakat Muna. Secara historis, Buton dan Muna memiliki kedekatan genealogis, intelektual, politik, dan kedekatan kultur. Sultan pertama Buton, yaitu Sultan Murhum awalnya adalah raja Muna (Lakilaponto). Banyak penguasa dan ulama Buton yang menghasilkan karya-karya Islam dan juga menjadi rujukan bagi Islam di Muna, seperti halnya Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin, Syekh Abdul Ghaniyu, dan sebagainya. Di samping itu meskipun tidak berbentuk kesultanan, sistem pemerintahan di Kerajaan Muna setelah Islam masuk tidak jauh berbeda dengan di kesultanan Buton, yaitu didasarkan pada Undang-Undang Martabat Tujuh (Yunus, 1995). Secara politik, hubungan Buton dan Muna berada pada kondisi fluktuatif, antara persaudaraan, pertemanan, dan persaingan meskipun pada awalnya ada klaim satu sama lain bahwa kedua wilayah ini dieratkan dengan posisi kakak dan adik. Sementara itu, penganjur Islam di Muna adalah tokoh yang sama dengan penganjur Islam di Buton. Oleh sebab kedekatan genealogis, intelektual, dan politik tersebut, maka tidak heran jika kultur sosial dan budaya masyarakat Muna tidak jauh berbeda dengan masyarakat Buton. Dengan demikian, maka akulturasi adat dengan Islam juga masih sangat kental bisa ditemui dalam masyarakat Muna Islam yang dipraktekkan bercampur dengan kultur lokal sesungguhnya memiliki rujukan pada Islam itu sendiri. Dengan demikian, tidak fair mengatakan bahwa praktek kaum abangan sebagaimana temuan Geertz adalah produk warisan Hindu-Budha atau tradisi animisme. Nakamura (1984:72) menegaskan bahwa konsep slamet yang dimaksudkan Geertz dalam ritual slametan bukanlah nilai
tradisional kaum abangan. Ia adalah konsep yang berasal dari sumber ajaran Islam, yaitu kata bahasa Arab ‘salam’ yang berarti ‘menjadi baik’, ’selamat’. Maka yang diminta dalam ritual slametan adalah permohonan doa untuk kebaikan, kesejahteraan dan keselamatan. Demikian pula halnya Woodward (1988) menegaskan bahwa agama Jawa berasal dari tradisi Islam dan slametan adalah praktek interpretasi teks skriptual Islam dan banyak dipraktekkan secara popular di Asia dan Asia Tenggara. Temuan Muhaimin (2002) dalam masyarakat Cirebon menunjukkan bahwa ritual sesungguhnya berasal dari Islam tekstual dan setiap ritual baik ia religius maupun bukan jika ia dilakukan dengan niat untuk mewujudkan pemujaan kepada Tuhan, maka ritual tersebut dikategorikan ibadah. Lagi pula Muslim yang meniatkan syahadat adalah seorang Muslim dan sebagai bagian dari ummat. Van Bruinessen (2003) menggarisbawahi bahwa proses adaptasi Islam dan adat selalu saja mengalir, sehingga dalam banyak kebudayaan dianggap bukan sesuatu yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, tradisi Islam di Jawa dan bagaimana corak keberagamaan seorang Muslim hendaknya dilihat secara apa adanya, sebagai bagian dari proses dinamik untuk menjadi (becoming) muslim (Pranowo, 2009), sebagai bagian dari lokal Islam (Woodward, 1999) sebagai sebuah varian Islam. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya tentang Islam dalam masyarakat menunjukkan bagaimana Islam dilandasi oleh kultur lokal yang memiliki varian yang beragam. Islam boleh jadi adalah tunggal dengan rujukan otentik yang tunggal, yaitu Al Qur’an-Hadist. Akan tetapi, interpretasi terhadap Islam tidaklah tunggal, sehingga wajah Islam juga ditampilkan secara beragam. Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari akar lokalitasnya, oleh sebab Islam yang hadir pada suatu wilayah tertentu tidak lahir dalam kevakuman budaya. Hal inilah yang menjadikan Islam yang tersebar di nusantara menjadi unik dan khas dibandingkan dengan corak Islam dari belahan dunia muslim lainnya, bahkan berbeda cukup jauh dari tanah kelahirannya, Arab. Islam di Indonesia memiliki varian yang membentuk Islam Jawa, Islam Aceh, Islam Sasak, Islam Minang, Islam Sunda, dan seterusnya. Pluralitas dan heterogenitas masyarakat Indonesia yang membentuk berbagai macam suku bangsa, agama, budaya yang berbeda
antara satu yang lain (Dayak, Bugis, Jawa, Sasak, Madura, Minang, Banjar, Bali, dan lain-lain) telah memberi warna lokalitas yang bervariasi pula dalam bentukbentuk keberislaman di Indonesia. Ditambah pula dengan pertemuan dan pertarungan berbagai kepercayaan dan idiologi (Perancis, Belanda, Cina, India, Hindu, Budha, Koghuchu, dan sebagainya). Lokalitas Islam yang memberi warna berbeda sesuai dengan karakter budaya masyarakat setempat sesungguhnya telah dimulai ketika Islam disebarkan pertama kali di tanah Arab. Rasulullah dalam menyebarkan Islam pada masanya menyesuaikan Islam dengan kondisi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga, Islam yang lahir dan tersebar di Arab pertama kali juga adalah Islam lokal Arab. Hanya saja, Islam yang dipraktekkan di Arab dianggap sebagai Islam pusat (center Islam) dan Islam yang dipraktekan di luar Arab, seperti halnya di Indonesia dianggap sebagai Islam pinggiran (peripheral Islam). Polarisasi Islam pusat dan Islam lokal sesungguhnya bisa dipertanyakan kembali. Bahkan pemahaman Islam lokal sebagai Islam yang hanya dipermukaan tidak bisa diterima begitu saja. Dengan demikian, pandangan kalangan Islam puritan yang membayangkan Islam yang ideal sesungguhnya tak berwujud. Yang bisa dikenali adalah Islam yang riil, yang dipraktekkan oleh masyarakat muslim sesuai dengan corak lokalitas budaya masing-masing. Keberhasilan proses adaptasi agama dan adat di Asia Tenggara bagi Mulder (1999), oleh karena Islam telah berhasil menemukan akar cangkokannya pada tradisi lokal masyarakat setempat; jika tidak ia akan tetap terpinggirkan dan tidak akan mendapatkan tempat dalam kehidupan masyarakat. Sisi inilah yang menarik minat banyak antropolog untuk meneliti bagaimana keberagamaan Islam dipraktekkan di berbagai wilayah tidak saja di Indonesia bahkan di belahan dunia Muslim lainnya; untuk menemukan faktor pembeda tradisi Muslim satu wilayah dengan Muslim di wilayah lain (lihat Geertz, 1976). Sebagaimana temuan Geertz, Jawa hanyalah satu contoh bagaimana Islam di Indonesia diinterpretasi dan diapresiasi dengan cara yang unik dan khas oleh masyarakat lokal. Perbandingan lain dengan Sulawesi Selatan yang juga menunjukkan diversitas pemahaman Islam meskipun tidak sevariatif di Jawa (Mattulada, 1976; Pelras, 1985, Ali,
2011). Masyarakat Gayo adalah contoh unik lain dari sebuah masyarakat Muslim yang dengan mulus mengadopsi tata cara adat dalam tradisi Islam (Bowen, 1993). Di Buton, sinkretisme antara budaya lokal dengan Islam dapat diwujudkan secara mapan dalam sistem pemerintahan kesultanan dan sistem kepercayaan masyarakat (Haliadi, 2001), sehingga ikut mempengaruhi daerah-daerah di sekitarnya termasuk di dalam masyarakat Muna. Banyak hal bisa dilakukan untuk melihat dinamika keberagamaan masyarakat, sebanyak aspek kehidupan masyarakat itu sendiri; baik melalui aspek kepercayaan atau doktrin, aspek penghayatan nilai-nilai yang dianggap benar dan penting, aspek upacara atau ritual, maupun aspek praktek kehidupan sehari-hari. Studi ini menfokuskan pada salah satu ritual inisiasi dalam masyarakat Muna yang disebut dengan ritual katoba. Mengkaji ritual adalah mengkaji simbolsimbol dan untuk hal tersebut Geertz (1966) meletakkan ritual sebagai teks yang di dalamnya terdapat simbol-simbol yang saling berhubungan satu dengan yang lain, sehingga membentuk satu totalitas sistem makna dalam masyarakat. Simbol menjadi satu bagian utama dan penting dalam kehidupan manusia. Dengan simbol manusia berpikir, berperasaan, bersikap, berkata-kata atau bahkan diam. Dalam katoba Muna, interpretasi dan analisis dilakukan secara komprehensif terhadap simbol-simbol yang meliputi simbol-simbol dalam mitos/kepercayaan, simbolsimbol dalam alat/bahan yang digunakan, simbol-simbol waktu dan tempat ritual, simbol pemimpin dan peserta ritual, simbol dalam petuah-petuah/nasehat dalam katoba (wambano toba), simbol dalam praktek dan aksi ritual, dan hubungan antara simbol yang satu dengan simbol lainnya secara keseluruhan. Secara ringkas katoba adalah ritual inisiasi yang dilaksanakan pada anak laki-laki dan perempuan pada usia sekitar 7-14 tahun. Kata katoba adalah proses nominalisasi dari akar kata toba dan prefix ka- yang membentuk makna “pertobatan atau proses untuk bertaubat”. Kata “toba” atau “taubat” berasal dari bahasa Arab “taubat” yang dalam bahasa lokal dilisankan dengan “toba”. Masyarakat lokal Muna menyebut katoba sebagai ritual pengislaman. Oleh sebab itu, katoba hanya dilaksanakan oleh orang-orang Muna yang muslim. Masyarakat Muna yang non-muslim tidak melaksanakan ritual ini bagi anak-anaknya. Inisiasi
untuk anak-anak mereka lebih merujuk pada konsep sakramen menurut agama mereka (misalnya orang Kristen Muna). Dengan demikian, jika menyebut masyarakat Muna maka yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah masyarakat Muslim Muna. Katoba pada masa lalu dianggap sebagai kewajiban orang tua sebagai salah satu cara melunasi hutang (odosa) atau dosa (odhosa) yang dianggap sebagai kotoran/daki yang melekat di tubuh mereka. Karena itulah, menjadi wajib bagi setiap orang tua untuk melaksanakan ritual katoba bagi anak-anaknya. Kewajiban tersebut ikut melekat bersamaan dengan label nama-nama mereka, yaitu La untuk anak laki-laki dan Wa untuk anak perempuan. Label la dan wa yang dilekatkan pada nama depan anak-anak di Muna merupakan representasi dari dua
kalimat
syahadat;
(La)ilaaha
illallah,
(Wa)asyhadu
anna
muhamaddarrasulullah, sehingga masyarakat Muna menganggap bahwa setiap nama la dan wa di Muna harus di-toba. Meskipun lekat erat dengan Islam, katoba masih memelihara simbolsimbol tradisi dan praktek-praktek lokal, seperti pembakaran kemenyan/dupa, keyakinan dan perlakuan terhadap dupa, ketersediaan makanan haroa, dan sebagainya. Di sisi lain, kewajiban orang tua sekaligus kewajiban anak untuk menjalani katoba telah mengalami reinterpretasi dan negosiasi makna dalam masyarakat. Hal ini menimbulkan pemaknaan terhadap katoba menjadi berbeda. Sebagian masyarakat melaksanakan katoba yang dianggap lebih Islami atau memberikan pendidikan atau ajaran Islam yang dianggap sebagai intisari ajaran katoba. Akan tetapi masih lebih banyak lagi yang melaksanakan katoba dengan tetap mempertahankan simbol-simbol tradisi dan memaknainya sebagai bagian dari cara ber-Islam. Perbedaan pemahaman terhadap simbol-simbol katoba melahirkan berbagai macam varian Islam dalam masyarakat Muna. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji berbagai masalah sebagai berikut: 1. Identitas sosial apa yang terlihat pada ritual katoba dalam masyarakat Muna?
