Pekerja Anak di Indonesia: Gender, Eksklusi Sosial dan Ide Negara Kesejahteraan Subi Sudarto dan Candra Kusuma
ARTIKEL 23 Summary Tulisan ini mengangkat tema pekerja anak di Indonesia. Penulis mencoba menganalisis masalah di seputar pekerja anak dilihat dari konsep ekskluasi sosial dan perspektif gender, dengan hak anak yang diatur dalam Konvensi Hak Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pisau analisisnya. Data utama yang digunakan untuk memotret situasi pekerja anak adalah laporan hasil Survei Pekerja Anak 2009 yang disusun oleh BPS dan ILO, dan kasus pekerja anak di sentra industri pertanian tembakau di Jember-Jawa Timur. Temuan utama dalam tulisan ini adalah, pekerja anak di Indonesia (seperti di banyak negara lainnya) mengalami proses eksklusi sosial yang multidimensi. Stereotype dan diskriminasi gender juga terjadi di lingkungan kerja pekerja anak. Dalam hal ini, Negara, sebagai pemegang kewajiban pemenuhan hak asasi dan hak anak, menjadi pelaku utama proses eksklusi tersebut.
Pendahuluan
Keberadaan pekerja anak menjadi fenomena sosial yang umum ditemui di Indonesia. Adanya anak-anak yang bekerja dapat ditemui di hampir semua pelosok perkotaan dan perdesaan, dan dengan beragam jenis pekerjaan mulai dari membantu orang tua membantu orang tua menjaga warung sampai ke jenis-jenis pekerjaan yang beresiko tinggi dan kurang layak bahkan bagi orang dewasa sekalipun, seperti bekerja di industri kimia atau bahkan menjadi pekerja seks komersial, misalnya. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut jenis pekerja ini. Diantaranya ada yang menyebutnya sebagai buruh anak, pekerja anak, atau tenaga kerja anak. Di Indonesia, istilah ‗resmi‘ yang banyak digunakan dalam data/dokumen pemerintah adalah ‗tenaga kerja anak‘. Menurut International Labour Organization/ILO (2004), mengutip laporan Sakernas (Survei Tenaga Kerja Nasional) tahun 1
2001, diperkirakan jumlah anak-anak berusia 10-14 tahun yang bekerja sebagai pekerja mencapai 1.575.000 (7,5 persen). Sementara berdasarkan data Sakernas 1999, sebanyak 26,1% dari pekerja anak adalah mereka yang berusia 15-17 tahun. ILO (2004c) juga mencatat bahwa sebagian besar dari pekerja anak bekerja di sektor pertanian keluarga dan perusahaan manufaktur serta perdagangan berskala kecil. Kondisi ekonomi makro juga sangat berpengaruh terhadap jumlah pekerja anak ini. Krisis ekonomi 1997-1998 lalu misalnya, dianggap telah mengubah struktur pekerja anak. Akibat krisis terjadi informalisasi pekerja anak, membengkaknya jumlah anak yang bekerja di sektor pertanian, meningkatnya pekerja anak di perkotaan dan menurunnya upah riil. Selain itu, akibat krisis tersebut juga membuat semakin banyak anak yang bekerja pada pekerjaan yang tidak menyenangkan, yang tidak diatur dengan jelas, tidak terlindungi dan tidak formal, yang kondisinya lebih buruk dibandingkan sebeleum terjadinya krisi ekonomi. Perkiraan jumlah pekerja anak bekerja pada jenis pekerjaan terburuk seperti tergambar pada Tabel 1.
Tulisan ini mengangkat isu pekerja anak di Indonesia, dengan mencoba mengidentifikasi bentukbentuk eksklusi yang terjadi, agen yang berperan dalam proses eksklusi tersebut, dan mekanisme eksklusi yang dilakukan kelompok/aktor dominan tersebut. Selain dalam tulisan itu juga akan coba mengidentifikasi akar persoalan terkait dengan nilai dan budaya di masyaarakat, serta yang terkait dengan kebijakan dan regulasi pemerintah yang ada.
Bagian 1: Pekerja Anak dan Analisis Gender Anak Sebelum mendefinisikan apa yang dimaksud pekerja anak, menjadi penting untuk memperjelas batasan mengenai ‗anak‘ terlebih dahulu. Definisi ‗anak‘ --dalam pengertian batasan usia seorang perempuan dan laki-laki dapat disebut sebagai anak untuk kepentingan analisis/kebijakan-- tidak sama antar peneliti, lembaga dan/atau negara. Di Indonesia, anak-anak didefinisikan sebagai laki-laki dan perempuan yang berusia di bawah 18 tahun (BPS dan ILO, 2010). Definisi ini sesuai dengan konvensi dan peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun internasional, yaitu: (a) Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pada 1990 (melalui Keputusan Presiden No 36) mendefinisikan usia di bawah 18 sebagai anak-anak kecuali, berdasarkan hukum, kedewasaan telah dicapai lebih awal; (b) Konvensi ILO No 138 dan diratifikasi oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 menyatakan dasar usia minimum untuk bekerja di Indonesia adalah 15; (c) Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk bayi yang masih dalam rahim ibu mereka; (d) Undang-undang No 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan tentang mendefinisikan tenaga kerja anak-anak adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. 2
Definisi ‗anak‘ ini diatur dalam Konvensi Hak Anak-hak Anak PBB tahun 1989. Konvensi Hak Anak pada Pasal 1 secara umum mendefinisikan anak sebagai orang yang belum mencapai usia 18 tahun. Namun dalam pasal tersebut juga mengakui kemungkinan adanya perbedaan atau variasi dalam penentuan batas usia kedewasaan di dalam peraturan perundangundangan dari tiap-tiap Negara Peserta. Misalnya, untuk bekerja, untuk ikut pemilihan umum, untuk mengkonsumsi minuman beralkohol, untuk bertanggung jawab secara pidana atau untuk bisa dijatuhi hukuman mati dan sebagainya (ELSAM, 2005).
Pekerja Anak Definisi anak di atas terkait erat dengan definisi pekerja anak. Definisi antar peneliti, lembaga dan/atau negara juga tentunya beragam.1 ILO memperkenalkan perbedaan antara kerja anak, yang dapat diterima, dan pekerja anak, yang perlu dihilangkan. Dalam hal ini, empat kelompok anak-anak terlibat dalam pekerjaan / buruh diidentifikasi:
Anak-anak di tempat kerja;
Anak-anak terlibat dalam perburuhan anak, termasuk semua anak usia 5 sampai 11 tahun yang terlibat dalam kegiatan ekonomi; anak-anak berusia 12 sampai 14 tahun yang melakukan ekonomi aktif, kecuali mereka yang melakukan pekerjaan ringan kurang dari 14 jam per minggu; dan, anak-anak berusia 15 sampai 17 tahun yang terlibat dalam setiap jenis pekerjaan yang berbahaya.
Anak-anak dalam pekerjaan berbahaya, yaitu, pekerjaan yang kemungkinan akan membahayakan kesehatan, keselamatan, atau pengembangan moral anak. Selain anak yang bekerja di pertambangan, konstruksi atau kegiatan berbahaya lain, kelompok ini termasuk semua anak-anak di bawah 18 tahun yang bekerja 43 jam atau lebih per minggu.
Anak-anak dalam bentuk-bentuk terburuk pekerja anak tanpa syarat, seperti yang didefinisikan oleh Konvensi ILO No 182. Ini termasuk anak-anak dalam kerja paksa atau terikat, konflik bersenjata, prostitusi dan pornografi, dan aktivitas illegal. (UNICEF, 2007).
1
Dari penelitian Rahman (2007), ada beberapa definisi para peneliti yang dapat dijadikan contoh, antara lain: Pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau untuk orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Tjandraningsih, 1995); Pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau untuk orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Tjandraningsih, 1995); Kertonegoro (1997), pekerja anak merupakan tenaga kerja yang dilakukan anak dibawah umur 15 tahun; Manurung (1998) memaknai pekerja anak sebagai mereka yang berusia 10-14 tahun dan sedang bekerja paling sedikit satu jam secara kontinyu dalam seminggu. 3
UNICEF telah memperluas definisi ILO tentang pekerja anak dengan menekankan pentingnya pekerjaan rumah tangga oleh anak-anak, yaitu, selain untuk bekerja ekonomi. UNICEF mendefinisikan pekerja anak sebagai berikut:
Anak-anak 5 -11 tahun terlibat dalam kegiatan ekonomi, atau melakukan pekerjaan rumah tangga 28 jam lebih per minggu;
Anak-anak 12-14 tahun terlibat dalam kegiatan ekonomi (kecuali pekerjaan ringan kurang dari 14 jam per minggu), atau, pekerjaan rumah tangga 28 jam atau lebih per minggu;
Anak-anak 15-17 tahun terlibat dalam pekerjaan berbahaya (UNICEF, 2007). Di Indonesia, BPS dan ILO telah membuat perbedaan pengertian/batasan antara ‗anak yang
bekerja‘ dan ‗pekerja anak‘. Istilah anak-anak yang bekerja lebih mengacu pada istilah teknis 'anak-anak yang melakukan kegiatan bekerja'. Sementara istilah pekerja anak merujuk kepada pekerja anak setelah mempertimbangkan kelompok usia dan jam kerja (BPS dan ILO, 2010).
Jenis Pekerjaan Terburuk Anak Manual panduan fasilitator ILO (2004) menyebutkan, bahwa: Child labour of girls and boys refers to work that is “mentally, physically, socially, or morally dangerous and harmful to children”. It also interferes with their schooling, depriving them of the chance to attend school, compelling them to leave school at an early age, or forcing them to combine school with their already heavy workload. Dapat dimaknai bahwa istilah pekerja anak ini oleh ILO dikaitkan dengan pekerjaan yang secara langsung ataupun tidak langsung (secara mental, fisik, sosial dan moral) telah dan/atau akan dapat membahayakan atau melukai anak-anak tersebut. Analisis terhadap pekerja anak, oleh ILO, juga selalu dikaitkan dengan bagaimana pengaruh dari bekerjanya anak-anak terhadap akses mereka ke pendidikan. Konvensi International Labour Organization 182 tahun 1999 menetapkan jenis-jenis pekerjaan terburuk anak. Pemerintah RI telah meratifikasi konvensi tersebut dan mensahkannya melalui UU No. 1 Tahun 2000. Selanjutnya melalui Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002, pemerintah telah mengidentifikasi 13 jenis pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu: 1. Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur. 2. Mempekerjakan anak-anak di pertambangan. 3. Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara. 4. Mempekerjakan anak-anak di bidang konstruksi. 5. Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (yang di Indonesia disebut jermal). 6. Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung. 7. Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak. 4
8. Mempekerjakan anak-anak di jalanan. 9. Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga. 10. Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga (cottage industries). 11. Mempekerjakan anak-anak di perkebunan. 12. Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan dan pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan. 13. Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya.
Faktor yang Menyebabkan Adanya Pekerja Anak Fenomena sosial adanya pekerja anak tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun terjadi di seluruh dunia. Banyak pihak sudah melakukan upaya memetakan masalah pekerja anak dan mencari jalan keluar terbaik untuk menangani (setidaknya mengurangi) masalah yang menimpa anak-anak dunia tersebut. UNICEF (2007), dari hasil analisis terhadap masalah pekerja anak di seluruh dunia, menyimpulkan sejumlah faktor yang menjadi penyebab munculnya pekerja anak: (a) Kemiskinan. -
Marcus (1998) melihat ―pekerja anak sebagai produk dari kekuatan pasar, yaitu adanya hukum penawaran dan permintaan, yang ada di kalangan pengusaha serta individu rumah tangga‖. Menurut Marcus, kemiskinan dalam skala luas merupakan penyebab utama mengapa anak bekerja.
(b) Ketidakadilan. -
Save the Children Alliance (1997) mencatat bahwa kesenjangan sosial struktural berdasarkan jenis kelamin, etnisitas, kelas umur, dan kasta, juga berpengaruh terhadap adanya anak-anak yang bekerja, jenis pekerjaan yang mereka lakukan, dan kondisi kerja mereka.
-
Disisi lain, persepsi tentang apa yang dianggap baik bagi anak sangat bervariasi antar budaya, dan seringkali bekerja penuh waktu dianggap kegiatan yang paling tepat untuk orang miskin, mereka yang berasal dari kasta rendah, atau anak dari kelompok minoritas. Sementara anak perempuan di banyak tempat dianggap cukup tinggal dan membantu membantu orang tua di rumah ketika saudara mereka yang laki-laki pergi bersekolah.
-
Ketidaksetaraan dalam penyediaan pelayanan sosial dan pendidikan dan peluang ekonomi antara daerah pedesaan dan perkotaan juga dapat membuat tekanan khusus pada anak-anak pedesaan untuk bekerja dan tidak bersekolah, dan juga, kadang-kadang, untuk bermigrasi secara sukarela atau secara paksa ke daerah perkotaan baik secara legal atau illegal untuk
5
mencari ‗kesempatan‘ atau ‗peluang‘ hidup di kota, ketika desa sudah tidak dapat menjanjikan banyak hal lagi buat mereka. -
Krisis ekonomi, penyesuaian ekonomi berorientasi pasar dan kebijakan transisi cenderung memperburuk ketimpangan, dan sering meningkatkan ketersediaan dan permintaan tenaga kerja anak-anak.
-
Pada saat yang sama, liberalisasi perdagangan dan internalisasi peningkatan produksi juga dapat menciptakan pasar baru tenaga kerja yang tidak terampil, tenaga kerja murah (sering termasuk anak-anak). Kesenjangan ekonomi dan pertumbuhan yang cepat, juga telah memberikan kontribusi bagi munculnya pekerja anak, akibat meningkatnya kerentanan rumah tangga miskin di satu sisi, dan berkurangnya sumber daya yang tersedia untuk penyediaan pendidikan dan kesejahteraan negara di sisi lain.
(c) Akses ke pendidikan. -
Fyfe (1999) menunjukkan bahwa pekerja anak dan pendidikan tidak perlu saling eksklusif (terpisah dan dipertentangkan), tetapi "sejumlah cacat dalam pendidikan memainkan peranan penting dalam memberikan kontribusi terhadap masalah pekerja anak, dan karena itu harus menjadi bagian dari solusi apapun" (Fyfe, 1999).
-
Meskipun banyak negara telah berupaya memenuhi kewajibannya menyediakan pendidikan gratis, namun itu tidak berarti bahwa pendidikan benar-benar gratis bagi masyarakat. Ada biaya-biaya lain yang tetap harus dibayarkan orang tua agar anaknya tetap bisa sekolah, seperti biaya untuk seragam, buku teks, transportasi dan kadang-kadang ‗uang insentif‘ untuk guru sendiri, adalah beban besar bagi orang-orang yang miskin. Banyak anak telah mencari pekerjaan atau terpaksa drop-out dari sekolah karena alasan ekonomi, termasuk biaya sekolah (Matsuno dan Blagbrough, 2005).
