Review Kehidupan di Komunitas Penastanggul Subi Sudarto ARTIKEL 20 A. Kondisi awal Daerahnya berupa rawa-rawa yang dilintasi sungai Cipinang, tanah ini milik negara dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum yang saat ini disebut Kementerian Kimpraswil. Keberadaan pemukiman ini tidak diakui pemerintah setempat, lokasi tersebut tidak memiliki identitas yang jelas secara administratif. Kemudian tanah yang berupa rawa-rawa tersebut yang semula dijadikan pembuangan sampah kemudian diurug dan perlahan berkembang menjadi pemukiman warga miskin. Pada kurun waktu tahun 1968 s.d. 1972, pemukiman ini hanya dihuni oleh 10 orang keluarga yang kemudian orang mulai berdatangan. Pada Tahun 1980, banyak korban gusuran dari Tanah Abang, Senen, dan Pramuka yang masuk ke Penastanggul. Pada Tahun 1991 pemerintah kembali berencana melakukan penggusuran pemukiman Penastanggul dalam rangka proyek Normalisasi Sungai Cipinang oleh Pemerintah Jakarta Timur. Namun ratusan warga Penastanggul mendatangi Balai Kota dan DPRD. Dalam perkembangannya rencana penggusuran ini dibatalkan dan warga tetap tinggal di pemuliman itu. Jadi sepanjang sejarah perkembangannya, Penastanggul merupakan pemukiman kumuh yang tidak layak huni dan selalu dihantui oleh praktek penggusuran oleh Pemerintah. B. Kondisi saat ini Pada Tahun 2000, pemukiman Penastanggul mendapatkan pengakuan dari Pemerintah setempat dengan diberinya status RT. 15 bagi wilayah tersebut dan pemberian nama jalan yaitu Jalan Pancawarga 30 untuk jalan di lingkungan mereka. Pengakuan status pemukiman ini membuat warga pemukiman Penastanggul mulai membenahi fasilitas di lingkungan yang mereka huni. Hunian yang dulunya nampak kumuh kini telah tertata dan jalan-jalan mulai dilakukan pengerasan menggunakan semen. Warga juga membangun
jembatan yang menghubungkan dua lokasi pemukiman Penastanggul yang dipisahkan oleh sungai. Sebagai sarana ibadah bersama, warga juga membangun musholla. Melalui berbagai perbaikan kondisi lingkungan fisik pemukiman Penastanggul selain mengharapkan peningkatan kualitas kehidupan warga juga ingin menunjukkan kepada pemerintah bahwa mereka juga dapat memperhatikan lingkungan tempat tinggal mereka melalui swadaya. Perkembangan kehidupan sosial di pemukiman Penastanggul ini dapat dilihat dari berbagai macam sisi, seperti: dinamika sosial budaya komunitas, dinamika perekonomian komunitas, dinamika politik komunitas dimana yang dulunya dianggap sebagai pemukiman “liar” dan tidak mendapatkan pengakuan kini mereka memperoleh hak-hak asasinya seperti layaknya warga lain yang tinggal di Jakarta. C. Bentuk-bentuk eksklusi Status pemukiman Penastanggul yang “illegal” karena menempati kawasan bantaran sungai membuat mereka tidak memiliki status warga yang jelas. Mereka tidak memiliki alamat dan tidak dapat mengurus KTP sebagai halnya warga lainnya. Status ini membuat mereka tidak dapat mengakses fasilitas pelayanan publik seperti jaringan listrik, air bersih, dan MCK yang memadai. Untuk mendapatkan listrik warga Penastanggul harus membuat aliran listrik swadaya dari perkampungan terdekatnya, sedangkan untuk kebutuhan air mereka bergantung dari sungai Cipinang, kecuali untuk kebutuhan air minum mereka umumnya membeli air bersih dari pedagang air keliling. Status tanah yang “illegal” tersebut membuat warga Penastanggul dihantui oleh penggusuran. Pemukiman ini dihuni oleh komunitas warga miskin yang terdiri dari komunitas tukang becak, pemulung, korban penggusuran, dan komunitas miskin kota lainnya. Dalam konteks eksklusi yang diterima warga pemukiman Penastanggul dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Dalam kondisi yang sedemikian dengan status yang illegal dan tidak jelas warga cenderung apatis atas persoalan yang mereka hadapi. Proses pendidikan popular melalui analisa sosial, pendidikan HAM, dan advokasi pada warga sama sekali belum dilakukan sehingga warga kebingungan untuk menyalurkan aspirasinya dan keluh kesahnya menyebabkan mereka apatis.
