BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kita sudah terbiasa dengan sebutan Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum. Ilmu Agama Islam yang berbasiskan pada wahyu, hadis nabi, penalaran dan fakta sejarah sudah berkembang demikian pesat. Untuk Ilmu Agama Islam sendiri contohnya Ilmu Kalam, Ushul Fiqih, filsafat, tasawuf, Tafsir, Hadis, Sejarah Islam, Pendidikan Islam, Dakwah Islam dan lain-lain.1 Diskursus tentang integrasi ilmu dan agama adalah isu yang telah cukup lama dibicarakan, termasuk di Indonesia. Relasi keduanya dianggap sebagai isu klasik yang menarik dan telah lama mewarnai corak pemikiran para agamawan, termasuk di kalangan masyarakat muslim. Sebagai satu pilar peradaban manusia, ilmu tak bisa terlepas dari perhatian agama-agama dunia. Upaya memberikan suatu warna keagamaan dalam pendidikan telah menjadi perhatian perguruan-perguruan tinggi keagamaan.2 Pada awalnya sebagian orang cenderung membatasi integrasi ilmu dan agama tersebut pada ilmu sosial-budaya (social sciences and humanities), dan mengesampingkan kemungkinan integrasi agama dan ilmu-ilmu kealaman (natural sciences).3 Awal mula perdebatan dikotomi ilmu dalam Islam dimulai dengan munculnya penafsiran dalam ajaran Islam bahwasanya Tuhan adalah pemilik
1
Abudin Nata, dkk, Integrasi Ilmu Agama & Ilmu Umum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1-2 2 Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), h. 77. 3 Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, ..., h. 79.
1
2
tunggal ilmu pengetahuan. ilmu pengetahuan yang diberikan pada manusia hanya merupakan bagian terkecil dari ilmu-Nya, namun manusia diberi kebebasan untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu sangatlah tidak pantas jika ada manusia yang bersikap sombong dalam masalah ilmu. Keyakinan ini pada akhirnya melahirkan perdebatan dikotomi ilmu dalam pemikiran Islam, dengan istilah kelompok ilmu “antroposentris” dihadapkan dengan kelompok ilmu “teosentris”. Berdasarkan argumen epistemologi, ilmu pengetahuan antroposentris dinyatakan bersumber dari manusia dengan ciri khas akal (rasio) sedangkan ilmu pengetahuan teosentris dinyatakan bersumber dari Tuhan dengan ciri khas “kewahyuan”. Maka terbentuklah pertentangan antara wahyu dan akal.4 Salah satu metode dalam proses pengilmuan Islam yaitu integralisasi. Integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al-Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi).5 Ilmu
integralistik
adalah
ilmu
yang
menyatukan
(bukan
sekedar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu-ilmu integralistik tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme). Diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.6
4
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2006), h. 204. 5 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika,..., h. 49. 6 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika,..., h.55.
3
Berkaitan dengan integralisme ini, Sayyed Hossein Nasr menyatakan bahwa realitas pada permulaannya, yang ada secara serentak adalah wujud, pengetahuan dan kebahagiaan, adalah pengetahuan yang senantiasa memiliki hubungan dengan realitas primordial dan prinsipil, yang merupakan kesucian dan sumber dari segala yang suci. Beriringan dengan berjalannya waktu kemudian, baik disebabkan manifestasi makrokosmos maupun mikrokosmos, pengetahuan kemudian terpisah dari wujud dan kebahagiaan. Pengetahuan pada gilirannya lebih dekat kepada kompleksitas eksternal dan terdesakralisasi, khususnya di antara segmen-segmen ras manusia yang telah dipengaruhi proses modernisasi. Kebahagiaan yang merupakan buah penyatuan dengan Yang Esa dan aspek kesucian, kini hampir tidak dicapai, berada dibelakang genggaman mayoritas luas yang cenderung mendunia. Tetapi akar dan esensi pengetahuan terus dipisahkan dari kesucian.7 Dinamika pemikiran keagamaan semacam ini seperti dalam bukunya A. Singgih Basuki yang berjudul pemikiran keagamaan A. Mukti Ali “suatu hal yang sulit dihindari dalam dinamika pemikiran keagamaan di Indonesia adalah ketegangan-ketegangan, bahkan seringkali muncul konflik yang mengiringi perkembangan pemikiran itu. Di satu pihak, ketegangan dan konflik muncul karena mempertahankan doktrin suatu agama dalam situasi dunia yang selalu berubah, dan di lain pihak karena proses sosiologis. Ketegangan antara doktrin agama yang sakral dan dunia yang dianggap profan, merupakan persoalan yang tidak pernah selesai di mana pun, terutama dalam masyarakat agama yang 7
h. 1.
Sayyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
4
sedang mengalami modernisasi. Padahal sesungguhnya, hubungan antara keduanya bukan seperti entitas yang berdiri sendiri, tetapi terjalin sedemikian rupa sehingga menyatu menjadi kesatuan kokoh dalam melihat fenomena keberagaman manusia”.8 Pelbagai paradigma atau konsep yang menyertai proses kelahiran dan transformasi UIN di Indonesia sejak kurang lebih lima tahun yang lalu itu, sampai saat ini belum mendapat perhatian dari kalangan peneliti secara memadai, lebih-lebih penelitian tentang penerapan konsep-konsep itu dalam kurikulum UIN di Indonesia. Padahal, penelitian tentang konsep yang mendasari hubungan antara wahyu (agama) dengan ilmu (sains) itu dipandang penting, bukan hanya dari perspektiif diskursus filsafat ilmu untuk mengembangkan landasan keilmuan holistik–integratif yang kokoh, melainkan juga penting bagi pengembangan bangunan keilmuan dan struktur kurikulum suatu perguruan tinggi berbasis agama seperti UIN di Indonesia.9 Dalam perjalanan selanjutnya integrasi tersebut ternyata telah merambah hampir semua cabang ilmu, termasuk yang selama ini dikenal dengan bidang ilmu kealaman atau sains dan teknologi. Sejumlah karya telah lahir, baik yang membahas dasar-dasar paradigma keilmuan secara umum atau yang terkait dengan bidang tertentu saja.10 Karena itu tampak alamiah saja ketika dalam membincangkan ilmu dan agama “integrasi” menjadi kata kunci
8
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), h. 1-2 9 Husni Thoyyar, Konsep Wahyu Memandu Ilmu: Paradigma Keilmuan dan Landasan Kurikulum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, (Bandung: Gunung Djati Press, 2010), h. 3 10 Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi,..., h. 79
5
dalam mengungkapkan sikap yang dianggap paling tepat, khususnya dari sudut pandang umat beragama agar bisa lebih bermakna dan menjadi rahmat bagi umat manusia, atau bahkan keseluruhan alam semesta.11 Berbagai perubahan di era global yang ditandai dengan WTO, AFTA, APEC membuat masyarakat (baca: masyarakat keagamaan) di masa depan akan sangat terbuka disertai ketergantungan kultur yang bersifat global. Tenaga kerja dari luar negeri yang akan masuk ke tanah air tidak dapat dibendung. Kecenderungan ini diperkuat oleh laju perkembangan teknologi informasi yang dengan mudah dapat diakses dan dapat mengubah sikap moral, sosial dan intelektual seseorang dalam waktu cepat. Sektor jasa dan pariwisata akan tumbuh menjadi paradigm baru ekonomi, sedang kehidupan sosial-politik dan keagamaan akan berubah bentuk dan fungsinya secara cepat sesuai dengan irama dan laju keterbukaan di tanah air.12 Tantangan di era globalisasi menuntut respons tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum Muslimin tidak hanya ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka reorientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan
11
Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, dan Afnan Anshori, Integrasi Ilmu dan Agama, (Bandung,:Mizan, 2005), h. 17 12 M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum Dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik Ke Arah TeoantroposentrikIntegralistik)” , dalam Nanat Fatah Nasr dan Hendriyanto Attan, Strategi Pendidikan Upaya Memahami Wahyu Dan Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 19
6
merupakan keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang terjadi.13 Dalam Islam, secara paradigmatik, integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama itu dilandaskan pada tawhidiq system, yakni menempatkan Allah sebagai awal dan akhir dari segalanya. Dalam perspektif ini, maka integrasi dilakukan antara ilmu umum, yakni ayat-ayat alam semesta atau wahyu tidak tertulis (kawniyyah) dan ilmu agama, yakni ayat-ayat al-Qur’an atau wahyu tertulis (qawliyyah). Hanya saja para pemikir Barat membawa kegiatan akademik dan intelektual lebih menekankan pada pentingnya kawniyyah dan menafikan qawliyyah. Itulah yang sering kali dikenal dengan empirisme atau positivisme: yang ada, yang nyata, dan yang benar itu hanyalah yang diindera dan dirasakan (mahsusi) dan menolak yang ghaib atau metafisik (ma‟quli), 14. Dari paradigma integratif seperti itulah kemudian lahir Visi Akademik atau Visi Keilmuan baru di sejumlah PTAI (UIN, IAIN, dan STAIN). Misalnya UIN Sunan Kalijaga yang telah mengenalkan konsep Integrasi dan Interkoneksi. Integrasi yang dimaksud yaitu “menghubungkan dan sekaligus menyatukan antara dua hal atau lebih (materi, pemikiran, atau pendekatan)”, sedangkan interkoneksi adalah “mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih (materi, pemikiran, atau pendekatan) karena tidak mungkinnya
13
M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum Dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik Ke Arah TeoantroposentrikIntegralistik)”, …, h. 19 14 Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, ..., h. 84
7
dilakukan penyatuan (integrasi)”.15 Yaitu dengan model metafora spider web. Model tersebut akan dibahas pada bab berikutnya.