-
Tampaknya ada indikasi bahwa investasi yang tepat dalam pendidikan SD dan lebih rendah secara signifikan menurunkan tingkat partisipasi pekerja anak.
-
Dalam kasus keluarga dengan tingkat kerentanan ekstrim, mungkin hanya akan melihat sedikit atau bahkan tidak ada manfaatnya sama sekali untuk mengirim anak ke sekolah, dengan ‗perhitungan rugi-laba‘ jika si anak dianggap dapat membantu mencari nafkah bagi keluarga.
-
Hal ini juga mungkin bahwa keluarga termiskin dan paling rentan juga dapat melihat pekerjaan anak sebagai latihan anak untuk bertahan hidup, mengingat ketakutan rasional mereka bahwa kerentanan dan kemiskinan mungkin akan berlangsung dari generasi ke generasi.
-
Di negara-negara di mana diskriminasi gender sangat tinggi, dan status perempuan dan anak perempuan kurang mendapat perhatian, anak perempuan lebih rentan untuk bergabung 6
dengan angkatan kerja. Orang tua juga enggan untuk mengirim anak perempuan mereka ke sekolah karena mendidik mereka tidak dipandang sebagai investasi yang baik. Laporan dari
the UNICEF State of the World Children 2007 mengindikasikan bahwa "untuk setiap 100 anak laki-laki keluar dari sekolah, ada 115 anak perempuan dalam situasi yang sama" (UNICEF, 2006). (d) Kultur. -
Norma, nilai-nilai dan praktik budaya untuk mendukung anak laki-laki atas perempuan, terutama menyangkut akses mereka ke pendidikan, telah berubah dan telah ada kemajuan dalam hal menyediakan akses yang sama terhadap anak perempuan dan anak laki-laki untuk pendidikan dasar. Namun, masih ada sejumlah masalah. Anak perempuan masih kurang memiliki akses terhadap pendidikan dan pelatihan, terutama pada tingkat sekunder dan tersier.Seringkali mendidik seorang gadis dipandang sebagai investasi yang buruk karena gadis itu akan menikah dan meninggalkan rumah, membawa manfaat pendidikan untuk keluarga suami daripada sendiri.2
(e) Pendidikan orang tua.3 -
ILO pernah melakukan penelitian kualitatif di Republik Dominika, Ekuador, Ghana, Filipina, Afrika Selatan dan Turki, yang hasilnya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua memiliki pengaruh atas keterlibatan anak-anak dalam bentuk tenaga kerja yang berbahaya. Kebanyakan orang tua anak-anak dieksploitasi tidak menyelesaikan pendidikan formal, banyak dari mereka buta huruf. Faktor lain yang diidentifikasi oleh penelitian kualitatif di Libanon adalah ukuran keluarga besar dan pendidikan ibu.
(f) Diskriminasi gender. -
Anak-anak yang paling rentan terhadap pekerja anak seringkali mereka yang juga tunduk pada diskriminasi dan pengucilan, termasuk anak perempuan, etnis minoritas dan masyarakat adat dan suku, orang-orang kelas rendah atau kasta, orang cacat, orang-orang pengungsi dan mereka yang tinggal di daerah terpencil (ILO , 2006).
-
Menurut UNICEF (2004), "perempuan sering mulai bekerja pada usia lebih dini daripada anak laki-laki, terutama di daerah pedesaan di mana anak yang bekerja sebagian besar
2
Laporan UNICEF tersebut juga menyebutkan kemungkinan adanya alasan lain dari orang tua ketika untuk mengirimkan anak perempuan untuk bekerja, yaitu budaya/tradisi tertentu di suatu masyarakat. Hampir 50 persen dari orang tua yang diwawancarai dalam penelitian Dhaka-Bangladesh mengatakan bahwa pertimbangan paling penting untuk mengirimkan perempuan untuk pekerjaan rumah tangga adalah biaya perkawinan, terutama mas kawin (UNICEF, 2004). Orangtua mengirim anak-anak perempuan bekerja untuk mengumpulkan uang/menabung untuk biaya mas kawin mereka. 3 Penelitian SMERU (2005) menunjukkan kesamaan dengan situasi di Indonesia. Pasokan pekerja anak kebanyakan datang dari rumah tangga dengan ekapal rumah tangga yang tidak mempunyai atau hanya berpendidikan dormal sangat rendah. 7
ditemukan". Sebagai hasil dari kepatuhan terhadap peran gender tradisional, banyak gadis terjebak dalam berbagai kegiatan pekerja anak. -
Gender memainkan peran penting dalam menentukan berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan. Anak perempuan mendominasi pekerjaan domestik, sedangkan anak laki-laki sangat terwakili dalam pertambangan dan penggalian (ILO, 2006).
-
Seringkali anak perempuan yang bekerja namun dianggap ‗tidak masuk hitungan‘ di beberapa sektor pekerjaan seperti di sektor pertanian dimana banyak pekerja anak terlibat didalamnya. . Disisi lain, data mengenai anak laki-laki yang terlibat prostitusi juga seringkali sama-sama tersembunyi karena sering diyakini jenis pekerjaan tersebut adalah ‗domain‘ anak perempuan.
(g) Kerentanan (vuelnerability). -
Hal lain yang turut menjadi factor penentu penting dari pekerja anak adalah pertimbangan risiko sosial untuk keluarga dan strategi manajemen risiko mereka. Kurangnya akses dan alternatif yang dapat mengurangi beban sosial ekonomi keluarga dapat menjadi factor pendorong terodorongnya anak ke dunia kerja.
-
Banyak keluarga miskin yang menganggap hasil kerja/pendapatan anaknya secara signifikan lebih tinggi daripada pendidikan.
-
Jumlah keluarga yang besar dimana orangtua kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan seluruh anaknya juga mempengaruhi pilihan menyuruh atau membiarkan anak bekerja.
-
Faktor lain yang mendorong anak-anak ke dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah keluarga yang disfungsional, rumah tangga dengan hanya perempuan sebagai kepala keluarga, masalah pribadi, diskriminasi gender, dan praktek perkawinan tradisional.
-
Ada juga faktor dari si anak sendiri yaitu keinginan mereka untuk dapat segera dapat memperoleh uang. Rasa ingin tahu anak-anak, konsumerisme, keinginan meniru gaya hidup tertentu juga sering mempengaruhi alasan dan menentukan cara-cara di mana anak laki-laki dan perempuan bekerja, bermigrasi atau diperdagangkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak laki-laki cenderung lebih rentan terhadap tekanan sebaya, sedangkan anak perempuan didorong oleh keluarga dan tekanan teman sebaya (ILO, 2004).
-
Krisis sosial akibat konflik dan bencana alam juga dapat mempengaruhi kehadiran pekerja anak dan kegiatan lain yang membahayakan anak. Dalam banyak kasus anak-anak didorong ke dalam tenaga kerja karena konteks krisis dan ketidakamanan, konflik dan bencana alam, seperti tsunami 2004 atau gempa bumi di Pakistan pada tahun 2005 dan HIV / AIDS masyarakat yang terkena dampak (Marcus, 1999). Konflik dan bencana membuat kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sulit, yang mendorong anak untuk bekerja apa saja (termasuk menjadi
pekerja
seks)
untuk
memperoleh
uang/makan.
Konflik
juga
dapat 8
mendorong/memaksa anak terlibat dalam kegiatan berbahaya seperti menjadi serdadu cilik, penyelundup, dll. (h) Krisis ekonomi.4 -
Marcus
(1999)
mencatat
bahwa
penurunan
ekonomi
dapat
mengganggu
mata pencaharian keluarga miskin dan mengurangi investasi publik di bidang pendidikan, sehingga mengurangi daya tarik untuk anak-anak dan meningkatkan biaya. -
Penurunan ekonomi juga berarti stagnasi atau penurunan pendapatan rata-rata. Dampak itu bahkan lebih buruk ketika sektor-sektor yang mempekerjakan orang miskin yang terpengaruh, khususnya, pertanian dan industri padat karya, yang membuat terjadinya pengurangan lapangan kerja dan/atau pengurangan tenaga kerja. Akibat pendapatan orang tua berkuran atau orang tua tidak bekerja, anak semakin terdorong menjadi pekerja anak.
Ada sejumlah faktor lain yang mempengaruhi keberadaan dan situasi yang dialami pekerja anak, diantaranya:5 (a) Faktor tradisi dan konteks budaya: seringkali terlihat sebagai hal yang lumrah ketika anak-anak bekerja dan membantu orang tua mereka. Di banyak daerah perdesaan khususnya, sangat biasa jika anak-anak dilibatkan dalam pekerjaan pertanian pada usia yang sangat muda, atau membantu pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menggembala ternak atau hanya menjaga adiknya. Atau, sangat umum bagi orang tua untuk mengirimkan anaknya menjadi pembantu rumah tangga di rumah keluarga atau teman. Sangat umum ada persepsi di masyarakat kebanyakan bahwa bekerja sejak kecil seperti itu akan membangun keterampilan dan karakter anak.
(b) Kondisi pendidikan di daerah: jika ada kendala dalam mengakses pendidikan di sekolah, atau jika persepsi terhadap pentingnya pendidikan dipersepsikan rendah atau tidak relevan/sesuai dengan kebutuhan di masyarakat, para orang tua mungkin akan menganggap bekerja sebagai alternatif dari sekolah, dan dengan demikian masa kanak-kanak mereka akan lebih berguna jika dimanfaatkan untuk bekerja. Adanya pengusaha atau industri tertentu di sekitar tempat tinggal juga mempengaruhi keberadaan pekerja anak, karena mereka umumnya suka mempekerjakan anak yang dapat dibayar lebih rendah, lebih penurut/mudah diatur, dan memiliki lebih cekatan dibandingkan orang dewasa. 4
Sinyalemen ini sejalan dengan temuan di Indonesia.Hasil studi SMERU (2005) menunjukkan ada pengaruh krisis ekonomi di Indonesia terhadap pertambahan pekerja anak, meskipun tidak terlalu meluas. Akibat menjadi pekerja anak, banyak diantara mereka terpaksa putus sekolah atau menyebabkan proses belajar di sekolah tidak efektif. Dalam hal ini ada lingkaran setan antara pekerja anak dan kemiskinan. 5 ILO 2004a, dan sumber lainnnya. 9
(c) Usia atau usia kerja: ada perbedaan ukuran di berbagai daerah dan/atau Negara mengenai batas usia seseorang masih dianggap anak-anak atau sudah remaja. Perbedaan ini tentunya dapat sangat berpengaruh pada usia seorang anak dianggap wajar atau bahkan harus mulai bekerja, dan jika bekerja juga dapat mempengaruhi standar gaji/upah yang diterimanya. Faktor usia ini juga akan berpengaruh terhadap usia yang dianggap layak untuk menikah, yang membuat anak terdorong untuk segera bekerja dan dapat menghasilkan uang sendiri. (d) Kondisi ekonomi: kondisi ekonomi keluarga seringkali mempengaruhi jenis pekerjaan dan situasi pekerjaan dimana anak terlibat di dalamnya. Sebagai contoh, anak dari keluarga yang secara ekonomi cukup baik akan memiliki peluang lebih besar untuk dapat bersekolah lebih lama. Anak dari keluarga yang memiliki usaha sendiri mungkin juga akan mengharapkan anaknya dapat melanjutkan usaha tersebut selepas dari sekolah. Bagaimanapun, kemiskinan merupakan faktor pendorong utama anak harus pekerja, dan anak dari keluarga miskin seringkali harus segera bekerja pada usia sangat muda karena penghasilan mereka sangat penting untuk menunjang atau bahkan menjadi sumber penghasilan utama keluarga tersebut. Kondisi ini membuat anak seringkali harus keluar dari rumah dan tinggal di sekitar (atau di tempat kerjanya), yang seringkali mengharuskannya merantau ke daerah yang jauh dari tempat tinggalnya semula. Situasi ini berperan mendorong munculnya masalah-masalah lain yang lebih kompleks, seperti urbanisasi, anak jalanan di kota besar, dll. (e) Etnisitas, kasta atau kelas sosial: posisi sosial (social standing) yang ditentukan oleh satu etnis, kasta, atau kelas, juga mempengaruhi jenis kegiatan anak-anak diizinkan untuk terlibat dalam atau kesempatan yang mereka miliki untuk mendapatkan pelatihan di berbagai bidang. Misalnya, anak-anak dari kasta yang lebih rendah atau kelas akan lebih cenderung untuk melakukan pekerjaan kasar yang dibayar rendah daripada yang dari elit atau latar belakang kelas yang lebih tinggi.