2. Tidak adanya forum warga yang membuat warga secara sporadis mencoba memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi yang akhirnya mengalami kebuntuan dan menimbulkan rasa gusar, panik dan tidak tenang terkait dengan selalu dimunculkannya isu-isu tentang penggusuran. 3. Didalam komunitas terdapat tokoh-tokoh warga yang mengingat hidupnya budaya patron-klien. Namun tokoh-tokoh warga belum daapt mengajak komunitas untuk mengembangkan solidaritas dan memecahkan persoalan mereka secara bersamasama. Pada kondisi seperti ini belum muncul kader local yang mampu menyalurkan aspirasi dan keluh kesah mereka. 4. Dilihat dari sisi lingkungan fisik pemukiman, tata letak pemukiman yang tidak teratur (orientasi bangunan berbeda-beda) dan tidak memiliki sarana pemukiman seperti air bersih, MCK yang memadai. 5. Untuk akses terhadap pelayanan public, warga tidak dapat mengurus KTP secara legal, biasanya mereka mempergunakan alamat lain untuk mendapatkan KTP. 6. Pemukiman tidak memiliki akses jaringan listrik sehingga harus mengambil dari pemukiman terdekat, untuk air bersih mereka mempergunakan air sungai dan tidak ada MCK hanya ada jamban terapung. 7. Dari sisi status lahan pemukiman, Penastanggul dianggap sebagai pemukiman liar yang beberapa kali mengalami penggusuran dan kerap kali muncul isu penggusuran yang meresahkan warga.
D. Bentuk-bentuk inklusif Melalui pemberdayaan yang dilakukan, masalah-masalah warga merupakan masalah struktural dari kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat. Masalah kemiskinan yang dialami oleh masyarakat bukanlah karena masyarakat kurang pandai namun ada proses pemiskinan yang terjadi, artinya kita harus melihat warga miskin dari sisi kemanusiaannya. Sebagai manusia mereka memiliki hak-hak yang sama dengan yang lainnya, tetapi karena kemiskinan mereka kesulitan dalam memenuhi hak-haknya. Mungkin ada yang percaya ini masalah nasib, tetapi sebenarnya kalau dilihat menurut analisis sosial akan terlihat bahwa ada masalah kemiskinan struktural.
Melihat hal tersebut maka pemberdayaaan melalui advokasi dan mobilisasi aksi warga Penastanggul dapat menemukan hak-haknya karena warga didorong untuk kemudian berinisiatif membangun kontak dan berencana mempersiapkan diri dan membangun pertahanan lokal. Bentuk-bentuk advokasi dan mobilisasi aksi tealh mengubah kebijakan Pemda untuk tidak melakukan penggusuran karena warga membuat langkah-langkah strategis, seperti: 1. Pengorganisasian dan sosialisasi pada warga 2. Mengumpulkan data warga dan sejarah pemukiman 3. Menyusun konsep alternative pada pemerintah 4. Menggalang aliansi dengan media massa 5. Menggalang kontak-kontak politik dengan pemerintah terkait 6. Menyusun rencana mobilisasi aksi warga. Perjuangan keberadaan pemukiman Penastanggul menunjukkan secercah harapan ketika pergantian kekuasaaan pemerintahan, setelah Soeharto mundur dari kursi presiden dan dilakukannya pemilu tahun 1999. Meallui pemilu 1999 Indonesia memiliki presiden baru yakni Abdurrahman Wahid dengan beberapa orang menteri-menteri di cabinet yang berangkat dari dunia LSM, salah satunya Erna Witoelar yang menjadi Menteri Pemukiman dan Pengembangan Prasarana Wilayah. Mencermati kesempatan ini warga Penastanggul mencoba membangun dialog tentang keberadaan pemukiman mereka dengan pemerintah melalui Erna Witoelar. Proses dialog yang terjadi antara pemerintah dal hal ini Meneg Kimpraswil dan KLH akhirnya merupakan sebuah kesempatan bagi warga Penastanggul untuk memperoleh pengakuan untuk tinggal secara legal dan mendapatkan status administratif sebagai warga pemukiman Penastanggul. Bentuk-bentuk inklusif yang didapat warga Penastanggul antara lain: 1. Setelah dialkukan pemberdayaan menumbuhkan kesadaran kritis warga karena melalui pelatihana dan pendampingan serta advokasi daapt memunculkan wargawarga yang potensial sebagai kader yang kemudian mengajak warga lainnya untuk terlibat daalm memecahkan persoalan yang mereka hadapi.
