PENGARUH MINUMAN BUBUK KAKAO LINDAK BEBAS LEMAK TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ANTIOKSIDAN DAN ENZIM DETOKSIFIKASI PADA ERITROSIT DAN PLASMA MANUSIA
FITRI HASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak terhadap Aktivitas Enzim Antioksidan dan Enzim Detoksifikasi pada Eritrosit dan Plasma Manusia adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007 Fitri Hasanah NRP F251050081
RINGKASAN FITRI HASANAH. Pengaruh Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak Terhadap Aktivitas Enzim Antioksidan Dan Enzim Detoksifikasi Pada Eritrosit Dan Plasma Manusia. Dibimbing oleh MAGGY T. SUHARTONO dan FRANSISKA R. ZAKARIA Bubuk kakao bebas lemak merupakan produk substandar dalam pengolahan kakao yang belum banyak dimanfaatkan. Kakao non fermentasi mendominasi hampir semua pengolahan kakao di Indonesia. Bubuk kakao bebas lemak non fermentasi memiliki kandungan polifenol sebesar 4,43 gr/ 100 gr. Kandungan polifenol yang berupa flavonoid ini berpotensi sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas. Sistem Pertahanan Tubuh Enzimatik terhadap radikal bebas melibatkan berbagai enzim, salah satunya adalah katalase. Sistem detoksifikasi dalam tubuh melibatkan kerja enzim fase I (sitokrom P-450) dan enzim fase II (glutation S-transferase) untuk mengeluarkan toksin atau senyawa asing sehingga tidak membentuk senyawa metabolit radikal dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas enzim katalase dan sitokrom P-450 serta glutation S-transferase pada eritrosit maupun plasma manusia. Selama 25 hari sebanyak 18 responden wanita yang sehat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok kakao (n = 9) dan kelompok kontrol (n = 9), di mana kelompok kakao mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberi susu skim dan gula, sedangkan kelompok kontrol hanya mengkonsumsi minuman susu skim dan gula saja. Selama penelitian berlangsung makanan dan kesehatan responden di bawah kontrol peneliti. Pengambilan darah responden dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi untuk kemudian dilakukan analisa terhadap aktivitas enzim katalase dengan metode kalorimetri dan sitokrom P-450 serta glutation S-transferase dengan metode spektrofotometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari menghasilkan peningkatan secara nyata (p < 0,05) terhadap aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit dari 999,64 U/ mg protein menjadi 1020,03 U/ mg protein dan pada plasma dari 539,23 U/ mg protein menjadi 584,18 U/ mg protein. Peningkatan juga terjadi pada enzim glutation S-transferase pada eritrosit dari 0,083 nmol/ min/ mg protein menjadi 0,217 nmol/ min/ mg protein dan pada plasma peningkatan dari 0,129 nmol/ min/ mg protein menjadi 0,293 nmol/ min/ mg protein. Sementara itu enzim detoksifikasi sitokrom P-450 mengalami penurunan secara nyata (p < 0,05) pada eritrosit dari 5,43 nmol/ mg protein menjadi 1,59 nmol/ mg protein dan pada plasma dari 2,11 nmol/ mg protein menjadi 0,78 nmol/ mg protein. Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini bisa disimpulkan bahwa bubuk kakao bebas lemak yang berasal dari perkebunan di Indonesia dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh secara enzimatis terhadap serangan radikal bebas. Kata kunci: bubuk kakao lindak bebas lemak, katalase, sitokrom P-450, Glutation S-transferase, flavonoid, antioksidan, detoksifikasi
ABSTRACT Fitri Hasanah. The Effects of Fat Free Bulk Cocoa Powder Drinks Consumption on Antioxidant and Detoxification Enzyme Activity in Human Erythrocyte and Plasma. Under the supervision of MAGGY T. SUHARTONO and FRANSISKA R. ZAKARIA The fat free cocoa powder is substandard product from cocoa processing. Fat free unfermented cocoa powder have about 4,43 gr/ 100 gr of polyfenol. Cocoa is rich in flavonoid with antioxidant activity. Enzymatic defence system in humans consists of: catalase, superoxide dismutase (SOD) and glutathione peroxide (GPx). Detoxification metabolism consists of two phases that enable man to excreate out toxic from the body. This system need enzyme such as cytochrome P-450 and glutation S-transferase (GST). The aim of this research was to determine the effect of Indonesian fat free cocoa powder drink consumption on the antioxidant enzymes activity namely catalase and on the detoxification enzyme namely cytochrome P-450 and GST in human erythrocyte and plasma. Eighteen women healthy subjects were recruited and divided into two groups, control subjects (n = 9) and cacao subjects (n = 9). Cocoa powder drinks containing cocoa (50 %), skim milk (25 %) and sugar (25 %) was given to the groups. The control group received only water contain skim milk (50 %) and sugar (50 %). The criteria of the respondents were healthy according medical diagnosis and signed the informed of consent. Both cocoa and experimental group received medical check up at the beginning and at the end of the intervention. The activity of catalase was analyzed based on calorimetry and spectrofometry. Their peripheral blood were withdrawn to analyze activity of catalase, cytochrome P-450 and GST. The result showed that there was a significant increased in activity catalase of erythrocyte from 999,64 U/ mg protein to 1020,03 U/ mg protein and also on plasma from 539,23 U/ mg protein to 584,18 U/ mg protein. The activity of GST in erythrocyte was a significant increased from 0,083 nmol/ min/ mg protein to 0,217 nmol/ min/ mg protein and also on from 0,129 nmol/ min/ mg protein to 0,293 nmol/ min/ mg protein. The result showed that there was a significant decreased in cytochrome P-450 of erythrocyte from 5,43 nmol/ mg protein to 1,59 nmol/ mg protein and also on plasma from 2,11 nmol/ mg protein to 0,78 nmol/ mg protein. In conclusion, the Indonesian fat free cocoa powder has increased human defences system from free radical attact that may damage the cell. Keyword: cocoa, flavonoid, catalase, Cytochrome P-450, Glutathione Stransferase (GST), antioxidant, detoxification
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
PENGARUH MINUMAN BUBUK KAKAO LINDAK BEBAS LEMAK TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ANTIOKSIDAN DAN ENZIM DETOKSIFIKASI PADA ERITROSIT DAN PLASMA MANUSIA
FITRI HASANAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nugraha Edi Suyatma, DEA
Judul Penelitian
: Pengaruh Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak terhadap Aktivitas Enzim Antioksidan dan Enzim Detoksifikasi pada Eritrosit dan Plasma Manusia
Nama Mahasiswa
: Fitri Hasanah
NRP
: F251050081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Ketua
Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Betty Sri Laksmi Jenie,MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS
Tanggal Ujian: 08 Agustus 2007
Tanggal Lulus: 20 Agustus 2007
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil”alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul tesis ini adalah “Pengaruh Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak terhadap Aktivitas Enzim Antioksidan dan Enzim Detoksifikasi pada Eritrosit dan Plasma Manusia”, yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Tim Riset Unggulan Terpadu XII (RUT) tahap II tahun 2006 yaitu Bapak Dr. Ir. Misnawi (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember) dan Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. (Dosen Pascasarjana Ilmu Pangan IPB) atas bantuan dana penelitian. Penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, pengarahan, saran serta motivasi selama penulis menyelesaikan studi. Terimakasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Nugraha Edi Suyatma, DEA selaku penguji yang telah banyak memberi sarannya. Kepada semua responden atas keikhlasan dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung juga disampaikan rasa terima kasih yang mendalam. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim kakao, yaitu Welli, Eris, Retno, Erni, dan Femi serta teman-teman mahasiswa pascasarjana program studi ilmu pangan khususnya angkatan 2005, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung. Terimakasih juga diucapkan kepada teman-teman di Pondok PCH atas kebersamaannya. Tak lupa untuk seluruh rekanrekan seperjuangan di KMNU IPB, Forum WACANA IPB, PMII semoga kita bisa terus berjuang dan berkarya. Akhirnya ungkapan terima kasih yang dalam disampaikan kepada Ayahanda Yakin Sabri HS, BA dan Ibunda Husnaini, SPd atas seluruh pengorbanan dan doa yang telah diberikan, juga kepada adik-adik dan keluarga besar di Bengkulu. Tak lupa kepada H. Mahir Moh. Soleh LC “Zaujy alMustaqbal bi al-Hubb wa al-Da’am wa al-Du’a” beserta keluarga. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik kepada mereka semua dengan pahala yang tak terhingga. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2007 Fitri Hasanah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 15 Juli 1983 sebagai anak pertama dari empat bersaudara, dari Bapak Yakin Sabri HS, BA dan Ibu Husnaini, SPd. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Bengkulu dan pada tahun yang sama penulis meneruskan pendidikan Sarjana di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang. Pada tahun 2005 penulis lulus dari Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang. Tahun 2005 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Ilmu Pangan. Selama menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai organisasi diantaranya yaitu Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) SPs IPB, Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... v DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... viii PENDAHULUAN..…………………….……………………………………….... 1 Latar Belakang……….....……………………………………………….. 1 Tujuan Penelitian ………………………………………………………. 3 Hipotesis Penelitian …………………………………….…….…………. 3 Manfaat Penelitian …………………………………………………….... 4 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5 Kakao......................................................................................................... 5 Flavonoid Pada Kakao.............................................................................. 8 Antioksidan............................................................................................. 10 Radikal Bebas dan Kerusakan Sel........................................................... 12 Sistem Pertahanan Tubuh Nonenzimatik.................................................. 15 Sistem Pertahanan Tubuh Enzimatik........................................................ 15 Metabolisme Xenobiotik dan Detoksifikasi Senyawa Beracun................ 17 Metabolisme Senyawa Bioaktif................................................................ 23 Komponen Darah...................................................................................... 25 Eritrosit..................................................................................................... 25 Plasma ..................................................................................................... 26 METODOLOGI................................................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. Bahan dan Alat......................................................................................... Alur penelitian ......................................................................................... Metode Penelitian.....................................................................................
27 27 27 28 29
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................ 37 Keadaan Umum Responden..................................................................... 37 Aktivitas Enzim Antioksidan Katalase pada Eritrosit............................... 42 Aktivitas Enzim Antioksidan Katalase pada Plasma................................ 47 Aktivitas Enzim Sitokrom P-450 pada Eritrosit........................................ 53 Aktivitas Enzim Sitokrom P-450 pada Plasma......................................... 59 Aktivitas Enzim Glutation S-transferase pada Eritrosit............................ 65 Aktivitas Enzim Glutation S-transferase pada Plasma.............................. 69 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 75 Simpulan.................................................................................................. 75 Saran......................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 77 LAMPIRAN.......................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Kandungan polifenol produk kakao ……………………………………….
6
2. Jenis-jenis Reactive Oxygen Species dan radikal bebas yang berperan pada kerusakan sel ................................................................. 10 3. Data antropometri responden sebelum dan sesudah intervensi ..................... 38 4. Menu makan pagi dan makan malam responden yang disiapkan oleh peneliti selama intervensi berlangsung ................................ 40
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Kakao …......……………………………………………………………….... 6 2. Struktur kimia flavonoid ….…………………………………….……… ...... 6 3. Pembagian kelas Flavonoid …………………………………………….………...... 8 4. Pembagian kelas Flavonoid ...................................................................................... 10 5. Metabolisme Xenobiotik di tubuh ..……………………………………...... 19 6. Diagram alir penelitian................................................................................... 28 7. Grafik Aktivitas Enzim Katalase pada Eritrosit Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................................................... 43 8. Grafik Aktivitas Enzim Katalase pada Eritrosit Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ....................................................... 43 9. Grafik Aktivitas Enzim Katalase pada Plasma Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................................................. 48 10. Grafik Aktivitas Enzim Katalase pada Plasma Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ....................................................... 48 11. Grafik Kadar Sitokrom P-450 pada Eritrosit Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................................................... 55 12. Grafik Kadar Sitokrom P-450 pada Eritrosit Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ........................................................ 55 13. Grafik Kadar Sitokrom P-450 pada Plasma Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................................................... 60 14. Grafik Kadar Sitokrom P-450 pada Plasma Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ........................................................ 60 15. Reaksi GSH dan CDNB ................................................................................. 66 16. Grafik Aktivitas Enzim Glutation S-transferase (GST) pada Eritrosit Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................... 67 17. Grafik Aktivitas Enzim Glutation S-transferase (GST) pada Eritrosit Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ....................... 67
18. Grafik Aktivitas Enzim Glutation S-transferase (GST) pada Plasma Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ..........................71 19. Grafik Aktivitas Enzim Glutation S-transferase (GST) pada Plasma Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ......................... 71
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Informed concent Pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian………………............. 88 2. Kuisioner kesehatan fisik, pola makan dan kebiasaan konsumsi makanan jajanan ........................................................ 89 3. Jadwal penelitian ....................................................................................... 100 4. Data-data hasil penelitian .............................................................................. 101
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kakao merupakan bahan pangan yang apabila diolah ke dalam bentuk produk seperti bubuk kakao memiliki citarasa yang enak sehingga banyak disukai oleh masyarakat. Lemak kakao merupakan bagian yang paling banyak diambil dari tanaman ini karena bernilai ekonomis tinggi. Pada saat pemisahan lemak kakao, bubuk kakao itu sendiri tertinggal menjadi produk substandar yang belum banyak dimanfaatkan. Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa bubuk kakao bebas lemak tadi memiliki kandungan polifenol yang berpotensi sebagai sumber antioksidan. Oleh karena itu masih perlu terus digali pemanfaatan kakao bebas lemak sebagai produk substandar sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Indonesia adalah negara ketiga penghasil kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Ada dua jenis kakao yang umum dikenal di Indonesia, yaitu kakao mulia atau edel kakao (fine/ flavour cocoa) dan kakao lindak (bulk cocoa). Kakao lindak mendominasi hampir seluruh perkebunan di Indonesia. Kualitas dari produk olahan kakao yang dihasilkan sangat tergantung kepada kualitas biji kakao dan proses
pengolahan. Salah satu faktor yang sangat
menentukan adalah proses fermentasi biji kakao sebelum diolah. Cita rasa coklat yang baik dapat diperolah bila kakao tersebut difermentasi dengan baik. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2004), kakao Indonesia khususnya yang dihasilkan oleh petani, di pasaran internasional dihargai paling rendah, karena didominasi oleh biji-biji tanpa fermentasi. Namun demikian proses fermentasi itu sendiri menyebabkan kandungan senyawa kimia dalam biji kakao menjadi berubah terutama senyawa flavonoid yang dapat memberikan efek positif untuk kesehatan. Berdasarkan penelitian Misnawi dan Selamat (2003) kandungan polifenol dalam biji kakao menurun sampai 50% selama proses fermentasi. Berbagai cara dilakukan untuk menggali potensi kakao lokal yang non fermentasi tersebut, salah satunya dengan mengekstraksi dan memanfaatkan lemak kakao serta meneliti potensi komponen bioaktif flavonoid
pada bubuk kakao bebas lemak non fermentasi sebagai antioksidan dalam tubuh manusia. Dalam berbagai penelitian disebutkan bahwa aktivitas antioksidan yang utama bisa diperoleh dari komponen-komponen seperti flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin dan katekin disamping vitamin C, E dan β-karoten. Biji kakao dinyatakan sebagai bahan yang kaya akan flavonoid yang erat kaitannya sebagai zat yang mempunyai kapasitas antioksidan bagi tubuh. Penelitian pendahuluan telah dilaksanakan untuk mengidentifikasi adanya komponen flavonoid dan senyawa polifenol lainnya baik pada makanan maupun minuman termasuk pada kakao. Misnawi et al (2002) menyatakan bahwa dalam bubuk biji kakao bebas lemak mengandung polifenol sebanyak 5-18 %. Lebih lanjut Zairisman (2006) menyebutkan bahwa kandungan polifenol bubuk kakao bebas lemak jenis lindak (bulk) masak non fermentasi adalah 4,43 g/ 100 g. Keberadaan antioksidan dalam tubuh sangat berperan penting dalam mengendalikan radikal bebas. Radikal bebas dan reactive oxygen species (ROS) berasal dari sumber alamiah di dalam tubuh dan dari luar. Kelebihan radikal bebas menyebabkan stress oksidatif yaitu keadaan dimana jumlah antioksidan lebih rendah dibandingkan jumlah radikal bebas. Kondisi ini tentunya berakibat fatal bagi kesehatan. Oleh karena itu diperlukan sistem antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas, dengan cara meredam dampak negatif senyawa ini atau bahkan langsung memutuskan rantai radikal bebas yang terbentuk. Salah satu system pertahanan yang dibentuk oleh tubuh adalah system enzimatik melalui enzim-enzim antioksidan misalnya katalase. Meskipun telah banyak diketahui memiliki khasiat sebagai antioksidan bagi tubuh, flavonoid yang terkandung pada bubuk kakao bebas lemak merupakan senyawa asing atau xenobiotik yang apabila masuk ke dalam tubuh kita akan dimetabolisme melalui sistem detoksifikasi yang melibatkan enzim-enzim fase I maupun fase II, maka masih perlu dilakukan penelitian untuk melihat tingkat keamanan bubuk kakao bebas lemak ini dalam tubuh setelah dikonsumsi oleh manusia.
Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan oleh Femi (2006), menunjukkan bahwa bubuk kakao bebas lemak dari jenis lindak (bulk) masak non fermentasi yang berasal dari perkebunan Indonesia atau kakao lokal mempunyai kapasitas sebagai antioksidan dan mempunyai potensi sifat immunodulator pada sel limfosit manusia secara in vitro. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan manusia sebagai subjeknya (in vivo). Dengan demikian dapat diketahui bagaimana tingkat keamanannya dalam tubuh apabila dikonsumsi manusia, dengan melihat pengaruhnya terhadap aktivitas enzim antioksidan katalase, sitokrom P-450 (enzim fase I) dan glutation S-transferase (enzim fase II) serta senyawa radikal bebas dalam tubuh manusia. Selain itu penelitian ini penting dilakukan karena diharapkan dapat meningkatkan citra kakao lindak non fermentasi dari Indonesia di pasar dunia. Tujuan 1. Untuk mengetahui efek minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit dan plasma manusia. 2. Untuk mengetahui efek minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas enzim detoksifikasi Sitokrom P450 (enzim fase I) dan Glutation S-transferase (enzim fase II) pada eritrosit dan plasma manusia. Hipotesis 1. Minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan katalase dan enzim detoksifikasi Glutation S-Transferase (GST) pada eritrosit dan plasma manusia. 2. Minuman bubuk kakao bebas lemak tidak mengubah atau bahkan dapat menurunkan kadar sitokrom P450 pada eritrosit dan plasma manusia. Manfaat Penelitian Membuktikan secara ilmiah dan memberikan informasi tentang khasiat minuman bubuk kakao bebas lemak dari jenis kakao lokal lindak non fermentasi terhadap kesehatan, sehingga bubuk kakao yang merupakan produk sisa pemanfaatan lemak kakao atau substandar ini dapat dijadikan sebagai bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA
Kakao Pohon kakao (Theobroma cacao L) diperkirakan mula-mula tumbuh di daerah Amazon utara sampai ke Amerika Tengah. Mungkin sampai ke Chiapas, bagian paling selatan Meksiko. Orang-orang Olmec memanfaatkan pohon dan mungkin juga membuat coklat di sepanjang pantai teluk di selatan Meksiko sekitar 1000 tahun SM. Peradaban pertama yang mendiami daerah Mesoamerika itu mengenal pohon “kakawa” yang buahnya dikonsumsi sebagai minuman. Bagi suku Aztec biji kokoa merupakan “makanan para dewa” (theobroma, dari bahasa Yunani). Klasifikasi ilmiah kakao antara lain: dunia
: Plantae
divisi
: Spermatophyta
sub divisi : Angiospermae kelas
: Dicotyledoneae
sub kelas : Dialypetaleae
Gambar 1 Buah kakao
bangsa
: Malvales
suku
: Sterculiaceae
marga
: Theobroma
jenis
: theobroma cacao L
Kakao adalah biji yang diperoleh dari pohon kakao, Theobroma cacao L, dengan ketinggian pohon 6-12 meter. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada area 30-300 meter, pada suhu sedang yaitu berkisar 18-30 ºC dan membutuhkan kelembaban udara yang cukup dengan curah hujan 1-5 liter/ m2 per tahun (Weisburger 2001). Rasa asli biji coklat sebenarnya pahit akibat kandungan alkaloid, tetapi setelah melalui rekayasa proses dapat dihasilkan coklat sebagai makanan yang disukai oleh siapapun. Biji coklat mengandung lemak 31%, karbohidrat 14% dan protein 9%. Protein coklat kaya akan asam amino triptofan, fenilalanin, dan tirosin. Meski coklat mengandung lemak tinggi namun relatif tidak mudah tengik
karena coklat juga mengandung polifenol (6%) yang berfungsi sebagai antioksidan pencegah ketengikan. Tabel 1 Kandungan total polifenol produk kakao Produk Kakao Jumlah polifenol total (g /100 g) Bubuk cokelat 2,00 Cokelat batangan 0,84 Susu cokelat 0,50 Sumber: Wollgast dan Anklam (2000) Indonesia merupakan negara ketiga penghasil kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Ada dua jenis kakao yang umum dikenal di Indonesia, yaitu kakao mulia atau edel kakao (fine/ flavour cocoa) yang berasal dari varietas criollo dengan buah berwarna merah dan kakao lindak (bulk cocoa) berasal dari varietas forestero dan trinitro dengan warna buah hijau. Kakao lindak merupakan kakao kualitas kedua dan digunakan sebagai bahan komplementer dalam mengolah kakao mulia. Meskipun termasuk kualitas kedua dan digunakan sebagai bahan komplementer, jenis kakao lindak mendominasi seluruh perkebunan di Indonesia (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Hal ini disebabkan karena jenis kakao ini relatif lebih tahan terhadap hama dan penyakit, dan tingkat produksinya lebih tinggi dibanding kakao mulia (Zairisman 2006, Siregar et al 2007). Kualitas dari produk olahan kakao yang dihasilkan sangat tergantung kepada kualitas biji kakao dan proses pengolahan. Salah satu faktor yang sangat menentukan adalah proses fermentasi biji kakao sebelum diolah. Cita rasa coklat yang baik dapat diperolah bila kakao tersebut difermentasi dengan baik. Berdasarkan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2004) kakao Indonesia khususnya yang dihasilkan oleh rakyat, di pasaran Internasional dihargai paling rendah, karena didominasi oleh biji-biji tanpa fermentasi. Namun demikian proses fermentasi itu sendiri menyebabkan kandungan senyawa kimia dalam biji kakao menjadi berubah, terutama senyawa flavonoid yang dapat memberikan efek positif untuk kesehatan. Berdasarkan penelitian Misnawi dan Selamat (2003) kandungan polifenol dalam biji kakao menurun sampai 50% selama proses fermentasi.
Menurut Wollgast dan Anklam (2000), kandungan polifenol total dalam produk kakao berbeda-beda. Terdapat berbagai macam produk olahan dari biji kakao yaitu chocolate liquor (pasta kakao), cocoa powder (bubuk coklat), cocoa butter (mentega kakao) dan dark chocolate. Dark chocolate mengandung 15% chocolate liquor dan 60% cocoa butter, gula dan adiktif. Sedangkan cocoa powder (bubuk coklat) dibuat dengan menghilangkan cocoa butter dari chocolate liquor (Vinson et al. 1999). Produk olahan kakao ini digunakan untuk berbagai jenis olahan makanan, industri farmasi dan industri kosmetik. Bubuk kakao banyak digunakan sebagai bahan pembuat roti, es krim, permen dan juga untuk minuman. Cocoa butter banyak digunakan untuk industri makanan, kosmetik dan farmasi (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2004). Bubuk kakao bebas lemak dari biji kakao non fermentasi sebagai sumber flavonoid merupakan usaha yang sedang dirintis di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember. Bubuk kakao bebas lemak tersebut adalah produk kakao yang berbentuk bubuk yang diperoleh dari pasta kakao setelah dihilangkan lemaknya. Bubuk kakao bebas lemak dibuat melalui proses sebagai berikut : biji kakao basah dicuci bersih dan dioven pada suhu 50ºC sampai kadar air 7,5%. Selanjutnya kulit ari dipisahkan, keping biji yang diperoleh dihaluskan dengan blender (penghancur biji). Pasta kakao yang diperolah kemudian dipisahkan lemaknya (defatting) dalam soxhlet apparatus menggunakan pelarut petroleum benzene (titik didih 40-60ºC). Bubuk kakao yang diperoleh kemudian dihaluskan sampai kehalusan <40 mesh dan kemudian disimpan dalam kemasan yang kedap udara (Misnawi 2005). Berdasarkan penelitian Misnawi et al (2003) dikemukakan bahwa dalam bubuk kakao bebas lemak dari biji kakao non fermentasi terdapat 120-180 g/kg polifenol. Bubuk kakao bebas lemak dari verietas bulk masak berdasarkan penelitian Zairisman (2006) mengandung total fenol sebesar 4,43 gr/ 100 gr. Kandungan polifenol kakao juga sangat tergantung pada proses pengolahan dan produk akhir. Hasil penelitian Misnawi et al. (2002b) juga mendapatkan bahwa aktifitas antioksidan polifenol biji kakao masih tetap tinggi walaupun telah dipanaskan sampai suhu 140ºC selama 45 menit.
