1211: Tamrin
PG-86
PERUBAHAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN BUBUK KAKAO PADA PENYANGRAIAN VAKUM Tamrin Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari-Sulawesi Tenggara-Indonesia
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Proses penyangraian konvensional (tanpa vakum), dapat memicu oksigen teraktivasi sehingga menjadi reaktif. Oksigen tersebut dapat merusak senyawa polifenol dalam kakao melalui proses oksidasi dan mempengaruhi aktivitas antioksidannya. Untuk itu dikembangkan sistem penyangraian vakum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan bubuk kakao pada sistem penyangraian vakum. Penyangraian bubuk kakao dilakukan pada suhu 100 ◦ C dengan perlakuan: vakum 60.8 cmHg, 45.6 cmHg, dan tanpa vakum. Lama penyangraian terdiri dari 25, 35 dan 45 menit, dan setiap sampel dipreparasi untuk memperoleh ekstrak kering bubuk kakao, kemudian dianalisis aktivitas antioksidannya menggunakan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyangraian vakum berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan bubuk kakao. Dan ekstrak bubuk kakao dari penyangraian vakum 60.8 cmHg (suhu 100 ◦ C) selama 25 menit memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi di bandingkan dengan lama penyangraian 35 dan 45 menit. Kata Kunci: Reklamasi terpadu, bioremediasi, biofertilisasi, revegetasi, Colopogonium
I.
PENDAHULUAN
Biji kakao telah lama digunakan oleh suku Aztec sebagai bahan minuman pada acara seremonial keagamaan. Dan diperkirakan sekitar 150 kegunaan kakao sebagai bahan pengobatan (pangan fungsional) telah dijumpai dari dokumen Mexican (Aztec) (Jalil and Ismail, 2008). Manfaat tersebut terkait dengan kandungan polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan. Biji kakao mengandung total fenol dan kapasitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan bahan pangan lain seperti teh dan anggur (Corti et al., 2009; Lee et al., 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa polifenol yang paling banyak terdapat dalam kakao adalah katekin dan epikatekin (yang juga menjadi penyusun procyanidin) (Whiting, 2001; Fraga, 2005). Kandungan polifenol yang dilaporkan dari berbagai literatur bervariasi dengan kisaran nilai dari 3,3 65 mg/g dalam bubuk kakao dan dalam dark chocolate 1,7 36,5 mg/g (Lecumburri, 2006). Biji kakao yang belum diproses mengandung polifenol sekitar 15% dari berat kering, dan sekitar 60% dari polifenol tersebut terdapat dalam bentuk procyanidins. Namun penurunan polifenol dapat terjadi pada tahap fermentasi, pengeringan, dan pengolahan (terutama penyangraian dan alkalisasi) sehingga pada bubuk kakao hanya mengandung 1-2%
katekin/epikatekin (Hannum dan Erdman, 2004). Data menunjukkan bahwa selama penyangraian konvensional (tanpa vakum), terjadi penurunan yang signifikan dalam konsentrasi asam amino bebas dan gula reduksi (De Brito et al., 2000), perubahan aroma dan rasa (Misnawi, et al., 20034, terbentuk bau khas dari berbagai senyawa volatil (Frauendorfer dan Schieberle, 2008), dan dapat menurunkan antioksidan katekin (Olievero et al., 2009). Pemanasan pada sistem penyangraian konvensional (tanpa vakum), memungkinkan oksigen (triplet) yang terdapat pada atmosfir penyanggraian teraktivasi sehingga menjadi oksigen singlet yang reaktif. Oksigen tersebut mudah bereaksi dengan molekul organik pada bahan pangan (Raharjo, 2004), dan dapat merusak katekin melalui proses oksidasi (Janeiro et al., 2004). Kerusakan tersebut menyebabkan turunnya kadar katekin yang dapat mempengaruhi aktivitas antioksidannya. Aktivitas antioksidan sangat tergantung pada jumlah gugus hidroksil, karena terkait dengan donor hidrogen yang diberikan untuk menghambat reaksi berantai dari radikal bebas. Dengan demikian jika kadar senyawa antioksidan tinggi maka peluang jumlah gugus hidroksil dan donor hidrogen akan tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, bila oksigen pada ru-
Prosiding InSINas 2012
1211: Tamrin
PG-87
ang penyangraian diminimalkan melalui penyangraian vakum, kemungkinan proses oksidasi akan rendah dan kerusakan katekin dapat dikurangi. Untuk itu aktivitas antioksidan dari bubuk kakao hasil penyangraian vakum perlu dipelajari lebih mendalam.
mudian disaring dengan kertas whatman no. 1. Hasil saringan diekstrak lagi sebanyak 2 kali dengan pelarut yang sama, kemudian dievaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator untuk memperoleh ekstrak bubuk kakao dalam bentuk kering.
