Analisis Tahap Pasca Penen Kakao dan Penurunan Kadar Antioksidan Katekin dalam Proses Pengolahan Bubuk Kakao1 Tamrin2 Abstrak
Penanganan pasca panen kakao adalah tahap penting untuk meningkatkan mutu dan citarasa, tetapi tahapan tersebut belum menjadi perhatian utama dari petani kakao. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui tahapan pasca panen biji kakao di tingkat petani dan penurunan antioksidan katekin. Kegiartan penelitian diawali dengan identifikasi jenis kakao dan tahap-tahap pasca panen (pemeraman, fermentasi dan pengeringan) serta dilanjutkan dengan identifikasi dan analisis kadar katekin menggunakan katekin standard dan LC-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pasca panen yang dijumpai ditingkat petani hanya terdiri dari pemeraman buah, fermnetasi dan pengeringan. Selain itu, tahap-tahap tersebut belum diterapkan secara sempurna. Selanjutnya hasil analisis katekin menggambarkan bahwa selama proses pengolahan biji menjadi bubuk terjadi penurunan kadar katekin. Penurunan tersebut, antara lain disebabkan oleh proses pemanasan. Key word: Pasca panen, fermentasi, kakao, antioksidan, katekin
I.
Pendahuluan Kakao adalah komoditi perkebunan yang cukup banyak menyerap tenaga kerja, baik ditingkat
budidaya sampai proses pengolahan produk akhir yang siap dikonsumsi. Indonesia termasuk pengahasil kakao terbesar ketiga didunia ( dan terbanyak di kawasan Sulawesi). Data menunjukkan bahwa propinsi Sulawesi Tenggara termasuk penghasil kakao terbesar ketiga di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah yaitu sekitar 17,05% (Goenadi et al., 2005; Anonymous, 2007). Hasil produksi
kakao
Indonesia
(termasuk di Sulawesi Tenggara) sebagian
besar
diekspor dalam bentuk bahan mentah berupa biji kakao kering. Hal ini cukup memprihatinkan karena harga biji kakao kering Indonesia di pasaran internasional lebih rendah dibandingkan harga rata-rata kakao dunia dan kadang dikenakan potongan harga (Goenadi et al., 2005; Supriyanto et al., 2007). Untuk itu diperlukan peningkatan nilai tambah untuk mempertinggi nilai jual biji kakao Indonesia.
1
Disampaikan pada Seminar Nasional: Peranan Teknologi Pangan dan Gizi dalam Meningkatkan Mutu, Keamanan dan Kehalalan Produk Pangan Lokal. Padang – Sumatra Barat, tanggal 9 November 2013 . 2 Corresponding author : Prog. Studi Teknologi Pangan Fak. Pertanian Univ. Halu Oleo Kendari –Sulawesi Tenggara Email:
[email protected]
Pengolahan biji kakao menjadi bubuk ataupun produk jadi melalui beberapa tahapan proses. Dalam tahapan tersebut
konsentrasi antioksidan katekin dapat mengalami penurunan. Penurunan
katekin dapat terjadi pada
penanganan pasca panen (tahap fermentasi dan pengeringan) serta
pengolahan (terutama tahap penyangraian dan alkalisasi). Darwis et al., (2005) menjelaskan bahwa penanganan pasca panen belum sempurna dilakukan petani khususnya di Sulawesi Tenggara. Berbagai
masalah
penanganan
pasca
panen
kakao (pemeraman, fermentasi dan
pengeroingan), sehingga menyebabkan kurang tereksplosnya cita rasa dan kehilangan
antioksidan
pencegahan
katekin. Katekin
merupakan
warna
coklat,
serta
senyawa yang dapat berperan dalam
beberapa penyakit seperti kanker, diabetes, tekanan darah tinggi dan kar sumber
antioksidan unik dari biji kakao, kehilangan kandungan antioksidan katekin pada bubuk kakao yang hanya tersisa 1-2% saja (Hannum dan Erdman, 2004). II.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode survey untuk Identifikasi jenis kakao, pengamatan teknik pasca panen dan penentuan/pengambilan sampel biji kakao. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi terstruktur (meliputi jenis kakao dan teknik pasca panen kakao dari biji basah, fermentasi, pengeringan, dan sortasi). Lokasi pengambilan sampel di lakukan di Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara. Kabupaten tersebut adalah daerah produksi kakao tertinggi (51,299 Ton / tahun) di Sulawesi Tenggara, disusul Kabupaten Kolaka (49,807 ton / tahun), Konawe Selatan (8,334 ton / tahun), Bombana (4,269 ton / tahun) dan Muna (2,992 ton / tahun) (Anonymous, 2007). Adapun penetapan Kecamatan Lasusua didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Kolaka Utara yang memiliki posisi strategis sebagai pusat pengembangan dan pembangunan, serta 67% penduduknya adalah petani kakao (Anonymous, 2010). Kegiatan survey diawali dengan penentuan jumlah desa dan jumlah petani kakao dalam setiap desa yang digunakan sebagai sampel. Teknik pengambilan sampel menggunakan
simple random
sampling dan penentuan ukuran sampel berdasarkan rumus (menurut Riduwan, 2007; Nazir, 1988). Selanjutnya untuk analisis katekin digunakan komponen katekin standar (+)-katekin, diperoleh dari
Sigma Chemical Co., St. Louis.
Prosedur analisis menggunakan metode yang telah dimodifikasi
menurut Subagio et al., (2001), Calderon et al., 2009 dan Tamrin et al., (2012a).
III.
Hasil dan Pembahasan
Identifikasi jenis kakao dan teknik pasca panen biji kakao Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara Propinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari 11 desa dan 1 kelurahan. Dari 12 desa/kelurahan yang ada, sejumlah 7 desa terpilih sebagai lokasi pengambilan sampel karena memilki kondisi geografis yang hampir serupa yaitu desa Tojabi, Watuliu, Pitulua, Ponggiha, Patowonua, Batuganda, dan kelurahan Lasusua. Adapun 5 desa lainnya (yaitu Babussalam, Puncak Monapa, Rante Limbung, Totallang, dan Sulaho) secara geografis sangat berbeda (seperti ketinggian tempat dari permukaan laut/pegunungan dan wilayah kepulauan). Penentuan desa/kelurahan terpilih berdasarkan kondisi spesifik wilayah yang menunjukkan 7 desa/kelurahan tersebut berada pada satu daratan dan dihamparan lahan lembah yang hampir sama. Oleh karena itu sampel biji kakao yang digunakan dalam penelitian berasal dari 7 desa yang terpilih (Tabel 1). Tabel 1. Teknik pasca panen biji kakao yang dijumpai di Kecamatan Lasusua Teknik pasca panen kakao (hari) No. Desa/Kelurahan Pemeraman buah Fermentasi Pengeringan 1. Kel. Lasusua 7 2-3 2-4 2. Watuliu 5 2 2 3. Pitulua 1 2 2-5 4. Ponggiha 1 2 2-3 5. Tojabi 3-4 2 2 6. Batuganda 5 -7 2 2 7. Patowonua 1-5 2 2 -4
Sampel petani ditentukan berdasarkan data sekunder bahwa dari 4.085 KK penduduk Kecamatan Lasusua 67% (2.736,95 KK atau 2.737 KK) adalah petani kakao (Anonymous, 2010). Selanjutnya menurut perhitungan ukuran sampel, diperoleh 96,475 KK atau 97 KK sehingga setiap desa diperoleh 13,782 atau 14 responden. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman kakao yang diusahakan oleh
petani sebagian besar adalah jenis yang memiliki permukaan kulit buah halus dengan alur-alur dangkal. Kulit buah agak tipis, keras dan berwarna kuning pada saat masak, biji lonjong (oval), pipih dan kecil. Wahyudi dkk., (2008) menjelaskan bahwa kakao dengan ciri-ciri tersebut merupakan kakao lindak (bulk cocoa), termasuk dalam kelompok Forastero. Jenis kakao yang berbeda dari ciri-ciri Forastero dijumpai di desa Tojabi dengan luas areal penanaman kurang dari satu hektar. Permukaan kulit buah sedikit kasar dengan alur-alur yang dangkal dan berwarna berwarna merah. Biji lonjong (oval), pipih dan lebih besar dari biji jenis Forastero. Kakao dengan ciri-ciri tersebut merupakan jenis Trinitario. Jenis ini merupakan hasil persilangan alami antara kakao Forastero dan Criollo (Heinig et al., 2009; Wahyudi dkk., 2008). Kedua jenis kakao tersebut telah diamati teknik penanganan pasca panennya. Namun tidak dijumpai penanganan pasca yang berbeda terhadap
Jenis kakao Forastero dan Trinitario. Hasil
pengamatan kegiatan pasca panen pada 7 desa sampel (Tabel 2) diperoleh data bahwa tahapan pasca panen kakao pada desa sampel di kecamatan Lasusua terdiri dari pemeraman buah, fermentasi dan pengeringan.
