PENDIDIKAN ORANG TUA PADA ANAK: TELAAH PADA AL-QU’AN SURAT AN-NISĀ’ AYAT 9 DAN ATTAHRĪM AYAT 6 SKRIPSI Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.)
Oleh DADANG KURNIAWAN NIM 111 11 191
JURUSAN TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015
MOTTO
.ة ٍ ُْ٘ ُم ِّو ٍَصْ حَٚثَب ُسُٓ َػيِٝ َٗئ,ة َ ِسْٜ ش ِف ِ ُْ٘ ْاى ََحْ بٚظ ِ بَ ْذ ُه ْاىَّْ ْف: ُو ْاى ََ َحبَّ ِتْٞ َِدى “Tanda cinta, ialah: memberi jiwa untuk keridlaan orang yang dicintai dan mengutamakan orang yang dicintai atas segala yang disertainya”
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah dengan Izin Allah SWT skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi inni saya persembahkan kepada orangorang yang telah membantu mewujudkan mimpiku: 1. Ayahanda Sutardi dan ibunda Padiyem yang telah dengan ikhlas memberikan mahkota kasih sayangnya kepadaku walaupun harus mandi keringat demi mewujudkan cita-citaku mulai dari aku kecil tidak mengerti apa-apa hingga kini aku mengerti makna hidup. 2. Bapak Yanto dan ibu Sriyanti yang senantiasa menyemangatiku lewat perjalanan hidupnya. Dan telah menyayangiku seperti anaknya sendiri. 3. Mbak Ina orang yang selalu membingbingku ke arah yang lebih baik. 4. Adikku Kiki Fatmawati, adik iparku Alfan Fidiyanto dan keponakan kecilku Viki Aditya Pratama yang selalu memberikan tawa kebahagian dalam lelahku. 5. Dik Yuli yang selalu membuatku tersenyum dengan tingkah manjanya. 6. Sahabat terbaikku Bahrin yang senantiasa memberiku tempat untuk bercerita. 7. Temam-teman PAI E angkatan 2011 senasib seperjuangan yang telah memberikan kenangan-kenangan indah dalam kebersamaan kita.
8. Keluarga besar SD N Bercak, MTS Darussalam Bandung, dan SMA N1 Karanggede yang telah memberikan banyak pengalaman berharga dalam menjalankan tanggungjawab.
KATA PENGANTAR
Asslamu‟alaikum Wr. Wb. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmad dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikut setianya. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan menyelesaikan skripsi ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Tarbiyah. 3. Ibu Siti Rukhaytati, M.Ag. selaku Ketua Progam Studi PAI. 4. Bapak Taufiqul mun‟in, M. Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 5. Bapak Prof. Dr. Budiharjo, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah dengan ikhlas ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis skripsi ini.
6. Bapak ibu dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak dan ibu serta saudara-saudaraku di rumah yang telah mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dan penyusunan skripsi dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan balasan apapun. Hanya untaian kata terima kasih yang bisa penulis sampaikan, semoga Allah SWT senantiasa melimpahklan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang telah mereka berikan kepada penulis. Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Salatiga,12 september 2015 Penulis
Dadang Kurniawan 11111191
ABSTRAK
Kurniawan, Dadang. 2015. Pendidikan Orang Tua Pada Anak: Telaah pada alQur‟an Surat An-Nisā‟ Ayat 9 dan at-Tahrīm Ayat 6. Skripsi Jurusan Tarbiyah. Progam Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Kata Kunci: Pendidikan, Orang tua, Anak, dan al-Qur‟an. Penelitian ini merupakan penggalian ayat-ayat yang telah dibaca oleh peneliti. Yang berhubungan dengan pendidikan. di antaranya yaitu pendidikan orang tua pada anak. yang terkandung dalam al-Qur‟an surat an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6. Pertanyaan yang akan dijawab oleh peneliti adalah: 1. Bagaimana konsep pendidikan orang tua pada anak yang terkandung dalam alQur‟an surat an-Nisā‟ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6. 2. Bagaimana implementasi pendidikan orang tua pada anak yang terkandung dalam al-Qur‟an surat an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka peneliti menggunakan metode library research (kajian pustaka), dengan menjadikan literatur kitab-kitab seperti al-Qur‟an dan hadits-hadits Nabi saw. Ataupun bukubuku sebagai objek penelitian. Setelah itu mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan ddengan pendidikan orang tua pada anak. setelah dikumpulkan maka ayat-ayat tersebut disusun dan dikaitkan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, pada tahap selanjutnya menganalisis isinya (content analysis). Temuan yang ada dalam penelitian ini memberi sedikit banyak pengetahuan tentang: pendidikan orang tua pada anak yang penting dan telah dijelaskan di dalam al-Qur‟an surat an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6. Selain untuk menjaga keluarga dari siksa api neraka. Pendidikan yang dilakukan orang tua pada anak berfungsi sebagai bekal hidup anak ketika orang tua mereka telah meninggal. Sehingga orang yang mengimplementasikan pendidikan tersebut akan mudah dalam menjalani keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena pentingnya keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya, manusia harus memahami apa saja yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Mengacu pada temuan tersebut, maka penelitian ini merekomendasikan bahwa, pendidikan orang tua pada anak di dalam al-Qur‟an memang betul-betul harus ditanamkan pada anak sedini mungkin.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................... i LEMBAR BERLOGO........................................................................
ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING.................................................. iii PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................
iiv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................... v MOTTO............................................................................................... vi PERSEMBAHAN...............................................................................
vii
KATA PENGANTAR .......................................................................
ix
ABSTRAK..........................................................................................
xi
DAFTAR ISI....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1 B. Rumusan Masalah...................................................................
9
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
10
D. Penegasan Istilah ................................................................... 10 E. Manfaat Penelitian .................................................................
15
F. Metode Penelitian ................................................................... 17 G. Sistematika Pembahasan ........................................................
20
BAB II KOMPILASI AYAT TENTANG PENDIDIKAN ANAK....
22
1. Surat an-Nisā‟ ayat 9 ........................................................ 22 2. Surat at-Tahrīm ayat 6 ...................................................... 24 3. Surat al-Luqmān ayat 13-19 ............................................. 26 4. Surat Hūd ayat 42-46 .......................................................
33
5. Surat Shāffāt ayat 102-107 ............................................... 36 6. Surat Yūsuf ayat 4-5 ......................................................... 40 7. Surat Maryam ayat 27-33 ................................................. 41
BAB III ASBĀBUN NŪZUL DAN MUNASABAH AYAT............ A. Asbābul Nūzul ayat-ayat Pendidikan Orang Tua pada Anak........................................................................................
45
45
Q.S an-Nisā‟ ayat 9 .........................................................................
46
B. Munasabah.............................................................................
47
1. Q.S an-Nisā‟ ayat 9 ..........................................................
49
2. Q.S at-Tahrīm ayat 6 ........................................................
49
BAB IV PEMBAHASAN................................................................... 51 A. Pandangan Beberapa Ahli Tafsir terhadap al-Qur‟an Surat an-Nisā‟ ayat9 dan at-Tahrim ayat 6 ......................................
51
1. Tafsir Surat an-Nisā‟ ayat 9..............................................
51
a. Dalam Tafsir al-Misbah .............................................
51
b. Dalam Tafsir Ibnu Katsir............................................
52
c. Dalam Tafsir Departemen Agama RI.........................
53
2. Tafsir Surat at-Tahrīm ayat 6............................................
54
a. Dalam Tafsir al-Misbah .............................................
54
b. Dalam Tafsir Ibnu Katsir ......................................
56
c. Dalam Tafsir Departemen Agama RI ........................
57
B. Pendidikan Orang Tua Pada Anak dari al-Qur‟an Surat anNisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6 ......................................... 1. Pendidikan Orang Tua pada Anak dalam al-Qur‟an Surat an-Nisā‟ ayat 9 ........................................................ 2. Pendidikan Orang Tua pada Anak dalam al-Qur‟an Surat
58
58
at-Tahrīm ayat 6 ............................................................... C. Implementasi Pendidikan Orang Tua Pada Anak dari alQur‟an Surat an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6 ..............
61
63
1.
Surat an-Nisā‟ ayat 9........................................................
2.
Surat at-Tahrīm ayat 6...................................................... 63
63
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 65
A. Kesimpulan ............................................................................
65
B. Saran........................................................................................ 65 C. Penutup.................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya agar dapat menjalani kehidupan dunia dan akhirat dengan baik. Untuk itu, Islam memberikan jalan tebaik agar seseorang mampu menggapainya. Islam juga memberikan ajaran yang sangat universal demi keberlangsungan hidup manusia. Hal itu diuraikan dalam al-Qur‟an dengan sangat gamblang dan jelas. Di antaranya, bagaimana menjadikan kepribadian lebih baik, mengembangkan potensi, membangun umat yang dapat bekompetisi dengan kehidupan yang melaju sangat cepat, membangun sebuah peradaban yang tidak bertentangan dengan norma agama maupun fitrah manusia, dan mampu memberikan cara yang baik untuk membangun suatu tempat menjadi tempat yang modern. (Ulwan, 2009: 19) Al-Qur‟an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad agar menjadi pedoman bagi hidup manusia atau sebagai huda (petunjuk), bayyinah (penjelas) atas petunjuk yang telah diberikan, serta furqon (pembeda) antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah). Fungsi tersebut bertujuan agar manusia dapat hidup dengan berlandaskan moral dan akhlak yang mulia. Disamping mengandung nilai moral, al-Qur‟an juga berisikan tentang penjelasan bagi umat Islam khususnya bagi orang tua, bagaimana membesarkan dan mendidik anak dengan baik, sehingga anak akan tumbuh dan berkembang seperti harapan orang tua. Anak mampu menjadi sebuah kebanggaan bagi kedua orang tuanya, saudarasaudaranya, teman bermain, lingkungan, dan bagi masyarakat sekitar.