2. Dari sisi solidaritas antarwarga, telah terbentuk forum warga dimana sebagai tempat warga membicarakan masalah-masalah yang mereka hadapi dan mencari solusi atas persoalan tersebut secara bersama-sama, dari mulai warga mengidentifikasi masalah utama komunitas yaitu potensi penggusuran dan pengakuan sebagai pemukiman. Dalam memperjuangkan kedua hal tersebut muncul aksi kolektif, seperti demonstrasi, audiensi ke pemerintah dan memperbaiki lingkungan pemukiman mereka untuk menunjukkan pada pemerintah bahwa mereka mampu untuk mengorganisir diri. 3. Lahirnya pemimpin-pemimpin lokal yang mampu menggerakkan, memfasilitasi komunitas untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Kader ini menjadi animator, dinamisator, dan fasilitator komunitas . 4. Dilihat dari lingkungan fisik pemukiman, lingkungan fisik relative meningkat, tata letak bangunan semakin teratur dan dilengkapi sarana publik yang cukup memadai. Warga secara mandiri memperbaiki tata letak bangunan pemukiman dengan orientasi bangunan yang seragam menghadap ke sunagi, rumah-rumah sebagian besar dibuat berlantai dua dan sebagian telah dibuat permanen. Jalan lingkungan diperkeras secara swadaya dan diaspal. Di kawasan pemukiman telah terdapat MCK dan tempat sampah publik. Warga juga membangun musholla secara mandiri untuk sarana ibadah komunitas. 5. Akses terhadap fasilitas pelayanan publik, warga dapat memiliki KTP karena mendapat pengakuan sebaagi lingkungan RT 15, RW 02, Kelurahan Cipinang Besar. Warga juga telah dapat mengakses jaringan air bersih dan listrik. 6. Status lahan pemukiman, keberadaan pemukiman Penastanggul diakui oleh pemerintah dengan adanya status RT 15 RW 02 Kelurahan Cipinang Besar. E. Bentuk-bentuk Kebijakan Pemerintah dalam konteks sebagai welfare state Ide dasar konsep Negara kesejahteraan berangkat dari upaya Negara untuk mengelola semua sumber daya yang ada demi kesejateraan rakyatnya (Simarmata, dkk., 2008:17). Mereka memetakan model utama Negara kesejahteraan, yaitu: Model liberal, atau residual, atau Anglo saxon, yang dijalankan oleh USA, Kanada dan Australia. Model ini berciri: (a) adanya dukungan sosial terbatas/jaring pengaman,
(b) penciptaan skema pembiayaan untuk menarik masyarakat dalam ketenagakerjaan, dan (c) diawali dengan pengembangan industri dan perdagangan.; Model konservatif atau korporatis, atau Continental Europe, seperti yang dikembangkan oleh Austria, Perancis, Jerman dan Itali. Model ini berciri: (a) adanya peran besar Negara dalam mengelola skema kesejahteraan, (b) adanya kolabolarasi Negara-masyarakat-swasta, (c) penerapan pajak untuk tunjangan tertentu (yang cenderung cukup tinggi), dan (d) mengarahkan program ke masyarakat yang „sakit‟ secara fisik dan sosial (pengangguran, tua, dll.); Model sosial-demokrasi atau redistributif-institusional, sebagaimana dijalankan oleh Swedia dan Norwegia. Model ini berciri: (a) penerapan skema pajak tunggal untuk pembiayaan seluruh skema kesejahteraan, (b) adanya skema kesejahteraan yang menyeluruh dengan standar setinggi-tingginya dan akses semudah-mudahnya, (c) warga berhak turut dalam pengaturan skema tersebut, dan (d) adanya integrasi industry dan perdagangan dalam skema kesejahteraan. Model Model liberal, atau residual, atau Anglo saxon yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu dan mengembangkan pola jaring pengaman sosial terlihat mirip dengan model pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan yang pernah dilaksanakan di Indonesia beberapa dekade terakhir. Di era administrasi Suharto, pernah sangat
terkenal
istilah
Trilogi
