Masalah Kesejahteraan Sosial dan Pekedaan Sosial di Indonesia: Kecenderungan dan Isu Oleh: Edi Suharto
ABSTRAK Beragam literatur pekerjaan sosial kerapkali menggunakan istilah 'masatah sosial' dan 'masalah kesejahteraan sosial' sebagai dua konsep yang identik dan dapat dipertukarkan (lihat misalnya Chambers, 2000). Ini persis seperti istilah 'kebijakan sosial' (social policy) yang senantiasa dirujukkan dengan kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy). Kata kunci: Masalah kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial.
Pendahuluan
Salah satu pendekatan untuk
(KBKK) yang kiranya dapat dikembangkan bagi kurikulum pekerjaan sosial.
m€rancang dan mengembangkan kurikulum pekerjaan sosial adalah dengan
Masalah Kesejahteraan Sosial
mengenal fokus masalah yang akan
Beragam literafur pekerjaan sosial kerapkali menggunakan istilah'masatah sosial' dan 'masalah kesejahteraan sosial' sebagai dua korsep yang identik dan dapat dipertukarkan (lihat misalnya Chambers, 2000). Ini persis seperti istilah 'kebijakan sosial' (social policy) yang senantiasa diruiukkan dengan kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) (lihat Huttman, L982; Gilbert dan Specht, 1986; Spicker, 1995; Hilt, 7996).
ditangani oleh profesi tersebut. Tulisan ini pada intinya membahas dua tema utama,
yaitu gambaran mengenai masalah kesejaheraan sosial dan implikasinya terhadap pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia. Masalah kesejahteraan sosial yang dibahas difokuskan pada masalah yang terkait dengan kemiskinan, yaitu kefakirmiskinan, kecacatan, ketelantaran, dan ketidaklayakan tempat tinggal (hunian). Sekadar melengkapi diskusi mengenai pendidikan pekerjaan sosial, fulisan ini juga memuat kotak (box) mengenai pendidikan pekerjaan sosial di Kanada berdasarkan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats). Fada bagian akhir. tulisan ini mengajukan sebuah gagasan sederhana mengenai'Kurikulum
Berbasis Kompetensi dan Komitmen'
81 I HU}{ANITAS
Fokus
Dalam konteks ke-lndonesiaan,
istilah 'masalah sosial' dan 'masalah kesejahteraan sosial' tampaknya (atau terpaksa) perlu sedikit dibedakan karena
dua atasan. Pertama, dalam ranah pembangunan diTanah Air, dikenal istilah pembangunan sosial dan pembangunan
Sosial
hh sosial' lan dapat kebijakan .,iahteman
kesejahteraan social. Apakah pekerjaan sosial sebaiknya lebih berkiprah dalam pembangunan sosial atau kesejahtaraan sosial adalah isu yang senantiasa hangat dan belum'terpecahkan'. Kedua, dalam benak Publik istilah kesejahteraan sosial seringkali hanya diartikan sebagai 'kondisi kehidupan (wellbeing) dan sangat jarang Yang mengartikannya sebagai'arena' atau 'aktivitas' pekerjaan sosial' Karenanya, pembangunan kesejahteraan sosial masih sering dianggap sebagai 'kegiatan cocacola', yaifu: kegiatan apa saja yang dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Dan bahkan kini ada pendapat
yang menyatakan bahwa
jurusan
kesejahteraan sosial adalah'pabrik' ilmuwan atau praktisi sosiah dan bukan
ikembangkan
penghasil pekerja sosial yang dikenal dalam
dunia intemasional sebagal 'social worker' itu.
Tulisan ini berargumen bahwa masalah sosial dapat dibedakan dengan masalah kesejahteraan social. Masalah kesejahteraan sosial merupakan bagian dari masalah sosial. Sebagai ilustrasi, kemiskinan merupakan masalah utama yang terbentang dalam domain masalah sosial dan masalah kesejahteraan sosial.