Jika kita perhatikan di zaman modern sekarang ini, atau yang lebih dikenal dengan era globalisasi, banyak sekali kita jumpai berbagai tindakan kriminal (tindak kejahatan) yang dilakukan oleh seorang anak. Anak Sekolah Dasar (SD) membuli adik kelasnya, anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) berani kepada orang tua, berani mengambil barang milik emannya, dan anak Sekolah Menengah Atas (SMA) tanpa malu berdua-duan dengan lawan jenis yang bukan mukhrom, terlibat dalam tawuran antar pelajar, balapan liar, geng motor, pergaulan bebas, narkoba dan lain sebagainya yang semakin lama semakin meresahkan masyarakat sekitar dan pengguna jalan lain yang melintas di area tersebut. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, ada seorang pelajar yang berani membunuh temannya sendiri karena suatu permasalahan yang sepele. Dan masih banyak lagi tindak kriminal yang lainnya yang dilakukan oleh seorang anak pada saat ini. Masalah-masalah seperti inilah yang seringkali menghiasi layar televisi, radio dan koran sehari-hari. Hal ini salah satunya disebabkan karena lemahnya pengawasan dan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua hanya sibuk mencari uang, bermain dengan teman kantor, dan lainnya, sehingga mereka lupa dengan pengawasan dan pendidikan terhadap anak mereka. selain itu, banyak juga orang tua yang sering memanjakan anak mereka, dengan selalu memberikan setiap apa yang diinginkan oleh anak dengan alasan menyayangi anak, akan tetapi mereka lupa kalau memanjakan anak secara
berlebihan dapat mengarahkan mereka ke jalan yang tidak benar. Anak yang sering dimanja akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang egois, apatis, tidak mau memberi bantuan kepada temannya dan menjadikan anak mudah mengeluh dalam segala hal. Anak adalah sebuah kebanggaan begi kedua orang tuanya. yang diharap kelak akan mampu mengharumkan nama baik keluarga. Akan tetapi, yang lebih penting dari itu, anak adalah sebagai amanah yang sangat agung dan mulia. Sebagai orang tua, kita sudah semestinya berbangga dan juga merasa bahagia telah dipercayai oleh Allah unuk memegang amanah itu, karena tidak semua orang bisa mendapatkan amanah tersebut. (Mustafidz, 2009: 11) Di dalam al-Qur‟an, Allah juga menyinggung beberapa masalah amanah dan menganjurkan kepada hamba-Nya unuk bersungguh-sungguh dalam melaksanakan amanah. Pertama dalam al-Qur‟an surah an-Nisa‟ ayat 58, Allah SWT berfirman:
... Artinya: “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” Kedua, dalam al-Qur‟an surah berfirman:
al-Anfal ayat 27, Allah SWT
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” Kedua ayat di atas dengan jelas menegaskan kepada orang tua untuk menjalankan amanah (seorang anak) yang Allah berikan kepada para orang tua, bukan hanya menjaga anak mereka masing-masing melainkan mereka (orang tua) juga wajib memberikan ilmu pendidikan kepada anak-anaknya sebagai pertanggungjawaban orang tua pada anak dan kepada Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat nanti. Memegang atau melaksanakan amanah itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia memerlukan perjuangan yang ekstra berat dan panjang. Oleh karenanya, tidak semua akan mampu melaksanakan amanah itu, dan orang-orang yang mampu melaksanakan amanah adalah mereka yang telah lolos dari ujian Allah yang sangat besar itu. Betapa riang jiwa. Betapa bening mata, ketika melihat buah hatinya adalah anak-anak yang saleh salihah, yang bejalan di atas muka bumi, ketika jantung hatinya adalah anak yang memperjuangkan agama Allah di tengah-tengah jajaran manusia. Namun, apakah cukup bagi orang tua dengan menunaikan tanggungjawab dan kewajiban tesebut, lantas ia bersantai, atau hanya menyerahkan kepada guru dan lingkungan bermain saja. (Ulwan, 1981: 1)
Rasulullah SAW bersabda :
َٖب َُٕٗ ٌْ اَ ْبَْب ُءْٞ َ َٗاظْ ِشبُْ٘ ُٕ ٌْ َػي، َِْٞ ِْ ص ََل ِة َُٕٗ ٌْ اَ ْبَْب ُء َصب ِْغ ِص َ ٍُشُْٗ أَْٗ ََل َد ُم ٌْ بِب ى مخبة:٨١٤ : َّشة: داٗدٜ {صِْ اب.عب ِج ِغ َ ََ ْاىْٜ ِ ِٖ ٌْ فْٞ َ َٗفَ ِّشقُْ٘ َػي،َػ ْش ٍش }اىصَلة Artinya: suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat, ketika mereka beusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika enggan, ketika mereka berusia sepuluh tahun. Dan pisahkanlah antara mereka ketika mereka tidur. Hadist di atas menjelaskan kepada orang tua, hendaknya mereka mengajari anak-anak mereka tentang hukum shalat, bilangan rekaatnya, dan cara mengerjakannya. Sehingga anak mengetahui pemahaman tentang shalat dengan baik. Dan mulai memisahkan tempat tidur putra-putrinya ketika berusia tujuh tahun dan menjelaskan perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, apa yang boleh diperlihatkan ke lawan jenis dan apa yang tidak boleh diperlihatkan, sehingga anak dapat mengetahui alasannya dengan jelas. Dalam kitab Sahih Bukhari no.1271 dijelaskan mengenai fitrah anak, sebagai berikut:
ْ ِ ْاىفَُْٚ٘ ىَ ُذ َػيٝ ٍََّب ٍِ ِْ ٍَْ٘ ْىْ٘ ٍداَِل ِٔ ُِّ ََ ِّج َضبٝ َْٗص َشاِّ ِٔ ا ِّ َُْٝ َْٗ ِْ٘دَاِّ ِٔ اَُٖٞٝ ُٓط َش ِة َٗاَِّّ ََب أَبَ َ٘ا } مخبة اىجْبئز:١٧٢١ : َّشة:ٛح اىبخبسٞ{صح Artinya: tidak ada anak dilahirkan, kecuali dilahirkan atas kesucian. Dua orang tuanyalah yang menyebabkan Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Bukhari). Hadits diatas menegaskan kepada kita semua bahwasannya anak itu lahir dalam keadaan suci, bersih bagaikan kertas putih atau tabularasa
yang belum ada coretan dan isinya. Orang tua lah yang bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka, akan diberi tulisan apa kertas tersebut, mau diisi apakah tabularasa tersebut. Apakah anak tersebut akan di jadikan Yahudi,Nasrani, atau Majusi. Anak dalam pendidikan Islam, tidak dipandang semata sebagai manusia fisikal saja. Lebih dari itu, secara radikal pendidikan anak dalam Islam berbeda dengan pendidikan Barat, karena proporsi al-Qur‟an sebagai sumber normative memuat dasar-dasar pendidikan anak yang menitik beratkan pada dimensi jasmani dan ruhani secara berimbang. Oleh karenanya, pendidikan anak dalam Islam dengan mendasarkan pada alQur‟an berbeda dengan pendidikan Barat (baik dalam pereode klasik maupun modern) yang secara mendasar filsafat Barat bertolak dari beberapa pandangan, diantaranya: humanisme, rasionalisme, empirisme dan positivisme. Humanisme
memposisikan
manusia
memiliki
kemampuan
mengatur dirinya dan alam. Rasionalisme mendasarkan kebenaran pada pertimbangan ide rasional belaka. Empirisme yang mendasarkan kebenaran pada peranan indra. Pandangan ini dikokohkan oleh aliran realisme yang menegakkan kenyataan fisik sebagai kenyataan sebenarnya. Postivisme menekankan kebenaran pada realitas logis dengan bukti empiris yang terukur. (Huda, 2008: 9-10) Selain itu, penulis juga mendengarkan ceramah dalam pengajian yang disampaikan oleh Gus Yusuf Khudlori. Seorang tokoh Nahdlatul
Ulama (NU) di desa Tegalrejo, putra dari almarhum Bapak Khudlori. Seorang Kiai yang sangat disegani dan dihormati di kota Magelang. Beliau mengatakan “ semua orang tua itu wajib hukumnya mendidik putraputrinya dengan baik, terlebih lagi pendidikan keagamaan, pendidikan agama kepada anak dapat diibaratkan seperti pondasi dalam sebuah bangunan. jika kita ingin membuat rumah, langkah awal yang harus kita lakukan adalah membuat atau memikirkan fondasinya terlebih dahulu, barulah kemudian, kita membuat atau memikirkan tentang tiang, jendela, pintu, atap dan lain sebagainya. Begitu juga dengan anak kita, jika kita ingin menjadikan atau memikirkan masa depan anak, terlebih dahulu yang harus kita lakukan adalah mendidiknya dengan ilmu agama, barulah kita memberikan ilmu yang lainnya. sehingga, ketika anak tumbuh besar dan memiliki jabatan dalam sebuah instansi, ia akan mampu menjalankan dan bertanggungjawab atas pekerjaannya dengan baik. Setidaknya anak tersebut bisa dipercaya dan diandalkan oleh Bos atau teman kerjanya”. Dari kutipan di atas dapat penulis simpulkan bahwasannya, betapa pentingnya pendidikan Islam dalam keluarga, terlebih kepada anakanaknya. Jika kita menginginkan masa depan anak menjadi baik saat mereka dewasa nanti, langkah awal yang harus orang tua lakukan adalah mendidik anak dengan pendidikan agama. Allah berfirman dalam al-Qur‟an mengenai pendidikan anak, dalam beberapa ayat, antara lain: Pertama, dalam Q.s. al-Kahfi aya 46
Artinya: harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. Kedua, Q.s. al-Furqon ayat 74
Artinya: Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagtai penyenang hati (kami), dan jadikan kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Berdasarkan ayat-ayat di atas, istilah al-awlad dan al-banun menandakan anak potensial menjadi impian yang menyenangkan, manakala diberi pendidikan dengan baik, dan sebaliknya, akan menjadi malapetaka (fitnah) jika tidak dididik. Inilah yang ditimbulkan, yaitu rasa optimistis atau pesimistis. hal ini juga membawa pada pemahaman bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah dapat dididik yang juga berpotensi menjadi tidak terdidik karena keabaian pendidikannya. (Huda, 2009: 10
Menurut Budiharjo, (2007: 19), kata al-awlad berasal dari walad ytang artinya anak. sedangkan kata al-banun berasal dari kata ibn berarti sesuatu yang dilahirkan oleh sesuatu. Kata tersebut dapat berarti: a. Anak yang dijadikan oleh Allah menjadi ada karena adanya ayah. b. Segala sesuatu yang dihasilkan dari satu arah atau dari pendidikan.
c. Banyaknya pengabdian yang dilaksanakan sesuai dengan perintah. Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ibn adalah seorang hamba yang banyak mengabdi dan menaati perintah-perintah Allah, sampai-sampai digambarkan seperti hubungan antara orang tua pada anak. karena begitu cintanya Allah pada hamba terebut. Berdasarkan
pemaparan-pemarapan
di
atas,
maka
penulis
memberanikan diri unuk malakukan peneliian dengan mengambil judul “ PENDIDIKAN ORANG TUA PADA ANAK: TELAAH PADA ALQUR‟AN SURAT AN-NISĀ‟ AYAT 9 DAN AT-TAHRĪM AYAT 6” B. Rumusan Masalah Rumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya. Rumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan cakupan masalah yang telah dilakukan. (Dwiloka, 2012: 28)
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana konsep pendidikan yang orang tua pada anak yang tersirat dalam al-Qur‟an surah an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6 ?
2.