II.
D.
METODOLOGI
A. Bahan dan alat Biji kakao kering diambil dari perkebunan rakyat di Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara Sulawesi Tenggara. Biji kakao tersebut diolah menjadi bubuk yang selanjutnya menjadi bahan utama dalam penelitian ini. Bahan kimia yang digunakan antara lain ethanol, reagen DPPH,metanol, dan aquades. Alat-alat yang digunakan untuk perlakuan penyangraian yatiu alat penggoreng vakum system water jet yang telah dimodifikasi. Sedangkan untuk pengolahan bubuk kakao menggunakan press hidrolik dengan daya tekanan 50 ton, alat penggiling tepung, ayakan 80 mesh serta beberapa alat pendukung lain (antara lain alat pengemas dan lain-lain). Alat ekstraksi meliputi erlenmeyer, waterbath shaker, evaporator yang digunakan untuk mengeringkan ekstrak cair berupa rotary evaporator HEIDOLPH tipe Laborota 4000 VacuumController VC 2.
Prosedur analisis aktivitas antioksidan dengan radikal DPPH Radikal bebas merupakan factor penting dalam kerusakan biologi, dan DPPH adalah senyawa radikal yang dapat bereaksi dengan antioksidan (Fang et al., 2002). DPPH yang berwarna ungu setelah bereaksi dengan antioksidan akan berubah menjadi senyawa stabil yang berwarna kuning. Perubahan warna tersebut akan mempengaruhi nilai absorban yang digunakan untuk mengevaluasi aktivitas radikal bebas. Dalam proses reaksi, antioksidan akan memberikan satu elektronnya pada radikal DPPH. Elektron bebas pada DPPH memiliki absorbsi kuat maksimum pada λ = 517 nm dan berwarna ungu. Donor hydrogen dari antioksidan akan membentuk radikal DPPH yang stabil (Jagetia et al., 2003). Pengujian aktivitas radikal bebas dinyatakan sebagai persen inhibisi dari DPPH, dan dapat juga dinyatakan sebagai konsentrasi hilangnya 50% aktivitas DPPH (IC50 ) (Es-Safi et al., 2007). Tetapi dalam analisis ini
B.
Metode penelitian Kegiatan awal penelitian adalah pengolahan biji kakao kering menjadi bubuk. Selanjutnya bubuk kakao diberi perlakuan penyangraian. Penyangraian kakao dapat dilakukan dalam bentuk biji (bean roasting), nib kakao (nib roasting) dan hancuran biji (mass roasting). Pada penelitian ini menggunakan prinsip mass roasting, yaitu penyangraian bubuk kakao. Bubuk tersebut merupakan hasil olahan dari nib kakao yang telah melalui proses pengempaan untuk mengeluarkan lemaknya. Penyangraian bubuk kakao dilakukan pada suhu 100 ◦ C dengan perlakuan: - vakum 60.8 cmHg (V2) terdiri dari 25 menit (L1), 35 menit (L2), 45 menit (L3); vakum 45.6 cmHg (V1) terdiri dari 25 menit (L1), 35 menit (L2), 45 menit (L3); - Tanpa vakum (V0) terdiri dari 25 menit (L1), 35 menit (L2), 45 menit (L3). Kemudian setiap sampel dipreparasi untuk memperoleh ekstrak kering bubuk kakao dan dianalisis aktivitas antioksidannya. C.