Gambar 01 Metafora spider web UIN Yogyakarta
Selain UIN Sunan Kalijaga yang telah menanmkan konsep Integrasi dan Interkoneksi, UIN Sunan Gunung Djati juga telah menamkan konsep integratif-holistik. Berbeda dari Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang cenderung mendalami ilmu-ilmu umum, UIN Sunan Gunung Djati Bandung nantinya akan mengemban dua misi sekaligus. Ia menjadi lembaga tempat berkembangnya ilmu-ilmu agama, sekaligus juga ilmu-ilmu umum. Tanggung
15
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, ..., h. 85
8
jawab ganda ini berimplikasi pada cara pengembangan yang berbeda namun tak terpisahkan, baik menyangkut materi maupun metodologi. Hal tersebut secara normatif didasarkan kepada firman Allah SWT dalam al-qur’an surat alImron ayat 190-191
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (Q.S. Al-Imron ayat 190-191).16 Dan surat Ad-Dzariyat ayat 56
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S.Ad-Dzariyat: 56).17
16 17
Q.S. Al-Imron ayat 190-191 Q.S. Ad-Dzariyat ayat 56
9
Karakteristik ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum sebenarnya bagaikan dua mata sisi mata uang yang berbeda namun tidak terpisahkan. Dalam sejarah keilmuan, ilmu-ilmu umum berkembang pesat dalam sebuah tradisi pembuktian ayat-ayat kawniyah yang menyandarkan pada objektivitas dan kebenaran ilmiah. Sedangkan ilmu-ilmu keIslaman telah meluaskan cakupannya dalam tradisi sejarah ilmu yakni perkembangan ilmu yang menyandarkan kepada kebenaran akhir yang dipesankan melalui ayat-ayat qur’aniyah.18 Di UIN Sunan Gunung Djati digambarkan dengan metafora roda ilmu.
Gambar 02 Metafora Roda Ilmu UIN Bandung
18
Nanat Fatah Nasr, “Merumuskan Landasan Epistemologi Pengintgrasian Ayat Qur‟aniyah Dan Kawniyah” , dalam Nanat Fatah Nasr dan Hendriyanto Attan, Strategi Pendidikan Upaya Memahami Wahyu Dan Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 138-139.
10
Dari uraian diatas penulis tertarik untuk membahasnya dengan sekaligus merumuskan judul “PENDIDIKAN ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung)” sebagai upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Qur'an dan AlHadits, sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalannya dari umat lain, khususnya Barat dengan paradigma keilmuan yang telah dikembangkan oleh Universitas Islam Negeri di Indonesia yaitu konsep integrasi-interkoneksi keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan konsep integratif-holistik keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
B. Rumusan Masalah Dengan berbagai pertimbangan yang penulis kemukakan dalam latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana konsep keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung? 2. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan konsep keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung?
11
3. Bagaimana Implikasi Paradigma keilmuan Pendidikan Tinggi Islam Integratif Untuk Menuju Islam Rahmatan lil „alamin? Untuk memperjelas maksud dan tujuan yang terkandung dalam penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan secara garis besar tentang pengertian yang ada dalam judul penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a. Pendidikan Islam Pendidikan Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.19 Dengan demikian secara sederhana pendidikan islam diartikan sebagai praktik pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam. b. Integratif Pada dasarnya, integrasi direalisasikan dalam dua bidang : Pertama dalam studi Islam sendiri. Artinya, studi Islam yang telah terbagi menjadi kotakkotak berupa bidang-bidang atau disiplin-disiplin tertentu harus mampu diintegrasikan dan dihubungkan antara satu dengan yang lain. Kebanggaan satu disiplin yang sering kita saksikan selama ini menjadi tidak relevan. Kedua, integrasi antara ilmu agama atau Islam dan Ilmu umum.20 Maksud integratif adalah menghubungkan dan sekaligus menyatukan antara dua
19 20
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2008), h. 86 Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi. ..., h. 83-86
12
hal atau lebih (materi, pemikiran, atau pendekatan) terutama ilmu agama dan ilmu umum. c. Konsep ilmu Konsep ilmu yang dimaksud dalam kajian ini adalah sesuai dengan makna generiknya, yang mencakup ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan humaniora (humanities).21 Dari penegasan istilah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa maksud dari Pendidikan Islam Integratif Studi Konsep Keilmuan di UIN Yogyakarta dan UIN Bandung adalah pendidikan Islam yang berusaha mengakhiri dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum. Dengan kehadiran UIN Yogyakarta dan UIN Bandung diharapkan mampu menjawab kritikan-kritikan yang selama ini ditujukan pada Pendidikan Tinggi Agama Islam atau lembaga pendidikan pada umumnya.
C. Tujuan Penelitian Dengan mengumpulkan data yang relevan dengan penelitian dan berdasarkan pengolahan data yang sesuai dengan masalah-masalah yang telah di rumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis konsep keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
21
Husni Thoyyar, Konsep Wahyu Memandu Ilmu: Paradigma Keilmuan dan Landasan Kurikulum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, ...., h. 23
13
2. Untuk menemukan tentang Persamaan dan Perbedaan konsep keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. 3. Untuk menjelaskan Implikasi Paradigma keilmuan Pendidikan Tinggi Islam Integratif Untuk Menuju Islam Rahmatan lil „alamin.
D. Maanfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan mampu mendorong civitas akademika di Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pembentukan tradisi baru perguruan tinggi yang nantinya menghasilkan produk-produk keilmuan unggulan yang memenuhi kebutuhan antara lain: Menambah khasanah keilmuan Islam terutama bidang pendidikan Islam yang dikaitkan dengan dunia pendidikan untuk peningkatan kemaslahatan kehidupan umat manusia, mendorong terwujudnya kajian kritis, inovatif dan transformatif dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer dan bagi penulisan-penulisan sejenis. Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat membuka ruang bagi komunitas ilmiah dan masyarakat umum untuk melihat secara kritis terhadap konsep keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
E. Studi Kepustakaan Di dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan referensi guna menghasilkan sebuah karya yang ilmiah. Dalam proses pembuatan penelitian ini, penulis telah menemukan buku-buku dan karya ilmiah seperti Jurnal
14
Penelitian, buku literatur dan menganalisa buku-buku dan karya ilmiah tersebut untuk menghasilkan sebuah penelitian yang benar-benar ilmiah. Diantara bukubuku tersebut adalah sebagai berikut : Dalam buku yang berjudul Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonekti karya M. Amin Abdullah menjelaskan bahwa gagasan paradigma integrasi-interkoneksi tampil memukau dan mencoba untuk memecahkan kebuntuan dari problematika kekinian. Sehingga dari berbagai disiplin keilmuan itu tidak hanya sampai pada sikap single entity (arogansi keilmuan: merasa satu-satunya yang paling benar), isolated entities (dari berbagai disiplin keilmuan terjadi “isolasi”, tiada saling tegur sapa), melainkan sampai pada interconnected entities (menyadari akan keterbatasan dari masing-masing disiplin keilmuan, sehingga terjadi saling kerjasama dan bersedia menggunakan metode-metode walaupun itu berasal dari rumpun ilmu yang lain).22 Dalam buku yang berjudul Studi Islam Integratif di Indonesia (Studi Islam Normativitas, Historisitas, dan Integralistas-Interkoneksitas), karya Waryani Fajar Riyanto menjelaskan bahwa dalam buku tersebut memetakan tempat-tempat ilmu sekuler seperti psikologi, sosiologi dan sebagainya serta menjelaskan tentang beberapa institusionalisasi studi Islam integralis dengan menggambarkan konsep-konsep keilmuan di sebagian PTAIN di Indonesia. Ada beberapa konsep tentang studi Islam integralis yang telah di gunakan oleh Perguruan Tinggi Islam di Indonesia yang telah berhasil mentransformasikan 22
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif, Adib Abdushomad (ed.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. III, h. 404-405.
15
dari IAIN menjadi UIN, serta beberapa pandangan tentang konsep studi Islam integralis, diantaranya: 1.
Konsep “Integratif-Interkonektif: Spider Web” UIN Jogja Konsep keilmuan yang menyertai perubahan IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dilandasi oleh konsep “Integrasi-Interkoneksi” yang direpresentasikan dengan metafora “Paradigma Keilmuan Jaring Laba-laba (spider web)” yang dikembangkan oleh M. Amin Abdullah. Adalah sebuah pendekatan dalam pembidangan matakuliah yang mencakup tiga dimensi pengembangan ilmu, yakni: hadārah an-nas, hadārah al-falsafah, dan hadarah al-„ilm yang berupaya mempertemukan kembali antara ilmu-ilmu keislaman (Islamic sciences) dan ilmu-ilmu umum (modern sciences).23 Pandangan keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berpusat pada al Qur’an dan as Sunnah Nabi. Al Qur’an dan as Sunnah Nabi sebagai sentral ini melalui berbagai pendekatan dan metodologi menjiwai dan memberi inspirasi bagi ilmu-ilmu yang ada pada lapisan berikutnya, yaitu lapisan ilmu-ilmu keislaman klasik, ilmu alam, social, dan humaniora serta ilmu-ilmu kontemporer.24 Konsep Integrasi-Interkoneksi sebagai pandangan keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dapat diimplementasikan pada empat level,
23
Waryani Fajar Riyanto, Studi Islam Integratif di Indonesia (Studi Islam Normativitas, Historisitas, dan Integralistas-Interkoneksitas), (Yogyakarta: Mahameru Press. 2012), h. 394 24 Waryani Fajar Riyanto, Studi Islam Integratif di Indonesia (Studi Islam Normativitas, Historisitas, dan Integralistas-Interkoneksitas), ..., h. 397
16
yaitu: (1) level filosofis, (2) level materi, (3) level metodologi, dan (4) level strategi.25 2.
Konsep “Integratif-Holistik: Roda Ilmu” UIN Bandung (10 Oktober 2005) Salah satu buku ilmiah yang secara komprehensif telah menjelaskan
tentang paradigma keilmuan UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah, disertasi karya Husni Thoyyar yang berjudul: “Konsep Wahyu Memandu Ilmu: Paradigma Keilmuan dan Landasan Kurikulum Universitas islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung”. Pandangan dasar atau premis dasar keilmuan WMI adalah integratif-holistik, menjadikan tauhid sebagai landasannya, sumber ilmu adalah ayat-ayat Tanziliyah-Qur‟aniyyah-dan Kauniyyah, menolak pandangan dikhotomik terhadap ilmu antara ilmu-ilmu agama di satu sisi dengan ilmu-ilmu umum di sisi yang lain, menolak ide netralisme ilmu (value free/al-munfasilah „an al-qimah), penolakan terhadap ideologi saintisme, ilmu merupakan sarana ibadah, serta ilmu berorientasi pada kemaslahatan. Padangan
