Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
PENDIDIKAN DAN STRATIFIKASI SOSIAL Oleh : Nurul Yaqin
Pendahuluan Zaman dimana sekolah murah tampaknya memang sudah usai. Bahkan keinginan untuk menjadi guru kini terasa sebagai sesuatu yang tidak realistis. Guru memang profesi yang mulia di papan nama, tetapi sengsara dalam kenyataan. Hanya beberapa gelintir sekolah yang memberikan imbalan manusiawi pada guru. Jika diusut lebih jauh, komersialisasi pendidikan ini bersinggungan erat dengan perubahan tatanan serta pergeseran formasi kelas sosial yang berlangsung saat ini, formasi sosial yang meluluhlantakan struktur dan system social yang lama. Termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah lingkaran yang berisi aktor-aktor yang mengalami perubahan social besar. Perubahan itu terbentuk dari tatanan global yang juga sedang mengalami tranformasi raksasa. Semenjak komunisme diruntuhkan, maka ide sosialisme menjadi basi dan kuno. Dunia harus sujud sepenuhnya pada gagasan demokrasi liberal yang kini menguasai semua arena kehidupan sosial. Demokrasi liberal ini memiliki sejumlah dogma yang menjadi kepercayaan dasarnya, pertama semua Negara wajib mengadopsi system ekonomi liberal, sebuah sistem yang mempertautkan satu negara dengan yang lain berdasarkan pada aturan perdagangan bebas yang dikomandoi oleh rezim WTO. Organisasi perdagangan internasional inilah yang mendesain semua kepentingan negara dan bahkan memberi aturan yang tidak dapat ditolak. Kata kunci : Pendidikan dan Stratifikasi Sosial 1. Metode obyektif : stratifikasi social ditentukan berdasarkan criteria obyektif antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan, jenis pekerjaan. Biasanya data ini diketahui saat diadakan sensus. Menurut suatu penelitian di Amerika Serikat, profesi dokter menmpati kedudukan yang sangat tinggi, sama dengan gubernur negara bagian. Juga profesor diperguruan tinggi, kedudukannya sama dengan ilmuwan (scientist), anggota kongres, dewan perwakilan rakyat, guru, pemain orkestra, atau kontraktor, akan tetapi lebih tinggi daripada penyiar radio, masinis, dan polisi. Dalam hal ini yang paling rendah adalah tukang semir atau pemulung. Meskipun dalam hal pendapatan, golongan terahir ini tidak kalah banyak dengan golongan yang lain. 2. Metode subyektif : dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat. Kepada mereka diajukan pertanyaan: menurut pendapat saudara termasuk golongan manakah saudara di negeri ini, golongan atas, tengah, atau bawah? ada suatu hasil penelitian mengatakan bahwa, golongan atas 6 %, golongan menengah 88 %, dan golongan rendah 6 %. Golongan
Stratifikasi Sosial Setiap komunitas social terdiri dari beberapa stratifikasi social, dan dalam setiap stratifikasi social terdiri beberapa kategori, mulai dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan yang paling atas. Ada masyarakat yang mempunyai stratifikasi social yang sangat ketat, misalnya seorang lahir dalam golongan tertentu dan ia tidak mungkin bisa meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Keanggotaannya dalam suatu kategori merupakan faktor utama yang menentukan tinggi pendidikan yang dapat ditempuhnya, jabatan yang dapat didudukinya, orang yang dapat dikawininya, dan seterusnya. Golongan yang ketat ini biasanya disebut dengan kasta (dalam agama hindu). Biasanya penggolongan social yang tidak seketat di atas akan terjadi pola fleksibilitas dengan batas-batas yang agak kabur dan senantiasa dapat mudah mengalami perubahan. Penentuan Stratifikasi Sosial Konsep pengolongan social bergantung pada cara seorang menentukan golongan social itu sendiri. Adanya golongan social timbul karena adanya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat. Untuk menetukan stratifikasi sosial dapat diikuti tiga metode :
1
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
