PEMBAHASAN
Pengaruh pemberian minuman bubuk kakao bebas lemak pada 18 orang subyek wanita yang sehat selama 25 hari telah diteliti oleh Yuliatmoko (2007), Amri (2007), Hasanah (2007) dan Erniati (2007). Pada subyek dan produk minuman yang sama dengan yang digunakan pada penelitian ini, para peneliti tersebut melaporkan tentang kapasitas antioksidan pada plasma dan eritrosit, pengaruhnya pada sistem enzim detoksifikasi serta kapasitasnya sebagai imunomodulator. Yuliatmoko (2007) melaporkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak berpengaruh nyata dalam meningkatkan aktivitas antioksidan plasma yang meliputi peningkatan kadar vitamin C plasma, peningkatan antiradikal bebas, dan penurunan nilai malonaldehida (MDA) plasma, serta memperpanjang
phase lag diena terkonjugasi. Di samping itu, konsumsi
minuman bubuk kakao bebas lemak memperlihatkan adanya ketersediaan hayati flavonoid dalam plasma darah subyek. Hasanah (2007) melaporkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan katalase baik pada eritrosit maupun plasma. Selain itu juga dapat menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan aktivitas enzim glutation S-transferase pada eritrosit maupun plasma subyek. Amri (2007) melaporkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan kemampuan oksidatif eritrosit yang ditandai dengan penurunan kadar MDA eritrosit dan peningkatan aktivitas antioksidan eritrosit. Selain itu konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat melindungi membran eritrosit dari kerusakan oksidatif yang ditandai dengan menurunnya persentase lisis yang disebabkan oleh beberapa oksidator. Erniati (2007) juga telah membuktikan bahwa setelah konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak, aktivitas flavonoid kakao dapat menstimulasi proliferasi limfosit T dan limfosit B, yang diduga melalui stimulasi produksi sitokin, terutama IL-1, IL-2 dan IL-4.
69
Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap profil darah subyek yang meliputi jumlah variabel atau komponen darah. Semua senyawa atau makanan, termasuk flavonoid, yang masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi komposisi darah, karena darah berfungsi mensuplai setiap jaringan di tubuh dengan zat gizi dan oksigen, serta membuang sisa metabolisme dan mengangkut karbon monoksida. Efek perlindungan antioksidan flavonoid terhadap plasma darah merupakan gambaran dari perlindungan total terhadap tubuh, karena plasma merupakan tempat bermuaranya berbagai metabolit sel tubuh (Engler et al 2004; Linder 1992). Efek konsumsi bubuk kakao bebas lemak dalam bentuk minuman terhadap profil darah sangat penting diketahui untuk menentukan status kesehatan konsumen setelah mengkonsumsi, serta mengetahui keamanan produk minuman tersebut. Pada penelitian ini subyek wanita sehat sebanyak 18 orang dipilih tidak secara acak. Subyek berumur 21-27 tahun dan merupakan mahasiswa tingkat sarjana atau pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, sehingga semua memiliki latar belakang pendidikan yang sama. Pemilihan subyek ini bertujuan untuk meminimalkan keragaman karena pengaruh hormonal, perbedaan aktivitas seharihari, serta termasuk dalam kelompok umur yang memiliki kesamaan dalam kebutuhan nutrisi makanan dan metabolismenya. Flavonoid dalam bubuk kakao bebas lemak termasuk senyawa xenobiotik. Metabolisme senyawa xenobiotik dilaporkan bervariasi antara gender organisme terhadap suatu senyawa tertentu yang berasal dari jaringan tertentu. Mooney et al (2005) melaporkan bahwa pada studi suplementasi vitamin antioksidan pada wanita perokok dapat menurunkan 31% level benzo(a)pyrene-DNA adduct, sedangkan
pada pria perokok pengaruhnya tidak berbeda nyata. Efek
suplementasi pada perbedaan gender disimpulkan akibat interaksi pengaruh hormonal dan faktor kebiasaan pada kerentanan genetis atau kerentanan metabolik sehingga mengawali pembentukan DNA adduct. Sedangkan suplementasi antioksidan berperan dalam menghambat pembentukan adduct tersebut. Sehingga pada penelitian ini tanpa mengabaikan adanya kemungkinan perbedaan pengaruh karena jenis kelamin, maka pemilihan subyek semuanya wanita adalah untuk meminimalkan keragaman karena pengaruh hormonal.