2. Bagaimana masyarakat Muna menegosiasikan makna dalam simbol-simbol katoba? 3. Bagaimana kemusliman dalam masyarakat Muna direproduksi secara terus menerus? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mencermati identitas sosial yang ditemukan pada ritual katoba dalam masyarakat Muna. 2. Mengkaji bagaimana masyarakat Muna menegosiasikan makna simbol-simbol dalam ritual katoba secara berbeda. 3. Mengkaji bagaimana kemusliman dalam masyarakat Muna diproduksi dan direproduksi secara berulang dan terus menerus. D. Manfaat Penelitian Kajian tentang ritual katoba tidak terbatas pada kebudayaan lokal dengan keunikan dan spesifikasinya, akan tetapi juga memiliki konsekwensi antropologis dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam memahami kebudayaan suatu masyarakat, sebagai referensi ilmu pengetahuan, khususnya lapangan antropologi agama dalam memahami eksistensi dan dinamika ritual dalam masyarakat. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat menjadi landas tumpu atau transisi bagi penelitianpenelitian dengan fokus yang sama dengan lokus berbeda atau dengan lokasi yang sama dengan aspek kajian yang berbeda. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kultural bagi para pemerhati, pengamat, peneliti atau pihak-pihak tertentu yang memiliki minat terhadap komunitas lokal, khususnya dalam kajian tentang ritual. Bagi masyarakat Muna secara khusus, penelitian ini bisa menjadi referensi yang cukup kuat dan signifikan dalam memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk berbudaya sekaligus beragama. E. Tinjauan Pustaka Studi etnografis yang komprehensif tentang agama manusia direkam Frazer (1976) dalam bukunya The Golden Bough. Frazer memaparkan bentuk-
bentuk agama manusia mulai dari yang paling primitif hingga paling beradab. Menyoal pembahasan tentang ritual, Frazer menekankan bahwa ritual inisiasi merupakan pusat misteri dalam masyarakat primitif. Ritual inisiasi nyatanya bukan hanya dominasi masyarakat primitif, dalam berbagai kebudayaan, baik kebudayaan tradisional maupun modern ritual-ritual inisiasi masih bisa ditemukan dengan bentuk dan proses pelaksanaan yang berbeda. Catatan etnografis tentang ritual, khususnya ritual inisiasi banyak mengilhami para antropolog untuk memotret kebudayaan di berbagai wilayah dunia. Perspektif dan berbagai sudut pandang digunakan antropolog dalam merekam sebuah peristiwa atau proses ritual dalam sebuah kebudayaan; mulai dari perspektif fungsionalisme atau fungsionalisme-struktural, strukturalisme, dan interpretif. Terlepas dari apapun pendekatan yang digunakan para antropolog dalam menjelaskan ritual, semuanya bermuara pada; bagaimana sebuah ritual bekerja dan memberikan makna tertentu bagi masyarakatnya, hingga sebuah ritual mencerminkan tatanan sosio-kultural dan/atau sosio-religius masyarakat tersebut secara keseluruhan. Dalam perspektif fungsionalisme, B. Litt (1971) melakukan studi tentang ritual life-cycle pada berbagai wilayah dunia. Pembahasan tentang ritual inisiasi difokuskannya pada berbagai suku di Australia mulai dari praktek yang paling sederhana dengan memukul gigi (perdarahan gigi) sampai pada sirkumsisi. Radin (1957) memaparkan ritual inisiasi dan pubertas dalam berbagai masyarakat Australia dan membandingkan prakteknya antara wilayah yang satu dengan lainnya; La Fontaine (1985) menghimpun dan membandingkan karya-karya antropolog tentang ritual inisiasi dan melakukan studi kritis atas penelitianpenelitian tersebut; J. Mansoben (dalam Koentjaraningrat, 1994) melakukan studi tentang ritual inisiasi anak laki-laki dalam masyarakat Numfor Irian Jaya; Mark & Chupin (1998) memaparkan studinya tentang ritual inisiasi laki-laki dalam masyarakat Jola di Senegal bagian Selatan; Taku (2011) memaparkan tentang ritual inisiasi anak laki-laki dalam masyarakat Ekpe di bagian barat daya Kamerun.
Penelitian-penelitian
tentang
ritual
inisiasi
dengan
menggunakan
perspektif fungsionalisme menunjukkan bahwa ritual inisiasi memiliki fungsi penting dalam masyarakat. Ritual inisiasi dalam perspektif fungsionalisme adalah sesuatu yang masih dilakukan masyarakatnya oleh karena memenuhi fungsi tertentu dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Tujuan dilaksanakan ritual inisiasi adalah untuk mempersiapkan anak laki-laki memasuki dunia kedewasaan, sebagai laki-laki sejati (to be a man), dan transformasi pada keanggotaan suatu masyarakat. Sebuah ritual inisiasi memiliki fungsi memperoleh status dan identitas sosial (La Fontaine, 1985; Taku, 2001; J. Mansoben (dalam Koentjaraningrat, 1994), fungsi magico-religius (B. Litt, 1971), maupun fungsi sosial, ekonomi, dan politik (Radin, 1957; Mark & Chupin, 1998). Studi tentang ritual dengan perspektif fungsionalisme memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Ritual dalam sebuah kebudayaan menurut perspektif fungsionalisme memiliki fungsi tertentu, sehingga kelebihan perspektif ini adalah mampu menjelaskan keberadaan ritual dalam kebudayaan masyarakat. Perspektif fungsionalisme mampu menjelaskan mengapa sebuah ritual masih terus dilakukan oleh masyarakat dan peran ritual dalam menjamin keberlangsungan dan kemapanan kebudayaan masyarakat. Namun demikian, oleh sebab fungsionalisme begitu menekankan keteraturan dan keberlangsungan kebudayaan, maka perspektif ini cenderung statis dalam menjelaskan sesuatu. Ketika masyarakat berubah dan boleh jadi ritual juga berubah, maka perspektif ini tidak mampu menjelaskan dinamika perubahan tersebut. Ia terlalu menekankan hubungan fungsional sebuah ritual, sehingga sulit untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Di samping itu, gambarannya juga cenderung generalisir dengan mengabaikan detil dan kompleksitas sebuah kebudayaan. Studi kebudayaan dalam perspektif fungsionalisme melihat gejala-gejala kebudayaan sebagai sesuatu yang statis yang dapat menjamin keteraturan atau keberlangsungan sebuah kebudayaan. Sisi inilah yang dianggap sebagai kelemahan dan dianggap perlu mengemukakan perspektif lain dalam melihat sebuah masyarakat atau sebuah kebudayaan. Sisi kelemahan inilah yang memunculkan perspektif strukturalisme dan interpretif. Gejala-gejala kebudayaan
bukanlah sesuatu yang statis sebagaimana halnya organisme atau mesin, tetapi sebagaimana bahasa yang mengekspresikan struktur pikir nirsadar manusia. Perspektif strukturalisme mengkaji ritual dengan menganggapnya sebagai gambaran struktur tertentu dari pikiran-pikiran para pelaku budaya. Mengkaji ritual dalam perspektif strukturalisme adalah mengkaji struktur nalar masyarakat yang
bersangkutan.
Penelitian-penelitian
tentang
ritual
inisiasi
dengan
menekankan pada perspektif strukturalisme dipaparkan Van Gennep dengan memetakan berbagai upacara seremonial dan ritus tertentu dalam berbagai masyarakat di seluruh dunia. Dalam paparannya, Van Gennep mengkategorikan dan mengklasifikasikan setiap ritual dan struktur dalam ritual dengan klasifikasi tertentu yang disebutnya sebagai rite de passage; Cory (1948) dalam studinya tentang ritual jando dalam masyarakat Muslim Bantu di Afrika Timur; Turner (1967) dalam studinya tentang ritual inisiasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Ndembu, Zambia; Vogt & Vogt (1979) mengemukakan studinya tentang makna simbol dalam masyarakat Indian Maya di Zinacantan, Meksiko; Rosaldo & Atkinson (dalam Lessa & Vogt, 1979) menguraikan tentang peran laki-laki dan perempuan dalam ritual mantra perburuan di masyarakat Ilongot di Sebelah Utara Luzon, Filipina; Shaw (1982) menjelaskan tentang ritual inisisasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Samo di Papua Nugini; Herdt (1982) memaparkan tentang ritual perdarahan hidung pada masyarakat Sambia di Papua Nugini; Schneider & Schneider (1991) menjelaskan tentang ritual inisiasi laki-laki dalam masyarakat Dayak Selako di Kalimantan Barat; Houseman (1993) dalam penelitiannya tentang ritual inisiasi muslim dalam masyarakat Beti, di Kamerun Selatan; Darwin (2001) ketika melakukan studi tentang mutilasi genital anak lakilaki dan perempuan di dua wilayah berbeda; Yogyakarta dan Madura. Penelitian-penelitian tentang ritual dengan menggunakan perspektif strukturalisme menjelaskan struktur dalam ritual, aspek-aspek dalam ritual yang tergambar dalam kumpulan simbol-simbol yang dapat menjelaskan sesuatu. Inilah yang diinisiasi oleh Van Gennep dan dikembangkan lebih lanjut oleh Turner dengan menekankan pada konsep liminalitas dan comunitas. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh Cory (1948) dalam memaparkan simbol-simbol dan
metaphor dalam nyanyian yang diajarkan dalam ritual jando bagi muslim Buntu di Afrika Timur. Studi ritual dalam perspektif stukturalisme menekankan bahwa simbol-simbol dalam ritual bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, ia ada untuk dan karena melengkapi simbol lainnya. Strukturalisme mulai mengkategorikan dan mengklasifikasikan sesuatu dan menghubungkan antarkategori tersebut. Hubungan antar kategori inilah yang dipakai perspektif strukturalisme untuk menjelaskan sebuah ritual sebagai sesuatu dalam oposisi biner (binary opposition), di mana struktur-struktur dalam ritual dilihat dalam relasi yang saling bertentangan, sekaligus juga berpasangan dan saling melengkapi. Mengkaji ritual dalam perspektif strukturalisme adalah menjelaskan strukturnya dalam oposisi antara dua hal yang berbeda akan tetapi saling berhubungan dan memiliki relasi yang saling melengkapi satu sama lain. Ritual diletakkan dalam hubungan relasional sebagai oposisi biner antara nature dan culture dalam jiwa yang mengalami proses timbal balik, yaitu kulturalisasi nature dan naturalisasi culture (Vogt &Vogt, 1979); oposisi biner antara kelelakian dan keperempuanan (Turner, 1967; Rosaldo & Atkinson, 1979; Shaw, 1982; Scheneider &Scheneider, 1991, Darwin, 2001). Ritual dalam kajian struturalisme sebagaimana dipaparkan di atas dilakukan untuk mengantarkan anak sebagai seorang
Muslim
(Cory,
1948),
pembentukan
identitas
sosial
yang
membedakannya baik dari yang belum/bukan Muslim maupun bagi yang belum dewasa (Darwin, 2001; Houseman, 1993); membedakan sekaligus meletakan peran dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan (Rosaldo & Atkinson, 1979; Shaw, 1982; Scheneider &Scheneider, 1991; Darwin, 2001). Perspektif strukturalisme dalam kajiannya tentang ritual yang dilakukan oleh beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa ritual sarat akan simbolsimbol yang sarat pula akan makna. Tugas peneliti adalah menemukan makna simbol-simbol tersebut dan menghubungkan simbol-simbol tersebut dalam hubungan struktur yang saling bertentangan pada awalnya, tetapi secara logis dapat ditemukan relasi kesalingtergantungan dan saling melengkapi oposisi dalam struktur tersebut. Kekuatan perspektif strukturalisme adalah penjelasan detil tentang struktur-struktur dalam simbol ritual untuk menjelaskan secara
komprehensif pola struktur berpikir masyarakat. Dengan perspektif strukturalisme akan dapat memberikan perspektif baru dalam menjelaskan hal-hal yang lebih detil dan mendalam, sesuatu yang tidak mampu diungkapkan oleh perspektif fungsionalisme. Akan tetapi, kelemahan perspektif strukturalisme dalam menjelaskan ritual memerlukan perhatian dan pendalaman yang sangat teliti dan berhati-hati untuk menemukan struktur-struktur atau unsur-unsur domain sebuah kebudayaan, mengklasifikasikan domain-domain tersebut, menentukan relasi satu sama lain untuk menemukan pola-pola relasinya. Studi tentang ritual dengan menekankan pada aspek makna simbolik dari pelaku budaya diberikan oleh perspektif interpretif. Penekanan studi ritual secara interpretif menegaskan bahwa manusia dapat menciptakan dan memanfaatkan simbol sehingga kehidupan manusia penuh dengan simbol-simbol. Dalam perspektif interpretif, ritual dijelaskan menurut pandangan subyektif seorang pelaku yang terlibat langsung dalam kebudayaan. Perspektif ini juga disebut dengan fenomenologis dengan menekankan pada cara pandang emik, cara pandang pelaku budaya yang bersangkutan. Lewis (1980) mengemukakan penelitiannya tentang ritual inisiasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Sepik dan sekitarnya di Papua Nugini; Caplan (1976) dalam studinya tentang ritual sirkumsisi anak laki-laki dan ritual pubertas perempuan dalam masyarakat muslim Mafia di Tanzania; Liisa-Swantz (1995) dalam studinya tentang ritual pubertas anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Muslim Zaramo, Tanzania; Beidelman (1997) ketika memaparkan studinya tentang ritual anak lakilaki dan ritual pubertas perempuan dalam masyarakat Kaguru, Tanzania; Adyaje (1999) memaparkan studinya tentang ritual inisiasi anak perempuan dalam masyarakat Krobo di sebelah selatan Ghana. Dalam perspektif interpretif, ritual dianggap sebagai teks, oleh karena itu ia perlu dibaca, ditafsir, dan diberi makna (Geertz, 1963). Makna ritual dalam perspektif interpretif dilihat dari dua subyek, yaitu makna menurut tineliti (pelaku budaya) dan makna yang berasal dari peneliti (sebagai orang luar). Makna yang dikemukakan oleh pelaku budaya boleh jadi bertentangan satu sama lain, dan peneliti berusaha untuk menemukan kategorisasi tertentu untuk melihat
kecenderungan perbedaan makna tersebut.
