MEMBANGUN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) BANGSA MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER Dra. Satria Koni, M.Pd. IAIN SULTAN AMAI GORONTALO Abstrak Bangsa Indonesia dewasa ini tengah mengalami semacam split personality, sejumlah pristiwa yang mengarah pada dekadensi moral menunjukkan bahwa bangsa ini telah hampir kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang dikenal beradab dan bermartabat. Sementara tradisi pendidikan tampak belum matang untuk memilih pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan masyarakat. Di tengah kondisi tersebut, pendidikan holistik berbasis karakter yang menekankan pada dimensi etis-religius menjadi relevan diterapkan. Pendidikan holistik merupakan filosofi pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya pendidikan individu dapat menemukan identitas, makna, dan nilai-nilai spiritual. Pendidikan moral ini dapat membentuk generasi bangsa yang memiliki karakter yang mengakar pada budaya dan nilai-nilai religius bangsa, sebagaimana negeri Cina yang mampu melahirkan generasi handal justru dengan mengedepankan karakter dan tradisi bangsanya. Indonesian nation today is experiencing a kind of split personality, which leads to a number of events be moral decadence showed that the nation had almost lost their identity as a nation is known civilized and dignified. While the tradition of education appeared to be not ripe for the picking performance character education as cultural and religious in public life. In the midst of these conditions, character-based holistic education that emphasizes ethical-religious dimension becomes relevant applied. Holistic education is a philosophy of education that departs from the idea that education is essentially an individual can find identity, meaning, and spiritual values. Moral education is to form a generation of people that has a character rooted in the cultural and religious values of the nation, as the Chinese state could produce reliable even with the advanced generation of character and traditions of his people Kata kunci: Pendidikan Karakter . Pendahuluan Di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sebagaian besar sedang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak sedikit orang di negeri ini yang mempunyai jabatan melakukan tindakan korupsi. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak bermoral, tindakan tidak manusiawi, bahkan tindakan biadab. Pegawai yang melakukan korupsi ini membuat orang marah, kenapa pegawai yang sudah digaji cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan sudah disumpah untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti korupsi pada waktu tetap saja melakukan korupsi. Kenapa orang yang mempunyai kedudukan seperti itu tega mengambil uang rakyat. Padahal disisi lain banyak di plosok-plosok negeri ini masyarakat yang kelaparan. Bangsa ini sedang menghadapi banyak masalah. Permasalahan yang sangat penting adalah masalah moral/masalah karakter masyarakat negeri ini. Selain masalah kemerosotan moral/karakter bangsa adalah masalah perekonomian, pendidikan, kesehatan, penyalahgunaan tekhnnologi, dan kemiskinan.
Saat ini Indonesia memerlukan sumber daya manusia (SDM) dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Pemulihan ekonomi Indonesia saat ini yang sudah berada di jalur yang mendekati tepat masih dihantui pembangunan manusia yang semakin merosot, oleh karena itu dibutuhkan prioritas utama bagi "penyerasian" antara pembangunan ekonomi dan pembangunan SDM. Perlu diingat bahwa besarnya investasi yang dilakukan di sektor SDM tidak akan membawa hasil yang baik bagi pertumbuhan ekonomi tanpa disertai peningkatan kualitas SDM yang dibutuhkan dan sarana-sarana penunjang. Jadi jelas, langsung atau tidak langsung, kualitas sumber daya manusia itu mempunyai peran yang paling utama dan sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi. Indikator kualitas sumber daya manusia itu dapat berupa tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk memacu pertumbuhan ekonominya diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter. Namun tingginya kualitas sumber daya manusia tidak dapat diukur dengan angka-angka semata, tetapi dapat
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
179
dilihat dari bagaimana prosesnya dan apa yang dihasilkannya. Prosesnya adalah dengan menggunakan cara-cara terpuji atau tercela, sedangkan hasilnya manusia itu menjadikan manusia yang berkarakter baik atau tidak dan dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak? Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa penentuan bagi pembentukan karakter seseorang. Kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak. Pendidikan karakter bukan saja dapat membuat seorang anak mempunyai akhlak yang mulia, tetapi juga dapat meningkatkan keberhasilan akademiknya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara keberhasilan pendidikan karakter dengan keberhasilan akademik, serta perilaku pro-sosial anak, sehingga dapat membuat suasana sekolah dapat begitu menyenangkan dan kondusif untuk proses belajar-mengajar yang efektif. Anak-anak yang berkarakter baik adalah mereka yang mempunyai kematangan emosi dan spiritual tinggi, sehingga dapat mengelola stressnya dengan lebih baik, yang akhirnya dapat meningkatkan kesehatan fisiknya. Para pakar pendidikan berpendapat bahwa terlalu menekankan pendidikan akademik (kognotif atau otak kiri) dan mengucualikan pendidikan karakter (kecerdasan emosi atau otak kanan), adalah penyebab utama gagalnya membangun manusia yang berkualitas. Hal ini dibuktikan dari beberapa studi yang menunjukkan bahwa keberhasilan manusia dalam dunia kerja 80 persen ditentukan oleh kualitas karakternya, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kemampuan akademiknya.Sehingga tidak berlebihan untuk menempatkan pendidikan karakter sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia seutuhnya, dimana karakter adalah input yang penting sekali dalam pembangunan sumber daya manusia. Bahkan manusia bukan saja harus mempunyai kecerdasan emosi, tetapi harus mempunyai kecerdasan spiritual (spiritual quotient-SQ) agar dapat menjadi manusia yang sebenarnya manusia. Kualitas mutu sumber daya manusia sekarang sudah
180
dilihat secara holistik, membuat aspek kecerdasan emosi dan spiritual menjadi aspek yang penting, dan pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai kebajikan universal menjadi input yang sangat menentukan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia secara utuh. Karakter Sebagai Pondasi Kehidupan Bangsa Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Wynne, 1991). Oleh sebab itu seseorang yang berprilaku tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter terkait dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral yang berlaku. Pengertian karakter menurut Lickona (1992:51) dalam pembelajaran adalah: “Character consist of operative values, values in action. Character conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior. Good character consist of knowing the good, desiring the good and doing the good-habits of the mind, habits of the heart and habits of action”. Pernyataan diatas dapat dijelaskan bahwa karakter terdiri dari nilai-nilai tindakan. Karakter yang dipahami mempunyai tiga komponen saling berhubungan yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan yang baik, menginginkan yang baik dan melakukan kebiasaan yang baik pula dari pikiran, kebiasaan dan tindakan. Istilah karakter dalam kamus besar bahasa Indonesia (2005:1270) diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Sedangkan watak dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat batin, masyarakat yang mempengaruhi segenap pikiran dalam tingkah laku, budi pekerti, tabiat dasar. Begitu juga karakter menurut Alwisol (2006:8) diartkan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Akan tetapi baik kepribadian (personality), maupun karakter berujud tingkah laku yang ditunjukan ketingkah sosial. Keduanya relatif permanen serta menuntun,
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
mengarahkan, dan mengorganisasikan aktivitas individu. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Karakter, dalam khazanah filsafat , dapat diletakkan sebagai bagian dari etika. Ada beberapa teori etika yang ada dalam sejarah. Socrates yang menyerukan pengenalan diri sebagai awal pembentukan diri manusia adalah filsuf yang meyakini bahwa pengetahuan tentang baik dan buruik ada dalam diri manusia. Tugas guru atau filsuf adalah membidaninya, membantu mengeluarkan potensi baik buruk itu dari sang murid. Sementara Aristoteles berpendapat bahwa etika merupakan suatu keterampilan semata dan tidak ada kaitannya dengan potensi dasar. Kepribadian merupakan hasil dari latihan dan pengajaran. Artinya seorang yang berlatih dan belajar untuk berbuat baik akan menjadi seorang yang bermoral. Aristoteles kemudian mengemukakan teori tentang moderasi (hadd al-wasath) yang menyatakan bahwa moral yang baik sesungguhnya identik dengan memilih segala sesuatu yang bersifat “tengah-tengah”. Artinya, pada dasarnya setiap perbuatan bersifat netral. Suatu tindakan dapat disebut baik jika ditempatkan pada posisi yang moderat (tidak berlebihan dan tidak berkekurangan). Kemudian Aristoteles mengemukakan tujuan tindakan etis yaitu menuju kebahagiaan yang bersifat intelektual (eudemonia). Sementara dalam pemikiran Islam, perumusan etika cukup beragam. Amin Abdullah mencatat ada beberapa corak pemikiran Islam mengenai etika. Pertama etika itu bersifat fitri. Artinya semua manusia pada hakikatnya (apa pun agamanya) memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Pemikiran ini dianut oleh sebagian besar pemikir Islam, kecuali beberapa pemikir Mu’tazilah. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya . Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles mengenai moderasi. Ketiga tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan pada pelakunya. Di