70
Secara sosio-demografi, subyek tinggal di tempat yang berdekatan satu sama lain, hal ini untuk memudahkan pengontrolan selama studi suplementasi. Latar pendidikan subyek yang semuanya mahasiswa diharapkan bisa mengurangi efek plasebo yang mungkin timbul karena studi ini didisain secara tidak buta ganda dan menggunakan kontrol. Subyek tampak menjalani kehidupan sehari-hari yang cukup dan membelanjakan lebih dari sepertiga bagian uang sakunya untuk keperluan makan, disamping untuk keperluan sekolah dan jajanan. Sehingga semua subyek yang terlibat dalam penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan dan keadaan sosio-demografi yang seragam. Kondisi subyek yang seragam di awal penelitian (baseline) diperlukan untuk menghindari dan mengontrol data bias yang mungkin timbul (Lenth 2001). Pada penelitian ini subyek harus memenuhi kriteria eksklusi seperti perokok dan memiliki riwayat perokok, memiliki riwayat penyakit jantung atau kelainan pada darah, sedang dalam pengobatan suatu penyakit, mengkonsumsi alkohol, obesitas, diabetes, sedang hamil dan sering mengkonsumsi produk coklat. Antioksidan plasma pada subyek yang perokok, diketahui mengalami penurunan, terutama level vitamin C, karotenoid dan vitamin E dalam serum. Sebaliknya pada perokok terjadi peningkatan level aromatik hidrokarbon polisiklik- DNA adduct dalam plasma, sehingga mempengaruhi aktivitas enzim-enzim detoksifikasi (Mooney et al 2005). Demikian halnya dengan subyek yang gemar mengkonsumsi alkohol atau sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Subyek yang menderita kelainan darah atau mengidap penyakit degeneratif lainnya, disamping terjadi gangguan dalam sistem metabolisme dalam tubuhnya, juga akan memberikan data yang bias terhadap konsentrasi komponen darah yang diukur. Kehamilan dapat menurunkan aktivitas beberapa enzim yang terlibat dalam metabolisme xenobiotik, seperti catechol O-methyltransferase, monoamin oksidase dan konjugasi glukuronida (Hodgson dan Levi 2000). Di samping itu kehamilan juga menyebabkan plasma mengalami peningkatan volume dan massa sel darah merah sehingga menyebabkan nilai hemoglobin menjadi rendah (Gibson 2005). Sehingga pemeriksaan kesehatan klinis perlu dilakukan sebelum suplementasi untuk memastikan bahwa subyek yang terlibat memiliki kondisi
71
kesehatan yang baik dan tidak mengidap penyakit serius yang mempengaruhi penelitian. Indeks berat per tinggi badan memang sering dipilih sebagai indikator status gizi seseorang. Sebagai suatu ukuran komposisi tubuh, indek massa tubuh atau Body Mass Index dapat memenuhi kriteria yang diharapkan yaitu mempunyai hubungan erat dengan jumlah lemak tubuh dan hubungan yang rendah dengan tinggi badan atau komposisi tubuh (Kartono et al 1997). Pengukuran berat badan merupakan pengukuran massa badan yang meliputi jaringan lemak, otot, tulang dan sebagainya (Bray 2002). Body Mass Index (BMI) dapat dihitung berdasar data tinggi badan (m2) dan berat badan (kg), untuk memperkirakan kegemukan atau obesitas tubuh, dan dapat dikaitkan dengan resiko suatu penyakit. Menurut penelitian, obesitas sering berhubungan dengan mortalitas, morbiditas dan kemampuan bereproduksi (Kartono et al 1997). Obesitas sering dikaitkan dengan resiko diabetes, penyakit jantung, paru-paru, kanker hingga gangguan pertumbuhan pada janin (Stipanuk 2000). Sesudah suplementasi minuman bubuk kakao bebas lemak terjadi kenaikan BMI subyek, di mana kenaikan terjadi pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Kenaikan BMI subyek tersebut disimpulkan bukan sebagai akibat konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama suplementasi, karena kenaikan berat badan dialami oleh kedua kelompok. Asupan makanan, aktivitas fisik dan faktor genetis juga dapat mempengaruhi BMI subyek (Eastwood 2003). Hal ini diperkuat oleh Mathur et al (2002); Rein et al (2002a) dan Holt et al (2002) yang menyatakan pada studi suplementasi minuman kakao atau komponen aktifnya pada subyek sehat, tidak mempengaruhi nilai BMI dan status gizinya. Asupan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan energi setiap individu, diperlukan untuk mendukung aktivitas fisik dan kebutuhan kesehatan lainnya (Eastwood 2003). Energi dilepaskan dari karbohidrat, lemak, protein dan alkohol dalam makanan. Kebutuhan energi individu sangat bervariasi tergantung pada proses metabolik, fungsi fisiologis, aktivitas tubuh, produksi panas tubuh, pertumbuhan dan sintesa jaringan baru.
72
Menurut See dan Florentino (1997), kebutuhan energi sehari-hari untuk wanita dengan kelompok umur 19-29 tahun adalah sebesar 1997,19 kcal atau 7955,4 kJ. Pada penelitian ini, tampak bahwa subyek kelompok kontrol dan perlakuan memiliki pola makan yang baik dan mencukupi kebutuhan energi pada kelompok usianya. Perbedaan asupan nutrisi subyek yang tampak, erat kaitannya dengan adanya variasi antar individu. Jumlah energi dan kandungan nutrisi pada menu makanan pagi dan malam yang disediakan peneliti nampak kecil, mengingat jumlah tersebut dihitung dari dua kali menu makan. Bila di sela waktu dua kali makan tersebut subyek masih mengkonsumsi jajanan dan juga makan siang, maka rata-rata asupan energi selama studi diduga tidak jauh berbeda dengan pola makan subyek sehari-hari. Pada penelitian ini data