Dari
berbagai
makna
yang
dikemukakan pelaku budaya, peneliti mencoba membangun tafsir atas makna subyektivitas-subyektivitas tersebut. Lewis (1980) menegaskan bahwa melihat ritual seperti melihat sebuah seni (art), sebuah performance yang barangkali masyarakat bisa memastikan makna dan tujuan sebuah ritual, tetapi boleh jadi maka tersebut tetap tersimpan sebagai sebuah misteri yang memerlukan mendalaman lebih lanjut, sehingga sebuah simbol ritual menunjukkan makna lebih dari apa yang tampak. Ritual keperempuanan (womanhood) dalam penelitian Beidelman (1997) bersifat biologis dan karenanya ia merupakan pemberian (gift), sebaliknya kelelakian (manhood) lebih bersifat sosial. Oleh sebab itu, ritual pubertas anak perempuan merupakan awal kehidupan barunya yang dirayakan secara ritual dengan makna untuk melindungi, mendukung, menyuburkan, dan menguatkan kekuatan keperempuanan dan kesuburan (Liisa-Swantz (1995); Caplan (1976). Hal ini berbeda dengan anak laki-laki yang menjalani sirkumsisi, karena dilakukan dalam usia yang masih sangat muda tidak menandai perubahan penting apapun dalam kehidupannya. Satu-satunya penanda perubahannya adalah diberikannya nama Muslim yang layak untuknya, sementara status dan perlakuan atasnya secara sosial tidak berubah (Caplan, 1976). Interpretasi lain dari ritual yang disajikan Caplan adalah bahwa ritual menyuguhkan sebuah identitas masyarakat yang bergerak antara tradisi dan Islam. Sirkumsisi anak laki-laki merujuk pada agama (sunnah), di mana referensinya ditujukan pada Tuhan, roh nenek moyang, dukun dan keturunannya; sementara ritual pubertas anak perempuan merujuk pada tradisi (millah) yang referensinya ditujukan hanya pada roh nenek moyang. Ada kecenderungan kelompok masyarakat tertentu yang lebih mementingkan identitas tradisi (millah) daripada Islam (sunnah), lebih memilih menjadi Afrika daripada Islam/Arab. Tetapi bagi masyarakat di wilayah lain, kedua dikotomis tersebut tidak terlalu signifikan. Makna ritual dianggap sebagai integratif antara sunnah dan millah, antara tradisi dan Islam, antara Afrika dan Arab/Islam. Dalam studinya, Adyaje (1999) memaparkan bahwa ritual inisiasi anak perempuan bagi masyarakat Krobo, Ghana dimaknai sebagai persimpangan
jalan yang berbahaya, persimpangan yang disertai dengan kecemasan, ketidakpastian, dan ambivalensi dari status remaja menuju pada status dewasa yang belum juga dicapai. Masing-masing orang dalam masyarakat Krobo memaknai kecemasan, ambivalensi, dan ketidakpastian tersebut dengan asumsi dan implikasi yang berbeda. Kekuatan perspektif interpretif ada pada intersubyektivitasnya yang melihat makna-makna simbolik berasal dari makna orang dalam (pelaku budaya) dan ditafsirkan oleh peneliti dari subyektivitas orang luar (peneliti). Perspektif interpretif akan dapat mengungkapkan dengan jelas mengapa sebuah ritual masih bertahan dipraktekkan oleh masyarakatnya. Kekuatan interpretif lain adalah dengan jeli melihat istilah-istilah lokal dan menganalisis maknanya dari sudut pandang pelaku. Hal ini membawa pada perspektif baru bahwa pelaku dianggap bukan sebagai obyek tetapi subyek budaya, merekalah yang mengkonstruk atau membangun kebudayaannya, bukan sebagai obyek yang dianggap tidak memiliki peran apa-apa dalam kebudayaan mereka. Oleh sebab itu, perspektif ini dapat digunakan pula untuk mengungkapkan realitas sosial atau bagaimana sebuah kebudayaan itu terbentuk. Kelemahan perspektif interpretif ketika menjelaskan ritual dalam kebudayaan tertentu membutuhkan waktu yang lebih banyak dan cukup jeli untuk menyelami pengalaman subjektif para pelakunya.
Hal
ini
dilakukan
untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan masyarakat tersebut. Jika peneliti tidak mampu menyelami pengalaman subyektivitas para pelaku budaya, maka penjelasan sebagaimana yang dikehendaki interpretif tidak akan sampai. Peneliti harus mampu menemukan dan merekam dengan jeli makna istilah-istilah lokal yang boleh jadi cukup kompleks dan bertentangan satu sama lain. Sebagaimana sebuah teks, ritual bisa ditafsirkan oleh pelaku-pelaku budaya yang bisa jadi berlainan. Jika makna-makna yang diberikan oleh pelaku budaya berbeda dan bertentangan satu sama lain, maka peneliti membutuhkan waktu lebih banyak untuk menemukan makna-makna apa saja yang bisa mewakili masyarakat yang bersangkutan. Peneliti juga kesulitan ketika mereduksi makna-makna yang diberikan oleh masyarakat sebab dalam perspektif interpretif, semua pelaku
budaya adalah subyek yang mengkonstruk budayanya sendiri. Hal ini akan berakibat pada tafsir yang diberikan oleh peneliti yang berangkat dari makna yang diberikan oleh pelaku budaya. Masing-masing penelitian memiliki kekuatan dan kelemahan sekaligus. Sebagaimana ditekankan B. Litt (1971) bahwa tak ada satu teoripun yang bisa menjelaskan satu fase ritual tertentu.Yang hanya perlu dilakukan antropolog adalah dengan menggunakan interpretasi berbeda untuk menjelaskan tiap ritual inisiasi pada lokus yang berbeda. Setiap penelitian menyajikan data dan informasi tertentu. Data dan informasi tersebutlah yang diolah antropolog dari sisi yang menurutnya cukup kuat dan tepat menggambarkan fenomena sosio-religiusitas masyarakatnya. Oleh sebab itu, perspektif atau pendekatan apapun dalam sebuah penelitian merupakan sebuah pilihan yang berhubungan erat dengan ketersediaan data, pemahaman baik atas perspektif yang digunakan dan analisis yang tepat sesuai dengan fokus penelitian. Penelitian-penelitian sebagaimana yang disebutkan di atas menjadi referensi langsung maupun tidak langsung dalam penelitian ini; membandingkan, dan secara jujur mengambil sisi-sisi kekuatan yang cocok bagi analisis penelitian ini. Penelitian tentang ritual katoba akan dikaji dalam perspektif interpretif dengan menggunakan metode fenomenologis dengan menyuguhkan bagaimana masyarakat Muna memaknai katoba sebagai identitas keislaman mereka. Metode fenomenologis dianggap tepat digunakan dalam studi tentang ritual katoba untuk melihat makna simbol-simbol dalam ritual katoba menurut pelaku budaya atau masyarakat Muna (tineliti) dan tafsir yang dibangun oleh peneliti berangkat dari makna yang diberikan oleh masyarakat Muna. Masyarakat Muna adalah masyarakat yang cenderung homogen dengan dinamika gerak perubahan kebudayaan yang cukup perlahan. Dalam dinamika perubahan yang tidak revolusioner tersebut masih bisa dikaji makna ritual bagi masyarakatnya sebagaimana dalam metode fenomenologis. Fenomenologis dianggap dapat menjelaskan mengapa ritual katoba masih terus dipertahankan dan dipraktekkan dalam masyarakat Muna, baik ia bertempat tinggal dalam sentral kebudayaanya (Kabupaten Muna) maupun di luar sentral kebudayaanya (luar Kabupaten Muna).