Flavon noid pada kakao k Rasaa pahit yangg terdapat paada kakao berkaitan b denngan kompoonen kimia y yang dimilikkinya yaitu flavonoid. Flavonoid memainkan m peran pentin ng sebagai p pigmen pew warna alami, senyawa peemberi cita rasa r dan pellindung dari kerusakan a akibat oksiddasi. Adanyaa flavonoid dalam d kakaoo dapat menccegah ketengikan pada k komponen l lemaknya seehingga menngurangi keebutuhan akaan penambaahan bahan p pengawet daari luar. Flavonnoid merupaakan kelompok senyawaa yang memppunyai ciri konfigurasi k C C6-C3-C6 d berperan dan n dalam mekkanisme don nor hidrogenn, penangkappan radikal d reaksi kelat dan k pada logam l (Halll 2001). Flaavonoid umuumnya dikeenal karena a aktivitas anntioksidannyya di dalaam tubuh sehingga sering jug ga disebut b bioflavonoid d. Komponeen antioksidaan ini dapat menetralisirr reaktivitas dari ROS, y yang merupakan senyaw wa reaktif yyang dapat bereaksi b denngan asam leemak tidak j jenuh yang merupakan penyusun membran, m RN NA dan DNA A (Hammerrstone et al 2 2000). onoid memiiliki berat molekul ren ndah, dan ppada dasarnnya adalah Flavo p phenylbenzo opyrones (phhenylchromoones) dengaan berbagai variasi padda struktur d dasarnya, yaaitu tiga cinncin utama yyang saling melekat. Strruktur dasarr ini terdiri d dua cin dari ncin benzenaa (A dan B) yang dihubu ungkan melaalui cincin heterosiklik h p piran atau piron p dengan n ikatan gannda yang dissebut cincinn ”C” (Midd dleton et al 2 2000). Hal ini i dipertegaas lagi oleh Miean dan Mohamed (2001) bahw wa struktur f flavonoid addalah rangkaaian cincin kaarbon C 6 C 3 C 6 .
Gambar G 2 Sttruktur kimiaa flavonoid
Flavonoid yang terpenting yang ditemukan dalam kakao adalah flavanol yang terdiri dari monomer katekin dan epikatekin dan oligomer procianidin (CIC 2001).
R 1 =H, R 2 =OH=(+)-catekin
Prosianidin
R 1 =OH, R 2 =H=(-)epikatekin
Gambar 3 Struktur kimia katekin, epikatekin dan prosianidin pada kakao (Andersen dan Markham, 2006) Flavonoid yang merupakan salah satu sub kelas dari polifenol mempunyai 7 kelas utama yaitu antochyanin, proantochyanin, isoflavone, flavanone, flavonol, flavanol, dan flavone. POLIFENOL
ASAM FENOLIK
FLAVONOID
Antosianin
Proantosianin Flavonol
Flavanon
Quercetin Kaemferol
Hesperetin Tangertin
Delphinidin Sianidin
Polifenol lainnya (non flavonoid)
Polimer flavanol
Isoflavon Flavanol
Flavon
Epikatekin Katekin
Luteolin Apigenin Genistein Daidzein
Gambar 4 Pembagian kelas flavonoid ( Murphy et al, 2003; CIC 2001)
Kakao
mengandung
senyawa
flavonoid
golongan
flavanol,
yang
memberikan efek yang menguntungkan bagi tubuh. Selain itu juga bisa mengurangi resiko mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler, kanker dan osteoporosis dan bisa mencegah penyakit neurodegeneratif serta diabetes militus (Grassi et al 2006). Murphy et al (2003) menyatakan bahwa mengkonsumsi flavonoid dan prosianidin secara teratur dapat meningkatkan konsentrasi epikatekin dan katekin di dalam plasma tetapi tidak menyebabkan oksidasi, dan juga dapat mengurangi agregasi dan aktivasi platelet penyebab peradangan. Prosianidin kakao bermanfaat dalam modulasi respon imun dan inflamasi pada mamalia. Selain itu, prosianidin kakao dari kakao cair ataupun kering bisa terdapat dalam makanan, suplemen dan obat-obatan untuk modulasi produk gen sitokin dan kadar protein dan memberikan efek menguntungkan pada penderita penyakit asma, peradangan akibat virus atau resiko peradangan virus (Schmitz et al 2001). Prosianidin yang dikombinasikan dengan L-arginin meningkatkan pengaruh fisiologis dalam memproduksi nitrat oksida pada mamalia yang mencerna produk itu. Efeknya antara lain menurunkan tekanan darah, ketahanan terhadap penyakit kardiovaskuler dan aktivitas antikanker (Cheuvaux et al 1999). Pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 %. Pada tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glukoronida, methyl dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya yang merupakan hasil reaksi enzim fase I dan fase II (Grassi et al 2006). Antioksidan Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Schuler, 1990). Menurut Gutteridge dan Halliwell (1996), antioksidan adalah suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif terhadap suatu molekul target. Sementara itu menurut Cillard et al (1980) dan Schluler (1990) antioksidan adalah zat dengan kadar lebih rendah dari zat yang mudah teroksidasi, secara nyata mampu memperlambat oksidasi zat tersebut. Sebaliknya pada kadar tinggi zat antioksidan bersifat peroksidan atau meningkatkan oksidasi. Antioksidan biologis adalah zat yang mampu melindungi
sistem biologis dari kerusakan akibat kelebihan oksidasi (Krinsky 1992). Antioksidan primer adalah zat yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya menjadi produk yang stabil, sedangkan antioksidan sekunder atau antioksidan preventif dapat mengurangi laju awal reaksi rantai atau tahap inisiasi reaksi oksidasi. Ada 2 macam antioksidan yaitu antioksidan primer dan sekunder (Winarno, 1997), yaitu : 1.
Antioksidan Primer Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi
berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam seperti tokoferol, lesitin, fosfatida, dan asam askorbat serta antioksidan buatan seperti BHA (Butylated hydroxyanisole), BHT (Butylated hydroxytoluene), dan PG (Propylgallate). 2. Antioksidan Sekunder Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergi. Beberapa asam organik tertentu dapat mengikat logam-logam (sequestran), misalnya satu molekul asam sitrat akan mengikat prooksidan Fe seperti sering dilakukan pada minyak kacang kedelai. EDTA (Etilendiamin tetra asetat) adalah sequestran logam yang sering digunakan dalam minyak salad. Mekanisme kerja antioksidan dapat melalui beberapa cara, antara lain yang dilaporkan oleh Charpentier dan Cateora (1996) adalah: 1) menghambat terbentuknya radikal bebas, 2) menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk (scavenger), 3) menurunkan kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi, dan 4) menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom P450. Penghambatan reaksi radikal bebas akan melidungi hepatosit normal dari kerusakan dan mengoptimalkan lingkungan bagi sel-sel hati untuk bergenerasi. Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahapan oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen, menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai melalui penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator, dekomposisi
produk utama menjadi senyawa non radikal dan pemutusan reaksi rantai untuk mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat. Antioksidan dapat berasal dari bahan alami dan sintetik. Sumber antioksidan alami telah banyak dilaporkan berasal dari tanaman. Menurut Papas (1999), enzim-enzim antioksidan seperti katalase, glutathion peroksidase, superokside dismutase, dan peroksidase merupakan lini pertama dari sistem pertahanan tubuh yang menahan pembentukan radikal bebas. Pada lini pertahanan kedua, antioksidan yang menangkap radikal seperti vitamin C, vitamin E, karotenoid dan flavonoid berfungsi untuk menghambat rantai inisiasi dan atau memecah rantai propagasi. Lini pertahanan ketiga dipegang oleh enzim fosfolipase, protease, transferase, dan DNA repair enzyme yang berfungsi untuk memperbaiki kerusakan membran. Lini terakhir dari sistem pertahanan tubuh adalah proses adaptasi, dimana tubuh akan memproduksi enzim antioksidan yang sesuai untuk ditransfer ke sisi tertentu pada waktu dan konsentrasi yang tepat. Penelitian tentang antioksidan pada tanaman telah banyak dilakukan. Chipault et al (1952) menguji aktivitas antioksidan dari 32 jenis rempah-rempah dan Puspita-Nienaber et al (1992) menguji aktivitas antioksidan dari 23 jenis ekstrak rempah-rempah asal Indonesia. Nakatani (1997) meringkas hasil penelitian tentang aktivitas antioksidan senyawa fenolik dari berbagai tanaman, antara lain: rosmaridifenol, rosmarikuinon, epirosmanol, dan isorosmanol dari rosemary; karnosol dari sage; asam hidroksibenzoat dan hidroksinamat dari oregano; thymol dan karvarol dari thyme; kapsaicin dan hidrokapcaisin dari cabe; sesamol dan lignan dari wijen; katekin dari teh hijau; dan kurkuminoid dari kunyit. Zhu et al (2005) menyatakan bahwa katekin, epikatekin, yang diisolasi dari kakao dapat mengurangi kerentanan eritrosit terhadap radikal bebas penyebab hemolisis. Radikal bebas dan kerusakan sel Radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif. Stress oksidatif merupakan keadaan ketidakseimbangan antara reaktif oxygen species (ROS) / reaktif nitrogen species (RNS) dan antioksidan (Halliwell & Gutteridge 2001).
Jika radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan dan jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat pada kerusakan sel (Langseth 1995; Palmer & Paulson 1997). Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi viabilitas dan fungsi essensial sel (Kehrer 1993). Stress oksidatif dapat menyebabkan kematian sel secara apoptosis dan nekrosis. Menurut Zitouni et al (2005), radikal bebas juga dapat mengganggu endotelium dan memacu terjadinya kerusakan membran, sebagai contohnya akan meningkatkan ekresi albumin urin dan memacu diabetes. Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap komponen sel seperti asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen DNA menghasilkan beberapa produk seperti : Malonaldehida atau MDA, diena terkonjugasi, dikarbonil dan asam 15-hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15HPETE). MDA merupakan melekul dialdehid yang mempunyai tiga atom karbon dan bersifat reaktif (Rice-Evan et al. 1991; Zaden et al. 1995). 1,1,3,3tetraetoksipropan merupakan prekusor malondialdehid sehingga sebagai larutan standar dapat digunakan larutan tetraektoksipropan. Malonaldehida atau MDA (C3H4O2) merupakan salah satu hasil peroksidasi asam lemak tidak jenuh (ALTJ) terutama asam arakhidonat (Bird dan Draper, 1984; Frankel dan Neff, 1983). Malonaldehida atau MDA dijumpai juga sebagai produk samping biosintesis prostaglandin. Pengukuran MDA telah digunakan sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipida (Auroma 1997). Peningkatan kadar Malonaldehida dapat ditekan dengan pemberian antioksidan seperti vitamin C, A, dan E dan beberapa komponen bioaktif (Cho et al. 2000; Palloza et al. 2000; Kris-Ethon & Keen 2002) yang secara keseluruhan dapat menekan proses peroksidasi lipid. Senyawa-senyawa yang menjadi target ROS atau radikal bebas adalah molekul-molekul seluler dan ektraseluler antara lain: protein, asam lemak tidak jenuh ganda, glikoprotein, lipoprotein dan bahan-bahan penyusun DNA seperti karbohidrat dan basa purin.
Di bawah ini disajikan beberapa jenis radikal bebas dan ROS yang berperan pada kerusakan sel. Tabel 2 Jenis-jenis Reaktif Oxygen Species dan radikal bebas yang berperan pada kerusakan sel Radikal bebas
Lambang
Non radikal
Lambang
Hidrosil
OH*
Hidrogen peroksida
H2 O2
Superoksida
O2 *
Singlet oksigen
Nitrit oksida
NO*
Asam hipoklorida
Lipid peroksida
LOO*
1
O2
HOCl
Ozon
O3
(Halliwell & Gutteridge 1999). Berdasarkan hasil penelitian, radikal bebas dan ROS dalam tubuh makhluk hidup berasal dari : 1. Pada organisme aerob, 95% oksigen dalam sel direduksi menjadi air oleh rantai pernafasan pada mitokondria, proses reduksi ini melibatkan 4 elektron dan 2 proton. Kebocoran elektron diperkirakan mencapai 1-5%, elektron yang bocor ini bereaksi dengan oksigen membentuk radikal superoksida (O2*), hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH*) (Lehninger, 1993). 2. Reduksi O2 menjadi superoksida pada fagositosis. Fagositosis merupakan salah satu sistem pertahanan humoral dalam melawan infeksi atau bahan asing yang masuk kedalam tubuh. Dengan bantuan NADPH-oksidase, netrofil dan makrofag (Haliwell & Gutteridge 1999). 3. Peristiwa iskemi yaitu deplesi ATP akibat kekurangan oksigen dimana terjadi pemecahan ATP menjadi AMP, adenosine dan hipoxantin. Hipoxantin diubah oleh xantin oksidase, menjadi asam urat dan radikal bebas seperti: superoksida, hidrosil dan hydrogen peroksida (Greenwald 1985; Haliwell & Gutteridge 1999). 4. Reaksi Fenton dan Haber-weiss, melalui reaksi oksidasi-reduksi yang dikatalis oleh Fe+2 dan Fe+3. Fe+2 dan Fe+3 berasal dari hemoglobin dan mioglobin (Greenwald 1985; Zakaria 1996; Haliwell & Gutteridge 1999). 5. Radikal bebas juga dihasilkan dari reaksi metabolisme eicosanoidi yaitu metabolisme asam arakhidonat melalui mekanisme prostaglandin atau
leukotrin. Perubahan ini menghasilkan ROS (Rise-Evan et al. 1991; Haliwell 1994). 6. Secara alamiah sel-sel tubuh baik sel normal ataupun sel kanker melakukan apoptosis yaitu program bunuh diri. Apoptosis menjadi penting karena jika jumlahnya menjadi berlebihan maka akan memicu kelainan. Pada saat sel melakukan apoptosis maka semua isi sel akan keluar (Roitt 1991; Haliwell & Gutteridge 1999). Sistem pertahanan tubuh nonenzimatik Sistem pertahanan tubuh nonenzimatik terhadap serangan radikal bebas melibatkan vitamin C, vitamin E dan komponen-komponen bioaktif. Pertahanan nonenzimatik terhadap radikal bebas dibagi atas 2 kelompok besar yaitu : sistem pertahanan preventif dan pemutusan rantai reaksi radikal bebas (Nabet 1996). Sistem pertahanan tubuh enzimatik Sistem Pertahanan Tubuh Enzimatik terhadap radikal bebas melibatkan : enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSHPx) (Halliwell et al. 1992; Schmidl et al, 2000). a. Superoksida dismutase (SOD) Superoksida dismutase adalah metaloenzim yang mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida menjadi hydrogen peroksida dan oksigen. SOD tidak stabil terhadap panas, cukup stabil pada kondisi basa. SOD masih mempunyai aktivasi walaupun disimpan selama 5 tahun pada suhu 5
0
C (http:/www.
Orthington-biochem.com). Untuk aktivitasnya SOD membutuhkan logam seperti Zn, Cu, dan Mn sebagai kofaktor (Mc Cord & Fridovich 1969). Aktivitas SOD dihambat oleh sianida dan H2O2, oleh karena SOD dihambat oleh H2O2 maka dalam kerjanya SOD sangat membutuhkan katalase (Rice-Evan et al. 1991; Haliwell & Gutteridge 1999). Aktivitas SOD (U/g jaringan) tertinggi ditemukan didalam hati. SOD juga ditemukan pada kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium, dan timus (Haliwell and Gutteridge 1999).
Aktivitas SOD diukur berdasarkan pengukuran aktivitas enzim secara tidak langsung, salah satunya dengan metode yang dikembangkan oleh Misra dan Fridovich (1997). Metode ini berdasarkan kepada kemampuan penghambatan autooksidasi epinefrin menjadi adenokrom oleh SOD. Perubahan epinefrin menjadi adenokrom menimbulkan warna coklat, makin besar kadar SOD sampel maka makin besar penghambatan dan makin kurang intensitas warna. Warna coklat dideteksi secara spektrofotometri. b. Enzim Glutation Peroksidase Glutation Peroksidase merupakan selonoprotein sebagai active site, terdiri dari 4 sub unit protein yang dapat mengkatalis reaksi reduksi H2O2 menjadi senyawa organik hidroperoksida (ROOH) (Rice-Evan et al. 1991; Haliwell 1994). Glutation peroksidase menggunakan glutation tereduksi (GSH) sebagai substrat. Glutation Peroksidase mereduksi hidroperoksida dan pada saat yang sama glutation tereduksi mengalami oksidasi. Pada manusia, aktivitas glutation peroksidase sebanding dengan konsentrasi selenium (Se) plasma. Glutation Tereduksi Glutation
(L-γ-glutamil-cysteinyl-glisin)
merupakan
tripeptida
yang
mengandung gugus sulfuhidril (-SH). Glutation merupakan salah satu sistem antioksidan, terutama berpartisipasi dalam penghancuran H2O2 dan peroksida organik (Greenwald 1985). Ada dua jenis glutation yaitu glutation tereduksi dan glutation teroksidasi. Glutation banyak ditemukan dalam sitosol hati. Keberadaan GSH di dalam sel sangat diperlukan sebagi substrat glutation peroksidase dan sebagai senyawa konjugat detoksifikasi xenobiotik pada reaksi enzim fase II (Hodgoson & Levi 2000). c. Enzim katalase Katalase merupakan enzim yang mengkatalis reaksi pemecahan senyawa hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air. 2H 2 O 2
Katalase
H2 O + O2
Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan tingkat tinggi. Katalase pada mamalia disusun oleh 4 sub unit protein. Tiap unit terdiri dari satu gugus hem dengan inti ion ferri sebagai active site. Aktivitas katalase dihambat oleh senyawa
azida, sianida dan HOCl tapi meningkat dengan meningkatnya akumulasi H2O2 (Haliwell & Gutteridge 1999). Pada manusia, katalase ditemukan di dalam darah, ginjal, limfa, pankreas, otak, jantung, paru-paru, adipose, kelenjar adrenal dan konsentrasi tertinggi terdapat pada hati (± 1400 U/mg protein) ( Halliwell 1994) bersama-sama dengan glutation peroksida (Greenwald 1985). Pada organ dan jaringan ini katalase ditemukan di dalam peroksisom, mitokondria, dan retikulum endoplasma. Hidrogen peroksida di dalam tubuh melalui dua mekanisme yaitu: 1. Pemecahan oleh katalase membentuk air dan molekul oksigen 2H 2 O 2
Katalase
H2 O + O2
2. Pemecahan oleh glutation peroksidase dengan bantuan substrat glutation GSH- + H 2 O 2
GSH-Px
GS + H 2 O
Salah satu metode penentuan aktivitas katalase adalah metode kalorimetri yang dikembangkan oleh Sinha (1972). Metode ini menggunakan zat warna bikromat sebagai indikator dimana ion bikromat dalam suasana asam dapat direduksi oleh H 2 O 2 menjadi kromat. Perubahan warna yang muncul dibaca secara spektrofotometri pada panjang gelombang 570 nm. Satu unit aktivitas katalase adalah banyaknya H 2 O 2 yang dipakai oleh katalase permenit. Metabolisme xenobiotik dan detoksifikasi senyawa beracun Toksikologi dapat didefenisikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari tentang zat-zat yang beracun. Namun pengertian ini terus berkembang seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan sosial masyarakat. Selanjutnya toksikologi tidak hanya dikaitkan dengan zat-zat yang beracun tetapi juga mempelajari tentang pendeteksian, keberadaan, efek dan regulasi dari senyawa toksik (Hodgoson & Levi, 2000). Toksikologi berhubungan erat dengan cabang farmakologi/ farmasi. Hal ini bisa dijadikan dasar pengetahuan tentang metabolisme senyawa asing atau yang lebih dikenal dengan xenobiotik (Murray et al. 1999). Xenobiotik merupakan senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh kita
dan bukan merupakan komponen gizi. Xenobiotik ini dikeluarkan oleh tubuh kita melalui proses detoksifikasi (Hodgoson & Levi, 2000). Toksikologi pangan berhubungan erat dengan keamanan pangan karena makhluk hidup tidak lepas dari makanan. Berbagai macam makanan ternyata tidak sepenuhnya bebas dari zat kimia toksik atau xenobiotik yang berada pada makanan sebagai zat tambahan makanan, pencemar makanan ataupun zat toksik alamiah. Contoh xenobiotik pangan antara lain alkohol, flavon (zat toksik alamiah), BHA (antioksidan pangan), benzopiren yang terdapat pada daging panggang dan lain sebagainya (Donatus 2001). Timbulnya pengaruh bahaya atau efek toksik racun atas makhluk hidup terjadi melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk hidup menerima racun, berikutnya mengalami absorbsi, distribusi racun atau metabolitnya ke tempat aksi yaitu sel sasaran atau reseptor yang ada dalam makhluk hidup. Di dalam aksi ini, kemudian terjadi reaksi antara racun atau metabolitnya ke tempat aksi sel sasaran atau reseptor, dan berbagai peristiwa biokimia dan biofisika berikutnya, akhirnya timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu. Jadi toksisitas suatu senyawa ditentukan oleh keberadaan yang meliputi kadar dan lama tinggal senyawa itu atau metabolitnya di tempat aksinya dan keefektifan antar aksinya (mekanisme aksi). Reaksi yang berlangsung juga tergantung pada kondisi makhluk hidup (Donatus 2001). Metabolisme senyawa beracun dapat didefenisikan sebagai perubahan hayati atau biotransformasi zat kimia toksik menjadi suatu metabolit yang secara kimia berbeda dengan zat kimia induknya, dalam diri makhluk hidup. Hal ini mengandung arti bahwa pertama, di dalam tubuh zat kimia toksik tersebut mungkin mengalami perubahan struktur molekul melalui mekanisme tertentu. Kedua, perubahan bentuk struktur tersebut akan mengakibatkan perubahan sifatsifat fisika-kimia yang berbeda dengan zat induk. Ketiga, bentuk ubahannya yang disebut bentuk metabolit yang memilki sifat fisika kimia yang berbeda dengan zat induk. Keempat, akibat perubahan sifat fisika-kimia tersebut menyebabkan metabolit memiliki kelarutan dalam air atau lipid, aktivitas dengan jaringan atau tempat aksi dan aktivitas intrinsik yang berbeda dengan zat induknya. Kelima,
hasil bersih berbagai perubahan biokimia tersebut adalah perubahan ketoksikan zat induk, sehingga respon toksik makhluk hidup terhadap racun juga akan berubah (Donatus 2001). Beberapa langkah biotransformasi xenobiotik dalam tubuh terlihat pada gambar berikut:
XENOBIOTIK Lipofilik tinggi
Lipofilik
Polar
Hidrofilik
Enzim yang berperan: Sitokrom P-450 Flavin Containing Monooksigenase Prostaglandin Synthetase Cooxidase Molibdenum Hidroxylase,dll
Terakumulasi terutama dalam lemak
Reaksi Fase I (Bioaktivasi atau Inaktifasi) Oksidasi, Reduksi, Hidrolisis
Enzim yang berperan: Glutation S-transferase Metyl transferase Cystein Konjugate Lyase N,O-Acyltransferase
Polar Reaksi Fase II (Bioaktivasi) Konjugasi
Hidrofilik
Mobilisasi Pengeluaran dari tubuh Melalui Keringat
Sirkulasi Plasma (melalui urin)
Gambar 5 Biotransformasi xenobiotik di tubuh (Blaauboer 1996) Hodgoson & Levi (2000) menyebutkan bahwa mekanisme pergerakan bahan toksik melewati membran-membran khususnya pada awal masukan, merupakan hal yang kurang menjadi perhatian dengan baik, meskipun sesungguhnya telah
dilakukan pada masalah khusus obat-obatan. Terdapat 4 mekanisme pokok yang memungkinkan bahan toksik untuk melintasi membran. 1. Transpor pasif. Mekanisme ini mendominasi hampir semua bahan toksik. Pengangkutan pasif melibatkan pergerakan campuran-campuran melewati membran-membran lipid oleh difusi sederhana dengan koefisien pembagi air/ lipid yang sebagian besar menentukan tingkat pergerakan. Campurancampuran dalam bentuk yang telah diionisasi tidak menggerakan dengan sangat cepat oleh difusi melalui membran untuk beberapa alasan. Pertama, bentuk yang telah diionisasi cenderung memiliki daya larut lipid rendah, sebuah faktor yang sangat penting untuk difusi membran. Kedua, memungkinkan terjadinya interaksi ion antara xenobiotik, lipid, dan protein dalam membran. 2. Filtrasi. Seringkali pori-pori dalam membran memperbolehkan masuknya dengan berat molekul kurang dari 100 dalton. Molekul-molekul yang lebih besar, bagaimanapun juga, dikeluarkan kecuali dalam banyak jaringanjaringan yang penyerapannya tinggi, seperti ginjal dan hati. Karena kebanyakan bahan toksik relatif bermolekul sangat besar, jalan kecil ini seringkali memiliki arti penting mekanisme penyerapan yang terbatas. Filtrasi umumnya memiliki arti yang sangat penting dalam pembuangan bahan toksik, khususnya ginjal. 3. Transpor khusus. Sejumlah sistem pengangkutan khusus, terutama sekali pada bidang gastro intestinal, membantu dalam pengangkutan campuran endogen melalui
membran. Proses tersebut dapat
membutuhkan energi dan
memungkinkan senyawa untuk melewati gradien konsentrasi (transpor aktif) atau mungkin tidak memerlukan energi dan tidak dapat menggerakkan senyawa melewati sebuah tanjakan/ gradien (pengangkutan yang difasilitasi). Meskipun hasilnya bisa jadi berbeda, mekanisme ini agak mirip dan telah didiskusikan bersama. Pada kedua masalah ini, protein pembawa yang bergabung dengan bahan toksik telah diketahui. Protein ini membantu pergerakan bahan toksik dari satu sisi membran ke yang lain, dan di lain sisi, bahan kimia berpisah dari protein, yang kemudian bebas untuk mengambil
molekul bahan toksik yang lain. Penetrasi seperti itu lebih cepat daripada difusi sederhana dan dalam hal pengangkutan aktif, dapat diproses di luar titik yang berkonsentrasi sama pada kedua sisi membrannya. Mekanisme ini mungkin menjadi penting dan relatif jarang terjadi dalam bahan toksik yang memiliki bahan kimia atau struktur menyerupai bahan kimia endogen yang berprinsip pada mekanisme pengangkutan khusus untuk pengambilan fisiologi normal dan itu dapat menggunakan sistem yang sama. Sebagai contoh, 5-fluorouracil diangkut oleh sistem pengangkutan timidin. Timah dapat dipindahkan secara cepat dengan sistem pengangkutan yang dilibatkan secara normal pada pengambilan kalsium. Sebagai mekanisme penyerapan, sistem pengangkutan khusus ini banyak dimuat pada penyerapan gastro intestinal. Mekanisme ini menjadi lebih besar perannya dalam pembuangan bahan racun, bagaimanapun juga pengangkutan khusus penting pada
pemindahan
xenobiotik
dan
metabolitnya.