sosio-demografi, kondisi vital, dan asupan makanan dipakai sebagai gambaran subyek pada saat base-line dan bukan merupakan parameter yang diharapkan berubah. Pada awal dan akhir suplementasi perlu dilakukan pencatatan kondisi vital subyek. Data-data tersebut diperlukan untuk mengkontrol bias yang mungkin terjadi. Setelah konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari terjadi penurunan yang nyata pada jumlah hemoglobin, hematokrit dan platelet darah, namun penurunan pada jumlah MCHC, lekosit, granulosit, limfosit dan monosit tidak berbeda nyata. Konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak disimpulkan bukan sebagai penyebab penurunan pada jumlah variabel darah, karena penurunan terjadi pada kelompok perlakuan dan juga kelompok kontrol. Pola makan subyek dan makanan yang dikonsumsi selama penelitian diduga berkontribusi pada penurunan jumlah variabel darah. Berdasarkan hasil wawancara dengan subyek, umumnya mereka menyatakan bahwa pola makan mereka lebih baik selama suplementasi dibandingkan dengan pola makan mereka biasanya. Selama suplementasi berlangsung, setiap menu yang disajikan selalu disediakan nasi sebagai sumber karbohidrat, lauk sebagai sumber protein dan lemak, sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral. Selain itu selama suplementasi berlangsung, subyek juga mengurangi konsumsi makanan jajanan. Menurut Winarno (2004) dan Zakaria et al (1996), dalam makanan jajanan mengandung bahan-bahan pencemar seperti mikoroorganisme, pestisida, logam
73
berat, zat pewarna, zat pemanis dan zat pengawet. Konsumsi makanan jajan yang tercemar bahan kimia berpotensi menaikkan pembentukan senyawa radikal bebas dalam tubuh konsumen. Produksi sel-sel darah dipengaruhi oleh faktor-faktor nutrisi, antara lain ; protein, vitamin B12 , folat, besi, vitamin B6, riboflavin (vitamin B2), asam nikotinat (vitamin B3), asam askorbat, vitamin A, vitamin E dan tembaga (Hendricks et al 2002). Kekurangan atau defisiensi asupan nutrisi-nutrisi tersebut akan mempengaruhi jumlah komponen darah, gangguan metabolisme hingga mengindikasikan adanya gangguan fungsi tubuh lainnya. Protein sangat penting peranannya pada proses diferensiasi sel-sel darah, di mana proses tersebut diatur oleh sitokin dan hormon. Sitokin sendiri merupakan protein, enzim-enzim dan mediator inflamasi yang diproduksi darah juga merupakan protein. Riboflavin dan asam nikotinat merupakan kofaktor yang penting dalam metabolisme tubuh dan metabolisme senyawa xenobiotik. Vitamin B6 berperan dalam membantu metabolisme energi terutama metabolisme asam amino, membantu konversi tryptophan menjadi niasin dan serotonin serta membantu pembentukan sel darah (Linder 1992). Vitamin B12 juga berfungsi dalam pengembangan sel darah merah yang normal dan dalam sintesis DNA. Defisiensi vitamin ini dapat menyebabkan penyakit anemia pernisiosa (Hendricks et al 2002). Asam folat dan zat besi adalah nutrisi makanan yang banyak berperan dalam pembentukan sel darah merah. Zat besi tersimpan dalam semua sel tubuh dan berperan penting dalam sintesis protein zat besi, seperti hemoglobin dan myoglobin serta enzim katalase (Hendricks et al 2002). Vitamin K sangat penting berperan dalam pembekuan darah, yaitu sebagai ko-faktor dalam sintesis protrombin dan protein lainnya yang terlibat dalam pembekuan darah (Linder 1992). Vitamin C berperan penting dalam melindungi tubuh terhadap infeksi, membantu pembentukan jaringan penghubung atau kolagen, membantu penyembuhan luka, memelihara elastisitas dan kekuatan pembuluh darah, serta berperan dalam pembentukan sel darah merah (Eastwood 2003). Vitamin C dikenal juga sebagai antioksidan, berfungsi dalam pengaturan metabolisme zat besi serta sebagai ko-faktor bagi enzim sitokrom P450. Konsumsi bubuk kakao bebas lemak yang mengandung polifenol tinggi dilaporkan mampu meningkatkan kadar vitamin C dalam plasma (Yuliatmoko
74
2007). Beberapa flavonoid berperan sebagai antioksidan bagi asam askorbat (vitamin C). Pada studi in vitro dilaporkan bahwa, flavonoid menghambat konversi askorbat menjadi dehidroaskorbat (Middleton et al 2000). Salah satu mekanisme penghambatan yang bisa dijelaskan antara lain karena flavonoid mengkelat Cu dan logam-logam lainnya, sehingga memperlambat oksidasi asam askorbat yang dikatalis oleh logam. Mekanisme lainnya diduga karena kemampuan flavonoid sebagai aseptor radikal bebas, di mana pembentukan radikal bebas merupakan tahapan yang penting dalam oksidasi askorbat. Kapasitas perlindungan flavonoid terhadap oksidasi askorbat, tergantung dari struktur yang dimiliki flavonoid tersebut. Flavonoid yang memiliki gugus 3’, 4’- OH pada cincin B dan gugus 3-hidroksi-4-karbonil pada cincin γ- piron, secara nyata memiliki aktivitas antioksidan yang besar (Middleton et al 2000). Leung (1981) juga melaporkan adanya interaksi sinergis antara vitamin C dan vitamin E terhadap peroksidasi fosfolipid membran. Vitamin E terdapat di alam sebagai senyawa tokoferol dan tokotrienol, dan α- tokoferol adalah bentuk yang paling aktif. Vitamin E larut dalam lemak melalui sistem limfatik dan di tubuh ditransportasikan dalam lipoprotein. Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan karena memutus rantai otooksidasi lipid dengan cara mendonasikan hidrogen. Selain itu vitamin E berperan dalam melindungi membran sel, meningkatkan respon imun, mengatur agregasi platelet dan mengatur aktivasi protein kinase C. Banyak studi yang meneliti peranan vitamin E sendiri atau dikombinasikan dengan antioksidan lainnya dalam melindungi tubuh terhadap kerusakan oksidatif yang berhubungan dengan berkembangnya kanker, jantung koroner dan penyakit Al-zheimer (Mooney et al 2005, Linder 1992). Hemoglobin merupakan pigmen sel darah merah yang berperan dalam transpor O2 dan CO2. Kandungan polifenol dalam suatu bahan pangan dilaporkan dapat menghambat penyerapan zat besi dalam makanan yang dikonsumsi. Bahkan konsumsi dosis polifenol yang tinggi, bisa menghabiskan simpanan zat besi pada individu dengan status zat besi marjinal (Mennen et al 2005). Hal ini juga akan berakibat menghambat pembentukan hemoglobin dan produksi sel darah merah. Apalagi jika konsumsi polifenol tidak diimbangi dengan konsumsi makanan yang mengandung vitamin C, di mana vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat
75
besi. Efek penghambatan polifenol terhadap penyerapan zat besi baru dapat dibuktikan pada studi secara in vitro dan studi pada hewan coba, sedangkan pengaruhnya pada manusia belum terbukti (Mennen et al 2005). Pada penelitian ini, penurunan jumlah hemoglobin yang terjadi tetap berada pada konsentrasi hemoglobin yang normal. Hal ini diduga karena adanya aktivitas antioksidan dari komponen flavonoid pada kakao bebas lemak yang melindungi sel darah merah dari kerusakan oksidatif (Zhu et al 2005). Menurut Zhu et al (2005), eritrosit mengandung asam lemak tak jenuh ganda dengan konsentrasi yang tinggi, oksigen molekuler, dan ion besi sebagai ligan, oleh sebab itu eritrosit sangat mudah diserang sehingga terjadi stress oksidatif. Amri (2007) juga melaporkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari dapat menurunkan laju hemolisis eritrosit yang disebabkan oleh beberapa oksidator. Hematokrit merupakan perbandingan bagian darah yang mengandung eritrosit terhadap volume seluruh darah yang dihitung dalam %. Pada defisiensi zat besi, hematokrit akan menurun karena hemoglobin yang terbentuk menjadi berkurang. Penurunan hematokrit berarti berkurangnya viskositas darah dan agregasi sel darah merah. Secara teori, penurunan hematokrit dapat meningkatkan aliran darah dan bisa memulihkan aliran darah yang terganggu karena suatu penyakit menjadi normal (Lowe 1988). Heiss et al (2003) dan Fisher et al (2003) melaporkan bahwa subyek yang mengkonsumsi minuman kaya flavanol mengalami peningkatan dilatasi (relaksasi) pembuluh darah yang seiring dengan peningkatan jumlah oksida nitrat (NO) yang bersirkulasi. NO merupakan molekul yang mengeluarkan sinyal penting bagi fisiologi pembuluh darah. Aktivitas NO meningkat apabila terjadi peningkatan jumlah komponen yang ternitrosasi dalam plasma. Pada studi double blind cross over, sebanyak 20 subyek yang sedikitnya memiliki satu faktor resiko penyakit kardiovaskular, seperti jantung koroner, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes, dilibatkan di dalam studi.
Setelah
meminum coklat yang mengandung 176 mg flavan-3-ols (terdiri dari 70 mg epikatekin dan katekin, serta 106 mg prosianidin) dalam 100 ml air, dilakukan pengukuran pada flow-mediated dilation (FMD) pada arteri di tangan dan jumlah
76
NO di plasma subyek. Konsumsi minuman coklat tersebut dilaporkan telah meningkatkan FMD dan jumlah NO plasma subyek maksimal 2 jam setelah konsumsi, namun tidak ada perbedaan yang nyata pada jumlah FMD dan NO pada subyek yang mengkonsumsi minuman coklat dengan kandungan flavan-3-ols < 10 mg (Heiss et al 2003). Pada studi randomized double-blind placebo controlled, sebanyak 22 subyek yang sehat diminta mengkonsumsi 259 mg flavonoid (terdiri dari 213 mg prosianidin dan 46 mg epikatekin) dalam 46 g coklat batangan. Peningkatan FMD dilaporkan terjadi setelah subyek mengkonsumsi coklat selama 2 minggu (Engler et al 2004). Efek stimulasi NO oleh polifenol kakao dilaporkan juga berkontribusi pada penurunan tekanan darah pada manula setelah pemberian dark chocolate (Taubert et al 2003). Bubuk kakao bebas lemak mengandung polifenol sebanyak adalah 4,43 g/ 100 g bubuk kakao (Zairisman 2006). Pada penelitian ini dosis minum bubuk kakao sebanyak 4 g /100 ml air hangat yang berarti mengandung 177,2 mg polifenol. Maka konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari diduga bisa meningkatkan FMD dan jumlah oksida nitrat yang bersirkulasi, sehingga dapat meningkatkan dilatasi pembuluh darah, walaupun lebih lanjut masih perlu dilakukan pengukuran pada FMD dan jumlah NO di plasma. Kemungkinan peningkatan dilatasi ini hanya dapat dilihat pada penurunan jumlah hematokrit (di mana tetap berada pada kisaran nilai normalnya), yang diduga berhubungan dengan penurunan viskositas darah di mana aliran darah menjadi lebih lancar. Penurunan hematokrit juga dapat dipakai sebagai indikator adanya defisiensi zat besi, anemia akut, pendarahan, leukimia, malnutrisi defisiensi vitamin B dan C, infeksi virus, dan kerusakan ginjal. Namun untuk memastikan gejala tersebut perlu dilakukan analisis pada parameter hematologi lainnya, analisis kimia darah dan imunoserologi (Sutedjo 2006; Lowe 1988). Sistem imun tubuh sangatlah komplek di mana sel-sel yang teratur dan sangat rumit harus berada dalam fungsi yang terintegrasi. Sel-sel sistem imun dapat berinteraksi dan memberikan respon terhadap pesan-pesan antar sel seperti hormon, sitokin dan autakoid yang terdapat dalam berbagai sel. Autakoid misalnya histamin, kinin, lekotrien, prostaglandin dan serotonin. Sistem imun dapat dimodifikasi melalui makanan, agensia farmakologis, polutan dan fitokimia