Keterkaitan Isu Gender pada Masalah Pekerja Anak Gender merujuk pada kompleks budaya berdasarkan norma, nilai dan perilaku yang menentukan bagian budaya tertentu pada salah satu jenis kelamin atau yang lainnya (Ember dan Ember, 2003). Dalam sejarahnya, meskipun kedua jenis kelamin --perempuan dan laki-laki-- telah melakukan peran ekonomi yang sama penting bagi kelangsungan hidup keluarga mereka, masyarakat, dan negara, namun akses lakilaki terhadap bentuk-bentuk kerja tertentu telah diistimewakan dan dilindungi, sementara peluang perempuan jauh lebih terbatas (Frader, dalam Meade and Weisner-Hanks, 2004). Dalam konteks Indonesia, konsepsi mengenai gender ini secara formal dinyatakan pada Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan. Dalam peraturan 10
tersebut disebutkan bahwa gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Kondisi yang diinginkan adalah adanya kesetaraan gender dan keadilan gender dalam pengertian adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Perbedaan gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Perbedaan tersebut kerapkali berujung pada situasi yang menyebabkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi gender. Ketidakadilan dan diskriminasi merupakan produk dari sistem dan struktur sosial yang tidak adil, yang dapat menimpa laki-laki maupun perempuan, meskipun seringkali lebih banyak terjadi pada perempuan. Pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki tersebut dapat bersifat langsung, misalnya dalam wujud sikap dan perilaku tertentu, ataupun tidak langsung sebagai dampak dari suatu kebijakan, norma atau adat di masyarakat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN dan UNFPA (2004) memetakan bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender, yaitu: (1) Marginalisasi, yaitu proses peminggiran atau pemiskinan, contohnya adalah modernisasi usaha pertanian yang membuat peran perempuan tersisih dari kegiatan ekonomi; (2) Sub ordinasi, yaitu situasi dimana salah satu pihak dianggap harus selalu berada dibawah pihak yang lain. Hal ini didasarkan oleh pemikiran bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau utama dibandingkan jenis kelamin lainnya; (3) Stereotype, adalah pelabelan atau penandaan yang seringkali bersifat negatif dan merugikan; (4) Kekerasan, dalam berbagai bentuknya, baik kekerasan fisik maupun psikis; (5) Beban kerja, adalah pembagian jenis pekerjaan/kegiatan yang dianggap pantas atau seharusnya dikerjakan oleh jenis kelamin tertentu. Dalam hal ini perempuan umumnya mendapatkan beban ganda, karena selain dianggap harus mengurus rumah dan keluarga banyak diantara juga tetap harus bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Mengapa isu pekerjaan anak dikaitkan dengan gender (dan sebaliknya)? ILO (2004a) menyebutkan bahwa alasan untuk mencermati perbedaan gender dalam isu pekerja anak adalah kerena mereka memang sunguh-sungguh ada. Dalam hal ini, masyarakat telah menentukan jenis pekerjaan yang dianggap ‗dapat‘ dan ‗pantas‘ dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki. Peran gender merupakan kunci budaya yang penting, baik di dalam situasi dan tradisi keluarga, pembedaan jenis kegiatan antara laki-laki dan perempuan, dan itu semua juga meluas pada realitas kehidupan pekerja anak. Berangkat dari perbedaan peran gender dan adanya berbagai stereotype yang ada di masyarakat, anak laki-dan perempuan kemudian memiliki pengalaman bekerja yang berbeda, yang juga melahirkan harapan pada diri mereka yang berbeda pula. ILO (2004, a) menyatakan bahwa diskriminasi gender juga terjadi pada pekerjaan dimana anak laki-laki dan perempuan terlibat didalamnya. Diskriminasi gender adalah sejumlah eksklusi atau pembedaan berdasarkan perbedaan sex atau gender yang berakibat pada ketidadilan/ketidaksamaan 11
kesempatan dan perlakuan. Diskriminasi ini ada dua jenis, yaitu: (a) Diskriminasi yang bersifat langsung, yang bersifat disengaja dan seringkali ditemukan pada peraturan/kebijakan, contohnya adanya perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan meskipun memiliki kualifikasi dan mengerjakan pekerjaan yang sama; (b) Diskriminasi yang bersifat tidak langsung, tersirat pada perlakuan yang tidak sama atau tidak adil dari orang lain meskipun itu kelihatannya hanya situasi netral atau buta gender saja, contohnya: perempuan dianggap hanya cocok untuk pekerjaan yang hanya memerlukan ketelitian dan rutinitas saja, dll. Budaya yang memandang salah satu jenis kelamin lebih tinggi status dan perannyalah yang mendorong lahirnya diskriminasi tidak langsung ini. Penanganan masalah pekerja anak harus memperhitungkan dan mempromosikan kesetaraan gender, dan untuk menjamin bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama ke dan kontrol atas sumber daya dan peluang yang sama untuk berhasil dalam hidup. Kesetaraan gender bukan berarti hanya berfokus pada perempuan, namuan harus dimaknai sebagai adanya kesempatan yang sama untuk kedua jenis kelamin. Dalam mempromosikan kesetaraan gender, hal yang juga penting diperhatikan adalah adanya stereotype gender tentang laki-laki. Contoh, banyak orang yang menganggap prostitusi adalah masalah sosial yang melibatkan anak perempuan sebagai pelaku/korban. Namun penelitian telah menunjukkan bahwa pada beberapa budaya, banyak anak laki-laki juga dipaksa menjadi pelacur. Dengan demikian, sangat penting untuk menekankan bagaimana peran gender dan jenis kelamin mempengaruhi kerja anak laki-laki dan tidak hanya mengasumsikan bahwa isu gender hanya tentang perempuan dan menjadi perhatian kaum perempuan. Dalam hal ini sangatlah penting untuk memperlakukan setiap pekerja anak sebagai seorang anak individu dan mengkaji situasinya sebelum mengambil posisi mengenai isu-isu pekerja anak atau intervensi tertentu.
Bab 2: Potret Situasi Pekerja Anak Indonesia
Jenis pekerjaan yang melibatkan pekerja anak dan dampaknya terhadap anak secara umum dapat diketahui. Namun memetakannya secara lengkap dan rinci adalah pekerjaan berat yang belum selesai. ILO (2004c) menyebutkan, secara umum, untuk mendapatkan data yang sahih tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk pekerja anak bukanlah hal yang mudah karena sifatnya yang terselubung, mobilitasnya yang tinggi dan keterbatasan akses. Upaya untuk dapat mengumpulkan data dan peta situasi pekerja anak di Indonesia tampaknya tengah terus dilakukan oleh pemerintah dan mitra-mitra kerjanya. Pada tahun 2010 ini, Badan Pusat Statistik (BPS) dan ILO Indonesia mengeluarkan terbitan bersama hasil laporan hasil Survei Pekerja
12
Anak (SPA) 2009.6 Meskipun survei ini belum mencakup seluruh jenis pekerjaan terburuk anak,7 namun cukup menarik untuk dijadikan data awal mengenai peta situasi pekerja anak.8 Jika pendataanya dapat ditingkatkan sampai ke jenis pekerjaan terburuk anak, tentunya akan semakin bermanfaat untuk digunakan sebagai salah satu sumber informasi utama perencanaan program penanggulangan masalah pekerja anak ini. Laporan ini menarik karena cukup gambling memperlihatkan pola pekerja anak dari berbagai aspek, termasuk gender, yang menjadi fokus tulisan ini. Pada bagian ini akan disajikan beberapa temuan utama dari SPA 2009, dengan sedikit modifikasi dan tambahan dari Penulis. Laporan SPA menginformasikan, perkiraan jumlah anak umur 10-17 tahun yang bekerja pada tahun 2009 adalah sekitar 1,7 juta. Jumlah pekerja anak ini cenderung sedikit meningkat selama lima tahun terakhir. Selama 5 tahun terjadi peningkatan sekitar 300 ribu pekerja anak, dari sebelumnya 1,4 juta pada tahun 2004. Namun. anak-anak yang terlibat dalam aktivitas sekolah atau kegiatan mengurus kerumahtanggaan jauh lebih besar jumlahnya daripada anak yang bekerja. Laporan SPA 2009 menunjukkan bahwa secara umum hanya terjadi sangat sedikit kenaikan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) anak antara 2004 – 2009. Tingkat Partisipasi Sekolah (TPS) terlihat selalu lebih tinggi perkotaan daripada pedesaan,dan hampir berada pada level yang sama antara laki-laki dan perempuan. TPS ini cenderung menurun secara bertahap menurut umur. TPAK anak pada tahun 2009 adalah sekitar 12,1 persen. Laporan SPA memaknainya sebagai kecenderungan bahwa sebagian besar anak-anak dalam kelompok umur tersebut tidak berada dalam angkatan kerja dan sebagian besar masih berpartisipasi di sekolah. Seperti TPAK, partisipasi sekolah anak-anak bervariasi menurut umur. Namun, berbeda dengan TPAK, tingkat partisipasi sekolah (TPS) menurut umur mengalami
6
SPA 2009 menggunakan kerangka sampling diperoleh dari hasil listing Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2008 yang telah di up-date. Selama listing, semua anak umur 5-17 yang dianggap sebagai bekerja dengan standar Sakernas dicatat. Hasilnya adalah apa yang disebut dengan ―frame kabupaten/kota‖ ; yang merupakan jumlah anak yang bekerja di setiap kabupaten. Dalam frame kabupaten/kota ini, dari 248 kabupaten, dipilih secara proporsional dengan jumlah anak yang bekerja. Seluruh rumah tangga di blok sensus terpilih, sekitar 12.000 rumah tangga, kemudian diwawancarai dengan menggunakan kuesioner SPA (dan dengan kuesioner Sakernas). Sebagai catatan, Semua konsep dan definisi yang diterapkan di SPA sejalan dengan resolusi mengenai pekerja anak yang diadopsi oleh ke-18 Negara pada Konferensi Perburuhan Internasional pada Desember 2008. 7 Dalam SPA tidak dapat diterapkan secara tepat konsep Pekerja Anak. Alasannya jelas: istilah 'pekerjaan berbahaya' dan 'bentuk-bentuk terburuk' pada kenyataannya sulit untuk diterapkan dalam survei rumah tangga seperti Sakernas atau SPA. 8 Profil anak-anak yang bekerja di Indonesia berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Istilah anakanak yang bekerja di sini merujuk kepada anak-anak berumur 10-17 tahun yang dianggap sebagai bekerja oleh definisi standar, bahwa itu, terlibat dalam semua jenis kegiatan ekonomi seperti dalam konsep SNN. Anak-anak yang membantu ibu-ibu mereka melakukan pekerjaan rumah tangga misalnya, tidak dianggap sebagai anak-anak yang bekerja. Sebaliknya, anak-anak yang membantu ibu-ibu mereka melakukan pekerjaan apapun untuk mendapatkan uang, dianggap sebagai bekerja dan olehkarena itu sebagai anak-anak yang bekerja tanpa melihat 'bentuk' pekerjaan, apakah itu berbahaya bagi anak-anak atau tidak. Sebagaimana disoroti dalam istilah sebelumnya, istilah anak-anak bekerja adalah sinonim dengan 'anak-anak yang dipekerjakan', sebuah terminologi standar yang digunakan oleh ILO. Oleh karena itu, dalam laporan ini kedua istilah ini dapat digunakan secara bergantian tanpa kehilangan makna (BPS dan ILO, 2010).
13
penurunan. Untuk hampir semua anak-anak berumur di bawah 15 tahun, tingkat partisipasi sekolah masih tinggi, sekitar 80 persen pada 2009 .
Sementara itu, dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2009 diketahui bahwa bahwa rata-rata jam kerja bagi pekerja anak adalah 27 jam. Pekerja anak yang memiliki jam kerja relatif rendah, yaitu antara 1-20 jam, adalah sekitar 36 persen. Sebaliknya, mereka yang memiliki jam kerja lebih dari 45 yang cukup tinggi, hampir 22 persen untuk laki-laki dan 29 persen untuk perempuan. Perbandingan antara daerah tempat tinggal menunjukkan jam kerja yang lebih tinggi di perkotaan daripada di pedesaan. Ada perbedaan jenis pekerjaan pekerja anak di daerah perkotaan dan pedesaan. Data Sakernas tahun 2009 menunjukkan di daerah perkotaan, mayoritas pekerja anak, sekitar 35 persen, bekerja sebagai operator dan pekerja kasar. Sebagai perbandingan, persentase pekerjaan yang sama di daerah pedesaan lebih kecil, kurang dari 20 persen. Sebaliknya, sekitar dua pertiga dari pekerja anak di daerah pedesaan bekerja sebagai pekerja di sektor pertanian; dan hanya 14 persen di daerah perkotaan. Secara keseluruhan jam kerja laki-laki sedikit lebih tinggi dibanding perempuan. Jam kerja kurang dari 16 jam per minggu, persentasenya lebih tinggi perempuan daripada laki-laki, ini kontras pada jam kerja lebih dari 29 jam, dimana persentase laki-laki lebih tinggi dibanding pada perempuan. Temuan survei menunjukkan, bahwa untuk anak-anak yang terlibat secara eksklusif dalam bekerja, hampir 45 persen dari mereka menghabiskan lebih dari 40 jam per minggu untuk bekerja. Sebaliknya, hanya 14 persen yang memiliki kurang dari 16 jam kerja per minggu. Sebagai perbandingan, untuk anak-anak yang bekerja dan sekolah, hanya 3,7 persen yang memiliki jam kerja kurang dari 16 jam. Hal ini terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan.
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Catatan: Kode untuk lapangan pekerjaan: 1 = Pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan; 3 = Industri pengolahan; 6 = Perdagangan besar, eceran, restaurant dan hotel; 9 = Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.
14
Secara keseluruhan, 57 persen anak umur 5-17 tahun bekerja di bidang pertanian, termasuk kehutanan, perburuan dan perikanan (Kode 1). Hasil SPA menunjukkan bahwa mereka lebih banyak terlibat dalam pekerjaan yang berkaitan dengan perkebunan. Perbandingan antara kelompok umur menunjukkan bahwa persentase untuk umur 15-17 tahun relatif rendah jika dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih muda. Perbandingan antara jenis kelamin menunjukkan persentase laki-laki lebih tinggi bagi dibanding perempuan (Grafik 1). Rata-rata terdapat 213 anak laki-laki di antara 100 anak perempuan yang terlibat dalam bidang pertanian (Grafik 2). Lapangan pekerjaan terpenting kedua pada anak yang bekerja adalah perdagangan, termasuk perdagangan besar dan eceran, rumah makan, dan hotel (Kode 6). Secara keseluruhan, 19 persen anakanak bekerja pada lapangan pekerjaan perdagangan. Tidak ada perbedaan besar pada persentase antar kelompok umur. Namun, perbandingan antara jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan: tidak seperti pada bidang pertanian, perdagangan adalah lapangan pekerjaan yang didominasi oleh perempuan (Grafik 1). Sementara Grafik 2 memperlihatkan bahwa rata-rata ada 66 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan terlibat dalam perdagangan. Kedua grafik tersebut juga menunjukkan bahwa seperti bidang perdagangan, bidang industri dan jasa (termasuk jasa perorangan dan jasa sosial kemasyarakatan Kode 9) adalah lapangan pekerjaan yang didominasi oleh perempuan.
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Dari laporan SPA diketahui, ada sekitar dua-pertiga dari total pekerja anak adalah pekerja keluarga yang tidak dibayar (sektor informal). Proporsi pekerja keluarga tak dibayar lebih rendah untuk kelompok umur yang lebih tua, yaitu pada kelompok umur 5-12 tahun hampir 83 persen, sedangkan pada kelompok umur 15-17 tahun hanya sekitar 58 persen. Perbandingan proporsi antar jenis kelamin hampir sama (Grafik 3).Secara rata-rata, ada 146 laki-laki untuk setiap 100 perempuan pekerja keluarga tidak dibayar (Grafik 3).
15
Laporan SPA menginformasikan bahwa proporsi anak yang bekerja sebagai karyawan, status pekerjaan yang biasanya digunakan sebagai pendekatan untuk sektor formal –secara keseluruhan hanya 24 persen. Proporsi ini berhubungan secara positif dengan umur: semakin tua umur anak, maka semakin besar kemungkinannya bahwa mereka adalah karyawan. Hal yang mungkin patut dicatat adalah bahwa proporsi pekerja/karyawan perempuan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (Grafik 3). Meskipun demikian, angka absolut untuk laki-laki masih lebih tinggi dibanding perempuan, yaitu rata-rata terdapat 131 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan yang bekerja sebagai karyawan (Grafik 4) Sebagian besar anak yang bekerja, yaitu sekitar 53 persen, terlibat dalam pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian, termasuk kehutanan, perikanan, dan perburuan (Kode 6). Namun, semakin tua kelompok umur, proporsinya semakin rendah. Perbandingan antara jenis kelamin menunjukkan proporsi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan (Grafik 5). Rata-rata terdapat sekitar 200 laki-laki dari 100 perempuan terlibat dalam jenis pekerjaan ini (Grafik 6).