menengah sangat menonjol, mungkin karena istilah golongan rendah agak menyinggung perasaan. Akan tetapi apabila golongan rendah dipecah menjadi golongan pekerja dan golongan rendah maka hasilnya menjadi golongan atas 3 %, golongan menengah 43 %, golongan pekerja 51 % golongan rendah 1 %, sedangkan selebihnya tidak tahu 1 5 dan tidak percaya akan adanya golongan social 1 %. 3. Metode reputasi : metode ini dikembangkan oleh W.Lloyd Warner cs. Dalam metode ini golongan social dirumuskan menurut bagaimana anggota masyrakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu. Kesulitan penggolongan obyektif dan subyektif ialah bahwa penggolongan itu sering tidak sesuai dengan tanggapan orang dalam kehidupan sehari-hari yang nyata tentang golongan social masing-masing. Oleh sebab itu W.L. Warner mengikuti suatu cara tyang realistis, yakni memberi kesempatan kepada orang yang dalam masyarakat itu sendiri untuk menentukan golongan-golongan mana yang terdapat dalam masyarakat itu lalu mengidentifikasi anggota masing-masing golongan itu. Warner cs banyak menggunakan teknik operasional ini tanpa sebenarnya merumuskan dasar-dasar diferensiasi penggolongan itu. Metode ini tidak menghiraukan daar teoritis bagi penggolongan dan berusaha menentukan stratifikasi social seperti yang terdapat dalam interaksi yang nyata dikalangan penduduk dengan dasar pikiran bahwa merekalah yang sesungguhnya mengenal golongan itu dalam kenyataan. Metode penggolongan ini tidak dimaksud untuk mencari perbedaan status atau kekuasaan. Orang dalam masyarakat lain mungkin akan mengadakan stratifikasi social yang berbeda dengan menggunakan dasar yang berlainan. Dengan sendirinya sukarlah mengadakan perbandingan stratifikasi social antara berbagai macam tipologi dan stratifikasi social. Peneliti lain menggunakan berbagai criteria social ekonomi untuk membedakan berbagai golongan social seperti jabatan, jumlah dan sumber pendapatan, tingkat pendidikan, agama, jenis kelamin dan luas rumah, lokasi rumah, asal keturunan, partisipasi dalam kegiatan organisasi, dan lain-lain yang berkaitan dengan status social
seseorang. Tidak ada metode yang secara umum berlaku untuk menentukan stratifikasi social dalam berbagai masyarakat di dunia ini. Mungkin juga tidak ada criteria yang sama yang berlaku bagi masyarakat yang berbeda-beda. Rumah yang bagus, luas, lengkat isinya, pendaptan yang banyak bagi masyarakat komunal belum tentu dianggap rumah yang bagus atau oendapatan banyak di masyarakat modern (kota) dan seterusnya. Dalam masyarakat komunal sering sukar menentukan stratifikasi social yang jelas. Dalam masyarakat lain dapat dibedakan dua golongan tau lebih yang jelas perbedaannya. Mungkin juga akan diperoleh penggolongan social yang berbeda-beda dalam masyarakat yang sama bila digunakan criteria yang berlainan. Dalam menganalisis masyarakat, Warner menemukan enam golongan, yakni golongan : upper-upper, lower-upper, upper-middle, lowermiddle, upper-lower, dan lower-lower. Jadi dapat dibedakan menjadi golongan atas, menengah, dan bawah dan tiap golongan terbagi pada dua bagian yakni bagian atas dan bawah, sehinga terdapat enam golongan. Besar tiap kelompok tidak sama. Biasanya golongan paling atas kecil jumlah anggotanya, misalnya terdiri atas keturunan feodal atau orang kaya raya, yang sangat dihormati, sedangkan golongan rendah pada umumnya besar jumlahnya dan lazim disebut kelompok orang kebanyakan. Stratifikasi social dalam masyarakat kita di Indonesia jelas tampak pada zaman feodal dan kolonial, antara lain berdasarkan keturunan. Setelah kita merdeka terbentuk stratifikasi lain berdasarkan kedudukan, sumber pendapatan, pendidikan, dan lainnya. Keberatan yang diajukan terhadap metode yang digunakan oleh Warner antara lain : 1. Metode ini hanya dapat digunakan apabila masyarakat itu kecil sehingga masing-masing saling mengenal. Di kota yang besar dengan penduduk yang banyak di mana orang tidak saling kenal-mengenal, metode ini tidak berlaku. 2. Metode ini tidak menggambarkan struktur stratifikasi social yang sebenarnya dalam masyarakat kecil, akan tetapi menurut pandangan golongan menengah dan atas yang digunakan sebagai informan utama. Apabila golongan rendah akan mengakui adanya enam
2
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
lapisan social dan bukan hanya tiga atau empat. 3. Metode ini tidak cermat dan tidak akan memberikan hasil yang sama apabila diterapkan oleh peneliti lain.
golongan yang berbeda atau perpangkat makin meningkat dengan bertambahnya tingginya taraf pendidikan dan usia pelajar. Sebagian besar dari mahasiswa yang memasuki perguruan ternama di tanah air adalah rata-rata anak pejabat, pegawai, atau TNI. Perbedaan sumber pendapatan juga mempengaruhi harapan orang tua tentang pendidikan anaknya. Sudah selayaknya orang tua yang berada mengharapkan agar anaknya kelak memasuki perguruan tinggi. Soalnya hanya universitas mana dan jurusan apa di samping tentunya kemampuan dan kemauan anak. Sebaliknya orang tua yang tidak mampu, tidak akan mengharapkan pendidikan yang demikian tinggi. Cukuplah bagi anak itu hanya menyelesaikan SD, paling-paling SLTA. Adakalanya anak itu sendiri mempunyai kemauan keras untuk melepaskan diri dari pendirian lingkungan dan berusaha sendiri dengan segenap tenaga untuk melanjutkan pelajarannya ke perguruan tinggi. Sukur apabila ia berbakat, sanggup kerja sambil belajar dan dapat memperoleh beasiswa. Faktor lain yang menghambat anak-anak golongan rendah memasuki PT adalah kurangnya perhatian akan pendidikan di kalangan orang tua. Banyak anak-anak golongan ini yang berhasrat untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, akan tetapi dihalangi oleh ketiadaan biaya yang cukup. Banyak pula anak-anak yang putus sekolahnya karena alas an financial. Pendidikan memerlukan uang, tidak hanya uang sekolah akan tetapi juga untuk pakaian, buku, transport, kegiatan ektra-kurikuler, dan lainya yang terkait.
Tingkat Pendidikan dan Stratifikasi Sosial Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan tertinggi yang diperoleh seseorang digunakan indeks kedudukan sosialnya. Menurut penelitian memang terdapat korelasi yang tingi antara kedudukan social seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya. Walaupun tingkat social seseorang tidak dapat diramalkan sepenuhnya berdasarkan pendidikannya, namun pendidikan tinggi bertalian erat dengan kedudukan social yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan sendirinya menjamin kedudukan social yang tingi. Korelasi antara pendidikan dan golongan social santara lain terjadi oleh sebab anak golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkan pelajarannya sampai perguruan tinggi. Orang yang termasuk golongan social atas beraspirasi agar anak-anaknya menyelesaikan pendidikan tinggi. Jabatan orang tua, jumlah dan sumber pendpatan, daerah tempat tinggal, tanggapan masing-masing tentang golongan sosialnya, dan atribut-atribut lain yang berkaitan dengan status social ada kaitannya dengan tingkat pendidikan anak. Orang tua yang berkedudukan tinggi, yang telah bergelar akademis, yang mempunyai pendapatan besar tinggal di rumah gedung besar di daerah elit, merasa dirinya termasuk golongan social atas, mempunyai mobil Mercedes dan lainlain, dapat diharapkan akan mengusahakan agar anaknya masuk universitas dan memperoleh gelar akademis. Sebaliknya anak yang orang tuanya buta huruf mencari nafkahnya dengan mengumpulkan puntung rokok, memulung sampah, tinggal di gubuk keci di tepi rel kereta api, di kolong jembatan dan harus jalan kaki, tidak dapat diharapkan akan berusaha agar anaknya menikmati pendidikan tinggi. Pada tingkat pendidikan dasar belum tampak pengaruh perbedaan golongan social, apalagi kalau kewajiban belajar mengharuskan semua anaknya memasukinya, akan tetapi pada tingkat SLTA, apalagi pada tingkat pendidikan tinggi lebih jelas tampak pengaruh perbedaan golongan social itu. Perbedaan persentasi anak-anak
Stratifikasi Sosial dan Jenis Pendidikan Pendidikan menengah pada dasarnya diadakan sebagai persiapan untuk pendidikan tinggi. Karena biaya pendidikan tingi pada umumnya mahal, tidak semua orang tua mampu membiayai studi anaknya di PT. pada umumnya anak-anak yang orang tuanya mampu, akan memilih sekolah menengah umum sebagai persiapan untuk studi di PT. Orang tua yang mengetahui batas kemampuan keuangannya akan cenderung memilih sekolah kejuruan bagi anaknya. Sebaliknya anak-anak orang tua yang kaya tidak akan tertarik oleh sekolah kejuruan. Dapat diduga bahwa sekolah kejuruan akan lebih banyak mempunyai murid
3
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
