PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBINAAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA PADA MAHASISWA FAKULTAS TARBIYAH, IAIN SULTAN AMAI GORONTALO Lamsike Pateda Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo
A. PENDAHULUAN Komunikasi adalah aktivitas sosial yang dilakukan oleh masyarakat ujar (speech community) dalam berinteraksi dengan sesama sebagai produk budaya. Budaya komunikasi itu salah satunya dapat dikenali melalui wacana dilisankan, yakni yang berbentuk satuan kebahasaan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada kalimat. Dalam bentuknya yang utuh, sejalan dengan acuan teks sebagai representasi wacana dan sebagai rekaman verbal tindak komunikatif (Brown & Yule, 1983:3-4), wacana itu berupa teks, baik teks lisan (oral text) maupun teks tulis (written text). Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungannya. Ada dua cara untuk dapat melakukan komunikasi, yaitu secara tertulis dan secara lisan. Penggunaan bahasa secara tertulis merupakan hubungan tidak langsung, sedangkan penggunaan bahasa secara lisan adalah hubungan secara langsung. Dalam hubungan langsung akan terjadi sebuah tuturan antar individu atau kelompok. Tuturan yang terjadi mengakibatkan adanya peristiwa tutur dan tindak tutur. Bahasa menunjukkan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme, menghujat, memaki, memfitnah, mengejek atau melecehkan akan mencitrakan pribadi yang tidak berbudi. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bagi masyarakat umum maupun para pelajar tampaknya masih menjadi istilah yang kabur. Oleh sebab itu, selaku ilmuwan yang membidangi ilmu bahasa, perlulah menjelaskan, memaparkan, dan meluruskan hal tersebut. Di samping untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap ilmu bahasa, sastra, dan pengajarannya, maka penulis berkewajiban untuk memberikan informasi tentang masalah yang berhubungan dengan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara (Suhendar dan Supinah,1992:88). Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki oleh bahasa Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Kedudukan ini dimungkinkan oleh kenyataan bahwa bahasa Melayu, yang mendasari bahasa Indonesia itu telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad di kawasan tanah air Indonesia. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara, sesuai dengan ketentuan yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36, yang menyatakan bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (a) lambang kebanggaan kebangsaan; (b) lambang identitas nasional; (c) alat memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia; dan (d) alat perhubungan antar daerah dan antar budaya. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (a) bahasa resmi kenegaraan; (b) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan; (c) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah; dan (d) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Penggunaan Bahasa Indonesia yang benar adalah pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku. Adapun pemakaian Bahasa Indonesia yang baik atau tepat adalah pemakaian bahasa Indonesia yang memanfaatkan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur (Depdikbud,1988:19). Oleh karena itu, berbahasa Indonesia yang baik dan benar dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dengan mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang benar. Kenyataan menunjukkan bahwa penutur bahasa Indonesia di dalam berkomunikasi masih banyak yang belum memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini diakibatkan oleh ketidaktahuan masyarakat terhadap Bahasa Indonesia yang baik dan benar, ketidakpedulian masyarakat terhadap terpeliharanya bahasa Indonesia, atau masih adanya anggapan-anggapan yang negatif yang merugikan bahasa Indonesia. Anggapan-anggapan itu antara lain: (a) bahwa bahasa sendiri tidak perlu dipelajari; (b) bahwa Bahasa Indonesia sudah wajar dimiliki oleh bangsa
