PENDIDIKAN DAN MOBILITAS SOSIAL Oleh: Subi Sudarto ARTIKEL 15
Pendidikan dan Mobilitas Pada Era Industrialisasi Pada tahun 1960-an sosiologi pendidikan di Inggris sudah mengkhawatirkan semua hal yang berkaitan dengan pendidikan sebagai sebuah proses, dan dalam pendidikan sekunder serta mobilitas sosial di pahami dalam konteks akses untuk kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi dan konsekuensi pekerja kelas menengah. Kekhawatiran ini berasal dari sebuah proyek politik demokrasi sosial yang dimulai diawal abad ke 20 dan dirangkumkan dengan judul Pendidikan Sekunder Untuk Semua oleh Tawney tahun 1922. Proyek ini dimaksudkan sebagai sebuah reaksi atas pembangunan sistem pendidikan yang berkasta pada pertengahan abad ke 19. Pada tingkat teratas adalah sekolah “umum” yang elite, umum disini hanyalah bagi murid yang memiliki kemampuan untuk membayar biaya pendidikan. Status dari lembaga pendidikan ini diakui pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan lain banyak yang meniru model pendidikan ini. Di bawah level ini terdapat sekolah sekunder, banyak namun tidak semuanya, seperti halnya lembaga pendidikan yang tua seperti sekolah dasar. Ini selalu menjadi lembaga lokal bagi pendidikan untuk yang kaya atau mampu. Kurikulum tradisional memang klasik namun berada dibawah pengaruh dan pendanaan dari Departemen Ilmu pengetahuan dan Seni, yang dipimpin oleh staf dari insinyur kerajaan. Di sekolah ini terjadi perubahan signifikan menuju kepada ilmu pengetahuan dan teknologi pada decade terakhir abad ke-19. Meskipun model utama penerimaan di sekolah ini dasari pada pembayaran biaya pendidikan, namun selalu ada beberapa beasiswa yang diberikan. Kebanyakan Lulusan sekolah ini bekerja pada usia 16-18 tahun, walaupun banyak juga yang meneruskan dengan pendidikan professional atau teknik paruh waktu. Dibawah pendidikan sekunder (menengah) terdapat pendidikan dasar, yang hingga perang dunia pertama kelulusan pada umur 12 kemudian 14 dan 15. Lembaga pendidikan secara brutal hanya ditujukan untuk menghasilkan lulusan yang mengerti keberaksaraan dasar, tingkat kesehatan fisik dan kemampuan domestik (bagi perempuan) yang dapat menjadi kekuatan tenaga kerja. Sekolah dasar dimaskudkan untuk „tangan‟ bukan „otak‟ bagi industri kapitalis. Apa yang Tawney inginkan adalah pendidikan sekunder (menengah) bagi semua, akses kepada lebih dari sekedar pendidikan dasar untuk seluruh warga. Prinsip ini membutuhkan dua hal yaitu, 1
pendidikan menengah yang gratis dan model pendaftarannya tidak melalui proses seleksi yang susah. Pada tahun 1920 keadaan menjadi lebih rumit ketimbang hal tersebut diatas. Munculnya sekolah intermediate diantara sekolah dasar dan menengah, contohnya “Central School” yang dihadiri oleh siswi-siswi yang tidak dibolehkan untuk masuk sekolah dasar melalui beasiswa andainya mereka lolos dan mengharuskan keluarganya membayar untuk seragam dan perjalanannya. Terdapat sebuah sistem berskala besar yang dapat mengarahkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan kualifikasi yang berkaitan. Namun kebanyakan masyarakat lebih diarahkan pada pendidikan “tangan” ketimbang “otak”. Tawney dan serikat pekerja berkomitmen pada pendidikan menengah selalu diinformasikan oleh dua orang yang berbeda motif. Pertama adalah Mathew Arnold yang menyuarakan pendidikan masyarakat yang menyeluruh secara humanis, lainnya lebih beracuan pada komitmen pragmatis pada kontribusi potensi ekonomi dari masyarakat yang berpendidikan baik (argumen tentang kekayaan manusia). Perdebatan kedua paham ini terus berlanjut hingga perang dunia kedua dan melahirkan Undang-Undang Pendidikan 1944, yang semestinya menyediakan pendidikan menengah untuk semua namun sebenarnya hanya melanjutkan sistem pendidikan dasar yang disamarkan menjadi “sekolah menengah modern” meskipun di sekolah ini menghapuskan biaya pendidikan. Hal itu tidak berlangsung lama hingga tahun 1960 saat pemerintahan partai buruh pendidikan diarahkan kepada model pendidikan Sekunder Tawney secara keseluruhan dengan pembangunan menyeluruh atas pendidikan sekunder yang komprehensif dengan pendekatan kemasyarakatan. Melalui periode ini, mobilitas sosial tidak sekedar sebuah produk dari keberhasilan pendidikan di sekolah dan pendidikan lanjutan tetapi dapat dicapai dengan jalan lain. Banyak anak laki-laki yang meninggalkan sekolah diumur 12, 14 dan 15 untuk bekerja, dan perempuan meninggalkan sekolah diusia muda dan menikah ataupun bekerja sebagai pegawai negeri. Lebih lanjut setelah perang dunia kedua banyak pekerjaan dengan skill yang dibayar cukup tinggi dan relatif aman.. Perang dunia kedua itu sendiri merupakan kendaraan besar bagi mobilitas sosial yang didasari pendidikan di Amerika Serikat dibawah anggaran GI, yang mendanai veteran melalui pendidikan tersier. Di Amerika, pendidikan militer merupakan dasar yang penting bagi pendidikan tertier untuk masyarakat pekerja, khususnya masyarakat berkulit hitam. Narasi historis di atas diperlukan untuk dua alasan yang berhubungan, pertama;
dalam
mendiskusikan pendidikan dan mobilitas sosial di masyarakat post industrialis, kita harus 2
mengerti dari mana kita memulainya. Kedua, penting untuk membuat point dari stratifikasi, ketika pendidikan paruh waktu diikutsertakan. Terdapat pendidikan yang dipertimbangkan yang berasal dari masing-masing sosial mobilitas individu dalam sistem industrialisasi.
Pendidikan dan Penutupan di Era Pasca Industrialis Orang yang berpengaruh di era pasca industrialis adalah Daniel Bell yang dalam bukunya The Coming of Post Industrial Society (1974) meramalkan jenis masyarakat yang mungkin muncul dari kemajuan industri. Jenis masyarakat ini dapat dikarakterisasikan dengan :
Tersierisasi – pergeseran dari sektor manufaktur sekunder kepada pelayanan sektor tersier seperti halnya masyarakat industri digambarkan dengan sebuah pergeseran dari sektor primer, pertaninan ke arah sektor sekunder, manufaktur.
Pemusatan ilmu pengetahuan baru – yang berbasis industri – hal ini telah diasosiasikan khususnya dengan munculnya teknologi informasi.
Pengembangan
sebuah
dasar
yang
baru
untuk
stratifikasi
–
Castells
telah
mengembangkan tema ini dengan referensi khusunya pada layanan lebih lanjut pada informasi teknologi untuk masyarakat kelas pekerja.