dari golongan rendah daripada yang berasal dari golongan atas. Karena itu akan dapat timbul pendapat bahwa sekolah menengah umum mempunyai status yang lebih tinggi daripada sekolah kejuruan. Murid-murid sendiri akan lebih cenderung memilih sekolah menengah umum, walaupun sekolah kejuruan memberi jaminan yang lebih baik untuk langsung bekerja dari pada yang lulus SMU. Demikian pula mata pelajaran atau bidang studi yang berkaitan dengan PT mempunyai status yang lebih tinggi, misalnya mata pelajaran eksak dipandang lebih tinggi daripada mata pelajaran PKK, tata boga, tata buku dan sebagainya. Sikap demikian bukan hanya terdapat di kalangan siswa, akan tetapi juga di kalangan orang tua dan guru yang dengan sengaja atau tidk sengaja menyampaikan sikap itu kepada anak-anak. Orang tua dan guru mempunyai pandangan yang lebih tinggi terhadap mata pelajaran atau kurikulum yang mempersiapkan murid untuk PT daripada yang tidak memberi persiapan itu. Mendapat angka rendah misalnya untuk pendidikan jasmani tidak dianggap serius oleh orang tua asal anak itu mendapat angka tinggi untuk mata pelajaran matematika dan fisika. Mau tidak mau guru matematika dll, dipandang atau memandang diri lebih tinggi daripada misalnya guru olah raga, PKK, atau menggambar.
yang diinginkannya. Kewajiban belajar memeberikan pengetahuan dan keterampilan yang sama bagi semua anak dari semua golongan social. Dengan demikian perbedaan golongan social akan dikurangi dan tidak dapat dihapuskan seluruhnya. Dalam kenyataan cita-cita itu tidak demikian mudah diwujudkan. Mengenai mobilitas social terdapat dua pengertian : pertama, suatu sector dalam masyarakat secara keseluruhan berubah kedudukannya terhadap sector lain. Misalnya, buruh industri yang dahulunya mempunyai kedudukan yang rendah mendapat posisi yang baik setelah mendapat gaji yang lebih tinggi. Sebaliknya ada kemungkinan suatu sector masyarakat merosot dalam keseluruhannya. Kedudukan guru yang begitu terhormat pada zaman dahulu sudah tidak lagi berada pada posisi yang setinggi itu di zaman sekarang. Kedua, kemungkinan bagi individu untuk pindah dari lapisan satu ke lapisan social yang lain. Misalnya, perbedaan status social seseorang dibandingkan dengan orang tuanya. Pendidikan membuka kemungkinan adanya mobilitas social, dengan pendidikan seseorang dapat meningkat dalam status sosialnya. Pendidikan secara merata memberi kesamaan dasar pendidikan dan mengurangi perbedaan antara golongan tinggi dan rendah. Melalui pendidikan tiap warga Negara dapat membaca surat kabar dan majalah yang sama, dapat memikirkan masalah-masalah politik, social, dan ekonomi yang sama. Walaupun terdapat mobilitas social secara sektoral, banyak pula golongan rendah yang tetap dianggap rendah, namun kedudukan golongan rendah tidak statis, akan tetapi dapat terus bergerak maju apabila diberi pendidikan yang lebih banyak. Bahkan sekarang hampir tidak ada perbedaan antara lulusan pendidikan tingkat menengah dengan PT, bagi lulusan PT pun kini sudah bertambah sulit untuk memproleh kedudukan yang lebih baik. Di samping ijazah PT ada lagi factor-faktor lain yang membawa seseorang kepada kedudukan tinggi dalam pemerintahan atau dalam dunia usaha. Dapat kita pahami bahwa anak-anak golongan rendah lebih sukar mendapat kedudukan sebagai pimpinan perusahaan disbanding dengan anak pemimpin perusahaan itu sendiri. Hubungan pribadi, rekomendasi dari orang yang berkuasa di
Pendidikan dan Mobilitas Sosial Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk mencapai kedudukan yang lebih baik di dalam masyarakat. Makin tinggi pendidikan yang diperoleh makin besar harapan untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian terbuka kesempatan untuk meningkatkan ke golongan social yang lebih tinggi. Pendidikan dilihat sebagai kesempatan untuk beralih dari golongan yang satu ke golongan yang lebih tinggi. Pendidikan merupakan jalan bagi mobilitas social, pada zaman dahulu keturunanlah yang menentukan status social seseorang yang sukar ditembus karena system golongan yang ketat. Tokoh-tokoh pendidikan banyak yang menaruh kepercayaan akan keampuhan pendidikan untuk memperbaiki basib seseorang. Dengan memperluas dan meratakan pendidikan diharapkan dicairkannya batas-batas antara golongan-golongan social. Kesempatan belajar yang sama membuka jalan bagi setiap anak untuk memperoleh pekerjaan