Penelitian ini akan mengungkap secara jeli istilah-istilah lokal yang dipakai oleh masyarakat Muna untuk kemudian menghubungkan dengan konstruksi sosial keagamaan mereka. Dari sudut pandang pelaku budaya sebagai subyek kebudayaan, penelitian ini akan mengkaji simbol-simbol dalam ritual katoba, baik simbol verbal maupun nonverbal. Simbol-simbol dalam ritual boleh jadi dimaknai secara berbeda oleh masyarakat lokal. Simbol-simbol yang berbeda dihimpun, dianalisis, dan dihubungkan antara simbol yang satu dengan simbol lainnya dan dalam keseluruhan hidup masyarakat Muna. Inilah yang menjadi landasan analisis yang dapat digunakan untuk mengungkap konstruksi keislaman di Muna. Ritual katoba tidak membedakan inisiasi antara laki-laki dan perempuan. Ritual ini juga tidak membedakan antara ritual pubertas (secara biologis) dan ritual inisiasi keislaman (secara sosial) sebagaimana temuan Beidelman (1997; Caplan (1976); Liisa-Swantz (1995). Dengan perspektif interpretif, studi ini juga akan menemukan bagaimana dua hal yang tampak bertentangan, yaitu adat dan Islam bisa disatukan dengan cara kompromi dan negosiasi sehingga ia tetaplah layak disebut sebagai praktek Islam dan sebagai perwujudan dari menjadi muslim. Ini membedakan dengan studi yang dilakukan Caplan (1976) dalam masyarakat muslim Mafia bahwa ritual menampilkan sebuah identitas yang bergerak antara Islam dan adat/tradisi. Inisiasi anak laki-laki lebih cenderung ke arah agama (sunnah) dan inisiasi anak perempuan lebih cenderung ke arah tradisi (millah). Perspektif interpretif dalam penelitian ini mengelaborasikan antara pemaknaan tineliti dengan interpretasi peneliti yang dibangun berdasarkan makna-makna yang dibentangkan oleh orang dalam (orang Muna) sendiri. Dengan pemaknaan masyarakaat lokal dan dengan interpretasi peneliti, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana ritual katoba menjadi penegas identitas sosial, dalam hal ini adalah identitas sosial-agama sebagai muslim. Dengan perspektif interpretif-fenomenologis, penelitian ini akan melihat bagaimana katoba memperlihatkan cara masyarakat Muna mengkostruksi sekaligus mereproduksi identitas mereka secara terus menerus secara berkesinambungan.
F. Landasan Teori F.1 Simbol dan Makna dalam Ritual Ritual bukan entitas yang hadir dalam ruang dan waktu yang kosong, ia hadir memiliki makna dan implikasi tertentu, minimal bagi pelaku budaya yang memilikinya. Karena itu, ritual dalam beberapa hal adalah komunikasi, setidaknya dalam hal transformasi nilai antar generasi. Komunikasi yang didapat dari ritual diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol adalah unit terkecil dari ritual yang mengandung sekian banyak informasi dan bisa berwujud banyak hal: obyek tertentu, aktivitas, kata-kata, hubungan, peristiwa tertentu, gesture (Turner, 1967). Manusia disebut sebagai animal symbolicum (Firth, 1973) dan oleh sebab itu, komunikasi yang dilakukan manusia adalah komunikasi simbolis (lewat simbolsimbol bahasa maupun non-bahasa) dan melahirkan pula bahasa-bahasa simbolik. Simbol-simbol ini kemudian dimaknai dengan pemaknaan yang bersifat arbitrer dalam masyarakat. Simbol mestilah dibedakan dengan index dan icon dalam hubungan antara apa yang dirujuk (signified) dan yang menjadi rujukannya (signifier). Pierce (dalam Firth, 1973: 61) menjelaskan bahwa hubungan antara signified dan signifier dalam index bersifat langsung. Seorang pemburu yang menemukan jejak kaki singa dalam hutan, maka jejak tersebut adalah index bagi keberaniannya berburu. Icon merujuk pada hubungan antara signified dan signifier bersifat mimikri atau peniruan dari obyek. Patung singa merupakan icon dari hewan jantan dan buas. Sementara itu, tanda-tanda dalam simbol mengandung pesan yang bisa mengkomunikasikan sesuatu dan bersifat arbitrer tergantung kesepakatan pelaku budaya. Hubungan antara simbol dengan apa yang disimbolkan bersifat arbitrer, subyektif, kompleks, dan interpretatif tergantung pada konvensi-konvensi sosial, kebudayaan atau kebiasaan. Jika merujuk pada pengertian simbol secara etimologi berasal dari kata Yunani “symbolos” yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang (Herusatoto, 2008). Dengan demikian, singa bisa jadi menjadi simbol keberanian selama ada kesepakatan atau konvensi tentang hal itu.
Kebudayaan adalah sistem simbol yang di dalamnya terdapat hubungan antara simbol dengan rujukannya, dan hubungan antara simbol yang satu dengan simbol lainnya. Simbol melibatkan tiga unsur sekaligus: yaitu simbol itu sendiri, rujukan dari simbol, dan hubungan antara simbol dengan rujukannya (Spradley, 2006). Ketiga unsur tersebut membentuk dasar bagi makna simbolik. Ada dua macam simbol dalam ritual yang dibedakan Turner (1967) dengan simbol dominan dan simbol instrumental. Simbol dominan bisa ditemukan dalam banyak konteks ritual berbeda dan meliputi sistem simbol secara keseluruhan. Sementara simbol instrumental membungkus tujuan tertentu dari tiap-tiap ritual dan maknanya dapat ditemukan hanya jika dihubungkan dengan simbol yang lain. Pohon mudyi (the milk tree) dalam masyarakat Ndembu adalah simbol dominan yang
memiliki
banyak
orientasi
makna
(polysemy/multivocality).
Ia
menggambarkan sistem totalitas hubungan antara individu dan masyarakat yang membentuk masyarakat Ndembu. Kehadiran simbol dalam kebudayaan mengharuskan interpretasi dan pemaknaan. Pemaknaan terhadap simbol bisa dilakukan dari cara masyarakat lokal memahami simbol, bagaimana masyarakat bertindak/bersikap secara simbolik, dan bagaimana mereka secara sadar menginterpretasikan apa yang mereka lakukan sebagai perilaku simbolik yang bermakna. Pada level ini, makna sebuah simbol dipahami dari sudut pandang pelaku budaya atau pemilik simbol itu sendiri (tineliti). Simbol diciptakan oleh masyarakat dan maknanya dipahami sebagai sesuatu yang disepakati secara arbitrer. Memahami masyarakat dari sudut pandang mereka akan mendekatkan pemahaman secara lebih terbuka terhadap fenomena kebudayaan suatu masyarakat. Mempelajari makna simbol dari sudut pandang pelaku budaya dalam studi antropologi disebut dengan metode fenomenologis. Meskipun demikian, studi antropologis tidak hanya meneliti masyarakat dari sudut pandang pelakunya. Peneliti dalam memaparkan sebuah kebudayaan tidak bisa lepas dari interpretasi atau pembacaan terhadap kebudayaan tersebut. Namun demikian, peneliti tidak bisa sembarangan menafsirkan makna berdasarkan subyektivitas pribadinya. Peneliti melakukan interpretasi tetaplah berangkat dari cara masyarakat lokal
memaknai simbol-simbol dalam kebudayaan mereka. Memaknai simbol dengan demikian adalah upaya intersubyektif di antara makna yang diberikan pelaku budaya yang bersangkutan dan makna yang diinterpretasi peneliti berdasarkan totalitas makna yang telah diberikan oleh tineliti (pelaku budaya). Turner (1967) memberikan tiga bentuk penafsiran simbol, yaitu (1) exegetical meaning, berupa makna yang diperoleh dari pelaku budaya setempat. Pemaknaan dalam hal ini bisa diperoleh dengan cara wawancara terhadap pelaku budaya; (2) operational meaning, berupa makna-makna yang diperoleh dari tindakan yang dilakukan dalam ritual; (3) positional meaning, yaitu makna yang diperoleh melalui interpretasi simbol dalam hubungan totalitas dengan simbolsimbol lainnya. Ketiga penafsiran simbol tersebut akan melahirkan sebuah pemaknaan yang total, mendalam dan komprehensif; dimulai dari pemaknaan dari sudut pandang pelaku budaya, dari segi praktek ritual yang dilakukan, dan pemaknaan terhadap hubungan antara pelaku, tindakan yang dilakukan, dan dengan simbol-simbol lain yang berada dalam satu setting sosial dan budaya. Dengan demikian, makna harus dilihat dalam totalitas simbol yang melingkupinya. Makna dalam simbol ritual tidak hanya merujuk pada apa yang dikatakan masyarakat tentang hal tersebut, tetapi juga pada apa yang masyarakat lakukan dengannya, pengaruh emosional terhadap makna tertentu dan juga alasanalasan mengapa seseorang melakukan atau menggunakan simbol tertentu, sementara yang lainnya tidak menggunakan atau melakukannya. Dari maknamakna yang diberikan oleh pelaku budaya, peneliti berupaya untuk menangkap makna totalitas berdasarkan hubungan antara simbol yang satu dengan simbol lainnya dan konteks keseluruhan simbol tersebut dalam keseluruhan hidup masyarakat. Ekspresi-ekspresi dalam ritual dapat ditemukan dalam simbol-simbol, baik simbol verbal maupun non-verbal. Ia ada dalam simbol kata-kata yang diucapkan, simbol bahasa yang digunakan, simbol kehadiran, simbol tindakan ritual, dan hubungan simbol-simbol tersebut secara keseluruhan. Sebagai sebuah teks, pembacaan terhadap ritual adalah mempelajari makna simbol-simbol dari sisi pelaku budaya (tineliti) dan berdasarkan pemaknaan pelaku budaya tersebut,
peneliti melakukan pembacaan terhadap cara masyarakat memaknai simbolsimbol ritual. Mempelajari ritual secara fenomenologis bagi Dhavamony (1995: 167) adalah melihatnya sebagai agama dalam tindakan. Ritual merupakan manifestasi iman yang diwujudkan dalam bentuk yang praktis dan kongkrit.Tindakan agama yang diwujudkan dalam ritual merupakan fenomena religius masyarakat yang bersifat subyektif karena pengalaman agama dihayati, dimaknai, diinterpretasikan oleh pemeluk agama yang bersangkutan. Dalam fenomenologi, satu fenomena agama tidak bisa dipandang hanya memiliki satu arti atau makna. Dia boleh jadi memiliki arti dan dimaknai secara berbeda oleh masing-masing individu atau kelompok yang berbeda sebagai tindakan religius mereka. Karena itulah, makna dalam simbol tidaklah tunggal. Makna dalam simbol bisa merujuk pada banyak hal atau multivocal/multivalence (Turner, 1969; Eliade, 1952), ia meliputi simbol-simbol pribadi atau keseluruhan fenomena, simbol-simbol yang bertentangan atau polarisasi, simbol-simbol yang memiliki arti terpisah atau unifikasi, dan diekspresikan secara terus menerus. Simbol pada dasarnya berhubungan dengan dinamika sosial masyarakat. Ia hadir untuk merepresentasikan masyarakat itu sendiri. Bagi Turner (1967), ritual, kepercayaan dan simbol berhubungan sangat erat satu sama lain dan dalam beberapa konteks menyebabkan tindakan atau aksi sosial. Ia menjadi pendorong atau kekuatan yang menyebabkan seseorang atau kelompok melakukan aksi tertentu. Pendeknya, semua dinamika sosial masyarakat diringkas ke dalam representasi tunggal, yaitu simbol-simbol dan menegaskannya dalam ritual. Oleh karena itu, masyarakat bisa saja berbagi simbol tetapi belum tentu berbagi maknanya. Maka dari itu, simbol bisa dipahami secara berbeda oleh masyarakat yang berbeda, bahkan dalam masyarakat yang sama (Turner, 1967; Ozlem, 2010; Cohen, 1985). Pemaknaan yang sama bukan menunjukkan kepatuhan pelaku budaya, akan tetapi mereka memaknai simbol yang sama secara dan dengan cara bersama-sama pula. Sebaliknya, pemaknaan yang tidak sama bukan menunjukkan pengingkaran atau penyimpangan, akan tetapi cara mereka memaknai simbol dengan cara dan orientasi yang berbeda.