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Catatan: Kode untuk lapangan pekerjaan: 3/4/5 = Tenaga Tata Usaha dan yang sejenis, Tenaga Penjualan dan Tenaga Usaha Jasa; 6 = Tenaga Usaha Pertanian, Perburuan Hewan, Kehutanan, dan Perikanan; 7/8/9 = Tenaga Produksi, Operator Alat Angkutan dan Pekerja Kasar
Jenis pekerjaan terpenting kedua bagi pekerja anak adalah tenaga produksi, operator alat-alat angkutan dan pekerja kasar (Kode 7/8/9). Perbandingan antara jenis kelamin menunjukkan proporsi lakilaki lebih tinggi daripada perempuan (Grafik 5); jumlah anak laki-laki pada jenis pekerjaan ini lebih dari dua kali lipat daripada anak-anak perempuan (Grafik 6). Grafik 6 juga menunjukkan bahwa tidak seperti jenis pekerjaan lain, tenaga tata usaha dan yang sejenis; tenaga usaha penjualan; dan tenaga usaha jasa (Kode 3/4/5) adalah jenis pekerjaan yang didominasi perempuan. Pada jenis pekerjaan ini, rata-rata terdapat 62 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
16
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Catatan: Kode untuk tempat pekerjaan: 1 = Rumah; 2 = Tempat pelanggan; 3 = Perkebunan/lading/kebun; 4 = Tempat Pembangunan Gedung, Tambang/Penggalian, Kolam/Danau/Sungai; 5 = Toko/Kios/Warung Kopi/Restauran/Hotel; 6 = Tempat Tidak Tentu, Tempat Tertentu, Jalan/Pasar, Lampu Merah; 7 = Lainnya.
Seperti disebutkan sebelumnya, ada cukup banyak anak-anak yang terlibat dalam perkebunan, termasuk ladang atau kebun (Kode 3), yaitu sekitar 47 persen. Selain itu, proporsi anak-anak yang berumur lebih muda, lebih tinggi daripada anak-anak yang lebih tua. Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Meskipun begitu, proporsi laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan (Grafik 7). Jumlah laki-laki yang bekerja di tempat semacam ini hampir lima kali lipat dari jumlah perempuan (Grafik 8). Dari laporan SPA ada beberapa hal perlu mendapat perhatian, diantaranya adalah temuan bahwa ada lebih dari delapan persen dari mereka bekerja di tempat tidak yang tidak menentu (berpindah-pindah), jalan atau pasar, lampu merah, dan tempat-tempat lain yang serupa (Kode 6). Untuk kelompok umur termuda, proporsinya bahkan mencapai lebih dari 10 persen. Perbandingan antar jenis kelamin menunjukkan bahwa proporsi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan (Lihat Grafik 7). Selain itu, seperti yang ditunjukkan pada Grafik 8, rata-rata jumlah anak laki-laki yang bekerja di tempat-tempat seperti itu hampir empat kali bila dibandingkan dengan jumlah anak perempuan.
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
17
Sementara itu, berkaitan dengan upah pekerja anak, terdapat variasi upah/pendapatan yang diterima oleh anak yang bekerja cukup besar. Sekitar 22 persen menerima Rp 100.000 per bulan atau kurang, dan sekitar tiga persen menerima Rp 1.000.000 atau lebih. Berdasarkan kelompok umur, anakanak yang bekerja dan mendapat penghasilan sebesar Rp 100.000 atau kurang pada kelompok umur 5-12 tahun proporsinya mencapai lebih dari 84 persen,sedangkan pada kelompok umur 15-17 tahun hanya 16 persen. Gambaran lainnya adalah bahwa anak-anak yang mendapatkan penghasilan lebih dari Rp 750.000, proporsinya hanya 2,1 persen untuk umur 5-12 tahun dan 11,2 persen untuk umur 15-17 tahun (Grafik 9) Dari laporan SPA juga dapat diketahui, bahwa rata-rata penghasilan untuk anak-anak yang bekerja adalah Rp 407.600 per bulan. Secara keseluruhan, 25 persen terendah dari anak-anak yang bekerja menerima paling banyak Rp 150.000 per bulan (yaitu, Q1), sedangkan 25 persen teratas dari mereka menerima Rp 550.000 atau lebih (Q3). Temuan penting lainnya adalah, anak laki-laki cenderung memiliki penghasilan yang lebih tinggi daripada anak perempuan. Proporsi anak-anak yang berpenghasilan lebih rendah lebih terlihat tinggi pada kelompok umur yang lebih muda daripada kelompok umur yang lebih tua; keadaan ini berlawanan pada tingkat penghasilan yang lebih tinggi. Dari survei tersebut juga dapat diperoleh informasi, bahwa anak-anak yang melakukan kegiatan kerumahtanggaan sebagian besar terlibat dalam aktivitas membersihkan rumah dan mencuci (Grafik 10). Secara umum, seperti yang diharapkan, jauh lebih banyak perempuan daripada anak laki-laki yang terlibat dalam kegiatan kerumahtanggaan. Anak-anak cenderung kurang terlibat dalam aktivitas perumahan jika mereka bekerja, dibanding dengan jika mereka tidak bekerja.
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Grafik 11 menunjukkan lebih banyak anak perempuan yang mulai bekerja pada kelompok usia paling muda (5-9) tahun. Sebaliknya, pada kelompok usia mulai kerja lainnya, anak laki-laki terlihat sedikit lebih banyak. Sementara itu, sebagian besar pekerja anak ternyata masih tinggal bersama kedua 18
orang tua mereka (Grafik 12). Sisanya tinggal bersama salah satu orang tua atau justru tinggal bersama orang lain. Pada mereka yang tinggal bersama orang lain, ternyata proporsi perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sebagian besar orang tua dari pekerja anak memiliki pekerjaan atau usaha sendiri, khususnya bapak (Grafik 13). Untuk para ibu, sekitar setengahnya merupakan pekerja keluarga tak dibayar. Sisanya bekerja sebagai pekerja. Sementara itu, dilihat dari jumlah pendapatan orang tua pekerja anak, sekitar 3035 persen memiliki pendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan; sekitar 25-30 persen berpendapatan antara Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Hanya sekitar 10 persen saja yang memiliki pendapatan Rp 1.500.000 sampai Rp 2.000.000 atau lebih (Grafik 14).
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sumber: SPA 2009, BPS & ILO
Sebagian besar pekerja anak hanya berpendidikan tertinggi yang ditamatkan hanya SD atau sederajat (sekitar 40 persen pekerja laki-laki, dan sekitar 35 persen pada pekerja perempuan). Sekitar 30 persen pekerja perempuan berpendidikan tertinggi SMP, dan pada pekerja laki-laki sekitar 25 persen. Kurang dari 5 persen tenaga kerja laki-laki dan perempuan yang pendidikan tertingginya SMU ke atas (Grafik 15). 19
Pada pekerja anak perempuan, ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi upah/pendapatan yang diperoleh. Namun, pada pekerja anak laki-laki ada temuan unik, karena pendapatan pekerja yang berpendidikan SMU ke atas justru lebih rendah dibandingkan mereka yang berpendidikan SMP ke bawah (Grafik 16). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, SPA 2009 ini memiliki sejumlah keterbatasan, terutama dalam mendata pekerja anak yang terlibat jenis pekerjaan terberat anak, yang tentunya memiliki potensi lebih besar untuk merugikan dan membahayakan kehidupan anak-anak tersebut. Selain yang tercover dalam SPA 2009 tersebut, masih sangat banyak pekerja anak, dan anak Indonesia pada umumnya, yang mengalami masalah. Hasil pantauan Komisi Nasional Perlindungan Hak Anak (KNPHA, 2009) menunjukkan, sepanjang bulan Januari-Juni 2010 saja informasi yang disampaikan kepada KNPHA ada sebanyak 4,290 anak yang terjebak dalam pekerjaan berbahaya bagi tumbuh kembang mereka.9 Tabel 1:
Jumlah anak yang terlibat pekerjaan terburuk sangat sulit diketahui secara pasti. Namun jumlahnya diperkirakan juga tidak sedikit. Jika merujuk pada data ILO pada Tabel 1, terlihat pada sekitar tahun 2002 diperkirakan tidak kurang dari 4 juta anak Indonesia yang terlibat pada jenis-jenis pekerjaan terberat anak. Kondisi mereka tentunya berpotensi lebih buruk dibandingkan dengan pekerja anak di jenis pekerjaan yang relatif ‗aman‘ atau tidak terlalu beresiko tinggi. 9
KNPHA sepanjang Januari-Juni 2010 juga mencatat beberapa kasus kekerasan yang menimpa anak Indonesia. Pada kasus kekerasan ini terdapat 453 kasus kekerasan fisik pada anak, sebanyak 646 anak mengalami kasus kekerasan seksual, dan pada kekerasan psikis terpantau sebanyak 550. kasus penculikan dan pornografi pada anak masing-masing tercatat 69 kasus penculikan dan 30 kasus anak yang terlibat dalam pornografi. Sedangkan pada kasus perdagangan anak sepanjang pertengahan tahun 2010 ditemukan sebanyak 199 kasus perdagangan balita dan anak. 20
SPA 2009 juga memiliki keterbatasan tidak dapat menggambarkan proses eksklusi yang terjadi pada anak/pekerja anak, agen yang terlibat, maupun modus operandi proses eksklusi tersebut. Untuk memperoleh informasi lebih mendalam mengenai hal-hal tersebut memang dibutuhkan studi yang lebih kualitatif. Sebagai ilustrasi, Penulis mengangkat salah satu kasus mengenai pekerja anak di sentra industry pertanian tembakau di Jember-Jawa Timur, yang dapat dilihat pada bagian Lampiran.
Bab 3 Kebijakan dan Program Penanganan Pekerja Anak
Kebijakan soal Anak dan Pekerja Anak Anak sebagai manusia memiliki sejumlah hak yang dilindungi oleh konvensi internasional, yaitu hak asasi manusia yang dinyatakan dalam Declaration of Human Rights, yang kemudian dikelompokkan secara khusus dalam Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak). Karena Dalam hal ini, pekerja anak tidak dilihat dalam kacamata sebagai bagian dari pekerja (orang dewasa yang bekerja) yang kemudian diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan inernasional/nasional, namun sebagai bagian dari anak-anak yang memiliki hak-hak khusus. Karena itu, segala kebijakan mengenai pekerja anak ini selayaknya merujuk pada upaya memenuhi hak-hak anak tersebut, dan bukan semata hanya membuat pekerja anak dapat bekerja dengan nyaman atau memperoleh hak-haknya sebagai pekerja. Kebijakan pemerintah dalam upaya menangani isu pekerja anak, secara normatif sudah merujuk pada ketentuan internasional mengenai hak asasi manusia, hak anak, dan gender, yaitu:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pasal 27 ayat (1) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan; Pasal 27 ayat (2) bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya; dan Pasal 34 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipeelihara oleh Negara.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783);
21
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445);
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4720);
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahaan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 57);
Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak;
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak;
Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak;
Sementara, kebijakan pemerintah terkait dengan gender, yaitu:
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang No.17 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Rativikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Inpres 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
Permendiknas tentang Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009. 22
Deklarasi Dakkar tentang Education for All (Pendidikan Untuk Semua)
Konvensi Hak-hak Anak
Millenium Developmnet Goals
Upaya Pemerintah Menggalang Kerjasama Lintas Sektor dalam Penanganan Pekerja Anak Banyak Kementerian, Badan, Lembaga, Komisi yang terkait dengan penanganan pekerja anak, mulai dari Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Komisi Nasional Perlindungan Hak Anak, dan lain-lain. Dalam prakteknya, masing-masing institusi tadi mengembangkan program tersendiri maupun lintas sektor, yang juga melibatkan berbagai lembaga donor, NGO, pers/media, universitas, pengusaha, dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya. Secara normatif payung programnya adalah UU dan berbagai Rencana Aksi Nasional yang telah disebutkan di atas. Beberapa upaya yang telah dan sedang dilakukan pemerintah dalam penanganan pekerja anak, diantaranya:
Meningkatkan komitmen pemerintah melalui pembentukan gugus tugas pencegahan perdagangan orang dan partisipasi anak pada semua jenjang pemerintahan,
Mengembangkan Fasilitasi program kerja gugus tugas dan sub gugus tugas dan partisiapsi anak
Menggali dan menggunakan sumber dana pendukung kegiatan gugus tugas dan penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk anak
Penyusunan rencana kerja gugus tugas dan Penghapusan Kekerasan terhadap anak
Melakukan peningkatan kapasitas pencegahan perdagangan orang dan Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak
Menggalakkan Kampanye Pencegahan Perdagangan Orang, Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk, Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak.
Melakukan pemetaan daerah rawan sebagai sumber pengirim (daerah sender/kantong untuk pekerja anak, trafiking)
Pelatihan master of training (MOT) penanganan pekerja anak, pencegahan Perdagangan Orang
Pelatihan trainer, pendamping , mediator, tutor, para legal untuk penanganan anak dan Pencegahan Perdagangan Orang
Kegiatan lainnya yang terkait dengan upaya pengahapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, pencegahan Perdagangan Orang, dan penghapusan kekerasan terhadap anak.
23
Bab 4 Bentuk-bentuk Eksklusi terhadap Pekerja Anak
Konsep eksklusi sosial tampaknya kurang atau belum populer digunakan dalam khasanah analisis dan kebijakan pembangunan di Indonesia. Sangat jarang ditemukan istilah ‗eksklusi‘ di dokumen resmi pemerintah ataupun peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan, media massa sekalipun masih jarang menggunakan istilah ini dibandingkan dengan istilah ‗diskriminasi‘, ‗marginalisasi‘, ‗ekspolitasi‘ dan lainnya. Banyak ahli yang mencoba mendefinisikan apa yang mereka maksud dengan eksklusi sosial, diantaranya Steinert & Pilgrim (dalam Abrahms, dkk., 2007) yang menyatakan: Social exclusion can thus be understood as the continuous and gradual exclusion from full participation in the social, including material and symbolic, resources produced, supplied and exploited in a society for making a living, organising a life and taking part in the development of a (hopefully better) future. (Steinert & Pilgram, 2003, p. 5). Dalam konteks pekerja anak, definisi tadi dapat diterjemahkan sebagai: Eksklusi sosial pada pekerja anak adalah proses eksklusi yang berlangsung terus menerus dan gradual yang menjauhkan anak dari partisipasi penuh dalam kehidupan sosial dan mengupayakan kehidupan yang lebih baik bagi masa depannya. Dari pengertian tadi, dapat dipahami bahwa bekerja bukanlah kewajiban dan kebutuhan seorang anak. Dengan bekerja, kesempatan anak untuk ‗berpatisipasi penuh di masyarakat‘ dapat berkurang atau hilang. Akibat bekerja pula, kesempatan anak untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik saat ini dan bagi masa depannya juga berkurang. Dalam hal ini perspektifnya adalah bukan bagaimana pekerja anak memperoleh hak-haknya sebagai pekerja (sebagaimana pada pekerja dewasa), tetapi bagaimana anak memperoleh haknya sebagai anak, yang didalamnya tidak termasuk hak atau kewajiban untuk bekerja. Sederhananya, anak dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial jika sebagai anak terpenuhi seluruh hak-hak mereka. Terkait dengan hak-hak tertentu yang menjadi hak anak termasuk didalamnya pekerja anak, dan yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat, perlu diperjelas mengenai hak apa saja yang dimiliki anak, sehingga dapat diketahui pada hak yang mana dan dalam bentuk apa hak anak tersebut telah dilanggar oleh pihak lain, yang menyebabkan anak termasuk pekerja anak mengalami eksklusi sosial.