Namun, secara khusus, masalah kemiskinan kemudian menyenfuh dimensi kesejahteraan sosial, seperti fakir miskin, orang dengan kecacatan (ODK), anak dan lansia telantar, dan rumah tidak layak huni'
Populasi yang mengalami problema ini dikenal dengan istitah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMI{S) atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) (Gambar 1).
'i41.
iosial kerjaan sosial
lah 'masatah
Gambar 1 Masalah Kesejahteraan Sosial
ileraan sosial' dik dan dapat m Chambers,
atr 'kebiiakan g senantiasa hesejahteraan htrat Huttrnan,
[986: Spicker,
K E M I
s
x I
N
A N
-Xndonesiaan,
lan'masalah pa-knya (atau
dakan karena lalam ranah , dikenal istilah
pembangunan HUMANITAS
I
82
Sejalan dengan ide tersebut, maka respon terhadap masalah tersebut juga dapat dibedakan, meskipun sangat bersinggungan. Penanganan masalah sosial
dilakukan melalui strategi pembangunan sosial. Sredangkan pembangunan kesejahter:dbn sosial sejatinya lebih difokuskan pada penanganan masalah kesejahteraan sosial. Peran yang dimainkan
berbagai profesi juga tentunya akan berlainan. Gambar 2 memperlihatkan bahwa peran pekerla sosial lebih dominan dalam pembangunan kesejahteraan sosial.
Sedangkan profesi lainnya, peranan
Selayang Pandang
Masalah
Kesejahteraan Sosial Bila kita sependapat dengan adagium "pekerja sosial harus memberi solusi konkret pada problema anak bangsa", rasanya pernyataan Howard Jones yang dikutip di awal fulisan sangat relevan unfuk konteks Indonesia. Di Tanah Air, problema utama yang masih dihadapi adalah kemiskinan dengan berbagai wajah serta furunannya. Oleh karena ifu, tidak tertalu keliru pula jika pekerja sosial di
Indonesia senantiasa mencurahkan
masing-masing. Misalnya, guru dalam domain pendidikan dan dokter dalam
perhatiannya pada problema ini. Dan data yang tersedia secara nasional, sedikitnya ada empat masalah kesejahteraan sosial yang dapat diurai yang terkait dengan
bidang kesehatan.
problema kemiskinan (poverty): yaitu
dominannya adalah dalam dorrnin khasnya
Gambar 2 Pembangunan Sosial dan Pembangunan Kesejahteraan Sosial PEMBANGUNAN NASIONAL Pembangunan Sosial
83 I
IIUMANITAS
htr
da'.
L
D#
Cra*
mefl
ei
Masalah
rt dengan s memberi zma anak
penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan 7,7 persen. Ini bemrti bahwa secara ratarata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang
kefakirmiskinan, kecacatan, ketelantaran, dan ketidaklayakan hunian (BPS dan Depkesos, 2001; BPS dan Depsos, 2002).
Gambar 3 dan 4 menyajikan Potret masalah kesejahteraan sosial tersebut
n Howard
datam prosentase dan angka absolut.
isan sangat a. Di Tanah ih dihadapi ragaiwajah a ifu, tidak ja sosial di
1.
Kefakirmiskinan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencaPai 35,7iuta;iwa dan 15,6 juta jiwa (4i|%) diantaranya masuk kategori fakir miskin. Secara keseluruhan, prosentase
ncurahkan
2.