Indonesia, sehingga dianggap murah dan tidak perlu dipelihara dengan susah payah; (c) bahwa bahasa Indonesia lebih mudah daripada bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya; (d) bahwa bahasa Inggris lebih bagus dan ilmiah daripada bahasa Indonesia; dan (e) bahwa Bahasa Indonesia tidak mampu menjadi bahasa murni (Hastuti,1983:1). Pada hakikatnya, bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan gagasan atau pendapatnya sehingga terjadi komunikasi antara satu dengan yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam dunia pendidikan, bahasa Indonesia memegang peranan penting. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia adalah bahasa penunjang/bahasa pengantar dalam kegiatan pembelajaran. Begitu besar peran bahasa Indonesia bagi dunia pendidikan sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa yang selalu digunakan dalam semua buku-buku/ materi pelajaran. Melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan mahasiswa dapat mencerminkan sikap dan perilaku yang baik pula dari mahasiswa sebagai insan akademik dan panutan bagi masyarakat pengguna bahasa itu sendiri sehingga tercipta karakter mahasiswa yang sopan dan santun dalam berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Selain itu, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Untuk mewujudkan generasi yang memiliki pola perilaku dan cara berpikir yang baik, maka dapat dibentuk melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata kuliah. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilainilai pada setiap mata kuliah perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan mahasiswa sehari-hari di masyarakat terutama dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam perkuliahan atau dalam situasi formal, mahasiswa wjib menggunakan bahasa yang santun dalam berkomunikasi dengan siapapun. Bahasa yang santun ini tetap pada kaidah bahasa yang baik dan benar. Tujuan berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan social. Dalam menjalin hubungan sosial ini dapat dilakukan dengan menggunakan strategi tertentu, baik dengan menggunakan ungkapan kesopanan, ungkapan implisit dan basa-basi (Syamsul Anam, 2001:152). Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi berjalan baik, dalam artian bahwa pesan yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dengan tanpa merusak hubungan sosial diantara keduanya. Dengan demikian, setelah proses komunikasi selesai antara pembicara dan lawan bicara, maka antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang mendalam, misalnya: kesan ramah, simpatik, sopan, dan santun. Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter melalui pembinaan penggunaan bahasa Indonesia pada mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo. Adapun rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pembinaan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo? 2. Apakah pembinaan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo dapat mewujudkan karakter mahasiswa yang baik dan santun? 3. Apakah pendidikan karakter dapat dilakukan melalui pembinaan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo?
B. KAJIAN PUSTAKA 1. Hakikat Pendidikan Karakter Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan. Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte. Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah menengah perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan baik di tingkat sekolah menengah maupun diperguruan tinggi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. 2. Hakikat Penggunaan Bahasa Indonesia Penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, terutama bahasa tulis, perlu ditingkatkan mutunya agar seluruh dokumen tulis dapat menggambarkan penggunaan bahasa Indonesia yang taat pada sistem/kaidah bahasa. Peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia itu meliputi bidang ilmu dan teknologi serta kebudayan. Upaya tersebut meliputi bahasa Indonesia pada karya ilmiah, buku rujukan/acuan, media massa, karya seni, dan sebagainya. Ada dua langkah yang dapat ditempuh, yaitu (1) penelitian terhadap semua jenis dan ragam dokumen tulis dan lisan, (2) pemeriksan semua bahan yang akan dicetak terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Strategi pertama ditempuh untuk memperbaiki dokumen yang telah dihasilkan sehingga pada penerbitan selanjutnya tidak terjadi kelemahan penggunaan bahasa dalam publikasi tersebut. Demikian juga, pemeriksan rekaman bahasa lisan (terutama media televisi yang amat strategis itu) akan sangat bermanfaat dalam perbaikan publikasi (atau siaran) selanjutnya. Sementara itu, strategi kedua ditujukan untuk mencegah pencetakan dan peredaran buku/publikasi yang penggunaan bahasanya tidak baik. Jika pemeriksaan dilakukan pada