77
dalam bahan pangan seperti vitamin dan flavonoid. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa flavonoid mempengaruhi fungsi sistem imun dan sel-sel inflamasi (Middleton et al 2000). Granulosit adalah lekosit yang bergranula misalnya neutrophil, eosinophil dan basophil. Setelah mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari, terjadi penurunan jumlah granulosit walaupun penurunan tersebut masih berada pada kisaran nilai normalnya. Penurunan yang terjadi tidak hanya pada kelompok perlakuan, tapi kelompok kontrol juga mengalami penurunan. Penurunan ini disimpulkan bukan karena pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Makanan yang dikonsumsi subyek selama suplementasi diduga berkontribusi pada penurunan jumlah granulosit. Penurunan jumlah granulosit (netrofil, eosinofil dan basofil) setelah konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang tetap berada pada kisaran nilai normalnya, diduga karena adanya aktifitas flavonoid kakao bebas lemak yang dapat memodulasi terjadinya inflamasi, yaitu dengan memulung oksigen reaktif intermediet yang dihasilkan sel-sel fagosit, menghambat degranulasi eosinofil serta menghambat proliferasi sel mast dan pelepasan histamin. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ada jenis flavonoid yang dapat menghambat stimulasi pelepasan enzim lisosomal netrofil kelinci. Flavonoid quercetin dilaporkan mampu menghambat sekresi enzim lisosomal yang diinduksi oleh concanavalin A pada netrofil babi serta manusia sehat (Middleton et al 2000). Pada saat terjadi inflamasi atau gangguan sistem imun, akan terjadi peningkatan radikal bebas oksigen dan oksigen reaktif non radikal yang dilepaskan oleh netrofil dan sel fagosit lainnya (Roitt 2002). Beberapa flavonoid diketahui dapat memulung radikal bebas oksigen. Sehingga flavonoid akan sangat mengganggu produksi intermediat oksigen reaktif oleh netrofil dan sel fagosit lainnya. Hal ini diduga karena adanya peran serta NADPH oksidase, yaitu suatu produsen enzim oksidan yang sangat kuat, yang terdapat pada permukaan membran netrofil. Flavonoid juga dapat menghambat myeloperoksidase (MPO) netrofil, yaitu suatu sumber intermediet klorinasi reaktif. Gangguan flavonoid pada produksi intermediet oksigen reaktif oleh netrofil dan sel fagosit lainnya diduga sebagai aktivitas anti inflamasi komponen tersebut (Middleton et al 2000).
78
Pada penelitian lainnya juga dilaporkan bahwa flavonoid juga menghambat pelepasan β-glucuronidase dan [3H] asam arakidonat, yang diduga akan menghambat fosfolipase A2 (Middleton et al 2000). Flavonoid tertentu juga dilaporkan dapat menghambat degranulasi eosinofil yang distimulasi oleh stimulan imunologis atau nonimunlogis. Stimulan tersebut misalnya alergen atau PAF. Degranulasi eosinofil yang distimulasi oleh IgA atau bead yang dilapis dengan IgG, dapat dihambat oleh genistein, di mana pada saat bersamaan beberapa protein yang terfosforilasi juga mengalami penurunan jumlah dan terjadi penghambatan aktivitas PLC (Middleton et al 2000). Basofil merupakan sel mast yang berpatroli di jaringan dan berperan penting dalam patogenesis pada reaksi alergi tahap akhir. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa sejenis flavonoid tertentu dapat menghambat proliferasi sel mast dan pelepasan histamin (Galli 1993). Baik sel mast maupun basofil memiliki reseptor untuk IgE yang berafinitas tinggi pada membran plasmanya. Adanya cross linking dari reseptor-reseptor ini penting dalam memicu sekresi histamin dan mediator inflamasi lainnya. Beberapa flavonoid dilaporkan menghambat proses sekresi ini dalam berbagai sistem (Middleton et al 2000). Limfosit dan monosit adalah lekosit yang tidak bergranula. Setelah konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari, terjadi penurunan pada jumlah total lekosit, limfosit dan monosit. Penurunan juga nampak terjadi pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan bukan karena konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Makanan yang dikonsumsi subyek selama suplementasi diduga berkontribusi pada penurunan nilai, walaupun penurunan tersebut tetap berada pada kisaran jumlah normal masing-masing variabel, dan tidak berbeda nyata antara sebelum dan sesudah suplementasi. Soung et al (2006) melaporkan bahwa pada wanita yang telah menopaus jumlah monosit menjadi lebih tinggi dan jumlah limfosit lebih rendah dibandingkan wanita usia 18-24 tahun. Hal ini diduga karena monosit pada wanita menopaus lebih rentan terhadap inflamasi dibandingkan yang belum menopaus, sebagaimana ditunjukkan dengan nilai tumor nekrosis faktor (TNF)-α yang lebih tinggi. Pada studi menggunakan tikus, flavonoid isoflavon dapat memperbaiki
79