diantaranya adalah orang miskin, yang terdiri dan 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin (BPS dan Depsos,2N2:9),. Kecacatan. Berdasarkan Susenas 2000, jumlah ODK adalah sebanYak 1,46 juta omng atau sekira 0,74 persen
d Dan data - sedikitnya araan sosial
lait dengan errj,'I
: yaitu
o/o
60
50
aan
40
30
20
10
Miskin
Fakir Miskin
d)K
Anak Lansia Rmh Tdk
Telantar Telantar
LYk Huni
Gambar 3: Potret Masalah Kesejahteraan Sosial (%)Catatan: data penduduk miskin, fakir miskin, dan ODK adalah prosentase mereka terhadap penduduk Indonesia; data anak terlantar adalah prosentase 'anak telantar' dan 'anak rawan telantar' terhadap jurnlah anak Indonesia; data lansia adalah presentase 'lansia telantar' dan 'lansia rawan telantar' terhadap jumlah lansia di Indonesia; data rumah tidak layak huni adalah ptosentase 'rumah tidak layak huni,' dan 'rumah rawan tidak Iayak huni' terhadap jurnlah rumahi tempat tinggal di Indonesia. HUMANITAS
I
84
+
d€Dd
2llCrl
s e lt::: Indon
Jrlta
hqs
&.35'7
lan ra.*E
35
lr€ih
30
::f,EmJ
25
:mt
n
lr,g:d,;
15
:tmse
10
.BXE':
:X.lnIi :re"ffiA
-i-*Jb(
* . _,j .-,EJ]
5
0 Fakir Miskin
Anak
Lansia
Terlantaf Terlantaf
:aur,a 3€mg :r€::sg
Rmh Tdk LYk Huni**
..rl4-J
ilryffiftrs 5@'nfrnJ
Gambar 4: Potret Masalah Kesejahteraan Sosial. fiuta) Catatan: * Mencakup kategori 'telantar' dan 'rawan telantar'; Mencakup kategori 'tidak layak huni' dan 'rawan tidak layak huni'
lk :€qB$E'5!r :ianf,f,iar-. l= - .---
r;rrfu:uu.m
dan seluruh penduduk Indonesia.
3.
Dilihat dan pendidikannya, sebagian besar dan mereka belum atau tidak pemah sekolah (43,17%), diikuti oleh mereka yang tidak atau belum tarrnt SD (25,82%), tamat SD (17,27%), tamat SMP (6,19%), dan selebihnya (7,457") tamat SMA atau pendidikan yang lebih tinggi (BPS dan Depkesos, 2NL:47-52). Ketelantaran. Mencakup dua kategori ketelantamn; anak telantar dan lanjut usia (larsia) telantar. Pada tahun 2000,
jumlah anak telantar mencapai 3,06
85 I
HUMANITAS
juta jiwa atau sekira 5,32 persen dari jumlah anak usia 5-18 tahun yang belum menikah (57,5 juta anak). Dalam konteks ini, dapat dimasukkan pula anak dalam kategori rawan telantar yang mencapai 10,09 juta atau sekira 77,55 persen dan seluruh anak Indonesia (BPS dan Depkesos, 2ffi177). Sementam itu, masih pada tahun yang sama, dan sekiral5 juta larsia, 27,75 persen dan 33,89 persen dapat dikategorikan sebagai Lansia telantar dan mwan telantar (BPS dan Depkesos, 2001:36).
lna: 3ac lA!*{P rrw :e,a;,a:a,t ':e*,
:raq
?-,x,-.:r ; :ff:r--A:. :nE r,--:lu:,r:Br
a.Fa-:ra--:n F
uiar
!hc :ri'taF
iardasani* lihara:isar
4.
Ketidaklayakan Hunian. Data Susenas 2000 memperlihatkan bahwa dan
sekira 49 juta rumah tangga di Indonesia, 9,9 persen rumah tangga tingga( di rumah yang tidak l-ayak huni
dan 16,5 persen 'agak' LaYak huni (rawan tidak layak huni) (BPS dan Depkesos, 2CfJl:62).Data tersebut juga
menunjukkan bahwa ketidaklayakan hunian berhubungan dengan pendidikan rendah, pengangguran dan pendapatan rendah. Dengan kata lain, ketidaklayakan hunian tidak dapat dipisahkan dari masalah kemiskinan. Ternyata 23,53 persen rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni memiliki pengeluaran 20 Persen di bawah garis kemiskinan dan 20,79 persen lagi memiliki pengeluaran 10 Rmh Tdk
Lyk Huni**
persen di bawah garis kemiskinan (BPS dan Depkesos, 2001 :69-70).