24
Tabel 2: Hak Anak yang diatur dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal-pasal
Pasal 2: hak bebas dari diskriminasi.
Pasal 24: hak menikmati status kesehatan tertinggi
Pasal 3: hak untuk diutamakan kepentingan terbaiknya
Pasal 25: hak anak yang dalam perawatan
Pasal 6: hak atas kehidupan
Pasal 26: hak memperoleh manfaat jaminan sosial
Pasal 7: hak untuk memiliki nama, kebangsaan dan
Pasal 27: hak atas taraf hidup yang layak bagi
mengetahui orang tuanya
pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial
Pasal 9: hak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya
anak
Pasal 10: hak untuk tidak dipindahkan secara paksa ke luar
Pasal 28: hak atas pendidikan
negeri
Pasal 30: hak sebagai bagian dari kelompok minoritas atau
Pasal 12: hak menyatakan pandangannya
Pasal 13: hak menyatakan pendapat
Pasal 14: hak kekebasan berfikir, berhati nurani dan beragama
bersantai/bersenang-senang Pasal 32: hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi Pasal 33: hak dilindungi dari penggunaan narkotika dan psikotropika
Pasal 16: hak untuk bebas dari gangguan tanpa alasan dan tidak sah
Pasal 17: hak untuk memperoleh informasi
Psaal 18: hak untuk dibesarkan dan dibina orang tua
Pasal 19: hak untuk bebas dari kekerasan fisik dan mental,
Pasal 31: hak anak untuk beristirahat dan
Pasal 15: hak atas kebebasan berhimpun dan berkumpul secara damai
pribumi
Pasal 34: hak dilindungi dari semua bentuk eksploitasi seks dan penyalahgunaan seks Pasal 35: hak bebas dari penculikan, penjualan atau perdagangan anak
cidera dan penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan
Pasal 36: hak bebas dari segala bentuk eksploitasi
salah atau eksploitasi termasuk penyalahgunaan seksual
Pasal 37: hak bebas dari siksaan, kekejaman atau hukuman yang tidak manusiawi dan menurunkan martabat
Pasal 20: hak dilindungi oleh Negara ketika kehilangan lingkungan keluarga
Pasal 21: hak diadopsi sepanjang itu untuk kepentingan terbaik si anak Pasal 22: hak memperoleh bantuan kemanusiaan (sebagai pengungsi)
Pasal 38: hak untuk dilindungi dan tidak terlibat dalam konflik bersenjata
Pasal 39: hak pemulihan fisik, psikologis dan reintegrasi
Pasal 40: hak untuk diperlakukan secara layak dan bermartabat bagi anak yang bermasalah dengan hukum.
Pasal 23: hak untukemperoleh kehidupan yang penuh dan layak bagi anak yang menderita cacat mental dan fisik Sumber: Disarikan oleh Penulis dari Konvensi Hak Anak (KHA)
Sebagaimana telah diulas pada Bab 3, hak anak termasuk hak pekerja anak telah diatur dalam Konvensi Hak Anak, yang dalam amatan Penulis setidaknya mencakup 40 jenis hak (lihat Tabel 2). Sumber hukum yang mengatur mengenai hak anak termasuk pekerja anak akan merujuk pada konvensikonvensi yang telah ikut ditandatangani pemerintah Indonesia, maupun UU dan peraturan perundangundangan lainnya yang relevan. 25
Bentuk-bentuk Eksklusi dan Ketidakadilan Gender yang Dialami Pekerja Anak Dengan Konvensi Hak Anak sebagai alat analisis dalam melihat proses eksklusi sosial pada pekerja anak, situasi pekerja anak hasil yang telah diuraikan pada Bab 2, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Eksklusi terkait akses pendidikan Hasil SPA 2009 menunjukkan adanya trend penurunan tingkat partisipasi sekolah pada tiap jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Temuan ini mengindikasikan adanya sejumlah besar anak usia sekolah yang tidak bersekolah, yang kemungkinan terdorong masuk dalam dunia kerja (atau tidak melakukan kegiatan apapun). Hal ini melanggar hak anak untuk menikmati pendidikan sebagaimana diatur KHA 1999. Adanya pekerja anak yang terpaksa keluar dari sekolah atau menunda masuk sekolah sementara anak-anak lain dapat meninkmati pendidikan di bangku sekolah juga merupakan bentuk diskriminasi yang melanggar hak anak-anak tersebut.
Meskipun sebagian pekerja anak tersebut masih dapat bersekolah diluar waktunya untuk bekerja mencari uang (kerja paruh waktu) ataupun mengerjakan pekerjaan rumah tangga, pekerja anak berpotensi mengalami kelelahan karena bekerja, sehingga mengantuk, tidak dapat berkonsentrasi dengan baik dan membolos (Rozana, 2007). Namun, sebagai pembanding, studi SMERU (2005) menunjukkan, bekerja paruh waktu pada banyak kasus justru menyelamatkan anak dari situasi harus keluar dari sekolah (dropout), karena bekerja itu mereka memiliki uang untuk membayar biaya sekolah atau biaya lainnya, meskipun ini tentunya bukan solusi ideal yang diharapkan. Jam kerja pekerja anak yang panjang tersebut juga merupakan bentuk eksploitasi terhadap anak, baik eksploitasi ekonomi (karena dibayar lebih murah dari pekerja dewasa) maupun eksploitasi kemanusiaan karena bagaimanapun para pekerja anak hanyalah ana-anak sebagaimana anak lainnya yang belum saatnya bekerja.
Eksklusi terkait akses kesehatan Pekerja anak rata-rata bekerja selama 27 jam per minggu . Mereka yang bekerja kurang dari 16 jam per minggu, mungkin cukup dapat diterima bagi anak-anak, cukup tinggi untuk umur 5-12 tahun (67 persen) tetapi cukup rendah untuk yang berumur 15-17 tahun (29 persen). Sebaliknya, mereka yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu, jelas tidak dapat diterima untuk anak-anak, adalah sangat rendah (kurang dari 5 persen) untuk umur 5-12, tetapi cukup tinggi (hampir 28 persen) untuk umur 15-17 tahun. Pada anak yang bekerja penuh, jam kerja mereka rata-rata 40 jam/minggu. Meskipun secara umum masih berada sedikit di batas yang ditolerir ketentuan ILO, kondisi jam kerja yang cukup panjang ini dapat berakibat menganggu kesehatan anak. Sayangnya SPA 2009 tidak memiliki informasi mengenai kondisi 26
tempat kerja, dampaknya bagi anak (mengenai kecelakaan kerja , penyakit yang sering diderita pekerja anak, ataupun berpotensi diidap anak pada masa berikutnya), maupun fasilitas kesehatan yang tersedia atau dapat diakses pekerja anak. SPA juga tidak dapat memberikan informasi mengenai kesempatan anak memperoleh jaminan sosial akibat dari terlibatnya mereka dalam dunia kerja. Namun jelas, akibat bekerja dalam waktu yang panjang tersebut, anak kehilangan kesempatan untuk belajar, bermain maupun berisitirahat yang dengan sendirinya dapat mengganggu kesehatan mental anak. Semua itu sesungguhnya merupakan bagian dari hak anak yang diatur dalam Konvensi Hak Anak dan telah diratifikasi oleh pemerintah.
Eksklusi dari pengasuhan orang tua Temuan SPA 2009 juga menunjukkan adanya cukup banyak pekerja anak yang karena pekerjaan terpaksa tidak dapat tinggal bersama salah seorang atau kedua orang tuanya. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh bagitumbuh kembang anak-anak tersebut, akibat kurang pengasuhan dan kasih sayang orang tua mereka. Dalam hal ini, hak anak untuk tidak dipisahkan dari orang tua dan hak untuk dibina dan dibesarkan oleh orang tua jelas telah terabaikan.
Eksklusi dari kesempatan menikmati kehidupan yang layak Dari data SPA 2009 mengani jenis pekerjaan dan pendapatan orang tua pekerja anak, dapat diketahui bahwa hampir semua orang tua pekerja anak adalah berasal dari keluarga miskin. Anak dipaksa atau terpaksa bekerja untuk membbantu menopang perekonomian keluarga. Sementara, dari data yang ada, pendapatan pekerja anak juga terbatas, sebagian besar rata-rata antara Rp 250.000 per bulan sampai Rp 500.000 per bulan, bahkan cukup banyak diantara mereka yang pendapatannya kurang dari Rp 100.000 per bulan. Dari sini jelas dapat dikatakan bahwa anak-anak tersebut berada dalam lingkaran kemiskinan yang membuat mereka tidak dapat menikmati kehidupan yang secara ekonomi dan sosial dapat dikatakan layak.
Eksklusi dari kehidupan pribadi dan sosial yang aman dan bebas dari gangguan maupun kekerasan Data SPA 2009 menginformasikan adanya cukup banyak pekerja anak yang bekerja di tempattempat yang jelas-jelas kurang layak dan berbahaya bagi anak-anak, seperti bekerja di tempat tidak yang tidak menentu (berpindah-pindah), jalan atau pasar, lampu merah, dan tempat-tempat lain yang serupa. Tempat-tempat tersebut amat rawan bagi anak-anak karena berpotensi membayakan kesehatan fisik dan mental dan bahkan dapat mengakibatkan kematian akibat kecelakaan di jalan, pelecehan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dll.
27
Kondisi di atas tentunya sangat bertentangan dengan adanya hak anak untuk memperoleh rasa aman dan bebas dari gangguan serta dari kekerasan fisik maupun mental yang membahayakan kehidupan mereka sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak 1999.
Eksklusi dari kesempatan untuk menyatakan pendapat, berfikir, berkumpul, memperoleh informasi, Setiap manusia harus diakui eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat yang juga berhak terlibat dalam pertukaran gagasan, berkomunikasi, menyatakan pendapat, dan lainnya. Sayangnya, pemerintah dan masyarakat sering mengabaikan keberadaan pekerja anak. Waktu dan lokasi serta mobilitas pekerja anak sangat mungkin membuat mereka ‗hilang dari radar‘, dianggap tidak ada, atau dianggap tidak perlu didengar perasaan dan pikirannya maupun keinginan dan kebutuhannya. Selain itu, sejauh pemahaman Penulis, tidak pernah terdengar ada organisasi para pekerja anak ini. Akibatnya, pekerja anak kehilangan hak dan kesempatan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial di keluarga maupun di masyarakat. Selain beberapa bentuk eksklusi sosial tadi, dilihat dari perspektif gender, terdapat sejumlah masalah yang penting dan menarik untuk dicermati dari data yang ditampilkan oleh SPA 2009, yaitu:
Stereotype Data SPA 2009 menunjukkan adanya stereotype dalam hal jenis pekerjaan pekerja anak laki-laki dan perempuan. Jenis pekerjaan di bidang pertanian yang termasuk didalamnya kehutanan, perburuan dan perikanan, dan pekerjaan sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan dan pekerja kasar, didominasi oleh pekerja anak laki-laki. Sementara untuk pekerjaan di bidang industri dan jasa sosial kemasyarakatan sebagai tenaga tata usaha, tenaga penualan dan tenaga usaha jasa lebih banyak dilakukan oleh pekerja anak perempuan. Dalam hal ini, meskipun menurut pandangan Penulis kurang pada tempatnya untuk membandingkan jenis pekerjaan pekerja anak laki-laki dan perempuan karena pada prinsipnya mereka memang belum saatnya bekerja dan masih harus bersekolah, stereotype gender antara pekerja laki-laki dan perempuan terlihat dengan jelas. Pekerja anak laki-laki dianggap lebih kuat sehingga dapat dan/atau harus mengerjakan pekerjaan yang ‗berat‘, sementara pekerja anak perempuan kurang kuat dibanding laki-laki tetapi lebih menarik, teliti, sabar, dan tertib sehingga lebih cocok untuk pekerjaan tata usaha, tenaga penjualan, dll. Stereotype juga terlihat pada kegiatan kerumahtanggaan yang melibatkan pekerja anak. Berkaitan dengan kegiatan memasak, mencuci, membersihkan rumah, terlihat jelas pekerja anak perempuan lebih banyak melakukan hal tersebut dibandingkan pekerja anak laki-laki. Dalam hal ini, pekerja anak perempuan mengalami apa yang disebut dalam terminologi gender sebagai ‗beban ganda‘, dalam arti
28
selain harus bekerja mencari juga tetap harus aktif terlibat dalam pekerjaan kerumahtanggaan. ‗Beban ganda‘ ini dapat dianggap juga sebagai bentuk diskriminasi antara perempuan dan laki-laki.
Diskriminasi Data SPA 2009 menunjukkan secara umum pekerja anak laki-laki memperoleh pendapatan lebih tinggi dibandingkan pekerja anak perempuan. Meskipun SPA tidak menjelaskan faktor penyebab perbedaan pendapatan tersebut, banyak literatur lain yang menyebut kondisi tersebut karena memang ada perbedaan standar upah atau gaji antara pekerja laki-laki dan perempuan meskipun bekerja di bidang dan berada di level yang sama di berbagai jenis pekerjaan. Namun, dari data SPA 2009 mengenai tingkat partisipasi sekolah, terlihat tidak signifikannya perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, dalam hal akses pendidikan, anak perempuan dan laki-laki terlihat memiliki peluang yang sama. Temuan ini mungkin berbeda dengan analisis/kesimpulan yang telah dibuat banyak ahli atau studi sebelumnya.
Agen yang Berperan dalam Proses Eksklusi terhadap Pekerja Anak Pada bagian awal Bab ini telah diulas bahwa eksklusi sosial yang dialami pekerja anak dan membuat mereka tidak dapat berpartisipasi penuh secara sosial maupun dalam mengupayakan kehidupannya yang lebih baik adalah adalah karena tidak terpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak, sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak 1999, yang merupakan turunan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948. Penulis menilai, keduanya (prinsip Hak Asasi Manusia dan Hak Anak) dapat dijadikan apa yang dalam sosiologi disebut sebagai ‗norma‘, yang menjadi acuan dalam mengatur apa yang baik/buruk dan boleh/tidak boleh dilakukan oleh negara, masyarakat, keluarga dan individu berkaitan dengan pekerja anak. Dalam konteks Hak Asasi Manusia, manusia (yang dalam hal ini adalah anak, dan pekerja anak) memiliki hak, sedangkan Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Dalam hal ini ada kekhususan tersendiri berkenaan dengan Konvensi-Konvensi di bidang Hak Asasi Manusia sebagai suatu bentuk Perjanjian Internasional. Kekhususan itu adalah, negara-negara yang melakukan ratifikasi konvensi dimaksud saling berjanji untuk terikat pada kewajibannya guna memberikan hak kepada manusia yang berada di dalam wilayah hukum negara bersangkutan. Dalam konteks tersebut, pihak-pihak yang terkait dengan Konvensi Hak Anak, pada dasarnya meliputi : (a) Anak sebagai pemegang hak; dan (b) Negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi hak anak, atau duty bearer (ELSAM, 2005).