Pemeraman buah dilakukan dengan cara buah yang baru dipanen tidak langsung
dipecahkan, tapi dibiarkan beberapa hari (minimal satu hari) sehingga biji dan kulit buah sudah terpisah atau tidak melengket lagi pada kulit. Hal ini dimaksudkan agar pada saat pemecahan buah, biji kakao mudah dilepaskan. Adapun fermentasi dilakukan dengan cara biji yang diperoleh dari hasil pemecahan buah dimasukkan dalama karung (atau peti berlubang) dan dibiarkan beberapa hari sehingga pulp yang awalnya menyatu dengan biji dapat terfementasi dan berubah menjadi cairan yang mudah terlepas. Wahyudi dkk., (2008) menjelaskan bahwa selain pemeraman, fermentasi dan pengeringan, perendaman dan pencucian merupakan salah satu tahapan penting dalam penanganan pasca panen biji kakao. Perendaman dan pencucian dilakukan setelah tahap fermentasi
atau sebelum biji kakao
dikeringkan. Tujuan kedua tahapan tersebut adalah untuk menghentikan proses fermentasi, menghilangkan sisa pulp yang masih melekat pada biji, meningkatkan jumlah biji bulat dan warna biji (coklat) yang cerah. Namun tahap perendaman dan pencucian terhadap biji kakao tidak dijumpai pada desa sampel.
Lama pemeraman buah kakao cukup bervariasi pada tiap desa dengan kisaran 1 – 7 hari. Lama pemeraman 1 hari dilakukan oleh petani yang kebun kakaonya jauh dari tempat tinggalnya karena pertimbangan keamanan. Lama pemeraman 1 hari biasanya sulit dalam proses pemecahan buah, karena biji dan kulit buah yang masih menyatu. Wahyudi dkk., (2008) menjelaskan bahwa lama pemeraman berkisar antara 5 – 12 hari, tergantung kondisi setempat dan kematangan buah. Afoakwa et al., (2012) melaporkan bahwa proses pemeraman buah dan fermentasi menurunkan kadar polifenol, tetapi penurunan tersebut tergantung dari lama pemeraman dan fermentasi. Penurunan polifenol kurang dari 10% jika pemeraman buah tidak lebih dari 7 hari dan 6 hari fermentasi. Tetapi jika pemeraman buah lebih dari 7 hari (dengan lama fermentasi 6 hari) polifenol akan mengalami penurunan secara drastis. Hal ini berarti pemeraman buah sekitar 3 – 7 hari yang dijumpai di Batuganda, Tojabi, Watuliu, Patowonua dan Kelurahan Lasusua dengan lama fermentasi tidak lebih dari 3 hari, memungkinkan kadar polifenol dari biji kakao mengalami penurunan yang rendah. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa lama fermentasi rata-rata hanya berlangsung selama dua hari. Pendeknya waktu fermentasi tersebut disebabkan oleh adanya pembeli kakao yang langsung melakukan pembelian tanpa mempertimbangkan lama fermentasi. Kondisi ini menyebabkan waktu fermentasi dari biji kakao menjadi tidak sempurna. Fermentasi yang tidak sempurna dapat menyebabkan pulp masih banyak yang tertinggal pada biji. Kondisi tersebut menyebabkan kadar kotoran pada biji kakao tinggi, penampakan biji tidak bersih, proses pengeringan lebih lama (sehingga kadar air cenderung tinggi), dan menyulitkan proses pengolahan berikutnya (terutama pengupasan kulit biji). Wadah fermentasi menggunakan karung plastik ukuran 30 – 50 kg, dengan volume fermentasi 25 – 50 kg. Pengeringan dilakukan selama 2 - 4 hari dengan sinar matahari. Pada
kondisi cuaca cerah lama pengeringan