Pembangunan
yang
mengedepankan
stabilitas,
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pada saat krisis ekonomi akhir tahun 1990-an, Indonesia juga pernah melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial maupun programprogram padat karya yang memungkinan orang dapat bekerja dan memperoleh penghasilan untuk menanggulangi kemiskinan akibat krisis tersebut. Program yang tengah dikembangkan saat ini semacam Conditional Cash Transfer (CCT) dan Unconditional Cash Transfer (UCT) juga dapat dipandang sejalan dengan model pertama. Program Keluarga Harapan (PKH), yang merupakan program hasil reduksi dari Conditional Cash Transfers (CCT) dan telah berjalan di beberapa Negara seperti Chile, Brazil, Columbia, Turki, Meksiko dll. adalah sebuah langkah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membantu keluarga miskin yang tergolong dalam Rumah Tangga Sangat Miskin RTSM. Program ini bertujuan untuk membantu penduduk atau keluarga
miskin kluster terbawah berupa bantuan bersyarat agar mereka bisa lebih mandiri, maju dan dapat menikmati resource pendidikan, kesehatan dan sebagainya serta dapat memanfaatkan pelayanan sosial dasar seperti bantuan pangan dan gizi juga termasuk menghilangkan kesenjangan sosial, ketidakberdayaan dan keterasingan sosial (social exclusion) yang selama ini melekat pada diri warga miskin. PKH sudah dimulai sejak tahun 2007 lalu dan program ini bukan lanjutan dari program bantuan langsung tunai BLT yang pernah dilakukan pemerintah melainkan program baru yang bersifat mengikutsertakan peran masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan sebagainya agar masyarakat lebih mandiri, aktif dan dapat mengembangkan potensipotensi yang dimilikinya (supply and demand side). Seperti yang sudah diprediksi oleh pengambil kebijakan, program ini diharapkan memiliki efek positif bagi msyarakat penerima bantuan PKH yang biasa dikenal dengan Rumah Tangga Sangat Miskin RTSM. Untuk jangka pendek, program ini akan memberikan income effect kepada RTSM melalui pengurangan beban pengeluaran rumah tangga. Sedangkan untuk jangka panjang program ini dapat memutus rantai kemiskinan antar generasi melalui peningkatan kualitas kesehatan/nutrisi, pendidikan dan kapasitas pendapatan anak dimasa depan (price effect anak keluarga miskin); serta memberikan kepastian kepada si anak akan masa depannya (insurance effect). Berhubung program ini bersyarat, maka penerima bantuan ini tidak boleh sembarangan keluarga, mereka harus benar-benar berada di kluster terbawah, yakni keluarga yang sangat miskin. Miskin saja tidak cukup, ia harus benar-benar dari golongan paling miskin. Walaupun perdebatan tentang kemiskinan masih terus berlanjut serta indikator kemiskinan masih juga diperdebatkan, namun untuk mengelompokkan sebuah keluarga ke dalam kelompok Rumah Tangga Sangat Miskin RTSM mungkin tidak terlalu sulit, karena terlalu banyak keluarga-keluarga di Indonesia yang tergolong ke dalam kelompok tersebut. Secara faktual tingkat kemiskinan sebuah rumah tangga secara umum terkait dengan tingkat kesehatan dan pendidikan rumah tangga tersebut. Rendahnya
penghasilan
keluarga sangat miskin menyebabkan keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan, Rendahnya kondisi kesehatan keluarga sangat miskin juga berdampak pada tidak optimalnya proses tumbuh kembang anak, terutama