Dalam konteks ini, seorang peneliti fenomenologis akan berupaya untuk menghubungkan makna-makna yang berbeda dari partisipan yang berbeda dan membangun pemahaman atas makna-makna yang berbeda tersebut. Fakta religius dalam fenomenologis karena itu bersifat subyektif oleh sebab ia merupakan keadaan mental dari masyarakatnya dalam menginterpretasi dan memaknai religiusitas mereka. Namun demikian, subyektivitas tersebut juga obyektif oleh karena dapat dikonfirmasikan oleh peneliti atau pengamat yang mencermati pemaknaan tersebut (Dhavamony, 1995: 34). Kajian tentang ritual ditegaskan Geertz (1966) bukan untuk menetapkan hukum atau polaritas, tetapi merujuk pada analisis interpretif untuk mencari dan menemukan makna. Meskipun demikian, mempelajari makna simbol tidak hanya melihat apa yang terlihat secara kasat mata. Apa yang disajikan dalam simbol bukanlah apa yang muncul di permukaan (surface fact), akan tetapi merujuk pada apa yang lebih dalam/tersembunyi dari apa yang tampak (deep fact). Pencarian makna bukan dengan cara mengungkapkan fakta-fakta kebudayaan tertentu, tetapi yang paling penting adalah sejauh mana seorang antropolog mampu menjelaskan apa yang terjadi dalam kebudayaan tertentu (bukan hanya sekedar fakta-fakta), mengungkapkan teka-teki dan misteri tentang pelaku budayanya, latar belakang (yang awalnya tidak tampak) yang melatari tindakan tertentu. Geertz (1966) menyebut cara tersebut dengan “appraisal”, sebuah cara penggambaran yang lebih baik. Oleh sebab itu, studi tentang ritual mengharuskan studi tentang apa yang ada dibalik apa yang terlihat. Firth (1973) menyebut hal tersebut dengan disjunction, sebuah gap antara apa yang terlihat di permukaan dengan maknamakna di baliknya. Mempelajari makna dalam simbol-simbol kebudayaan bukan dengan cara mempertanyakan suatu simbol tertentu merujuk pada apa, tetapi mempelajari hubungan antara simbol tersebut dengan simbol lainnya hingga akhirnya akan membentuk satu makna total dan menyeluruh. F.2 Ritual Life-Cycle Simbol-simbol mengisi dan memperkaya sebuah ritual dalam sebuah kebudayaan. Ritual menyiratkan suatu tindakan yang berulang secara terus
menerus dan bertahap, berciri tradisional, menggambarkan tindakan yang menyimbolkan
nilai-nilai
kepercayaan
masyarakat.
Liisa-Swantz
(1970)
mendefinisikan ritual sebagai cara masyarakat mengalami dan mengekspresikan simbol-simbol pemahaman mereka tentang hidup dan lalu mewariskannya kepada generasi selanjutnya. Winangun (1990: 60) mendefinisikan ritual dengan lebih khusus mengacu kepada ekspresi dari keyakinan dan sikap religius manusia. Lebih detail ritual didefinisikan Turner (1967); Kurtz (1995) sebagai perilaku dan ucapan tertentu pada kesempatan tertentu yang bukan merupakan sebuah rutinitas biasa dan merupakan perwujudan dari nilai suatu kepercayaan keagamaan, serta ditujukan pada suatu kekuatan mistik. Ritual dibedakan dari upacara (ceremony). Sebuah ritual harus mengandung mistical notion (Gluckman dalam Swantz, 1970: 66), sementara upacara tidak mengandung hal tersebut. Upacara lebih mengacu kepada kegiatan manusia yang bersifat teknis atau rekreasional dan berkaitan dengan tindakantindakan ekspresif dalam hubungan sosial (Dhavamony, 1995: 125). Jadi, ritual mengacu kepada tindakan religius atau magic-spritual dan bersifat mistical notion (perasaan dan tindakan mistik), sedangkan upacara mengacu kepada tindakan dalam konteks sosial. Jika upacara berlangsung dalam hal-hal yang profan, maka ritual mengacu kepada hal yang sacred/sakral. Manusia memiliki siklus hidup yang dalam beberapa kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang rentan dan berbahaya, oleh karenanya dipecahkan secara ritual. Studi tentang ritual sebagai siklus hidup (life-cycle) dilakukan oleh Van Gennep (1960; 11) yang disebutnya sebagai rite de passage. Van Gennep (1960: 11) menetapkan bahwa keseluruhan rangkaian daur hidup manusia senantiasa melewati tiga tahap, yaitu preliminal rite (rites of separation), liminal rites (rites of transition), dan postliminal rites (rites of incorporation). Rite de Passage adalah gerbang/ambang (threshold) yang dilewati seseorang atau kelompok dalam memasuki statusnya yang baru yang membedakannya dari keadaan sebelumnya. Tahap separasi adalah tahap dimana “novice” dipisahkan dari lingkungan sosialnya; tahap transisi ketika anak tak memiliki dan dimiliki oleh atribut, status, dan struktur apapun; dan tahap inkorporasi ketika anak
dikembalikan kepada lingkungan sosialnya kembali dengan status dan peran baru, serta tanggung jawab yang baru pula. Konsep Van Gennep dengan Rites de Passage ini dikembangkan lebih lanjut oleh Victor Turner dalam penelitiannya terhadap masyarakat Ndembu, Zambia. Turner (1967: 94) mengatakan bahwa Rite de Passage secara simbolis merupakan perpindahan individu dari alam plasenta menuju kematian, suatu analogi konsep yang mengacu pada proses kehidupan yang terus menerus dari titik awal kelahiran hingga kematian. Penekanan utama Turner adalah aspek liminalitas dan communitas-nya. Dalam tahap ini “novive” berada pada kondisi ambang, in between, in bitwixt, tak memiliki dan dimiliki oleh status, atribut, dan struktur apapun atau siapapun, tidak ada gradasi, tidak ada perbedaan dalam hal apapun, tidak berada di sini maupun di sana, tidak berada di manapun. Dalam kondisi ini, “novice” biasanya berada dalam kondisi yang sama, mengenakan pakaian yang sama dan terbatas, juga terbatas makanan, minuman, dan istirahat. Oleh Turner kondisi ini disebut dengan anti-structure bahkan tidak terstruktur. Dalam fase inilah drilling atau latihan dan ajaran-ajaran keprihatinan hidup diberikan. Liminal adalah masa inkubasi bagi sikap dan perilaku baru di mana anak diharuskan memahami ajaran-ajaran suci dan luhur tentang hidup dan tentang hak dan kewajibannya dalam masyarakat. Konsep Turner tentang liminalitas digunakan untuk mencermati bagaimana ritual katoba bekerja dalam kehidupan masyarakat Muna. Konsep ini digunakan untuk mengkaji mengapa ritual ini sangat penting bagi masyarakat Muna dan tidak hanya dilakukan sekali, tetapi diulang kembali dalam siklus hidup manusia. Ada dua level yang bisa dicermati dalam ritual: level mikro dan level makro. Level mikro mengacu kepada upaya para tetua agama dan adat menanamkan secara cross-generational nilai-nilai yang diharapkan pada anak setelah menjalani ritual dan nilai-nilai yang perlu dihindari. Level makro di sisi lain mengacu kepada upaya menegaskan perasaan etnisitas. Ritual menyiratkan sebuah karakteristik masyarakat tertentu. Ritual slametan menurut Beatty (2001) adalah identitas masyarakat Jawa yang mempresentasikan falsafah rukun (agreeing to differ); Geertz (1966) menyajikan ritual kematian dalam masyarakat
Pare sebagai sebuah potret konflik antara santri dan abangan, kesenjangan antara praktek-praktek kehidupan Islam dan tradisi lokal; Turner (1967) menyajikan ritual pelantikan kepala suku dalam masyarakat Ndembu sebagai upaya merevitalisasi struktur-struktur sosial dalam masyarakat. Ritual inisisi anak sebagai bagian dari life-cycle mencerminkan maksud dan tujuan-tujuan yang sakral. Ritual life-cycle dilakukan salah satunya dengan tujuan purifikasi atau pembersihan diri. Purifikasi (kebersihan/kesucian diri) oleh beberapa tradisi dan agama merupakan tujuan utama dalam ritual inisiasi. Konsep tentang purifikasi dipahami sebagai persyaratan pertama dan utama dalam ritual, baik ritual agama maupun tradisi atau sinkretik keduanya. Islam dengan konsep kesucianya (thaharah) merupakan salah satu bagian dari konsep purifikasi yang bagi muslim merupakan persyaratan pertama dan utama sebagai pintu masuk dalam pelaksanaan syari’at. Sholat sebagai bagian dari ibadah muslim tidak akan diterima jika badan dan diri tidak dalam kondisi suci (wudhu/tayamum). Purifikasi juga merupakan prasyarat utama kembali ke jalan fitrah /kembali kepada agama (Abu-Shahlieh, 1998: 2001). Ritual inisiasi tidak hanya mengacu pada perubahan-perubahan fisikbiologis, tetapi juga perubahan-perubahan sosial pada diri individu maupun komunitas. Salah satu bentuk ritual inisiasi adalah ritual perubahan status yang berhubungan dengan bagaimana seseorang berpindah dari satu status menuju status berikutnya dan bertanggung jawab karenanya, suatu perubahan yang dimulai pada tahap kehidupan hingga kematian. Collins (2005: 328) menyebutnya sebagai sebuah ketegangan yang bergerak dan menjadikan proses tersebut menjadi seimbang, yang mengantarkan seseorang dari satu dunia ke dunia lain (dan kemudian kembali lagi). Perubahan fisik-biologis dalam ritual ditandai dengan simbol-simbol fisik yang secara sederhana berupa gerakan melewati ambang pintu (threshold), sedangkan perubahan sosial ditandai dengan perubahan status, identitas, tanggung jawab dan kewajiban baru (Muir, 1997). Ritual inisiasi sebagai penanda keremajaan biasanya dilaksanakan pada akhir masa kanak-kanak. Alasan agama atau budaya menjadi dasar pertimbangan dilakukannya ritual, di samping untuk menyambut datangnya usia remaja
(coming-of-age ritual) yang mengekspresikan transisi status dari kanak-kanak menjadi remaja, bahkan menuju dewasa (Arbuckle, 1982: 230). Dhavamony (1995: 191) menambahkan alasan pelaksanaan ritual sebagai penerimaan individu ke dalam kedewasaan atau kematangan religius. Hal ini menunjukkan bahwa alasan dilakukannya ritual inisiasi adalah penanda diterimanya status baru bagi anak dan pengakuan oleh masyarakat, serta mendapatkan hak-hak sebagai bagian dari anggota masyarakat secara sosial maupun religius. F.3 Identitas Keislaman Sebuah ritual dalam masyarakat bisa memperlihatkan identitas masyarakat tersebut yang diwujudkan lewat simbol-simbol. Identitas mengacu kepada batasan yang membedakan diri sendiri dengan orang lain. Masyarakat menciptakan tradisi, misalnya dalam bentuk ritual salah satunya untuk membedakan dirinya atau menunjukkan keberadaan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain. Dalam masyarakat tradisional, ritual merupakan elemen penting dalam kesadaran komunitas tentang identitas dirinya (La Fontaine, 1985) sebagai salah satu cara memposisikan diri dengan identitas luar. Ritual menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan sesuatu yang dianggap penting dalam masyarakat sebagai satu wadah komunikasi untuk menunjukkan keberadaan (identitas) dirinya. Ritual juga merupakan media untuk menjembatani dua atau lebih entitas yang berbeda. Identitas melekat pada diri seseorang atau kelompok masyarakat tertentu dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan bersama yang membedakannya dengan sesorang atau kelompok yang lain. Hall (dalam Osmani, 2007: 68) menetapkan bahwa identitas sebagai rangkaian dan harapan-harapan sosial yang berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain yang dilatarbelakangi oleh persamaan dan perbedaan. Dengan demikian, identitas budaya merupakan perasaan kepemilikan dan ide yang sama mengikat satu individu atau kelompok masyarakat dalam satu kebudayaan tertentu. Identitas mengacu kepada status sosial yang bisa berupa identitas budaya dan bisa pula identitas agama atau kedua-duanya. Identitas sosial yang dibahas dalam studi ini adalah identitas agama atau identitas keislaman atau apa yang dimaksudkan dengan menjadi Islam. Dengan begitu, keislaman adalah sebuah