Preparasi sampel untuk memperoleh ekstrak kering bubuk kakao Prosedur preparasi dilakukan dengan metode menurut Ruzaidi et al., (2008) dan Othman et al., (2010) dengan sedikit dimodifikasi. Bubuk kakao dimaserasi menggunakan ethanol 70% (1 gram bubuk kakao dilarutkan dalam 25 ml zat pelarut (ethanol 70%) selama 120 menit pada suhu 50 ◦ C menggunakan orbital shaker. Selanjutnya didinginkan pada suhu kamar, ke-
G AMBAR 1: Aktivitas penangkapan radikal DPPH bubuk kakao (100ppm)
Prosiding InSINas 2012
1211: Tamrin
PG-88 aktivitas radikal bebas digunakan persen inhibisi dari DPPH. Prosedur analisisnya yaitu DPPH dilarutkan dalam methanol, dan sejumlah 0,1 mL larutan ekstrak bubuk kakao (100 ppm) ditambahkan kedalam 2,9 mL larutan DPPH. Campuran diinkubasi pada suhu kamar dan kondisi gelap selama 30 menit. Penurunan absorbansi diukur menggunakan spektrofotometer pada λ 517 nm setiap satu menit. Larutan kontrol dibuat dari 0,1 mL methanol dan 2,9 mL larutan DPPH (Brand-Williams et al., 1995; Belscak et al., 2009), Persentase penangkapan radikal DPPH selama inkubasi dihitung menggunakan persamaan: % Penangkapan radikal DPPH = (Abst0 − Abstn ) × 100% Abst0
TABEL 1: Aktivitas penangkapan radikal DPPH menurut jenis penyangraian DMRT, alpha = 0.05
(5)
E.
Analisis dan interprestasi data Seluruh data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis menggunakan prosedur statistik (anlisis varian dan perbedaan hasil diuji menggunakan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5%. F.
Analisis dan interprestasi data Seluruh data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis menggunakan prosedur statistik (anlisis varian dan perbedaan hasil diuji menggunakan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5%.
III.
oksigen. Zainol et al. (2009) juga melaporkan bahwa penurunan senyawa aktif lebih terjaga selama proses pengerinan vakum dibandingkan pengeringan beku (freeze drying) dan pengeringan udara kering (air drying). Pengeringan vakum memiliki prinsip kerja yang sama dengan penyangraian vakum, hanya berbeda pada kisaran suhu yang digunakan. Penyangraian vakum menerapkan suhu yang lebih tinggi. Hasil analisis menggunakan uji Duncans Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada masing-masing jenis penyangraian terhadap persentase penangkapan radikal DPPH seperti yang tertera pada TABEL 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis aktivitas penangkapan radikal DPPH secara keseluruhan dapat dilihat pada G AMBAR 1. Berdasarkan G AMBAR 1 diketahui bahwa ekstrak dari bubuk kakao dengan system penyangraian vakum memiliki aktivitas penangkapan radikal DPPH lebih tinggi dibandingkan penyangraian tanpa vakum. Selain itu juga diketahui bahwa makin tinggi tekanan vakum dalam proses penyangraian, aktivitas penangkapan radikal DPPH makin tinggi, atau aktivitas antioksidan dari ekstrak bubuk kakao makin tinggi. Hasil tersebut didukung oleh analisis varian yang menunjukkan bahwa jenis penyangraian berpengaruh nyata terhadap tingkat aktivitas antioksidan dari ekstrak bubuk kakao. Kondisi ini menggambarkan bahwa pada penyangraian vakum tingkat aktivitas senyawa antioksidan lebih terjaga dibandingkan penyangraian tanpa vakum. Hal tersebut mungkin dapat dikaitkan dengan rendahnya oksigen di ruang penyangraian vakum, sehingga kerusakan senyawa antioksidan akibat proses oksidasi juga terhambat. Davey et al. (2000) melaporkan bahwa proses pemanasan yang mempengaruhi kerusakan pitokimia (polifenol dll.) adalah gabungan dari migrasi komponen yang berperan pada kehilangan atau kerusakan oleh berbagai reaksi kimia yang melibatkan enzim, cahaya dan
Jenis Penyangraian (Suhu 100 ◦ C) Tanpa Vakum Vakum 45.6cmHg Vakum 60.8cmHg
Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH (%) 22.7795a 25.3875b 26.7976c
DMRT, alpha = 0.05
TABEL 1 menggambarkan bahwa ketiga jenis penyangraian berbeda nyata (pada taraf alpha 0.05). Dari segi proses, perbedaan utama dari jenis penyangraian tersebut adalah tingkat vakum atau tingkat ketersediaan udara (antara lain oksigen) pada ruang penyangraian. Pada prinsipnya udara (oksigen) pada ruang penyangraian vakum 60.8 cmHg lebih rendah dibandingkan dua jenis penyangraian lainnya. Pada tabeltab01 terlihat bahwa bubuk/ekstrak kakao yang diproses pada ruang penyangraian dengan kandungan oksigen yang rendah mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Sebaliknya pada ruang penyangraian tanpa vakum yang mengandung oksigen tinggi aktivitas antioksidannya rendah. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya peranan oksigen yang teraktivasi oleh panas, sehingga menjadi oksigen singlet yang sangat reaktif dan mempengaruhi tingkat oksidasi senyawa katekin selama proses penyangraian. Oksidasi merupakan salah factor penyebab kerusakan katekin selama proses pemanasan (Wang dan Zhou, 2004). Dengan demikian semakin rendah oksigen pada ruang penyangraian, kerusakan katekin (akibat oksidasi) semakin kecil. Pengaruh perlakuan lain disamping jenis penyangraian yaitu lama penyangraian. Penyangraian vakum (60.8 cmHg dan 45.6 cmHg) suhu 100 ◦ C dengan lama penyangraian 25,35 dan 45 menit, ada yang berbeda nyata dan juga yang tidak berbeda nyata. Namun pada penyangraian tanpa vakum suhu 100 ◦ C, lama penyangraian 25, 35, dan 45 menit tidak berbeda nyata. Hal ini dapat lihat TABEL 1∼TABEL 5.