pada usia 0-5 tahun. Pada tahun 2003 misalnya, angka kematian balita pada kelompok penduduk berpendapatan terendah adalah 77 persen per 1000 kelahiran hidup, sementara pada kelompok penduduk berpendapatan tertinggi hanya 22 persen per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Fenomena demikian terjadi karena dua hal pertama dari sisi RTSM sendiri (demand side) dimana mereka tidak bisa menikmati resource pendidikan, akses kesehatan yang kurang serta pemanfaatan pelayanan sosial dasar yang tidak optimal, dan tidak jarang ada yang merasa cukup dengan tingkat pendidikan tertentu dsb. Kedua dari sisi pelayanan (supply side). Belum tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau oleh RTSM. Biaya pelayanan yang tidak terjangkau oleh RTSM serta jarak antara tempat tinggal dan lokasi pelayanan yang relatif jauh merupakan kendala utama bagi penyedia pelayanan pendidikan dan kesehatan. Agar lebih mudah memahami program keluarga harapan simak penjelasan di bawah ini : A. Pengertian PKH 1. Program Keluarga Harapan adalah program yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Sebagai imbalannya RTSM diwajibkan memenuhi persyaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. 2. UPPKH adalah unit pengelola PKH yang dibentuk baik di pusat dan daerah. Di Pusat adalah UPPKH Pusat dan di Daerah adalah UPPKH Kabupaten / Kota. 3. Peserta PKH adalah RTSM yang memenuhi satu atau beberapa kriteria yaitu memiliki Ibu hamil/nifas, anak balita atau anak usia 5-7 tahun yang belum masuk pendidikan SD, anak usia SD dan SLTP dan anak 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar. 4. Pendamping PKH adalah pekerja sosial yang direkrut
oleh UPPKH melalui
proses seleksi dan pelatihan untuk melaksanakan tugas pendampingan RTSM penerima program dan membantu kelancaran pelaksanaan PKH. 5. Penyelenggaraan PKH bersifat multisektor baik di Pusat maupun di Daerah yang melibatkan instansi pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota, Kecamatan hingga Desa serta masyarakat.
B. Tujuan Tujuan umum PKH adalah untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, serta merubah perilaku RTSM yang relatif kurang mendukung peningkatan kesejahteraan. Tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs).
C. Secara khusus, tujuan PKH terdiri atas: 1. Meningkatkan status sosial ekonomi RTSM; 2. Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas, anak balita dan anak usia 5-7 tahun yang belum masuk sekolah dasar dari RTSM; 3. Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi anak-anak RTSM. 4. Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak RTSM;
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa PKH merupakan cara pemerintah melakukan pendekatan dengan kebijakan populis guna memberdayakan masyarakat dan membentuk mental masyarakat agar mereka terus dapat menikmati segala fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu, pendekatan dengan cara seperti ini merupakan modal sosial yang sangat berharga di masyarakat dan masa depan anak bangsa terjamin. Dengan melakukan kegiatan seperti ini, pemerintah telah berinvestasi untuk bangsanya dalam bentuk investasi sosial. Namun demikian, program ini tetap saja memiliki kelemahan dan tantangan yang harus segera diatsi. Tingginya biaya tidak langsung (opportunity cost) yaitu anak bekerja lebih “menguntungkan” daripada bersekolah dan munculnya biaya pakaian seragam dan transport yang dikeluarkan RTSM apabila anaknya bersekolah. Ketidakmampuan membayar sekolah bukan menjadi persoalan mendasar bagi anak dari RTSM untuk tidak bersekolah. Namun persoalannya kalau anak pergi ke sekolah, maka keluarga akan kehilangan pendapatan yang dihasilkan anak tersebut sehingga PKH dapat mengurangi pekerja anak yang pada tahun 2006 berjumlah 2.684.792 jiwa (BPS & Depsos, 2006).