Bagaimana Implementasi pendidikan orang tua pada anak yang terkandung dalam al-Qur‟an surah an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian menegaskan maksud atau tujuan penelitian yang terkait dengan pengembangan keilmuan atau manfaat praktis dari masalah yang akan diteliti. Maksud adalah konsekuensi dari masalah penelitian. Sedang tujuan merujuk pada hasil yang akan dicapai atau diperoleh dari maksud penelitian. (Saraswati, 2011: 77) Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep pendidikan yang ditanamkan orang tua pada anak dalam al-Qur‟an surah an-Nisā‟ ayat 9 dan At-Tahrīm ayat 6. 2. Untuk mengetahui Implementasi pendidikan orang tua pada anak yang terkandung dalam al-Qur‟an surah an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6. D. Penegasan Isilah Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan terhadap judul penelitian ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapa dalam judul ini, antara lain:
1. Pendidikan Pendidikan
adalah
terjemahan
dari
bahasa
yunani,
yaitu
paedagogie. Asal katanya adalah pais yang artinya “anak”, dan again yang terjemahannya adalah “membimbing” dengan demikian maka
paedagogie berarti “bimbingan yang diberikan kepada anak”. Orang yang memberikan bimbingan kepada anak disebut paedagog. Dalam perkembangannya
pendidikan
atau
paedagogie
tersebut
berarti
bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak agar ia menjadi dewasa. (Sudirrman, 1989: 4). istilah pendidikan, dalam bahasa inggris “education”, berakar dari bahasa latin “educare”, yang dapat diartikan dengan pembimbingan berkelanjutan (to lead forch). Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia. (Suhartono, 2008: 77) Dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah ditentukan. (Suhartono, 2008: 84). Sedangkan dalam arti luas, pendidikan adalah kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung disegala jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan hidup, yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada di dalam diri individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu, individu mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas, dan matang. Jadi singkatnya, pendidikan merupakan
sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri. (Suhartono, 2008: 79) Islam berasal dari kata salama artinya patuh atau menerima; Berakar dari huruf sin lam mim (s-l-m). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela, tidak tercacat. Dari kata itu terbentuk kata masdar salāmat (yang dalam bahasa indonesia berarti selamat). (Daud Ali, 1998: 49) Menurut Djumransjah (2007: 21) Kata “Islam” yang bersumber dari al-Qur‟an memiliki banyak pengertian, diantaranya adalah: a. Kata Islam berasal dari kata kerja (fi‟il) aslama-yuslimu yang artinya menyertahkan diri, menyelamatkan diri, taat, patuh dan tunduk. b. Dilihat dari segi kata dasar “salima” yang berarti selamat, sejahtera, sentosa, bersih, dan bebas dari cacat dan cela. c. Dilihat dari kata dasar “salaam” maka berarti damai, aman tentram. Pendidikan Islam adalah suatu proses penggalian, pembentukan, pendayagunaan dan pengembangan pikir, dzikir dan kreasi serta potensi manusia, melalui pengajaran, bimbingan, latihan dan pengabdian yang dilandasi dan dinapasi oleh nilai-nilai ajaran Islam, sehingga terbentuk pribadi muslim yang sejati, mampu mengontrol, mengatur dan merekayasa kehidupan dengan penuh tanggungjawab berdasar nilai-nilai ajaran Islam. (Ahid, 2010: 153). Pendidikan Islam pada hakekatnya adalah pendidikan yang berdasarkan atas al-Qur‟an dan sunnah Rasul, bertujuan untuk membentu perkembangan manusia
menjadi lebih baik. Karena manusia pada dasarnya lahir dalam keadaan fitrah, (bertaukhid), pendidikan adalah upaya seseorang untuk mengembangkan potensi taukhid agar dapat mewarnai kualitas kehidupan pribadi seseorang. (Thoha, 1996: 25) Menurut Achmadi, (1992: 20), pendidikan Islam adalah “segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumberdaya insani yang ada padanya menuju terbenuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma islam.” 2. Orang Tua (Keluarga) Orang tua adalah ayah ibu kandung, orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli), orang yang dihormati dan disegani di kampung. (KBBI, 2007: 802). Orang tua atau keluarga adalah lembaga yang pertama dan utama yang dikenal oleh anak. Hal ini disebabkan, karena kedua orang tuanyalah orang yang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan. Bimbingan, perhatian, dan kasih sayang yang terjalin antara kedua orang tua dengan anak-anaknya, merupakan basis yang ampuh bagi pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai soaial dan religius pada diri anak didik. (Ahid, 2010: 61) Dari penjelasan di atas dapat disempulkan bahwa orang tua adalah ayah dan ibu dari anak, yang melahirkan dan memberikan pendidikan atau membiayai pendidikannya dan orang yang paling pertama memberikan pendidikan kepada anaknya. 3. Anak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007: 41), disebutkan bahwa anak adalah manusia yang masih kecil (berumur 6th). Anak merupakan tumpuan harapan zaman depan, bukan saja sebagai penyambung keturunan, tetapi anak juga sebagai penerus yang akan melanjutkan cita-cita dan perjuangan. (Fachruddin, 1992: 113) Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, anak adalah manusia yang masih kecil (0-6th) yang akan menjadi penyambung keturunan dan sekaligus sebagai penerus cita-cita dan perjuangan orang tua. 4. Al-Qur‟an surah an-Nisā‟ayat 9 dan at-Tahrīm aya 6 Al-Qur‟an merupakan bentuk masdar dari qa-ra-a, sehingga alQur‟an dimengerti oleh setiap orang sebagai nama kitab suci yang mulia. (Ash-Shalih, 1993: 10). “Al-Qur‟an” menurut bahasa, ialah: bacaan atau yang dibaca. al-Qur‟an adalah “masdhar” yang diartikan dengan arti isimmaf‟ul, yaitu “maqru = yang dibaca.” Menurut istilah ahli agama („uruf syara‟), al-Qur‟an ialah: “nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ditulis dalam mashhaf.” (Ash-Shiddieqy, 1990: 1) Ali as-Sabuni dalam bukunya at-Tibyan mendefinisikan bahwa alQur‟an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Jibril, dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir (langsung atau terus-menerus), serta
membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surah an-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas. (Faizah, 2008: 97) Surah an-Nisā‟ (Arab:
اىْضبء,
an-Nisā‟, “wanita”) adalah surah
yang ke-4 dalam al-Qur‟an. Surah ini terdiri dari 176 ayat yang diturunkan setelah surah al-Mumtahanah. Dinamai an-Nisā‟ karena surat ini banyak menceritakan tentang wanita. Semua ayatnya diturunkan di Madinah. (Ash-Shiddieqy, TT: 337) Surah at-Tahrīm (Arab:
ٌٝ اىخحش,
at-Tahrīm ”mengharamkan”).
Surah ini adalah surah yang ke-105 dari segi perurutan turunnya surah al-Qur‟an, surah ini turun setelah surah al-Hujarat dan sebelum surah al-Jumuah. Jumlah ayat-ayatnya menurut berbagai cara perhitungtannya adalah 12 ayat. (Shihab, jilid 14. 2009. 161) Surah ini termasuk golongan surah madaniyah. dinamai surah at-Tahrīm karena pada awal surah ini terdapat kata “tuharrim” yang kata dasarnya adalah at-Tahrīm yang berarti “mengharamkan”. E. Manfaat Penelitian Mengungkapkan secara spesifik manfaat yang hendak dicapai dari aspek teoretis (keilmuan) dengan menyebutkan manfaat teoretis apa yang dapat dicapai dari masalah yang diteliti. Juga dari aspek praktis (gunalaksana) dengan menyebutkan manfaat apa yang dapat dicapai dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan penelitian. (Saraswati, 2011: 78)
Adapun beberapa manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoretis a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu tentang pendidikan orang tua pada anak, terutama mengenai pendidikan orang tua pada anak yang terkandung dalam al-Qur‟an surah an-Nisā‟ ayat 9 dan atTahrīm ayat 6. b. Penelitian ini memiliki relevansi dengan ilmu agama Islam khususnya
progam
studi
agama
Islam,
sehingga
hasil
pembahasannya berguna untuk menambah literatur atau bacaan tentang pendidikan orang tua pada anak dalam al-Qur‟an surah anNisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6. c. Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi
positif bagi
orang tua dan calon orang tua khususnya bagi peneleti untuk mengetahui dan mendalami pendidikan orang tua pada anak ytang terkandung dalam al-Qur‟an surah an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6. 2. Manfaat praktis Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan sebagai berikut: a. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat menjadi motivasi bagi orang tua dan calon orang tua dalam mensosialisasikan
pendidikan orang tua pada anak di masyarakat sesuai dengan aturan ajaran agama Islam. b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan acuan khususnya bagi orang tua agar dapat mengaplikasikan pendidikan Islam pada anak dalam kehidupan sehri-hari. c. Dengtan skripsi ini, juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri. F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti tergolong penelitian pustaka (library research), penelitian tersebut dengan mengumpulkan data-data
yang berhubungan dengan objek penelitian, dengan
mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik yang primer maupun yang sekunder, dicari dari sumber-sumber kepustakaan (seperti buku, majalah, artikel, jurnal). (Kuswaya, 2009: 11) 2. Pendekatan penelitian Untuk melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metode tematik, tafsir tematik atau disebut dengan tafsir maudhu‟i yaitu membahas ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Menurut Baidan, (2000: 152), dijelaskan bahwa dalam penerapan metode tematik atau Maudhu‟i, ada beberapa langkah yang harusdi tempuh oleh mufasir. Antara lain sebagai berikut:
a. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukhah, dan sebagainya. b. Menelusuri latar belakang turun (asbab nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun (kalau ada). c. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, teruama kosa kata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu. Kemudian mengkajinya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, pemakaian kata ganti (dhamir), dan sebagainya. d. Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman dari aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer. e. Semua itu dikaji secara tuntas dan saksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu‟abar, serta didukung oleh fakta (kalau ada), dan argumen-argumen dari alQur‟an, hadits, atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan. Walaupun di atas dijelaskan menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas surat anNisā ayat 9 dan at-Tahrīm ayat6. 3. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan peneliti adalah metode yang bersifat library research dalam pengumpulan data yang akan digunakan untuk penelitian, maka penulis membagi sumber data menjadi dua bagian: a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan penelitian yaitu al-Qur‟an surat an-Nisā ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6 beserta tafsirnya baik berupa hadits-hadits maupun penjelasan dan Tafsir para Ulama‟ diantaranya adalah Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr. Quraish Shihab, Tafsir Ibnu Katsir karya karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, dan Al-Qur‟an dan Tafsirnya karya Departemen Agama RI. b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang mengandung dan melengkapi sumber-sumber data primer. Adapun sumber data sekunder berupa buku-buku pendidikan orang tua pada anak, internet, dan informasi lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. 4. Metode Analisis Analisis non-statis sesuai untuk data deskriptif atau data textual. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis) (Suryabrata, 1995: 85). Disini peneliti menggunakan metode content analysis dalam menguraikan makna yang terkandung dalam redaksi alQur‟an, setelah itu dari hasil interpretasi tersebut dilakukan analisa
secara mendalam dan saksama guna menjawab permasalahan yang ada dari rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh peneliti. G. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini, maka penelitian ini disusun dalam lima bab, yang terdiri dari sub-sub bab yang bersifat saling keterkaitan antara satu bab dengan yang lainnya, yang mana sistematikanya disusun sebagai berikut: Bab I pada bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II sebagai kelanjutan dari bab awal yang lebih spesifik dalam sistematika penulisan, bab yang ke dua menjelaskan tentang kompilasi ayat-ayat al-Qur‟an yang berhubungan dengan pendidikan orang tua pada anak. Bab III menguraikan tentang sebab-sebab turunnya al-Qur‟an dan sebab-sebab turunnya hadist yang menerangkan tentang pendidikan orang tua pada anak selain itu dalam bab ini juga menerangkan tentang ayat-ayat atau hadist yang berhubungan dengan ayat atau hadist tentang pendidikan orang tua pada anak, atau dalam kata lain mencakup juga keteranganketerangan yang berkaitan dengan pendidikan orang tua pada anak. Bab IV dalam bab ini peneliti lebih memfokuskandalam inti pembahasan tentang pendidikan orang tua pada anak dalam al-Qur‟an surah an-Nisā‟ ayat 9 dan surah at-Tahrīm ayat 6. Dan cara
mengimplementasikan pendidikan orang tua pada anak dalam al-Qur‟an surah an-Nisā‟ ayat 9 dan surah at-Tahrīm ayat 6 dalam kehidupan seharihari untuk mencari ridlo Allah swt. Bab V memaparkan tentang kesimpulan atas pembahasan yang telah diuraikan dalam penelitian.