jumlah total lekosit, limfosit dan monosit menjadi normal. Namun studi pada wanita menopaus yang mengkonsumsi 25 g protein kedelai yang mengandung 60 mg isoflavon selama satu tahun, dilaporkan tidak terjadi perubahan jumlah total lekosit, limfosit dan monositnya. Hal ini diduga karena pengaruh defisiensi estrogen pada sistem hematopoietik pada manusia berbeda dengan pada tikus. Lagipula dosis konsumsi isoflavon pada tikus sebesar 25 mg isoflavon per kg BB, sedangkan pada manusia hanya sebesar 1,1 mg isoflavon per kg BB (Soung et al 2006). Pada penelitian ini konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dengan dosis 177,2 mg polifenol pada subyek dengan berat badan rata-rata 51,9 kg, yang berarti memiliki dosis minum sebesar 3,41 mg per kg BB. Suplementasi minuman tersebut selama 25 hari tidak mempengaruhi jumlah total lekosit, limfosit dan monosit, karena perubahan yang terjadi tetap pada kisaran normal. Walaupun tidak mempengaruhi jumlah, namun pada penelitian lain dilaporkan bahwa flavonoid kakao bebas lemak dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit T dan limfosit B, yang diduga melalui stimulasi produksi sitokin, terutama IL-1, IL-2 dan IL-4 (Erniati 2007; Zairisman 2006). Mao et al (2000) melaporkan
bahwa
prosianidin
kakao
yang
telah
dimurnikan
mampu
mengakibatkan ekspresi mRNA dan sekresi sitokin (IL-1, IL-2 dan IL-4). Produksi IL-4 mengakibatkan peningkatan respon oleh sel T efektor. Sedangkan IL-1 berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel limfosit. Selain itu IL-1 dapat merangsang produksi IL-2, interferon γ dan faktor kemotaktik. IL-2 berperan menginduksi proliferasi sel T, sel B dan sel NK, serta mengaktivasi makrofag. Proliferasi sel limfosit T mengikuti interaksi kooperatif dari CD4, CD8 dan kompleks TCR-CD3 terhadap paparan antigen asing dan dalam gabungan dengan molekul MHC yang sesuai. Sinyal proliferatif dikeluarkan oleh anggota famili protein tyrosine kinase (PTK) yang mengkatalis fosforilasi substrat seluler sehingga berubah menjadi proliferasi sel T. Flavonoid genistein dilaporkan dapat mempengaruhi aktivitas PTK yaitu menjadi inhibitor selektif bagi PTK (Middleton et al 2000). Ramiro et al (2007) melaporkan bahwa konsumsi kakao alami sebanyak 4% -10% dari asupan makanan pada tikus selama 3 minggu dapat meningkatkan kapasitas antioksidan total, aktivitas enzim antioksidan SOD dan
80
katalase di plasma dan semua jaringan terutama timus. Peningkatan sistem antioksidan di timus ternyata mempengaruhi komposisi seluler atau limfosit pada timus, di mana terjadi peningkatan persentasi timosit pada tahapan diferensiasi timosit. Platelet adalah sel dalam darah yang merupakan komponen utama pada pembekuan darah. Selain peranannya dalam hemostasis dan trombosis, platelet juga berperan dalam kejadian-kejadian inflamasi seluler. Setelah suplementasi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari terjadi penurunan jumlah platelet pada kelompok perlakuan yang berbeda nyata antara sebelum dan sesudah studi. Namun penurunan jumlah tersebut masih dalam kisaran jumlah normal platelet darah. Di samping itu penurunan terjadi juga pada kelompok kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan yang terjadi bukan disebabkan oleh pengaruh minuman bubuk kakao bebas lemak, tapi makanan yang dikonsumsi selama suplementasi diduga berkontribusi pada penurunan nilai. Penurunan jumlah platelet belum bisa disimpulkan sebagai penurunan fungsi platelet. Untuk mengetahui pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap fungsi platelet, perlu dilakukan pengukuran pada jumlah mean platelet volume (MPV), yang mengindikasikan adanya penurunan aktivitas platelet. Di samping itu juga perlu dilakukan analisis terhadap penanda aktivasi platelet, reaksi pelepasan ATP, pembentukan mikropartikel dan agregasi platelet primer dengan menggunakan berbagai induktor, seperti kolagen dan ADP. Data yang diperoleh dapat dipakai sebagai end point fungsi platelet, di mana penurunan pada semua end point tersebut akan memperjelas peranan flavonoid, khususnya bubuk kakao bebas lemak, dalam memodulasi fungsi platelet, sehingga dapat diberikan untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskular (Murphy et al 2003; Rein et al 2000b; Ding et al 2006). Flavonoid genistein dilaporkan dapat menghambat adhesi, agregasi dan sekresi platelet pada studi in vitro maupun in vivo. Efek flavonoid pada platelet dapat dihubungkan dengan penghambatan metabolisme asam arakidonat oleh CO (Middleton et al 2000). Kemungkinan juga potensinya dalam menghambat siklik AMP fosfodiesterase dapat menjelaskan sebagian kemampuannya dalam menghambat fungsi platelet. Suatu studi melibatkan 30 orang subyek sehat yang
81
diminta untuk mengkonsumsi 300 ml minuman coklat yang mengandung total 897 mg epikatekin (setara dengan 299 mg/100ml). Aktivitas platelet diukur sebagai ekspresi antigen platelet dan pembentukan mikropartikel platelet dengan menggunakan monoklonal antibodi dan flow cytometry. Hemostasis platelet primer diukur menggunakan platelet function analyzer. Setelah mengkonsumsi coklat, maka ekspresi pembentukan glikoprotein IIb-IIIa platelet yang distimulasi oleh adenosine diphosphate (ADP) pada pembentukan fibrinogen binding mengalami penurunan pada 2 dan 6 jam setelah konsumsi. Konsumsi coklat juga menurunkan ekspresi P-selectin yang diinduksi oleh ADP serta menghambat hemostasis
primer
sebagai
respon
terhadap
epinephrine.