WMI
UIN
Sunan
Gunung
Djati
Bandung
secara
metamorfosis digambarkan sebagai sebuah “Roda Ilmu”, yang didalamnya dapat diklasifikasi bagian-bagiannya yang terdiri dari poros (as), velg (jarijari), dan ban luar. Di dalam roda itu, terdapat berbagai titik persentuhan yang memungkinkan dibangun suatu kerangka keilmuan yang integratif-holistik. Integrasi yang tergambar merupakan satu-kesatuan terpadu yang apabila salah satu komponen hilang, maka tidaklah disebut roda. Demikianlah, maka 25
Waryani Fajar Riyanto, Studi Islam Integratif di Indonesia (Studi Islam Normativitas, Historisitas, dan Integralistas-Interkoneksitas), ..., h. 398
17
pandangan keilmuan yang integratif memiliki makna bahwa keseluruhan ilmu yang bersumber dari Allah sebagai sumber dari segala sumber bersifat terpadu. Sementara, sifat holistik, pada roda berarti bahwa ia merupakan keseluruhan sistemik yang membangun struktur roda sebagai suatu sistem yang dinamis.26 Dalam
buku
yang
berjudul
Pengembangan
dan
Aktualisasi
Pengembangan Pendidikan Islam karya Muhaimin, yang menggarisbawahi pentingnya pemikiran yang tidak hanya melayang di awang-awang tetapi juga harus diaktualisasikan dalam praktik pengembangan pendidikan Islam, sehingga gagasan-gagasan tersebut dirasakan oleh dan bermakna bagi masyarakat.27 Dalam buku yang berjudul Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi) karya Asmaun Sahlan yang memberikan salah satu tawaran bagaimana problematika Pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan di sekolah selama ini dapat dicarikan solusinya yaitu dengan mewujudkan budaya religius di sekolah. Hal ini sekaligus sebagai upaya mengembangkan Pendidikan Agama Islam agar pembelajaran agama Islam bisa berlangsung secara efektif yang pada akhirnya tercipta pribadi yang beriman, bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan individu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.28Untuk menerapkan budaya
26
Waryani Fajar Riyanto, Studi Islam Integratif di Indonesia (Studi Islam Normativitas, Historisitas, dan Integralistas-Interkoneksitas),..., h. 379-380 27 Muhaimin, Pengembangan dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. v. 28 Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi), (Malang: UIN-Maliki Press, 2009), h.v
18
religius tersebut sangat memerlukan peran pendidik dalam menggunakan pendidikan islam yang integratif. Pendidikan Islam menurut Syed Ali Ashraf dan Syed Sajjad Husein yang dikutip oleh Moh. Roqib dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat adalah suatu pendidikan yang melatih jiwa murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis ilmu pengetahuan, mereka dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Mereka dilatih dan mentalnya menjadi begitu berdisiplin sehingga mereka ingin mendapatkan ilmu pengetahuan bukan semata-mata memuaskan rasa ingin tahu intelektual mereka atau hanya memperoleh keuntungan materiil saja, melainkan untuk berkembang sebagai makhluk rasional yang berbudi luhur dan melahirkan kesejahteraan spiritual, moral dan fisik bagi keluarga, bangsa, dan seluruh umat manusia.29 Dalam jurnal Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 dengan judul Perspektif Amin Abdullah Tentang Integrasi Interkoneksi Dalam Kajian Islam menjelaskan bahwa Adanya dikotomi keilmuan yang memisahkan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama merupakan kenyataan yang memprihatikan dan menjadi academic crisis bagi Amin Abdullah. Dalam kajian keagamaan (kajian keislaman) terdapat tumpang tindih antara yang sakralitas-normativitas (agama) dengan yang
29
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 21
19
profanitas-historisitas (kepentingan lembaga-lembaga kekuasaan), sehingga seringkali terjadi ketegangan-ketegangan di antara satu dengan yang lain. Studi
dan pendekatan agama yang bersifat empiris-historis-kritis dan paradigma interkoneksitas akan dapat menyumbangkan jasanya untuk mengurangi kadar dan intensitas ketegangan (tension)
tersebut, tanpa
harus berpretensi
dapat
menghilangkannya sama sekali. Lewat kajian dan pendekatan agama yang bersifat kritis-historis, yakni lewat analisis yang tajam terhadap aspek historis yang diramu dengan
paradigma
interkoneksitas
akan
mampu
menjernihkan
duduk
“keberagaman” manusia. Paradigma Interkoneksi-Integrasi ala Amin Abdullah adalah salah satu opsi pemikiran agar ragam kajian keisalaman dapat berkembang lebih komprehensif. Paradigma ini memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyah/hadarah an-nas dengan ilmu-ilmu qauniyah/hadarah al-ilm, maupun dengan hadarah al-falsafah berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain.30
Meskipun ada kemiripan dengan hasil penelitian-penelitian di atas, namun penelitian ini berbeda dengan yang sudah ada. Fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah bagaimana Pendidikan Islam Integratif (konsep keilmuan Universitas Islam Negeri Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Bandung).