BAB II KOMPILASI AYAT TENTANG PENDIDIKAN ANAK
1. Surat an-Nisā ayat 9
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. Kosa kata(Ya-Salaam, jilid 2, 1993: 121)
خشٞٗى: walyakhsya
: dan hendaklah takut
ى٘حشم٘ا: lau tarakū
: bila meninggalkan
ٌٖخيف: khalfihim
: dibelakan mereka
ّتٝر ّس: zurriyyatan
: keturunan/anak
ظؼفب: di‟āfan
: lemah
خبف٘ا: khāfū
: mereka khawatir/takut
خّق٘اٞفي: falyattaqū
: hendaklah mereka bertaqwa
ق٘ى٘اٞٗى: walyaqūlū
: dan mengucapkan
قَ٘ل: qaulan
: perkata
ذاٝصذ: sadīdan
: yang benar
Kata (خشٝ) yakhsya, berasal dari kata (ٜ )خشkhasyiya yang artinya takut kepadanya, sedangkan kata ( )خبف٘اkhāfū besaral dari kata ( )خبفkhāfa, (٘خبفٝ) yakhāfu, ( )خ٘فبkhaufan yang artinya takut sesuatu. (Al-Habsyi, 1991: 82 & 88) Kata (خشٝ) yakhsya, dapat diartikan sebagai takut terhadap barang yang terlihat. Yaitu ciptaan-ciptaan Allah yang besar. Karena Allah mampu menciptakan alam semesta yang sangat besar. Contohnya takut terhadap siksa dan azab dari Allah karena kesalahan yang ia lakukan. Kata (٘ )خبفkhāfū, merupakan sinonim dari kata (٘ )حقtaqwa, artinya rasa takut saat mengahap Allah (yang ghoib) karena dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sebagai contohnya adalah takut akan murka Allah. (http://nasimfauzi.blogspot.com.diakses pada 25 Agustus) Kata ( ذاٝ )صذsadīdan, terdiri dari kata sīn dan dāl yang berarti istīqomah/konsistensi. Kata ini juga digunakan untuk menunjuk pada sasaran. Dengan demikian, kata sadīdan diatas, tidak sekedar berarti benar, tetapi ia juga harus berati tepat sassaran. (Shihab, jilid 2, 2002: 426) Ayat di atas mengingatkan kepada orang tua dan para pengasuh anak-anak yatim untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada anak dengan tepat dan benar dan takut bila meninggalkan anak-anak yang lemah dengan senantiasa mengingat bagaimana nasib anak-anak mereka
sendiri apabila mereka tinggal mati dalam keadaan yatim dan miskin papa, serta tidak mempunyai daya dan upaya untuk bertahan hidup. Apakah mereka merasa senang apabila anak-anak mereka tidak terurus, lemah tidak berdaya, dan hidup miskin papa. (Al-Qarni, jilid 1, 2008: 359) 2. Surat at-Tahrīm ayat 6
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Kosa kata (Al-Maragi, 1993: 259)
ٌق٘ااّفضن:
qū anfusakum
اى٘ق٘د: al-waqūd
: jadilah dirimu itu pelindung dari api neraka dengan meninggalkan maksiat. : membawa keluargamu kepada hal itu dengan nasehat dan pelajaran. : kayu bakar.
اىحجبسة: al-hijārah
: berhala-berhala yang disembah.
ٌنٞٗإي: wa ahlīkum
ٰ : malāikah ٍيئنت غَلظ: gilāz شذاد: syidād
: para penjaga neraka yang sembilan belas orang. : kesat hati dan tidak mau mengasihi apabila mereka diminta belas kasihan. : kuat badan.
Kata (ٌ )ق٘اأّفضنqū anfusakum, secara kebahasan, terdiri dari dua suku kata, yaitu qū yang merupakan bentuk amr lil jama‟ (kata perintah bentuk plural) dari waqā yang berarti janganlah oleh kalian, dan kata anfusakum yang berarti diri kalian. Dengan demikian kata qū anfusakum dalam konteks ayat ini bermakna perintah untuk senantiasa menjaga diri dan keluarga dari sengatan api neraka. (Depag RI, jilid 10, 2009: 203) Malaikat yang disifati dengan ( )غَلظgilāzh/kasar bukanlah dalam arti jasmaninya, karena malaikat adalah makhluk-makhluk halus yang tercipta dari cahaya. Atas dasar ini, kata tersebut harus dipahami dalam arti kasar perlakuannya atau ucapannya. Karena mereka telah diciptakan Allah khusus untuk menangani neraka. “Hati” mereka tidak iba atau tersentuh oleh rintisan, tangisan atau permohonan belas kasih, mereka diciptakan Allah dengan sifat sadis, dan karena itu maka mereka ( )شذادsyidād/keras, yakni makhluk-makhluk Allah yang keras hatinya dan keras pula perlakuannya. Ayat di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Walau secara redaksional ayat di atas tertuju kepada kaum pria (ayah), bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki (Ibu dan ayah) untuk bertanggungjawab kepada anak-anak dan juga pada pasangannya masingmasing sebagaimana masing-masing bertanggungjawab atas kelakuannya. (Shihab, jilid 14, 2002: 177)
3. Surat al-Luqmān ayat 13-19
Artinya: 13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu . 15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepadaKulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. 16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. 17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). 18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. 19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. Ayat 13: kata (ٔؼظٝ) ya‟izhuhū terambil dari kata ( )ٗػعwa‟zh yaitu nasihat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Ada juga yang mengartikannya sebagai ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Penyebutan kata ini sesudah kata dia berkata untuk memberi gambaran tentang bagaimana perkataan
itu beliau
sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada anak.
Sementara
kata
()ٗػع
wa‟zh,
dalam
arti
ucapan
yang
mengandung peringatan dan ancaman, berpendapat bahwa kata tersebut mengisyaratkan bahwa anak luqmān itu adalah seorang musyrik sehingga sang ayah yang menyandang hikmah itu terus-menerus menasehatinya sampai akhirnya sang anak mengakui tauhid. Namun pendapat yang antara lain dikemukakan oleh Thārir Ibn „Asyūr ini sekedar dugaan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Kata(ٜ ّ ْ)ب
bunayya
adalah
patron
yang
menggambarkan
kemungilan. Asalnya adalah (ْٜ )ئبibny dari kata (ِ )ئبyakni anak lelaki. Pemungilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. Ayat diatas memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik. Ayat 14: kata ( )ْٕٗبwahana berarti kelemahan atau kerapuhan. Yang dimaksud disini kurangnya kemampuan memikul beban kehamilan, penyusuan, dan pemeliharaan anak. Patron kata yang digunakan ayat ini mengisyaratkan betapa lemahnya sang ibu sampai-sampai ia dilukiskan bagai kelemahan itu sendiri, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan kelemahan telah menyatu pada dirinya dan dipikulnya. Kalimat (ٍِٞػب
ٜ)ٗفصبىٔ ف
wa fishāluhū fī „āmain/dan
penyapiannya didalam dua tahun mengisyaratkan betapa penyusuan anak sangat penting dilakukan oleh ibu kandung. Tujuan penyusuan ini bukan sekedar untuk memelihara kelangsungan hidup anak, tetapi juga bahkan
lebih-lebih untuk menumbuhkembangkan anak dalam kondisi fisik yang prima. Ayat 15: kata ( )جبٕذاكjāhadāka terambil dari kata ( )جٖذjuhd yakni kemampuan. Ayat ini menggambarkan adanyan upaya sungguhsungguh. Yang dimaksud dengan (ٌػي „ilm/yang tidak
ٔش ىل بٞ)ٍب ى
mā laisa laka bihi
ada pengetahuanmu tentang itu adalah tidak ada
pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya. Tiadanya pengetahuan berarti tidak adanya objek yang diketahui. Ini berarti tidak wujudnya sesuatu yang dapat dipersekutukan dengan Allah SWT. Kata ( )ٍؼشٗفبma‟rufan mencakup segala hal yang dinilai oleh masyarakat baik selama tidak bertentangan dengan akidah Islamiyah. Dalam konteks ini, diriwayatkan bahwa Asmā‟, putri Sayyidinā Abū Bakar RA pernah didatangi oleh ibunya yang ketika itu masih Musyrikah. Asmā‟ bertanya kepada Nabi bagaimana seharusnya ia bersikap. Maka, Rasul SAW Memerintahkannya untuk tetap menjalin hubungan baik, menerima dan memberinya hadiah serta mengunjungi dan menyambut kunjungannya. Ayat 16: ketika menafsirkan kata ( )خشدهkhardal pada QS.alAnbiyā: 47, penulis mengutip penjelasan Tafsīr al-Muntakhab yang melukiskan biji khardal/moster terdiri atas 913.000 butir. Dengan demikian, berat satu butir biji moster hanya sekitar satu per seribu gram,
atau ± 1 mg., dan merupakan biji-bijian teringan yang diketahui umat manusia sampai sekarang. Oleh karena itu, biji ini sering digunakan oleh al-Qur‟an untuk menunjuk sesuatu yang sangat kecil dan halus. Kata (فٞ )ىطlathīf terambil dari kata ( )ىطفlathafa yang hurufnya terdiri dari ( )هlām, ( )غthā‟, dan ( )فfā‟. Kata ini mengandung makna lembut halus dan kecil dari makna ini kemudian lahir makna ketersembunyian dan ketelitian. Ayat 17: kata ( )صبشshabr berasal dari tiga huruf ( )صshād, ()ة bā, dan ( )سrā. Maknanya berkisar pada tiga hal: 1) menahan, 2) ketinggian sesuatu, dan 3) menjadi batu. Dari makna menahan, lahir makna konsisten/bertahan karena yang bersabar bertahan menahan diri pada satu sikap. seseorang yang menahan gejolak hatinya dinamai bersabar. Yang ditahan dipenjara sampai mati dinamai mashbūrah. Dari makna kedua lahir kata shubr, yang berarti puncak sesuatu. Dan dari makna ketiga muncul kata ash-shubrah, yakni batu yang kukuh lagi kasar, atau potongan besi. Kata (ً„ )ػزazm dari segi bahasa berarti keteguhan hati dan tekad untuk melakukan sesuatu. Kata ini berpatron mashdar, tetapi maksudnya adalah objek sehingga makna penggalan ayat itu adalah shalat, amr ma‟ruf dan nahi mungkar, serta kesabaran, merupakan hal-halyang telah diwajibkan oleh Allah untuk dibulatkan atasnya tekad manusia.