D. Inpres No 3 Tahun 2010 Pada Program Keluarga Harapan kaitannya dengan Inpres No 3 Tahun 2010 tentang pembangunan yang berkeadilan. Inpres No 3 ini
memfokuskan pelaksanaan
pembangunan yang berkeadilan dan berkesinambungan serta percepatan pelaksanaan prioritas pembangungan nasional 2010 yang meliputi program-program sebagai berikut: 1.
Pro rakyat
2.
Keadilan untuk semua (justice fo all)
3.
Pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millennium Development goals- MDGs).
Dalam rangka pelaksanaan program-program sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama, (program pro-rakyat) pemerintah memfokuskan pada tiga program turunannya ini: 1. Program penganggulangan kemiskinan berbasis keluarga. 2. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. 3. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah.
Pada kesempatan ini, saya mengambil tema yang pertama tadi yaitu Program Pro-rakyat dengan sub tema Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Keluarga. Sehubungan dengan program yang sudah berjalan sejak tahun 2007 lalu, instruksi presiden tantang program ini adalah bersifat evaluatif artinya presiden mengimbau kepada para menteri dan lembaga yang terkait agar bertindak sebagai penanggung jawab pelaksanaan program sebagaimana telah dijelaskan dalam inpres No 3 tahun 2010 tersebut sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Yang dimaksud dengan Instansi Penanggung Jawab Adalah Kementerian Sosial Sebagai Koordinator Program Mengkoordinir Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian PPN/Bappenas. Selaian itu, koordinasi dengan pemerintah daerah, (Gubernur, bupati/wali kota) harus koordinatif. Tindakan yang harus dilakukan dari program ini (program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga) berdasarkan Inpres No 3 tahun 2010 tersebut meliputi :
1.
Memperbaiki Prosedur Verifikasi.
2.
Mempercepat Proses Pembayaran.
3.
Memperbaiki Koordinasi Antar Kementerian dan Pemerintah Daerah.
Seperti yang saya kutip dari Websitenya Kementerian Sosial. PKH bukan hanya milik Kementerian Sosial RI tetapi lintas sektoral seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi, kementerian sosial sebagai koordinator program, mengkoordinir beberapa kementerian dan instansi terkait untuk mengimplementasikan program ini. “PKH meningkatkan jumlah ibu hamil mengunjungi posyandu dan meningkatkan kehadiran anak di sekolah, demikian disampaikan oleh Dr.Pungki Sumadi, Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat, Bappenas saat menyampaikan hasil evaluasi PKH tahun 2009 pada pertemuan Tim Pelaksana PKH dan instansi terkait, Senin 14 Juni 2010 di Ruang Rapat Lt.1 Kementerian Sosial RI. Pertemuan ini dihadiri oleh pejabat di lingkungan Kementerian Sosial RI, Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, BPS, PT Pos dan PT BRI. Selain itu, dalam pertemuan disampaikan bahwa PKH dinilai telah membantu pencapaian tujuan pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, PKH bukanlah program yang hanya dimiliki Kementerian Sosial, melainkan juga Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional serta instansi terkait lainnya”. Hasil evaluasi pada tahun 2009 menyatakan verifikasi baru mencapai 40%. Hal ini menuntut keterlibatan penyedia layanan kesehatan dan pendidikan untuk melaksanakan tanggung jawabnya, demikian diungkapkan oleh Drs. Toto Utomo BS selaku Dirjen Banjamsos pada pertemuan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang serius dari instansi terkait agar verifikasi dapat berjalan dengan baik sampai tingkat daerah. Jika pada tahun 2009 verifikasi baru mencapai 40% maka sesuai dengan Inpres No 3 tahun 2010, maka pada tahun 2010 dan 2011 verifikasi sudah harus 100% begitu pula dengan proses pembayaran serta koordinasi antar kementerian, target penyelesaiannya pada tahun 2010 dan 2011 rata-rata harus 100%.
Sumber bacaan: Thesis program pasca sarjana sosiologi konsentrasi MMPS Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan Yang Berkeadilan
Henry Thomas Simarmata, dkk. 2008. Negara Kesejahteraan & Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman. PSIK – Paramadina. Jakarta.
Pierre Pestieau. 2006. The Welfare State in the European Union: Economic and Social Perspectives. Oxford University Press. New York.