Hanya yang pertama dari prognosis-prognosis ini yang dapat dianggap dengan tegas dapat dilewati, dan sebuah argumen yang penting dari buku ini adalah prognosis ketiga dapat di katakan salah. Dengan memperhatikan pada prognosis kedua, penting untuk menyadari bahwa banyak pekerja berbasis pelayanan di sektor swasta atau di sektor kesehatan, pendidikan dan perawatan sosial digaji cukup rendah, yang mana banyak sektor yang mulai dikuasai swasta. Lebih lanjut yang mengendalikan perekonomian pada era kapitalisme paska industri adalah sektor finansial yang sudah pasti memerlukan sebuah teknologi informasi namun hal ini tidak terlalu berbeda secara kualitatif. Bagaimanapun juga, pendidikan adalah manifestasi yang signifikan dari sebuah kapitalisme paska industri. Hal ini mungkin dapat diindikasikan oleh peningkatan yang luar biasa dalam partisipasi umum pada pendidikan tersier pada seperempat abad terakhir abad ke – 20, umumnya persentase pada kisaran umur 25 – 34 kemajuan untuk mendapatkan pendidikan tinggi sekitar 30%. Angka ini jauh lebih rendah pada Negara-negara bekas Komunis Eropa, termasuk Polandia (15%), namun untuk di Amerika angka ini cukup tinggi 38%, Perancis dan Inggris 29%. 3
. . . rasionalisasi ekonomi yang terlihat mendukung kebijakan sosial secara umum dan kebijakan khusus dari pendidikan. Rasionalisasi ini mengikat secara bersama antara diskursus tentang modernisasi pemerintahan, globalisasi, tingkat kompetitif perekonomian dan peningkatan standar antara pendidikan dan sistem pelatihan. (2002: 73). Alexiadou sangatlah tepat untuk mengidentifikasi pendidikan sebagai pusat untuk Pekerja Baru baik dalam relasi untuk mengembangkan tingkat kompetitif perekonomian dan sebagai sebuah metode untuk memerangi ekslusi sosial. Dalam versi untuk memerangi eksklusi sosial yang menginformasikan Departemen Pendidikan dan Pekerjaan Program Tenaga Kerja untuk memfokuskan pada 10% pemuda yang menghilang dari sistem pemerintah melalui pendidikan dan pelatihan yang tidak masuk dunia kerja. Dalam indentifikasi ada dua aspek yang berhubungan dengan pendidikan secara umum khusus. Pertama, hubungan antara pendidikan dan pencapaian/mobilitas, kedua adalah hubungan antara pendidikan/pelatihan dan 10% yang hilang dari sistem dari “inklusi”. Dalam sebuah sistem dimana kemajuan melalui kerja – berhubungan dengan cara paruh waktu pelatihan teknis telah dibatasi yang akhirnya menghilang, kemajuan lewat pendidikan formal yang penuh waktu telah menjadi fundamental. Dikatakan bahwa akses menuju keuntungan yang sangat besar yang tidak proporsional untuk status sosial dalam hubungannya dengan standar ujian kemampuan yang dicapai, lucunya menilik pada studi penelitan menunjukkan bahwa : . . . orang yang hadir pada sekolah khusus atau sekolah menengah negara memberikan hanya sedikit manfaat dalam konteks sebuah level nilai, namun hal ini diartikan menjadi manfaat diproporsional dalam hal untuk dapat masuk pada level pendidikan yang lebih tinggi ataupun sektor pekerjaan yang lain. (2001: 290) Bagaimanapun juga, tidak hanya sekolah formal tertentu yang menjadi permasalahan – terdapat lebih banyak pilihan ketimbang pelaksanaan yang sebenarnya dari ujiannya dan dibawah proposal Tenaga Kerja Baru aspek proses menjadi lebih penting daripada saat ini. Bryne & Rogers (1996) menunjukkan bagaimana area garapan Negara dan cara mempertahankan sekolah sekunder secara komprehensif.
Eksklusi Kebudayaan Ketika konteks eksklusi kebudayaan digunakan dalam kebijakan dan dokumen serta diskursus terkait, itu merujuk kepada defisiensi kebudayaan. Hal tersebut menunjukkan mereka yang 4