semua bahan yang akan dicetak dan dilakukan secara berkelanjutan, pada satnya bahasa Indonesia akan memiliki kewibawaan di dalam masyarakat pendukungnya. Pemasyarakatan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, selain melalui jalur penyuluhan, dilakukan pula melalui media cetak ataupun elektronik serta media luar ruang, seperti iklan layanan imbauan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Dalam upaya penyiapan generasi ke depan penanaman kecintaan terhadap bahasa Indonesia dilakukan melalui perbaikan sistem pengajaranbahasa yang lebih menekankan aspek kemampuan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sehingga mereka memiliki kepekan terhadap estetika dan etika dalam berbahasa Indonesia. Upaya itu juga harus dibarengi dengan penciptaan calon guru profesional yang memiliki kompetensi mengajar di kelas dengan baik. Minat penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar tersebut dikembangkan pula melalui penyelenggaraan sayembara menulis, baik menulis kreatif maupun menulis ilmiah terutama ditujukan pada mahasiswa. Di kalangan media cetak dan elektronik, melalui Forum Bahasa Media Massa, setiap bulan diadakan diskusi ihwal penggunaan bahasa Indonesia di dalam media cetak ataupun elektronik yang selain diikuti kalangan jurnalistik juga diikuti pakar bahasa. Upaya meningkatkan martabat penggunaan bahasa Indonesia dilakukan juga melalui pemberian penghargaan terhadap pengguna bahasa terbaik para tokoh pemerintahan ataupun tokoh masyarakat. Pengembangan kreativitas dan daya apresiasi terhadap bahasa di kalangan generasi ke depan dilakukan melalui penyelenggaraan bengkel-bengkel bahasa dan sastra di sekolah-sekolah dengan menghadirkan para penulis nasional ataupun penulis lokal di sejumlah provinsi di Indonesia. Dalam upaya mengukuhkan komitmen bangsa yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 1928, setiap bulan Oktober diadakan Bulan Bahasa dan Sastra yang kini diselenggarakan di seluruh Indonesia melalui Balai/Kantor Bahasa ataupun di perguruan tinggi dan bahkan di sekolah. 3. Pembinaan Penggunaan Bahasa Indonesia pada Mahasiswa Ada empat keterampilan berbahasa (language skill) yang menjadi muara akhir perkuliahan bahasa Indonesia. Keempat keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan menyimak (listening skill), keterampilan membaca (reading skill), keterampilan berbicara (speaking skill), dan keterampilan menulis (writing skill). Sebagai salah satu tujuan akhir pembelajaran bahasa Indonesia, keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling kompleks apabila dibandingkan dengan ketiga keterampilan yang lain. Menyampaikan ide, gagasan, maupun pikiran melalui bahasa tulis bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagi para pemula. Oleh karena itu, dibutuhkan kiat tertentu untuk menjalankannya. Selanjutnya, berkait dengan kemampuan berbahasa Indonesia penelitian Alwasilah (2000) menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa untuk memahami aspek kebahasaan sebenarnya cukup baik, namun apabila diminta untuk mengaplikasikan dalam tulisan, para mahasiswa ini mengalami kesulitan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian lebih lanjut tentang kemampuan penggunaan bahasa Indonesia untuk menulis ilmiah, diperoleh data kurangnya kemampuan dan tidak sedikitnya kesalahan dalam menulis ilmiah para mahasiswa (Murtono, 2008). Kesalahan aplikasi ini terjadi pada semua aspek kebahasaan, yaitu aspek ejaan, fonologi, morfologi, sintaksis, dan paragraf. Di samping itu juga logika dalam berbahasa yang berupa kohesi dan koherensi dalam penulisan. Implementasi pembinaan penggunaan bahasa Indonesia dalam pembelajaran dibutuhkan suatu strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi pembelajaran merupakan proses interaksi komunikasi aktif siswa dengan guru atau mahasiswa dengan dosen. Hal ini diharapkan agar dapat mencapai proses pembelajaran yang efektif, efisien, menarik, dan juga bermutu tinggi. Proses pembelajaran ini ditandai dengan adanya keterlibatan peserta didik secara komprehensif, baik fisik, mental, maupun emosional, serta mencapai hasil belajar yang optimal. Dengan mengikuti berbagai cara atau strategi penggunaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa diharapkan dapat membentuk karakter mahasiswa sehingga menjadi contoh bagi masyarakat. Lingkungan perguruan tinggi merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan tertinggi untuk selalu membina mahasiswa dalam berbagai bidang kajian ilmu. Bahasa indonesia merupakan salah satu bentuk kajian bidang ilmu yang harus diperhatikan. Penggunaan bahasa yang dipakai oleh mahasiswa dapat menunjukkan tingkat kemartabatannya dalam budaya berkomunikasi dengan orang lain. Dalam hal ini bahasa adalah hal yang perlu dibina secara kontinyu dan konsisten. Bahasa Indonesia merupakan bentuk komunikasi yang terwujud dari kebudayaan suatu kelompok masyarakat Indonesia. Pembangunan peradaban komunikasi bangsa Indonesia dapat diwujudkan melalui pemberdayaan bahasa Indonesia. Pemberdayaan bahasa Indonesia ini berperan sebagai proses pembentukan budaya komunikasi bangsa yang menandai tingkat peradaban komunikasi bangsa Indonesia.