Sifat
penting
dari
pengangkutan khusus adalah mereka memperbolehkan pergerakan senyawasenyawa dengan daya larut lipid lebih rendah, hal ini menyangkut senyawasenyawa yang biasanya diharapkan untuk bergerak sangat lambat melewati membran lipid yang sangat tinggi. Kebanyakan sistem pengangkutan aktif dihubungkan ke energi yang menghasilkan enzim (misalnya ATPase), dan kedua sistem pengangkutan aktif dan difasilitasi memperlihatkan sifat saturasi (dengan kata lain, saturasi dari ketersediaan protein pembawa oleh molekul bahan toksik). Dengan begitu, kinetik/ ilmu gerak dari sistem pengangkutan khusus dapat dijelaskan lebih baik lagi dengan menggunakan model kinetik enzim Michaelis-Menton. 4. Endositosis. Pinositosis (untuk cairan) dan pagositosis (untuk padat) adalah proses pengangkutan yang dikhususkan pada permukaan membran atau pengaliran disekeliling bahan kimia yang memungkinkan transfer yang lebih cepat melalui membran. Hanya pada pemisahan kejadian seperti penyerapan dari karagen (mol wt ~40.000) dalam usus memiliki mekanisme ini yang telah ditemukan menjadi penting pada masukan awal. Setelah di dalam tubuh,
bagaimanapun juga endositosis adalah mekanisme yang sedikit umum dan penelanan senyawa di dalam paru-paru adalah umum (pagositosis paru-paru) Berlangsungnya metabolisme senyawa asing di dalam tubuh, dapat terjadi di dalam hati, ginjal, usus, kulit, kelenjar kelamin, plasenta serta darah. Meskipun hati merupakan organ utama dalam sistem biotransformasi, tetapi metabolisme senyawa xenobiotik juga dapat berlangsung pada jaringan-jaringan di luar hati, misalnya saja darah (Krovat et al. 2000). Setelah toksikan masuk ke dalam sirkulasi darah, maka toksikan tersebut akan didistribusikan atau disebar ke seluruh jaringan tubuh manusia (Donatus 2001). Menurut Hodgoson dan Levi (2000), cairan tubuh memegang peranan penting dalam pendistribusian toksikan dalam tubuh yang telah diabsorpsi. Metabolisme seyawa xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu (monoksigenase) menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzimenzim fase dua (konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek toksik bagi tubuh (Hodgoson & Levi, 2000). A. Reaksi fase satu Reaksi-reaksi fase satu meliputi monooksigenasi mikrosom, oksidasi mitokondria dan sitosol, kooksidasi dalam reaksi sintesis prostaglandin, reduksi, hidrolisis dan hidrasi epoksida. Semua reaksi pada fase satu menghasilkan metabolit atau merubah toksikan menjadi lebih polar sehingga dapat dikonjugasi dalam reaksi-reaksi fase dua dan mudah diekresikan baik secara langsung maupun tidak langsung setelah mengalami reaksi fase satu (Hodgoson & Levi, 2000). Lebih lanjut, Donatus (2001) menjelaskan bahwa fungsi utama reaksi metabolisme fase I adalah mengubah struktur senyawa asing melalui proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis, guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II.
Enzim yang berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase I adalah enzim monoksigenase Sitokrom P-450. Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Omura dan Sato (1964), maka mereka mendefenisikan Sitokrom P-450 sebagai suatu protein heme yang mengandung satu molekul besiprotoporfirin IX sebagai gugus prostetik atau gugus aktifnya. Nama sitokrom P450 diperoleh dari kenyataan bahwa sitokrom memberikan satu spektra resapan maksimum pada panjang gelombang 450 nm, bila tereduksi dan terkompleks dengan karbon monoksida. Sifat ini khas diperantarai oleh adanya gugus tiolat sebagai suatu ligan protein heme itu. Menurut Donatus (2001) Sitokrom P-450 menunjukkan selektivitas yang luas terhadap aneka ragam substrat. Keadaan ini disebabkan oleh adanya aneka ragam isoenzim sitokrom tersebut, yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam struktur rantai polipeptida dan kekhasan reaksi yang dikatalisirnya. Induksi terhadap metabolisme fase I, terutama yang dikatalisir oleh sitokrom P-450 mikrosomal memilki arti penting karena sistem ini sering membentuk metabolit perantara yang reaktif atau toksik (Donatus, 2001). Beberapa produk yang dibentuk oleh enzim ini berimplikasi pada penyebab penyakit kanker atau karsinogenik (Shimada et al, 1996). Intermediet yang terdapat dalam aktivasi dioksigen merupakan awal terbentuknya superoksida atau peroksida. Mekanisme aktivasi dioksigen diketahui sebagai tahap terakhir dari katalisis P-450, yang dimulai dengan reduksi komplek dioksigen (Benson et al, 1997). Ada dua hal penting yang berhubungan dengan fungsi enzim sitokrom P450, yang pertama adalah enzim ini memiliki jalur yang kritis dan spesifik dalam metabolisme senyawa-senyawa kimia endogenus. Kedua, Proses enzim ini merupakan pokok dari produk-produk alami, bahkan saat ini ditambah dengan bahan-bahan kimia seperti obat-obatan dan xenobiotik lainnya dalam senyawasenyawa non selektif (Guengerich 1991). P-450 dan komponennya bisa ditemukan di kulit, mukus, paru-paru, gastrointestinal. Selain organ-organ tersebut juga telah banyak dilakukan penelitian tentang keberadaan P-450, diantaranya di hati, ginjal, plasenta, testis serta pada darah (Hodgoson & Levi, 2000).
B. Reaksi fase dua Pada reaksi fase dua, senyawa yang terhidroksilasi atau senyawa lainnya yang diproduksi dalam fase satu, diubah oleh enzim yang spesifik menjadi berbagai metabolit polar lewat konjugasi dengan asam glukuronat, sulfat, asetat, glutation atau asam amino tertentu lewat metilasi. Reaksi konjugasi ini membuat molekul lebih bersifat dapat larut dalam air sehingga akhirnya dapat diekresikan ke dalam urin dan empedu (Murray et al. 1999). Reaksi fase dua lebih dikenal dengan reaksi konjugasi, menyangkut penambahan gugus polar ke senyawa asing. Reaksi fase dua merupakan reaksi biosintetik, maka dibutuhkan energi sehingga reaksi dapat berlangsung. Reaksi penting pada fase II adalah reaksi konjugasi glutation karena sering terlibat dalam penghilangan zat atau metabolit perantara yang reaktif, yakni yang bersifat elektrofil. Berlangsungnya reaksi ini dikatalisir oleh enzim glutation S-transferase (Donatus 2001). Glutation S-transferase merupakan suatu famili enzim yang mengkatalisir tahap awal pembentukan N-asetilsisteina (asam merkapturat) yang terutama terdapat dalam sitosol testis, hati, ginjal, usus, kelenjar adrenal (Donatus 2001). Enzim ini berperan dalam binding, transport dan detoksifikasi komponen endogenus maupun eksogenus. Glutation S-transferase ditemukan dalam jumlah yang besar pada hati, tetapi juga terdapat pada aliran darah terlebih lagi jika hati mengalami kerusakan (Mulder et al 1999). Sejumlah
xenobiotik
elektrofilik
yang
berpotensi
beracun
akan
terkonjugasi dengan glutation nukleofilik dalam reaksi berikut: R
+
GSHO
R–S- G
Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Jika xenobiotik yang potensial beracun tidak terkonjugasi maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius (Murray et al. 1999). Induksi enzim detoksifikasi glutation S-transferase merupakan mekanisme pertahanan terhadap kanker. Prinsipnya peningkatan enzim glutation S-transferase
dapat mereduksi karsinogenesis melalui penguatan pembuangan elektrofil reaktif (Kirlin et al. 1999). Analisis yang digunakan dengan menggunakan prinsip bahwa GSH dapat berkonjugasi dengan 1-kloro-2,4-dinitrobenzene (CDNB) dengan adanya katalis enzim glutation S-transferase dan menghasilkan produk dapat diukur secara spektrofotometri (Habig et al. 1974).
Metabolisme Senyawa Bioaktif Metabolisme senyawa bioaktif seperti senyawa flavonoid dalam tubuh dipengaruhi oleh struktur kimia dan perlunya molekul itu mengalami konjugasi. Meskipun bioavailabilitas flavonoid bervariasi antara flavonoid tipe satu dan yang lain, mulai dari antosianin yang sangat sedikit diserap dan isoflavon yang dengan mudah diserap, jalur dalam mekanisme absorbsi pada umumnya sama untuk semua flavonoid. Perubahan melalui jalur metabolisme ditentukan oleh spesifitas dan aktivitas transporter, spesifitas dan aktivitas metabolisme dan stabilitas flavonoid (Meskin et al, 2004). Senyawa flavonoid dalam tanaman biasanya dalam bentuk glikosida. Glikosida flavonoid yang diasup tubuh mencapai usus halus melalui jalur pencernaan. Senyawa flavanol seperti katekin dan proanthosianin oligomer sebagian besar tidak terglikosolasi harus dideglikolasi. Deglikosilasi dapat terjadi pada beberapa tempat dalam duodenum dan jejenum dalam lumen intestinal, brush border atau hidrolase intraseluler setelah terjadinya transport flavonoid ke dalam enterosit. Deglikosilasi adalah perlakuan awal sebelum konjugasi oleh enzim yang terdapat dalam usus dan transport sampai serosol atau sisi mukosal. Hal yang sama juga berlaku untuk isoflavon, aglikonnya dapat diserap dalam usus halus. Tahap awal proses absorbsi untuk flavonoid terglikosilasi dan isoflavon adalah deglikosilasi oleh lactase phlorizin hydrolase (LPH) yang merupakan enzim yang terletak dalam bagian brush border dari usus halus yang bertanggung jawab dalam hidrolisis laktosa (Meskin et al 2004). Hasil dari reaksi deglikosilasi adalah aglikon bebas yang dapat berdifusi ke dalam sel-sel epitel secara pasif atau secara difusi fasilitatif. Reaksi deglikosilasi ini adalah reaksi yang spesifik dan memiliki aktivitas yang besar. Reaksi
selanjutnya yang terjadinya adalah penyerapan atau absorbsi. Penyerapan glikosida flavonoid tidak dipengaruhi oleh perlakuan awal menggunakan βglukosidase dari mikroba diduga karena enzim LPH dalam usus halus mengakatalis reaksi yang sama. Absorbsi aglikon dalam lumen tergantung pada keberadaan komponen-komponen lain dan juga karena kelarutan atau koefisien partisi dari flavonoid. Mekanisme absorbsi alternatif yang terjadi melibatkan transpor glikosida flavonoid ke dalam enterosit dalam bentuk serapan melalui fungsi transporter gula. Kedua jalur absorbsi menaikkan jumlah aglikon intaraseluler transient yang ditemukan dalam jaringan usus halus tikus setelah reaksi fusi in vitro dengan glukosida quarcetin atau isoflavon (Meskin et al, 2004). Reaksi yang terjadi selanjutnya adalah konjugasi. Usus memiliki kapasitas konjugasi tertentu termasuk oleh glukoronosyl transferase atau UGTs dan glutation transferase. Absorbsi di usus halus menentukan transfer flavonoid dari mukosa usus sampai darah (Kuhnle et al 2000 dalam Setiawan 2006). Ditemukan bahwa quercetin, katekin dan genistein sebagian besar adalah dalam bentuk glukoronidase. Enzim-enzim yang mengkatalis reaksi konjugasi di dalam usus dan hati adalah UGT1A1 dan 1A8. Sebagian kecil flavonoid seperti katekin galloylasi dan isoflavon melewati konjugasi usus namun hanya dalam keadaan, dosis dan waktu tertentu (Meskin et al, 2004). Pada reaksi glukoronidasi selama absorbsi, beberapa flavonoid mengalami metabolisme lebih lanjut. Pada tahap ini residu glukoronida dikeluarkan dan diganti dengan sulfat. Reaksi sulfitasi ini pada umumnya terjadi di liver. Hati menerima flavonoid dari darah termasuk darah dari usus halus pada awal metabolisme. Berdasarkan percobaan perfusi secara invitro dan invivo pada tikus, flavonoid dari usus halus terutama glukoronida yang mencapai liver secara keseluruhan terkonjugasi. Semua flavonoid yang telah terkonjugasi kemudian disalurkan ke dalam empedu dan kembali ke usus halus tanpa mengalami dekonjugasi lagi dan kemudian dikirim ke kolon serta diikuti deglukoronidasi atau sulfatasi oleh mikroba dalam ileum atau kolon dan terjadi reabsorbsi flavonoid dalam tikus enterohepatik (Meskin et al, 2004).
Darah menyalurkan flavonoid ke jaringan-jaringan tubuh. Apabila terdapat dalam plasma aglikon memasuki jaringan perifer dengan difusi pasif atau terfasilitasi. Konjugat glukoronida perlu disalurkan ke dalam jaringan perifer karena senyawa tersebut bersifat hidrofilik dan berdifusi melewati membran dengan lambat. Untuk dekonjugasi dalam jaringan, banyak sel memiliki aktivitas β-Glukoronidase dalam fraksi lisosom dan lumen dalam retikulum endoplasma. Dalam hati, enzim ini aktif terhadap quarcetin glukoronida. Tahap terakhir dari metabolisme senyawa flavonoid adalah ekresi yang merupakan ekresi di ginjal. Meskipun demikian kandungan flavonoid karena pembentukan deglikosilasi flavonoid juga terjadi di kolon oleh mikroba (Meskin et al, 2004). Komponen darah Menurut Koolman dan Rohm (1996), darah menyusun sekitar 8% dari masa tubuh manusia. Darah merupakan suatu jaringan bersifat cair yang terdiri atas sel-sel darah dan plasma sebagai mediumnya. Plasma darah bersifat homogen dan alkali lemah serta terdiri dari garam organik, protein, lemak, hormon, vitamin, enzim serta zat-zat nutrisi lainnya. Sel-sel darah mamalia terdiri dari sel darah merah atau eritrosit, keping darah atau trombosit, dan sel darah putih atau leukosit (Hartono 1989). Darah mempunyai berbagai fungsi di dalam tubuh manusia. Darah merupakan alat transpor, mempertahankan lingkungan dalam tubuh agar terjaga konstan (homeostasis) dan berperan penting pada pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing. Eritrosit Eritrosit adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh disebut juga sel darah merah (red blood cell/RBC). Di dalam tubuh manusia dalam keadaan diam sekitar 250 ml oksigen dikonsumsi dan 200 ml karbondioksida diproduksi setiap menit, selama latihan jumlah ini meningkat sepuluh kali lipat (Anonim 2006). Warna kemerah-merahan disebabkan oleh kandungan hemoglobin. Eritrosit berbentuk bikonkaf yang
meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan karbon dioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas beberapa protein. Eritrosit sangat fleksibel dan dapat berubah bentuk saat mengalir di dalam kapiler. Eritrosit yang belum matang disebut retikulosit, secara normal terdapat 1-2% dari jumlah sel darah merah di dalam darah. Garis tengah eritrosit manusia adalah 6-8 µm, jauh lebih kecil dibanding hampir seluruh sel manusia. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta molekul hemoglobin dengan masing-masing membawa empat kelompok heme (Anonim 2006). Dalam rangka mengikat oksigen, besi yang terdapat pada heme yang mengisi separuh jumlah hemoglobin harus dijaga dalam bentuk tereduksi disamping sebagai agen oksidasi endogen dan eksogen (Anonim 2006). Plasma darah Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas elektrolit, zat-zat makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain. Volume plasma normal adalah sekitar 5 % berat badan atau secara kasar 3500 ml (berat badan 70 kg). Plasma akan menggumpal jika didiamkan dan hanya akan bertahan cair jika ditambah antikoagulan (Ganong 2000). Protein membentuk bagian terbesar komponen yang tidak mudah menguap di dalam plasma darah. Konsentrasinya berkisar antara 60 dan 80 g/L. Dengan demikian sekitar 4 % dari seluruh protein tubuh adalah protein plasma. Di dalam plasma terdapat sekitar 100 protein yang berbeda (Koolman dan Rohm, 2001).
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, Pusat Studi Primata, Bogor serta klinik Farva Dramaga, Bogor. Waktu yang diperlukan dari pembuatan proposal sampai pembuatan laporan adalah selama 10 bulan yaitu dari bulan Juli 2006 sampai Juni 2007.
Bahan dan Alat Bahan Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah bubuk biji kakao bebas lemak yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember. Bubuk yang digunakan merupakan bubuk biji kakao varietas bulk masak non fermentasi yang memiliki total fenol dan daya proliferasi limfosit yang tinggi berdasarkan uji in vitro (Zairisman 2006 ). Bahan lain yang digunakan adalah gula pasir, air panas, dan susu bubuk skim. Bahan-bahan kimia yang diperlukan adalah: H2SO4 65%, metanol proanalisis, kloroform-etanol 96%, larutan epinefrin, buffer natrium karbonat, potassium bikromat K 2 Cr 2 O 7 , H 2 O 2 , triton X-100 0.1 %, EDTA, TBA, sukrosa, HCl, Gas CO, NaS 2 O 4 , albumin serum sapi (AAS), pereaksi Folin, CuSO 4 .5H 2 O, 1 ml Na-tartarat 2 %, 98 ml Na 2 CO 3 2 % dalam 0,1 N NaOH. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: sentrifuge (JOUAN, tipe CR 412), laminar air flow (Holten laminar air tipe HV 2472), inkubator Jouan tipe IG 150, mikroskop, hemasitometer, mikroplate reader, syringe 50 ml (Terumo), tabung sentrifuse steril, lempeng mikro 96 sumur (Costar), membran filter (sigma), mikropipet, spektrofotometer, ultra Sentrifuge, tabung ultrasentrifuse, ELISA Reader.
Peralatan sekali pakai yang digunakan adalah syringe 50 ml (Terumo), Syringe 3 ml, tabung sentrifuge steril 15 dan 50 ml sekali pakai (Corning), lempeng mikro 96 sumur (Corning), repeater (Eppendorf), dispenser tip (Marsh), dan tabung vacutainer ukuran 9 ml dengan koagulan. Alur penelitian Alur penelitian yang telah dilakukan digambarkan secara skema dalam diagram alir berikut: SCREENING Pemeriksaan kesehatan dan interview
Subyek sehat (n=18)
Inform Consent
Pengambilan darah
Kelompok Kakao (n=9)
MULAI INTERVENSI AKHIR INTERVENSI
25 hari
Kelompok Kontrol (n=9)
25 hari
Pemeriksaan kesehatan Pengambilan darah
Analisa Aktivitas Enzim Antioksidan Katalase Analisa Enzim Detoksifikasi Sitokrom P-450 dan Glutation S-Transferase (GST)
ANALISA DATA
HASIL
Positif
Negatif
Gambar 6 Diagram alir penelitian
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan bersama-sama dengan Erniati (2007), Amri (2007), Yuliatmoko (2007) dan Kusumaningtyas (2007) mulai dari tahap penentuan komposisi minuman bubuk kakao bebas lemak sampai tahap pemisahan komponen darah.
1. Pembuatan minuman bubuk kakao Minuman bubuk kakao bebas lemak disiapkan dengan cara bubuk kakao bebas lemak bulk masak non fermentasi sebanyak 4 gram dilarutkan dalam 100 ml air hangat, ditambahkan 2 gram gula dan 2 gram susu bubuk skim . Minuman bubuk kakao dalam keadaan hangat akan diminum oleh responden 2. Persiapan responden Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah mahasiswi S1 Institut Pertanian Bogor.
Pertimbangan dalam memilih subyek ini adalah kesamaan
tempat tinggal, memiliki pengetahuan tentang pangan, gizi, dan metodologi penelitian dengan baik, serta mempunyai status gizi normal. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat berjalan dengan baik, sosialisasinya mudah, dan pengaruh biologisnya relatif seragam. Jumlah subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 orang berjenis kelamin perempuan, umur 22-27 tahun, dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama berjumlah 9 orang meminum minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari dan sisanya kelompok yang tidak meminum minuman kakao bebas lemak, kelompok ini dinamakan dengan kontrol. Kelompok kontrol ini hanya mengkonsumsi minuman yang terdiri dari sedikit susu bubuk skim yang ditambah sedikit gula dalam 100 ml air hangat Responden yang dipilih adalah mahasiswa yang dinyatakan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh Klinik Farfa Dramaga, Bogor. 3. Pelaksanaan intervensi (modifikasi dari Nurrahman, 1998) Intervensi dilaksanakan selama 25 hari di rumah indekost mahasiswa di kompleks perumahan IPB II Sindang Barang. Pelaksanaan dilakukan setiap hari pada jam 07.00-08.00 WIB. Setiap responden pada kelompok perlakuan meminum minuman bubuk kakao sebanyak 4 g/100 ml setiap hari. Minuman bubuk kakao dipersiapkan setiap hari oleh peneliti yang sekaligus mengawasi responden meminum minuman bubuk kakao. Semua responden akan mendapat sarapan pagi sebelum mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dan makan malam dengan menu yang seragam. Seminggu sekali selama pelaksanaan
intervensi dilakukan diskusi yang melibatkan seluruh responden mengenai penelitian dan kesehatan umum. Sebelum pelaksanaan intervensi juga dilakukan penandatanganan surat perjanjian (Inform consent) (lampiran 1) dan wawancara terhadap responden dengan format kuisioner standar (lampiran 2). Kuisioner tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai status sosial ekonomi, pengetahuan tentang pangan, pola konsumsi dan kebiasaan membeli makanan jajanan. Hasil pengisian kuisioner tentang pola konsumsi dan kebiasaan membeli makanan jajan disusun jenis makanan dan fekuensinya (per minggu per orang) serta nilai pencemaran. Nilai pencemaran diperoleh dengan cara mengalikan frekuensi
konsumsi
makanan
jajanan,
tempat
pembelian
dan
jenis
pembungkusnya. Masing-masing faktor pengkali diberi skor dari 1 untuk tingkat pencemaran rendah sampai 6 untuk pencemaran tinggi. 4. Pengukuran status gizi (Nurrahman 1998) Pengukuran status gizi responden dilakukan secara antropometri yang meliputi Tinggi Badan (TB) dan Berat Badan (BB). Penggolongan status Gizi menurut “Body Mass Index” (BMI) dengan satuan Kg/m2, yaitu: BMI = BB/TB2 Dimana: BMI < 17,0 kekurangan berat badan tingkat berat BMI 17,0 – 18,4 kekurangan berat badan tingkat ringan BMI 18,5 – 25,0 normal BMI 25,1 – 27,0 kelebihan berat badan tingkat ringan BMI > 27,0, kelebihan berat badan tingkat berat 5. Pengambilan darah Pengambilan darah dilakukan sebelum dan sesudah responden mengalami intervensi dengan meminum minuman bubuk kakao. Pengambilan darah dilakukan di klinik Farfa Kampus Dramaga IPB pada jam 07.00 pagi oleh seorang asisten tranfusi darah. Darah diambil sebanyak 35 ml dengan menggunakan jarum Precisionglide
TM
steril sekali pakai, kemudian di masukkan ke dalam tabung
vacutainer steril ang mengandung koagulan. Darah yang diambil dibawa kelaboratorium kultur jaringan bagian patologi FKH IPB untuk segera dianalisa.
Gambar 7 Proses Pengambilan Darah Responden
6. Isolasi eritrosit (Zhu et al 2005) Darah yang telah dimasukkan dalam tabung vacutainer steril yang mengandung
koagulan
dilakukan
pemisahan
komponen
seluler
dengan
sentrifugasi sampel darah dalam vacutainer pada 514 x g selama 10 menit dengan menggunakan sentrifius dengan rotor swing. Bagian darah yang lebih berat (sel darah merah/ eritrosit) berada di bagian bawah, sedangkan plasma darah terpisah bagian atas.