berlangsung 2 hari dan 4 - 5 hari pada kondisi cuaca yang kurang cerah atau hujan. Proses fermentasi yang dilakukan rata-rata 2 hari menjadi gambaran rendahnya keinginan untuk menerapkan teknik pasca panen sempurna. Menurut hasil pengamatan dilapangan, kondisi tersebut antara lain disebabkan tidak adanya perbedaan harga biji kakao yang difermentasi dan tanpa fermentasi. Aikpokpodion and Dongo (2010) menjelaskan bahwa fermentasi biji kakao sebaiknya berlangsung 5-7
hari. Fermentasi terjadi pada pulp dari biji yang banyak mengandung glukosa, fruktosa, dan sukrosa (total 10-15%) dan pH awal yang relatif rendah (pH = 3,3-4,0). Khamir lebih aktif pada awal fermentasi (karena kadar gula tinggi, pH rendah dan oksigen yang terbatas).
Fermentasi akan menghasilkan
prekursor aroma, warna dan citarasa. Namun pada saat yang sama akan terjadi penurunan polifenol. Stark et al., (2005) menjelaskan bahwa katekin, epikatekin, dan procyanidin, mengalami penurunan yang sangat tajam selama proses fermentasi. Tahap penanganan pasca panen biji kakao setelah fermentasi yang djumpai di Kecamatan Lasusua adalah pengeringan.
Selama pengamatan di Lasusua tidak dijumpai pengeringan yang
menggunakan mesin, seluruhnya mengandalkan sinar matahari. Hii et al., (2009a) menjelaskan bahwa jenis pengeringan mempengaruhi penurunan polifenol. Pengeringan menggunakan pengeringan beku mampu mengurangi penurunan polifenol disusul pengering udara panas dan sinar matahari. de Brito et al., (2000) melaporkan bahwa total fenol biji kakao mengalami penurunan selama proses pengeringan. Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa penanganan pasca panen biji kakao di LasusuaKolaka Utara belum dilakukan secara sempurna. Hal ini karena tahapan pasca yang dilakukan hanya terdiri dari pemeraman, fermentasi dan pengeringan. Beberapa tahapan penting lainnya tidak dilakukan seperti, perendaman, pencucian dan sortasi biji kakao. Disamping itu waktu yang digunakan untuk setiap tahapan khususnya fermentasi masih terlalu singkat. Fermentasi hanya dilakukan selama dua hari, sementara yang dianjurkan yaitu
5 – 7 hari (Aipokpodion dan Dongo, 2010).
Kondisi tersebut
menyebabkan pembentukan prekursor warna, aroma, dan citarasa menjadi tidak maksimal. Tetapi jika dipandang dari sisi pengembangan nilai fungsional terkait kadar polifenol/katekin, biji kakao yang dihasilkan di Lasusua – Kolaka Utara berpotensi digunakan sebagai bahan baku untuk pengembangan pangan fungsional. Elwers et al., (2009) menjelaskan bahwa secara genetis tidak ada perbedaan antara jenis Forastero, Criollo, dan Trinitario terhadap kandungan polifenol. Tetapi jenis kakao Criollo mengalami penurunan katekin yang lebih besar selama proses fermentasi dan pengeringan. Hii et al., (2009b) menambahkan bahwa penurunan polifenol dari Criollo antara lain karena selama fermentasi antosianin
dihidrolisis menjadi antosianidin, kemudian dipolimerisasi dengan katekin sederhana untuk membentuk tanin yang kompleks. Dengan demikian kedua jenis kakao yang dijumpai di Lasusua (yaitu Forastero dan Trinitario) dapat dikatakan memiliki keunggulan yang sama terhadap kadar polifenol.