Berdasarkan paparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pembinaan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya, adat istiadat bangsa Indonesia yang heterogen (yang di dalamnya terkandung pula pendidikan karakter). 4. Pendidikan Karakter sebagai upaya membina Kesantunan Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar pada Mahasiswa Fraser dalam Asim Gunawan (1994:87), mendefinisikan kesantunan berbahasa adalah “Property/ Associated with neither exceeded any right nort failed to fullfill any obligation”, dengan kata lain bahwa santun bahasa adalah property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar atau penutur, si penutur tidak melampauai hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Santun bahasa tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tapi juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dikelola oleh para pemeran sertanya. (Geoffrey Leech, 1993:219) lebih lanjut Masnur Muslich (2006) menyatakan bahwa dengan mengetahui tata cara berbahasa, diharapkan orang lebih dapat memahami kesan yang disampaiakan dalam komunikasi karena tata cara berbahasa bertujuan untuk mengatur serangkaian hal berikut. a) Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu. b) Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu. c) Kapan dan bagaimana giliran berbicara dalam pembicaraan sela diterapkan. d) Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara. e) Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara. f) Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan. Prinsip santun berbahasa merupakan sebuah kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan social, psikologis, dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur (Harun Joko Prayitno, 2009:7). Santun bahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi antara pembicara dan pendengar tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya menyampaikan ide yang dipikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat. Menurut Leech (1993) dalam Masnur Muslich santun berbahasa pada dasarnya harus memperhatikan empat prinsip yaitu, (1) prinsip kesopanan atau kesantunan (politeness principle) dalam berbahasa, (2) penghindaran kata tabu (taboo), (3) penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. (4) penggunaan pilihan kata honorifik (ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain). Kata honorifik ini tidak hanya berlaku pada bahasa yang mengenal tingkatan tetapi berlaku juga pada bahasa yang mengenal tingkatan. Bahasa yang mengenal tingkatan biasanya ditemukan pada tataran bahasa jawa, sedangkan bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan sebagai contoh sebutan kata diri seperti, Engkau, Anda, Saudara, Bapak atau Ibu, mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Pembinaan dan pembudayaan penggunaan bahasa Indonesia yang santun dari segi kesantunan, semakin kini terdapat gejala penggunaan bahasa Indonesia yang tidak semakin santun, melainkan semakin tidak santun, setidak-tidaknya ada gejala ketidakcocokan antara norma kesantunan dan praktik penggunaan bahasa. Pelanggaran prinsip tidak mencoreng muka sering terungkap dalam komunikasi umum. Motivasi penutur untuk membuat mitra tutur merasa malu, setidaknya merasa tidak dihargai menjadi penyebab terwujudnya tuturan yang tidak santun. Menghadapi kondisi tersebut, pembudayaan penggunaan bahasa Indonesia yang santun merupakan kiat yang tepat dalam pembangunan peradaban komunikasi bangsa. Dalam kaitan itu, sejalan dengan budaya paternalistik, anggota komunitas elit perlu menjadi teladan penutur yang peduli dengan kesantunan. Pendidikan Bahasa Indonesia dapat diarahkan pada pembentukan watak penutur yang peduli dengan kesantunan. Pembudayaan penggunaan bahasa Indonesia yang santun tidak hanya berlaku pada penggunaan unsur segmental. Peragaan berbahasa Indonesia yang santun dengan pemberdayaan unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, dan intonasi memiliki potensi besar untuk membudayaan penggunaan bahasa yang santun. Budaya komunikasi dalam arah pembangunan peradaban komunikasi bangsa dapat dibentuk melalui dua pilar prinsip pragmatik, yakni prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Sebagaiman dikemukakan Grice, prinsip kerja sama mengandung empat maksim, yakni (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim hubungan, dan (4) maksim cara. Tingkat peradaban komunikasi tidak cukup dengan prinsip kerja sama. Karena itu, prinsip kerja sama itu harus dilengkapi dengan prinsip kesantunan yang berisi maksmim-maksim berikut: (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepahaman, dan (6) maksim simpati.
Budaya komunikasi Mahasiswa di perguruan tinggi dapat dikenali dari wacana bahasa Indonesia yang mereka gunakan di lingkungan kampus. Berdasarkan berbagai referensi dan fakta, dapat dilihat budaya komunikasi yang perlu dibenahi, yang secara dominan tampak pada butir-butir berikut: (1) budaya komunikasi tidak langsung, (2) budaya komunikasi cari selamat, dan (3) budaya berkomunikasi kurang efektif dan efisien, dan (4) budaya komunikasi yang kurang percaya diri. Kesantunan dalam berkomunikasi bersifat kontekstual, artinya berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Kesantunan selalu memiliki dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, antara mahasiswa dan dosen,dan sebagainya (Masnur Muslich, 2006:1). C. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yaitu suatu upaya memaparkan atau mendeskripsikan lebih lanjut mengenai peranan pembinaan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amain Gorontalo sehingga dapat membentuk karakter mahasiswa yang ilmiah, sopan, dan santun dalam berkomunikasi. Untuk mengumpulkan data penelitian dilakukan melalui pengamatan, wawancara, dan studi pustaka. Data yang telah dikumpulkan lalu di analisis. Adapun populasi dan sampel penelitian adalah para mahasiswa Fakultas Tarbiyah, IAIN Sultan Amai Gorontalo tahun akademik 2010/2011. D. PEMBAHASAN Menurut Menteri Pendidikan Nasional - M. Nuh (2010) dalam Sambutannya pada Buku Pendidikan Karakter dalam Membangunan Bangsa bahwa pendidikan karakter harus berpijak pada nilai-nilai seperti olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa serta karsa. Artinya bahwa pendidikan karakter harus dilakukan secara komprehensif dan integral, baik di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan sekitarnya. Ajaran agama, nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat, merupakan sumber nilai yang harus terus menerus dikembangkan. Tokoh masyarakat, baik agama, politik, dan pemerintah haruslah menjadi panutan bagi generasi muda. Upaya melaksanakan pendidikan karakter pada mahasiswa melalui pembinaan penggunaan bahasa Indonesia belum berjalan maksimal. Hal ini ditandai oleh adanya berbagai bentuk-bentuk komunikasi lisan maupun tulisan yang digunakan oleh mahasiswa namun belum sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa bentuk kekeliruan berbahasa yang dilakukan oleh mahasiswa, meliputi; 1) kekeliruan terkait dengan keefektifan kalimat, 2) ketidaklengkapan fungsi kalimat, 3) kekeliruan penggunaan kata “yang”, 4) kekeliruan penggunaan kata jamak, dan 5) penggunaan kata konjungsi. 1. Kekeliruan Keefektifan Kalimat Kesalahan keefektifan kalimat biasanya terletak pada ketidakefektifan kalimat yang disusun karena tidak adanya kesatuan informasi atau arti dan bentuk yang ingin disampaiakan. Bahkan, ada pula pernyataan yang hanya berisi jajaran kata-kata saja tanpa arti yang jelas sehingga tidak membentuk sebuah kalimat yang utuh dari segi bentuk dan maknanya. Contoh-contoh kesalahan keefektifan kalimat: (a) Keluarga-keluarga yang asalnya dari daerah pedalaman, yang merupakan sebagaian besar adalah petani, biasanya sering tinggal di luar kota untuk waktu yang lama. (b) Setelah mengunjungi banyak objek wisata, saya, dan teman-teman, serta para tutor beristirahat dengan duduk melingkar sambil menyanyi, bercanda, dan makan makanan yang disiapkan oleh kakak pemandu wisata. (c) Kami mengunjungi orang-orang Jawa di pabrik batik untuk melihat jenis-jenis batik yang berbeda. Alternatif pembenarannya: (a) Keluarga dari daerah pedalaman, yang sebagaian besar adalah petani, sering tinggal di luar kota untuk waktu yang lama. (b) Setelah mengunjungi berbagai objek wisata, kami dan para tutor beristirahat dengan duduk melingkar sambil menyanyi, bercanda, dan makan makanan yang disiapkan oleh ibu itu. (c) Kami mengunjungi orang Jawa di pabrik batik untuk melihat jenis-jenis batik yang berbeda. 2. Kekeliruan Ketidaklengkapan Fungsi Kalimat