Ayat 18: kata ( )حصؼّشtusha‟ir terambil dari kata ( )اىصّؼشashsha‟ir yaitu penyakit yang menimpa unta yang menjadikan lehernya keseleo sehingga ia memaksakan dia dan berupaya keras agar berpaling sehingga tekanan tidak tertuju pada syaraf lehernya dari rasa sakit. Dari ayat inilah menggambarkan upaya keras dari seseorang untuk bersikap ankuh dan menghina orang lain. Kata (األسض
ٜ)ف
fi al-ardh/di bumi disebut oleh ayat di atas
untuk mengisyaratkan bahwa asal kejadian manusia dari tanah sehingga hendaknya jangan menyombongkan diri dan melangkah angkuh ditempat itu. Kata ( )ٍخخبَلmukhtālan terambil dari akar kata yang sama dengan (بهٞ )خkhayāl/khayal. Karenanya, kata ini pada mulanya berarti oraang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalan, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Dan kata ( )فخ٘ساfakhūran, yakni sering kali dipahami dengan membanggakan dirinya. Kata ( )اغعطughdhudh terambil dari kata ( ّ )غطghadhdh dalam arti penggunaan sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna. Mata dapat memandang ke kiri dan ke kanan secara bebas. Perintah ghadhdh, jika ditunjukkan kepada mata, kemampuan itu hendaknya dibatasi dan tidak digunakan secara maksimal. Demikian pula dengan suara. Dengan perintah di atas, seseorang diminta untuk tidak berteriak
sekuat kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan namun tidak harus berbisik. (Shihab, jilid 10, 2002: 295) Materi pendidikan yang diterapkan oleh Luqmān Hakim kepada anaknya di atas dapat diambil tiga hal, yaitu: (Huda, 2008: 126) a) Pendidikan keimanan („aqīdah). pendidikan ini pertama kali dilakukan Luqman kepada anaknya. Luqman menanamkan keyajinan bahwa Allah sebagai Zat Yang Maha Esa yangharus disembah dan sekaligus melarang perbuatan syirik (QS luqmān ayat 13). b) Pendidikan ibadah (syarī‟ah). Ruang lingkup syarīah meliputi interaksi vertikal seorang hamba dengan Allah yang direalisasikan melalui ibadah, dan interaksi horizontal yang dilakukan dengan sesama manusia (mu‟āmalah). Dalam hal ibadah ini. Luqmān mengajarkan shalat kepada anaknya (ayat 17). c) Pendidikan akhlak. Dalam bidang akhlak, terbagi menjadi dua, yaitu akhlak personal dan akhlak sosial. Pendidikan akhlak personal dilakukan Luqmān kepada anaknya dengan memperkenalkan etika baik terhadap kedua orang tua (ayat 14). Prinsip berbakti ini dengan cara melakukan segala yang diperintahnya dan menjauhi segala larangannya selama dalam batas tidak melanggar syariat islam (ayat 15). Sedangkah akhlak sosial mencakup pendidikan dakwah/amar ma‟rūf nahi munkar dan bersabar (ayat 17). Juga pendidikan etika ayat 18-19) yang mencakup etika pergaulan (bertemu), berbicara, dan berjalan.
4. Surat Hūd ayat 42-46
Artinya: 42. dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama Kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." 43. anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang". dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; Maka jadilah anak itu Termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. 44. dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim ." 45. dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadiladilnya." 46. Allah berfirman: "Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan Termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." Ayat 42: Ayat ini menunjukkan betapa naluri manusia sangat cinta kepada anaknya, kendati sang anak durhaka, dan betapa anak durhaka melupakan kebaikan dan ketulusan orang tuanya. Hal ini dapat dilihat dari cara Nabi Nūh AS menyeru anaknya dengan panggilan yang mesra yaitu (ّْٜ )بbunayya adalah bentuk tashghīr/perkecilan dari kata (ْٜ)ئب ibnī/anakku. Bentuk itu antara lain digunakan untuk menggambarkan kasih sayang karena kasih sayang biasanya tercurah kepada anak, apalagi yang masih kecil.
Ayat 43: kalimat (ٌسح
ٍِ ّ)ئَل
illā man rahim ada yang
memahaminya dalam arti tetapi siapa yang dirahmati Allah maka dialah yang akan terpelihara. Ada juga yang ulama yang memahami illā dalam arti kecuali sehingga penggalan ayat ini, menurut mereka, bagaikan menyatakan “tidak ada satupun saat ini tempat yang dapat melindungimu, baik gunung maupun selainnya, kecuali satu tempat, yaitu tempat siapa yang dirahmati dan diselamatkan Allah SWT, tempat itu adalah bahtera ini”.
ّ )اىج٘دal-jūdi dipahami oleh banyak ulama Ayat 44: kata (ٛ sebagai nama sebuah gunung. Sementara ulama menyebut bahwa lokasinya membentang antara Irak dan Armenia. Ada lagi yang menyebut tempatnya secara persis adalah Mūshil atau Kūffah di Irak. Ayat 46: kalimat (إٔيل
ٍِ شٞ)ئّّٔ ى
innahu laisa min
ahlik/sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu sama sekali bukan berarti sebagaimana diduga oleh sementara penuntut ilmu, bahwa anaknya itut bukan anak kandung Nabi Nūh AS tetapi anak zina. Namun, ayat ini bermaksud menyatakan dia bukan termasuk keluargamu yang dijanjikan akan memperoleh keselamatan, atau bukan keluargamu yang wajar engkau jalin dengannya hubungan kasih sayang, karena dia telah mendurhakai Allah SWT. Kalimat (ِٞاىجبٕي
ٍِ ُ٘)أُ حن
antakūna min al-jāhilīn/agar
engkau (tidak) termasuk kelompok orang-orang jahil seperti telah sering
dikemukakan bahwa redaksi semacam ini mengandung makna yang lebih dalam dan mantap dari pada menyatakan
agar engkau tidak menjadi
seorang jahil. (Shihab, jilid 5, 2002: 634) Ayat di atas menjelaskan pendidikan Nūh kepada Kan‟ān menyangkut pendidikan akidah dan moral: (Huda, 2008: 91) a) Pada pendidikan akidah: dapat dilihat ketika Nabi Nūh mengajak Kan‟ān kembali ke agama Allah. b) Pada pendidikan moral dapat dilihat dari sikap Nūh yang ingin memberdayakan moralitas Kan‟ān dengan meninggalkan pergaulan bersama orang-orang kafir. 5. Surat Shāffāt ayat 102-107
Artinya: 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". 103. tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). 104. dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, 105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 107. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari raya haji. Ayat 102: ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja mudhāri‟ (masa kini damasa datang) pada kata-kata (ٛ )أسarā/saya melihat dan ( )أربحلadzsbahuka/sayamenyembelihmu. Demikian juga kata ()حإٍش tu‟mar/diperintahkan. Ini untuk mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lihat itu seakan-akan masih terlihat hingga saat penyampaiannya itu. Sedang, penggunaan bentuk tersebut untuk kata menyembelihmu untuk mengisyaratkan bahwa perintah Allah yang dikandung mimpi itu belum selesai dilaksanakan, tetapi hendaknya segera dilaksanakan. Ucapan sang anak: (ٍبحإٍش
)ئفؼوif‟al mā
tu‟mar/laksanakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu, bukan kata: “sembelihlah aku”, mengisyaratkan sebab kepatuhannya, yakni karena hal tersebut adalah perintah Allah SWT.
Ucapan sang anak: (ِٝاىصّببش
ٍِ ئّشبء هللاّٜ)صخجذ
satajidunī
insyā Allā min ash-shābirīn/engkan akan mendapatiku insya Allah termasuk para penyanbar, dengan mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah sambil menyebut terlebih dahulu kehendak-Nya, menunjukkan betapa tingginya akhlak dan sopan santun sang anak kepada Allah SWT. Ayat 103-106: kata (ّٔ )حيtallahu terambil dari kata ( )أىخّوat-tall yakni tempat tinggi. Ada juga yang memahaminya dalam arti tumpukan pasir/tanah yang keras. Kata tallahu dari segi bahasa berarti melempar atau menjatuhkan seseorang ke atas tumpukan. Maksud ayat ini adalah memberingkan dan meletakkan pelipisnya dengan mantap pada suatu tempat yang mantap dan keras agar tidak bergerak. Kalimat (بٝ )صذقخبىشّؤshaddaqta ar-ru‟yā/telah membenarkan mimpi itu, yakni melaksanakan sesuai dengan batas kemampuanmu apa yang diperintahkan oleh Allah melalui mimpi itu. Maksudnya, Nabi Ibrahim AS telah membenarkan perintah yang dikandung mimpi sampai batas waktu yang dikehendaki Allah. Firman Allah: (ِٞاىَب
ّ ) inna hādzā lahuwa alئُ ٕزا ىٖ٘ اىبَلء
balā‟u al-mubīn/sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, agaknya dapat diketahui dengan membayangkan Nabi Ibrahim AS ketika itu. Anak yang telah beliau nantikan bertahun-tahun lamanya, kini harus beliau sembelih pada usia remaja. Sementara riwayat menyatakan sekitar
tiga belas tahun. Anak itu, disamping buah hati dan harapannya, ia pun dilukiskan oleh ayat di atas sebagai (ٜاىضّؼ
ٔ )بيغ ٍؼbalagha ma‟ahu as-
sa‟ya/berusaha bersama dengannya. Lalu yang lebih memilukan hati lagi adalah bahwa anak itu harus disembelih sendiri. (Shihab, jilid 11, 2002: 280) Berdasarkan uraian di atas, interaksi pendidikan Ibrahim AS terhadap Isma‟il AS dapat disimpulkan sebagai berikut: (Huda, 2008: 157) a) Uji kepatuhan keimanan betujuan untuk pemberdayaan hidup yang humanis (memanusiakan manusia) yang dibangun melalui totalitas pengabdian kepada Allah. Hal ini dibuktikan oleh Nabi Ibrahim AS yang rela menyembelih Nabi Isma‟il AS yang sangat ia cintai demi membuktikan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. b) Uji kepatuhan sebagai realisasi keimanan c) Interaksi pendidikan terjadi denggan metode dialogis-demokratis, yakni pendidik memberi kesempatan anak didik untuk memberi konsep kebenaran materi yang diajarkan. d) Pendidik memiliki kompetensi demokratis, yang bertujuan untuk menghindari intervensi hak hidup Isma‟il AS secara otoritatif. e) Etika patuh anak didik mendorong keberhasilan pendidikan. Sikap patuh Isma‟il AS terjadi karena mampu memahami esensi pendidikan yang dikomunikasikan Ibrahim AS kepadanya.