antara para filsuf, Ibn Maskawih juga Nashiruddin Thusi menegaskan hal ini. Keempat, tindakan etis bersifat rasional. Kelima, etika merupakan sebuah kewajiban. Kelima, etika merupakan sebuah kewajiban. Karakter bangsa dibentuk oleh semua warga negaranya, dimana warga negara mempunyai sifatsifat, kebiasaan, prinsip-prinsip kehidupan dan aturan yang berbeda-beda. Karakter bangsa merupakan cerminan karaktersitik warga negaranya yang beragam budaya. Oleh karena itu karakter bangsa dibentuk berdasarkan nilai-nilai tradisi budaya masyarakatnya berdasarkan nilai luhur yang bersifat umum dan dapat diterima oleh semua masyarakat. Karakter bangsa bukan agregasi karakter perseorangan, karena karakter bangsa harus terwujud dalam rasa kebangsaan yang kuat dalam konteks budaya yang beragam. Karakter bangsa mengandung perekat kebudayaan, yang harus terwujud dalam kesadaran kebudayaan (cultural awareness) dan kecerdasan kebudayaan (cultural intelligence) setiap warga negaranya. Karakter menyangkut prilaku yang sangat luas karena didalamnya terkandung nilai-nilai kerja keras, kejujuran, disiplin, estetika, komitmen, dan rasa kebangsaan yang kuat. Oleh karena itu perlu dirumuskan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam makna karakter yang berakar pada filosofi dan budaya bangsa Indinesia dalam konteks kehidupan antar bangsa. Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik cerdas akan tetapi juga berakhlak mulia. Pendidikan juga untuk membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan. Pintar tetapi karakternya buruk jelas akan sangat bermasalah. Pintar tetapi tidak bisa menghargai sesama, tidak menghargai nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan maka akan mendatangkan malapetaka bagi orang lain bahkan dalam scope yang lebih luas bagi bangsa kita ini. Pengetahuan yang tinggi tetapi tanpa didasari oleh pemahaman tentang nilai-nilai yang benar maka hanya akan memberi kesempatan untuk bertumbuhnya benih-benih kejahatan yang akan termanifestasi dalam berbagai bentuk. Ciri Karakter SDM SDM merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
181
orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsabangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44). Pendidikan Karakter dan Implementasinya Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan pendidikan karakter, seorang anak tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosi dan spiritual. Dengan kecerdasan emosi seseorang akan bisa mengelola emosinya sehingga dia akan berhasil menghadapi segala macam tantangan yang mungkin dihadapinya dan kecerdasan spiritual akan membimbingnya menjadi manusia yang bervisi jauh ke depan. Terdapat 9 pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: 1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; 2. Kemandirian dan tanggungjawab; 3. Jujur/amanah diplomatis; 4. Hormat dan santun;
182
5.
Dermawan, suka tolong menolong dan gotongroyong/kerjasama; 6. Percaya diri dan pekerja keras; 7. Kepemimpinan dan keadilan; 8. Baik dan rendah hati; dan 9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Dari ke sembilan karakter tersebut kita bisa melihat bahwa nilai-nilai tersebut sebenarnya telah melekat pada bangsa kita ini sejak lama. Citra diri bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai karakter tersebut. Bangsa kita adalah bangsa yang berketuhanan, berkeadilan, mandiri, suka bergotong royong dan menyelesaikan segala permasalahan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Kita juga dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah, rendah hati, dan pekerja keras. Namun kiranya nilai-nilai tersebut kian luntur seiring era keterbukaan teknologi informasi dan globalisasi. Masuknya budaya POP yang serba instant dan menonjolkan kesenangan materialistis telah mempengaruhi gaya hidup anak bangsa ini. Belum lagi budaya free life style yang sebenarnya tidak sesuai dengan karakter bangsa ini tetapi ditelan mentah begitu saja sebagai gaya hidup yang modern.Berawal dari keprihatinan akan hal tersebut maka pemerintah melalui pendidikan karakter bermaksud menghidupkan kembali nilai-nilai luhur bangsa ini yang telah mulai dilupakan. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dicanangkan tahun 2006, Pendidikan Karakter melekat pada setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Pendidikan karakter di sekolah diterapkan pada proses pembelajaran berlangsung, dan tidak tercermin pada mata pelajaran khusus. Pendidikan karakter bisa diintegrasikan melalui pembelajaran yang menyenangkan, siswa tidak merasa tertekan, nyaman dalam mengikuti pelajaran sehingga diharapkan menghasilkan pengetahuan, keterampilan ,dan sikap yang baik. Pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, akan dihasilkan siswa yang cerdas, baik cerdas intelektualnya maupun emosinya. Keseimbangan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi, menjadi modal penting dalam mempersiapkan anak menghadapi masa depan. Pendidikan karakter ini tidak diajarkan secara terpisah, melainkan terintegrasi dalam mata pelajaran secara keseluruhan. Dengan demikian diharapkan setiap guru menyelipkan penanaman nilai-nilai pendidikan karakter tersebut sehingga efek yang diperoleh nantinya akan lebih signifikan dibandingkan bila diajarkan sebagai satu mata pelajaran tersendiri.