29
Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI10 menyatakan bahwa:
Hak anak merupakan hak asasi manusia yang melekat pada diri anak. Dalam perspektif hak asasi manusia, negara sebagai pemangku kewajiban wajib menjamin hak asasi warga negaranya dengan menjunjung prinsip pemenuhan hak asasi manusia sebagai berikut: (1) Kewajiban untuk menghormati, di mana Negara harus menghormati hak asasi manusia; (2) Kewajiban untuk melindungi, di mana negara harus melakukan sesuatu untuk memenuhi hak asasi manusia agar tidak terancam. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat perangkat hukum yang sensitif kepada hak asasi manusia; (3) Kewajiban untuk memenuhi, di mana negara harus melakukan sesuatu untuk memenuhi hak asasi manusia, yaitu dengan mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum, dan tindakan lainnya guna menjamin pelaksanaan pemenuhan hak asasi manusia.
Berkaitan dengan eksklusi sosial yang dialami oleh pekerja anak sebagaimana diuraikan sebelumnya, jika dilihat dari kacamata hak asasi manusia dan hak asasi anak, Negara dapat dinilai tidak secara langsung membuat anak mengalami eksklusi sosial. Bahkan, Negara dapat dinilai sudah cukup banyak banyak memberikan dukungan dari sisi aspek hukum, misalnya ikut meratifikasi konvensi internasional maupun embuat peraturan perundang-undangan mengenai anak dan pekerja anak. Namun pada faktanya meskipun sudah ada konvensi dan peraturan perundang-undangan semacam itu, keberadaan pekerja anak masih ada dan dalam jumlah yang juga tidak sedikit. Dalam hal ini kesungguhan penerapan konvensi dan peraturan perundang-undangan oleh Negara dapat dipertanyakan. Lebih jauh, patut dipertanyakan mengenai sejauhmana Negara memiliki keberpihakan dan upaya yang sungguh-sungguh, sistematis, komprehensif dan terprogram mengenai pekerja anak, kesejahteraan anak dan warga Negara lain pada umumnya. Jika hal ini memang terjadi, dalam arti Negara tidak memiliki dan menjalankan satu desain besar yang komprehensif dalam hal pegelolaan sumberdaya dan program pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan anak dan warga negaranya secara keseluruhan, maka dari kaca mata hak asasi manusia, Negara telah melakukan tindakan Non Compliance11. Dengan demikian Negara dapat dikatakan agen pertama dan utama dalam hal terjadinya eksklusi terhadap pekerja anak di Indonesia. 10
Dokumen Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA), tanpa angka tahun, http://www.menegpp.go.id/ index.php?option=com_docman&task=doc_details&Itemid=68&gid=26, diakses 8 Oktober 2010. 11
Mengingat Konvensi Hak Anak mengandung hak-hak sipil politik dan hak-hak ekonomi sosial budaya sekaligus dalam pasal-pasalnya, maka yang dimaksud sebagai pelanggaran di dalam Konteks Konvensi Hak Anak bisa berarti 30
Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa kemiskinan keluarga adalah faktor utama penyebab adanya pekerja anak. Kemiskinan tersebut berhubungan erat dengan kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh Negara, yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membuat warganegaranya, dalam hal ini keluarga dari para pekerja anak, menjadi miskin. Secara tidak langsung, karena telah ‗membuat‘ atau ‗membiarkan‘ warga negaranya menjadi miskin, yang mengakibatkan terdesaknya anak menjadi pekerja anak, maka Negara juga dianggap telah menjadi agen yang berperan dalam proses eksklusi terhadap pekerja anak. Contoh konkret adalah tingginya biaya pendidikan yang harus dibayar anak/orang tua agar tetap bisa bersekolah. Meskipun anggaran pendidikan telah sedemikian besar (20% dari APBN dan APBD), adanya program sekolah gratis, dan sejenisnya, namun nyatanya masih banyak anak tidak dapat bersekolah. Hal itu disebabkan karena biaya sekolah yang harus mereka keluarkan masih terlalu tinggi, misalnya untuk ongkos, beli buku dan alat praktikum, dan lain sebagainya. Banyak sekolah yang juga tetap meminta anak/orang tua membayar uang untuk kegiatan/kebutuhan yang istilahnya telah ‗dikemas; sedemikian rupa sehingga tetap terkesan sebagai sukarela atau sejenisnya. Ketika Negara membiarkan situasi ini terus berlangsung, dan membuat anak tidak dapat bersekolah akibat mahalnya biaya pendidikan dan sebagian diantaranya menjadi pekerja anak, maka Negara telah berperan sebagai agen dalam proses eksklusi terhadap pekerja anak tersebut. Namun disayangkan, belum ada mekanisme kontrol dan sanksi terhadap pelanggaran hak anak (termasuk pekerja anak) yang dilakukan oleh negara ini.12
Namun, pihak yang terkait dengan hak anak ini bukanlah hanya Negara saja. Karena Konvensi Hak Anak menempatkan keluarga atau keluarga pengganti dalam posisi sentral bagi pemenuhan hak anak,
dua macam. Pertama, Jika negara melakukan tindakan baik tindakan legislatif, administratif, atau tindakan lainnya yang seharusnya tidak dilakukan, misalnya melakukan penyiksaan atau mengintersepsi hak anak untuk memperoleh informasi. Ini merupakan suatu bentuk pelanggaran yang nyata. Kedua, Non Compliance, yaitu negara tidak melakukan tindakan, baik tindakan legislatif, administratif atau tindakan lain yang diisyaratkan oleh Konvensi Hak Anak bagi pemenuhan Hak Anak, khususnya yang berhubungan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya (ELSAM, 2005). 12 Menurut ELSAM (2005), secara umum yang dimaksud dengan pelanggaran dalam Konvensi Hak Anak diukur dari compliance atau pemenuhan negara terhadap kewajiban-kewajibannya. Namun, sekalipun Konvensi Hak Anak mengikat secara yuridis namun belum ada mekanisme yuridis untuk pemberian sanksi bagi negara yang melakukan pelanggaran. Sejauh ini sanksi yang bisa diberikan kepada negara yang melanggar Konvensi Hak Anak berupa sanksi Moral dan sanksi Politis, bisa dalam bentuk embargo bantuan ekonomi, pengucilan, mempermalukan di tingkat Internasional, dll. Jika pelanggaran dilakukan oleh orang tua atau anggota masyarakat, maka Negara berkewajiban menjamin agar anggota masyarakat tidak melakukan pelanggaran hak anak atau menjamin agar jika terjadi pelanggaran seperti itu, maka pelaku harus mempertanggungjawabkan tindakannya dan korban dibantu pemulihannya. Hal ini bisa dilakukan dengan menyelaraskan perundangan dan peraturan nasional sesuai Konvensi Hak Anak.
31
maka pihak orang tua atau keluarga dan masyarakat pada umumnya mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan hak anak. Dalam Konteks Konvensi Hak Anak, orang tua/keluarga atau keluarga pengganti serta masyarakat dewasa bertanggung jawab (bukan berkewajiban) memenuhi hak anak (ELSAM, 2005). Maraknya pekerja anak yang sebagian diantaranya mengalami pelecehan, kekerasan dan kondisi yang tidak manusiawi lainnya menunjukkan --dari perspektif hak asasi—baik orangtua maupun masyarakat telah mengabaikan tanggung jawab mereka kepada anak. Adanya budaya yang mendiskriminasi gender tertentu, semakin longgarnya semangat kekeluargaan dan saling tolong menolong sesame kekeluarga dan anggota masyarakat. Upaya advokasi yang dilakukan oleh masyarakat juga belum mampu mendesakan adanya peningkatan orientasi dan keberpihakan Negara untuk secara optimal mengupayakan kesejahteraan warga negaranya. Dengan demikian, orang tua dan masyarakat juga telah menjadi agen yang berperan dalam proses eksklusi terhadap pekerja anak. Agen lain yang turut berperan dalam proses eksklusi pekerja anak adalah para pengusaha atau orang yang mempekerjakan anak-anak, misalnya rumah tangga yang mempekerjakan pembantu rumah tangga di bawah umur. Dengan berbagai alasan (yang salah satunya bisa dipastikan adalah demi keuntungan), mereka telah dengan sengaja memperkerjakan anak-anak di bawah usia kerja yang dizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengusaha juga seolah menutup mata akan keberadaan pekerja anak, dan menutupi informasi tersebut dari pihak yang berwenang.13 Memang ada banyak kasus dimana anak (baik oleh keinginan sendiri ataupun atas desakan dan bantuan perantara/calo tenaga kerja) memalsukan usia dan/atau identitas mereka mereka kepada pengusaha agar dapat diterima bekerja. Dalam hal ini, kelalaian pengusaha untuk mengecek dan memastikan usia dan identitas pekerjanya juga dapat dianggap sebagai ‗dukungan‘ terhadap proses eksklusi anak menjadi pekerja anak. Banyaknya laporan kasus kekerasan, pelecehan, membiarkan anak/pekerja anak dalam jam kerja dan/atau kondisi kerja yang buruk, wanprestasi (misalnya upah tidak dibayar sebagian atau seluruhnya) juga merupakan bagian yang memperburuk eksklusi sosial yang dialami anak/pekerja anak.
Akar Masalah Pada Bab 1 telah diuraikan sejumlah faktor yang menyebabkan adanya pekerja anak dari sejumlah sumber/pihak yang telah banyak menganalisis persoalan pekerja anak di berbagai Negara di dunia. Penulis berpendapat, semua faktor penyebab munculnya pekerja anak yang diajukan baik oleh UNICEF maupun ILO juga berlaku sama di Indonesia. Kemiskinan, ketidakadilan, rendahnya akses 13
Diantaranya seperti terjadi di Jawa Tengah, dimana banyak pengusaha yang menyembunyikan identitas pekerja anak. Koordinator Tim LSM Peduli Pekerja Anak Jateng Samsul Ridwan, kemarin mengemukakan, cara-cara yang mereka lakukan antara lain mengganti usia atau memalsukan identitas tenaga kerja. Menurutnya,, upaya penghapusan segala bentuk pekerjaan terburuk bagi anak selama ini adalah karena terkendala ketiadaan data. Lihat: ―Banyak Perusahaan Sembunyikan Identitas Pekerja Anak‖, http://www.disnakertransjateng.go.id/?MainPage =news&id=20061127065420 , diakses 8 Oktober 2010. 32
pendidikan, budaya di keluarga dan masyarakat, tingkat pendidikan orang tua, adanya diskriminasi gender, kerentanan keluarga (vulnerability) dan pengaruh guncangan ekonomi makro juga menjadi faktor yang memicu keberadaan pekerja anak. Faktor-faktor tersebut pada gilirannya juga berperan dalam memproduksi proses ekskusi sosial terhadap anak/pekerja anak. Penulis menambahkan satu faktor lagi yang mempengaruhi keberadaan pekerja anak di Indonesia, yaitu ketiadaan grand design kesejahteraan sosial bagi warga Negara, yang didalamnya termasuk untuk kesejahteraan anak. Negara dan mitra-mitra kerjanya bukan sama sekali tidak melakukan apa-apa dalam upaya menangani dan menginklusi pekerja anak, namun sejauh ini upaya tersebut terlihat belum mampu secara signifikan mengiklusi pekerja anak dan mencegah munculnya kembali pekerja anak yang baru. Penulis berpandangan, penanganan pekerja anak tidak dapat diselesaikan hanya dengan membuat program yang terkait langsung dengan (sebagian kecil) pekerja anak tersebut. Ketika akar masalah yang paling utama dari munculnya pekerja anak dan terjadinya proses eksklusi pada mereka adalah kemiskinan keluarga dan ketiadaan akses terhadap kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan) tidak diatasi secara komprehensif dan mendasar, maka persoalan pekerja anak (dan persoalan sosial sejenis lainnya) dikhawatirkan tidak akan pernah dapat tertanggulangi secara signifikan, dan mungkin malah akan semakin parah. Jika tidak diletakan dalam satu ‗grand design kesejahteraan rakyat‘ yang komprehensif dan berdimensi waktu panjang, maka program-program seperti penanggulangan kemiskinan, penanganan pekerja anak, dan lainnya lebih akan bersifat ‗proyek per proyek‘ yang akan terus berganti pendekatan dan model ketika rezim yang dominan/berkuasa di salah satu instansi atau di negara juga berganti. Dalam banyak forum, sesungguhnya cukup banyak pihak yang mengkhawatirkan pendekatan ‗proyek per proyek‘ seperti itu. Selain mahal dan kurang memberikan dampak yang optimal, dikhawatirkan juga dapat digunakan hanya sebagai ajang ujicoba teori/metode tertentu dan sarana pengumpulan data/informasi penting mengenai situasi di Indonesia oleh pihak penyandang dana/sponsor saja, baik dari kalangan bisnis, NGO maupun mitra-mitra pembangunan lainnya.Penulis tidak sepenuhnya setuju dengan cara pandang negatif yang seringkali tanpa dasar dan bukti jelas seperti ini, namun kekhawatiran tersebut tentunya juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Namun, sebagai pendekatan antara, upaya mengatasi masalah pekerja anak ini tetap perlu dilakukan. Beberapa gagasan upaya inklusi tersebut, yaitu:
Kebijakan. Pemerintah harus menjadikan agenda penaganan pekerja anak sebagai salah satu prioritas utama saat ini. Pemerintah melakukan review cepat seluruh kebijakan penanganan pekerja anak yang ada, dan menyusun strategi kebijakan dan program yang baru (yang harus dipandang sebagai strategi, kebijakan dan program antara sambil menyusun grand design yang lebih komprehensif), dengan memfokuskan diri pada beberapa sektor atau area yang dinilai akan paling signifikan memberikan dampak dalam pencegahan munculnya pekerja anak, penanganan 33
kasus pekerja anak, peningkatan kesejahteraan pekerja anak. Perencanaan ini harus melibatkan aktif pemerintah daerah karena pada realitasnya merekalah yang seharusnya berperan banyak melakukan upaya penanganan pekerja anak. Pemerintah melkaukan diseminasi dan konsultasi publik yang melibatkan berbagai pihak (universitas, NGO, donor, dll.) termasuk didalamnya dari komunitas pekerja anak harus. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan apapun (Undangundang, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, peraturan daerah, dll.) yang diperlukan untuk kepentingan ini harus diprioritaskan dan dipermudah proses penyusunan/pengesahannya.
Kelembagaan. Pemerintah melakukan review kelembagaan baik di tingkat pusat maupun daerah, mengingat salah satu kendala dalam birokrasi dan manajemen pembangunan di Indonesia adalah komando dan koordinasi yang lemah. Jika dibutuhkan dapat membentuk badan khusus penanganan pekerja anak (sejenis BNP2TKI, yang menangani tenaga kerja Indonesia), atau memperkuat unit kerja yang ada di Kantor Wakil Presiden atau Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat. Diperlukan lembaga yang lebih ‗tinggi‘ dan ‗berwibawa‘ untuk mengatasi adanya ego sektoral yang cukup kronis di birokrasi pemerintahan saat ini.Monitoring dan evaluasi terhadap seluruh kegiatan merupakan bagian yang krusial dari seluruh program/kegiatan ini.