4
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
samping ijazah dan prestasi turut berperan untuk mendapat posisi yang tinggi. Mobilitas social bagi individu agak kompleks karena adanya macammacam factor yang membantu seorang meningkat dalam jenjang social. Guru juga dapat mempengaruhi individu untuk mencapai kamajuan, apabila mereka mendorong anak belajar agar mencapai prestasi yang tinggi. Guru itu sendiri dapat menjadi model mobilitas social berkat usahanya belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga kedudukannya meningkat. Sebaliknya guru dapat menghalangi mobilitas itu apabila ia memandang rendah terhadap anak-anak dari golongan rendah dan tidak yakin akan kemampuan mereka. Mungkin juga guru tidak menyadari fungsi sekolah sebagai jalan bagi mobilitas social. Sekolah dapat membuka kesempatan untuk meningkatkan status anak-anak dari golongan rendah. Di sekolah mereka mempunyai hak yang sama atas pelajaran, mempelajari buku yang sama, mempunyai guru yang sama, bahkan berpakaian seragam yang sama dengan anakanak dari golongan tinggi. Dengan prestasi yang tinggi dalam bidang akademis dll, maka mereka akan diterima dan dihargai oleh semua murid. Dalam hubungan kelas mereka akan dapat mengikat tali persaudaraan / persahabatan dengan anak-anak dari golongan social yang lebih tinggi yang mungkin dapat dilanjutkan dikemudian hari. Akan tetapi apabila ia hanya memiliki ijazah SLTA, mungkin tingkat pendidikan itu kurang memadai dan tidak banyak artinya dalam meningkatkan kedudukan sosialnya sebagai orang dewasa dan justru akan mengalami frustasi, kecuali apabila ia bekerja keras dan didorong oleh tekad yang bulat untuk naik dalam jenjang social. Pendidikan tinggi masih sangat selektif memberikan kesempatan masyarakat untuk bias menikmati belajar di PT. tidak semua orang tua mampu membiayai studi anaknya di PT. dengan menggunakan computer untuk menilai hasi tes seleksi masuk manjadi obyektif, artinya tidak lagi dipengaruhi kedudukan orang tua atau orang yang memberikan rekomendasi. Cara itu membuka kesempatan yang lebih luas bagi anakanak golongan rendah dan menengah untuk memasuki PT atas dasar prestasinya dalam tes masuk PT. biaya yang cukup banyak, tentu selalu merupakan hambatan bagi golongan rendah
untuk menyekolahkan anaknya pada tingkat PT, beasiswa dari pemerintah dan kesempatan untuk mengadakan pinjaman dari bank untuk studi dapat memperluas kesempatan belajar bagi mereka yang berbakat akan tetapi ekonomi lemah. Pendidikan dan Perbedaan Stratifikasi Sosial Pada umumnya di Negara demokrasi orang sukar menerima adanya golongan-golongan social dalam masyarakat. Menurut undang-undang semua warga Negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan mendapat perlakuan yang sama pula di hadapan undang-undang. Dalam kenyataan tidak dapat disangkal adanya perbedaan social itu yang tampak dari sikap rakyat biasa terhadap pembesar, orang miskin terhdap orang kaya, pembantu terhadap majikan, juga pegawai rendah terhadap atasan. Perbedaan nyata juga tercermin dalam atribut-atribut social, seperti mobil mewah, rumah mentereng, perabot luks, dst. Sampai sekarang perbedaan status social terdapat di mana-manasepanjang masa, walaupun sering perbedaan tidak selalu mencolok. Pendidikan bertujuan membekali setiap individu agar masing-masing dapat maju dalam hidupnya untuk mencapai tingkat yang setinggi-tingginya. Akan tetapi sekolah sendiri tidak mampu meniadakan batas-batas tingkatan social itu, oleh sebab banyak daya-daya di luar sekolah yang memelihara atau mempertajamnya. Pendidikan selalu merupakan bagian dari system social, dan jika demikian halnya timbul pertanyaan, apakah sekolah harus mempertimbangkan perbedaan itu dalam kurikulumnya, artinya memberikan pendidikan bagi setiap golongan social yang sesuai dengan kebutuhan golongan masing-masing sehingga dapat hidup bahagia menurut golongan masingmasing. Berhubung dengan itu juga dipilih guruguru yang sesuai dengan golongan social murid yang bersangkutan. Pendirian ini didasarkan atas anggapan bahwa sekolah bagaimanapun juga tidak dapat mengubah struktur social dank arena itu menerimanya saja sebagai kenyataan serta menyesuaikan diri dengan kenyataan itu agar kurikulum relevan. Tentu segera timbul keberatan terhadap pendirian yang demikian, karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dengan