Implikasi Bagi Pendidikan Pekeriaan Sosial Dewasa ini tengah terjadi ) kategori 'tidak
i.32 persen dari 18 tahun yang rta arak). Dalam
rnasukkan pula mrlJan telantar jula atau sekira seluruh anak lan Depkesos, itu. masih pada an sekiraL5 juta lan 33,89 persen sebagai Lansia rhntar (BPS dan
pergeseran paradigma dalam kurikulum nasional, dan 'Kurikulum Berbasis Mata Pelajaran (subject matter) (KBMP)' ke 'Kurikulum Berbasis Kompetensi' (KBK) (Lihat Bagir, 2004; Drost, 2004). Pada IGMB tujuan instruksional sebuah mata
pelajaran disusun sekadar demi menanamkan materi yang disepakati
terkandung dalam sebuah mata pelajaran'
Prosedur penyusunan kurikulum dimulai dengan mendaftar secara lengkap semua komponen materi pelajaran sebagaimana dipahami pam ahli (authorities) di bidang terkait. Pada KBK, tujuan instruksional sebuah mata pelajaran disusun
berdasarkan kompetensi siswa yang diharapkan tercipta dari pembelajaran
sebuah mata pelajaran. Istilah 'tujuan instuulsional' (khusus) juga diganti dengan istilah yang lebih jelas, yakni 'kompetensi'.
Prosedur penyusunan silabus dibalik. Dimulai dengan penyusunan kompetensi yang hendak dibangun lewat pemberian sebuah materi pelajaran, baru kemudian dirumuskan daftar mata pelajaran yang perlu diberikan.
Mengingat pekedaan sosial adalah applied discipline dan human profession (lihat Siporin, L975; Morales, dan Sheafor, 1989; Dubois dan Miley, 1992; Parsons, Jorgensen dan Heman dez, 1994; Sheafor dan Horejsi, 2000), maka konseP KBK kiranya dapat pula diterapkan dalam penyusunan kurikulum pekerjaan sosial. Pemmusan kurikulum pekerjaan sosial bisa dimulai dengan merumuskan terlebih dahulu kompetensi apa yang perlu dimiliki oleh pekerja sosial. Ini dapat dilakukan, antara lain, dengan merujuk pada masalah yang akan ditangani. Namun karena pekerjaan sosial adalah profesi yangtidak bebas nilai, maka selain kompetensi, matra 'nilai' (values) perlu mendapat penekanan secara khusus pula. Dengan demikian, konsep KBKdapat dikembangkan menjadi KBKK, Yakni 'Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Komitmen'. Selain pekerja sosial difunfut untuk terampil menangani masalah kesejahteraan sosial, ia dituntut pula memiliki etika penanganan masalah. Dimensi etis ini menggariskan bahwa keberpihakan pekerja sosial terhadap para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (disadvantaged groups) harus tetap nrewamai kompetersinya dalam melakukan proses pertolongan.
Harus diakui bahwa dibandingkan dengan profesi lain, pekerjaan sosialdi Indonesia rupanya masih saja berkutat HUMANITAS
I
86
BOX
l:
A SWOTANALYSIS OF SOCIAL WORK EDUCATION IN CANADA
Social work education at the university level has existed in Canada since 1914, when the Department of Social Service was established at the University of Toronto. There are now 34 schools at the university level, offering 31 BSW programs and 32 MSW programs. At the college level, there are46 schoob offering 60programs. 1n7997 tlrcrewereZ,0B5 gmdr-rates from BSW programs and 705 graduates from MSW programs. At the college level, there were 4,54O gradmtes from social seruice programs in1996, about double the number of university graduates. In the 1996 census, a total of 38,875 people identified themselves as social workers, though 447" of these respondents had training in related disciplines like sociology, psychology or education rather than in social work. Among those identifying themselves as social workers, 4.6Vo also identified as aboriginal, 7 A% as visible minority, 5.O7o reporled having a disability which impeded their ability to do their work.