Karakteristik biji kakao Kegiatan selanjutnya setelah pengamatan teknik pasca panen adalah penentuan/pengambilan sampel biji kakao. Biji kakao yang dijumpai dilokasi survey hanya jenis Forastero dan Trinitario, namun yang memilki populasi terbanyak adalah jenis Forastero. Biji kakao jenis Forastero diambil dari 7 (tujuh) desa sampel sehingga diperoleh total 60 kg biji. Biji kakao tersebut kemudian dianalisis menurut karakteristik persyaratan umum biji kakao Indonesia yaitu kadar air, kadar biji berbau asap atau berbau asing, kadar serangga hidup, kadar biji pecah, dan kadar benda asing. Hasil análisis biji kakao tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
Karakteristik biji kakao (jenis Forastero) dari Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara yang digunakan pada penelitian Persyaratan umum* Sampel Hasil Analisis Karakteristik
Kadar air (b/b) Biji berbau asap atau berbau asing Serangga hidup Kadar biji pecah dan atau pecahan Biji dan atau pecahan kulit (b/b) kadar bendabenda asing (b/b) *Berdasarkan SNI 2323 tahun 2008.
Maks. 7,5 % Tidak ada Tidak ada Maks. 3 % Maks. 0%
7,12 % Tidak ada Tidak ada 1,6 % 1,4 %
Diantara lima kriteria persyaratan umum biji kakao, hanya satu kriteria yang tidak terpenuhi oleh biji kakao dari Kecamatan Lasusua yaitu kadar pecahan kulit/kadar benda-benda asing yaitu 1,4%. Tingginya kadar benda asing kemungkinan terjadi pada saat pengeringan. Hasil pengamatan dilokasi pengambilan sampel menunjukkan sebagian besar tempat pengeringan dilakukan dengan “dari-dari” (sejenis jaring/terpal yang berlobang-lobang) dan terpal yang dihamparkan di pekarangan atau di tepi jalan umum. Sedangkan yang menggunakan tempat pengeringan permanen/semi permanen (seperti lantai
semen atau para-para) hanya sebagian kecil saja yang menerapkannya. Walaupun demikian biji kakao tersebut tetap dapat digunakan dalam proses pengolahan, namun harus dilakukan sortasi terlebih dahulu untuk memisahkan benda-benda asing sehingga tidak mengganggu dalam proses pengolahan selanjutnya.