Plasma darah dan eritrosit diambil atau dipisahkan dengan
mikropipet ke dalam masing-masing tabung sentrifius yang telah disiapkan. 7. Aktivitas enzim antioksidan katalase pada plasma darah (Sinha, 1978) Prinsip metode yang digunakan oleh Sinha menggunakan zat warna sebagai indikator. Zat warna yang digunakan adalah potassium bikromat K 2 Cr 2 O 7 5 % dalam suasana asam asetat glasial (1:3). Ion bikromat dalam suasana asam akan direduksi oleh H 2 O 2 menjadi kromat dan memberikan warna pada panjang gelombang 570 nm. 1 unit aktivitas katalase dinyatakan sebagai banyaknya H 2 O 2 dalam mol yang digunakan oleh katalase permenit. Cr +6
+
H2 O2
H+
Cr 3+ + H 2 O +O 2
a. Ekstraksi sample Sebanyak 3.5 ml plasma ditambahkan dengan 0.5 ml triton X-100 0.1 %, sentrifuse pada 4000 rpm selama 5 menit suhu dingin. Supernatan digunakan untuk menentukan aktivitas katalase.
b. Pengukuran aktivitas katalase Sebanyak 1 ml sampel ditambahkan dengan 5 ml buffer posfat 0.05 M pH 7.0 sambil divortek. Tambahkan 4 ml H 2 O 2 0.2 M dan inkubasi selama 60 detik. Ambil 1 ml larutan ini tambahkan 2 ml larutan warna kalium bikromat lalu panaskan pada air mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, serapan diukur pada panjang gelombang 570 nm. c. Kurva standar dan perhitungan aktivitas katalase Kurva standar dibuat dari larutan standar H 2 O 2 30%. 1 ml larutan standar H 2 O 2 ditambahkan dengan 2 ml larutan bikromat 5 %, panaskan dalam air mendidih selama 10 menit kemudian dinginkan dan serapan dibaca pada panjang gelombang 570 nm. Absorban sb y dialurkan terhadap konsentrasi H 2 O 2 sb x. Jumlah H 2 O 2 yang dipakai katalase = 0.2 M – konsentarasi H 2 O 2 terbaca. 8. Aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit darah (Sinha, 1978) Prinsip metode yang digunakan oleh Sinha menggunakan zat warna sebagai indikator. Zat warna yang digunakan adalah potassium bikromat K 2 Cr 2 O 7 5 % dalam suasana asam asetat glasial (1:3). Ion bikromat dalam suasana asam akan direduksi oleh H 2 O 2 menjadi kromat dan memeberikan warna pada panjan gelombang 570 nm. 1 unit aktivitas katalase dinyatakan sebagai banyaknya H 2 O 2 dalam mol yangdigunakan oleh katalase permenit. Cr +6
+
H2 O2
H+
Cr 3+ + H 2 O +O 2
a. Ekstraksi sample 3,5 ml eritrosit ditambahkan dengan 0.5 ml Triton X-100 0.1 %, sentrifuse pada 4000 rpm selama 5 menit suhu dingin. Supernatan digunakan untuk menentukan aktivitas katalase. b. Pengukuran aktivitas katalase 1 ml sampel ditambahkan dengan 5 ml buffer posfat 0.05 M pH 7.0 sambil divortek. Tambahkan 4 ml H 2 O 2 0.2 M dan inkubasi selama 60 detik. Ambil 1 ml larutan ini tambahkan 2 ml larutan warna kalium bikromat lalu panaskan pada
air mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, serapan diukur pada panjang gelombang 570 nm. c. Kurva standar dan perhitungan aktivitas katalase Kurva standar dibuat dari larutan standar H 2 O 2 30%. 1 ml larutan standar H 2 O 2 ditambahkan dengan 2 ml larutan bikromat 5 %, panaskan dalam air mendidih selama 10 menit kemudian dinginkan dan serapan dibaca pada panjang gelombang 570nm. Absorban sb y dialurkan terhadap konsentrasi H 2 O 2 sb x. Jumlah H 2 O 2 yang dipakai katalase = 0.2 M – konsentarasi H 2 O 2 terbaca.
10. Analisis kadar sitokrom P-450 pada plasma (dimodifikasi dari Omura dan Sato,1964) a. Fraksinasi sel Plasma ditambah dengan 0,25 M sukrosa dalam larutan Bufer Tris-HCl 10 mM (pH 7,5) dengan perbandingan 4 kali lipat berat plasma, lalu dihomogenisasi menggunakan homogonizer. Selanjutnya disentrifuse pada 2000 g selama 10 menit sehingga dihasilkan supernatan. Supernatan yang terbentuk disentrifuse kembali pada 105.000 x g selama 60 menit, dihasilkan supernatan kedua yang merupakan sitosol dan endapan yang terbentuk dilarutkan dengan 0,25 sukrosa-10 mM buffer Tris-HCl-0,1 mM buffer EDTA (pH 7,5) sehingga menghasilkan fraksi mikrosomal. Fraksi sitosol dan mikrosomal dianalisis kadar proteinnya dengan menggunakan metode Lowry. b. Pengukuran kadar sitokrom P-450 pada plasma Analisa ini menggunakan dua buah tabung, tabung untuk blangko dan tabung untuk sample. Ke dalam masing-masing tabung dimasukkan 2 ml fraksi mikrosomal dan ditambah 2 ml 0,1 M buffer phosfat (pH 7,6). Tabung blangko diukur dengan spektrofotometer double beam sebagai baseline pada panjang gelombang 500-400 nm. Sedangkan tabung sample dialirkan 20-30 gelembung gas CO dengan kecepatan 1 gelembung tiap detik. Setelah itu ke dalam masingmasing tabung ditambahkan 1-3 mg NaS 2 O 4 . Isi dari masing-masing tabung dituangkan ke kuvet dan diukur pada panjang gelombang 500-400 nm.
Kadar sitoktrom P-450 diukur dengan rumus: Kadar sitokrom P450 = (A450-A490)tereduksi – (A450-A490) baseline x f difusi Molar extinction x tebal kuvet 11. Pengukuran aktivitas glutation S-transferase pada plasma (dimodifikasi dari Arisudana, 2003) Aktivitas glutation S-transferase diukur dari fraksi sitosol plasma dengan menggunakan 2 substrat yakni 1-chloro-2,4-dinitrobenzen (CDNB) dan glutation dalam bentuk tereduksi (GSH). CDNB yang dibutuhkan mempunyai konsentrasi 1 mM dan GSH yang dibutuhkan dalam 1 mM dalam 0.1 M buffer fosfat (pH 6.5). Ke dalam masing-masing kuvet dimasukkan 2700 µl buffer fosfat pH 6.5. ke dalam kuvet sample dimasukkan fraksi sitosol 100 µl sedangkan untuk kuvet blangko dimasukkan akuades 100 µl. selanjutnya masing-masing kuvet ditambahkan 100 µl GSH dalam buffer fosfat. Sebelum diukur ditambahkan 100 µl 30 mM CDNB dalam etanol. Total volume akhir dalam kuvet sebesar 3 ml. Aktivitas GST diukur pada panjang gelombang 340 nm selama 3 menit. Perhitungan aktivitas GST =
(∆ absorbansi/menit) Ε GS-DBN x kadar protein saat pengujian
ε GS-DBN (koefisien sktensi molar) = 9.6 cm
−1
mM −1
12. Analisis kadar sitokrom P-450 pada eritrosit (dimodifikasi dari Omura dan Sato, 1964) a.
Fraksinasi sel Eritrosit ditambah dengan 0,25 M sukrosa dalam larutan Bufer Tris-HCl
10 mM (pH 7,5) dengan perbandingan 4 kali lipat berat eritrosit, lalu dihomogenisasi menggunakan homogonizer. Selanjutnya disentrifuse pada 1000 g selama 10 menit sehingga dihasilkan supernatan. Supernatan yang terbentuk disentrifuse kembali pada 105.000 x g selama 60 menit, dihasilkan supernatan kedua yang merupakan sitosol dan endapan yang terbentuk dilarutkan dengan 0,25 sukrosa-10 mM buffer Tris-HCl-0,1 mM buffer EDTA (pH 7,5) sehingga menghasilkan fraksi mikrosomal. Fraksi sitosol dan mikrosomal dianalisis kadar proteinnya dengan menggunakan metode Lowry.
b. Pengukuran kadar sitokrom P-450 pada eritrosit Analisa ini menggunakan dua buah tabung, tabung untuk blangko dan tabung untuk sample. Ke dalam masing-masing tabung dimasukkan 2 ml fraksi mikrosomal dan ditambah 2 ml 0,1 M buffer phosfat (pH 7,6). Tabung blangko diukur dengan spektrofotometer double beam sebagai baseline pada panjang gelombang 500-400 nm. Sedangkan tabung sample dialirkan 20-30 gelembung gas CO dengan kecepatan 1 gelembung tiap detik. Setelah itu ke dalam masingmasing tabung ditambahkan 1-3 mg NaS 2 O 4 . Isi dari masing-masing tabung dituangkan ke kuvet dan diukur pada panjang gelombang 500-400 nm. Kadar sitokrom P450 = (A450-A490)tereduksi – (A450-A490) baseline x f difusi Molar extinction x tebal kuvet 13. Pengukuran aktivitas glutation S-transferase pada eritrosit (dimodifikasi dari Arisudana, 2003) Aktivitas glutation S-transferase diukur dari fraksi sitosol eritrosit dengan menggunakan 2 substrat yakni 1-chloro-2,4-dinitrobenzen (CDNB) dan glutation dalam bentuk tereduksi (GSH). CDNB yang dibutuhkan mempunyai konsentrasi 1 mM dan GSH yang dibutuhkan dalam 1 mM dalam 0.1 M buffer fosfat (pH 6.5). Ke dalam masing-masing kuvet dimasukkan 2700 µl buffer fosfat pH 6.5. ke dalam kuvet sample dimasukkan fraksi sitosol 100 µl sedangkan untuk kuvet blangko dimasukkan akuades 100 µl. selanjutnya masing-masing kuvet ditambahkan 100 µl GSH dalam buffer fosfat. Sebelum diukur ditambahkan 100 µl 30 mM CDNB dalam etanol. Total volume akhir dalam kuvet sebesar 3 ml. Aktivitas GST diukur pada panjang gelombang 340 nm selama 3 menit. Perhitungan aktivitas GST =
(∆ absorbansi/menit) Ε GS-DBN x kadar protein saat pengujian
ε GS-DBN (koefisien sktensi molar) = 9.6 cm
−1
mM −1
14. Pengukuran kadar protein fraksi mikrosomal dan sitosol (Lowry, 1951) Pengukuran kadar protein dilakukan untuk menguji kandungan protein dalam fraksi mikrosomal dan sitosol. Pengujian dilakukan dengan metode Lowry, menggunakan albumin serum sapi (ASS) 1000 µg/ ml.
Kurva standar dibuat dengan seri pengenceran ASS yaitu 800, 600, 400, 200, 100 µg/ ml. Sebanyak 1,2 ml larutan ASS dari masing-masing pengenceran ditambahkan 6 ml CuSO 4 alkalis (dengan komposisi 1ml CuSO 4 .5H 2 O, 1 ml Na-tartarat 2 %, 98 ml Na 2 CO 3 2 % dalam 0,1 N NaOH). Untuk larutan sampel sebanyak 1.2 ml larutan sample ditambah Cu alkali. Setelah dibiarkan selama 10 menit pada suhu ruang, ke dalam setiap tabung ditambahkan 0.3 ml pereaksi Folin, diaduk dan dibiarkan selama 30 menit. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 650 nm. Kadar protein sampel ditentukan dengan menggunakan kurva standar yang dihasilkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan umum responden Responden yang terlibat pada penelitian ini berjumlah 18 orang responden berjenis kelamin perempuan yang merupakan mahasiswa tingkat sarjana dan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Umur responden berkisar antara 22-27 tahun. Pemilihan responden ini bertujuan untuk meminimalkan keragaman, dimana semua responden memiliki aktivitas yang hampir sama sehari-harinya. Semua responden juga bertempat tinggal di kawasan yang sama, sehingga kegiatan dan jenis makanan lain selain yang telah diatur oleh peneliti juga tidak jauh berbeda, diharapkan keadaan gizi semua responden juga tidak jauh berbeda. Selain itu pengontrolan juga lebih mudah dilakukan. Selanjutnya 18 orang responden tadi dibagi dalam dua kelompok yaitu 9 orang kelompok perlakuan dan 9 orang kelompok kontrol. Kelompok perlakuan memperoleh asupan minuman bubuk kakao bebas lemak ditambah susu skim dan sedikit gula selama intervensi berlangsung sedangkan kelompok kontrol tidak menerima minuman bubuk kakao bebas lemak tetapi hanya minuman susu skim yang ditambah sedikit gula. Sebelum intervensi berlangsung seluruh responden diminta dengan sukarela menandatangani informed concern yang berisi pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian dan memuat beberapa ketentuan selama penelitian berlangsung (lampiran 1). Sebelum menjalani intervensi, semua responden baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol mengikuti pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu oleh seorang dokter di Klinik Farfa Darmaga (format pemeriksaan kesehatan terdapat pada lampiran 2 point C dan D). Adapun tujuan pemeriksaan kesehatan ini dilakukan adalah agar dapat dipastikan bahwa responden yang terlibat memiliki kondisi kesehatan yang baik dan tidak mengidap penyakit serius yang mempengaruhi penelitian. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan meliputi pemeriksaan kesehatan fisik, denyut nadi, laju pernafasan, tekanan darah dan suhu tubuh. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap responden tentang riwayat kesehatannya. Pemeriksaan kesehatan juga dilakukan setelah responden menjalani
25 hari intervensi oleh dokter yang sama. Hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan bahwa semua responden berada dalam keadaan sehat baik sebelum dilakukan intervensi maupun setelah intervensi selesai. Pada saat pemeriksaan kesehatan juga diukur kondisi fisik responden secara antropometri meliputi tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) seperti terlihat pada tabel 3. Ditinjau dari nilai ”Body Mass Index” (BMI), hampir semua responden memiliki status gizi normal, meskipun ada satu responden yang kelebihan berat badan tingkat berat (responden kode P5), satu responden kelebihan berat badan tingkat ringan (responden kode P4) dan satu responden kekurangan berat badan tingkat ringan (responden kode K3). Status gizi responden secara umum tidak berubah baik sebelum intervensi maupun sesudah intervensi. Tabel 3 Data antropometri responden sebelum dan sesudah intervensi
Responden P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Rata-rata StDev K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 Rata-rata StDev
Hari 0 perlakuan Berat Tinggi BMI Badan badan (kg/m2) (kg) (m) 50,0 1,550 20,8 53,0 1,630 19,9 56,0 1,580 22,4 67,5 1,620 25,7 70,0 1,610 27,0 47,0 1,580 18,8 62,0 1,625 23,5 51,0 1,590 20,2 53,0 1,640 19,7
Setelah 25 hari intervensi Berat Tinggi BMI Badan badan (kg/m2) (kg) (m) 51,0 1,550 21,2 54,0 1,630 20,3 56,0 1,580 22,4 68,0 1,620 25,9 71,5 1,620 27,2 48,0 1,580 19,2 62,0 1,625 23,5 51,0 1,590 20,2 53,5 1,640 19,9
56,61 8,07
1,6028 0,0295
22,000 2,866
57,22 8,15
1,6039 0,0300
22,200 2,813
46,0 54,0 43,0 41,0 50,0 43,0 54,0 49,0 45,0
1,560 1,510 1,550 1,450 1,530 1,490 1,555 1,560 1,450
18,9 23,7 17,9 19,5 21,4 19,4 22,3 20,1 21,4
47,0 55,0 43,5 41,5 52,5 44,0 54,0 49,5 44,0
1,560 1,510 1,550 1,450 1,530 1,490 1,555 1,560 1,460
19,3 24,1 18,1 19,7 22,4 19,8 22,3 20,3 20,6
47,22 4,79
1,5172 0,0449
20,511 1,830
47,89 5,04
1,5183 0,0432
20,733 1,861
Dari tabel diatas, bisa dilihat bahwa setelah menjalani intervensi, sebagian besar responden mengalami kenaikan berat badan dengan persentasi yang sangat kecil dan tidak signifikan (p>0,05) yaitu sekitar 1,08 % pada kelompok perlakuan dan 1,42 % pada kelompok kontrol. Rata-rata berat badan responden kelompok perlakuan sebelum intervensi 56,61 ± 8,07 kg, setelah intervensi menjadi 57,22 ± 8,15 kg. Sedangkan rata-rata berat badan responden kelompok kontrol sebelum intervensi 47,22 ± 4,79 kg, setelah intervensi 47,89 ± 5,04 kg. Peningkatan berat badan ini diduga karena selama intervensi responden makan secara teratur setiap pagi dan malam hari dengan menu makanan yang bergizi karena disediakan oleh peneliti, tidak seperti biasanya, dimana kadang-kadang responden makan tidak teratur disebabkan oleh berbagai hal. Menu makanan yang disediakan umumnya terdiri dari makanan pokok, yaitu nasi sebagai sumber karbohidrat, lauk pauk sebagai sumber protein dan lemak, sayur dan kadang-kadang ditambah buah sebagai sumber vitamin dan mineral. Kenaikan berat badan responden tidak bisa dikatakan sebagai akibat konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama intervensi, karena kenaikan berat badan tidak hanya dialami oleh responden pada kelompok perlakuan atau kelompok yang mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak saja, tetapi juga dialami oleh responden pada kelompok kontrol yang tidak mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Murphy et al (2003) telah membuktikan bahwa tidak terjadi perbedaan berat badan secara nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang mengkonsumsi flavanol kakao dan oligomer prosianidin selama 28 hari oleh 32 responden. Menurut Heerden (2006) konsumsi kakao atau bubuk kakao bukanlah penyebab utama kegemukan, sehingga dapat dikatakan bahwa kenaikan berat badan yang dialami oleh responden bukanlah akibat mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak, tetapi mungkin karena konsumsi makanan dan minuman lainnya. Selain itu bubuk kakao yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis bubuk kakao yang sudah diambil lemaknya. Misnawi (2005) menjelaskan bahwa bubuk kakao bebas lemak adalah produk kakao yang berbentuk bubuk yang diperoleh dari pasta kakao setelah dihilangkan lemaknya.
Selama berlangsungnya intervensi, sarapan pagi dan makan malam responden disediakan oleh peneliti, dengan harapan asupan makanan semua responden selama penelitian seragam sehingga dapat mengurangi terjadinya bias karena perbedaan status gizi responden. Selain itu juga diharapkan selama intervensi, makanan yang dikonsumsi adalah makanan dengan menu seimbang sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi responden. Adapun menu yang disajikan terlihat pada tabel berikut. Tabel 4 Menu makan pagi dan makan malam responden yang disiapkan oleh peneliti selama intervensi berlangsung. Hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Makan pagi Nasi, soto ayam Nasi, ikan sambal, sayur Nasi, dadar telur, sayur Nasi, soto ayam, mangga Nasi, tempe sambal, sayur Nasi, telur dadar, sayur, melon Nasi, sambal udang, sayur Nasi, ikan teri sambal, sayur Nasi, ikan goreng, sayur Nasi, orek tempe, sayur, pepaya Nasi, opor ayam, sayur Nasi, telur sambal, sayur Nasi goreng telur Nasi, ayam sambal, sayur Gado-gado, tempe Nasi, pepes ikan teri, sayur Nasi uduk, telur Nasi, ayam semur, sayur Nasi, telur sambal, sayur Nasi, goreng telur, pepaya Nasi, tongkol sambal, sayur Nasi, tahu tempe sambal, sayur Lontong sayur, jeruk Nasi, ayam sambal Nasi, hati, ampela, sayur
Makan Malam Nasi, dendeng sapi, sayur Nasi, ayam bakar, lalap, pepaya Tumis jamur, semangka Nasi, rendang daging, sayur Nasi, ayam geprek, sayur Nasi, sambal tongkol, sayur Capcai, pepaya Nasi, ikan mas bakar, lalapan Nasi, sup daging, jeruk Nasi, rendang daging, sayur Tumis jamur, pepaya Lontong, sate ayam, semangka Nasi, ayam geprek, sayur Nasi, pepes ikan mas, lalapan Nasi, sup daging, semanka Nasi, cumi gulai Lontong, sate padang, melon Nasi, ikan baker, lalapan Nasi uduk, pecel ayam Puyunghai, jeruk Nasi uduk, pecel ayam, melon Nasi, rendang daging, sayur Tumis jamur, papaya Nasi, ikan baker, lalapan Nasi, dendeng daging, pepaya
Selama penelitian ini berlangsung, menu makan siang responden tidak disediakan oleh peneliti. Hal ini dikarenakan aktivitas responden berbeda-beda sehingga sangat sulit untuk mengatur makan siang dan jajanan yang dikonsumsi responden. Meskipun demikian kepada responden diberitahukan bahwa mereka untuk sementara waktu, selama intervensi berlangsung tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung senyawa polifenol tinggi seperti produk-produk coklat, kopi, teh dan minuman bersoda tinggi. Makanan atau minuman yang mengandung senyawa polifenol tinggi diduga mengandung senyawa polifenol yang sama dengan minuman bubuk kakao yang diuji, sehingga perlu dihindari selama penelitian berlangsung guna menghindari tercampurnya komponen flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak dengan komponen bioaktif lainnya ketika masuk ke dalam tubuh. Selain itu responden juga diminta untuk mencatat semua makanan yang mereka konsumsi pada kuisioner yang telah diberikan seperti yang tercantum pada lampiran. Selain mengkonsumsi makanan pokok berupa nasi, di siang hari responden mengkonsumsi buah dan makanan jajanan yang dibeli di sekitar tempat tinggal dan kampus. Makan pagi dan makan malam yang disediakan oleh peneliti juga diperoleh dari warung-warung makanan yang ada di sekitar tempat tinggal responden, sehingga tidak terlalu jauh berbeda dengan kebiasaan makanan harian responden (Kusumaningtyas 2007). Selanjutnya pengambilan darah responden dilakukan dua kali yaitu hari pertama sebelum mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dan hari ke 25 setelah mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Pengambilan darah dilakukan pagi hari pada jam 07.00 – 08.00 WIB dengan tujuan agar kondisi fisik responden masih prima karena belum melakukan aktivitas lain. Darah yang telah didapat dari masing-masing responden sesegera mungkin langsung dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisis. Pada saat pengambilan darah setelah 25 hari intervensi, seorang responden pada kelompok kontrol dengan kode K5 berhalangan hadir, sehingga darah responden tersebut tidak bisa dianalisis. Meskipun demikian, hilangnya data ini diharapkan tidak mempengaruhi hasil penelitian secara keseluruhan.
Aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit Sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas meliputi dua yaitu sistem pertahanan nonenzimatik dan enzimatik. Sistem pertahanan tubuh nonenzimatik terhadap serangan radikal bebas melibatkan vitamin C, vitamin E dan komponen-komponen bioaktif. Sistem pertahanan tubuh enzimatik terhadap radikal bebas melibatkan: enzim superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase (Halliwell et al. 1992; Schmidl et al, 2000). Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap salah satu aktivitas enzim antioksidan yaitu enzim katalase. Halliewell dan Gutteridge (1999) menyebutkan bahwa katalase merupakan enzim yang mengkatalis reaksi pemecahan senyawa hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air. Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan tingkat tinggi. Katalase pada mamalia disusun oleh 4 sub unit protein. Tiap unit terdiri dari satu gugus hem dengan inti ion ferri sebagai active site. Aktivitas katalase dihambat oleh senyawa azida, sianida dan HOCl tapi meningkat dengan meningkatnya akumulasi H 2 O 2 . Enzim katalase memberikan pertahanan terhadap serangan radikal bebas yang dapat merusak sel. Jadi semakin tinggi dan meningkat aktivitas enzim ini maka menunjukkan semakin meningkat pula pertahanan sel terhadap serangan radikal bebas. Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi viabilitas dan fungsi essensial sel (Kehrer 1993). Menurut Zitouni et al (2005), radikal bebas juga
dapat mengganggu endotelium dan memacu
terjadinya kerusakan membran, sebagai contohnya akan meningkatkan ekresi albumin urin dan memacu diabetes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 999,64 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar 989,77 U/mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, rata-rata aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok perlakuan menjadi 1020, 03 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol menjadi 993,39 U/ mg protein. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa rata-rata aktivitas enzim katalase pada eritrosit baik
pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-sama mengalami peningkatan. Meskipun demikian, rata-rata peningkatan pada kelompok perlakuan lebih besar yaitu sebesar 20,387 U/ mg protein sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata peningkatannya hanya sebesar
3,62 U/ mg protein. Hal tersebut
diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi peningkatan aktivitas enzim katalase pada eritrosit secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas enzim katalase pada eritrosit yang terjadi pada
Aktivitas Katalase (U/mg protein)
kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. 1040 1020 1000 980 960 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Responden Sebelum Intervensi
Rata-rata peningkatan = 20,39 U/ mg protein
Setelah Intervensi
Aktivitas Katalase (U/mg Protein)
Gambar 8 Grafik aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi 1000 995 990 985 980 975 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
K9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 3,62 U/ mg protein
Gambar 9 Grafik aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Peningkatan ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti memberikan pengaruh yang positif bagi sistem pertahanan tubuh khususnya secara enzimatis dalam hal ini oleh enzim katalase dalam menangkal serangan radikal bebas yang berbahaya bagi sel. Hal tersebut diduga karena disebabkan oleh kandungan flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak yang memiliki kapasitas antioksidan dalam tubuh. Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Schuler 1990). Menurut Gutteridge dan Halliwell (1996), antioksidan adalah suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif terhadap suatu molekul target. Sementara itu menurut Cillard et al (1980) dan Schluler (1990) antioksidan adalah zat dengan kadar lebih rendah dari zat yang mudah teroksidasi, secara nyata mampu memperlambat oksidasi zat tersebut. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Amri (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti dapat menghambat laju hemolisis eritrosit. Menurut Zhu et al (2005), Eritrosit mengandung asam lemak tak jenuh ganda dengan konsentrasi yang tinggi, oksigen molekuler, dan ion besi sebagai ligan, oleh sebab itu eritrosit sangat mudah diserang sehingga terjadi stress oksidatif. Bagaimanapun, sel ini memiliki sistem antioksidan efisien yang menyumbangkan ketahanan yang luar biasa terhadap peroksidasi ketika radikal diproduksi di dalam sel. Lebih lanjut Amri (2007) menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti secara nyata mampu menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas anti radikal bebas pada sel eritrosit. Malonaldehida (C3H4O2) adalah senyawa aldehida berkarbon tiga sebagai produk peroksidasi lipid, terutama asam arakhidonat dan pada biosintesa prostaglandin. Kadar MDA dapat digunakan sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid (Pryor et al., 1976; Frankel & Neff, 1983; Bird & Draper, 1980; Auroma, 1997 dalam Tejasari, 2000). Berbagai sumber antioksidan alami telah banyak dilaporkan berasal dari tanaman. Bubuk kakao bebas lemak yang digunakan dalam penelitian ini mengandung polifenol sebesar 4,43 gr/ 100 gr (Zairisman, 2006). Antioksidan
seperti vitamin C, flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin (Pratt & Hudson 1990), dan komponen fenolik pada umumnya merupakan antioksidan primer. Senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipida. Polifenol dalam bubuk kakao akan bereaksi langsung dengan senyawa peroksida radikal yang terdapat pada membran atau di dalam sel (Kochhar & Rossell 1990). Adanya radikal bebas dalam tubuh bisa menimbulkan penyakit degeneratif yang berbahaya misalnya kanker, serangan jantung, diabetes militus, penyempitan pembuluh darah dan lain-lain. Sztanske dan Pasternak (2005) telah meneliti bahwa pasien yang mengalami gangguan gastrointestinal telah terbukti memiliki aktivitas enzim atioksidan superoksida dismutase dan glutation peroksidase yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang normal. Selain itu Zitouni et al (2005) juga menyebutkan bahwa aktivitas enzim antioksidan GPx, SOD dan katalase pada penderita diabetes baik tipe I maupun tipe II terbukti lebih rendah dibandingkan dengan subjek sehat. Berbagai penelitian yang mendukung hasil penelitian ini juga telah dilakukan. Salah satu komponen bioaktif pada pangan adalah karotenoid. Karotenoid memiliki potensi sebagai antioksidan bagi sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Bub (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa karotenoid pada jus tomat terbukti mampu menekan kadar LDL (Low Density Lipoprotein) pada 23 orang pria dewasa sehat yang diberi konsumsi jus tomat sebanyak 330 ml/hari selama 2 minggu. Selain itu hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan pada aktivitas enzim antioksidan superoksida dismutase secara nyata (7,961±216 U/ g Hb) pada eritrosit. Dalam penelitian lainnya, Jung et al (2003) menyebutkan bahwa suplementasi naringin telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan katalase, superoksida dismutase (SOD) dan glutation peroksidase pada eritrosit dan plasma darah subjek yang menderita
hiperkolesterolemik.
Naringin merupakan senyawa fenol golongan flavonoid. Selanjutnya Coscun et al (2004) juga telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa tikus percobaan yang diberi injeksi flavonoid quercetin selama 16 minggu dengan dosis 50 mg/ kg/ hari
mampu meningkatkan secara signifikan aktivitas enzim-enzim antioksidan seperti katalase, superoksida dismutase dan glutation peroksidase baik pada hati maupun pada darahnya. Quercetin merupakan senyawa polifenol golongan flavonoid yang berpotensi sebagai antioksidan. Lebih lanjut dalam penelitiannya Pasternak et al (2005) menyebutkan bahwa vitamin C yang ditambah dengan elemen Zinc dan Copper (Zn dan Co) telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan glutahion peroksidase dan superoksida dismutase pada jaringan tikus. Namun demikian dalam penelitian ini, adanya peningkatan aktivitas enzim antioksidan katalase ini tidaklah bisa semata-mata disimpulkan hanya karena flavonoid pada bubuk kakao semata. Hal ini disebabkan karena pada kelompok kontrol yang tidak diberi konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak pada waktu yang sama, aktivitas enzim katalasenya juga mengalami peningkatan meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan ini bisa saja disebabkan oleh pengaruh konsumsi makanan atau minuman lainnya yang dikonsumsi reponden
selama
intervensi berlangsung. Seperti
dijelaskan
sebelumnya bahwa selama penelitian ini berlangsung, makan pagi dan makan malam responden disediakan oleh peneliti. Adapun menu yang disajikan selalu terdiri dari karbohidrat, lemak, protein juga komponen serat, vitamin dan mineral. Hal ini tentunya memberikan pengaruh yang positif terhadap kesehatan para responden. Sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas juga melibatkan seperti vitamin C, vitamin E dan berbagai komponen bioaktif (Nabet, 1996). Asupan makanan yang bergizi tentunya akan sangat mempengaruhi kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh. Dalam penelitiannya Rasal et al (2006) menyebutkan bahwa tikus percobaan yang menderita diabetes ketika diberi ekstrak daun kubis (Brassica oleracea var. gongylodes) dengan dosis 10mg/ kg/ hari secara ad libitum terbukti secara nyata mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan katalase, SOD dan glutation peroksidase pada eritrositnya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kubis merupakan sejenis sayuran yang mengandung vitamin C, vitamin E dan karoten. Komponen bioaktif yang penting dari tanaman ini adalah sulphoraphanes dan isothiocyanates lainnya, karena mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan adalam tubuh. Selain itu
kebiasaan buruk seperti merokok telah dibuktikan ternyata mempengaruhi kerja enzim-enzim antioksidan pada tubuh. Peltola et al (1994) menyebutkan bahwa Merokok terbukti dapat menurunkan aktivitas katalase sebesar 16% setelah 12 jam menghisap rokok selama 5 hari.
Aktivitas enzim antioksidan katalase pada plasma Antioksidan merupakan molekul yang dapat mengendalikan reaksi berantai radikal bebas di dalam tubuh. Untuk menangkal reaksi radikal bebas, tubuh mempunyai sistem pertahanan enzimatik dan nonenzimatik. Beberapa enzim yang terlibat dalam pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas adalah katalase, superoksida dismutase dan glutation peroksidase (Gutteridge dan Halliewell, 1994). Seperti disebutkan di atas bahwa katalase merupakan salah satu enzim yang berperan dalam pertahanan tubuh secara enzimatis terhadap radikal bebas. Katalase merupakan enzim yang mengakatalis reaksi pemecahan senyawa hidrogen peroksida menjadi air. 2H 2 O 2
Katalase
H2 O +
O2
Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan tingkat tinggi. Pada manusia, enzim ini ditemukan dalam darah, ginjal, limfa, pankreas, otak, paru-paru, adiposa, kelenjar adrenal dan konsentrasi tertinggi ada pada hati (± 1400 U/mg protein) (Gutteridge & Halliewell, 1994) bersama dengan glutation peroksidase (GPx) dan enzim antioksidan lainnya (Greenwald 1985). Enzim ini sangat berperan dalam pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas yang dapat merusak sel. Radikal bebas merupakan suatu molekul atau ion yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada kulit terluar. Molekul atau ion ini berusaha mencapai titik kestabilan dengan jalan menarik elektron atau molekul lain sehingga terbentuk radikal baru. Reaksi radikal bebas dapat berlangsung secara berantai (Gutteridge & Halliewell, 1994). Disamping radikal bebas dikenal pula istilah Reaktif Oxygen Species (ROS) yaitu molekul yang mengandung oksigen dan bersifat reaktif (Oberley 2001 dalam Chalid 2000).
Aktivitas Katalase (U/mg protein)
650 600 550 500 450 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Responden Sebelum Intervensi
Rata-rata peningkatan = 44,95 U/ mg protein
Setelah Intervensi
Gambar 10 Grafik aktivitas enzim katalase pada plasma kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi Aktivitas Katalase (U/mg protein)
650 600 550 500 450 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
K9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 11,58 U/ mg protein
Gambar 11 Grafik aktivitas enzim katalase pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim katalase pada plasma darah kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 539, 228 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar 547,905 U/mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, rata-rata aktivitas enzim katalase pada plasma darah kelompok perlakuan menjadi 584,177 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol menjadi 559,487 U/ mg protein. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa rata-rata aktivitas enzim katalase pada plasma baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-sama mengalami peningkatan. Meskipun demikian, rata-rata peningkatan pada kelompok perlakuan lebih besar yaitu sebesar 44,949 U/ mg protein sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata peningkatannya hanya sebesar 11,582 U/ mg
protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi peningkatan aktivitas enzim katalase pada plasma secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas enzim katalase pada plasma yang terjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Kakao mengandung flavanol dan prosianidin yang potensial sebagai agen perlindungan terhadap kardiovaskuler, berpengaruh pada fungsi platelet, mengatur tekanan darah, produksi nitrik oksida, menghambat oksidasi dan sebagai sistem imun (Heiss et al. 2003 dalam Yan Zhu et al. 2005). Flavonoid pada kakao dan cokelat dikenal dengan istilah flavanol. Flavanol dapat juga ditemukan pada teh hijau, apel, dan anggur merah. Flavanol umumnya terdapat dalam bentuk senyawa tunggal seperti catechin dan epicatechin dan juga berbentuk senyawa oligomer seperti procyanidin (CIC 2001). Senyawa polifenol pada kakao bersifat sebagai antioksidan primer dalam menangakal radikal bebas. Suatu molekul akan dapat bereaksi sebagai antioksidan primer jika dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada radikal lipida dan jika radikal yang diturunkan dari antioksidan lebih stabil dibandingkan radikal lipida, atau dikonversi menjadi produk stabil. Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi senyawa fenol dengan radikal lemak selalu distabilkan oleh delokalisasi elektron tidak berpasangan disekitar cincin aromatik dari fenol tersebut. Menurut Hudson (1990), stabilisasi radikal fenoksil akan mengurangi laju propagasi autooksidasi. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Yuliatmoko (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari telah terbukti mampu menekan jumlah MDA dan diena terkonjugasi pada plasma darah responden. Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap komponen sel seperti asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen DNA menghasilkan beberapa produk seperti: Malonaldehida atau MDA, diena terkonjugasi, dikarbonil dan asam 15hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15-HPETE). Selain itu hasil penelitian Yuliatmoko (2007) juga menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak pada responden selama 25 hari telah terbukti mampu meningkatkan
atktivitas antiradikal bebas pada plasma darah. Untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat maka jumlah antioksidan tidak boleh rendah daripada jumlah radikal bebas. Penurunan kadar MDA sel oleh senyawa bioaktif dalam bahan pangan lain telah diteliti. Zakaria et al (2003) melaporkan bahwa komponen bioaktif dalam jahe dapat menurunkan kadar MDA sel limfosit baik secara in vitro maupun secara in vivo dengan menggunakan responden manusia. Dalam penelitian lain juga telah diteliti bahwa konsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran yang tinggi kandungan vitamin C dan E dapat menurunkan MDA sel pada populasi buruh industri di Bogor (Wijaya 1997). Penelitian yang serupa juga telah dilakukan oleh Jung et al (2003) yang menyebutkan bahwa pemberian suplemen yang mengandung komponen bioaktif flavonoid jenis naringin telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan glutation peroksidase, superoksida dismutase dan juga katalase pada plasma darah subjek manusia yang menderita hiperkolesterolemik. Fraga et al (2005) juga telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa konsumsi flavanol yang terkandung dalam coklat susu telah terbukti mampu mengurangi kolesterol plasma, LDL, MDA dan meningkatkan vitamin E dan plasma darah responden yang berprofesi sebagai pemain sepakbola. Aktivitas radikal bebas yang tidak terkendali dalam tubuh bisa membahayakan bagi metabolisme dalam tubuh kita. Keberadaan radikal bebas yang berbahaya ini bisa memicu berbagai penyakit berbahaya terutama penyakitpenyakit degeneratif yang berakibat fatal bahkan bisa menyebabkan kematian. Selain itu apabila tubuh telah terserang suatu penyakit tertentu akibat tidak terkendalinya jumalah radikal bebas yang ada, maka tentunya akan mengganggu sistem pertahanan tubuh seperti sistem kerja enzim di dalamnya. Sebagai contohnya hasil penelitian Sozmen et al (1998) menunjukkan bahwa aktivitas enzim katalase dan superoksida dismutase (SOD) pada pasien hipertensi dan jantung koroner telah terbukti jauh lebih rendah dibandingkan dengan subyek normal. Chalid (2000) menyebutkan bahwa mencit yang menderita tumor kelenjar susu setelah diberi ekstrak daun cincau hijau ternyata mampu meningkat aktivitas
enzim katalasenya. Ekstrak daun cincau hijau mengandung senyawa bioaktif: alkaloid, saponin, flavonoid, klorofil dan karotenoid. Zakaria dan Prangdimurti (2000) juga menyebutkan bahwa tanaman cincau hijau memiliki alkaloid 0,98 % dan total fenol 2,12 %. Peningkatan aktivitas enzim katalase ini tentu saja dapat memperkuat sistem pertahanan enzimatis tubuh dalam menekan terbentuknya radikal bebas. Halliwell dan Gutteridge (1999) menyebutkan bahwa asupan senyawa antioksidan alami yang banyak terdapat pada tanaman seperti kakao, brokoli, sawi, bunga kol, teh, anggur mampu menekan radikal bebas dan elektrofil dalam tubuh sehingga serangan terhadap DNA dapat dieliminasi dan penyakit-penyakit degeneratif dapat dihindari. Tentu saja secara tidak langsung bisa mengaktifkan kerja enzim antioksidan seperti katalase. Kakao merupakan tanaman yang mengandung komponen bioaktif flavonoid. Lebih lanjut Grassi et al
(2006) menjelaskan
bahwa pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 %. Pada tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glukoronida, methyl dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya. Meskipun demikian peningkatan kerja enzim katalase pada plasma responden dalam penelitian ini tidaklah bisa dikatakan sema-mata hanya merupakan efek dari konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak saja. Hal ini dikarenakan pada kelompok kontrol yang tidak menerima asupan flavonoid dari minuman bubuk kakao juga terbukti mengalami peningkatan katalse meskipun tidak nyata. Ini diduga bisa saja disebabkan oleh asupan makanan lainnya yang dikonsumsi oleh responden. Makanan atau minuman yang mereka konsumsi bisa saja mengandung komponen antioksidan lainnya. Hal ini telah dibuktikan oleh Yuliatmoko (2007) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa responden yang mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dengan kondisi yang sama seperti pada penelitian ini telah terbukti juga meningkat kadar vitamin C pada plasma darahnya. Ini menunjukkan bahwa adanya korelasi yang positif antar sistem pertahanan tubuh apabila menerima asupan makanan atau minuman yang bergizi serta ditambah lagi dengan adanya senyawa bioaktif seperti flavonoid.
Zakaria (1996) mengemukakan bahwa sayuran dan buah-buahan yang kaya dengan vitamin E dan vitamin C dapat berfungsi sebagai antioksidan bagi tubuh. Selain itu selama intervensi ini berlangsung, responden juga mengurangi konsumsi jajanan. Menurut Fardiaz dan Fardiaz (1993) dalam makanan jajanan mengandung bahan-bahan pencemar seperti mikroorganisme, pestisida, logam berat, zat pewarna, zat pemanis dan zat pengawet. Zakaria dan Abidin (1996) menyatakan bahwa konsumsi makanan yang telah tercemar bahan kimia berpotensi menaikkan pembentukan senyawa radikal dalam tubuh konsumen. Konsumsi makanan yang berpotensi sebagai antioksidan tentunya akan berdampak posistif pada sistem pertahanan enzimatik tubuh. Hal ini telah dibuktikan salah satunya dalam penelitian Dragted et al (2004) yang menyebutkan bahwa pemberian sayuran dan buah-buahan sebanyak 600 gram/hari yang terdiri dari brokoli, bayam, bawang merah, tomat, jeruk, apel, pir selama 25 hari pada 43 orang responden yang teridiri dari pria dan wanita telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan SOD (984±158 U/g protein menjadi 993±U/ g protein) dan glutation peroksidase (126±21 U/ g protein menjadi 133±22 U/ g protein) pada eritrosit dan plasma darah. Dengan meningkatnya aktivitas enzim antioksidan dalam tubuh tentunya akan semakin memperkuat sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas yang merupakan pemicu munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, aterosklerosis dan lain-lain.
Aktivitas Enzim Detoksifikasi Sitokrom P-450 pada Eritrosit Metabolisme senyawa xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu (monooksigenase) menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzimenzim fase dua (konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek toksik bagi tubuh (Hodgoson & Levi, 2000).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap kadar enzim sitokrom P-450. Enzim ini berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase I, yang mana dalam reaksi ini terjadi proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II. Reaksi tersebut berlangsung dengan efektif dalam kondisi tegangan oksigen yang rendah. Bila tidak demikian oksigen molekuler akan bersaing dengan substrat senyawa asing dalam proses perpindahan elektron yang dikatalisir oleh enzim tersebut (Donatus, 2001). Ada dua hal penting yang berhubungan dengan fungsi enzim sitokrom P450, yang pertama adalah enzim ini memiliki jalur yang kritis dan spesifik dalam metabolisme senyawa-senyawa kimia endogenus. Kedua, Proses enzim ini merupakan pokok dari produk-produk alami, bahkan saat ini ditambah dengan bahan-bahan kimia seperti obat-obatan dan xenobiotik lainnya dalam senyawasenyawa non selektif (Guengerich 1991). P-450 dan komponennya bisa ditemukan di kulit, mukus, paru-paru, gastrointestinal. Selain organ-organ tersebut juga telah banyak dilakukan penelitian tentang keberadaan P-450, diantaranya di hati, ginjal, plasenta, testis serta pada darah (Hodgoson & Levi, 2000). Selain itu pada tahun 1999, Krovat et al juga telah membuktikan bahwa Sitokrom P-450 (CYP) dan mikrosomal epoxide hydrolase (MEH) telah terbukti teridentifikasi di sel darah manusia. Komponen bioaktif yang masuk dalam tubuh akan melalui jalur bioaktivasi dan detoksifikasi dalam tubuh. Kakao memiliki komponen bioaktif utama yaitu flavonoid. Komponen flavonoid ini mungkin akan teroksidasi oleh sistem enzim sitokrom P-450. Seperti yang dikatakan oleh Freisleben, 1999 bahwa salah satu enzim yang mengkatalis proses okdidasi adalah sistem enzim monooksigenase (enzim sitokrom P-450 oksidase) yang menghasilkan radikal bebas. Sistem enzim sitokrom P-450 yang terlibat dalam biotransformasi dan detoksifikasi xenobiotik akan memproduksi peroksida atau singlet oksigen yang reaktif. Reaksi yang terjadi yaitu: RH + O 2 + H 2 O → ROH + O 2
*
+ H+ / H2 O2
Kadar Sitokrom P-450 (nmol/mg protein)
7 6 5 4 3 2 1 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
Responden Sebelum Intervensi
P9
Rata-rata penurunan = 3,84 nmol/ mg protein
Setelah Intervensi
Kadar Sitokrom P-450 (nm ol/m g protein)
Gambar 12 Grafik kadar sitokrom P-450 pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi 7 6 5 4 3 2 1 0 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
K9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata penurunan = 0,85 nmol/ mg protein
Gambar 13 Grafik kadar sitokrom P-450 pada eritrosit kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi Hasil penelitian seperti ditampilkan dalam gambar 12 dan 13 di atas menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata kadar sitokrom P-450 kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 5,43 nmol/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar 4,82 nmol/mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, rata-rata kadar sitokrom P-450 kelompok perlakuan menjadi 1,59 nmol/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol menjadi 3,97 nmol/ mg protein. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa kadar sitokrom P-450 pada eritrosit baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol samasama mengalami penurunan. Meskipun demikian, rata-rata penurunan pada kelompok perlakuan lebih besar yaitu sebesar 3,84 nmol/ mg protein sedangkan
pada kelompok kontrol rata-rata penurunan hanya sebesar 0,85 nmol/ mg protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi penurunan kadar sitokrom P-450 secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan penurunan kadar sitokrom eritrosit yang terjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Dengan demikian terlihat jelas bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak tidak meningkatkan kadar sitokrom P-450 yang berarti proses oksidasi di hati tidak meningkat dan tidak memicu terbentuknya radikal bebas. Penurunan kadar sitokrom P-450 ini terlihat pada kedua kelompok baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Penurunan kadar sitokrom ini juga didukung dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Amri (2007) yang mana konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari secara nyata mampu menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas antiradikal bebas pada sel eritrosit. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Erniati (2007), yang menyatakan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan kadar MDA secara nyata pada sel limfosit darah manusia. MDA merupakan salah satu parameter untuk menganalisa kadar radikal bebas dalam tubuh. Senyawa ini merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh senyawa radikal (Conti et al. 1991). Penurunan kadar sitokrom kelompok perlakuan yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol diduga karena efek positif yang didapat setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Seperti disebutkan dalam penelitian sebelumnya oleh Zairisman (2006) bahwa ekstrak bubuk kakao bebas lemak dalam pelarut air mengandung senyawa polifenol yang tinggi. Dalam penelitian lain disebutkan juga bahwa kakao mengandung senyawa fitokimia fenolik dan kapasitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah-buahan, sayur-sayuran, teh hijau dan teh hitam (Lee et al 2003; Vinson et al 1995). Komponen antioksidan ini dapat menetralisir reaktivitas dari reaktif oxygen spesies (ROS).
Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk menggali potensi flavonoid dalam menghambat enzim oksidatif yang memicu terbentuknya radikal bebas yang berakibat fatal bagi tubuh. Li et al (1994) telah membuktikan bahwa senyawa flavonoid jenis myricetin dan quercetin telah terbukti mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 pada fraksi mikrosomal hati manusia sebesar 40-60%. Dengan konsentrasi sebesar 85-90 mikroM. Selain itu juga ia juga membuktikan bahwa pemberian flavonoid jenis flavon dengan konsentrasi 2,5 mikroM juga telah terbukti menghambat kerja enzim ini. Dalam penelitian yang lain disebutkan pula bahwa senyawa flavonoid jenis chrysin dan apigenin mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 jenis CYP1A1 flavonoid golongan quercetin mampu menghambat sitokrom P-450 jenis CYP1A2 pada hamster yang diberi ransum mengandung flavonoid: quercetin, apigenin dan chrysin masing-masing sebesar 10 µM (Lautaraite et al, 2002). Seiring dengan semakin banyaknya penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas seperti penyakit-penyakit degeneratif, maka semakin banyak penelitian yang dikembangkan ke arah tersebut. Berbagai potensi bahan alami terus diteliti dan dikembangkan untuk menghambat kerja dari enzim yang memicu terjadinya kerusakan sel seperti sitokrom P-450 ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ginseng varietas Panax ginseng dan Panax quinquevolius telah terbukti tidak meningkatkan aktivitas sitokrom P-450 dengan dosis masing-masing 30-100 mg/ kg dan 100-400 mg/ kg setiap harinya selama 21 hari pada fraksi mikrosomal dari hati tikus percobaan (NCCAM, 2005). Penelitian sebelumnya juga telah membuktikan bahwa beberapa senyawa golongan flavonoid yang diekstrak dari akar tanaman Scutellariae telah terbukti mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 pada fraksi mikrosomal hati manusia. Lebih rinci hasil penelitiannya
adalah
flavonoid
golongan
Baicalein
dan
2',5,6',7-
tetrahydroxyflavone pada konsentrasi masing-masing 17,4 dan 7,8 µM menghambat hepatic testosterone 6
-hydroxylation (CYP3A4). Flavonoid
golongan Oroxylin pada konsentrasi 6,1 µM mampu menghambat aktivitas Sitokrom diclofenac 4-hydroxylation (CYP2C9) (Kim et al. 2002)
Namun demikian harus diperhatikan bahwa penurunan kadar sitokrom P450 pada penelitian ini juga tidak semata-mata disebabkan oleh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak saja. Hal ini terlihat juga pada kelompok kontrol yang tidak mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak tapi juga mengalami penurunan kadar sitokrom P-450 meskipun hasil analis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata pada kelompok kontrol. Penurunan kadar sitokrom baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol juga diduga karena pola makan responden selama intervensi. Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, umumnya mereka menyatakan bahwa pola makan mereka lebih baik selama intervensi dibandingkan dengan pola makan mereka biasanya. Selama intervensi berlangsung, setiap menu yang disajikan selalu disediakan nasi sebagai asupan karbohidrat, lauk sebagai protein dan lemak, sayur dan juga kadang-kadang buah sebagai vitamin dan mineral. Selain itu selama intervensi berlangsung, responden juga mengurangi konsumsi makanan jajanan. Menurut Fardiz dan Fardiaz (1993), dalam makanan jajanan mengandung bahan-bahan pencemar seperti mikoroorganisme, pestisida, logam berat, zat pewarna, zat pemanis dan zat pengawet. Zakaria dan Abidin (1996) menyatakan bahwa konsumsi makanan jajan yang tercemar bahan kimia berpotensi menaikkan pembentukan senyawa radikal bebas dalam tubuh konsumen. Meskipun kelompok kontrol juga mengalami penurunan kadar sitokrom P450 dalam eritrosit, namun demikian penurunan kelompok perlakuan tetaplah lebih tinggi. Hasil analisa statistik juga memperkuat bahwa penurunan kadar sitokrom pada kelompok yang diberi konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak berbeda nyata antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol setelah intervensi selama 25 hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan kadar sitokrom P-450 pada sel seritrosit darah manusia. Hasil penelitian ini juga menunjang hasil penelitian serupa lainnya. Nugrahenny (2003) menyatakan bahwa tikus percobaan yang diberi konsumsi minuman ekstrak cincau hijau selama 8 minggu secara nyata memiliki rata-rata kadar sitokrom lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi konsumsi minuman ekstrak cincau hijau.