kurang modal budaya membutuhkan untuk mengumpulkan tenaga kerja dengan dasar pengetahuan pasca era industrialisasi dan informasi yang pantas tentang konsumsi produk budaya yang mencirikan kota pasca industri sebagai zona budaya. Pada diskusi tentang budaya yang mana lebih dari sekedar menggunakan konteks sebagai highlite dari sebuah aktivitas para spekulan dan komponen-komponen dari pemerintahan daerah. Tetapi selalu merupakan pandangan yang bermanfaat yang diarahkan pada konseptual yang dikembangkan Raymond Williams, pertama kata kebudayaan diartikan sebagai estetis dan seperti yang diambil dari Plato sebagai aspirasi idealisme dari kenyataan. Kedua digambarkan sebagai representasi dunia apa adannya ketimbang untuk mengambil ide – Williams menyebut ini sebagai “dokumentasi”. Akhirnya didapat definisi sosial : “Dalam sebuah kebudayaan yang digambarkan sebagai sebuah jalan kehidupan, yang mengekspresikan makna tertentu dan nilai yang tidak hanya dalam seni dan belajar namun juga institusi dan perilaku. Analisis dari kebudayaan dari definisi seperti itu adalah klarifikasi dari arti dan nilai emplisit dan eksplisit dalam sebuah jalan kehidupan”. (1962: 57)
Eksklusi sosial dalam Pendidikan di Indonesia: Kemajuan yang telah dicapai selama ini masih menyisakan kisah ketertinggalan pada beberapa kelompok masyarakat, khususnya perempuan. Selama perjalanan sampai dengan tahun 2010, potret perempuan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah, di antaranya; 1) meskipun jumlah angka buta aksara berkurang secara signifikan, namun pada sisa buta aksara, perempuan masih memiliki angka buta aksara lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki; 2) masih tertinggalnya akses perempuan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi, terlebih pada pendidikan keahlian teknik dan ilmu-ilmu keras lainnya (hard science); 3) masih rendahnya partisipasi perempuan sebagai pengambil kebijakan strategis pada bidang pendidikan, baik di pusat maupun di daerah; 4) masih adanya anggapan stereotipi terhadap perempuan yang menempatkan perempuan sebagai pekerja domestik; 5) masih banyaknya angka kekerasan terhadap perempuan di dalam dan di luar rumah tangga; 6) masih tingginya angka perempuan korban perdagangan manusia; dan
5
7) masih terdapat disparitas dalam pengupahan terhadap perempuan untuk jabatan dan masa kerja yang sama dengan laki-laki. Sebenarnya permasalahan terhadap perempuan seperti gunung es, di mana persoalan tersebut hanya muncul sekitar seperdelapannya dari permasalahan sebenarnya. Kondisi ini tentu saja harus semakin menyadarkan semua pihak bahwa persoalan perempuan tidak bisa diselesaikan dengan cara kultural tetapi juga harus dengan pendekatan struktural. Pendekatan struktural
yang dimaksud adalah pendekatan
yang dapat secara langsung memotong
rangkaian penyebab ketertinggalan perempuan terhadap laki-laki. Pendekatan struktural ini dapat berupa intervensi dini terhadap perempuan, sehingga mereka dapat segera keluar dari jerat-jerat yang membuat mereka tidak berdaya. Perempuan sejatinya adalah manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Mereka dilahirkan dengan kodrat berupa jenis kelamin yang keberadaannya tidak bisa dipertukarkan, sementara peran-peran sosial yang dilegitimasikan kepada perempuan lebih banyak membuat perempuan dengan sebutan “konco wingking-nya” laki-laki. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri pula bahwa ketertinggalan perempuan juga disebabkan oleh faktor perempuan sendiri, sehingga mereka lebih memilih untuk menjadikan dirinya warga kelas dua, menolak peluang yang diberikan, tidak percaya diri/rendah diri, tidak asertif tetapi lebih emosional dalam menghadapi sesuatu, dan memilih untuk aman dengan tidak mau mengambil resiko. Pembangunan yang telah dilaksanakan sampai saat telah secara signifikan meningkatkan partisipasi masyarakat pada semua lapisan. Akses untuk mendapatkan layanan pendidikan semakin terbuka, baik secara konvensional maupun pendekatan yang lebih maju (distance learning). Keberhasilan tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator; 1) meningkatnya angka melek aksara penduduk dewasa (usia 15 tahun ke atas), 2) meningkatnya angka partisipasi kasar dan murni penduduk pada jenjang pendidikan pra sekolah, dasar, menengah, dan tinggi; 3) meningkatnya partisipasi penduduk pada program-program pendidikan nonformal, yaitu; kursus, pelatihan, pendidikan kesetaraan, dan pendidikan masyarakat.