Pembentukan
mikropartikel platelet juga menurun pada 2 dan 6 jam setelah konsumsi. Sehingga disimpulkan bahwa konsumsi coklat dapat menekan aktivasi platelet yang distimulasi oleh ADP dan pembentukan mikropartikel platelet. Konsumsi coklat memiliki efek mirip aspirin pada hemostasis primer (Rein et al 2000). Pada suatu studi double blind, sebanyak 32 orang subyek sehat diminta untuk meminum tablet yang mengandung 234 mg flavanol kakao selama 28 hari. Fungsi platelet ditentukan dengan mengukur agregasi platelet, pelepasan ATP dan ekspresi antigen platelet menggunakan flow cytometer. Setelah suplementasi, terjadi peningkatan konsentrasi epikatekin dan katekin plasma masing-masing sebanyak 81% dan 28%. Selain itu juga terjadi penurunan pada ekspresi P selectin dan agregasi yang diinduksi oleh ADP dan kolagen. Konsentrasi asam askorbat plasma juga meningkat secara nyata. Sehingga disimpulkan bahwa suplementasi flavanol kakao selama 28 hari telah meningkatkan konsentrasi epikatekin dan katekin plasma serta secara nyata menurunkan fungsi platelet (Murphy et al 2003). Bubuk kakao bebas lemak terbukti memiliki kapasitas antioksidan yang tinggi di plasma maupun eritrosit manusia (Amri 2007; Hasanah 2007). Konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari telah terbukti secara nyata mampu menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas anti radikal bebas pada sel eritrosit dan plasma (Amri 2007; Yuliatmoko 2007). Charpentier dan Chateora (1996) menyatakan beberapa mekanisme yang dapat dilakukan oleh suatu antioksidan dalam melindungi tubuh yaitu 1) menghambat terbentuknya
82
radikal bebas, 2) menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk (scavenger), 3) menurunkan kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi, dan 4) menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom P-450. Flavonoid kakao bebas lemak bersifat polar, sehingga ketika dikonsumsi akan segera diserap, dan diduga langsung menginduksi aktivitas enzim -enzim fase II.
Enzim-enzim fase II melalui reaksi konjugasi akan menghasilkan
senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekskresikan ke luar tubuh. Sehingga flavonoid kakao bebas lemak tidak terakumulasi di dalam tubuh. Flavonoid yang telah diserap tubuh segera bersirkulasi di darah dan menjalankan fungsinya. Metabolisme dan penyerapan flavonoid sangat dipengaruhi juga oleh pola makan seorang. Zat gizi dan bahan tambahan makanan dilaporkan dapat memodulasi aktivitas sitokrom P-450 dan akhirnya mempengaruhi toksisitasnya. Komponen dalam bahan pangan serta kondisi yang dapat mempengaruhi sitokrom P-450 pada percobaan menggunakan hewan coba atau manusia, antara lain karbohidrat, lemak, obesitas, sedang berpuasa, vitamin larut lemak dan larut air, mineral, sulfida, isotiosianat dan sebagainya (Guengerich 1995). Suplementasi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari dilaporkan dapat menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan aktivitas enzim glutation Stransferase (GST) pada eritrosit maupun plasma subyek, yang berarti proses oksidasi di hati tidak meningkat dan tidak memicu terbentuknya radikal bebas (Hasanah 2007). Mekanisme konjugasi terhadap metabolit radikal yang reaktif yang dihasilkan dari reaksi fase I merupakan reaksi eliminasi yang cepat dan merupakan inaktivasi senyawa-senyawa yang berpotensi toksik. Toksisitas seluler merupakan suatu keseimbangan fungsi laju pembentukan metabolit radikal terhadap biotransformasinya sehingga akhirnya dapat dikeluarkan dari dalam tubuh. Penurunan aktivitas GST merupakan gejala di mana telah terjadi ketidakseimbangan pembentukan metabolit radikal terhadap reaksi eliminasinya. Hal ini disebabkan tingginya metabolit radikal yang terbentuk dan strukturnya yang tidak mampu dikonjugasikan secara sempurna oleh GST. Metabolit radikal bebas yang tidak terkonjugasikan tadi akhirnya dapat berikatan dengan makromolekul seperti protein, polipeptida, RNA dan DNA yang merupakan
83
pemicu berbagai proses toksik seperti mutagenesis, karsinogenesis, dan nekrosis seluler (Hodgson dan Levi 2000). Banyak flavonoid di alam yang diketahui mampu memodulasi sistem sitokrom P-450 (CYP450), termasuk menginduksi isozim CYP spesifik dan mengaktivasi atau menghambat enzim-enzim ini. Flavon (chrysin, baicalein, dan galangin), flavanon (naringenin) dan isoflavon (genistein dan biochanin A) menghambat aktivitas aromatase (CYP19), sehingga menurunkan biosintesis estrogen dengan memproduksi suatu efek antiestrogenik yang penting dalam kanker payudara dan prostat (Moon et al 2006). Aktivasi enzim detoksifikasi fase II seperti UDP-glucuronyl transferase, glutation Stransferase dan quinon reduktase oleh flavonoid menunjukkan adanya satu mekanisme antikarsinogen. Efek flavonoid pada enzim-enzim ini umumnya tergantung pada konsentrasi flavonoid yang ada, dan jenis flavonoid tersebut. Konsumsi bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas enzim glutation S-transferase (Hasanah 2007). Erniati (2007) juga melaporkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari terhadap 9 orang subyek telah terbukti secara nyata dapat meningkatkan kadar glutation tereduksi (GSH) pada limfosit. Keberadaan enzim glutation S-tranferase dan GSH dapat melindungi sel dari bahaya elektrofilik yang reaktif, sebelum bereaksi dengan sisi nukleofilik dari sel. Glutation dalam bentuk tereduksi (GSH) merupakan substrat yang penting untuk enzim-enzim antioksidan seperti glutation S-transferase dan glutation peroksidase dalam menguraikan berbagai macam peroksida atau lipid peroksida ((Moon et al 2006). Pada