Cincau hijau memiliki komponen bioaktif antara lain karotenoid, flavonoid, polifenol yang termasuk dalam gugus fenolik.
Aktivitas enzim detoksifikasi sitokrom P-450 pada plasma Selain untuk melihat pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap kadar sitokrom P-450 pada sel eritrosit, penelitian ini juga ingin melihat pengaruh yang sama pada plasma darah manusia yang telah mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Plasma merupakan suatu komponen darah yang encer yang terdiri dari elekrolit, zat-zat makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain (Ganong, 2000). Reaksi-reaksi fase satu meliputi monooksigenasi mikrosom, oksidasi mitokondria dan sitosol, kooksidasi dalam reaksi sintesis prostaglandin, reduksi, hidrolisis dan hidrasi epoksida. Semua reaksi pada fase satu menghasilkan metabolit atau merubah toksikan menjadi lebih polar sehingga dapat dikonjugasi dalam reaksi-reaksi fase dua dan mudah diekresikan baik secara langsung maupun tidak langsung setelah mengalami reaksi fase satu (Hodgoson & Levi, 2000). Lebih lanjut, Donatus (2001) menjelaskan bahwa fungsi utama reaksi metabolisme fase I adalah mengubah struktur senyawa asing melalui proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis, guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II. Enzim yang berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase I adalah enzim monoksigenase sitokrom P-450. Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari secara nyata dapat menurunkan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah. Sitokrom P-450 merupakan salah satu enzim oksidatif, yang bisa menghasilkan radikal bebas dalam tubuh. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk menghambat kerjanya. Charpentier dan Cateora (1996) menyatakan salah satu mekanisme yang dapat dilakukan oleh suatu antioksidan dalam melindungi tubuh yaitu dengan menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom
P-450. Penghambatan reaksi radikal bebas akan melidungi hepatosit normal dari kerusakan dan mengoptimalkan lingkungan bagi sel-sel hati untuk bergenerasi. Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahapan oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen, menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai melalui penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator, dekomposisi produk utama menjadi senyawa non radikal dan pemutusan reaksi rantai untuk
Kadar Sitokrom P-450 (nmol/mg protein)
mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat. 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Responden Sebelum Intervensi
Kadar Sitokrom P-450 (nmol/mg protein)
Gambar 14
Setelah Intervensi
Rata-rata penurunan = 1,32 nmol/ mg protein
Grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
K9
Rata-rata penurunan = 0,49 nmol/ mg protein
Gambar 15 Grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 14 dan 15 menunjukkan grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma kelompok perlakuan dan kontrol baik sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar sitokrom P-450 baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Rata-rata kadar sitokrom kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah 2,11 nmol/ mg protein dan kelompok kontrol 2,09 nmol/ mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, kadar sitokrom menjadi 0,78 nmol/ mg protein untuk kelompok perlakuan dan 1,61 nmol/ mg protein untuk kelompok kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar sitokrom baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol. Rata-rata penurunan kadar sitokrom plasma pada kelompok perlakuan adalah sebesar 1,32 nmol/ mg protein sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata penurunannya dalah sebesar 0,49 nmol/ mg protein. Meskipun demikian setelah diuji secara statistik menggunakan uji t, menunjukkan adanya perbedaan nyata penurunan kadar sitokrom antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penurunan kadar sitokrom P450 pada plasma mengindikasikan tidak memicu terjadinya reaksi oksidasi yang dapat menghasilkan radikal bebas yang reaktif dan mungkin tidak menghasilkan senyawa elektrofil. Menurut Guengerich (1997), beberapa intermediet yang dihasilkan dari rekasi oksidasi fase I bersifat elektrofilik yang dapat bereaksi dengan sisi nukleofilik pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Dengan demikian minuman bubuk kakao bebas lemak bisa dikatakan bersifat chemopreventif seperti halnya mekanisme chemopreventif dari isotiosianat yaitu isotiosianat
mampu
menghambat
enzim
spesifik
sitokrom
P-450
dan
meningkatkatkan kerja enzim fase II, seperti glutation S-transferase dan quinon reduktase (Guengerich, 1997). Meskipun demikian penurunan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah ini tidaklah boleh dikatakan semata-mata disebabkan oleh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberikan terhadap responden selama 25 hari
intervensi. Hal ini dikarenakan hasil penelitian menunjukkan bahwa juga terjadi penurunan kadar sitokrom plasma pada kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Walaupun setelah uji statistik uji t menunjukkan penurunan pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata seperti halnya di kelompok perlakuan. Penurunan ini diduga salah satunya disebabkan oleh pola makan responden selama menjalani intervensi. Dimana umumnya pola makan responden menjadi lebih baik selama intervensi berlangsung dibandingkan dengan pola makan mereka biasanya yang cenderung tidak teratur. Selain itu selama intervensi berlangsung responden juga mengurangi berbagai konsumsi makanan terutama jajanan di luar yang diberikan oleh peneliti. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bahan makanan lain yang dapat mempengaruhi kerja dari komponen bioaktif flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberikan juga untuk menghindari masuknya berbagai senyawa xenobiotik dalam tubuh. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan metabolisme xenobiotik dalam hati adalah komposisi makanan. Susunan makanan yang utama meliputi protein, lemak dan karbohidrat. Diet atau ransum dengan protein rendah telah terbukti mampu menurunkan kapasitas metabolisme mikrosomal terhadap beberapa obat pada tikus (Donatus, 2001). Suprapto (2002) menyatakan bahwa kebiasaan makan makanan dengan kadar lemak tinggi dan mengandung bahan tambahan kimia seperti daging yang diberi ”warna” senyawa nitrit dapat berakibat buruk terhadap kesehatan. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa responden yang sering mengkonsumsi minuman beralkohol terbukti dapat meningkatkan aktivitas enzim oksidatif sitokrom P-450 pada darah manusia (Raucy, 1997). Hal tersebut tentu saja semakin memicu pembentukan senyawa radikal bebas yang berbahaya dalam tubuh manusia. Pengaruh buruk dari bahan tambahan kimia yang ada dalam makanan pada umumnya tejadi melalui pengaktifan enzim fase I (misalnya sitokrom P-450) yang menghasilkan DNA cacat. Bila gen yang cacat ini terbawa sel ”anakan” dan tidak bisa diperbaiki maka dapat menginisiasi terjadinya kanker.
Kakao mengandung senyawa flavonoid golongan flavanol, yang memberikan efek yang menguntungkan bagi tubuh. Selain itu juga bisa mengurangi resiko mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler, kanker dan osteoporosis dan bisa mencegah penyakit neurodegeneratif serta diabetes militus. Pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 %. Pada tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glucuronide, methyl dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya yang merupakan hasil reaksi enzim fase I dan fase II (Grassi et al 2006). Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Yuliatmoko (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak setelah 25 hari secara nyata dapat menurunkan kadar MDA pada plasma darah. Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap komponen sel seperti asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen DNA menghasilkan beberapa produk seperti: Malonaldehida atau MDA, diena terkonjugasi, dikarbonil dan asam 15-hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15HPETE). MDA merupakan melekul dialdehid yang mempunyai tiga atom karbon dan bersifat reaktif (Rice-Evan et al. 1991; Zaden et al. 1995). Penelitian ini juga didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang bertujuan menggali potensi tanaman yang memiliki komponen bioaktif. Diantaranya adalah yang telah dilakukan oleh Handerson et al (2000) yang membuktikan bahwa ekstrak flavonoid dari buah hop (Humulus Lupulus) telah terbukti mampu menghambat aktivitas enzim sitokrom P-450 pada manusia. Lebih lanjut juga disebutkan bahwa Injeksi ekstrak bawang putih pada konsentrasi 100 mmol/ L terhadap 6 mikrosomal liver manusia secara invitro telah terbukti signifikan mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 hingga 50% (Greenbat et al 2006). Najima et al (2006) juga telah membuktikan bahwa konsumsi isoflavon pada responden 7 orang sehat di Jepang dengan dosis 60mg/ hari selama 5 hari menunjukkan pengaruh yang positif pada plasma. Dimana, isoflavon golongan daidzein, genistein, and glycitein terbukti mampu mengahambat aktivitas sitokrom P-450 pada plasma. Penurunan terjadi dari 8,8±2,6 menjadi 6,7±1,6. Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa bahwa senyawa flavonoid golongan flavon
jenis:
3-hydroxyflavone,
5-hydroxyflavone,
7-hydroxyflavone,
3,7-
dihydroxyflavone, dan 3,5,7-trihydroxyflavone (galangin) telah terbukti secara nyata mampu menurunkan aktivitas senzim sitokrom P-450 pada sel limfosit manusia (Zai et al, 1998). Penurunan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah ini juga didukung dengan hasil penelitian terhadap kadar sitokrom P-450 pada sel eritrosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan secara nyata kadar sitokrom P-450 pada sel darah eritrosit, meskipun penurunan secara tidak nyata juga tampak pada kelompok kontrolnya. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa pemberian minuman bubuk kakao bebas lemak pada responden selama 25 hari bisa menghambat kerja enzim oksidatif sitokrom P-450 pada plasma maupun pada sel eritrosit darah manusia tentunya diimbangi dengan pola makan yang baik pula. Hal tersebut berimplikasi dapat menekan produksi radikal bebas dalam tubuh. Beberapa penelitian lainnya yang juga telah membuktikan tentang potensi bahan-bahan alami dalam menghambat kerja dari enzim oksidatif sitokrom P-450. Salah satunya NCCAM (2004) menginformasikan bahwa pemberian suplemen yang terdiri dari ekstrak katekin teh hijau (bebas kafein) sebesar 211±25 mg telah terbukti mampu menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450 pada plasma darah 11 orang responden selama 14 hari intervensi. Akan tetapi penurunan ini tidak signifikan secara statistik (p>0,05). Lebih lanjut Obach (2000) telah membuktikan bahwa kandungan flavonoid yang berupa I3,II8-biapigenin pada bunga jenis Hypericum perforatum telah terbukti mampu menghambat aktivitas enzim sitokrom P-450 pada manusia. St. Johns wort Hypericum perforatum merupakan jenis tanaman herba yang terdapat di wilayah Eropa dan Amerika Utara yang lebih popular dengan sebutan St Jhon’s wort. Tanaman ini memiliki komponen bioktif I3,II8-biapigenin, chloregenic acid, quercetin, hyperforin, hypericin.
Aktivitas enzim detoksifikasi glutation S-transferase pada eritrosit Sistem detoksifikasi senyawa-senyawa xenobiotik melibatkan dua reaksi yaitu reaksi Fase I dan reaksi Fase II. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu (monoksigenase) menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzim-enzim fase dua (konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek toksik bagi tubuh (Hodgoson & Levi, 2000). Pada penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagimana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas enzim detoksifikasi fase II yaitu glutation S-transferase yang selanjutnya disebut sebagai GST. Dari segi toksikologi, reaksi fase II sangat penting karena seringkali terlibat dalam penghilangan zat atau metabolit perantara yang reaktif, yang bersifat elektrofil. Berlangsungnya reaksi ini dikatalisir oleh enzim glutation S-transferase. Kofaktor yang diperlukan untuk reaksi ini adalah glutation tri pepetida (GSH) yang tersusun dari glisin, asam glutamat dan sistein. Konjugasi glutation berlangsung dengan cara pengikatan karbon elektrofil yang ada pada substrat oleh gugus sulfihidril nukleofil yang ada pada glutation (Donatus, 2001). Enzim fase II merupakan sistem enzim konjugasi. Sebagai contoh dalam proses metabolisme BHT, kecukupan sistem enzim konjugasi glutation sangat kritikal dalam menentukan apakah metabolit yang dihasilkan dapat dikeluarkan dari dalam tubuh atau akan diubah menjadi senyawa elektrofil dan senyawa radikal (Zakaria, 2001). Kadar GST ditentukan dengan menggunakan metode Habig et al yaitu dengan menggunakan substrat CDNB (1-kloro-2,4-dinitrobenzene) dan Glutation dalam
bentuk
tereduksi
(GSH).
Analisis
ini
dengan
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm. Hasil pengukuran absorbansi pada spektrofotometer ini merupakan hasil konjugasi dari GSH dan CDNB melalui reaksi pada gambra 16 berikut:
Gambar 16 Reaksi GSH dan CDNB Lebih lanjut Habig et al (1974) menjelaskan bahwa untuk tujuan analisis terdapat bermacam substrat bagi glutation s-transferase yang dapat digunakan, yaitu 1-clhoro-2,4-dinitrobenzene, 1,2-dichloro -4-nitrobenzene, p-nitrobenzyl chloride, 4-nytropiridine-N-oxide, 1,2-epoxy-3-(p-nitrophenox) propane, 1,2naphtalene oxide, iodomethane, 1-menapthyl sulfat, trans-4-phenyl 3-buten-2-one, p-nitrophenetyl bromide, dan bromosulfophthalein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 0,083 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase sebelum intervensi adalah sebesar 0,0825 nmol/ min/ mg protein. Setelah intervensi berlangsung selama 25 hari, pengukuran rata-rata aktivitas GST eristrosit pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0,217 nmol/ mg protein sedangkan kelompok kontrol menjadi 0,110 nmol/ min/ mg protein. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas GST eritrosit baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Namun demikian rata-rata peningkatan aktivitas GST eritrosit pada kelompok perlakuan lebih besar (0,134 nmol/ min/ mg protein) dibandingkan kelompok kontrol yang rata-rata peningkatannya hanya sebesar 0,03 nmol/ min/ mg protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi peningkatan aktivitas GST secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas GST eritrosit yang trjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Data hasil penelitian disajikan dalam gambar berikut.
Kadar GST (nmol/ min/ mg protein)
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,0134 nmol/min/mg protein
Kadar GST (nmol/ min/ mg protein)
Gambar 17 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,03 nmol/min/mg protein Gambar 18 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada eritrosit kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi Peningkatan aktivitas enzim glutation S-transferase diduga karena efek antioksidatif dari senyawa flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak yang dikonsumsi oleh responden selama 25 hari. Gutteridge dan Halliwell (1998) menyebutkan bahwa flavonoid memiliki kemampuan dalam menghambat peroksidasi lipid, ROS, menghambat kerusakan oleh haem protein atau adanya peroksida, binding ion metal dan menghambat lipoksigenase dan enzim cyclooxygenase. Hasil penelitian ini didukung pula oleh hasil penelitian Erniati
(2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari terhadap 9 orang responden telah terbukti secara nyata dapat meningkatkan kadar glutation tereduksi (GSH) pada limfosit responden. Keberadaan enzim glutation S-tranferase dan GSH dapat melindungi sel dari bahaya elektrofilik yang reaktif ini sebelum bereaksi dengan sisi nukleofilik dari sel. Glutation dalam bentuk tereduksi (GSH) merupakan substrat yang penting untuk enzim-enzim antioksidan seperti glutation S-transferase dan glutation peroksidase dalam menguraikan berbagai macam peroksida atau lipid peroksida (Stone 1999). Namun demikian peningkatan aktivitas enzim gluatation s-transferase ini tidaklah bisa semata-mata disebut sebagai akibat dari flavonoid yang terdapat pada minuman bubuk kakao bebas lemak semata. Hal ini dikarenakan, meski secara tidak nyata setelah 25 hari intervensi, aktivitas enzim GST pada kelompok kontrol juga mengalami peningkatan. Peningkatan aktivitas GST yang terjadi juga pada kelompok kontrol ini diduga karena meningkatnya asupan gizi dan membaiknya pola makan responden selama penelitian berlangsung. Kirlin et al (1999) menyebutkan bahwa makanan merupakan hal yang paling berperan dalam menginduksi enzim detoksifikasi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa makananmakanan yang dapat menginduksi enzim detoksifikasi adalah beberapa famili sayuran seperti cruciferae (brokoli, sawi, kubis, kale, kembang kol), leuguminose (buncis), umbelliferae (wortel, seledri), zingiberaceae (jahe), liliaceae (asparagus) dan chenopodiceae (bayam). Dari hasil pengukuran aktivitas enzim glutation S-transferase dapat diketahui bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas enzim ini. Peningkatan aktivitas enzim ini berhubungan dengan aktivitas enzim sitokrom P-450, dimana telah terjadi penurunan kadar sitokrom P-450 secara nyata dalam eritrosit responden yang mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari, ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkannya produksi radikal bebas dalam tubuh. Sehingga enzim glutation S-transferase yang ada mampu mengurus intermediet yang dihasilkan, akibatnya terdapat sisa GST yang
tidak terpakai. Sisa GST yang tidak terpakai ini dapat digunakan untuk proses detoksifikasi berikutnya. Menurut Kirlin et al ( 1999) Induksi enzim detoksifikasi glutation S-transferase merupakan mekanisme pertahanan terhadap kanker. Prinsipnya peningkatan enzim GST dapat mereduksi karsinogenesis melalui penguatan pembuangan elektrofil reaktif. Lebih lanjut Donatus (2001) menjelaskan bahwa intermediet yang bersifat elektrofilik dan reaktif dapat membahayakan komponen seluler yang penting. Penelitian lainnya juga telah banyak dilakukan untuk menggali potensi flavonoid dalam meningkatkan kerja enzim glutation S-transferase, salah satunya telah dibuktikan oleh Uhl (2002) yang menyebutkan bahwa pemberian chrysin (dosis 5-10 μg/ ml) sebagai kemopreventif mampu menekan aktivitas enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan aktivitas GST pada sel hepatoma (HepG2) manusia. Chrysin merupakan komponen biokatif golongan flavonoid yang banyak terdapat pada buah, sayur dan mampu. Senyawa ini diduga kuat memiliki potensi sebagai anti kanker dan tumor. Selanjutnya Patel (2005) juga telah membuktikan bahwa konsumsi buah berry setiap hari terbukti mampu meningkatkan enzim Glutation S-transferase responden laki-laki maupun perempuan. Pada tahun yang sama telah dibuktikan bahwa 15 gram ekstrak teh hijau yang diseduh dalam 1 liter air panas telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim Glutaion Stransferase sebesar 26 % pada hati tikus yang mengkonsumsinya selama 18 hari (El-Beshbishy, 2005).
Aktivitas enzim detoksifikasi glutation S-transferase (GST) pada plasma Glutation s-transferase adalah famili multi gen suatu protein multi fungsi yang mempunyai bentuk dimmer dan diyakini memegang peranan penting dan utama dalam biosinstesis leukotrin tertentu, prostaglandin, katalis konjugasi glutation (GSH) dengan pusat elektrofilik beragam senyawa (misalnya epoksida) sebagai tahap pertama pembentukan asam merkapturat (Martono dan Supardjan, 2002). Enzim ini berperan penting pula dalam detoksifikasi, ditemukan dalam fraksi sitosol. Dalam proses detoksifikasi suatu bahan obat elektrofilik dalam
tubuh ia berperan sebagai katalis pada reaksi antara glutation sebagai senyawa nukleofil dengan senyawa-senyawa elektrofilik (Jann et al, 1995). Analisis yang dilakukan dengan menggunakan prinsip bahwa glutation dapat berkonjugasi dengan 1-kloro- 2,4-dinitrobenzene (CDNB) dengan adanya katalis enzim glutation S-transferase dan menghasilkan produk yang dapat diukur secara spektrofotometri (Habig et al, 1974). Lebih lanjut Murray et al (1999) menjelaskan bahwa sejumlah xenobiotik elektrofilik yang berpotensi beracun akan terkonjugasi dengan glutation nukleofilik dalam reaksi berikut: R
+
GSHO
R–S- G
Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Jika xenobiotik yang potensial beracun tidak terkonjugasi maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius. Aktivitas GST mempengaruhi tingkat toksisitas karena dengan semakin rendahnya aktivitas GST, semakin sulit metabolit hasil reaksi fase I dikonjugasikan dan kemungkinan besar metabolit radikal tersebut bereaksi terlebih dahulu dengan makromolekul seperti protein, DNA, RNA sehingga menimbulkan toksik pada tubuh (Hodgoson & Levi, 2000). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase pada plasma kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 0,129 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase sebelum intervensi adalah sebesar 0,126 nmol/ min/ mg protein. Setelah intervensi berlangsung selama 25 hari, pengukuran rata-rata aktivitas GST plasma pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0,293 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol menjadi 0,172 nmol/ min/ mg protein. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas GST plasma baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Namun demikian rata-rata peningkatan aktivitas GST plasma pada kelompok perlakuan lebih besar (0,164 nmol/ min/ mg protein) dibandingkan kelompok kontrol yang rata-rata peningkatannya hanya sebesar 0,046 nmol/ min/ mg protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t,
dimana terjadi peningkatan aktivitas GST plasma darah secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas GST plasma darah yang terjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut.
Kadar GST (nmol/ min/ mg protein)
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,164 nmol/min/mg protein Gambar 19 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi Kadar GST (nmol/ min/ mg protein)
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
K9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,046 nmol/min/mg protein Gambar 20 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Peningkatan aktivitas enzim glutation S-transferase ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari pada responden memberikan efek yang positif bagi kerja enzim di fase II. Hal ini menunjukkan bahwa GST mampu mengurus instermediet yang dihasilkan selama proses detoksifikasi, akibatnya terdapat sisa GST yang tidak terpakai. Sisa GST yang tidak terpakai ini dapat digunakan untuk proses detoksifikasi berikutnya. Hodgoson dan Levi (2000) menjelaskan bahwa mekanisme konjugasi terhadap metabolit radikal yang reaktif yang dihasilkan dari reaksi fase I merupakan reaksi eliminasi yang cepat dan merupakan inaktivasi senyawa-senyawa yang berpotensi toksik. Toksisitas seluler merupakan suatu keseimbangan fungsi laju pembentukan metabolit
radikal
terhadap
biotransformasinya
sehingga
akhirnya
dapat
dikeluarkan dari dalam tubuh. Penurunan aktivias GST merupakan gejala dimana telah terjadi ketidakseimbangan pembentukan metabolit radikal terhadap reaksi eliminasinya. Hal ini disebabkan tingginya metabolit radikal yang terbentuk dan strukturnya yang tidak mampu dikonjugasikan secara sempurna oleh GST. Metabolit radikal bebas yang tidak terkonjugasikan tadi akhirnya dapat berikatan dengan makromolekul seperti protein, polipeptida, RNA dan DNA yang merupakan pemicu berbagai proses toksik seperti mutagenesis, karsinogenesis, dan nekrosis seluler. Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian Yuliatmoko (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat secara nyata meningkatkan aktivitas antiradikal bebas pada plasma darah responden. Radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif. Stress oksidatif merupakan keadaan ketidakseimbangan antara reaktif oxygen species (ROS) / reaktif nitrogen species (RNS) dan antioksidan (Halliwell & Gutteridge 2001). Jika radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan dan jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat pada kerusakan sel ( Langseth 1995; Palmer & Paulson 1997). Efek radikal bebas dapat dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh dalam jumlah yang berimbang. Antioksidan merupakan
senyawa yang dapat melindungi sistem
biologis tubuh melawan efek-efek yang potensial dari proses atau reaksi yang dapat menyebabkan oksidasi berlebihan (Papas 1991). Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas elektrolit, zat-zat makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain (Ganong 2000). Darah menyalurkan flavonoid ke jaringan-jaringan tubuh. Apabila terdapat dalam plasma, aglikon dapat memasuki jaringan perifer dengan difusi pasif
atau
terfasilitasi. Konjugat glukoronida perlu disalurkan ke dalam jaringan perifer karena senyawa tersebut bersifat hidrofilik dan berdifusi melewati membran dengan lambat. Untuk dekonjugasi dalam jaringan, banyak sel memiliki aktivitas β-Glukoronidase dalam fraksi lisosom dan lumen dalam retikulum endoplasma (Meskin et al 2004). Berbagai penelitian serupa juga menyebutkan bahwa beberapa tanaman yang berpotensi sebagai antioksidan telah terbukti dapat meningkatkan kerja enzim fase II pada proses detoksifikasi. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa ekstrak tanaman widuri yang mengandung senyawa flavonoid jenis sylimarin terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim fase II: glutation S-transferase dan quinone reduktase pada liver, paru-paru dan kulit tikus percobaan dengan dosis 100-200 mg/ hari (Zao dan Agrawall 1999). (Sztanke dan Pasternak (2006) dalam ringkasannya menyebutkan bahwa senyawa astaxanthin dan canthaxanthin terbukti mampu meningkatkan kerja enzim fase II NAD(P)H: quinon reduktase yang mana enzim ini sangat vital dalam proses detoksifikasi senyawa karsinogen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa brokoli, sawi, dan kembang kol telah terbukti juga mampu meningkatkan kerja enzim fase II. Namun demikian, dalam penelitian ini tidak bisa disimpulkan bahwa peningaktan aktiviatas enzim fase II dalam hal ini glutation S-transferase sematamata hanya disebabkan oleh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberikan terhadap responden selama intervensi berlangsung. Hal tersebut dikarenakan pada kelompok kontrol hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan aktivitas GST pada plasma darah responden yang tidak
mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama intervensi yang berlangsung 25 hari tersebut. Ini diduga karena responden mengalami perbaikan dalam menu makan juga pola makannya dibandingakan dengan kebiasaan mereka sebelumnya. Pada saat intervensi berlangsung, pola makan dan menu makan dari responden menjadi perhatian penting, hal ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang seseragam mungkin sehingga bias yang besar bisa dihindari semaksimal mungkin. Selama intervensi berlangsung, responden mendapatkan menu makan yang terdiri dari karbohidrat, lemak, protein serta serat yang cukup. Zakaria (2004) menyebutkan bahwa sayur, buah dan beberapa komponen bioaktif yang terdapat pada tanaman seperti flavonoid, klorofil, antosianin, karetonoid, terpenpoid, isothiosianat mampu menekan produksi radikal bebas dalam tubuh sehingga mampu menekan resiko terserang penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, stroke, diabetes dan penyakit degeneratif lainya. Seperti yang telah dibuktikan oleh Semiz dan Sen (2007) bahwa buah semangka mentah mampu meningkatkan aktivitas enzim GST sampai 50% pada liver, ginjal dan paru-paru tikus, juga menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450. Tanaman semangka mentah tersebut diberikan selama 16 hari dengan dosis 200 mg/ kg berat badan setiap 4 hari sekali. Tanaman semangaka komponen bioaktif berupa triterpen, pistein dan steroid. Selain faktor makanan, faktor lainnya yang penting adalah pola makan, status gizi, pencemaran makanan (akibat bahan tambahan kimia), udara, sinar matahari (UV) dan juga gaya hidup seseorang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak setiap hari selama 25 hari berpengaruh nyata dalam meningkatkan aktiviats enzim antioksidan katalase baik pada eritrosit maupun plasma darah reponden. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh secara enzimatis dari serangan radikal bebas. Konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak juga dapat menurunkan aktivitas enzim detoksifikasi yang bersifat oksidatif yaitu enzim sitokrom P-450 baik pada eritrosit maupun plasma darah reponden. Selain itu konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas enzim detoksifikasi glutation S-transferase pada eritrosit maupun plasma darah responden. Kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat memberikan dampak yang positif bagi kerja enzim detoksifikasi dalam mengeluarkan senyawa asing yang toksik sehingga menekan jumlah radikal bebas dalam tubuh. Dengan meningkatnya sistem pertahanan tubuh secara enzimatis dan meningkatnya kinerja enzim detoksifikasi, maka secara umum dapat dikatakan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesehatan manusia.