identitas sosial-agama. Ia dibangun oleh kriteria-kriteria agama, apa yang dimaksudkan sebagai Islam dan bagaimana keislaman itu dikonsepsikan. Keislaman dalam hal ini adalah sebuah kondisi atas pengakuan “apa yang dimaksudkan sebagai Islam”. Maka, keislaman sebagai sebuah identitas adalah menetapkan pada kondisi yang bagaimana masyarakat atau kelompok tertentu dianggap sebagai Islam dan bagaimana keislaman tersebut dibangun. Keislaman ditandai dengan ikrar secara lisan dan dalam praktek. Secara lisan, menjadi Islam ditandai dengan diikrarkannya dua kalimat syahadat. Abu Shahlieh (1998) menegaskan bahwa penanda keislaman terletak pada sirkumsisi dan oral symbolic berupa deklarasi syahadat. Dalam praktek, menjadi Islam ditandai dengan sirkumsisi atau khitan. Maka, bagi nonmuslim yang masuk Islam, selain keharusan mengucapkan dua kalimat syahadat, ia juga diwajibkan untuk melakukan sunat atau khitan secara Islam. Dalam berbagai studi ditemukan bahwa masyarakat muslim di berbagai wilayah meyakini dan mempraktekkan sirkumsisi atau praktek sunat sebagai penanda keislaman seseorang. Dalam masyarakat Jawa dan Madura (Putranti, 2000; Darwin, 2001), masyarakat Muslim Banjar (Hasan, tt), masyarakat Sunda (Newland, 2000), dalam masyarakat Ternate (Depdikbud, tt), juga dalam masyarakat Muslim Zanzibar, Afrika Timur (Cory, 1948). Keislaman sebagai sebuah identitas sosial bisa diketahui lewat simbolsimbol, baik simbol verbal maupun nonverbal. Dengan demikian, identitas keislaman adalah simbol-simbol yang dimaknai sebagai Islam. Simbol-simbol yang dimaknai sebagai Islam bisa saja menunjukkan hal-hal yang berasal dari Islam, tetapi juga bisa berasal dari selain Islam yang lalu dimaknai masyarakat tertentu sebagai bagian dari tradisi Islam. Masyarakat Islam Indonesia menurut banyak penelitian antropologi tidaklah benar-benar “murni” Islam. Islam yang dipraktekkan dalam masyarakat Islam di Indonesia adalah Islam yang merupakan hasil adaptasi dan akomodasi dengan praktek tradisi lokal yang bisa jadi dianggap sebagai non Islam atau bahkan bertentangan dengan Islam. Praktek Islam dalam masyarakat Jawa, misalnya adalah contoh bagaimana Islam mengalami sinkretisasi dalam jangka waktu yang cukup lama (Geertz, 1950; Jay, 1969; Nakamura, 1984; Koentjaraningrat, 1985). Pada akhirnya, begitu sulit untuk
membedakan secara tegas yang mana Islam dan mana yang non Islam dalam kebudayaan Jawa. Begitu pula halnya dengan sinkretisme antara adat Buton dengan kepercayaan Islam sebagaimana temuan Haliadi (2001). Elemen-elemen dalam kebudayaan Jawa baik itu dalam bentuk babad, tembang,
mitos,
ataupun
wayang
menurut
Ahimsa-Putra
(2006)
oleh
masyarakatnya menjadi satu kesatuan dengan Islam. Elemen-elemen tersebut menyatu dengan cara yang licin dan halus lewat relasi-relasi tertentu; relasi genealogis, relasi analogis, relasi historis, relasi profesis, dan relasi kooperatif mampu menyatukan Islam dengan tradisi Jawa dan tradisi pra-Islam (AhimsaPutra, 2006: 371). Dengan berbagai macam relasi tersebutlah mampu membentuk satu kebudayaan Jawa yang menyatukan dan memadatkan relasi antara Islam, Jawa, dan Pra-Islam dalam hubungan yang cair. Di Buton, konsep kelahiran kembali dikatakan Haliadi (2001) sebagai rohi polimba (roh yang berpindah) yang timbul dalam masyarakat Buton sebagai perpaduan antara kepercayaan Islam tentang “roh” dan kepercayaan Buton tentang “kematian”. Kepercayaan ini merupakan bentuk pengetahuan yang dikembangkan Oleh Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin dan Abdullah Ghaniyu yang menghimpun pengertian kematian secara tradisional dan roh secara Islam. Dari temuan tersebut dapat dikatakan bahwa keislaman dimaknai secara berbeda oleh setiap masyarakat yang berbeda. Dalam masyarakat Cirebon, setiap ritual baik ia religius maupun bukan jika ia dilakukan dengan niat untuk mewujudkan pemujaan kepada Tuhan, maka ritual tersebut dikategorikan ibadah dan dikategorikan sebagai Islam (Muhaimin, 2002). Begitu pula halnya dalam masyarakat Tegalroso, betapapun kecilnya seorang muslim melakukan komitmen keagamaanya, tidak ada satupun masyarakat yang mengingkari keberadaanya sebagai muslim (Pranowo, 2009: 365). Dengan demikian, penanda keislaman tidaklah tunggal, sebab menjadi Islam atau keislaman ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan perjalanan sejarah dan kultur masyarakat tersebut. Pada dasarnya konsep keislaman adalah konsep yang menimbulkan perdebatan tersendiri. Keislaman adalah persoalan komitmen yang mengacu kepada bagaimana keislaman itu dicirikan atau bagaimana menjadi
pemeluk Islam yang sebenarnya. Salah satu kunci perdebatan tersebut sebagaimana disebutkan Hassan (2005: 437) adalah keislaman harus dapat terbukti lewat sikap atau perbuatan, lewat etika, dan pengetahuan. Oleh sebab itu, Ahimsa-Putra (2007: 709) menawarkan untuk melihat identitas sebagai perangkat simbol dan tanda yang wujudnya situasional dan kontekstual. Keislaman tidak hanya terbatas pada salah satu aspek dan tidak pula cukup dilihat dalam periode yang pendek. Mengamati Islam adalah meneliti pada tataran “discursive tradition” (Asad dalam Anjum, 2007), pada “practical Islam” (Ali, 2011), pada “discourse” (Bowen, 1993). Konsep “discursive tradition” bagi Asad mengacu pada aspek yang bagaimana keotentikan tersebut diterapkan dan kriteria yang bagaimana dia mendapatkan pembenaran. Islam sebagai “discursive tradition” dimaknai Asad sebagai; “Historically envolving set of discourse, embodied in the practices and institutions of Islamic society and hence deeply imbricated in the material life of those inhabiting them” (Asad, 1986). Islam sebagai tradisi dengan corak keberagamaan masyarakatnya dicirikan oleh rasionalitas atau alasan kebenaran yang berasal dari teks agama, sejarahnya, dan institusinya. Disebut dengan paktek-praktek Islam sebab ia diotorisasi oleh tradisi diskursif dalam Islam (entah oleh alim ulama, khatib, sufi, syekh, atau para orang tua) dan ditujukan untuk Muslim (Asad, 1986). Ia memiliki sejarah tersendiri yang menghubungkan masa lalu (masa dimana praktek keberagamaan tersebut ditetapkan) dan masa yang akan datang (bagaimana praktek keberagamaan tersebut terus berlangsung pada masa mendatang) lewat pelaksanaannya pada masa kini (bagaimana ia dihubungkan dengan praktek, institusi, dan kondisi sosial yang lain). Keislaman bisa dilihat dalam praktek ritual yang kaya akan simbol-simbol. Dari simbol-simbol tersebut, keislaman akan bisa terdeteksi yang lalu bisa menunjukkan sebuah identitas sosial, dalam hal ini adalah identitas sosial-agama. Dalam konteks ini, meneliti ritual untuk mengkonfirmasikan identitas sosial masyarakat adalah mengamati bagaimana cara masyarakat mempraktekkan Islam. Keislaman dalam masyarakat yang dilihat pada aspek praktek, wacana atau tradisi
diskursifnya berarti melihat keislaman sebagai sebuah proses dinamika sosial masyarakat. Identitas dikonstruksi masyarakat berdasarkan dinamika sosial masyarakat tersebut, berhadapan dengan konteks sosial yang lebih besar. Dengan demikian, identitas diyakini merupakan sesuatu yang sengaja diciptakan (King, 1982; Vickers, 1989; Hall, 1992; Eriksen, 1993; Kipp, 1993; Kahn, 1995, Picard, 1997; Wood, 1998). Konstruksi identitas ini merupakan sesuatu yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan (Pilliang, 2002: 10) dan “sesuatu yang tidak pernah sempurnah” (Hall, 1990). Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa identitas bukanlah entitas yang statis, ia terus berproses sepanjang dinamika masyarakat tersebut. Karena itu, identitas keislaman bisa saja mengalami perubahan, bisa dipertanyakan, diperdebatkan, dinegosiasikan, bahkan bisa diganti. F.4 Negosiasi dan Reproduksi Keislaman sebagai identitas sosial selalu mengalami perubahan dan hal ini berlangsung sepanjang dinamika perubahan masyarakat. Sebagaimana dijelaskan Jenkins (dalam Jensen, 2012: 391) bahwa identitas adalah proses yang berlangsung terus menerus, yang dibentuk oleh dialektika antara gambaran diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks ini, identitas keislaman boleh jadi mengalami proses negosiasi dan reproduksi. Negosiasi dilakukan terhadap simbol-simbol ritual yang menunjukkan penanda keislaman. Dalam hal ini, negosiasi dilakukan terhadap simbol-simbol yang tampak bertentangan dan/atau oleh seseorang atau kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda. Melihat ritual sebagai kumpulan dari perangkat simbol berarti melihat ritual dalam dinamika masyarakat sebagai sebuah fenomena sosial yang dinamis. Oleh sebab itu, sebagai sebuah fenomena sosial, pemaknaan sebuah simbol juga bisa berbeda-beda dan berubah. Simbol-simbol yang sama dipahami secara berbeda tergantung orientasi sosial, budaya, dan keagamaan pemilik dan pembaca simbol tersebut. Simbol menyediakan diri secara bebas untuk diinterpretasi dalam pemaknaan yang kurang lebih sama atau berbeda. Makna dalam ritual dengan
demikian bisa saja dipertanyakan, digugat, diperdebatkan, dan dinegosiasikan oleh masyarakatnya sendiri. Oleh sebab itu, dalam kebudayaannya, masyarakat seringkali melakukan upaya negosiasi dalam memaknai apa yang dianggapnya penting dan bermakna. Negosiasi adalah sebuah proses pendekatan atau kontestasi antara satu hal yang diyakini dengan hal yang baru/asing. Negosiasi mengindikasikan sebuah proses pendekatan argumen atau kompromitas antara dua hal yang bertentangan demi menghasilkan kesepakatan yang bisa memuaskan kedua pihak (Haviland, 1999: 367). Ada dua bentuk negosiasi kultural, yaitu negosiasi personal dan negosiasi interpersonal (Djunaedi dalam Abdullah, 2008). Negosiasi personal adalah proses kontestasi antara ideologi yang dianut seseorang/sebuah masyarakat dengan entitas asing, sementara negosiasi interpersonal adalah proses kontestasi dan penyesuaian ideologi yang dianutnya sekaligus juga berhadapan dengan proses resistensi dari orang-orang/kelompok yang tidak setuju. Negosiasi interpersonal lebih berat resikonya dari negosiasi personal karena diperhadapkan dengan penolakan atau perlawanan. Negosiasi pada dasarnya merupakan strategi retorika tentang bagaimana masyarakat bekerja dan hidup dalam perbedaan-perbedaan (West & A. Olson, 1999). Proses negosiasi dilakukan ketika terjadi perbenturan antara dua budaya yang berlainan dan telah terjadi perubahan orientasi berpikir, bahkan perubahan tata nilai dalam masyarakat. Negosiasi berlangsung seiring melemahnya pusatpusat kebudayaan sebagai pengendali dan pewarisan sistem nilai (Abdullah, 2007: 58-60). Yang dimaksudkan dengan negosiasi dalam studi ini adalah upaya atau proses pendekatan argumentasi makna dalam simbol-simbol ritual yang merupakan kontestasi antara tradisi lokal dan Islam. Pertemuan dua entitas budaya lokal dan Islam melahirkan berbagai macam respon, baik dalam bentuk resistensi maupun kompromistis. Nilai-nilai tradisional ketika diperhadapkan dengan nilainilai Islam menjadi dikontestasikan dalam bentuk yang kompromistis, atau bahkan konflik. Ketika kecenderungan masyarakat berpihak pada agama (Islam) ditambah pula dengan keinginan dan upaya mengeliminir tradisi lokal, maka sikap
resistensi dan akhirnya konfliklah yang muncul (baik dalam bentuk konflik terbuka maupun konflik laten). Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa Islam yang menyebar di Indonesia dicirikan dengan Islam yang bercampur dengan keyakinan dan praktek tradisi lokal. Inilah yang membedakan
praktek Islam di tanah Arab dengan
praktek Islam di Indonesia. Islam di Indonesia adalah Islam yang tidak hanya murni Islam tetapi juga masih berbalut adat istiadat lokal yang ditranformasikan ke dalam nilai-nilai Islam. Islam menemukan akar untuk tumbuh dan berkembang kuat di nusantara justru dikuatkan oleh adat istiadat lokal. Hubungan antara Islam dan adat istiadat lokal merupakan bentuk akomodasi dan adaptasi yang jenius. Cara adaptatif yang sukses seperti ini diistilahkan Baso (1999: 87) sebagai parodi atau plesetan cara beragama yang merupakan percampuran antara akomodasi dan resistensi. Dikatakan parodi dan plesetan karena mampu merangkul dan menghayati agama-agama yang (di)resmi(kan) di satu sisi dan keuletan menyiasati ajaran-ajaran agama resmi tersebut untuk kepentingan mereka di sisi lain. Ketika masyarakat berusaha mengkompromikan dua entitas tradisi lokal dan Islam dengan maksud untuk tetap mempertahankan nilai-nilai keduanya, maka
telah
terjadi
proses
negosiasi.