Peningkatan akses pendidikan tersebut dipengaruhi oleh semakin mudah dan dekat akan layanan pendidikan dan kesadaran akan pentingnya pendidikan pada masyarakat. 6
Pendidikan merupakan bagian penting dalam proses pembangunan suatu negara, Data menunjukan pendidikan, khususnya untuk kaum perempuan di berbagai bidang jauh tertinggal partisipasinya pada proses pembangunan. Pendidikan secara simultan dapat meningkatkan kemampuan (capability) dan kualitas hidupnya, keluarga dan masyarakat, karena dengan pendidikan dapat terjadi peningkatan produktivitas, yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan pendapatan keluarga dan masyarakat. Peningkatan produktivitas dapat dilihat dari indikator-indikator yang antara lain adanya perubahan sikap yang lebih positif dan maju, meningkatnya kemampuan kecakapan hidup (life skills), serta hasil karya baik berupa barang atau jasa untuk keperluan diri dan masyarakatnya. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 pada Bab 12 tentang Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak dirumuskan bahwa: “Permasalahan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dan anak dalam pembangunan, disamping masih adanya berbagai bentuk praktek diskriminasi terhadap perempuan. Permasalahan lainya bmencakup kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kultural yang diwarnai penafsiran terjemahan agama atau nilai budaya yang bias gender. Dalam konteks sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas”. Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan pendidikan khususnya perempuan mempunyai dimensi yang sangat luas karena mencakup masalah sosial, budaya, ekonomi, politik dan keyakinan terhadap nilai agama serta budaya. Dalam kehidupan seharihari kenyataan yang sering terjadi adalah masih adanya sikap dan tindakan dalam kehidupan masyarakat yang mendiskriminasikan peran kaum perempuan. Sehingga kaum perempuan dalam proses pembangunan terpinggirkan (termarginalkan) pada hampir seluruh bidang pembangunan. Banyak faktor yang menyebabkan ketertinggalan perempuan dalam pembangunan seperti: 1) rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik, 2) tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan, 3) adanya kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dibanding laki-laki, 4) adanya peraturan atau perundangan yang bias gender dan diskriminatif terhadap
7
perempuan, dan 5) lemahnya kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender, termasuk ketersediaan data dan rendahnya partisipasi masyarakat. Berdasarkan deskripsi di atas, beberapa tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia terkait dengan pendidikan khususnya perempuan adalah: 1. Bagaimana meningkatkan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas, khususnya perempuan. 2. Bagaimana meningkatkan akses perempuan pada semua jenjang dan jenis pendidikan yang didasarkan atas kesetaraan dan keadilan gender. 3. Bagaimana meningkatkan kualitas perempuan sehingga mereka dapat memasuki dunia kerja secara profesional dan bermartabat. 4. Bagaimana meningkatkan kemampuan perempuan, sehingga mereka memiliki keahlian untuk bersaing dalam dunia kerja atau dapat hidup mandiri secara layak. 5. Bagaimana meningkatkan pengetahuan perempuan tentang hak asasi, perdagangan manusia, pelecehan seksual, dan berbagai hal lainnya yang dapat merendahkan martabat perempuan selaku umat manusia. 6. Bagaimana mendorong terciptanya sistem sosial yang memiliki kepedulian terhadap perempuan, sehingga perempuan menjadi bagian utuh dalam pembangunan bangsa.
Pembangunan pendidikan yang telah dilakukan selama ini telah memberikan dampak yang sangat signifikan dalam peningkatan taraf pendidikan penduduk Indonesia. Berbagai perbaikan kinerja tersebut diikuti oleh menurunnya disparitas antarkelompok masyarakat. Bahkan dalam tataran akses, angka partisipasi pada semua jenjang pendidikan sudah setara antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan oleh indeks paritas gender yang mendekati angka 1,0. Meskipun demikian telaah mendalam menemukenali berbagai kesenjangan gender yang tidak hanya terfokus pada perbedaan capaian kinerja antara laki-laki dan perempuan tetapi juga kesenjangan yang diakibatkan oleh faktor lain seperti status sosial ekonomi, latar belakang budaya, dan geografi. Anak-anak dengan kebutuhan khusus juga masih mengalami hambatan untuk bersekolah. Kesenjangan partisipasi pendidikan antara penduduk kaya dan miskin masih lebar khususnya untuk jenjang SMP/MTs ke atas. Bahkan semakin tinggi jenjang pendidikannya semakin lebar kesenjangannya. Kesenjangan antara