Saran Konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas salah satu enzim antioksidan katalase, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruhnya terhadap enzim antioksidan yang lain seperti superoksida dismutase (SOD) dan glutation peroksidase (GPx). Metabolisme senyawa asing dalam tubuh (detoksifikasi) melibatkan banyak enzim dalam prosesnya, sehingga perlu adanya penelitian lanjutan tentang pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap kerja enzim-enzim
detoksifikasi lainnya seperti flavin containing monooksigenase, prostaglandin synthetase cooxidase, molibdenum hidroxylase, metyl transferase, quinon reduktase dan lain-lain. Dengan demikian benar-benar bisa dibuktikan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat berkontribusi positif bagi sistem pertahanan tubuh dari serangan radikal bebas yang berbahaya. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian lanjutan terhadap peranan enzim glutation Stransferase dalam menangkap senyawa xenobiotik lainnya sehingga bisa membuktikan peranan flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak dalam system detoksifikasi. Penelitian ini melibatkan responden perempuan dalam kondisi sehat, sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap responden dengan kondisi kesehatan dibawah normal (menderita penyakit tertentu), sehingga bisa dilihat bagaimana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap manusia dengan kondisi tubuh dalam keadaan sakit. Mengingat konsumsi minuman bubuk kakao dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh secara enzimatis dan juga berpengaruh positif terhadap sistem detoksifikasi,
maka
perlu
diinformasikan
kepada
masyarakat
mengkonsumsi minuman bubuk kakao bermanfaat bagi kesehatan.
bahwa
Dafar Pustaka Andersen OM, Markham KR. 2006. Flavonoids: chemistry, biochemistry, applications. CRC Press. New York Amri, E. 2007. Pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak terhadap sifat antioksidatif eritrosit manusia. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arisudana, IG. 2003. Pengaruh bubuk cincau hijau (Cyclea barbarata L. Miers dan Premna oblongifera Merr) [skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor. Bogor Auroma OI. 1997. Assesment of potencial prooxidant and antioxidant actions. J Am Oil Chem Soc 73 (12): 1617-1625 Benson, DE, Huslick KS, Sligar SG. 1996. Reduced oxygen intermediate observed in D251 N cytochrome P-450. J Biol Chem 36: 5104-5107 Bird RP, Draper HH. 1984. Methods enzymol. CRC Press. New York Blaaubeoer, BM. 1996. Toxicology: principles and aplications. CRC Press Inc. New York Chalid SY. 2004. Pengaruh ekstrak daun cincau hijau terhadap aktivitas enzim antioksidan dan pertumbuhan tumor kelenjar susu mencit [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Charpentier R, Cateora H. 1996. Turmeric; phytonutrient protection for variety of physiological stress. Vitamin research product. Carson City, Nevada. http://www.rvp .com Cheuvaux, Kati A., Schmitz, Harold H, Romanczyk, Leo J. 1999. Products containing, polyphenol(s) and L-arginine to stimulate nicric oxide production. Mars, Incorporated WO/1999/045797 Cho SH, Jung-Gyo, Choi YS, Young SS, Hee CM. 1995. Lipid peroxidations and (8)-hydroxideoxyguanosine formations in rats fed fish oil with different levels of vitamin E. J Nutr Scie Vit. 41: 61-72 Chocolate Information Center (CIC). 2001. Plyphenol explained. CIC News Cillard J, Cillard P, Cormier M. 1980. Effect of experimental factor on the prooxidants behavior of tochoperol. J Am Oil Chem Soc 57: 255-261
Chipault JR, Mizuno GR, Hawkins JM, Lundberg WO. 1952. The antioxidant properties of natural spices. J Food Res 17:87-89. Coscun O et al. 2004. Protective effects of quercetin, a flavonoid antioxidant, in absolute ethanol-induced acut gastric ulcer. J Gen Med 1(3): 37-42 Donatus, IA. 2001. Toksikologi dasar. Laboratorium Farmakologi Toksikologi. UGM. Yogyakarta Dragted LO et al. 2004. The 6-a-day study: effects of fruit and vegetables on markers of oxidative stress and antioxidative defense in healthy non smokers. Am J Clin Nutr 79: 1060 –1072 Erniati. 2007. Efek konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap sifat antioksidatif dan proliferativ limfosit manusia [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. El-Beshbishy, HA. 2005. Hepatoprotective effect of green tea (Camellia sinensis) extract, against tamoxifen-induced liver injury in rats. J Biochem Molec Biol 38 (05): 563-570 Fraga CG, Goretta LA, Ottaviani J, Carrasquedo F, Lotito S, Lazarus S, Schmitz H, Keen CL. 2005. Regular consumption of flavanol rich chocolate can improve oxidant stress in young soccer players. J Clinic Dev Immun 12 (1): 11-17 Frankle EN dan Neff WE. 1983. Biochemistry. Biophys Acta 754: 264-270 Ganong WF. 2000. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi bahasa indonesia. Editor: M. Djauhari Widjajakusumah. Penerbit Buku Kedokteran: EGCG. Grassi D, Desideri D, Groce G, Pasqualetti P, Lippi C, Ferri C. 2006. Cocoa and cardiovaskuler health. The sweet heart protection. Agr Food Ind Hi Tech 17 (01) Gutteridge JMC, Halliwel B. 1996. Antioxidant in nutritions, health and disease. Oxford University Press. New York Guengerich FP. 1991. Reactions and significance of cytochrome P-450 enzymes. J Biol Chem 266 (16): 10019-10022 Habig WH, Pabst MJ, Jakoby WB. 1974. Glutahione S-transferase, the first enzyme step in mercapturic acid formations. J Biol Chem 249 (22): 71307139
Hall C. 2001. Sources of natural antioxidants: oilseeds, nuts, cereals, legumes, animal products and microbial sources. Di dalam: Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M, editor. Antioxidants in food. Cambridge England: Woodhead Publishing Limited. hlm. 159-209. Halliwell, Gutteridge. 1999. Free radical in biology and medicine. Oxford University Press. Ed. 3. Hlm: 105-110 Hammerstone JF, Lazarus S, Mitchell. 1999. Identifications of pyrocianidins in cocoa using HPLC. J Agr Food Chem 47: 490-496 Hammerstone JF, Lazarus SA, Schmitz HH. 2000. Procyanidin conten and variation in some commonly consumed foods. J Nutr 130: 2086S-2092S. Hudson BJF. 1990. Food antioxidants. Elsivier Applied Sci. London Hodgoson E, Levi PE. 2000. A text book of modern toxicology. Ed. McGraw-Hill Higher Education. Singapore. Jann, N, Commendaur, Gerald J. S, Nico PE. 1995. Enzyme and transport sistem involved in the formation an disposition of glutathione S-conjugates. Pharmacol Rev 47 (2): 271-325 Jung UJ, Kim HJ, Lee JS, Lee KM, Park EJ, Jeong TS, Choi. 2003. Naringin suplementation lowers plasma lipids and enhances erythrocyte antioxidant enzyme activities in hypercholesterolemic subjects. J Clinic Nutr 22(6): 561568 Kahkonen MP, Hopia AL, Vuorela HJ. 1999. Antioxidant activity of plants extracts containing phenolic compounds. J Agric Food Chem 47: 3954-3962 Karen JM, Andriana KC, Indu S, Mauren A, Helen M, Andrew JS. 2003. Dietary flavanols and procyanidin oligomers from cocoa (theobroma cacao) inhibit platelet function. Am J Clin Nutr 77: 1466-73 Kehrer JP. 1993. Free radicals as mediatory of tissue injury and disease. Critic Rev Toxic 23 (1): 21-48 Karim M, Mc Cormick K, Kappagoda CT. 2000. Effect of cocoa extracts on endothelium-dependent relaxtions. J Nutr 130; 2105S-8S Kim JY. 2002. Effects of flavonoids isolated from scutellariae radix on cytochrome P-450 activities in human liver microsomes. J toxic envir health 65 (5-6): 373-381
Kirlin WG, J Cai MJ, De Long, EJ Patten, DP Jones. 1999. Dietary compounds that induce cancer preventive phase 2 enzyme activates apoptosis at comparable doses in HT29 colon carcinoma cells. Am Soc Nutr Sci: 18271834 Klauning JE. 1998. The Role of Oxidative stress in chemical carsinogenesis. Toxicological defense mechanism and the shape of dose response Relat Enviro Health Persp 106: 01 Kohrar SP, Rossel JB. 1990. Detections, estimations and evaluations of antioxidants in food sistems. Di dalam Hudson JBF, editor. Food Science. Elsevier App Sci. London Krinsky NI.1992. Mechanism of action biological antioxidant. Soc Exper Medic. Boston Kris-Ethon, Keen. 2002. Action of carotenoids in biological systems. Annu Rev Nutr (13) Kusumaningtyas, R. 2007. Pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak terhadap profil darah manusia. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Krovat BC, Tracy JH, Omiecinski CJ. 2000. Finger printing of cytochrome P-450 and microsomal epoxide hydrolase. Toxicl Sci. 55: 352-360 Langseth, L. 2000. Antioxidant and their effect on health. Di dalam: Schmidl MK, Labuza TP, Editor. Essentials of functional foods. USA: Aspen Publisher Inc. Maryland. Hal 303-317 Lautraite S, Musonda AC, Doehmer J, Edwards GO, Chipman JK. 2002. Flavonoids inhibit genetic toxicity produced by carcinogens in cells expressing cyp1a2 and cyp1a1. J Mutagen 17 (1): 45-53 Lazarus SA, Adamsons GE, Hammerstone JF, Schmitz HN. 1999. High performance liquid chromatography/ mass spectrometry analysis of proanthocyanidins in foods and beverages. J Agric Food Chem: 47: 36933701 Lechninger. 1993. Dasar-dasar biokimia terjemahan Maggy Thenawijaya. Penerbit Airlangga. Jakarta Lee KW, Kim YJ, Lee HJ, Lee CY. 2003. Cocoa has more phenolic phytochemical and a higher antioxidant capacity than teas and red wine. J Agric Food Chem 51: 7292-7295
Lotito SB, Actis goretta L, Renart ML. 2000. Influence of oligomers chain length on the antioxidants activity of procyanidins. Biochems Biophys Res Commun 276: 945-51 Lowry, O. H, NJ Rosebrough, Farr RJ, Randall. 1951. Protein measurement with a the folin ohenol reagent. J Bio Chem. 193: 265-275 Lu, Frank C. 1995. Toksikologi dasar. Penerjemah: Edi N. Edisi ke-2. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta Lu, FC. 1991. Basic toxicology: fundamentals, target organs and risk assesment. Hemispher Publ Coo. Penerjemah: Edi Nugroho. UI Press. Jakarta Martono S, Supardjan. 2002. Pengaruh obat-obat antiinflamasi pada aktivitas enzim glutation S-transferase kelas mu an pi. Laporan Penelitian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Mathur S, Sridevi D, Scott M, Jialal I. 2002. Cocoa product decrease low density lipoprotein oxidative susceptibility but do not biomarkers of inflammation human. J Nutr (132); 3663-3667 Mao T, Powell J, Van de water. 2000. Effect of pyrocianidins secretions on endhotelium dependent relaxtions. J Med Food (3); 107-114 Mao TK, Powell JJ, Van de water J. 2000. The Effects of cocoa procyanidins on the transcription and secretion of interlukin 1 beta in peripheral bloods mononuclear cell. Life Science 66; 1377-86 Mc Cord JM dan Fridovich 1969. The utility of SOD in studying free radical reactions. J Biol Chem 244: 6056 Meskin MS, Bidlack WR, Davies AJ, Lewis DS, Randolph RK. 2004. Phytochemicals (mechanism of actions). CRC Press. Washington DC Middleton, JR, Chitan K dan Theoharis CT. 2000. The effects of plant flavonoids on mammalian cells: implications for inflammation, heart disease, and cancer. Pharmacol Rev 52:673-751 Miean KH, Mohammed S. 2001. Flavonoid myricetin, quercetin, kaemperol) conten of edible tropical plants. J Agr Food Chem 49: 3106-3112 Misnawai, Selamat J, Jamilah B, Nazamid S. 2002. Activations of remaining key enzymes in dried under fermented cocoa beans and its effect on aroma precursors formation. J Food Chem 78: 407-417
Misra, Fridovich. 1976. SOD and the oxygen enhancement of radiations lethality. Arch Biochem Biophys 176: 577 Murray Robert. K, Darly K, Granner, Peter A. Mayes, Victor WR. 1999. Biokimia Harper. Diterjemahkan Oleh: Andry H, Alexander H Santoso. Penerbit Buku Kedokteran. EGCG Mulder TPJ, Cort DA, Peters WHM. 1999. Variability of glutathione Stransferase in human liver and plasma. J Clin Chem 45. 3:355-359. Murphy KJ, Kronopoulus AK, Singh I, Francis MA, Moriarty H, Pike MJ, Turner AH, Mann NJ dan Siclair AJ. 2003. Dietary flavanols and procyanidin oligomers from cocoa (theobroma cacao) inhibit platelet function. Am J Clin Nut 77: 1466-73 Nabet BF. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan dalam sistem biologis di dalam: Zakaria FR, editor. Prosiding seminar senyawa radikal dan sistem pangan: reaksi biomolekuler, dampak terhadap kesehatan dan penangkalan. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dan Kedutaan Besar Prancis Jakarta. Bogor Nakatani. 1997. Antioxidant from spices and herbs. Di dalam: Shahidi F, editor. Natural antioxidants: chemistry, health effects and applications. Champaign, Illinois: AOAC Press. (NCCAM) National center for complementary and alternative medicine. 2004. Green tea (Camellia Sinensis) extract does not alter cytochrome P450 3a4 Or 2d6 activity in healthy volunteers (komunikasi singkat). Drug Metab Dispos 32(9): 906-908 (NCCAM) National Center for Complementary and Alternative Medicine. 2005. Lack of evidence for induction of cyp2b1, cyp3a23, and cyp1a2 gene expression by panax ginseng and panax quinquefolius extracts in adult rats and primary cultures of rat hepatocytes (komunikasi singkat). Drug Metab Dispos 33 (1): 19-22 Nugrahenny D. 2003. Pengaruh seduhan teh cincau hijau terhadap kadar sitokrom P-450 dan aktivitas glutation s-transferase dari hati tikus. Departemen Ilmu Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor. Bogor Nurahman. 1998. Pengaruh konsumsi sari jahe terhadap perlindungan limfosit dari stres oksidatif pada mahasiswa pondok pesantren Ulil Al-Baab di Bogor. [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor
Obach RS. 2000. Inhibition of human cytochrome P450 enzymes by constituents of St. Johns wort, an herbal preparation used in the treatment of depression. J Pharm Exper Therap 294 (1): 88-95 Omura T, Sato R. 1964. The carbon monoxide binding pigment of liver microsomes, evidence for it hemoproteins nature. J Bio Chem 239 (7): 2370-2378 Osman HR, R Nasarudid, SS Lee. 2003. Extracts of cocoa (theobroma l cacao) leaves and their antioxidant potentials. J Food Chem (86): 41-46 Palloza P, Robbins RS, Seis H. 2000. Cantaxanthin suplement alters antioxidant enzyme and iron concentration in liver on balb mice. American Society for Nutritional Science Palmer HJ, Paulson KE. 1997. Reactive oxygen spesies and antioxidants in signal transduction and gene expression. Nutr Rev 55 (10) : 353-361 Papas AM. 1999. Determinant of antioxidant in humans. Di dalam: Papas AM, Editor. antioxidant status, diet, nutritions and health. CRC Press. USA. Hal: 21-33 Pasternak K, Hordyjewska, Borzecki A. 2005. The influence of chosen low moleculer mass antioxidant on the activities of superoksida dismutase (SOD) and glutathione peroksidase (GPx) in rats tissue. University of Lubin. Poland Peltola V, Mantyla E, Huhtamniemi I, Ahotupa M. 1994. Lipid peroxidation and antioxidant enzyme activities in the rat testis after cigarette smoke inhalation or administration of polychiorinated biphenyls or polychlorinated naphthalenes. J Androl 5 (4) Puspita-Nienaber NL, Fardiaz D, Sumardi M. 1992. Selection of natural antioxidant from spices. Di dalam: Oei BL, Buchanan A, Fardiaz D, editor. Development of food science and technology in Southeast Asia. IPB Press, Bogor Qin YZ, Derek D, Schramm, Heidrun B, Grooss. 2005. Influence of cocoa flavanols and procyanidins on free radical in human erythrocite hemolysis. Clinic & Devl Imunol 12 (1): 27-34 Raucy JL, Schult ED, Wester, Arora S, Johnston, Omdahl, Carpenster S. 1997. Human lympocyte cytochrome P450 2E1, A putative marker for alcohol mediated changes in hepatic chloroxazone activity. J Drug Met & Disp 25 (12)
Rasal VP, Shetty B, Sinnathambi A, Yeshmaina S, Ashok P. 2006. Antihyperglycaemic and antioxidant activity of brassica oleracea in streptozotocin diabetic rats. J Pharm 4 (2) Rein D, Paglioroni TG, Person DA. 2000. Cocoa and wine polyphenol modulate platelet activations and functions. J Nutr 130: 2120-6S Rein D, Paglioreny TG, Wun T, Pearson DA. 2000. Cocoa inhibits platelet activations and functions. Am J Clin Nutr 72 (1); 30-35 Rice-Evans CA, Diplock AT, Symons MCR. 1991. Technique in free radical research. Elsivier Amsterdam. London Roit LM. 1991. Essential immunology. Hongkong. Blackwell Scientific Publications. Dan Hua Printing Cross LTD. Hlm: 78-82 Sanbongi C, Osakabe N, Natsume M, Takizawa T, Gomi S, Osawa T. 1998. Antioxidative polyphenols isolated from theobroma cacao. J Agric Food Chem 46: 452-457 Schramm DD, Wang JF, Holt RR. 2001. Chocholate pyrocianidins decrease the leukotrine prostacyclin ratio in human and human aortic endothelial cells. Am J Clin Nutr 73: 36-40 Schuler P. 1990. Natural antioxidants exploited commercial. Di dalam Hudson JBF, Editor. Food Science. Elsevier App Sci. London Schmidl MK, Labuza TP. 2000. Essenstials of functional foods. Gaithesburg, Maryland. Aspen Publisher, Inc Setyawan AF. 2006. Pengaruh minuman seduhan bubuk bunga knop terhadap aktivitas enzim-enzim detoksifikasi pada hati tikus. Departemen Ilmu Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Semiz A dan Sen A. 2007. Antioxidant and chemoprotective properties of momordica charantia l. (bitter melon) fruit extract. Afr J Biotech 6 (03): 273-277 Shahidi F, editor. 1997. Natural antioxidant. AOAC Press. Illionis Siregar THS, Riyadi S, Nuraeni L. 2007. Pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran cokelat. Cetakan ke-19. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Sozmen B, Kazaz B, Taskiran D, Aslan L, Akyol A, Sozmen EY. 1998. Plasma antioxidant satus and nitrate levels in patients with hypertension and caronory heart disease. J Medic Scie 28: 525-531
Supari F. 1996. Radikal bebas dan fatofisiologis beberapa penyakit. Di dalam: Zakaria FR, Editor. Prosiding seminar senyawa radikal dan sistem pangan: reaksi biomolekuler, dampak terhadap kesehatan dan penangkalan. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dan Kedutaan Besar Prancis Jakarta. Bogor Sztanke M, Pasternak K. 2005. Antioxidant activities in patients after gastrointestinal tract suegery. University in Lubin. Poland Tejasari. 2000. Efek proteksi komponen bioaktif oleorosin rimpang jahe (zingiber officinale roscoe) terhadap fungsi limfosit secara invitro. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Uhl M. 2002. Effect of chrysin, a flavonoid compound, on the mutagenic activity of 2-amino-1-methyl-6-phenylimidazo[4,5- B] pyridine (phip) and benzo(a) pyrene (B(A)P) in bacterial and human hepatoma (Hepg2) cells. J Biomed Life Sci 77 (8): 477-484 Vinson J A, Proch J & Zubict JL. 1999. Phenol antioxidant quality and quantity of food. J Agri Food Chem 47: 4821-4824 Weisburger JH. 2001. Chemopreventive effects of cocoa polyphenols on chronic disease. Minirev Americ Health Found. New York Winarno. 1997. Kimia makanan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta WIPO (World Intellectual Property Organization). 2001. WO/2001/093690: An improved method for extracting cocoa procyanidins http://www.wipo.int. WIPO (World Intellectual Property Organization). 2001. (WO/2001/045726) The use of procyanidins in the modulation of cytokine gene expression and protein secretion. http://www.wipo.int Wollgast J dan Anklam E. 2000. Polyphenols in chocolate: is there a contribution to human health? J Food Resc International 33: 449-459. Yuliatmoko, W. 2007. Efek konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak terhadap aktivitas antioksidan dan bioavailabilitas flavonoid plasma manusia. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zaden, Zhang Y, Young IS. 1995. The oxidative inactivation of mitochondrial electron transport chain component. J Biol chem Zairisman SZ. 2006. Potensi imunomodulator bubuk kakao bebas lemak sebagai produk substandar secara invitro pada sel limfosit manusia. [Skripsi]. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Gizi IPB. Bogor
Zakaria-Rungkat F, Septiana AT, Sulistiyani. 2001. Ginger (Zingiber officinale Roescoe) extracts increase human LDL resistance to oxidation and prevent cholesterol accumulation in macrophage. Abstrac presented at the Second Intl Symp on Natural Antioxidant: molecular mechanism and health affects, Beijing, China. Zakaria FR. 1996. Synthesis of radical and electrophile compounds in and by food compounds. In radical compounds and food system: biomolecular reaction, effects on health and prevention. Zakaria FR, Dewanti R, Yasni S, eds. CFNS, IPB, Bogor, Indonesia. Zakaria FR, Abidin Z, Pramudya, SM, Sanjaya. 1996. Kadar malonaldehida dan zat gizi antioksidan plasma pada populasi remaja rentan pencemaran makanan. Bul Teknol Industri Pangan 7(3):56-64 Zakaria FR. 2001. Pangan dan pencegahan kanker. J Teknologi Industri Pangan 07 (12) Zakaria FR, Nurrahman, Prangdimurti E, Tejasari. 2003. Antioxidant and immunoenhancement activities of ginger (zingiber officinale roscoe) extracts and compounds invitro and invivo mouse and human sistem. Nutrac Food. 8(1): 96-104 Zao J dan Agrawall R. 1999. Tissue distribution of silibinin, the major active constituent of silymarin in mice and its association with enhancement of phase II enzyme: implication in cancer chemoprevention. J Carcino 20: 2101-2108 Zhai S, Dai R, Friedman FK, Vestal RE. 1998. comparative inhibition of human cytochromes P450 1a1 and 1a2 by flavonoids. J Drug Metab Disp 26 (10): 989-992 Zhu QY , Holt RR, Lazarus SA, Orozco TJ, Keen CL. 2002. Inhibitory effects of cocoa flavanols and procyanidin oligomers on free radical-induced erythrocyte hemolysis. Exp Biol Med 227(5): 321-329 Zitouni K, Zadeh JN, Harry D, Kerry SM, Betteridge DJ, Cappucino FP, Earle KA. 20005. Race specifics differences in antioxidant enzyme activity in patients with type 2 diabetes. Diabetes Care 28: 17.