Dalam
negosiasi,
terjadi
proses
mempertemukan persamaan sekaligus juga mendeteksi perbedaan antara diri sendiri dengan orang lain yang berlangsung dalam hubungan dialog (Jensen, 2012: 391). Negosiasi dilakukan dengan mencoba melakukan posisis tawar atas peran masing-masing tradisi dan Islam tanpa harus kehilangan sikap. Lewat ritual, proses negosiasi antara tradisi dan Islam dimediasikan. Dengan ritual pula, tradisi atau budaya dikontestasikan dan ditantang (Aguilar, 2008). Bahkan di dalam ritual, bentuk-bentuk keberagamaan diartikulasikan dan direproduksi, sementara bentuk-bentuk budaya dinegosiasikan dalam bentuk yang baru. Dalam relasi Islam dan tradisi lokal, masyarakat mencoba menegosiasikan makna simbol-simbol dalam ritual berdasarkan pemahaman mereka terhadap agama Islam dan bagaimana beragama menurut cara pandang masyarakat. Negosiasi makna dilakukan untuk tetap menjaga harmonitas dan kerukunan dalam masyarakat dan agar bisa mempertahankan nilai-nilai Islam dan tradisi lokal
sekaligus. Ketika masyarakat tertentu memiliki interpretasi dan pemahaman makna yang berbeda soal simbol ritual dengan masyarakat lainnya, maka boleh jadi akan terjadi proses kontestasi makna. Kontestasi tersebut bisa dalam bentuk yang
kompromistis,
atau
bahkan
konflik.
Jika
masyarakat
berusaha
mengkompromikan posisi mereka dalam memahami dua makna yang berbeda dengan maksud untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kerukunan, maka telah terjadi proses negosiasi. Proses negosiasi yang dilakukan masyarakat terhadap simbol-simbol ritual memberikan dampak tersendiri pula terhadap identitas sosial masyarakat yang bersangkutan, dalam hal ini adalah identitas keislaman. Ketika masyarakat berubah, identitas seseorang baik itu etnis maupun agama akan mengalami redefinisi dan reproduksi dalam bentuk-bentuk yang berbeda (Abdullah (2007: 117). Reproduksi identitas dilakukan individu atau kelompok dalam melekatkan dan membangun kembali identitas keislamannya dalam konteks sosial yang lebih luas. Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Reproduksi mengacu kepada cara masyarakat merepresentasikan “kebudayaan asal” dalam lingungan yang baru (Abdullah, 2007: 41-42). Maka, reproduksi identitas menyangkut cara masyarakat mempertahankan identitasnya di dalam konteks sosial budaya yang berbeda. Dalam pemahaman ini, identitas keislaman diproduksi bahkan direproduksi kembali dalam bentuk yang bisa jadi berbeda dari bentuk awalnya. G. Metode Penelitian G.1 Jenis dan Desain Penelitian Studi ini menggunakan perspektif interpretif-fenomenologis. Penelitian ini diarahkan pada identifikasi fenomena-fenomena yang terdapat dalam tradisi katoba sebagai sebuah entitas masyarakat Muna yang mencitrakan penerimaan ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Dengan perspektif ini, peneliti mempelajari fenomena religius dari sisi subyektivitas pelaku budaya berupa pikiran-pikiran, perasaan, dan maksud-maksud pelaku budaya yang diwujudkan dalam tindakan tertentu (Dhavamony, 1995: 33). Agama dalam metode
fenomenologis dipandang sebagai fenomena yang terjadi yang diungkapkan dalam simbol ritual. Dalam penelitian ini, fenomena religius masyarakat Muna dipelajari, dicermati, dikaji dalam simbol-simbol ritual katoba sebagai manifestasi atau perwujudan keberagamaan mereka. Penelitian tentang ritual katoba sebagai manifestasi keberagamaan masyarakat Muna dilakukan dengan cara mencermati bagaimana fenomena katoba dihayati, dimaknai, dan diinterpretasi oleh masyarakatnya. Lokasi utama penelitian ini dilakukan di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara sebagai basis sosial dan kultur masyarakat Muna. Akan tetapi, sebagai data pembanding penelitian juga dilakukan dalam masyarakat Muna yang bertempat di wilayah kota Kendari, Sulawesi Tenggara. G.2 Jenis Data dan Sumber Informasi Data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah fenomena-fenomena yang muncul dalam ritual katoba dalam masyarakat Muna Sulawesi Tenggara dan hal-hal yang berhubungan dengan ritual tersebut. Fenomena-fenomena yang dimaksudkan adalah simbol-simbol dalam ritual katoba dan simbol-simbol lain yang berhubungan, baik simbol verbal maupun nonverbal. Data berupa prosesi ritual yang meliputi unsur-unsur ritual yaitu ajaran/sistem kepercayaan yang mendasari ritual, proses ritual, doa/mantra/petuah-petuah yang diucapkan, benda/sajian dan alat yang dipakai, tempat/ruang upacara, dan waktu pelaksanaan ritual. Data-data penelitian bisa berasal dari foto-foto ritual, foto-foto kegiatan masyarakat sehari-hari, video pelaksanaan ritual, rekaman hasil wawancara atau percakapan sehari-hari yang terkait langsung atau tidak langsung dengan data penelitian. Data tersebut dikuatkan pula oleh sumber-sumber pengambilan data, baik dalam bentuk observasi terhadap proses pelaksanaan ritual dan kehidupan keseharian masyarakat Muna, lisan (wawancara) maupun tertulis (dokumentasi, tulisan-tulisan dan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, dan manuskrip kangkilo pataanguna yang berhubungan dengan ajaran kebersihan diri. Sumber informasi lisan didapatkan dari hasil wawancara para tokoh adat, para pegawai sara (imam, khatibi, dan modji), tokoh agama, tokoh masyarakat, orang tua dan anak yang menjalani katoba untuk mendapatkan data yang komprehensif.
G.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang dimaksudkan di atas dihimpun dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut; 1. Studi pustaka. Studi pustaka dilakukan terhadap sumber-sumber tulisan yang berhubungan dengan masyarakat Muna secara umum dan kebudayaan Muna secara khusus. Tulisan-tulisan tersebut sangat membantu pemahaman dasar tentang dinamika sosial, budaya, dan religiusitas masyarakat Muna. Tulisantulisan tersebut berasal dari beberapa tokoh adat dan agama lokal, beberapa di antaranya sudah dalam bentuk cetakan buku dan beberapa lainnya masih dalam bentuk catatan pribadi yang ditulis tangan. Tulisan-tulisan tersebut penulis dapatkan dari pengarangnya langsung dan ada pula yang ditemukan di kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Muna. Di samping tulisan-tulisan tentang adat istiadat dan kebudayaan Muna, penulis berusaha menemukan rujukan dalam bentuk manuskrip dan menemukan satu naskah yang berjudul “Kangkilo Pataanguna” yang ditulis dengan menggunakan buri wolio atau bahasa Buton. Naskah ini ditemukan dalam masyarakat lokal dan sudah pula diteliti oleh peneliti lain, baik isi maupun bentuk naskahnya. 2.