Kesalahan-kesalahan ini berupa ketidaklengkapan fungsi kalimat yang meliputi tidak adanya subjek, predikat yang tidak jelas, dan penghilangan objek pada predikat berverba transitif. Beberapa mahasiswa secara tidak sadar ketika melakukan kesalahan tersebut. Contoh ketidaklengkapan fungsi kalimat antara lain sebagai berikut. Contoh kesalahan karena tidak bersubjek: (a) Di pantai suasana terasa menarik dan indah tetapi cuacanya panas. (b) Sementara banyak orang yang mau belajar untuk menjadi guru merupakan ide bagus! Alternatif pembenarannya, (a) Pantai Yogyakarta terasa menarik dan indah tetapi cuacanya terkesan panas. (b) Ada banyak orang yang mau belajar untuk menjadi guru. Ini ide bagus! 3. Kekeliruan Penggunaan ‘yang’ Kesalahan pemakaian ‘yang’ yang dilakukan mahasiswa dalam menulis ilmiah biasanya menuliskan kata yang secara berulang-ulang, sehingga dalam satu kalimat dirasakan kurang efektif dan tidak jelas maknanya. Adapun beberapa contohnya sebagai berikut. (a) Menurut kakak saya, TKW mempunyai peran yang penting sekali di dalam menambah kas devisa negara, sehingga harus diperhatikan. (b) Hampir semua segi bahwa saya mencari yang bisa dihubungan dengan seluruh Indonesia. Alternatif pembenarannya: (a) Menurut kakak saya, TKW mempunyai peran penting sekali di dalam menambah kas devisa negara, sehingga harus diperhatikan. (b) Hampir semua segi yang saya temukan bisa dihubungan dengan seluruh Indonesia. 4. Kekeliruan Penggunaan Kata Jamak Bentuk jamak dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan mengulang nomina, penggunaan numeralia, dan penggunaan penanda jamak seperti, beberapa, sejumlah, para, banyak, sedikit, dsb. Apabila bentuk-bentuk itu digunakan nomina yang bersangkutan harus dalam bentuk tunggal. Contohnya, buku-buku, 125 buku, beberapa buku. Kesalahan dalam hal ini adalah pemakaian bentuk beruntun ketika mereka membuat bentuk jamak. Mereka memakai penanda jamak tetapi nomina tetap diulang atau sebaliknya ada penanda tunggal tetapi nominanya jamak. 5. Kekeliruan Penggunaan Konjungsi Konjungsi berfungsi sebagai penghubung frasa dan klausa dalam kalimat. Selain itu, konjungsi juga berfungsi sebagai penghubung antarkalimat dalam suatu paragraf. Kesalahan penggunaan konjungsi ini akan berakibat tidak jelasnya makna kalimat karena hubungan antarfrasa dan antarklausa tidak jelas. Hal inilah yang menimbulkan makna ambiguitas suatu kalimat. Sebagai contoh hal berikut ini. Contoh kesalahan penggunaan konjungsi: (a) Murid-murid maju kedepan untuk mengambil nomor ujian. (b) Gereja ini membangun dengan melalui uang dari orang-orang yang menghadiri gereja ini. (c) Oleh sebab itu apabila dihadapkan pada praktek di lapangan kerja, permasalahan ini tertuju daripada masalah pendidikan yang kurang memadai. Alternatif pembenarannnya: (a) Murid-murid maju untuk mengambil nomor ujian. (b) Gereja ini membangun dengan uang dari orang-orang yang menghadiri gereja ini. (c) Oleh sebab itu, apabila dihadapkan pada praktek di lapangan kerja, permasalahan ini bertumpu pada masalah pendidikan yang kurang memadai. Berdasarkan beberapa bentuk kekeliruan yang ditemui pada penggunaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo yang menyebabkan tidak munculnya karakter sebagai seorang intelektual atau terpelajar, maka solusi yang harus ditempuh adalah perlunya pembudayaan penggunaan penggunaan bahasa Indonesia yang santun dari segi kesantunan. Permasalahannya saat ini adalah terdapat gejala penggunaan bahasa Indonesia yang tidak semakin santun. Pelanggaran prinsip penggunaan dan penempatan bahasa, setidaknya dapat memunculkan rasa tidak saling dihargai menjadi penyebab terwujudnya tuturan yang tidak santun.