Prosiding InSINas 2012
1211: Tamrin
PG-89
TABEL 2: Aktivitas penangkapan radikal DPPH menurut lama penyangraian bubuk kakao
Lama Penyangraian (menit) (Vakum 60.8 cmHg) 45 35 25
Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH (%) 23.5965a 26.0454a 30.2641b
DMRT, alpha = 0.05
TABEL 3: Aktivitas penangkapan radikal DPPH menurut lama penyangraian bubuk kakao
Lama Penyangraian (menit) (Vakum 45.6 cmHg) 25 45 35
Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH (%) 21.8334a 24.2086a 28.2237b
TABEL 4: Aktivitas penangkapan radikal DPPH menurut lama penyangraian bubuk kakao
Lama Penyangraian (menit) (tanpa vakum) 45 25 35
Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH (%) 20.7651a 21.2670a 21.8013a
TABEL 2 menunjukkan bahwa penyangraian vakum 60.8 cmHg dengan suhu 100 ◦ C pada lama penyangraian 35 dan 45 menit tidak berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan. Namun pada lama penyangraian 25 menit menunjukkan perbedaan yang nyata. Penyangraian vakum 60.8 cmHg pada suhu 100 ◦ C selama 25 menit mempunyai aktivitas antioksidan tertinggi (30,26%). Namun jika lama penyangraian ditingkatkan (selama 35 dan 45 menit) aktivitas antioksidan mengalami penurunan (nilainya hanya 23.60% dan 26.05%). Penyangraian vakum 45.6 cmHg (TABEL 3 menunjukkan hasil yang sedikit berbeda dengan vakum 60.8 cmHg. Pada vakum 45.6 cmHg dengan lama penyangraian 25 dan 45 menit aktivitas antioksidan mengalami penurunan, tetapi nilai penurunan tersebut tidak berbeda nyata antara lama penyangraian 25 dan 45 menit. Sementara pada lama penyangraian 35 menit menunjukkan perbedaan yang nyata dengan lama penyangraian 25 dan 45 menit, serta mencapai aktivitas antioksidan yang cukup tinggi (28.22%). Kondisi tersebut mengAktivitas antioksidan yang tinggi akan dihasilkan pada senyawa fenolik yang mempunyai jumlah gugus hidroksil yang lebih banyak pada inti flavonoid-
TABEL 5: Aktivitas penangkapan radikal DPPH menurut lama penyangraian vakum (60.8 cmHg, dan suhu 100 ◦ C) kadar katekin pada bubuk kakao
Lama Penyangraian (menit) 45 35 25
Aktivitas Radikal DPPH (%) 23.5965a 26.0454a 30.2641b
Kadar Katekin (%) 2.90 4.29 5.10
nya. Aktivitas antioksidan dapat dihasilkan pada netralisasi radikal bebas di awal reaksi atau pada proses terminasi (Es-Safi et al., 2007). Oleh karena itu jika kadar antioksidan tinggi terdapat kemungkinan aktivitas antioksidannya juga tinggi. Tamrin et al., (2012) melaporkan bahwa pada penyangraian vakum 60.8 cmHG dengan suhu 100 ◦ C selama 25 menit diperoleh kadar katekin 5.10%, 35 menit sebesar 4.29% dan 45 sebesar 2.90%. Data tersebut jika dihubungkan dengan TABEL 2 akan terlihat seperti pada TABEL 6. Berdasarkan TABEL 6 diketahui bahwa bila kadar katekin rendah, maka aktivitas antioksidan juga rendah, dan bila kadar katekin tinggi maka aktivitas antioksidan juga tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingginya kadar katekin pada bubuk/ekstrak kakao juga dapat menggambarkan kemampuan menangkap radikal bebas yang tinggi atau aktivitas antioksidan yang tinggi. Walaupun belum dapat dikatakan bahwa katekin merupakan satu-satunya antioksidan pada ekstrak kakao yang berperan dalam menghambat radikal DPPH. Hal