penelitian lain disebutkan bahwa ekstrak tanaman widuri yang
mengandung senyawa flavonoid jenis sylimarin terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim fase II yaitu glutation S-transferase dan quinone reduktase pada liver, paru-paru dan kulit tikus percobaan dengan dosis 100-200 mg/ hari (Zao dan Agrawall 1999). Pada tubuh flavonoid akan bersirkulasi dalam plasma, terdapat sebagai konjugat glukuronida, konjugat metil dan konjugat sulfat atau kombinasi dari ketiganya yang merupakan hasil reaksi enzim fase I dan fase II (Grassi et al 2006). Sejumlah laporan mengenai penyerapan dan konversi metabolik dari flavonoid memperkirakan bahwa flavonoid dapat masuk ke dalam sirkulasi darah
84
dalam bentuk yang telah terglukuronidasi kemudian tersulfatasi dalam hati serta termetilisasi dalam hati dan ginjal (Azuma et al 2002). Beberapa penelitian mengenai bioavailabilitas flavonoid menunjukkan bahwa flavonoid sangat cepat disirkulasikan dalam tubuh. Crespy et al (2002) melaporkan bahwa 24 jam setelah awal pemberian makanan, konsentrasi flavonoid phloretin turun hampir mencapai baseline, mengindikasikan bahwa komponen tersebut sangat cepat diekskresikan melalui urin. Menurut Peterson dan Dwyer (2000) epikatekin plasma telah mencapai baseline dalam waktu 6 jam setelah asupan. Katekin diserap dan muncul di plasma antara 1 sampai 2 jam setelah konsumsi. Pada penelitian ini konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dengan dosis 177,2 mg polifenol selama 25 hari dilaporkan dapat meningkatkan kadar katekin dalam plasma darah subyek (Yuliatmoko 2007). Katekin dan epikatekin sering dipakai sebagai marker penyerapan flavonoid kakao di dalam tubuh. Murphy et al (2003) juga melaporkan bahwa suplementasi prosianidin selama 28 hari telah meningkatkan konsentrasi epikatekin dan katekin plasma serta secara nyata. Pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 % (Grassi et al 2006). Kakao diketahui mengandung serat yang cukup tinggi yaitu 27,9% terdapat pada bijinya, terdiri dari karbohidrat kompleks seperti pati, pentosan, galaktan, musin yang mengandung asam galakturonat dan selulosa. Selain itu juga mengandung karbohidrat larut seperti stachyosa, rafinosa, sukrosa, glukosa dan fruktosa (Belitz dan Grosch 1999). Pemberian minuman bubuk kakao pada subyek setelah makan diduga dapat menyebabkan adanya penghambatan penyerapan minuman ini di dalam tubuh oleh keberadaan serat kakao maupun serat makanan. Serat makanan dapat mempengaruhi ketidaktersediaan biologis (non-bioavailability) dan homeostasis beberapa mineral (Harland dan Oberleas 2001). Namun matrik yang membawa flavonoid masuk ke dalam tubuh juga menentukan mudah tidaknya proses penyerapan di dalam tubuh. Bubuk kakao bebas lemak yang dikonsumsi dalam bentuk minuman akan lebih memudahkan penyerapannya dibandingkan dalam bentuk padat seperti bentuk permen atau coklat batangan. Flavonoid dalam bubuk kakao bebas lemak sebagian besar dijumpai dalam bentuk monomernya. Bentuk monomer dilaporkan lebih mudah
85
diserap dalam sistem pencernaan tubuh (Misnawi dan Selamat 2004). Sehingga pemberian bubuk kakao bebas lemak dalam bentuk minuman dan dikonsumsi sesudah makan diduga tidak berpengaruh pada bioavailabilitasnya. Jaringan mikrosom hati dan darah perifer merupakan biomarker yang baik untuk mengetahui bioavailabilitas flavonoid di dalam tubuh. Hal ini dikarenakan hati sebagai organ utama dalam sistem biotransformasi dan metabolisme senyawa xenobiotik (Krovat et al 2000). Flavonoid dapat mengalami dekonjugasi dan terkonjugasi kembali di dalam jaringan hati. Sedangkan darah dapat mengangkut flavonoid ke seluruh jaringan dalam bentuk aglikon, di mana aglikon dapat masuk jaringan perifer secara difusi pasif atau fasilitas. Sifat yang relatif hidrofilik dari konjugat glukuronida menyebabkannya harus ditransportasikan ke jaringan perifer, karena berdifusi melalui membran sangat lambat (Williamson 2004). Flavonoid tertentu seperti rutin (quercetin-3-rhamnoglukosida), tidak dideglikosilasi oleh enzim-enzim manusia. Hal ini karena rhamnosa bukanlah substrat enzim pada manusia, dan konjugat-konjugatnya akan mencapai ileum dan usus besar dengan utuh. Sekresi bile merupakan rute utama ekskresi flavonoid, yaitu dalam bentuk konjugat glukuronida atau sulfat. Konjugat-konjugat ini juga diduga mencapai ileum dan kolon manusia dengan utuh. Sehingga flavonoid yang dikonsumsi bisa didapatkan sebagai substrat bagi mikroflora kolon dalam persentase yang tinggi, walaupun jumlah yang substansial telah bersirkulasi di seluruh tubuh (Williamson 2004). Hal ini menjadi dasar bahwa feses juga dapat dipakai sebagai biomarker bioavailabilitas flavonoid. Flavonoid dijumpai di urin dalam bentuk terkonjugasi. Secara umum ekskresi renal bukanlah jalur utama bagi flavonoid yang utuh, dan kandungan flavonoid dalam urin tidak bisa dipakai sebagai biomarker dari bioavailabilitas atau dietary intake flavonoid. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan metabolisme dan eliminasi pada bile yang dapat mengubah jumlah yang dapat diekskresikan melalui urin, sehingga pengukuran bioavailabilitas menjadi kurang akurat (Prior 2004).