LAMPIRAN
Lampiran 1
INFORMED CONCERN PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini Nama Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Pekerjaan Alamat Telpon
: : : : : :
Menyatakan dalam keadaan sehat dan bersedia menjadi responden pada penelitian konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak untuk kesehatan dan bersedia mematuhi aturan yang diberitahukan. Kesediaan ini saya buat setelah mendapat penjelasan dari peneliti sebagai berikut: 1. Bersedia minum minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberi sedikit gula dan sedikit susu bubuk skim setiap pagi hari selama 25 hari 2. Bersedia diperiksa kesehatannya selama 2 kali yaitu sebelum dan setelah pelaksanaan intervensi oleh petugas kesehatan yang berwenang 3. Bersedia diambil darahnya selama dua kali yaitu sebelum dan setelah pelaksanaan intervensi oleh petugas kesehatan yang berwenang 4. Bersedia makan menu makanan yang disediakan oleh peneliti saat sarapan pagi dan makan malam setiap hari selama satu bulan 5. Bersedia ikut diskusi tentang kebiasaan makan, kesehatan selama intervensi berlangsung. Semua penjelasan diatas sudah saya pahami dan mengerti sehingga saya mengerti tujuan minum minuman bubuk kakao bebas lemak untuk meningkatkan kesehatan. Dengan demikian ada kesepahaman antara responden dan peneliti tentang manfaat minum minuman bubuk kakao bebas lemak. Demikian Surat pernyataan ini saya buat, semoga dapat dipergunakan seperlunya. Bogor, Juli 2006 Responden,
Peneliti
(
)
(
)
Lampiran 2
KUISIONER KESEHATAN FISIK, POLA MAKAN DAN KEBIASAAN KONSUMSI MAKANAN JAJANAN A. Identitas Responden 1. Nama : 2. Jenis Kelamin : 3. Tempat/Tanggal lahir: 4. Alamat : B. Keadaan sosial ekonomi keluarga 1. Pendapatan a. Orang tua : Rp.........................................../bulan b. Beasiswa : Rp.........................................../bulan c. Lain-lain : Rp.........................................../bulan Total : Rp.........................................../bulan 2. Pengeluaran b. Makanan utama c. Jajanan d. Non Makanan
: : : Total :
Rp.........................................../bulan Rp.........................................../bulan Rp.........................................../bulan Rp.........................................../bulan
C. Antropometri 1. Berat badan 2. Tinggi badan 3. Lingkaran lengan atas 4. Skinfoid tickness
: : : :
...........................................Kg ...........................................Cm ...........................................Cm ...........................................Mm
D. Pemeriksaan klinis 1. Keadaan umum a. Pulse rate b. Respiratory rate c. Blood pressure d. Temperature
: : : :
............................................kali ……………………………kali ……………………………mmhg …………………………….Celcius
2. Mata a. Normal b. Anemic conjunctiva c. Icteric sclera d. Conjuctivitis e. Lain-lain
: ............................................
3. Telinga a. Normal b. Otitis c. Ear discharge d. Lain-lain
: ..............................................
4. Mulut a. Normal b. Angular stomatitis c. Cheilosisi d. Tonsilitis e. Pharingitis f. Gums swollen or bleeding g. Lain-lain
: ………………………………
5. Gigi a. Normal b. Carries teeth c. Lain-lain
: ……………………………….
6. Leher a. Normal b. Swolen thyroid gland c. Abnormal tissue d. Lain-lain
: ………………………………..
7. Kulit a. Normal b. Pellagrous c. Edema d. Ulcers e. Hemorrhagia f. Infections (allergic, fungal, bacterial, scabies) g. Lain-lain : ……………………………….. 8. Kuku a. Normal b. Pallor of bed c. Lain-lain
: …………………………………
9. Abdominal exam a. Normal b. Sign off acute abdomen c. Abdominal mass d. Hepatomegaly: e. Spelenomegaly
: Grade…………………………... : Grade…………………………...
f. g. h. i.
Ascites Flank pain Kidney mass Lain-lain
: ……………………………….
10. Heart exam a. Normal b. Murmur c. Gallop d. Congonital e. Lain-lain
: ………………………………
11. Ches exam a. Normal b. Ronchi c. Wheezing d. Slime/mucus e. Lain-lain
: ……………………………….
12. CNS a. Normal b. Anasthesia c. Abnormal gait d. Pathology reflexes e. Lain-lain
: ……………………………….
13. Skeleton a. Normal b. Deformity c. Bony Swellings d. Sign of rickets e. Lain-lain
: ……………………………….
14. Other a. …………………………………. b. …………………………………. c. …………………………………. d. …………………………………. 15. Conclusion a. …………………………………. b. …………………………………. c. …………………………………. d. ………………………………….
E. Riwayat Kesehatan 1. Pernah sakit 1 tahun terakhir a. Pernah b. Tidak 2. Kalau pernah b. Jenis penyakit c. Kapan d. Berapa Lama
: ........................................ : ........................................ : ........................................
3. Pengobatan yang dilakukan b. Dokter praktek c. Rumah sakit/Puskesmas d. Mantri kesehatan e. Obat-obatan bebas f. Lain-lain : .......................................... 4. Saat ini menderita sakit a. Ya b. Tidak 5. Kalau ya, jenis penyakit: ................................................ 6. Pengobatan yang dilakukan a. Dokter praktek b. Rumah sakit/puskesmas c. Mantri kesehatan d. Obat-obatan bebas e. Lain-lain : ............................................. F. Kebiasaan makan 1. Frekuensi makan dalam sehari a. Sekali b. Dua kali c. Tiga kali d. Empat kali 2. Kebiasaan sarapan pagi a. Ya, setiap hari b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 3. Bila ya atau kadang-kadang, jenisnya a. Makanan Lengkap : ................................................... b. Makanan Kecil : ................................................... c. Minuman : ...................................................
d. Lain-lain
: ...................................................
4. Kebiasaan makanan selingan a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 5. Jelaskan mengenai kebiasaan makan anda Waktu makan Pagi Tengah hari Siang Sore Malam
Jenis makanan
Asal makanan Dibuat sendiri Dibeli
Diberi
G. Kebiasaan konsumsi makanan jajanan 1. Apakah anda biasa mengkonsumsi makanan jajanan a. Ya b. Tidak 2. Apabila ya, sebutkan frekuensinya a. Lebih dari sekali sehari b. 5-7 kali seminggu c. 3-4 kali seminggu d. 1-2 kali seminggu e. 1-2 kali seminggu 3. Bagaimana pendapat anda mengenai jenis makanan jajanan yang baik ? (bisa lebih dari satu) a. Mengenyangkan b. Bergizi c. Harganya mahal d. Rasanya enak e. Penampilan menarik f. Bersih dan aman g. Lain-lain: ...................................... 4. Bagaimana pendapat anda mengenai makanan jajanan dan minuman yang dijual dipinggir jalan, terminal, dsb? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu Apakah anda membelinya?
a. b. c. d.
Tetap membeli Sering Kadang-kadang Tidak pernah
5. Bagaimana pendapat anda mengenai makanan jajanan dan minuman yang disajikan tidak tertutup a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah 6. Bagaimana pendapat anda mengenai tempat jualan makanan yang dekat dengan tempat sampah/kotor? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah 7. Bagaimana pendapat anda mengenai peralatan makan dan minum yang tidak bersih? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah 8. Bagaimana pendapat anda mengenai air pencuci peralatan makan/minum yang dipakai berkali-kali?
a. b. c. d.
Tidak baik Baik Sama saja Tidak tahu
Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah 9. Bagaimana pendapat anda mengenai lap pengering/lap tangan yang sama sehingga kotor? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah 10. Bagai mana pendapat anda mengenai makanan jajanan yang dibungkus kertas koran/sejenisnya? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah 11. Bagaimana pendapat anda mengenai makanan/minuman yang memakai zat pewarna? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu 12. Jenis-jenis makanan jajanan yang biasa dibeli
Jenis dan Nama Makanan/minuman Makanan lengkap Nasi goreng telur Nasi rames Nasi uduk Nasi soto ayam/dg Indomie rebus Mie ayam Mie bakso Bubur ayam Bihun goreng Siomai Lontong sayur Sate ayam Kupat tahu Gado-gado Togr goreng Pecel Lauk pauk Dging sapi goreng Sate ayam/kambing Ayam goreng Ati/ampela ayam Ikan kembung goreng Ikan bakar Ayam Bakar Telur ayam rebus Telur ayam goreng Makanan kecil/snack Roti manis Donat Kue pia Biskuit Kue mangkok Kue nagasari Kue putu Buras Ketan urap Bubur kacang ijo
Frekuensi
Tempat Beli
Jenis bungkus
Jumlah
Harga
Pisang goreng Pisang molen Risoles Ubi goreng Tempe goreng Tahu Goreng Bakwan Kroket Batagor Comro Singkong goreng Perkedel kentang Pilus Kue tambang Kacang atom Rempeyek Kacang Kerupuk Rujak Coklat manis batang Agar-agar Buah-buahan Jeruk manis Salak Pisang Mangga Apel Pear Duku Minuman Es teler Es krim Es sirup Es mambo Soft drink Es cendol Juice alpukat Juice jeruk Es doger Teh manis Teh botol/kotak Sari buah kotak
Kopi Bajigur Sekoteng Bir/minuman keras Lain-lain: .............................. .............................. .............................. .............................. .............................. Rokok Jamu gendong Jamu kemasan Catatan 1. Frekuensi a. Sekali sehari b. 5-7 kali seminggu c. 3-4 kali seminggu d. 1-2 kali seminggu e. 2 minggu sekali f. Jarang g. Tidak pernah 2. Tempat pembelian a. Toko besar/restoran b. Pasar tradisional c. Toko kecil/kantin d. Kios/warung e. Pedang menetap f. Pedagang keliling g. Lain-lain 3. Jenis pembungkus a. Polietilen b. Kertas lapis plastik c. Daun pisang d. Kertas bekas e. Kertas koran f. Alat makan/minum 13. Dasar pertimbangan yang digunakan dalam memilih jenis makanan jajanan tersebut (bisa lebih dari satu) a. Mengenyangkan
b. c. d. e. f. g. h.
Bergizi Harganya murah Rasanya enak Penampilan menarik Bersih dan aman Kebiasaan Lain-lain:..........................................
Lampiran 3 DATA-DATA HASIL PENELITIAN A. DATA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS ENZIM ANTIOKSIDAN KATALASE PADA ERITROSIT KELOMPOK PERLAKUAN Sebelum Intervensi RESPONDEN (U/ Mg protein) P1 553.846 P2 521.941 P3 522.837 P4 533.592 P5 517.46 P6 520.149 P7 594.533 P8 521.045 P9 567.647
Setelah Intervensi (U/ Mg protein) 607.079 565.855 555.997 589.156 590.052 581.09 601.702 582.882 583.778
KELOMPOK KONTROL RESPONDEN K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
Sebelum Intervensi (U/ Mg protein) 525.514 517.288 544.706 589.489 516.374 553.846 594.973 541.051
Setelah Intervensi (U/ Mg protein) 571.2322 521.045 547.035 598.117 500.433 592.74 596.325 548.969
KURVA STANDAR H 2 O 2 PENGUKURAN KATALASE ERITROSIT Kurva Standar H2O2
KURVA STANDAR
y = 6.505x + 0.009 R2 = 0.9986
1 Absorbansi
1 Absorbansi
1.2
y = 6.7525x + 0.0274 R2 = 0.9928
1.2 0.8 0.6 0.4 0.2
0.8 0.6 0.4 0.2
0
0 0
0.05
0.1
0.15
Konsentrasi
A. Sebelum Intervensi
0.2
0
0.05
0.1
0.15
Konsentrasi H2O2 (M)
B. Setelah Intervensi
0.2
B. DATA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS ENZIM ANTIOKSIDAN KATALASE PADA PLASMA KELOMPOK PERLAKUAN Sebelum Intervensi RESPONDEN (U/ Mg protein) P1 553.846 P2 521.941 P3 522.837 P4 533.592 P5 517.46 P6 520.149 P7 594.533 P8 521.045 P9 567.647
Setelah Intervensi (U/ Mg protein) 607.079 565.855 555.997 589.156 590.052 581.09 601.702 582.882 583.778
KELOMPOK KONTROL Sebelum Intervensi RESPONDEN (U/ Mg protein) K1 525.514 K2 517.288 K3 544.706 K4 589.489 K6 516.374 K7 553.846 K8 594.973 K9 541.051
Setelah Intervensi (U/ Mg protein) 571.2322 521.045 547.035 598.117 500.433 592.74 596.325 548.969
KURVA STANDAR H 2 O 2 PENGUKURAN KATALASE PLASMA KURVA STANDAR 1.2
1.2
y = 6.565x + 0.051 R2 = 0.9844
y = 6.695x + 0.0234 R2 = 0.9949
1 Absorbansi
1 Absorbansi
KURVA STANDAR
0.8 0.6 0.4 0.2
0.8 0.6 0.4 0.2
0
0 0
0.05
0.1 Konsentrasi
A. Sebelum Intervensi
0.15
0.2
0
0.05
0.1
0.15
Konsentrasi
B. Setelah Intervensi
0.2
C. DATA HASIL PENGUKURAN KADAR SITOKROM ERITROSIT
PERLAKUAN RESPONDEN P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Sebelum Intervensi (nmol/ mg protein) 5.3278 4.8076 4.9016 5.4747 5.7727 5.8021 5.9564 5.5189 5.2805
Setelah Intervensi (nmol/ mg protein) 1.322 1.1384 1.2466 1.0851 1.9188 1.8766 2.4714 1.676 1.536
Sebelum Intervensi (nmol/ mg protein) 5.214017846 5.15940905 2.810513402 5.008210296 2.948535909 6.149783371 5.662763073 5.574344656
Setelah Intervensi (nmol/ mg protein) 4.229574402 4.11398 2.321165321 4.262235208 2.858659263 4.131089509 4.903053866 4.934914506
KONTROL RESPONDEN K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
KURVA STANDAR PROTEIN KADAR SITOKROM PADA ERITROSIT KURVA STANDAR PROTEIN
KURVA STANDAR PROTEIN
1.2 Absorbansi
0.8
Absorbansi
y = 0.9072x + 0.0653 R2 = 0.9786
1
0.6 0.4 0.2 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi (mg/ml)
A. Sebelum Intervensi
1
1.2
y = 0.7002x - 0.0428 R2 = 0.9631
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi (mg/ml)
B. Setelah Intervensi
1
1.2
D. DATA HASIL PENGUKURAN KADAR SITOKROM PADA PLASMA
PERLAKUAN RESPONDEN P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Sebelum Intervensi (nmol/ mg protein) 2.1816 2.2061 1.9544 1.6678 1.6996 1.9188 3.1612 2.4131 1.7428
Setelah Intervensi (nmol/ mg protein) 0.7505 0.6416 0.9266 0.5226 0.7928 0.7132 0.8485 1.0065 0.8496
Sebelum Intervensi (nmol/ mg protein) 1.8097 1.8341 2.2248 3.9565 1.4999 1.7477 1.8811 1.8455
Setelah Intervensi (nmol/ mg protein) 1.5897 1.5136 1.7892 3.1973 1.1084 1.0583 1.3932 1.2555
KONTROL RESPONDEN K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
KURVA STANDAR PROTEIN KADAR SITOKROM PADA PLASMA KURVA STANDAR PROTEIN
KURVA STANDAR PROTEIN 1.2
y = 0.9235x + 0.1027 R2 = 0.9778
1 Absorbansi
Absorbansi
1.2
y = 0.9906x + 0.1042 R2 = 0.9913
1 0.8 0.6 0.4
0.8 0.6 0.4 0.2
0.2
0
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi (mg/ml)
A. Sebelum Intervensi
1
1.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi (mg/ml)
B. Setelah Intervensi
1
1.2
E. DATA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS GLUTATION S-TRANSFERASE (GST) PADA ERITROSIT
PERLAKUAN RESPONDEN P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Sebelum Intervensi (nmol/ min/ mg protein) 0.095 0.079 0.083 0.095 0.076 0.081 0.086 0.077 0.079
Setelah Intervensi (nmol/ min/ mg protein) 0.239 0.259 0.181 0.15 0.179 0.247 0.209 0.208 0.281
Sebelum Intervensi (nmol/ min/ mg protein) 0.076 0.071 0.089 0.067 0.092 0.095 0.087 0.078
Setelah Intervensi (nmol/ min/ mg protein) 0.123 0.115 0.108 0.095 0.108 0.114 0.117 0.103
KONTROL RESPONDEN K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
KURVA STANDAR PROTEIN GST PADA ERITROSIT KURVA STANDAR PROTEIN 1.2
1.2
y = 0.904x + 0.1246 R2 = 0.9616
y = 0.9588x + 0.081 R2 = 0.9946
1 Absorbansi
1 Absorbansi
KURVA STANDAR PROTEIN
0.8 0.6 0.4
0.8 0.6 0.4 0.2
0.2
0
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi (mg/ml)
A. Sebelum Intervensi
1
1.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi (mg/ml)
B. Setelah Intervensi
1
1.2
F. DATA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS GLUTATION S-TRANSFERASE (GST) PADA PLASMA PERLAKUAN RESPONDEN P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Sebelum Intervensi (nmol/ min/ mg protein) 0.1367 0.1235 0.1285 0.1273 0.1289 0.1423 0.1319 0.118 0.1225
Setelah Intervensi (nmol/ min/ mg protein) 0.31864 0.2783 0.3435 0.2776 0.303 0.2824 0.2851 0.2692 0.2794
Sebelum Intervensi (nmol/ min/ mg protein) 0.1319 0.1369 0.1476 0.1662 0.1157 0.1421 0.1561 0.1281
Setelah Intervensi (nmol/ mg/ mg protein) 0.1983 0.2061 0.1772 0.2048 0.1781 0.2009 0.2044 0.1818
KONTROL RESPONDEN K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
KURVA STANDAR PROTEIN GST PADA PLASMA KURVA STANDAR PROTEIN
y = 1.0066x + 0.1496 R2 = 0.9941
Absorbansi
Absorbansi
KURVA STANDAR PROTEIN
A. Sebelum Intervensi
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi (mg/ml)
A. Sebelum Intervensi
1
1.2
B. Setelah Intervensi
1.4 1.2 1 0.8
y = 1.0959x + 0.1373 R2 = 0.9871
0.6 0.4 0.2 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi (mg/ml)
B. Setelah Intervensi
1
1.2
Lampiran 4 TABULASI HASIL ANALISA STATISTIK DENGAN UJI T (t-Test) NO 1.
PARAMETER Aktivitas Sitokrom Eritrosit
2.
Aktivitas Sitokrom Plasma
3.
Aktivitas GST Eritrosit
4.
Aktivitas GST Plasma
5.
Aktivitas Katalase Eritrosit
6.
Aktivitas Katalase Plasma
RESPONDEN Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan
UJI STATISTIK Tidak berbeda nyata Berbeda Nyata Tidak berbeda nyata Berbeda Nyata Tidak berbeda nyata Berbeda Nyata Tidak berbeda nyata Berbeda Nyata Tidak berbeda nyata Berbeda Nyata Tidak berbeda nyata Berbeda Nyata
Lampiran 5 HASIL ANALISA DATA DENGAN UJI T (t-test) KATALASE ERITROSIT KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM vs SESUDAH Sebelum Interven Setelah Interven
N 8 8
Mean 989.77 991.76
StDev 3.83 3.01
SE Mean 1.4 1.1
Difference = mu (Sebelum Intervensi) - mu (Setelah Intervensi) Estimate for difference: -1.99862 95% CI for difference: (-5.69171, 1.69446) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.16 P-Value = 0.265 = 14 Both use Pooled StDev = 3.4438
DF
KATALASE ERITROSIT KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two-sample T for Sebelum Intervensi_1 vs Setelah Intervensi_1 N Mean StDev SE Mean Sebelum Interven 9 999.64 6.40 2.1 Setelah Interven 9 1020.03 5.45 1.8
Difference = mu (Sebelum Intervensi_1) - mu (Setelah Intervensi_1) Estimate for difference: -20.3870 95% CI for difference: (-26.3248, -14.4492) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -7.28 P-Value = 0.000 = 16 Both use Pooled StDev = 5.9417
DF
KATALASE PLASMA KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two-sample T for Sebelum Intervensi_2 vs Setelah Intervensi_2 N Mean StDev SE Mean Sebelum Interven 8 547.9 30.4 11 Setelah Interven 8 559.5 36.5 13
Difference = mu (Sebelum Intervensi_2) - mu (Setelah Intervensi_2) Estimate for difference: -11.5819 95% CI for difference: (-47.6012, 24.4374) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.69 P-Value = 0.502 = 14 Both use Pooled StDev = 33.5878
DF
KATALASE PLASMA PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two-sample T for Sebelum Intervensi_3 vs Setelah Intervensi_3 N Mean StDev SE Mean Sebelum Interven 9 539.2 27.0 9.0 Setelah Interven 9 584.2 15.9 5.3 Difference = mu (Sebelum Intervensi_3) - mu (Setelah Intervensi_3) Estimate for difference: -44.9490 95% CI for difference: (-67.1263, -22.7717) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -4.30 P-Value = 0.001 = 16 Both use Pooled StDev = 22.1921
DF
KADAR SITOKROM ERITROSIT KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM vs SESUDAH N Mean StDev SE Mean SEBELUM 9 4.78 1.17 0.39 SESUDAH 9 3.53 1.58 0.53 95% CI for mu SEBELUM - mu SESUDAH: ( -0.15, 2.66) T-Test mu SEBELUM = mu SESUDAH (vs not =): T= 1.91 P=0.076 14
DF=
KADAR SITOKROM ERITROSIT KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM1 N Mean SEBELUM1 9 5.427 SESUDAH1 9 1.586
vs SESUDAH1 StDev SE Mean 0.394 0.13 0.451 0.15
95% CI for mu SEBELUM1 - mu SESUDAH1: ( 3.42, 4.27) T-Test mu SEBELUM1 = mu SESUDAH1 (vs not =): T= 19.25 P=0.0000 DF= 15
KADAR SITOKROM PLASMA KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM2 N Mean SEBELUM2 9 2.183 SESUDAH2 9 1.434
vs SESUDAH2 StDev SE Mean 0.767 0.26 0.837 0.28
95% CI for mu SEBELUM2 - mu SESUDAH2: ( -0.06, 1.56) T-Test mu SEBELUM2 = mu SESUDAH2 (vs not =): T= 1.98 P=0.066 15
KADAR SITOKROM PLASMA KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval
DF=
Two sample T for SEBELUM3 N Mean SEBELUM3 9 2.105 SESUDAH3 9 0.784
vs SESUDAH3 StDev SE Mean 0.470 0.16 0.147 0.049
95% CI for mu SEBELUM3 - mu SESUDAH3: ( 0.95, 1.693) T-Test mu SEBELUM3 = mu SESUDAH3 (vs not =): T= 8.04 P=0.0000 DF= 9
GST PLASMA KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM4 vs SESUDAH4 N Mean StDev SE Mean SEBELUM4 9 0.1402 0.0151 0.0050 SESUDAH4 9 0.1724 0.0657 0.022 95% CI for mu SEBELUM4 - mu SESUDAH4: ( -0.0840, 0.020) T-Test mu SEBELUM4 = mu SESUDAH4 (vs not =): T= -1.43 P=0.19 8
DF=
GST PLASMA KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM5 vs SESUDAH5 N Mean StDev SE Mean SEBELUM5 9 0.12884 0.00742 0.0025 SESUDAH5 9 0.2930 0.0242 0.0081 95% CI for mu SEBELUM5 - mu SESUDAH5: ( -0.1833, -0.1451) T-Test mu SEBELUM5 = mu SESUDAH5 (vs not =): T= -19.45 P=0.0000 DF= 9
GST ERITROSIT KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM6 vs SESUDAH6 N Mean StDev SE Mean SEBELUM6 9 0.04070 0.00492 0.0016 SESUDAH6 9 0.0490 0.0188 0.0063 95% CI for mu SEBELUM6 - mu SESUDAH6: ( -0.0230, 0.0064) T-Test mu SEBELUM6 = mu SESUDAH6 (vs not =):T= -1.28 P=0.23 DF=
GST ERITROSIT KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM7 vs SESUDAH7 N Mean StDev SE Mean SEBELUM7 9 0.04171 0.00351 0.0012 SESUDAH7 9 0.1084 0.0212 0.0071
9
95% CI for mu SEBELUM7 - mu SESUDAH7: ( -0.0833, -0.0502) T-Test mu SEBELUM7 = mu SESUDAH7 (vs not =): T= -9.30 P=0.0000 DF= 8