ini karena pada ekstrak kakao, belum 100% katekin (hanya kadarnya yang dominan/lebih tinggi), sehingga mungkin masih terdapat antioksidan lain walaupun dalam kadar yang rendah. Biji kakao juga mengandung sejumlah kecil antosianin (terutama cyanidin glycosides) dan flavonols (quercetin glycosides) (Lecumburri, 2006). Sementara radikal DPPH tidak hanya bereaksi dengan donor hidrogen dari katekin, tetapi akan bereaksi dengan semua donor hidrogen dari antioksidan yang terdapat pada ekstrak kakao. Tingginya kadar katekin berpeluang terhadap tingginya jumlah donor hidrogen yang dapat bereaksi dengan radikal bebas. Dalam proses reaksi, antioksidan akan memberikan satu elektronnya yang akan membentuk radikal DPPH yang stabil (Jagetia et al., 2003), atau adanya donor hydrogen tersebut memberikan radikal hydrogen kepada DPPH sehingga tereduksi menjadi DPPH-H (1,1-difenil-2pikrilhidrazin) (Prakash et al, 2001). Donor hydrogen yang diberikan dari antioksidan tergantung jumlah gugus hidroksil yang dimilikinya. Aktivitas antioksidan meningkat seiring dengan penambahan jumlah -OH selama jumlah - OH 2-5, tapi jika jumlah -OH lebih dari Prosiding InSINas 2012
1211: Tamrin
PG-90 6 maka akan terjadi penurunan aktivitas antioksidan (Mikamo et al., 2000).
IV.
KESIMPULAN
Penyangraian vakum bubuk kakao berpengaruh terhadap aktivitas antioksidannya. Dan ekstrak bubuk kakao dari penyangraian vakum 60.8 cmHg (suhu 100 ◦ C) selama 25 menit memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi di bandingkan dengan lama penyangraian 35 dan 45 menit. Selain itu kadar katekin dalam bubuk kakao juga dapat menjadi indicator adanya aktivitas antioksidan.
DAFTAR PUSTAKA [1] Belscak A., D. Komes, D. Horzic, K. K. Ganic, D. Karlovic, 2009. Comparative study of commercially available cocoa products in terms of their bioactive composition. Journal Food Research International, 42: pp. 707-716. [2] Brand-Williams, W., Cuvelier, M.E., dan Berset, C. (1995). Use of a free radical method to evaluate antioxidant activity. Lebensmittel-Wissenschaft undTechnologie 29: 2530. [3] Corti, R., A. J. Flammer, N. K. Hollenberg, T. F. Lscher, 2009. Cocoa and Cardiovascular Health. Contemporary Reviews in Cardiovascular Medicine. American Heart Association, Inc. AHA Journal Circulation 119: pp. 1433-1441 [4] Davey, M.W. Van-Montagu, M., Inze., D. Sanmartin, M. Kennelis, A., Smirnoff, N. Benzie, I. J.J. Strain, J.J. Favell, D. and Fletcher J. 2000. Plant I-ascorbic acid: Chemistry, function, metabolism, bioavaibilty and effects of processing. Journal of the sciences of Food and Agriculture, 80: pp. 825860. [5] De Brito, E. S., Garcia, N. H. P. Gallao, M. I. Cortelazzo, A. L. 2000. Structural and chemical change in cocoa (Theobroma cacao L.) during fermentation, drying and roasting. J. Sci. Food Agric. Vol. 81: pp. 281288. [6] Es-Safii N.E., S. Ghidouche, P.H. Ducrot. 2007. Flavonoids: Hemisynthesis, Reactivity, Characterization and Free Radical Scavenging Activity. Molecule, 12(9):pp. 2228-2258. [7] Feng Y.Z., Yang S., Wu G., 2002. Free Radicals, antioxidans, and nutrition. Nutr. 18: pp. 872-879. [8] Fraga C.G., 2005. Cocoa, diabetes and Hypertension: Should We Eat More Chocolate? American J. of Clinical Nutrition, vol. 81 (3) : pp.541-542 [9] Frauendorfer F., and P. Schieberle, 2008. Changes in Key Aroma Compounds of Criollo Cocoa Beans During Roasting J. Agric. Food Chem. Vol. 56 (21): pp. 10244-10251. [10] Hannum S.M., and J.W. Erdman, 2004. Emerging Health Benefit from Cocoa and Chocolate. Journal