30
Siswanto dosen Fakultas Ushuluddin Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik, PERSPEKTIF AMIN ABDULLAH TENTANG INTEGRASI INTERKONEKSI DALAM KAJIAN ISLAM dalam Jurnal Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 2 Desember 2013, h. 31
(INKAFA)
20
F. Kerangka Teoritis Dalam Islam, secara paradigmatik, integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama itu dilandaskan pada tawhidiq system, yakni menempatkan Allah sebagai awal dan akhir dari segalanya. Dalam perspektif ini, maka integrasi dilakukan antara ilmu umum, yakni ayat-ayat alam semesta atau wahyu tidak tertulis (kawniyyah) dan ilmu agama, yakni ayat-ayat Al-Qur’an atau wahyu tertulis (qawliyyah). Pada masa awal Islam, integrasi keduanya selalu menjadi ciri kegiatan akademik para ilmuwan Islam. Begitu pula, sejumlah pemikir Barat melakukan hal yang sama. Sayangnya, masa Barat modern membawa kegiatan akademik dan intelektual pada penekanan pentingnya yang kawniyyah dan seringkali menafikan yang qawliyyah. Itulah yang seringkali dikenal dengan empirisme atau positivisme: yang ada, yang nyata, dan yang benar itu hanyalah yang bisa diindra dan dirasakan (mahsusi) dan menolak yang ghaib atau metafisik (ma‟quli). Saat ini, umat Islam kemudian lebih banyak terekspos dengan literatur Barat yang dikhotomik dan menekankan pada empirisme dan positivisme dan sedikit sekali mengenal kegiatan akademik dalam tradisi Islam yang bersifat integratif antara kawniyyah dan qawliyyah. Akibatnya, kegiatan penelitian saat ini lebih dipahami sebagai kegiatan di lapangan dan jarang sekali yang berangkat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak mendorong umat manusia untuk mengkajinya lebih jauh.31 Secara umum, istilah dan kata-kata yang seringkali digunakan adalah integrasi antara ilmu dan agama (science and religion). Hal ini disebabkan oleh
31
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi,..., h. 84-85
21
realita bahwa ada sejumlah ilmuwan yang menolak intervensi kaum agamawan yang menolak kehadiran ilmu dan ilmuwan yang dipandang tidak jarang menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Relasi ilmu dan agama ini terlihat, antara lain, pada ungkapan: “ilmu tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa ilmu buta.” Namun ada juga sejumlah kalangan yang menolak kemungkinan terjadinya integrasi antara ilmu dan agama dengan argumen: ilmu berasal dari manusia yang relatif dan profan, sedangkan agama berasal dari Tuhan yang absolut dan sakral. Atas dasar ini, maka kemudian muncul pemikiran bahwa integrasi itu adalah antara ilmu dan pemahaman tentang agama, dan dari sini pula kemudian dikenal istilah integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama (secular and religious sciences).32 Salah satu istilah yang paling populer dipakai dalam konteks integrasi Ilmu agama dan Ilmu umum adalah kata "Islamisasi". Menurut Echol dan Hasan Sadely, kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti Pengislaman. Dalam kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring within Islam.33 Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dimunculkan oleh isma'il
Raji
Al-Faruqi
dari
lembaga
Pemikiran
islam
Internasional
(internasional institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an. Gagasan ke arah Islamisasi Pengetahuan sebelumnya sudah dicetuskan oleh M Naquib Al-attas.34 Dalam konteks Islamisasi Pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencarian ilmu (thalib al-ilmi)-nya, bukan ilmu itu 32
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi,..., h. 83-84 Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, ..., h. 141. 34 Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etik,..., h. 7. 33
22
sendiri. Begitu pula yang harus mengakui bahwa manusia berada dalam suasana dominasi ketentuan Tuhan secara metafisik dan aksiologi adalah manusia sebagai pencari ilmu, bukan ilmu pengetahuan.35 Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metodemetode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, Yaitu tauhid. Dari tauhid, ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan artinya, bahwa pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Kesatuan sejarah yaitu pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia. Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid atau konteks kepada teks.36 Terkait dengan gagasan kearah Islamisasi ilmu pengetahuan, ada 3 hal temuan ilmiah terpenting dalam dunia Islam yang ditemukan oleh Naquib alAttas, penemuan tersebut adalah; (1) problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan; (2) ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia barat; dan (3) umat Islam, oleh karena itu, perlu
35 36
Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, ..., h. 141. Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etik,..., h. 8.
23
mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan mengislamkan simbolsimbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran37 Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan oleh al-Attas didasari oleh asumsi bahwa pengetahuan yang berkembang di Barat banyak mewariskan anomali, diantaranya pemahaman yang tidak adil dan etnosentrik yang telah menyebabkan kekacauan global, bukannya perdamaian dan keadilan. Selain itu pengetahuan Barat yang bercorak atheistik, mengangkat peraguan dan pendugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Ilmu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun diatas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut al-Attas ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat yang kelimanya saling berkait-kelindan (inter-related characteristics): (1) Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; (2) mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran; (3) membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan dunia sekuler; (4) pembelaan terhadap doktrin humanisme; (5) peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transcendental, atau kehidupan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia38
37
Wan Moh Nur Wan Daud. The Educational Philosopy and Practice of syed Muhamad Naquib al-attas,. Terj, Hamid fahmi, dkk. Filsafat dan Praktek pendidikan Islam , Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), h. 317. 38 Wan Moh Nur Wan Daud. The Educational Philosopy and Practice of syed Muhamad Naquib al-attas, ..., h. 333-334.
24
Dari berbagai pengertian dan model islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan intlektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Qur'an dan Al-Hadits nabi, sehingga umat islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalannya dari umat lain. Khususnya Barat. Peradaban muslim tidak lebih ditentukan oleh masa sejarah atau ruang geografi tertentu ketimbang oleh ajaran-ajaran Qur’an dan Sunnah. Peradaban muslim merupakan sebuah kontinum sejarah : ia ada pada masa lampau, ada pada masa kini dan akan ada di masa depan. Setiap langkah menuju masa depan memerlukan elaborasi lebih jauh mengenai pandangan dunia Islam, sebuah invokasi atau prinsip-prinsip dinamis ijtihad yang memungkinkan peradaban muslim mampu mendengarkan situasi-situasi yang selalu berubah. Apakah peradaban itu sedang mekar berkembang atau mengalami keruntuhan atau bahkan berhenti sama sekali, tergantung pada upaya yang dilakukan oleh ummat muslim untuk memahami dan mengelaborasi ajaran-ajaran Islam dalam menanggapi tantangan-tantangan baru. Secara esensial kita sedang menghadapi tujuh tantangan besar. Kendatipun demikian, tidak ada satu pun diantaranya yang bisa ditangani secara terpisah. Jika kita menggambarkan peradaban muslim dalam skema bentuk bunga, maka kita dapat mengidentifikasi tujuh bidang yang memerlukan elaborasi kontemporer itu.