Menghadapi kondisi tersebut, pembudayaan penggunaan bahasa Indonesia yang santun merupakan kiat yang tepat dalam pembangunan peradaban komunikasi bangsa. Dalam kaitan itu, sejalan dengan budaya paternalistik, anggota komunitas elit perlu menjadi teladan penutur yang peduli dengan kesantunan. Pendidikan Bahasa Indonesia dapat diarahkan pada pembentukan watak atau karakter penutur yang peduli dengan kesantunan. Pembudayaan penggunaan bahasa Indonesia yang santun tidak hanya berlaku pada penggunaan unsur segmental. Peragaan berbahasa Indonesia yang santun dengan pemberdayaan unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, dan intonasi memiliki potensi besar untuk membudayaan penggunaan bahasa yang santun. Budaya komunikasi dalam arah pembangunan peradaban komunikasi bangsa dapat dibentuk melalui dua pilar prinsip pragmatik, yakni prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Sebagaimana dikemukakan Grice, prinsip kerja sama mengandung empat maksim, yakni (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim hubungan, dan (4) maksim cara. Tingkat peradaban komunikasi tidak cukup dengan prinsip kerja sama. Karena itu, prinsip kerja sama itu harus dilengkapi dengan prinsip kesantunan yang berisi maksmim-maksim berikut: (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepahaman, dan (6) maksim simpati. Budaya komunikasi Mahasiswa di perguruan tinggi dapat dikenali dari wacana bahasa Indonesia yang mereka gunakan di lingkungan kampus. Kesantunan dalam berkomunikasi bersifat kontekstual, artinya berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Kesantunan selalu memiliki dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, antara mahasiswa dan dosen,dan sebagainya (Masnur Muslich, 2006:1). Berdasarkan berbagai referensi dan fakta, dapat dilihat budaya komunikasi yang perlu dibenahi, yang secara dominan tampak pada butir-butir berikut: (1) budaya komunikasi tidak langsung, (2) budaya komunikasi cari selamat, dan (3) budaya berkomunikasi kurang efektif dan efisien, dan (4) budaya komunikasi yang kurang percaya diri.
E. KESIMPULAN Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dapat pula dikatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembinaan dan pembudayaan penggunaan bahasa Indonesia yang santun perlu dilakukan, mengingat dewasa ini nampak gejala penggunaan bahasa Indonesia yang tidak santun, sehingga muncul adanya ketidakcocokan antara norma kesantunan dan praktik penggunaan bahasa. Pemasyarakatan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, selain melalui jalur pendidikan, perlu juga dilakukan melalui media cetak ataupun elektronik serta media luar ruang, seperti iklan layanan imbauan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Dalam upaya penyiapan generasi ke depan penanaman kecintaan terhadap bahasa Indonesia dilakukan melalui perbaikan sistem pengajaran bahasa yang lebih menekankan aspek kemampuan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sehingga mereka memiliki kepekaan terhadap estetika dan etika dalam berbahasa Indonesia. Dengan demikian, pendidikan karakter sangat berperan untuk meningkatkan kesantuanan berbahasa setiap orang termasuk mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo yang tercermin dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Demikian sebaliknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai situasi dan konteksnya akan mencerminkan karakter pribadi si pembicara dalam komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Membenahi Kuliah MKDU Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Dalam Kaswanti Purwa (Ed). Kajian Serba Linguistik untuk Anton M. Moeliono Pereksa Bahasa. Halaman 677- 693. Jakarta: BPK Gunung Mulia dalam kerja sama dengan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Alwi, Hasan, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan. (Ed.). Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Bahasa. Asim Gunawan. 1994. Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosoipragmatik”. Makalah PELLBA VII, Unika Atma Jaya, Jakarta, 26-27 Oktober 1993. Brown, Gillian & George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Depdikbud. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hastuti, Sri, P.H. 1983. Permasalahan dalam Bahasa Indonesia. Intan. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D. Oka dari judul asli The Principles of Pragmatics. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Muslich, Masnur. 2006. “Kesantunan Berbahasa Indonesia Sebagai Pembentuk Kepribadian Bangsa” dalam http//researchengingnes.com/1006masnur2. html. diakses pada tanggal 2 April 2010. Suhendar dan Pien Supinah. 1992. Seri Materi Kuliah MKDU Bahasa Indonesia (Kebahasaan). Bandung: Pionir Jaya.