f) Konstruksi epistimologi pendidikan termasuk dalam kategori intuitifdemokratis. Yakni, pendidikan berkurban diperoleh Ibrahim as. Melalui wahyu dengan pendekatan pengajaran demokratis. 6. Surat Yūsuf ayat 4-5
Artinya: 4. (ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." 5. Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." Ayat 4: kata (بٝ) yā/wahai. Lalu, diikuti dengan kata ()أبج abati/ayahku dia menggambarkannya kedekatannya kepada beliau. kedekatannya kepada ayahnya diakui oleh ayat ini sehingga bukan nama ayahnya yang disebut oleh ayat ini, tetapi kedudukannya sebagai orang tua. Ayat ini tidak berkataingatlah ketika Yūsuf berkata kepada Ya‟qūb, tetapi ketika Yūsuf berkata kepada ayahnya. Ayat 5: kata (ّْٜ )بbunayya adalah bentuk tashghīr/perkecilan dari kata (ْٜ )ئبibnī/anakku. Bentuk itu antara lain digunakan untuk
menggambarkan kasih sayang karena kasih sayang biasanya tercurah kepada anak, apalagi yang masih kecil. (Shihab, 2002: 14-16) Secara implisit/tersurat materi pendidikan Ya‟qūb terhadap Yūsuf dapat dipahami dalam lingkup berikut: (Huda, 2008: 123) a) pendidikan akidah, dengan mengenalkan konsep ketuhanan ialah Allah yang telah memilih Yūsuf menjadi nabi dan mengajarkan ta‟bir mimpi. b) pendidikan akhlak, dilakukan dengan mewaspadai perbuatan makar saudara-saudaranya dan merahasiakan nikmat dari orang yang menyebabkan hasud kepadanya. 7. Surat Maryam ayat 27-33
Artinya: 27. Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. kaumnya berkata: "Hai Maryam, Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang Amat mungkar.
28. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina", 29. Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: "Bagaimana Kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?" 30. berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi, 31. dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; 32. dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. 33. dan Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaKu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali". Ayat 27-28: kata (ّبٝ )فشfarīyyan terambil dari kata (ٙ )فشfirā yang pada mulanya berarti sesuatu yang terpotong dan pasti. Pasti yang dimaksud disini adalah sesuatu yang telah pasti lagi diragukan keburukannya, yaitu perzinaan. Ada juga yang memahaminya dalam arti sesuatu yang sangat besar, yakni apa yang mereka duga Maryam itu adalah sesuatu yang sangat besar keburukan dan dosanya. Istilah (ُٕٗبس
)أخجukht Hārūn menjadi bahan perbincangan para
ulama. Sementara cendekiawan non-muslim menjadikan istilah tersebut sebagai bukti kesalahan al-Qur‟an karena, menurut mereka, antara Hārūn yang merupakan saudara Mūsā. Dan maryam terdapat jarak ratusan tahun. Sementara ulama menyatakan bahwa sebenarnya kebenaran ini bukanlah hal baru, tetapi telah dikenal sejak masa Nabi SAW.
Ayat 29-32: kata ( )اىَٖذal-mahd terambil dari kata ( )ٍٖذmahada yang pada mulanya berarti menghamparkemudian maknanya berkembang sehingga dipahami sebagai hamparan yang disiapkan untuk tempat tidur atau ayunan bayi. Kata (ُ )مبkāna ditampilkan sebagai penguat dan tidak mengandung masa lampau; atau bahwa apa yang dimaksud dengan masa lampau di sini adalah masa lampau yang baru saja terjadi, seakan-akan mereka berkata: “Bagaimana kami bercakap dengan seorang bayi yang baru saja selesai engkau ayun?” atau bahwa kata (ُ )مبkāna di sini untuk menunjukkan kemantapan sifat itu pada sesuatu, tanpa mengandung masa lampau atau masa kini. Ini serupa dengan: inna Allāha kāna Ghafūran Rahīma/sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kata kāna pada kalimat tersebut bukannya berarti bahwa dahulu Allah Maha Pengampun, tetapi sifat tersebut mantap pada diri-Nya dan terus-menerus ada. Kata ( )ٍببسمبmubārakan terambil dari kata ( )اىبشمتal-barakah yang pada mulanya bermakna sesuatu yang mantap juga berarti “kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta bersinambung”. Kolam dinamai ( )بشمتbirkah karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap mantap di dalamnya tidak tercecer kemana-mana. Ayat 33: akhirnya „Isā AS, sang bayi itu, menutup keterangannya dengan berkata atau berdoa bahwa sālam, yakni keselamatan besar dan
kesejahteraan sempurna, semoga tercurah atas diriku serta keterhindaran dari segala bencana dan aib serta kekurangan pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali di Padang Mahsyar nanti. (Shihab, jilid 7, 2002: 435) Berdasarkan uraian di atas, interaksi pendidikan Maryam terhadap Isa AS, dapat disimpulkan sebagai berikut: (Huda, 2008: 180) a) pendidikan Maryam kepada Isa AS bertujuan untuk memberdayakan moralitas dan keimanan kaumnya. b) Interaksi pendidikan terjadi dengan metode dialogis-intuitif. c) Perolehan pendidikan secara intuitif terjadi pada anak didik. d) Pendidikan memberdayakan anak didik sebagai media pendidikan. Dalam hal ini, Maryam memosisikan Isa AS sebagai sumber belajar untuk mendidik moralitas umatnya. e) Konstruksi epistimologi pendidikan Maryam termasuk dalam kategori intuitif. Yakni, pendidikan diperoleh melalui wahyu dengan tujuan pemecahan masalah pribadi dalam interaksinya dengan kaumnya.
BAB III ASBĀBUN NUZŪL DAN MUNASABAH AYAT
A. Asbābun Nuzūl Ayat-ayat Pendidikan Orang Tua pada Anak Dalam istilah para ulama, sebab-sebab diturunkannya ayat ini dinamakan asbābun nuzūl. Dilihat dari arti katanya, asbābul nuzūl adalah riwayat atau hadis yang menjelaskan berbagai sebab turunnya ayat. Dengan kata lain, riwayat atau hadis tersebut juga termasuk saksi abadi atas turunnya ayat. Menurut para ulama, sebuah ayat diturunkan karena dua hal. Pertama, merespon sebuah peristiwa, misalnya surat al-Lahab sebagai bantahan terhadap Abu Lahab yang mengejek Rasulullah SAW dengan ungkapan keji. Kedua, menjawab suatu permasalahan yang belum atau sulit diputuskan. Akan tetapi, tidak semua ayat al-Qur‟an diturunkan beriringan dengan sebab tertentu atau atas jawaban dari suatu persoalan. (Amrullah, 2008: 126) Dalam mencari Asbābun nuzūl ayat tentang pendidikan orang tua pada anak dalam Q.S. an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6, peneliti hanya menemukan Asbābun nuzūl Q.S an-Nisā‟ ayat 9, dikarenakan tidak ada keterangan akan alasan turunnya Q.S. at-Tahrīm ayat 6. berikut Asbābun nuzūl Q.S an-Nisā‟ ayat 9:
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. Dalam sahih imam Abu Dawud no 2864 dijelaskan sebagai berikut:
َ ٍَ ِش: قَب َه،ص ُ ٓ فَ َؼب َد،ِٔ ْٞ ِ فَٚ ِب ََ َّنتً أَ ْشف،ض ٍَ َشظًب ٍ َٗقَبٜػ َِْ َص ْؼ ِذ ْب ِِ أَ ِب ّ َب َسصُْ٘ ُهٝ : فَقَ َو،ٌّٔ ٗصيٞهللا ػي ّ ّٚهللا صي ّ َسصُْ٘ ُه ،شًاْٞ ِ ٍَبَلً َمثْٜ ِهللاِ ئِ َُّ ى ْ فَبِبى َّش: قَب َه.َ َل: ِِ؟ قَب َهْٞ َق بِبىثُّيُث ُ ص َّذ :ط ِش؟ قَب َه َ َ أَفَأَح،ِٜ ئَِلَّ ا ْبَْخِْٚ َُ ِشثٝ ْش َ ََٞٗى ُ ُ َٗاىثُّي،ث ُ ُ اىثُّي:ث؟ قَب َه ل َ َك َٗ َسثَخ َ ل أَ ُْ حُ ْخ َش َ َِّّ ئ،شًاْٞ ث َم ِث ِ ُ فَبِبىثُّي: قَب َه.ََل ، داٗدٜح صِْ أبٞ (صح.بس َ ََّْخَ َنفَّفُْ٘ َُ اىٝ ً ٌش ٍِ ِْ أَ ّْخَ َذ َػُٖ ٌْ ػَبىَتْٞ َب َء َخِْٞأَ ْغ )٧٤٨٨ :َّزة Dari Sa‟ad bin Abu Waqqas: di Makkah dia (Sa‟ad) menderita sakit yang mendekati kematian. Rasulullah SAW lalu menjenguknya, maka. Sa‟ad bin Abi Waqash berkata: “Wahai Rasulullah, kami seorang yang kaya raya dan tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Adakah boleh aku menyedekahkan dua pertiga dari harta kekayaanku?”. Jawab Rasulullah: “Tidak boleh”. Kata Sa‟ad: “Adakah separuh dari harta kekayaanku?”. Jawab Rasulullah: “Tidak!”. Kata Sa‟ad: “Adakah sepertiga dari harta kekayaanku?”. Jawab Rasulullah:
“Ya sepertiga. Sepertiga itu sangat banyak”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “ Sesengguhnya kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik daripada meninggalkan ahli waris yang miskin meminta-minta kepada umat manusia”. Sehubungan dengan sabda Rasulullah SAW Allah menurunkan ayat ke9 yang dengan tegas memberikan keterangan, bahwa umat Islam dilarang meninggalkan anak turun yang lemah, baik lemah ekonomi, pendidikan, akal, kesehatan dan lainnya. Padahal untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dibutuhkan sarana dan prasarana, yaitu berupa harta dan kekayaan. (Mahali, 1989: 223) B. Munasabah Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata
nasaba-yunasibu-munasabahan
yang
berarti
musyakalah
(keserupaan), Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma‟lul, kemiripan ayat pertentangan (ta‟arudh). (Djalal, 2000: 154) Menurut Baidan, (2005: 185)
Tanāsub dan Munāsabat berasal
dari akar kata yang sama, yaitu al-Munāsabat mengandung arti berdekatan, bermiripan. Dari pengertian lughawi itu diperoleh gambaran
bahwa Tanāsub atau Munāsabat itu minimal antara dua hal yang mengandung pertalian, baik dari segi bentuk lahir, ataupun makna yang terkandung dalam kedua kasus itu. Al-Munāsabat fi al-„illat dalam kajian ushul fiqh (Qiyas) ialah titik kemiripan atau kesamaan dua kasus dalam suatu hukum. Jadi munāsabat seperti digambarkan itu bisa dalam bentuk konkret (hissi) dan bisa pula dalam bentuk abstrak (aqli atau khayali). Kata munāsabat apabila diterapkan dalam ayat-ayat al-Qur‟an maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud munāsabat dalam kajian ilmu tafsir ialah pertalian yang terdapat diantara ayat-ayat al-Qur‟an dan suratsuratnya, baik dari sudut makna, susunan kalimat, maupun letak surat, ayat dan sebagainya. Syihab memberikan pengertian al-munāsabat dalam ulum alQur‟an adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur‟an baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya. Adapun bentuk-bentuk munāsabat sebagai berikut: (Baidan, 2005: 192) 1. Munāsabat antara surat dengan surat. 2. Munāsabat antara nama surat dengan tujuan turunnya. 3. Munāsabat antra kalimat dengan kalimat dalam satu ayat. 4. Munāsabat antara ayat dengan ayat dalam satu kalimat. 5. Munāsabat antara fashilat (penutup) ayat dengan isi ayat tersebut. 6. Munāsabat awal uraian surat dengan akhirnya.