Strengths and Weaknesses With regard to socialwork edrrcation, eight themes identified as strength and seven identified as weaknesses emergedfrom the analysis. Shengths included: (a) a holistic pmctice orientation, (b) a genemlist approach io pmctice, (c) the linkage between theory and practice, (d) regulation and certification, (e) increased ctrlfural relevance of socialwork education, (f) the high quality of sociai work programs, (g) a continued demand for social workers, and (h) the values of the profession. Weolcnesses included: (a) a lack of professional identlficatron, or identity crisis, (b) an inability to nromcte the professiors, (C) the diffr-rse knwledge base of the profession and the lack of sp.cialized skills, (d) conflict beh.r,een the vaiues of social action and social control, (e) a lack of prepamtion
to manage the shess of our work, (f) insufficient aboriginal, visible minority and multicultural members of the profession, and (g) for aboriginal people, that social work can be seen as a residual effect of coionization.
Opportunities and Threab Five opporiunities and five threats emerged from the analysis. apportunihes included: (a) dasign of cost effective programs which meet the nee& of people we serve, (b) exercise of resporsibility forsocial advoeacy, (C) developmentof managerial competenceinsocial workers, (d) extension of job opportunities through pnvatization, and (e) articulation of social work competences . Threots included: (a) a hend to neoliberalism, (b) increasing identification of socialworkers with the bureaucracy, (c) increasing marngernlisation and the application of business principles in human services (d) increased community resporsibility for service delivery, and (e) interdisciplinary as other professions begin to assume traditional social work roles.
Sumber: Anne Westhues, Jean Lafrance dan Glen Schmidt (2001:35-47) Cetaktebaldan italic oleh penulis
pada persoalan pencarian identitas, termasuk perumusan bidang garapan, kompetensi, dan komitmen pertolongan. Persoalan ini meskipun bagi sebagian
87 I
HUITIANITAS
mungkin sudah menjenuhkan, tampaknya masih perlu didiskusikan. Soalnya, meski
debat yang berlangsung frekuensinya seolah-olah sudah sangat sering, namun
NNADA 114. when the There are now
sesungguhnya hasil-hasil dan diskusi tersebut sangat jarang didokumentasikan datam bentuk publikasi akademis. Sehingga sintesa dan hasil silaturahmi
Erams. At the
mikiran tersebut seringkali sangat mudah diterpa angin. Akibatnya, sosok pekerjaan
3raduates from
sosial di Indonesia terus menerus
rewere4,540 mity gmdmtes.
cial workers, hke sociology, eelves as social wted having a
rsn identified as
orirzntation, (b)
)regulation and
quhty
of social
Ithe profession.
rl an inability to
rkci
specialDed
kof prepamtion nd multicultural ln be seen as a
hded (a)design of resporsibility ,rs" {d) extension ztences. Threats rerkers with the r
rEipbs in human Erdisciplinary as
pe
mengalami penyusuhn. Wajahnya sernakin pucat-pasi digerus tantangan zaman.
Tulisan ini menawarkan satu pendekatan untuk menemukenali sosok pekerjaan sosial, yakni dengan merumuskan domain masalah yang akan ditangani. Contoh masalah kesejahteraan sosial yang ditampilkan tidak harus dipandang sebagai bidang vakum dan harga mati. Hanyalah sekadar memberi ilustrasi bahwa betapa ladang pembangunan kesejahteraan sosial masih sangat potensial untuk digaraP. Pengkhususan dan pengkerucutan masalah
tidak akan membuat pekerja sosial mati kufu , kehabisan garapan.
Ibarat pabrik pembuat roti, agar rotinya baik dan laku dipasaran, maka pabrik tersebut hams memiliki kejelasan terlebih dahulu bahwa yang akan dibuat adalah roti, bukan kue Yang lain. Sayangnya ada kesan, dalam usianya yang
sudah relatif tua, masih ada tembaga pendidikan kesejahteraan sosiaVpekerjaan sosial yang dibingungkan dengan persoalan mengenai bentuk 'produk' yang akan
dihasilkan. Bila produk yang akan dihasilkan saja masih belum jelas, maka persoalan seputar 'performa' dan 'pasar'
tentunya akan terus menghinggaPi pendidikan pekerjaan sosial.