Pelaksana lapangan. Birokrasi pemerintahan harus didukung oleh tenaga pendaping lapangan yang professional dan handal (pekerja sosial, psikolog, tenaga kesehatan, dll.), sehingga upaya penanganan dan pendampingan pekerja anak ini dapat lebih mengena dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh pekerja anak.
Data. Data merupakan sesuatu yang krusial dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Pemerintah melakukan pendataan pekerja anak di seluruh Indonesia, termasuk anak yang terlibat dalam pekerjaan terberat anak. Tanpa data yang komprehensif dan cukup dapat dipercaya, mustahil pemerintah dapat menyusun program inklusi pekerja anak yang tepat.
Penegakan hukum. Dari sisi hukum, keberadaan pekerja anak jelas-jelas illegal. Para pelaku -dalam hal ini pengusaha-- yang kedapatan terbukti dengan sengaja mempekerjakan anak harus diberi sanksi tegas. Begitupun para penyalur atau calo tenaga kerja yang umumnya menjadi perantaranya. Pemerintah juga memberikan sanksi tegas kepada pengusaha atau orang yang memperjakan anak-anak yang terbukti melakukan pelecehan, kekerasan, dan wanprestasi (misalnya tidak membayar upah pekerj aanak secara wajar seperti halnya pada pekerja dewasa).
Monitoring terhadap pekerja anak. Jika anak terpaksa masih tetap harus bekerja, pemerintah harus melakukan pengawasan yang lebih intensif untuk mencegah terjadinya kasus-kasus yang makin merugikan kepentingan anak/pekerja anak, seperti pelecehan, kekerasan, diskriminasi gender, dll..
34
Media informasi dan konsultasi. Pemerintah harus aktif memberikan informasi ke pekerja anak, orang tua dan pengusaha melalui berbagai cara yang dipandang mungkin untuk terus mensosialisasikan mengenai masalah, kebijakan, isu, program, dll. yang terkait dengan pekerja anak. Media ini juga harus menjadi pusat informasi yang dapat digunakan semua pihak, sekaligus memberikan respon cepat jika ada laporan atau temuan yang mengindikasikan adanya pelanggaran
terhadap
hak
anak/pekerja
anak.
Selain
itu
pemerintah
harus
terus
mengkampanyekan isu penghapusan pekerja anak sesuai dengan kelompok sasaran yang dituju, sebagai bagian dari upaya pendidikan publik. Prinsipnya, melalui media ini ‗suara pekerja anak dapat terdengar‘ dan menjadi perhatian pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Kesempatan bersekolah bagi pekerja anak. Dalam hal upaya inklusi pekerja anak yang saat ini tengah bekerja dan tidak dapat bersekolah, perlu disiapkan model pendidikan yang sesuai dengan jadwal kerja anak, gratis, dan ijazahnya diakui (untuk melanjutkan sekolah atau mencari pekerjaan yang lebih baik ketika usianya mencukupi). Pekerja anak juga harus dilibatkan dalam merumuskan jenis dan model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka. Untuk itu pemerintah harus membuat kebijakan dan melakukan upaya khusus (affirmative actions) mengenai hal ini.
Pelayanan kesehatan gratis bagi pekerja anak. Kalaupun pekerja anak masih harus bekerja, pemerintah harus menyiapkan program pelayanan kesehatan gratis yang mudah diakses oleh mereka. Data yang valid dan terus up-date mengenai pekerja anak menjadi krusial untuk gagasan ini.
Peningkatan pendapatan keluarga pekerja anak. Membuat program yang dikhususkan bagi upaya peningkatakan pendapatan keluarga dari pekerja anak (tentunya ini mensyaratkan adanya pendataan yang baik), yang sedapat mungkin berupan kegiatan keterampilan rumah tangga (bagian dari jaringan home industry). Dengan demikian keluarga tersebut memperoleh penghasilan tambahan. Pekerja anak kalaupun harus bekerja namun dapat melakukannya di rumah atau di lingkungan rumah, dan dengan jam kerja yang masih ditolerir doleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan tetap berada di rumah, anak tetap dapat berkumpul bersama
keluarga
dan berada
dalam pengasuhan
orang tua,
dan masih memiliki
waktu/kesempatan untuk belajar, bermain dan beristirahat.
„Pendidikan‟ bagi pengusaha. Pendidikan ini merupakan bagian dari pendidikan publik mengenai ‗kerugian‘ jika mereka memperkerjakan anak, pentingnya memperhatikan hak anak dan kepentingan bangsa yang lebih besar, dsb. ‗Pendidikan‘ ini tentunya harus dikemas secara baik sehingga dapat menambah informasi, merubah persepsi dan perilaku pengusaha untuk tidak memperkerjakan anak demi mengejar keuntungan finansial semata. 35
Pendanaan. Pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk kegiatan ini. Jika sumber pendapatan dari pajak belum mencukupi, dana dapat digalang dari sumber-sumber lain seperti dari kalangan dunia usaha dan lembaga donor. Program community social responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan lokal, nasional dan multinasional yang selama ini terkesan tanpa tujuan, arah, target dan kelompok sasaran yang jelas sehingga banyak dipertanyakan hasil dan dampaknya, dapat diarahkan untuk menggunakan sebagai dananya bagi kepentingan penanganan pekerja anak ini. Pengelolaan dana tersebut dilaksanakan terpusat yang dikelola secara professional, transparan dan akuntabel sehingga dapat memelihara kepercayaan pemberi dana dan masyarakat.
Bab 5 Pekerja Anak Indonesia dari Kacamata Konsep Negara Welfare State
Ide dasar konsep Negara kesejahteraan berangkat dari upaya Negara untuk mengelola semua sumber daya yang ada demi kesejateraan rakyatnya (Simarmata, dkk., 2008:17). Mereka memetakan model utama Negara kesejahteraan, yaitu:
Model liberal, atau residual, atau Anglo Saxon, yang dijalankan oleh USA, Kanada dan Australia. Model ini berciri: (a) adanya dukungan sosial terbatas/jaring pengaman, (b) penciptaan skema pembiayaan untuk menarik masyarakat dalam ketenagakerjaan, dan (c) diawali dengan pengembangan industri dan perdagangan.;
Model konservatif atau korporatis, atau Continental Europe, seperti yang dikembangkan oleh Austria, Perancis, Jerman dan Itali. Model ini berciri: (a) adanya peran besar Negara dalam mengelola skema kesejahteraan, (b) adanya kolabolarasi Negara-masyarakat-swasta, (c) penerapan pajak untuk tunjangan tertentu (yang cenderung cukup tinggi), dan (d) mengarahkan program ke masyarakat yang ‗sakit‘ secara fisik dan sosial (pengangguran, tua, dll.);
Model sosial-demokrasi atau redistributif-institusional, sebagaimana dijalankan oleh Swedia dan Norwegia. Model ini berciri: (a) penerapan skema pajak tunggal untuk pembiayaan seluruh skema kesejahteraan, (b) adanya skema kesejahteraan yang menyeluruh dengan standar setinggitingginya dan akses semudah-mudahnya, (c) warga berhak turut dalam pengaturan skema tersebut, dan (d) adanya integrasi industri dan perdagangan dalam skema kesejahteraan.
Model Model liberal, atau residual, atau Anglo saxon yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu dan mengembangkan pola jaring pengaman sosial terlihat mirip dengan model pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan yang pernah dilaksanakan di Indonesia beberapa dekade terakhir. Di era administrasi Suharto, pernah sangat terkenal istilah Trilogi Pembangunan yang 36
mengedepankan stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pada saat krisis ekonomi akhir tahun 1990-an, Indonesia juga pernah melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial maupun programprogram padat karya yang memungkinan orang dapat bekerja dan memperoleh penghasilan untuk menanggulangi kemiskinan akibat krisis tersebut. Program yang tengah dikembangkan saat ini semacam Conditional Cash Transfer (CCT). Pada tahun 2004 pemerintah menetapkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem ini menerapkan prinsip-prinsip social-state model (Bismarck Model, dari Jerman)14 dengan mengakomodasi prinsip-prinsip welfare-state model (Beveridge Model, dari Inggris),15 khususnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, sesuai Pasal 34 UUD 1945. Dalam SJSN iuran jaminan sosialnya dibayar oleh pemerintah. Dalam hal ini jaminan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu diintegrasikan penyelenggaraannya dengan masyarakat yang mampu, agar terjadi subsidi tidak langsung, sehingga program jaminan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu berkelanjutan.16 Disini terlihat kecenderungan adanya percampuran (mix) antara model Inggris dan Continental Europe. Dalam pandangan Penulis, model ketiga masih terlalu jauh terlalu dari titik berangkat kondisi riil Indonesia saat ini. Model di negara Skandinavia ini sangat luas dan ekstensif (detail) dengan standar pelayanan sosial yang sangat tinggi. Akibatnya model ini mendapat banyak kritik karena membutuhkan anggaran yang sangat besar, menyebabkan pajak sangat tinggi dan birokrasi yang mencakup segala bidang.17 Sementara di Indonesia saat ini pemasukan Negara dari pajak masih sangat rendah jika dibandingkan dengan Negara-negara lain. Namun sebagian dari model ini dapat diadopsi, misalnya mengenai sinergi antara pemerintah dengan dunia industri dan pengusaha dalam skema kesejahteraan.
14
Diambil dari nama pemimpin Jerman masa lalu Otto von Bismarck, yang menciptakan negara kesejahteraan sebagai bagian dari penyatuan Jerman pada abad ke-19. Meskipun warisan Eropa, sistem ini memberikan pelayanan kesehatan akan terlihat cukup dikenal oleh orang Amerika. Sistem Ini menggunakan sistem asuransi - perusahaan asuransi disebut ―sickness funds‖ - biasanya dibiayai bersama oleh pengusaha dan karyawan melalui pemotongan gaji. Berbeda dengan industri asuransi AS, meskipun, rencana kesehatan Bismarck-jenis asuransi harus menutup semua orang, dan mereka tidak membuat keuntungan. Model Bismarck ditemukan di Jerman, tentu saja, dan Perancis, Belgia, Belanda, Jepang, Swiss, dan, untuk gelar, di Amerika Latin. Sumber: http://www.pnhp.org/ single_payer_resources/ health_care_systems_four_basic_models.php, diakses 10 Oktober 2010. 15 Diambil dari nama William Beveridge, orang Inggris yang mendesain Pelayanan Kesehatan Nasional Inggris. Dalam sistem ini, pelayanan kesehatan disediakan dan dibiayai oleh pemerintah melalui pajak, seperti halnya pelayanan kepolisian dan sejenisnya. Sumber: http://www.pnhp.org/single_payer_resources/ health_care_systems_four_basic_models.php , diakses 10 Oktober 2010. 16 Sulastomo dalam Askesin, Jamkesmas, dan SJSN, Kompas, 26 Desember 2009, http://www.jamsostek.co.id/ content/news.php?id=785 , diakses 10 Oktober 2010. 17 Sumber: How to Conceptualize the Welfare State, http://www.pitt.edu/~heinisch/concept.html, diakses 10 Oktober 2010.
37
Kesimpulan
Keberadaan pekerja anak menjadi fenomena sosial yang umum ditemui di Indonesia. Adanya anak-anak yang bekerja dapat ditemui di hampir semua tempat baik di perkotaan dan perdesaan. Banyak diantara pekerja anak tersebut yang bekerja di jenis-jenis perkerjaan terberat anak, yang sangat berbahaya bagi perkembangan dankeselatam fisik, mental dan intelektual anak.
Alasan utama mereka bekerja adalah kemiskinan keluarga. Sebagian besar keluarga para pekerja anak merupakan keluarga miskin dengan rata-rata tingkat pendidikan yang juga rendah. Akibatnya mereka harus menunda sekolah atau keluar dari sekolah. Sebagai besar ana tersebut masuk ke dunia kerja. Pada sebagian anak, dengan bekerja justru membuat mereka dapat tetap terus sekolah. Pada umumnya pekerja anak menerima upah lebih rendah dari pekerja dewasa, meskipun beban kerja dan jeam kerja tidak jauh berbeda. Anak-anak tersebut bekerja melebihi jam kerja yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Selama bekerja anak-anak tersebut kerap mengalami pelecehan dan kekerasan, namun seringkali mereka takut untuk melaporkannya. Kondisi tempat kerja umumnya juga tidak layak dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Ancaman sakit dan kecelakaan kerja adalah hal yang harus mereka hadapi setiap hari. Sementara peralatan perlindung kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan ketika sakit ata kecelakaan umumnya juga tidak dapat mereka nikmati. Kondisi di atas jelas merupakan eksklusi sosial yang parah bagi anak. Selain kehilangan akses ke pendidikan, mereka juga tidak dapat bermain, beristirahat, menikmati kasih sayang keluarga, harus bekerja keras dengan kondisi kerja yang sangat tidak layak, takut untuk bercerita/melapor ketika mengalami pelecehan dan kekerasan, dan sebagainya. Stereotype dan diskriminasi gender juga tampak pada masalah sosial pekerja anak ini. Dari mulai adanya pembedaan jenis pekerjaan, pembedaan upah, pembedaan perlakuan antara pekerja anak laki-laki dan perempuan. Agen yang terlibat dalam proses eksklusi tersebut yang paling pertama dan utama adalah negara. Karena dari perspekti hak asasi dan hak anak sebagai warganegara, Negara dapat dianggap tidak melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya proses eksklusi sosial yang massif dan telah berlangsung lama ini.
38
Lampiran Analisis Kasus Pekerja Anak di Industri Tembakau di Jember18 Pada tahun 2006, International Labor Organization – International Programme on the Elimination of Child Labour (ILO-IPEC) melakukan penelitian di sentra industri pertanian tembakau di Jember – Jawa Timur. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (kepada 100 pekerja anak berusia di bawah 18 tahun dan 100 orang tua pekerja anak) dan FGD (dengan pekerja awak, pekerja dewasa, orang tua dan guru sekolah).
A. Temuan utama:
Usia pekerja anak: -
14% berusia di bawah 15 tahun, dengan usia termuda 9 tahun dan 86% berusia antara 15 tahun hingga 17 tahun dengan jumlah yang berimbang antara anak laki-laki (51%) dan anak perempuan (49%).
-
28,5% (14 pekerja perempuan) sudah menikah. (Catatan: sekitar 80% pekerja dalam usaha tembakau di Jember adalah perempuan)
-
56% mulai bekerja saat berusia di bawah 15 tahun. Di desa-desa usia mulai bekerja para pekerja anak umumnya lebih muda (di bawah 13 tahun) karena sifat kerja mereka adalah membantu orang tua.
Pendidikan pekerja anak: -
4% masih bersekolah, 1% tidak pernah sekolah, dan 95% sudah putus sekolah.