25
Gambar 03 Skema bentuk bunga peradaban muslim
Pada pusat bunga, terletak pandangan-pandangan Islam, ia memproduk benih-benih untuk pertumbuhan dan perkembangan masa depan. Pusat inti dikelilingi oleh dua lingkaran konsentaris yang melambangkan manifestasimanifestasi utama pandangan dunia Islam : epistemologi dan syariah. Empat daun bunga primer melambangkan ekspresi-ekspresi luar yang terpenting dari weltanschaung : struktur sosial dan politik, kegiatan ekonomi, sains dan teknologi, serta lingkungan. Bunga itu juga memiliki beberapa helai daun
26
bunga yang melambangkan bidang-bidang seperti arsitektur, kesenian, pendidikan, perkembangan komunitas, perilaku sosial dan seterusnya.39 Ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari pandangan dunia dan sistem keyakinan. Dari pada “mengislamkan” disiplin-disiplin ilmu yang telah berkembang dalam ilmu sosial, etik dan kultur barat, kaum cendekiawan muslim lebih baik mengarahkan energi mereka untuk menciptakan paradigmaparadigma Islam, karena dengan itulah tugas untuk memenuhi kebutuhankebutuhan urgen masyarakat muslim bisa dilaksanakan.40 Beberapa mode pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:41
Gambar 04 Beberapa Mode Pemikiran 39
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h.7-9. 40 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, ..., h.35 41 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, ..., h.41
27
Dengan Pendidikan Islam ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Dan di pihak lain perasaan beragama yang didukung oleh ilmu pengetahuan itu juga akan semakin mantap. Hubungan ilmu dengan ketuhanan yang diajarkan agama jelas sekali, ilmu mempercepat anda sampai tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan batin. Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang mengeluarkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.42 Dengan basis ilmu pengetahuan dari peradaban muslim, sebuah universitas Islam harus merefleksikan sifat serta karakteristik-karakteristik konseptualnya
yang
esensial
di
dalam
struktur
institusional
dan
organisasionalnya. Universitas Islam harus menjadi semacam mikro-kosmos peradaban muslim, disamping tentu saja, menjadi instrumen untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riset dan intelektual masyarakat muslim kontemporer. Sebagai misal, pada inti-pusat setiap Universitas Islam harus ada semacam program riset dan pengembangan
yang ditujukan untuk studi dan
kontemporisasi konsep-konsep esensial pandangan dunia Islam. Secara tradisional, pandangan dunia Islam, atau sebutlah “ideologi Islam” telah
42
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1996), Cet. III, h. 376-377
28
dipelajari menurut term-term Syariah, Ushul ad-Din, Kalam dan sebagainya. Pendekatan ini telah membatasi diri pada kandungan pemikiran Islam tradisional dan tradisionalisme – dan boleh dikatakan justru menghambat berkembangnya pemikiran inovatif. Dengan demikian, untuk menjadikan pemikiran tradisional relevan bagi masa kini dan masa depan, program riset dan pengembangan harus dibangun di atas suatu matriks konseptual: misalnya program tersebut harus memiliki “departemen-departemen” yang khusus ditujukan untuk studi dan pemahaman kontemporer mengenai konsep-konsep kunci Islam seperti Tauhid, Risalah, Khilafah, Ibadah, Adl, Istishlah dan Syariah. Di dalam departemen-departemen ini semua landasan-landasan tradisional harus dicakup seluas mungkin, misalnya seperti yang dicakup oleh Fakultas-fakultas Syariah, Ushul ad-Din dan Da‟wah wa al-Ilam di Universitas Islam Internasional, Islamabad. Meskipun demikian, kini perhatian harus dialihkan pada kontemporisasi: Departemen-departemen Risalah misalnya tidak harus memproduk para alim yang mampu menghafal 5.000 atau lebih hadits shahih Bukhari (orang tidak mungkin mengharapkan mereka mampu menghafal sebanyak itu di kepala mereka lebih dari yang bisa dicapai oleh sebuah Compact Disk ROM), tetapi justru harus lebih mengupayakan relevansinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern dengan segala kompleksitasnya.43
43
h.106-107
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam,...,
29
Gambar 05 Program riset dan pengembangan pemikiran tradisional
Menurut penulis, melalui pendidikan Islam integratif tersebut adalah sebagai satu pilar peradaban manusia, ilmu tidak bisa lepas dari perhatian agama-agama dunia. Dalam konteks Indonesia, upaya memberikan suatu warna keagamaan dalam pendidikan telah menjadi perhatian perguruan-perguruan tinggi keagamaan yang bagus sesuai dengan ajaran agama Islam yang rahmatan lil „alamin melalui konsep keilmuan yang bagus.