of Medicine Food, Vol. 3(2): pp.73-75 [11] Jagetia G.C., V.A. Venkatesha, T.K. Reddy. 2003. Naringin, a citrus flavonone, protects against radiation-induced chromosome damage in mouse bone marrow. Mutagenesis 18 (4): pp.337343 [12] Janeiro, P., A.M.O. Brett, 2004. Catechin Electrochemical Oxidation Mechanisms. J. Analytica Chimica Acta 518: pp.109-115 [13] Lecumberri E., R. Mateos, M.Izquierdo-Pulido, P.Ruperez, L. Goya, L. Bravo, 2006. Dietary Fibre Composition, Antioxidant Capacity and PhysicoChemical Properties of a Fibre-Rich Product From Cocoa (Theobroma cacao L.). J. Food Chem. Vol. 104 (3): pp. 948-954. [14] Lee K.W., Kim Y.J., Lee H.J., Lee C.Y., 2003. Cocoa has more phenolic phytochemical and a higher antioxidant capacitythan teas and red wine. Journal Agric. Food Chemistry 51: pp. 7292-7295. [15] Mikamo, E., Y. Okada., A. Semma., Y. Otto, And I. Morimoto. 2000. Studies On Structural Correlationship In Antioxidant Activity (2). Tokyo [16] Misnawi, S Jinap , B Jamilah , S Nazamid , 2004. Changes in polyphenol ability to produce astringency during roasting of cocoa liquor. Faculty of Food Science and Biotechnology, UPM Serdang, Selangor, Malaysia. (Doi). www3.interscience.wiley.com/journal [17] Oliviero T., E. Capuano, B. Cammerer, and V. Fogliano, 2009. Influence of Roasting on the Antioxidant Activity and HMF Formation of Cocoa Bean Model System. J. Agric. Food Chem. 57: pp. 147-152. [18] Othman A., A.M.M. Jalil, K.K. Weng, A. Ismail, N. Abd.Gani, I. Adnan, 2010. Epicathecin Content and Antioxidant Capacity of Cocoa Beans from Four Different Countries. African Journal of Biotechnology Vol. 9(7): pp. 1052-1059. http://www.academicjournals.org/AJB. [19] Othman A., A. Ismail, N.A. Gani, I. Adenan, 2007. Antioxidant Capacity and Phenolic Content of Cocoa Beans. Food Chem. 100: pp.1523-1530. www.sciencedirect.com. [20] Prakash A., F. Rigelhof, E. Miller, 2001. Antioxidant Activity. Medallion Laboratories, Analytical Progress, 9000 Plymouth Ave North, Minneapolis, Minnesota 55427. The Heart of a Giant Resource Volume 19 Number 2. www.medallionlabs.com. [21] Rawel H.M., and S. E. Kulling, 2007. Nutritional contribution of coffee, cacao and tea phenolics to human health. Journal of Consumer Protection and Food Safety. J. Verbr. Lebensm. Germany, Vol. 2: pp.399 406 [22] Ruzaidi, A., A. Maleyki, I. Amin, A.G. Nawalyah, H. Muhajir, M.B.S.M.J.Pauliena and M.S.Muskinah, 2008. Hypoglycaemic Properties of Prosiding InSINas 2012
1211: Tamrin
PG-91
Malaysian Cocoa (Theobroma cacao) PolyphenolRich Extract. J. International Research Food 15 (3): pp. 1-8. [23] Whiting, D. 2001 Natural phenolic compounds 1900-2000: a bird’s eye view of a centuries chemistry. 18 ed.; pp 583-606. [24] Zainol M.M.K., A. Abdul-Hamid, F. Abubakar, S. P.Dek, 2009. J. International Food Research 16: pp. 531-537.
Prosiding InSINas 2012