Penurunan Kadar Antioksidan Katekin dalam Proses Pengolahan Kadar katekin pada sampel (biji kakao hasil survey) dianalisis sejak dari biji kakao kering, nib dan bubuknya. Data hasil analisis kadar katekin pada sampel dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis kadar katekin pada biji, nib dan bubuk kakao Lasusua Sampel Kadar Katekin (%) Biji kakao kering 3.20 Nib kakao 2.90 Bubuk kakao 3.37
Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar katekin pada bubuk kakao lebih tinggi dari nib dan biji kakao kering. Namun nib atau biji kakao tanpa kulit kadar katekinnya lebih rendah dari biji kakao kering. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi penurunan kadar katekin sebesar 0,3%. Nib kakao diperoleh dengan cara biji kakao kering dipanaskan (disangrai) pada suhu 120oC selama 15 menit untuk memudahkan proses pengupasan kulit. Ruang penyangraian dalam kondisi terbuka sehingga udara (termasuk oksigen) juga terdapat didalamnya. Adanya penurunan katekin 0,3% menunjukkan bahwa proses pemanasan dan oksigen dalam ruang penyangraian dapat menyebabkan degradasi katekin. Tamrin et al., (2012a) dan Tamrin et al., (2012b) melaporkan bahwa kondisi udara yang berbeda
(keberadaan oksigen yang
berbeda) pada ruang penyangraian bubuk kakao berpengaruh terhadap senyawa polifenol dan penurunan kadar ketekin. Suhu pemanasan dan keberadaan oksigen pada proses penyangraian dapat memicu proses oksidasi, degradasi dan epimerisasi katekin. Penurunan atau hilangnya katekin dalam proses pengolahan adalah gabungan dari pengaruh oksidasi, epimerisasi dan degradasi serta interaksinya dengan protein (Wang dan Zhou, 2004). Pemanasan (dengan kisaran suhu 110-200oC) pada sistem penyangraian konvensional (tanpa
vakum) memungkinkan oksigen yang terdapat pada atmosfir penyanggraian teraktivasi. Oksigen yang semula dalam keadaan stabil (oksigen triplet) akan diaktivasi menjadi oksigen singlet, yang bersifat sangat reaktif dan mudah bereaksi dengan molekul organik pada bahan pangan (Min dan Boff, 2002; Raharjo, 2004). Oksigen reaktif ini antara lain dapat menyebabkan oksidasi katekin pada biji kakao. Oksidasi tersebut akan merubah struktur katekin menjadi senyawa semikuinon yang pada proses selanjutnya menjadi kuinon (Janeiro et al., 2004). Kondisi yang berbeda dari Tabel 2 yaitu pada pengolahan nib menjadi bubuk menunjukkan terjadi peningkatan katekin sebesar 0,47%. Peningkatan kadar katekin tersebut dapat terjadi akibat degradasi procyanidin atau proanthocyanidin membentuk senyawa katekin. Proanthocyanidin dapat terdegradasi menjadi katekin, karena proanthocyanidin merupakan oligemer atau polimer dari flavan-3-ol (katekin/epikatekin) (He et al., 2008; Dixon, 2005; Ferreira dan Slade, 2002). Proanthocyanidin (58%), bersama katekin (37%) dan anthocyanin (4%) merupakan tiga polifenol utama yang dijumpai pada biji kakao maupun produk olahannya (Belscak et al., 2009; Hii et al., 2009; Wollgast dan Anklam, 2000). Proanthocyanidin pada kakao dijumpai dalam bentuk monomer, dimer dan tetramer (Natsume et al., 2000). Struktur dimer dapat terdegradasi menjadi satu molekul katekin dan satu molekul antosianidin (serta hasil sekunder lain) pada pemanasan dengan asam. Sedangkan pada perlakuan asam panas dan oksigen terjadi reaksi oksidasi menghasilkan sianidin, epikatekin dan produk lainnya (Robinson, 1995).
IV.
KESIMPULAN
Biji kakao yang terbanyak dihasilkan di Lasusua - Kolaka Utara adalah jenis Forastero (kakao Lindak). Penanganan pasca panen belum sempurna karena hanya terdiri dari pemeraman buah, fermentasi dan pengeringan. Setiap tahapan tersebut belum dilakukan secara maksimal. Selanjutnya hasil analisis kadar katekin menggambarkan bahwa selama proses pengolahan biji menjadi bubuk terjadi penurunan kadar katekin. Penurunan tersebut, antara lain disebabkan oleh proses pemanasan.