Pengamatan (observation). Pengamatan dilakukan dalam dua bentuk, yaitu
Participant observation dan observasi biasa. Participant observation berupa keterlibatan peneliti secara langsung dalam keseharian hidup masyarakat maupun dalam proses ritual. Peran yang dilakonkan peneliti dalam teknik ini ada dua, yaitu sebagai subyek (researcher) sekaligus obyek penelitian (bagian dari masyarakat dan bagian dari prosesi ritual). Participant observation dilakukan dalam prosesi ritual, sebagai bagian dari anggota keluarga besar (ada beberapa ritual yang dilakukan oleh keluarga besar penulis sendiri), dimulai dari mempersiapkan ritual, pelaksanaan ritual, hingga akhir ritual. Penulis juga terlibat langsung dalam proses pelaksanaan katoba, ikut membantu proses pelaksanaan ritual baik dalam proses persiapan maupun dalam proses pelaksanaan ritual. Pengamatan dilakukan terhadap benda-benda/alat-alat yang digunakan dalam ritual, proses pelaksanaan ritual, dan situasi kontekstual pada saat pelaksanaan ritual. Pendeknya, pengamatan dilakukan pada tahap-tahap ritual mulai tahap
persiapan, proses pelaksanaan, maupun pasca-ritual. Sementara itu, observasi (pengamatan) biasa dilakukan terhadap kehidupan masyarakat, pola hubungan orang tua dan anak, pola pergaulan masyarakat, pola pendidikan yang diberikan orang tua pada anak, dan pola kehidupan secara keseluruhan. Dalam hal ini, peneliti mengalami langsung kehidupan masyarakat lokal, dalam cara mereka melakukan upacara dan cara mereka bekerja, bergaul dan memberikan pendidikan pada anak. Pengamatan yang dilakukan secara partisipasi (pengamatan terlibat) maupun pengamatan biasa, maka penulis harus lebih dahulu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk mencegah tindak tanduk atau sikap yang bisa menimbulkan kecurigaan atau ketidakpercayaan dari masyarakat lokal. Oleh sebab itu, penulis terlebih dahulu mendatangi dan mendekatkan diri kepada tokohtokoh kunci dalam pencarian data-data yang diperlukan, seperti halnya tokohtokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang memahami ritual katoba. Untuk memperoleh data yang otentik dan komrehensif, penulis menggunakan alat bantu pengamatan berupa kamera, alat perekam suara (voice recorder), dan perekam gerak (video recorder). Alat bantu pengamatan ini sangat diperlukan untuk menjembatani keterbatasan ingatan dan jangkauan pengamatan oleh peneliti (Bachtiar dalam Koentjaraningrat, 1997: 122). 3. Wawancara. Wawancara yang dilakukan dalam dua cara, yaitu wawancara mendalam (indepth interview) dan wawancara biasa. Wawancara mendalam dilakukan secara terus menerus dan berulang kepada informan utama (para pegawai sara, tokoh adat, tokoh agama, orang tua dan anak yang melakukan katoba). Koentjaraningrat (1997: 139) menyebut wawancara biasa dengan bentuk wawancara tak berencana (unstandardize interview). Dalam wawancara tak berencana, daftar pertanyaan tidak disusun dan direncanakan sebelumnya. Percakapan mengalir bersamaan dengan hubungan yang terjalin antara penulis dan masyarakat dalam bentuk percakapan sehari-hari dengan masyarakat lokal tentang kehidupan mereka yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan data penelitian. Wawancara dilakukan terhadap pegawai sara berupa cerita pengalaman mereka dalam pelaksanaan katoba; terhadap para tokoh adat dan tokoh
agama
menyangkut
cerita
mereka
tentang
elemen-elemen
yang
membungkus ritual katoba, respon mereka terhadap elemen-elemen dan prosesi ritual katoba; terhadap orang tua untuk mendengar cerita, alasan dan tujuan mereka melaksanakan ritual dan percakapan kepada anak yang menjalani katoba untuk mendengar pendapat dan perasaan mereka terhadap ritual yang mereka jalani. Wawancara terhadap berbagai informan yang berbeda tersebut untuk mengkonfirmasi ritual pada tataran maknanya yang bisa jadi sama dan bisa jadi pula berbeda orientasi. Wawancara dengan informan yang berbeda ketegori tersebut dilakukan demi mendapatkan data otentik dan menyeluruh dalam pelaksanaan katoba. Teknik ini digunakan untuk melengkapi dan menguatkan data yang dihimpun dan pada akhirnya memunculkan suatu kebulatan data yang terpola dalam bentuk snow ball sampling yang menghasilkan data-jenuh (data komprehensif). 4. Dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksudkan adalah catatan hasil wawancara, transkrip wawancara; foto-foto kegiatan keseharian masyarakat, momen-momen upacara dan perkumpulan bersama (peristiwa komunalitas) dalam rangka upacara adat atau perkumpulan biasa; dan lebih khusus lagi benda-benda/alat-alat dalam ritual, momen dan peristiwa dalam tahap ritual katoba; dan rekaman video tentang prosesi ritual katoba, baik pada tahap persiapan, proses pelaksanaan, maupun penutup
ritual. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasikan data yang satu
dengan data lainnya demi memperkaya dan memperluas data-data penelitian. 5. FGD (focus group discussion). FGD dilakukan guna menkonfirmasikan data penelitian
yang terkait dengan ritual katoba, terutama yang menyangkut
pandangan masyarakat Muna tentang makna ritual yang boleh jadi direspon secara berbeda. Konfirmasi data dirasa perlu dilakukan dengan cara FGD dengan melibatkan secara langsung kelompok-kelompok masyarakat lokal yang mengetahui dengan baik kebudayaan Muna, khususnya ritual katoba sehingga didapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Dalam proses pelaksanaannya, penulis bertindak sebagai fasilitator dan moderator dengan mengundang para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan beberapa orang tua yang pernah menyelenggarakan katoba bagi anak-anaknya. Penulis bertindak langsung sebagai moderator guna menfokuskan diskusi agar lebih
terarah pada permasalahan yang ingin dibicarakan dalam tujuan penelitian. Diskusi dilakukan sebanyak dua kali, yaitu tahap pertama diselenggarakan pada bulan ke empat penelitian (bulan Juli 2010) untuk mengkonfirmasi beberapa data temuan di lapangan dan diskusi pada tahap kedua dilakukan pada bulan April 2012. FGD yang diselenggarakan pada tahap kedua ini dilakukan untuk menguatkan,
membulatkan
data-data
yang
sudah
pernah
dikonfirmsi,
ditambahkan, atau bahkan ditiadakan demi mendapatkan data análisis yang otentik dan valid. Pengumpulan data dilakukan dengan berkali-kali berada di lapangan, baik di wilayah desa maupun wilayah perkotaan, dengan melakukan pengamatan terhadap berbagai praktek pelaksanaan katoba dalam wilayah yang berbeda untuk dapat menentukan pola persamaan dan perbedaan antara satu dengan lainnya. Peneliti hidup bersama masyarakat lokal selama kurang lebih dua tahun (pada bulan Mei 2010 sampai tahun 2012) dan kembali berkali-kali ke lapangan untuk menambah, mengkonfirmasi, dan menguatkan data). Oleh sebab itu, lokus penelitian bisa berpindah atau berganti tergantung diversitas dan persebaran praktek pelaksanaan ritual katoba. G.4 Teknik Analisis Data Data
yang
telah
terkumpul
dianalisis
dengan
cara
mengkategorikan/mengklasifikasikan, menentukan relasi-relasi antar simbol, dan menafsirkan makna-makna dalam simbol dengan metode fenomenologis. Penulis berusaha menyentuh dan mengalami cara pandang dan cara hidup masyarakat dari sudut pandang mereka dan mencermati fenomena-fenomena dalam masyarakat lebih dalam dari apa yang ditemui di permukaan. Smart (1995) menganjurkan upaya memahami fenomena masyarakat setempat dari sudut pandang mereka tanpa ada klaim ataupun judgement apapun (structured emphaty). Sedangkan Scutz (dalam Denzim&Lincoln, 1994: 263) mengharuskan dilakukannya natural attitude dengan cara mencermati dan mencatat realitas-realitas kehidupan masyarakat secara apa adanya. Studi fenomenologi menurut Swidler (2000: 144) menekankan pada tiga hal, yaitu simpati, empati dan apresiasi. Fenomenologis menekankan pentingnya pemahaman yang simpatik terhadap fenomena-fenomena
keagamaan masyarakat; pentingnya empati dalam mengalami pengalamanpengalaman keagamaan masyarakat; dan pentingnya mengapresiasi bagaimana masyarakat
mengklaim
dan
memahami
agama
mereka.
Dalam
kajian
fenomenologi agama, Dhavamony (1995: 35) menegaskan bahwa pemahaman terhadap fenomena religius masyarakat harus mengedepankan empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi, ide-ide dari masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, melihat ritual katoba adalah mengkaji maknanya dari sudut penceritaan dan pembacaan dari pelaku budaya (emik), dari cara masyarakat Muna memikirkan, merasakan, mengalami, dan bertindak dalam ritual (empati dan verstehen). Cara mengapresiasi kehidupan masyarakat dari dalam sudut pandang mereka sendiri akan sangat menolong memahami realitas masyarakat yang sebenarnya. Sumber-sumber data berupa rekaman hasil wawancara dan video prosesi ritual ditranskripsikan, dikelompokkan menurut data-data utama dan data-data tambahan, dilakukan kategorisasi terhadap data-data tersebut menurut tema-tema tertentu. Begitu pula halnya sumber data berupa foto-foto ritual dikategorisasikan dalam tema-tema tertentu. Kepada para informan diajukan pertanyaan-pertanyaan etnografis yang terdiri atas beberapa bentuk, di antaranya adalah (1) pertanyaan deskriptif yang merujuk pada berbagai informasi dari sudut pandang informan, (2) pertanyaan struktural yang merujuk pada domain atau hal-hal yang utama dan penting sebagai unsur-unsur dasar dari pengetahuan budaya informan, (3) pertanyaan kontras untuk menemukan dimensi makna yang dipakai informan untuk membedakan berbagai obyek dan peristiwa dalam kehidupanya (Spradley, 2006). Dari deskripsi data terhadap observasi partisipasi dan wawancara mendalam dilakukan beberapa tahap analisis sebagai berikut; (a) membuat analisis domain dengan menentukan hal-hal yang menonjol dan menarik untuk dikaji dalam ritual katoba, (b) membuat analisis taksonomi dengan cara menentukan struktur internal atau subset-subset dari domain tertentu yang sudah ditetapkan dalam hubungan semantik, (c) membuat analisis komponen dengan cara menentukan komponen-komponen yang termasuk dalam kategori-kategori
tertentu
dengan
cara
mencari
dan
menentukan
dimensi
kontras
lalu
memasukkannya dalam satu paradigma, (d) menemukan tema-tema budaya yang menggambarkan tema-tema utama dalam ritual katoba dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan (disarikan dari Spradley, 1980). Dengan analisis tersebut, domain-domain dalam katoba ditentukan hingga menemukan tema-tema budaya yang terkait dengan ritual tersebut.
Domain-
domain ditentukan, dicermati, disusun secara polaristik dan kategoris untuk melihat pola varian pelaksanaan, simbol yang digunakan dalam ritual, pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut, serta bagaimana hubungan antara simbol dan makna tersebut dengan simbol lainnya dalam satu totalitas kehidupan masyarakat Muna secara keseluruhan. Dengan fenomenologis, simbol-simbol dalam katoba dicermati dan diamati dari cara masyarakat memahami simbol, bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku secara simbolik dalam ritual, dan bagaimana mereka secara sadar memaknai simbol-simbol tersebut sebagai sesuatu yang penting bagi mereka. Dalam analisis fenomenologis, subyektivitas memungkinkan untuk hadir dalam proses interpretasi data. Dengan analisis fenomenologis, peneliti menyadari hal tersebut oleh sebab fakta religius masyarakat bersifat subyektif dalam sisi mencerminkan keadaan mental dari masyarakat dan caranya mengungkapkan dan menginterpretasikan religiusitas mereka. Akan tetapi, fakta tersebut adalah obyektif oleh sebab bisa dibuktikan dengan fakta-fakta lain yang mendukung kebenaran subyektif tersebut. Oleh sebab itu, obyektivitas sangat memungkinkan untuk hadir dengan membiarkan fakta atau fenomena berbicara untuk dirinya sendiri, tanpa peneliti terlibat jauh melakukan penilaian atau justifikasi atas baik buruknya religiusitas pelaku budaya. Untuk menghindari kecenderungan subyektivitas yang membabi buta, dilakukan konfirmasi antara cara pandang dari subyek pelaku budaya (masyarakat Muna) dengan subyektifitas peneliti secara netral, sehingga menghasilkan intersubyektivitas yang lebih obyektif. Dengan demikian, subyektivitas data yang dihimpun di lapangan (berasal dari subyek pelaku budaya) diintepretasikan dengan subyektivitas peneliti, akan memunculkan
analisis data yang dapat menjawab fenomena masyarakat ke arah peta konsep sosio-religius masyarakat Muna.