5
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
mengadakan diskriminasi dalam pendidikan. Cara demikian akan memperkuat penggolongan social dan menghambat mobilitas social yang diharapkan dari pendidikan. Harapan ini tidak mudah diwujudkan oleh sebab banyak daya-daya lain di luar sekolah yang menimbulkan stratifikasi social yang jauh lebih kuat daripada pendidikan formal. Jika benar-benar diinginkan agar sekolah mengubah struktur sosial maka diperlukan pengethuan yang fundamental tentang fungsi yang dapat dijalankan sekolah dlam masyarakat serta hakikat pengalaman yang harus diberikan kepada anak-anak. Dalam hal ini pengethauan kita belum memadai, kita juga belum mengetahui guru-guru yang bagaimana yang diperlukan, kurikulum dan metode mengajar yang bagaimana paling serasi untuk mengurangi stratifikasi social. Pada saat ini sekolah-sekolah meneruskan citacita untuk menyebarluaskan ideal dan normanorma kesamaan dan mobilitas secara verbal di samping adanya daya-daya stratifikasi yang berlangsung terus dalam masyarakat. Ini berarti bahwa usaha untuk mengajarkan kesamaan dan mobilitas akan menghadapi kesulitan dalam dunia kenyataan.
3. Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan tertinggi yang diperoleh seseorang digunakan indeks kedudukan sosialnya dan ada korelasi yang tinggi antara kedudukan social seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya. Walaupun tingkat social seseorang tidak dapat diramalkan sepenuhnya berdasarkan pendidikannya, namun pendidikan tinggi bertalian erat dengan kedudukan social yang tinggi. 4. status social yang rendah akan berpengaruh kepada penentuan pilihan tingkat pendidikan oleh masyarakat. Sebab kemiskinan, keterbalakangan, kebodohan, maka akan berakibat kepada penentuan klasifikasi jenis dan jenjang pendidikan antara sekolah orang kaya dan sekolah orang miskin. Untuk mengurangi atau menghindari perbedaan kelas berdasarkan stratifikasi sosial, maka harus ada bentuk pendidikan yang sanggup menfasilitasi semua kebutuhan masyarakat berdasarkan pada hak dasar masyarakat bahwa pendidikan adalah hak rakyat. Sehingga kesenjangan sosial yang bermuara penciptaan kelas bawah dan atas akan semakin terkurangi dan cita-cita dasar pendidikan untuk memberdayakan masyarakat akan benar-benar terwujud dan masyarakat miskin atau kelas social rendah akan merasakan bahwa dirinya adalah benar-benar manusia yang harus di manusiakan.
PENUTUP 1. Setiap komunitas sosial terdiri dari beberapa stratifikasi sosial, dan dalam setiap stratifikasi social terdiri beberapa kategori, mulai dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan yang paling atas. 2. Untuk menentukan stratifikasi social dapat diikuti tiga metode : a. metode obyektif: stratifikasi social ditentukan berdasarkan criteria obyektif antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan, jenis pekerjaan. Biasanya data ini diketahui saat diadakan sensus. b. metode subyektif : dalam metode ini golongan social dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat. c. metode reputasi: metode ini dikembangkan oleh W.Lloyd Warner cs. Dalam metode ini golongan social dirumuskan menurut bagaimana anggota masyrakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu.
REFERENSI : Prof. DR. S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1995 Drs. H. Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 1991 D.F. Swift, Sosiologi Pendidikan : perspektif pendahuluan yang analitis, terjemah : Dr. Panuti Sudjiman, Jakarta : Bhratara, 1989 Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, Yogyakarta : LKIS, 2007 Wasingatu Zakiyah, Sekolah Tak Terbeli : Menyoal Pendidikan Dan Anggaran, Yogyakarta : IDEA, 2004 Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Cet. IV, Jogjakarta : Resist Book, 2006 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005
6