DAFTAR PUSTAKA Afoakwa E.O., 2008. Cocoa and Choclate Consuption (Are there aphrodisiac and other benefit for human health?). S.Afr. J. Clin Nutr. : 21 (3): pp.107-112. Anonymous, 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao. Setjen Deperindag R I. Jakarta. Belitz H.D., and W. Grosch, 1987. Food Chemistry. Translation from the second German Edition by D. Hadziyev. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg, Germany. p.703-711 De Brito, E. S., Garcia, N. H. P. Galla˜o, M. I. Cortelazzo, A. L. 2000. Structural and chemical change in cocoa (Theobroma cacao L.) during fermentation, drying and roasting. J. Sci. Food Agric. Vol. 81: pp. 281–288. Dixon R.A., D.-Y. Shi and S.B. Sarma, 2005. Review: Proanthocyanidin – a final frontier in flvanoid research? J. New phytologist 165: pp. 9-28. Elwers S., A. Zambrano, C. Rohsius and R. Lieberei. 2009. Differences between the content of phenolic compounds in Criollo, Forastero and Trinitario cocoa seed (Theobroma cacao L). J. European Food Research and Technology. Vol. 229 (6): pp. 937-948. Ferreira D. and D. Slade, 2002. Oligomeric proanthocyanidins: Occuring O-heterocycles. J. Nat. Prod. Rep. 19: pp. 517-541 Frauendorfer F., and P. Schieberle, 2008. Changes in Key Aroma Compounds of Criollo Cocoa Beans During Roasting J. Agric. Food Chem. Vol. 56 (21): pp. 10244-10251. Goenadi D.H., J.B.Baon., Herman, A. Purwoto. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia. Balitbangtan-Deptan. Bogor. Hannum S.M., and J.W. Erdman, 2004. Emerging Health Benefit from Cocoa and Chocolate. Journal of Medicine Food, Vol. 3(2): pp.73-75 Hii, C.L., C.L. Law, , S. Suzannah, Misnawi and M. Cloke, 2009. Polyphenols in Cocoa (Theobroma cacao L.) As. J. Food Ag-Ind. 2 (04): pp. 702-722. Hii, C.L., C.L. Law, M. Cloke, S. Suzannah, 2009. Thin Layer Drying Kinetic of Cocoa and Dried Product Quality. J. Biosystem Engineering 102: pp. 153-161. Janeiro, P., A.M.O. Brett, 2004. Katekin Electrochemical Oxidation Mechanisms. J. Analytica Chimica Acta 518: pp.109-115 Misnawi, 2009. Changes in Procyanidin and Tannin Concentration as Afected by Cocoa Liquor Roasting. Pelita Perkebunan, 25 (2). Pp. 126-140.
Misnawi, S Jinap , B Jamilah , S Nazamid , 2004. Changes in polyphenol ability to produce astringency during roasting of cocoa liquor. Faculty of Food Science and Biotechnology, UPM Serdang, Selangor, Malaysia. (Doi). www3.interscience.wiley.com/journal Misnawi and W. Teguh, 2008. Potentials Uses of Cocoa Bean Infested by Conopomorpha cramerella for Polyphenol Extraction. ASEAN Food Journal 15 (12): pp. 27-34 Raharjo, S., 2004. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM. Jogyakarta. Supriyanto, Haryadi, B.Rahardjo, D.W.Marseno, 2007. Perubahan Suhu, Kadar Air, Kadar Polifenol, dan Aktivitas Antioksidatif Kakao Selama Penyangraian dengan Energi Gelombang Mikro. J. Agritech. 27 (1): pp.18-26. Tamrin, Harijono, Sudarminto Setyo Yuwono, Teti Estiasih and Umar Santoso . 2012a. The Change Of Catechin Antioxidant During Vacuum Roasting Of Cocoa Powder. J. Nutrition and Food Sci., 2 (10) 1000174. ISSN: 2155-9600 . Tamrin, Harijono, S.S. Yuwono, T. Estiasih, U. Santoso, 2012b. Various Temperature of Vacuum and Conventional Roasting on Color Alteration and Polyphenols Content of Cocoa Powder. Journal of Food Science and Engineering 2(11):pp. 642-651. Wang, R. and W. Zhou, 2004. Stability of Tea Katekin in Bread Making Process. J. Agric.Food Chem. 52: pp. 8224-8229. Wahyudi T., T.R. Panggabean dan Pujiyanto, 2008. Panduan Lengkap Kakao, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 363h. Wollgast and E. Anklam, 2000. Review on Polyphenols in Theoroma cacao: Changes in Composition During The Manufacture of chocolateand Methodology for Indenfication and Quantification. Food Research International 33: pp. 423-447.