-
Sebagian besar anak yang telah putus sekolah hanya berpendidikan SD/MI –tamat maupun tidak tamat—. Sebanyak 13% berpendidikan terakhir SMP –tamat ataupun tidak—, sedangkan yang mencapai pendidikan SMA hanya 2%.
Alasan pekerja anak mulai bekerja:
18
-
74% karena alasan ketidakmampuan ekonomi (dari anak yang sudah tidak sekolah).
-
32% karena alasan ingin mulai bekerja. (ekonomi keluarga yang tidak mampu).
Sumber: Disarikan dari laporan: ILO-IPEC. 2007. Pekerja Anak di Industri Tembakau Jember. Jakarta.
39
-
Hasil FGD dengan para tenaga pendidik menunjukkan bahwa biaya untuk sekolah sebetulnya sudah disesuaikan dengan kemampuan orang tua anak, namun seringkali ada biaya-biaya lain yang tidak sanggup dipenuhi orang tua seperti biaya pembelian seragam, sepatu, uang transportasi, uang jajan anak, dan lain-lain.
Tipe pekerjaan pekerja anak: -
45% menyirami, 27% menanam tembakau, dan 17% mempersiapkan lahan.
Tempat kerja pekerja anak: -
Sebagian besar (72%) pekerja anak yang diwawancarai bekerja pada usaha tembakau milik perusahaan atau pengusaha lokal dengan jumlah pekerja yang cukup banyak (sekitar 100 orang) baik di kebun, gudang atau maupun di gudang seng.
-
Sebagian kecil bekerja membantu orang tua (8%), dan 20 persen lagi bekerja pada orang lain (pengusaha lokal dengan omset kecil dan dengan pekerja hanya sekitar 10 orang).
Cara pekerja anak memperoleh pekerjaan: -
Dari 92 anak yang mengatakan bekerja pada orang lain dan perusahaan (bukan membantu orang tua), 61% di antaranya menyebutkan bahwa mereka diajak oleh orang lain, seperti mbok atau mandor, untuk bekerja, 25% menawarkan diri sebagai tenaga kerja, dan 14% diajak anggota keluarga yang telah lebih dulu bekerja di perusahaan tersebut.
Jam kerja pekerja anak: -
Pekerja anak usia 13-14 tahun bekerja di atas jumlah jam kerja yang ditentukan oleh peraturan ketenagakerjaan.
-
Sebagian besar anak berusia 15-17 tahun bekerja sepanjang hari (7-9 jam), sama dengan buruh
dewasa.
Waktu luang pekerja anak: -
82% mengaku masih mempunyai waktu luang untuk bermain dengan teman atau mendapatkan hiburan seperti menonton televisi.
Upah dan penapatan lain pekerja anak: -
94% anak menerima upah uang secara langsung, dan 6% yang melalui orang tua/walinya.
-
49% dibayar mingguan, 31% harian, dan tidak ada yang dibayar dalam periode bulanan (karena status mereka adalah buruh harian lepas). 40
-
81,6% anak tidak menerima apapun dari perusahaan, 18,3% menyatakan menerima imbalan lain, yaitu berupa makan (hal ini terjadi pada buruh yang bekerja pada petani lokal, bukan pada perusahaan), rokok (diberikan oleh mandor kepada buruh laki-laki baik yang dewasa maupun anak saat di kebun setiap hari), serta bonus berupa uang atau barang yang biasanya diberikan dalam rangka hari raya keagamaan.
-
Upah harian bervariasi antara Rp 4.000 - 17.500; upah mingguan berkisar Rp 30.000 - 110.000; sedang upah sepuluh harian berkisar Rp 40.000 - 150.000. Variasi ini tergantung pada berapa jam sehari anak bekerja dan berapa hari dalam seminggu.
Pekerjaan orang tua/wali dari pekerja anak: -
44% ayah/wali bekerja sebagai buruh tani/tembakau, dan 7% sebagai petani.
-
41% ibu pekerja anak juga bekerja sebagai buruh tani/tembakau, dan 21% sebagai ibu rumah
tangga
Penghasilan orang tua/wali pekerja anak: -
68% orang tua laki-laki berpenghasilan kurang dari Rp 300.000 per bulan, sementara ibu pekerja anak yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 300.000 per bulan jumlahnya lebih besar, yakni 73,9%.
Pendidikan orang tua/wali pekerja anak: -
Tingkat pendidikan kedua orang tua rata-rata adalah SD/MI ke bawah. Bahkan, ada 25% ayah dan 32% ibu yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Alasan orang tua/wali menyuruh atau membiarkan anaknya bekerja: -
Ketika kepada orang tua ditanyakan ―Apa manfaat anak bekerja?‖, 77% mengatakan agar dapat membantu ekonomi keluarga, sebagian kecil yang lain adalah untuk pembelajaran pada anak agar kelak siap bekerja (15%).
Sakit dan kecelakaan kerja: -
54% anak pernah mengalami kecelakaan kerja, dan 47% orang tua pekerja anak mengetahui kecelakaan tersebut.
-
Di antara 54 anak yang mengatakan pernah mengalami kecelakan/sakit akibat kerja, 52% mengalami kecelakaan atau sakit dan pusing, 26% menyebutkan mereka pernah mengalami luka tangan karena sujen, dan 24% menyatakan pernah menderita sakit pinggang.
41
Perlakuan kasar dan pelecahan yang dialami pekerja anak: -
Sebanyak 27 responden anak mengatakan pernah mendapat perlakuan kasar dan sebagian besar (78%) menyebutkan pernah mengalami perlakuan dimarahi, hanya 4% yang mengatakan dipukul. Adapun pelakunya hampir merata dilakukan oleh orang-orang yang ada di tempat kerja; dari orang tua (26%), teman (15%), mandor (30%), wakil mandor dan mbok (30%). Sedangkan untuk frekuensi, dari 27 anak menyebutkan (37%) jarang sekali, (22%) jarang, (26%) sering, (15%) sering sekali.
-
Dari keseluruhan responden, 10% mengaku pernah mendapat perlakuan dalam kategori pelecehan seksual seperti disiuli, dijamah bagian tubuh sensitifnya, dan lain sebagainya. Sebanyak 72% anak mengatakan tidak pernah, 18% anak tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini.
Perlindungan keselamatan kerja pekerja anak: -
Alat pelindung kerja yang paling umum adalah sandal. Itu disebutkan oleh 67% responden anak dan topi yang disebutkan oleh 47% responden anak. Semua alat perlindungan ini disediakan sendiri oleh pekerja. Untuk menghindari rusaknya tanaman tembakau, banyak perusahaan khususnya yang mengelola NO TBN melarang buruhnya menggunakan capil atau topi lebar yang bisa melindungi pekerja dari panas matahari, karena lebar capil ketika dipakai ditakutkan akan merobek daun-daun tembakau. Masker yang digunakan adalah kain ala kadarnya untuk menutupi hidung, bukan masker yang selayaknya, sehingga aroma tembakau tetap saja menusuk hidung,
Harapan pekerja anak: -
Sebagian besar responden anak (82%) mengatakan bahwa mereka tidak ingin berhenti bekerja. Ketika ditanyakan kepada mereka mengenai bagaimana agar mereka bisa berhenti bekerja, mayoritas mengatakan tidak tahu (47%), sebagian mengatakan ekonomi keluarga perlu diperbaiki (27%), sekolah harus murah (10%), dan sebagian tidak memberikan jawaban karena mereka tidak ingin berhenti bekerja (16%).
B. Analisis:
Bentuk eksklusi: Pekerja anak di sentra industri pertanian tembakau di Jember jelas telah mengalami eksklusi sosial. Selain tidak dapat bersekolah layaknya anak sebayanya, mereka juga harus bekerja untuk 42
membantu menambah penghasilan orang tua sejak usia yang masih sangat muda. Meskipun bekerja dengan beban kerja dan jam kerja yang sama dengan orang dewasa, penghasilan mereka berbeda dan jumlahnya juga sangat kecil. Karena dianggap bukan pekerja tetap, mereka tidak memperoleh tambahan/tunjangan apa-apa selain upah yang mereka terima.
Pekerja anak tersebut juga mengalami eksklusi karena mereka tidak bekerja di tempat yang layak dari segi kesehatan. Sementara alat bantu/pelindung kesehatan yang disediakan perusahaan/pengusaha juga sangat terbatas atau bahak tidak ada sama sekali. Sehingga banyak pekerja anak tersebut yang mengalami sakit dan/atau kecelakaan kerja. Dikhawatirkan kondisi tempat kerja tersebut juga dapat memicu penyakit di masa berikutnya. Lebih buruk lagi, ternyata cukup banyak anak-anak tersebut mengalami pelecehan dan kekerasan. Namun banyak yang tidak berani untuk melaporkannya. Terlihat adanya diskriminasi gender, karena cukup banyak anak perempuan yang sudah menikah pada usia muda (meskipun alasannya tidak dinyatakan dalam studi ini).
Agen yang berperan dalam proses eksklusi: Agen yang berperan dalam proses eksklusi ini salah satunya adalah pengusaha pertanian tembakau. Mereka tetap menerima anak-anak untuk bekerja di perusahaan mereka, meskipun kondisi tempat kerja tersebut bukan tempat yang layak bagi anak (bahkan bagi orang dewasa sekalipun). Mereka juga membayar pekerja anak dengan upah minim, tidak menyediakan sarana pelindung kesehatan yang memadai, dan tidak melakukan pengawasan yang ketat terhadap seluruh karyawannya sehingga dapat menghindarkan adanya pelecehan dan kekerasan terhadap pekerja anak tersebut. Para Mandor, Wakil Mandor/Mbok dan pekerja di tempat tersebut juga turut andil dalam proses eksklusi tersebut. Mereka mungkin terlibat mempengaruhi anak untuk bekerja di tempat itu dan mungkin juga terlibat melakukan tindakan-tindakan yang termasuk kategori pelecehan dan kekerasan terhadap anak. Pekerja anat tersebut kemungkinan takut untuk melaporkan pelecehan dan kekerasan karena takut kehilangan pekerjaan/dipecat, dan tidak dapat memperoleh penghasilan lagi. Orang tua/wali juga menjadi bagian dari pihak yang terlibat dalam proses ekskluasi terhadap anak. Mereka menyuruh/mengizinkan/membiarkan anak-anak tersebut bekerja di tempat yang pasti mereka ketahui dari berbagai segi kurang layak untuk anak-anak. Mereka juga mengetahui adanya kasus anak-anak yang mengalami kecelakaan dan sakit akibat bekerja. Sayang, laporan ILO-IPEC tidak menjelaskan apakah orang tua/wali mengetahui adanya kasus pelecehan dan kekerasan yang menimpa anak-anak mereka di tempat kerja. Namun hal inipun dapat dianggap sebagai kelalaian, karena mestinya mereka juga tahu persis kebiasaan dan situasi yang umum terjadi di tempat kerja tersebut, karena banyak diantara orang tua/wali juga bekerja di pertanian tembakau.
43
Teman atau rekan kerja dari pekerja anak juga dapat menjadi agen yang terlibat dalam proses eksklusi pekerja anak, karena mereka juga teridentifikasi sebagai salah satu pelaku pelecehan dan kekerasan yang dialami pekerja anak. Masyarakat di sekitar tepat usaha tembakau tersebut juga merupakan agen pelaku eksklusi terhadap pekerja anak. Mereka mengetahui dan membiarkan adanya situasi yang sesungguhnya merugikan dan membahayakan anak-anak. Keberadaan pekerja anak mungkin sudah dianggap sebagai kebiasaan/budaya yang lazim, positif, bukan hal yang illegal dan justru memberi manfaat. Pemerintah, dalam hal ini terutama pemerintah daerah yang terlihat tidak/kurang memberikan perhatian dan upaya untuk mencegah dan menangani masalah pekerja anak di lokasi tersebut. Penegakan peraturan perundang-undnagan yang berlaku tampaknya lemah dalam kasus ini.
Akar persoalan: Akar masalah dari situasi di atas adalah kemiskinan dan keterbatasan pendidikan orang/wali. Adanya budaya setempat yang permisif terhadap keberadaan pekerja anak juga mendukung berlangsung lamanya situasi tersebut. Disisi lain, para pengusaha industry tembakau tampaknya juga yang tidak tahu dan/atau tidak mau tahu dengan peraturan perundang-undangan mengenai larangan pekerja anak. Sementara, budaya kerja yang permisif terhadap adanya aksi pelecehan dan kekerasan di termpat kerja, kontrol dan penegakan hukum yang lemah oleh aparat setempat.
44
Referensi:
Amy S. Wharton. 2004. Gender Inequality. Pp. 156-171 in Handbok of Social Problems: A Comparative International Perspectives, edited by George Ritzer. SAGE Publications. London and New Delhi. Astriani Rahman. 2007. Eksploitasi Orang Tua Terhadap Anak Dengan Mempekerjakan Sebagai Buruh. Laporan Penelitian. Universitas Gunadharma. Depok. BPS dan ILO. 2010. Pekerja Anak di Indonesia 2009. Jakarta. Carol L. Ember and Melvin Ember (ed.). 2003. Encyclopedia of Sex and Gender: Men and Women in the World‟s Cultures. Kluwer Academic/Plenum Publishers. New York, Boston, Dordrecht, London and Moscow. DFID. 2009. Guidance on Gender Mainstreaming and Social Exclusion in Research. UK D. Abrams, J. Christian and D. Gordon (ed.). 2007. Multidisciplinary Handbook of Social Exclusion Research. John Wiley & Sons. England Ellin Rozana. 2007. Buruh Anak: Realitas Persoalan dan Kebijakan, dalam Jurnal Perempuan No. 56, Menyoal Buruh Mengapa Mereka Dieksploitasi. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. ELSAM. 2005. Pengantar Konvensi Hak Anak. Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara ke-X. Jakarta. Henry Thomas Simarmata, dkk. 2008. Negara Kesejahteraan & Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman. PSIK – Paramadina. Jakarta. ILO. 2004a. Gender Equality and Child Labour: A Participatory Tool for Facilitators. Geneva. ILO. 2004b. Menghapuskan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak. Jakarta. ILO. 2004c. Buruh Anak di Indonesia. Jakarta. ILO-IPEC. 2007. Pekerja Anak di Industri Tembakau Jember. Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN dan UNFPA. 2004. Bunga Rampai Panduan dan Bahan Pembelanjaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Buku 04 Edisi Lengkap. Cetakan ke 3. Jakarta. Laura Levine Frader. 2004. Gender and Labor in World History, in A Companion to Gender History, Edited by Teresa A. Meade and Merry E. Wiesner-Hanks. Blackwell Publishing. Oxford. Pierre Pestieau. 2006. The Welfare State in the European Union: Economic and Social Perspectives. Oxford University Press. New York. SMERU Research Institute. 2005. What Happened to Child Labor in Indonesia during the Economic Crisis: The Trade-off between School and Work. Revised version. Jakarta. UNICEF. 2007. Child Labour, Education and Policy Options. New York. 45