Pendidikan kedokteran dan hkan, tampaknYa r- Soalnya, meski
ng frekuensinYa at sering, namun
keguruan, barangkali, bisa dijadikan analogi. Pendidikan kedokteran sejak berdirinya hingga kini sangat jelas hanya
menghasilkan dokter. Mereka adalah
'pekerja' di bidang kesehatan. Pendidikan keguruan juga sangat tegas hanYa menghasilkan guru, 'pekerja' di bidang pendidikan. Meskipun mereka hanya memfokuskan pada bidang garapan yang 'sempit', kontibusi dan eksistensinya tidak ada yang memgukan hingga saat ini. Agar pekerja sosial mampu memben solusi konkrit pada problema kongkrit, memerlukan bukan saja kesepakatan, melainkan pula kearifan diantara pam pendidik pekerjaan sosial. Ini tentu saja, kalau kita memang sungguhsungguh memikirkan kehidupan pekerjaan sosial.
Daftar Pustaka Bagir, Haidar (2004), Soloh Paham lkhwal KBK, Kompas, 20 Februari BPS/Badan Pusat Statistik dan Depkesos/
Departemen Kesehatan
Can Kesejahteraan Sosial (2001 ), Analisa Data Makro Penyandang Masalah Kesejahteraon Sosial, Jakarta: BPS Momles, furnando dan Bradford W. Sheafor (1989), Sociol Work: AProfession ot' Many Faces, Massachusset: AllYn and Bacon. Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen dan Santos H. Hemandez (1994), The lntegration of Social Work Practice, Califomia: Brooks/Cole. BPS/Badan Pusat Statistik dan Depsos/
Departemen Sosial Q0A2), Penduduk Fakir Miskin lndonesia 2002, Jakarta: BPS Chambers, Donald E. (2000), Social Policy and Social Programs: A Method t'or Practical Public Analyst, Boston: Allyn and Bacon. Drost, J. (2004), Kurikulum Berbasis HUMANITAS
I
88
Siporin, 1975 Siporin, Max (1975), lntroduction to Sociol Work DuBois, Brenda dan Karla I{rogsrud Miley Kompetensi, KomPas, 26 Januari.
F
Practice, New York: MacMillan. Spicker, Paul (1995) , SocialPolicy: Themes and Approaches, London: Prentice-
(1992), Sociol Work: anEmPowering Prafession, Boston: Allyn and Bacon.
Gilbert, Neil dan Harry Specht (1986)' Dimensions of Social Welt'are Policy, New Jersey: Prentice-Hall.
Hill, Michael (1996), Social Policy: A
Comparatiue AnalYsis, London: Prentice-Hall. Huttrnan, Elizabeth D. {1982), lntroduchon
to Socioi PolicY, New York:
McGraw-Hill. Jones, Howard (1990), Sociol Welt'are in T hird W orld D eu eloPm enf , London
i
:
MacMillan. Sheafor, Bmdford, W., Charles R. Horejsi,
dan Gloria A. Horejsi (2000)' Techniques ond Guidelines for Sociol Work Practice, Boston: AltYn and Bacon.
Hall. Suharto, kli (2003), Pekeria Sosial don Lisensi Praktik: Baban Permenungan, makalah Yang disampaikan Pada acara Tukar Pendapat, Ikatan Alumni STKS Bandung, Bandung 2V SePtember 2003. Westhues, Anne, Jean Lafrance dan Glen Schmidt (2001), A SWOT AnolYsis af Social Work Education in Canada, Social Work Education, Vo1.20, No. 1, halaman 35-47 .
),{ur,qiri,n
rengem"t pema,lmr
setwi-ha ses,iatrl
!
seba,jarr s
;a-* *h :rrgntted ner-umh sera;ar s aenqmm. p r.m.rmp'rlr,mr
u@mlrruum, u
rme:Ilwm[mr
mmmsIL 'fl@m firpii!
Ahe mm
m:frr t m ,milll'q*irini*r dllrltrlnini!ryL lmrrhrmnmlrr,6
MrdiMhm mrrum'qft
r&&
yE
E9 I HIITAITITAS