7. Munāsabat antara akhir suatu surat dengan awal surat berikutnya. Dalam pembahasan ini penulis menjabarkan munāsabat ayat dengan ayat dalam suatu surat sesuai dengan ayat yang penulis kaji. Munāsabat ayat-ayat tersebut sebagai berikut: 1. Munāsabat Surat an-Nisā Ayat 9
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. Ayat-ayat yang terdahulu (5-8) terdahulu menjelaskan tengtang haram memakan harta anak yatim dan diperintahkan menyerahkan semua hartanyak kepadanya bila telah dewasa dan juga larangan mengambil mahar perempuan yang sudah dinikahi atau menikahi tanpa mahar. Maka dalam ayat ini dijelaskan tentang pembagian harta pusaka dan perlakuan terhadap anak-anak yatim dan hartanya. (Depag RI, jilid 2, 2009: 123 2. Munāsabat Surat at-Tahrīm Ayat 6
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Pada ayat-ayat yang lalu (1-5), Allah memerintahkan kepada sebagian dari istri-istri Nabi agar bertobat kepada Allah dari berbagai perbuatan yang menyusahkan Nabi, karena Allah-lah yang melindungi Nabi dan menolongnya, sehingga kerjasama mereka tidak akan membahayakan Nabi. Kemudian Allah memperingatkan agar perbuatan mereka yang menyusahkan Nabi jangan sampai berlarut-larut yang dapat mengakibatkan mereka dapat ditalak lalu diganti dengan istri-istri yang lebih baik, patuh, tekun beribadah, dan lainnya. Pada ayat-ayat berikut ini (6-8), Allah memerintahkan orang mukmin secara keseluruhan agar menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka yang kayu bakarnya terdiri darim manusia dan batu. Allah memerintahkan agar manusia mencegah dirinya dari perbuatan dosa, serta bertobat dengan tobat nasuha. (Depag RI, jilid 10, 2009: 204)
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pandangan Beberapa Ahli Tafsir Terhadap Al-Qur’an Surat Al-Nisā’ Ayat 9 Dan At-Tahrīm Ayat 6 1. Tafsir surat an-Nisā’ ayat 9
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. a. Dalam Tafsir al-Misbah Ayat di atas berpesan: Dan hendklah orang-orang yang memberi nasihat kepada pemilik harta agar membagikan hartanya kepada orang lain sehingga anak-anaknya terbengkalai, hendaklah mereka membayangkan seandainya mereka akan meninggalkan dibelakang mereka, yakni setelah kematian mereka, anak-anak yang lemah karena masih kecil atau tidak memiliki harta, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan atau penganiayaan atas mereka, yakni anak-anak lemah itu. Apakah jika keadaan serupa mereka alami, merekaakan menerima nasihat-nasihat seperti yang mereka berikanitu? Tentu saja tidak! Karena itu, hendaklah mereka
takutkepada Allah atau keadaan anak-anak mereka dimasa depan. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dengan mengindahkan sekuat kemampuan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat. Kata
( ذاٝ)صذsadīdan,
terdiri dari kata sīn dan dāl yang
berarti istīqomah/konsistensi. Kata ini juga digunakan untuk menunjuk pada sasaran. Dengan demikian, kata sadīdan diatas, tidak sekedar berarti benar, tetapi ia juga harus berati tepat sassaran. Dalam konteks keadaan ayat di atas, keadaan sebagai anak-anak yatim pada hakikatnya berbeda dengan anak-anak kandung, dan ini menjadikan mereka menjadi lebih peka, sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih hati-hati dan kalimat yang lebih terpilih, bukan saja kandungannya benar tetapi juga yang tepat. Pesan ayat ini berlaku umum sehingga pesan-pesan agamapun, jika bukan pada tempatnya, tidak diperkenankan untuk disampaikan. (Shihab, jilid 2, 2002: 425) b. Dalam Tafsir Ibnu Katsir Firman Allah Ta‟ala, “Dan hendaklah takut kepada Alllah orangorang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah.” Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ayat ini berkaitan dengan seorang yang menjelang ajal, ada orang lain yang mendengar orang itu menyampaikan wasiat yang menyengsarakan
ahli warisnya, maka Allah Ta‟ala menyuruh orang yang mendengar wasiat itu agar bertaqwa kepada Allah, meluruskan, dan membenarkan orang yang berwasiat serta agar memperhatikan ahli warisnya yang tentunya dia ingin berbuatbaik kepada mereka dan khawatir jika dia membuat mereka terlantar.”
Dalam shahihain ditegaskan, “Tatkala Nabi saw menjenguk Sa‟ad bin Abi Waqash, dia bertanya, “Wahai Rasulullah, kami seorang yang kaya raya dan tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Adakah boleh aku menyedekahkan dua pertiga dari harta kekayaanku?”. Jawab Rasulullah: “Tidak boleh”. Kata Sa‟ad: “Adakah separuh dari harta kekayaanku?”. Jawab Rasulullah: “Tidak!”. Kata Sa‟ad: “Adakah sepertiga dari harta kekayaanku?”. Jawab Rasulullah: “Ya sepertiga. Sepertiga itu sangat banyak”. Kemudian Rasulullah saw. Bersabda: “ Sesengguhnya kamu meninggalkan mereka dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan kekuranngan sehingga mencukupi kebutuhan dirinya dari orang lain.” (Ar-Rifai, jilid 1, 1999: 656) c. Dalam Tafsir Departemen Agama RI Dalam tafsir Departemen Agama RI dijelaskan bahwa orang yang telah mendekati akhir hayatnya diperintahkan agar mereka memikirkan, janganlah mereka meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka dikemudian hari. Untuk itu selalu bertakwalah dan mendekatkan diri
kepada Allah. Selalu berkata lemah lembut, terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggungjawab mereka seperti memberlakukan anak kandung sendiri. (Depag RI, jilid 2, 2009: 123) 2. Tafsir surat at-Tahrīm ayat 6
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. a. Dalam Tafsir al-Misbah Dalam suasana peristiwa yang terjadi di rumah tangga Nabi saw. seperti yang diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu (1-5), ayat di atas memberi tuntunan kepada kaum beriman: hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu, antara lain dengan meneladani Nabi, dan pelihara juga keluarga kamu,
yakni istri, anak-anak, dan
seluruhyang berada di bawah tanggungjawab kamu, dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga batu-batu antara lain yang dijadikan berhala. Di atasnya yakni yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya, adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar
hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan tugas penyiksaan yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan, kendati mereka kasar, tidak kurang dan juga tidak berlebih dari apa yang diperintahkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka, dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Ayat di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Walau secara redaksional ayat di atas tertuju kepada kaum pria (ayah), bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki (Ibu dan ayah) untuk bertanggungjawab kepada anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggungjawab atas kelakuannya. Malaikat yang disifati dengan
( )غَلظgilāzh/kasar bukanlah
dalam arti jasmaninya, karena malaika adalah makhluk-makhluk halus yang tercipta dari cahaya. Atas dasar ini, kata tersebut harus dipahami dalam arti kasar perlakuannya atau ucapannya. Karena mereka telah diciptakan Allah khusus untuk menangani neraka. “Hati” mereka tidak iba atau tersentuh oleh rintisan, tangis atau permohonan belas kasih, mereka diciptakan Allah dengan sifat sadis, dan karena itu maka mereka( )شذادsyidād/keras, yakni makhluk-
makhluk Allah yang keras hatinya dan keras pula perlakuannya. (Shihab, jilid 14, 2002: 177)
b. Dalam Tafsir Ibnu Katsir Allah SWT berfirman, “Hai orang-orangyang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dariapi neraka,” yaitu kamu diperintahkan dirimu dan keluargamu yang terdiri dari istri, anak, saudara, kerabat, sahaya wanita dan sahaya laki-laki untuk taat kepada Allah. Dan kamu larang dirimu beserta semua orang yang berada di bawah tanggungjawabmu untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah. Kamu ajari dan didik mereka serta pimpim mereka dengan perintah Allah. Kamuperintah mereka untuk melaksanakannya dan kamu bantu mereka dalam merealisasikannya. Bila kamu melihat ada yang berbuat maksiat kepada Allah maka cegah dan larang mereka. Ini merupakan kewajiban setiap muslim, yaitu
mengajarkan
kepada
orang
yang
berada
di
bawah
tanggungjawabnya segalasesuatu yang telah diwajibkan dan dilarang oleh Allah Ta‟ala kepada mereka. Allah SWT berfirman, “Yang bahan bakarnya dari manusia dan batu,” yaitu yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan jin. Allah SWT berfirman, “Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,” yaitu yang tabiatnya kasar. Allah telah mencabut dari hatihati mereka rasa kasih sayang terhadap orang-orang kafir. “Yang
keras,” yaitu susunan tubuh yang sangat keras, tebal, dan penampilannya yang mengerikan. Wajah-wajah mereka hitam dan taring-taring mereka menakutkan. Tidak tersimpan dalam hati masing-masing mereka rasa kasih sayang terhadap orang-orang kafir. Allah SWT berfirman, “Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Yaitu, mereka tidak pernah menangguhkan bila datang perintah dari Allah walaupun sekejap mata, padahal mereka bisa saja melakukan hal itu dan mereka tidak mengenal lelah. (Ar-Rifa‟i, jilid 4, 2000: 751) c. Dalam Tafsir Departemen Agama RI Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Mereka juga diperintahkan untuk mengajarkan kepada keluarganya agar taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Keluarga merupakan amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baikjasmani maupun rohani.(Depag RI, jilid 10, 2009: 204)
B. Pendidikan Orang Tua pada Anak dalam Al-Qur’an Surat an-Nisā Ayat 9 dan at-Tahrīm Ayat 6 1. Pendidikan Orang Tua pada Anak yang diajarkan dalam alQur’an surat an-Nisā’ ayat 9
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. Kata (ٚخشٝ) yakhsya, besasal dari kata (ٜ )خشkhasyiya, yang artinya takut kepadanya/sesuatu, (Al-Habsyi, 1991: 82). Kata yakhsya, dapat diartikan sebagai takut terhadap barang yang terlihat. Yaitu, ciptaan-ciptaan Allah yang besar. Karena Allah mampu menciptakan alam semesta yang sangat besar. Contohnya takut terhadap siksa atau azab
dari
Allah
karena
kesalahan
yang
ia
lakukan.