30
G. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Penulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (Library Research),44 artinya, penelitian ini dilakukan melalui karya-karya ilmiah, baik yang tertuang dalam buku, majalah, jurnal, makalah, artikel atau apapun yang berkaitan dengan topik pembahasan. Secara garis besar, penulisan dalam kategori library research ini terdiri dari dua tahap, yaitu pertama, tahap pengumpulan data, dan tahap kedua adalah tahap pengolahan dan analisis data. a. Tahap Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data dilakukan melalui metode dokumentasi terhadap data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari buku-buku yang berkaitan dengan integrasi keilmuan Universitas Islam Negeri di Indonesia, seperti buku yang berjudul Islamic Studies di Perguruan tinggi pendekatan integratif-interkonektif karya M. Amin Abdullah, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Biografi Intelektual M. Amin Abdullah (1953 -…) Person, Knowledge and Institution karya Waryani Fajar Riyanto, dan Konsep Wahyu Memandu Ilmu Paradigma Keilmuan dan Landasan Kurikulum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung karya Husni Thoyyar dan buku-buku lain serta artikel-artikel yang membahas tentang konsep keilmuan Universitas Islam Negeri Di Indonesia. Sedangkan data sekunder diambil dari karya, dokumen, artikel dan buku-buku lain yang 44
Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penulisan Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1990), h. 63
31
berkaitan dengan pendidikan Islam integratif, antara lain buku yang berjudul Pendidikan Islan Integratif (Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam) karya Jasa Ungguh Muliawan, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum karya Abuddin Nata, dkk, dan tulisan-tulisan lainnya.45 b. Tahap Analisis Data Seluruh data yang telah didapat dari berbagai sumber tersebut akan diidentifikasi mana saja konsep keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Kemudian metode analisis data digunakan untuk membedah secara konsepsional atas suatu pernyataan yang berhubungan dengan objek penulisan, sehingga dapat memperoleh kejelasan arti atau makna yang dikandung dalam pernyataan tersebut.46 Kemudian dipahami, dan selanjutnya diinterpretasikan sehingga dapat ditangkap arti dari konsep-konsep Keilmuan yang ada di UIN Yogyakarta dan UIN Bandung. Selain itu, secara keseluruhan data-data tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode deduktif. Metode
deduktif
digunakan
untuk
melakukan
kajian
yang
komprehensif tentang konsep keilmuan yang dikembangkan dan digunakan di UIN Yogyakarta dan UIN Bandung.
45
Winarno, Pengantar Penulisan Filsafat: Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1987), h.132 46 Sudarto, Metodologi Penulisan Filsafat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1996), h .60
32
2. Pendekatan Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan filosofis47, artinya pendekatan yang mencari pola-pola keterkaitan antara satu data dengan data yang lain tentang pemikiran integrasi keilmuan yang ada di dalam karya-karya tentang paradigma konsep keilmuan di UIN Yogyakarta dan UIN Bandung untuk mengungkapkan maknanya dalam konteks umum. Data-data yang terkait dengan konsep keilmuan di UIN Yogyakarta dan UIN Bandung ini dikumpulkan dan dicari hubungan logisnya satu dengan yang lainnya dan dipahami dalam kerangka yang lebih umum. Pendekatan ini penulis anggap cukup efektif, karena di satu sisi dapat mengungkap keterkaitan logis dari konsep keilmuan di UIN Yogyakarta dan UIN Bandung dan di sisi lain dapat mempunyai ciri kritis karena dapat menunjukkan persamaan dan perbedaan antara konsep keilmuan di UIN Yogyakarta dan UIN Bandung.
H. Sistematika Pembahasan Sistematikan pembahasan dalam penulisan ini dibagi menjadi lima bab dan masing-masing bab dicabangkan kepada beberapa sub-bab untuk mencapai pembahasan yang utuh dan sistematis. Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
47
Anton Baker dan A. Charis Zubair, Metodologi, Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 17
33
manfaat penelitian, studi kepustakaan, metodologi penulisan dan sistematika penulisan. Bab kedua, adalah Landasan teori, yang membahas tentang Paradigma Pendidikan Islam Integratif. Pada bab ini akan dibahas mengenai paradigma pendidikan Islam, pengertian dan sejarah integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmuilmu umum, konsep pendidikan Islam integratif dan model-model integrasi keilmuan di Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia. Bab ketiga, adalah Konsep Keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang diperjelas dengan beberapa sub bab diantaranya tentang sejarah munculnya konsep keilmuan integratif di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, konsep integrasi-interkoneksi keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan integratif-holistik keilmuan UIN Sunan Gunung Djati Bandung serta persamaan dan perbedaan antara model keilmuan spider web (jaring laba-laba) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan model keilmuan roda ilmu UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pada bab keempat adalah Analisis terhadap Konsep Keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang diperjelas dengan beberapa sub bab diantaranya analisis terhadap konsep keilmuan integrasi-interkoneksi keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan metafora Spider Web, analisis terhadap konsep keilmuan integratifholistik keilmuan UIN Sunan Gunung Djati Bandung dengan metafora roda
34
ilmu dan Implikasi paradigma keilmuan pendidikan tinggi islam integratif untuk menuju Islam Rahmatan lil „alamin. Terakhir, bab kelima sebagai penutup. Bab ini terdiri dari kesimpulan yang berisikan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, serta beberapa saran dari penulis dalam kaitannya dengan penulisan penelitian ini.