8
perkotaan dan perdesaan juga masih mengemuka dengan capaian kinerja di wilayah perkotaan yang selalu lebih baik dibanding wilayah perdesaan. Ketidakadilan dan ketidakesetaraan gender juga masih ditemukan dalam aspek kualitas pendidikan. Proses pembelajaran seringkali masih netral bahkan pada beberapa kasus cenderung bias gender. Kondisi ini terjadi disebabkan karena guru yang belum memiliki pemahaman gender yang utuh dan beberapa materi pembelajaran yang bias gender. Hal ini, dikhawatirkan dapat melanggengkan stereotipi gender atau pembakuan peran anak laki-laki dan perempuan, di samping potensi dan minat anak yang tidak dikembangkan secara optimal. Dalam tataran hasil belajar terlihat bahwa anak perempuan cenderung lebih berprestasi dibanding anak laki-laki, dan bahkan angka kelulusan anak perempuan sejak tahun 2005 di semua jenjang pendidikan lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Masalah gender dalam aspek tata kelola pendidikan antara lain terlihat dari adanya ketimpangan partisipasi perempuan dan laki-laki dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Penguatan kelembagaan termasuk sistem informasi yang responsif gender juga masih terkendala. Belum seluruh data dan informasi pendidikan yang terpilah menurut jenis kelamin tersedia secara berkesinambungan. Dalam konteks pendidikan nonformal dan informal lebih terlihat dari proporsi angka buta aksara perempuan yang masih tinggi dibanding dengan laki-laki. Selain itu dalam lingkup keluarga, pemahaman keluarga mengenai keadilan dan kesetaraan gender juga masih rendah, hal ini nampk dari masih banyaknya kekerasan dalam rumah tangga berbasis gender atau anak.
Referensi: Nanang Martono, Tahun 2008. Tentang Pendidikan Nilai di PKBM ‟Argowilis‟ (Studi Mengenai Proses Pendidikan Nilai di PKBM “Argowilis” Banyumas Jawa Tengah) Nur Djazifah ER, 2005, Pemetaan tingkat Pencapaian Mutu Pendidikan pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan penelitian kelompok, Yogyakarta: Jurusan PLS FIP UNY. Parsons,
Talcott, 1975, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology."Dalam Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory: New York: The Free Press.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003, Teori Sosilogi Modern : Jakarta: Prenada Media. 9
Robert S. Kaplan & David P. Norton, 2001, The Strategy-focused Organization, Boston: Harvard Business School Press. Ronald J. Ebert & Ricky W. Griffin, 2000, Business Essentials, Third Edition New Jersey: Prentice Hall Inc. Roy Nash, 1990, Bourdieu on Education and Social and Cultural Reproduction Author(s): Source: British Journal of Sociology of Education, Vol. 11, No. 4, (1990), pp. 431-447 Published by: Taylor & Francis, Ltd. Samir R. Nath, Kathy Sylva and Janice Grimes, 2009, Raising Basic Education Levels in Rural Bangladesh: The Impact of a Non-Formal Education Programme, International Review of Education / Internationale Zeitschrift für Erziehungswissenschaft / Revue Internationale de l'Education, Vol. 45, No. 1 (2009), pp. 5-26 See Barry Wellman and S.D. Berkowitz, eds, 1988, Social Structure: A New York Approach: New York: Cambridge University Press, for several discussions and example. Sen, Amartya, 1999. Development As Freedom, New York: Alfred A. Knopf, Inc.
Soelaiman Joesoef, 2004, Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pembelajaran yang Berakar pada Masyarakat, Jakarta: Bappenas. Soerjono Soekanto, 1974, “Faktor- faktor Dasar Interaksi Sosial dan Kepatuhan pada Hukum”, Hukum Nasional, Nomor 25. Subi Sudarto, Tahun 2012. Tentang Peran pengelola PKBM dalam memberdayakan Pusat Kegiatan Masyarakat di PKBM Nurul Muhtadin Desa Kecapi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara. Tamotsu Shibutani, 1986, Social Processes, An Introduction to Sociology : Berkeley: University of California Press. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Umberto Sihombing, 2000. Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan, Konsep, Kiat, dan Pelaksanaan. Jakarta: PD Mahkota. Werquin, Patrick, Journal of Education &Work. Juli 2012, Vol. 25 Issue 3, p259-278 Tentang The missing link to connect education and employment: recognition of nonformal and informal learning outcomes
10