(http://nasimfauzi.blogspot.com. diakses pada 25 Agustus 2015) Dalam kamus Muhammad Hadi Al-Liham, (2008: 211) yaksya berasal dari kata khasyiya, yakhsya, khasyatan yang artinya sama dengan khāfahu (ٔخبف sesuatu.
:ءٜت اىشٞخش-ٜخشٝ-ٜ )خشyaitu takut terhadap
Kata (٘ )خبفkhāfū, besaral dari kata ( )خبفkhafa, (٘خبفٝ) yakhafu, ( )خ٘فبkhaufan yang artinya takut sesuatu. (Al-Habsyi, 1991: 88). Kata (٘ )خبفkhāfū, merupakan sinonim dari kata (٘ )حقtaqwa, artinya rasa takut saat mengahapa Allah (yang ghoib) karena dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sebagai contohnya adalah takut akan murka Allah. (http://nasimfauzi.blogspot.diakses pada 25 Agustus 2015) Dalam kamus Muhammad Hadi Al-lihan (2008: 229), Kata (٘ )خبفkhāfū, besaral dari kata khafa,yakhafu,khaufan yang artinya sama dengan fazi‟a (فزع
: خ٘فب- خبفٝ – (خبف
takut.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa yaksya adalah takut terhadap siksa Allah (sesuatu yang terlihat) sedangkan khāfū merupakan takut terhadap murka dari Allah (sesuatu yang ghoib). Jika mereka mati meninggalkan anak-anak (keturunan yang lemah) Kata (ظؼبفب
ّتٝ)ر ّس
Zurriyyah Di‟āfan dalam al-Qur‟an
sekurangnya disebutkan dua kali istilah yang hampir serupa. Pertama, istilah zurriyyah du‟afā yang disebutkan didalam surah al-Baqarah/2: 226. Kedua, istilah zurriyyah di‟āfan yang disebutkan didalam ayat ini. zurriyyah du‟afā Berarti “anak-anak (keturunan) yang masih kecilkecil, dalam arti belum dewasa”. Sedangkan kata
zurriyyah
di‟āfanberarti “keturunan yang serba lemah”, lemah fisik, mental, sosial ekonomi, ilmu pengetahuan, spiritual dan lain-lain yang menyebabkan
mereka tidak mampu fungsi utama manusia, baik sebagai khalifah maupun sebagai makhluk-Nya. (Depag RI, 2009: 122) Dalam ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud lemah itu, berarti yang lemah badannya. Melaikan lemah dalam segala hal. Baik lemah Iman sehingga lupa kalau manusia itu sebagai khalifah fi alardh,lemah dalam ilmu pengetahuan sehingga mereka kalah bersaing dalam mencari pekerjaan, lemah mental sehingga anak menjadi kurang percaya diri, lemah ekonomi sehingga anak hidup dengan kemiskinan, lemah sosial sehingga anak tidak mau membantu orang yang membutuhkan pertolongan/individual, lemah moral sehingga anak suka melanggar norma-norma sosial dan lain sebagainya. Selain itu ayat di atas bisa sebagai peringatan atau teguran kepada para orang tua untuk memikirkan masa depan anak-anaknya dengan membekali anak dengan ilmu agama, pengetahuan (iptek), sosial, ekonomi,moral dan lain-lain sebagai pertanggungjawaban mereka kepada Allah ketika mereka mati. Maka ayat di atas sejalan dengan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Nabi SAW berssabda:
ُ َُْ٘قٝ ِْ ٍَ ِّ َغُٞع ) ١٨٦٧ : َّشة: داٗدٜ(سٗٓ اب.ث َ ٝ ُْ َ بِبى ََشْ ِء ئِ ْث ًَب أََٚمف “cukuplah dosanya bagi orang-orang yang menyia-yiakan orang yang berhak diberi nafkah darinya” Pengertian “menyia-nyiakan”dalam
hadist
diatas adalah
mutlak. Artinya, siapa yang menyia-nyiakan hak anaknya dalam
pemberian nafkah, berarti ia telah meyia-nyiakan mereka, dan siapa yang menyia-nyiakan hak mereka dalam pendidikan, berarti ia juga telah menyia-nyiakannya, dan siapa yang telah menyia-nyiakan hak orang yang berada dalam tanggungjawabnya untuk mendapatkan pendidikan berarti ia telah menyia-nyiakan mereka, begitu juga dalam masalah cinta, keadilan, kasih sayang, dan seterusnya. 2. Pendidikan Orang Tua pada Anak yang diajarkan dalam alQur’an Surat at-Tahrīm ayat 6
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Kata (ٌ )ق٘اأّفضنqū anfusakum, secara kebahasan, terdiri darti dua suku kata, yaitu ( )ق٘اqū, yang merupakan bentuk amr lil jama‟ (kata perintah bentuk plural) dari (ٚ )ٗقwaqā, yang berarti janganlah oleh kalian, dan kata anfusakum yang berarti diri kalian. (Depag RI, jilid 10, 2009: 203). Sedangkan Kata waqā berasal dari kata (ٚ )ٗقwaqā, (ٜقٝ)
yaqī, (تٝ )ٗقبwiqāyatan, yaitu memelihara dari kesakitannya.(Yunus, 2007: 507). Dengan demikian kata qū anfusakum dalam konteks ayat ini bermakna perintah untuk senantiasa menjaga diri dan keluarga dari sengatan api neraka. Dari berbagai uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa, ayat diatas mengingingatkan kepada orang tua untukmenyelamatkan dirinya dan keluarganya khususnya dengan mendidik anakn-anaknya untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Dalam buku tafsir Departemen Agama RI, (2009: 204), dijelaskan bahwa diantara cara menyelamatkan diri dar dan keluarganya itu untuk untuk mendirikan shalat dan bersabar, sebagaimana firman Allah:
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat tdan sabar dalam mengerjakannya.” (Tāhā/20: 132)
“Dan berilan peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” (asy-Syu‟arā‟ 26: 214)
C. Implementasi Pendidikan Orang Tua pada Anak dalam Al-Qur’an Surat an-Nisā Ayat 9 dan at-Tahrīm Ayat 6 1. surat an-Nisā ayat 9 Secaca garis besar dari tafsir ayat ini, Allah SWT memberi peringatan kepada orang tua untuk memikirkan nasib anak-anaknya ketika ia tinggal mati dengan cara memberikan pendidikan dengan sebaik dan semaksimal mungkin kepada anak-anaknya sebagai bekal mereka hidup. Terlebih lagi dalam memberikan pendidikan Akidah atau Keimanan dan Ketakwaan kepada Allah SWT. Sehingga ketika ia meninggal ia tidak akan khawatir terhadap kesejahteraan anak-anaknya. Kata diāfan “Lemah” dalam ayat ini bukan berarti lemah secara fisikal saja. akan tetapi lemah dalam segala hal, lemah iman, ekonomi, sosial, mental ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari penafsiran ini, dapat disimpulkan bahwa ayat ini juga memerintahkan kepada orang tua bukan sekedar membekali anak dengan ilmu keagamaan saja tetapi juga membekali anak dengan ilmu ekonomi, sosial, mental (psikologi), dan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Surat at-Tahrīm ayat 6 Dalam kaitannya dengan kehidupan saat ini, tafsir ayat ini sangat relevan terlebih kaitannya dalam pendidikan anak. orang tua diperintahkan menjaga keluarganya dari siksa api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. Saat ini banyak sekali anak-anak yang berbuat melampaui batas mereka, banyak sekali kenakalan-kenakalan
yang dilakukan oleh anak. sehingga, orang tua memiliki kewajiban menberikan ilmu Tauhid atau keimanan dan ketakwaan kepada allah, Sebagai upaya untuk menjaganya mereka dari siksa api neraka.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang konsep pendidikan orang tua pada anak yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang telah disusun oleh peneliti, peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep Pendidikan Orang tua ada anak yang terkandung dalam ayatayat al-Qur‟an. Pendidikan orang tua pada anak yang ditanamkan oleh Allah dalam al-Qur‟an surat an-Nisā‟ ayat 9 dan at-Tahrīm ayat 6, yaitu meliputi tentang macam-macam pendidikan. Antara lainsebagai berikut: a. Pendidikan anak harus di perhatikan lebih serius oleh orang tua. b. Jangan orang tua mati dengan meninggalkan anak yang lemah, baik lemah secara iman,
fisikal, ekonomi, sosial, mental, dan ilmu
pengetahuan dn teknologi. c. Pendidikan Keimanan dan ketakwaan d. Pendidikan keluarga, menjaga keluarga dari siksa neraka dan berkata benar.. 2. Implementasi pendidikan orang tua pada anak dalam al-Quran. Suatu keberhasilan bagi orang tua adalah ketika mereka mampu mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang kuat. Baik itu kuat agamanya, ketawaannya kepada Allah, ekonomi, sosial, mental, ilmu
pengetahuan dan teknonologi dan lain sebagainya. Sehingga, ketika mereka meninggal. Anak-anak mereka bisa hidup mandiri dan beriman kepada Allah SWT bukan meninggalkan anak yang lemah yang akan menjadi terlantar dan ingkar kepada Allah SWT. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberi
saran
sebagtai berikut: 1. Kepada para orang tua Penanaman pendidikan pada anak hendaknya di perhatikan lebih serius bahkan hendaknya dilakukan sejak dini. Sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. 2. Kepada dunia pendidikan Islam Pendidik atau guru harus lebih menekankan kepada anak didiknya tentang betapa pentingnya agama dan ilmu sebagai bekal mereka untuk bertahan hidup ketika mereka dewasa. C. Penutup Mengakhiri penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan syukur yang tiada terkira kepada Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak rahmat dan nikmat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi tanpa halangan yang berarti dan selesai sesuai target yang telah di cita-citakan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap
adanya saran dan kritik yang membangtun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat dijadikan bahan kajian yang lebih lanjut dan dapat membawa manfaat khususnya bagipenilis dan umumnya bagi pembaca pada umumnya. Serta bagi nusa dan bangsa, khusunya masyarakat islam.