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Penanaman nilai-nilai karakter atau budi pekerti ini seharusnya berupa pengetahuan aplikatif, yang berarti menuntut aplikasi atau penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa mampu menjadi pelajar yang berkarakter, yaitu melaksanakan ajaran agama sesuai yang diyakininya, mencintai alam sekitarnya, mandiri dan bertanggung jawab. Selain itu siswa juga berperilaku jujur, rendah hati, menghormati guru dan teman-temannya, santun, suka menolong, dan cinta damai. Penanaman nilai-nilai karakter/budi pekerti di sekolah perlu mendapatkan dukungan dari keluarga dan masyarakat. Orang tua diharapkan mampu menjadi tauladan yang utama bagi anak dalam penerapan nilai-nilai tersebut. Dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya tercipta lingkungan yang kondusif bagi anak untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dimilikinya. Diperlukan kerjasama yang baik antara orang tua dengan sekolah agar bisa menghantarkan anak didik dalam upaya mencapai keberhasilan belajar serta mengembangkan potensi sesuai minat dan bakatnya, meraih prestasi dan menjunjung tinggi budi pekerti. Sebagaimana tugas guru untuk memberikan pemahaman tentang budi pekerti di sekolah, hal ini juga menuntut peran serta orang tua secara aktif untuk mengawal anak dalam mengaplikasikan nilai-nilai budi pekerti dalam keseharianya di rumah. Dengan penerapan pendidikan karakter ini diharapkan tercipta manusia seutuhnya. Manusia yang cerdas intelektual, emosi dan spiritual sehingga akan mampu mengantarkan bangsa ini menuju ke masa depan yang lebih baik. Sebagai bangsa yang maju dalam bidang IPTEK tanpa meninggalkan nilainilai luhur yang dimilikinya. Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005). 1. Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat 2. Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah 3. Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik 4. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa 5. menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran seharihari baik di dalam maupun di luar kelas 6. Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan 7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman 8. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak. Peran pendidik dalam Membentuk karakter SDM Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya: 1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter 2. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. 3. Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan 4. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
183
Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa. Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin. Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50). Secara institusional, Pemerintah hendaknya memasukkan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional. Hal ini penting dilakukan agar nilai-nilai budaya dan karakter bangsa itu tetap melekat pada diri anak sehingga tidak terjadi lost generation dalam hal budaya dan karakter bangsa. Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan tiga unsur
184
pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, soft skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi juga cerdas hati, dan cerdas raga. Lickona (2007) menyatakan: terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan "karakter" secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral. Berikutnya, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil. (7) Usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik. Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Dengan desain demikian, pendidikan karakter akan senantiasa hidup dan sinergi dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau bahkan masih dalam kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah, kembali ke rumah, dan bergaul dalam lingkungan sosial masyarakatnya, akan selalu menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar, mencontoh, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang dipelajari dan dilihatnya itu. Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik. Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilainilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilainilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan
empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup. Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatankegiatan setelah jam sekolah). Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada sekadar tawar-menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah. Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
185
Kesimpulan SDM merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya. Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa penentuan bagi pembentukan karakter seseorang. Kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak. Pendidikan karakter bukan saja dapat membuat seorang anak mempunyai akhlak yang mulia, tetapi juga dapat meningkatkan keberhasilan akademiknya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara keberhasilan pendidikan karakter dengan keberhasilan akademik, serta perilaku pro-sosial anak. Anak-anak yang berkarakter baik adalah mereka yang mempunyai kematangan emosi dan spiritual tinggi, sehingga dapat mengelola stressnya dengan lebih baik, yang akhirnya dapat meningkatkan kesehatan mental spritualnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
http://belajarpsikologi.com/pengertian karakter/
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). UndangUndang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. http://renggani.blogspot.com/2011/04/membangunsebuah-karakter-watak-bangsa.html
DAFTAR RUJUKAN Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya
dan
Karakter
Bangsa.
Jakarta:
Balitbang Zuhdi, D. 2009. Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press. Kementerian
Pendidikan
Nasional,
2010,
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa – Pedoman Sekolah, Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan.
186
-pendidikan-
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam