Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Telaah Qur’ani) Kholid Musyaddad Abstraksi Kegiatan pendidikan adalah upaya yang memiliki tujuan tertentu. Tujuan itu merupakan sebuah cita-cita atau idealitas yang ingin dicapai oleh subyeknya. Manusia adalah subyek dan sekaligus merupakan obyek aktifitas pendidikan. Dikatakan sebagai subyek, karena manusia memang merupakan pelaksana, dan bahkan perancang aktifitas pendidikan. Manusia menjadi obyek kegiatan pendidikan, karena manusia adalah sasaran dari kegiatan pendidikan. Karena itu, pendidikan pada dasarnya membutuhkan kajian atau pemahaman tentang hakikat manusia itu sendiri, yakni hakikat keberadaan, cita-cita, sistem nilai yang dianut manusia sebagai Pelaku pendidikan. Makalah ini berupaya memahami manusia melalui perspektif Islam (Al-Qur’an) yang kemudian, dengan sudut pandang terbatas, mencoba melihat hubungan dialektika konseptualnya dengan masalah kependidikan. Kata Kunci : Tujuan pendidikan Islam, Tujuan agama Islam, Khalifah Tuhan A. Pendahuluan Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bukti paling kongkrit yaitu manusia memiliki kemampuan intelegesi dan daya nalar sehingga manusia mampu berifikir, berbuat, dan bertindak untuk membuat perubahan dengan maksud pengembangan sebagai manusia yang utuh. Kemampuan seperti itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya. Dalam kaitannya dengan perkembangan individu, manusia dapat tumbuh dan berkembang melalui suatu proses alami menuju kedewasaan baik itu bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Oleh sebab itu manusia memerlukan Pendidikan demi mendapatkan perkembangannya yang optimal. Manusia baik sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok masyarakat hidup dalam sosio-budaya. Manusia dengan akalnya menciptakan kebudayaan, membina, mengembangkan, dan melestarikannya, serta hidup dalam warna atau corak kebudayaannya sendiri. 29
Kholid Musyaddad, Pendidikan …
Pendidikan, baik sebagai sebuah sistem maupun sebagai suatu proses, adalah juga merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Pemahaman manusia tentang dunia dan kehidupannya yang berbedabeda, melahirkan sistem nilai yang berbeda, kemudian memunculkan keanekaragaman atau corak pendidikan dalam kehidupan manusia, baik dalam sistem maupun tujuannya. Setiap kelompok masyarakat atau bangsa melaksanakan aktifitas pendidikannya secara prinsipiil untuk menjaga dan menanamkan nilai-nilai filosofis atau atau nilai-nilai religius kelompoknya. Tidak ada satupun kegiatan pendidikan yang terlepas dari sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, karena hanya dengan kegiatan pendidikan nilai-nilai suatu kelompok masyarakat dapat lestari, berkembang dan termanifestasikan dalam kehidupan nyata. Pendidikan mengemban tugas dan fungsi untuk menyerap, mengolah dan menganalisa serta menjabarkan aspirasi dan idealitas masyarakat, dan harus mampu mengalihkan aspirasi dan idealitas masyarakat itu ke dalam jiwa generasi penerusnya (H.M Arifin, 1994; 3). Melalui perspektif inilah maka, secara filosofis, kegiatan pendidikan dipahami sebagai upaya realisasi dari ide-ide filsafat (M. Noor Syam, 1988; 41,43). Kegiatan pendidikan adalah upaya membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia kepada tujuan tertentu. Tujuan itu sendiri merupakan sebuah cita-cita atau idealitas yang ingin dicapai oleb subyeknya. Karena itu, dalam kerangka seperti ini, pendidikan pada dasarnya membutuhkan kajian atau pemahaman tentang hakikat manusia itu sendiri, yakni hakikat keberadaan, cita-cita, sistem nilai yang dianutnya dan sebagainya. Hubungan pendidikan dengan manusia adalah hubungan antara subyek-obyek. Dikatakan sebagai subyek, karena manusia memang merupakan pelaksana, dan bahkan perancang aktifitas pendidikan. Sementara itu, manusia dalam hal ini juga menjadi obyek kegiatan pendidikan, karena manusia adalah sasaran dari kegiatan pendidikan. Artikel ini dengan keterbatasannya tidak berbicara seluruh konsep tentang kemanusiaan dari seluruh pandangan filsafat atau seluruh pandangan agama, akan tetapi hanya akan mencoba melakukan telaah terhadap pandangan Islam (AlQur’an) tentang manusia yang kemudian, dengan sudut pandang terbatas, mencoba melihat keterkaitan konseptualnya dengan beberapa masalah kependidikan. B. Manusia dalam “Pandangan” Al-Qur’an 1. Kedudukan, Fungsi dan Tugas Manusia di Bumi Dalam upaya memahami kedudukan dan fungsi manusia, penulis, dalam artikel ini, melakukan penelaahan terhadap beberapa istilah dalam al-Qur’an yang berbicara tentang 30
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Kholid Musyaddad, Pendidikan …
manusia seperti kata khalifah, ‘abd, karena makna kedua istilah ini secara terminologis mengacu kepada posisi manusia. Kata khalifah artinya orang yang datang kemudian menggantikan orang sebelumnya, yang berasal dari kata khalafa yang mempunyai arti “menggantikan”, sedangkan khilafahu menunjukkan pada pengertian waktu yang sesudahnya. Kata khalifah juga memiliki arti imaroh, yaitu “kepimimpinan” atau sulthan yang artinya “berkuasa” (Ibn Manzhur, Jilid. 9, 1990; 81 – 97). Istilah ini seakar dengan kata “khalfu”, yang artinya “belakang”. Fakhru Al-Din Muhammad Al-Razi dalam tafsirnya (1985, Jilid 2, 180) mengatakan bahwa khalifah adalah orang yang menggantikan orang lain dan ia menempati tempat serta kedudukkannya. Bila dilihat melalui sudut pandang di atas, seorang khalifah, dengan demikian berarti orang yang menggantikan orang lain, menggantikan kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya. Seorang anak menggantikan kedudukan orang tuanya, seorang wakil menggantikan kedudukan orang yang diwakilinya. Adapun dalam bentuk jamak, khala’if dan khulafa’ juga mengandung pengertian “menggantikan”, dalam Al-Qur'an (QS. Yunus ayat 4 & 10) misalnya dipakai untuk menyebut suatu generasi manusia yang tampil menggantikan generasi sebelumnya yang hancur karena perbuatan zhalimnya. Generasi yang menggantikan mereka yang binasa karena perbuatan zhalimnya itu ialah berasal dari generasi mereka juga, akan tetapi generasi itu diselamatkan Tuhan, karena mereka tetap kuat imannya, sehingga tidak berbuat zhalim seperti kaum nabi Nuh (QS Yunus ayat 73). Akhirnya, generasi yang selamat itu menjadi khalifah-khalifah (pengganti-pengganti), membentuk kehidupan baru yang lebih baik, di mana satu sama lain mengalami perkembangan kehidupan yang berlainan di mana keberhasilan dan kegagalan dalam perjalanan kehidupannya akan menentukan status masing-masing. Ayat-ayat lainnya yang menggunakan istilah ini dalam pengertian yang sama dapat ditemukan antara lain ketika Al-Qur'an menyebut kaum nabi Hud yang menggantikan kaum nabi Nuh (QS. Al-‘Araf ayat 69), ataupun dipakai untuk menyebut kaum Tsamud yang menggantikan kaum ‘Ad. Pandangan yang populer di kalangan kaum muslim adalah bahwa konsep kekhalifahan manusia yang digambarkan Tuhan dalam kitab suci adalah bermakna diletakkannya manusia 31
sebagai “pengganti” atau “wakil” Tuhan di bumi yang diberi kebebasan kehendak (free will) dan kebebasan bertindak (free act), yang dengannya manusia juga diberi wewenang untuk mengelola alam. Disebabkan oleh kedudukan manusia sebagai “duta” Tuhan di bumi, maka konsep kekhalifahan manusia ini mempunyai implikasi prinsipil yang luas yaitu adanya tanggung jawab moral kepada pemberi mandat (Tuhan). Selain dikenal istilah khalifah, dalam referensi Islam dikenal juga adanya istilah ‘abd yang arahnya juga manusia. Secara sosiologis, dalam masyarakat Arab ketika mereka masih mengenal adanya sistem perbudakan, istilah ‘abd digunakan untuk menunjuk kepada seorang hamba sahaya, seorang budak yang dimiliki, dikuasai dan dapat diperjual-belikan. Pengertian ‘abd seperti ini dapat ditemukan dalam Al-Qur'an surat Al-Nahl ayat 75 yang artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki (‘abdan mamlukan), yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rizki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan bagian dari rizki itu, secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama?, segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Istilah ‘abd sendiri secara kebahasaan berasal dari kata ‘abada – ya’budu yang berarti taat, tunduk, patuh dan juga berarti menghambakan diri. Kata ini berkembang menjadi ‘ubudiyah dan ‘ibadah dan ta’abbud yang mempunyai pengertian al-khudhu’ (tunduk dan patuh), dan tazallul yang artinya merendahkan diri atau menghinakan diri (Ibn Manzur, jilid 4, 1990; 259-262). Berdasarkan pengertian kebahasaan dan penggunaan istilah secara sosiologis, ‘abd (hamba) adalah berarti sesuatu yang dimiliki, dan karena sifatnya dimiliki, maka berarti ia mempunyai keterbatasan kekuasaan, atau tidak memiliki kekuasaan dan atau tidak memiliki “kemerdekaan”, yang hal ini juga bermakna diharuskan adanya ketaatan, ketundukan hamba yang dimiliki tersebut kepada kehendak pemiliknya. Oleh karena itulah istilah ‘abd dalam Al-Qur'an dibedakan dengan istilah al-hurr (merdeka atau bebas). Dengan demikian Islam telah meletakkan manusia, selain berkedudukan sebagai khalifah (pengganti) Tuhan di bumi, yang diberi kebebasan dan kemampuan untuk melakukan 32
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Kholid Musyaddad, Pendidikan …
transpormasi dan mengolah alam serta diberi “kekuasaan” untuk turut serta dalam proses kehidupan di alam ini, dan pada saat dan kapasitas yang sama manusia juga berkedudukan sebagai ‘abd (hamba) Tuhan yang mempunyai keterbatasanketerbatasan wewenang, serta terikat kepada kehendak penciptanya sebagai pemilik dan penguasa mutlak seluruh alam, yaitu Allah Yang Tunggal. Karena itu ia mempunyai hubungan yang unik dengan Tuhannya, di satu sisi ia sebagai ‘abd Tuhannya, dan di sisi lain ia sebagai pemegang mandat atau sebagai pelaksana “otoritas Tuhan”. Dengan mempertemukan ayat yang berbicara mengenai penciptaan manusia sebagai khalifah dan konsep Islam bahwa manusia adalah ‘abd Tuhan, dengan ayat yang disebut terakhir ini, dapat dipahami bahwa konsep manusia sebagai pengganti Tuhan di bumi ini tidaklah berarti bahwa Tuhan telah memberikan kekuasaan-Nya yang mutlak kepada manusia, akan tetapi diletakkannya manusia sebagai khalifah Tuhan sebenarnya sekedar memberikan otoritas yang terbatas, atau kebebasan kepada manusia untuk berperan serta dalam kehidupan di bumi, dengan kata lain bahwa Allah telah memberi kebebasan untuk bertindak, dan kemungkinan kepada manusia untuk dapat mengelola alam ini, dengan tujuan agar manusia menciptakan keseimbangan kehidupan dan mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama (Ahmad Ibrahim Mahna, 1971; 91). Adanya tanggung jawab yang diemban manusia sehubungan dengan kedudukannya sebagai khalifah Tuhan dan sebagai ‘abd (hamba)-Nya ini, dipertegas oleh Al-Qur'an dalam surat Al-Ahzab ayat 72, dimana dikatakan bahwa manusia menerima tawaran Tuhan kepada alam, namun alam menolaknya. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka takut akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia...” Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa sumber otoritas dalam kekhalifahan manusia adalah Tuhan. Manusia “hanya” pemegang mandat dari Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan di atas muka bumi ini. Inilah fakta moral yang tertancap dalam, yang merupakan tantangan abadi manusia dan yang membuat hidupnya menjadi medan perjuangan yang tak pernah berhenti hingga akhir hayatnya. 33
Tugas besar tersebut adalah alasan diciptakannya manusia. Ia adalah tujuan eksistensi manusia, definisi manusia dan makna hidupnya dalam upaya mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu memenuhi rencana dan kehendak pencipta. Karena itu, maka di bumi ini manusia memiliki fungsi kosmik yang sangat penting. Kosmos tidak akan menjadi kosmos tanpa adanya bagian yang lebih tinggi dari kehendak llahi dan tidak ada makhluk lain di bumi ini yang dapat menggantikan fungsi ini. Tanggung jawab atau kewajiban (taklif) yang dibebankan kepada manusia ini sama sekali tidak mengenal batas sepanjang menyangkut jangkauan dan ruang tindakannya yang mungkin. Ia mencakup seluruh alam semesta, seluruh umat manusia adalah subjek dan sekaligus objek tindakannya dan seluruh alam adalah panggungnya, bahan yang harus diolahnya, termasuk mengolah dirinya sendiri. Dia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di alam ini, bahkan menjangkau setiap sudutnya yang paling jauh sekalipun karena taklif atau kewajiban manusia ini bersifat universal. Taklif adalah landasan bagi nilai manusia dan kehidupannya. Penerimaan manusia atas beban ini menempatkannya pada derajat yang lebih tinggi dibanding semua makhluk lainnya dan bahkan dari malaikat. Taklif adalah makna kosmik manusia, kepatuhan pada Tuhan dan ketaatan manusia pada perintah-Nya, karena itu adalah reason d’etre manusia. Oleh karena itu, doktrin tauhid menegaskan bahwa tujuan ini mencakup tugas manusia sebagai ‘wakil” Tuhan di muka bumi, karena menurut Al-Qur'an, Tuhan telah memberikan amanah-Nya kepada manusia, suatu amanah yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanah Ilahi ini berupa pemenuhan unsur etika yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat melaksanakannya. Hal ini berarti menghendaki adanya pertanggung jawaban manusia kelak atas segala perbuatannya dalam menjalankan amanah Tuhan. 2. Potensi Manusia Untuk dimungkinkannya manusia mewujudkan atau melaksanakan tugas kekhalifahan, Allah melengkapi manusia dengan segenap potensi, yang tidak terdapat pada makhluk selainnya. Untuk memahami potensi manusia melalui informasi Al-Qur'an terdapat beberapa jalan yang bisa ditempuh. Dalam 34
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Kholid Musyaddad, Pendidikan …
tulisan ini penulis hanya berupaya mendapatkan pemahaman mengenai potensi manusia melalui telaah terminologis beberapa istilah yang biasa digunakan, yang ditujukan penyebutannya kepada manusia. Istilah-istilah itu adalah; basyar, al-insan, al-nas, unas, anasi, dan ins. Beberapa istilah yang digunakan Al-Qur'an tersebut sebenarnya dapat dibagi dalam dua istilah pokok yaitu basyar, dan al-insan (jamak al-nas), sementara beberapa istilah lainnya yaitu unas, anasi, dan ins dapat dimasukkan atau dilacak pemaknaannya melalui salah satu dari kedua istilah pokok di atas yaitu al-nas atu al-insan, karena pada dasarnya istilahistilah terakhir secara derivatif berasal dari akar kata yang sama (Louis Ma’luf, 19). Masing-masing dari istilah tersebut pada dasarnya menunjukkan pengertian umum yang sama, yaitu berarti manusia. Jadi apa yang dilakukan dengan membagi istilahistilah yang digunakan Al-Qur'an untuk menunjukkan wujud makhluk yang bernama manusia ini ke dalam dua kategori, hanyalah merupakan upaya pembagian yang akan digunakan untuk sekedar melihat aspek-aspek yang ada dalam diri manusia. Istilah basyar, dalam Al-Qur'an, memberikan referensi atau pengertian tentang manusia sebagai makhluk biologis. Pengertian seperti ini tergambar misalnya dalam kitab suci yang mengungkapkan tentang kisah Maryam ketika didatangi malaikat Jibril untuk menyampaikan berita mengenai kehamilannya, yang pada ayat ini disebutkan bahwa Maryam berkata “Ya Tuhanku bagaimana mungkin aku mempunyai anak, sedangkan aku belum pernah disentuh oleh seseorang (basyar)…” (QS. Ali Imran ayat 47). Mengenai pemaknaan istilah basyar dalam pengertian “manusia biasa”, secara sederhana dapat dipahami melalui pelacakan penggunaan istilah tersebut dalam Al-Qur'an, yang mana kata basyar sering dihubungkan dengan frase “mitslukum” (seperti kamu), dan dengan frase ‘mistluna” (seperti kita), yang di antaranya, terdapat dalam ayat Qur'an yang memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada manusia bahwa beliau (Muhammad) secara biologis adalah sama seperti manusia lainnya. “Katakanlah (Hai Muhammad): “Sesungguhnya aku ini hanya manusia (basyar) biasa seperti kamu. (hanya saja) telah diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Satu….” (QS. Al-Kahf ayat 35
110) Selanjutnya tentang Nabi misalnya, orang kafir berkata, sebagaimana diceritakan Al-Qur'an, “Apakah Allah mengutus manusia biasa (basyar) untuk menjadi rasul” (QS Al-Isra’ 17 : 94). Mengenai keadaan nabi, yang secara biologis adalah merupakan manusia biasa (basyar), yang sama dengan manusia lainnya ini, dapat dilihat pada ayat yang artinya: “Dan tidaklah kami utus sebelummu para utusan kecuali mereka memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar….” (QS. Al-Furqan ayat 20). Ketika wanita-wanita Mesir takjub dengan ketampanan Nabi Yusuf, dalam surat Yusuf ayat 3 diceritakan bahwa mereka berkata “…Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia”. istilah basyar dalam Al-Qur'an, yang juga menunjuk pada pemaknaan manusia sebagai makhluk biologis dapat ditemukan ayat-ayat lainnya. Sebagai makhluk biologis, manusia berada dalam suasana dimana dirinya secara menyeluruh diatur oleh hukum Tuhannya. Dalam hal ini manusia tidak bisa sedikitpun beringsut dan tidak mampu menghindar dari aturan Tuhannya tersebut, juga tidak dapat mengubah dan melangkahinya. Dengan kata lain bahwa manusia benar-benar terikat dalam genggaman hukum alam, dan terikat untuk mematuhinya. Pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam pengertian basyar, bergantung sepenuhnya pada alam. Fisiknya membutuhkan hal-hal yang bersifat materi, maka karenanya, pengingkaran terhadap dunia materi, berarti merupakan pengingkaran terhadap keadaan real manusia sebagai makhluk yang tersusun dari materi. Aspek demikian menurut Al-Maududi (1966; 3-4) menjadikan manusia juga makhluk-makhluk lainnya sebagai “muslim” yang berserah diri, yakni tunduk secara alamiah kepada kehendak pencipta yang telah diletakkan-Nya sebagai law of nature atau hukum alam, atau yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah sunnah Allah, misalnya tunduknya manusia dengan hukum alam dalam proses pertumbuhan lahiriahnya sejak menjadi sperma, kemudian beralih menjadi segumpal daging, diberi tulang, diberi bentuk lalu ditiupkan ruh ke dalamnya, kemudian dilahirkan dalam bentuk kecil yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa, hingga tumbuh dan berkembang menjadi besar lalu menjadi tua, dan kemudian mati (disamping ada yang mati sebelum tumbuh dewasa). Istilah pokok yang kedua adalah “al-insan”. Berbeda dengan basyar, istilah insan yang disebutkan dalam Al-Qur'an 36
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Kholid Musyaddad, Pendidikan …
banyak diantaranya mengarah pada pemaknaan manusia sebagai makhluk psikologis yang telah dilengkapi dengan berbagai daya-daya dasar atau potensi kemanusiaannya, baik potensi yang bersifat positif maupun yang negatif. Pengertian istilah insan sebagai makhluk psikologis, dengan dua kecenderungan sifat positif dan negatif, dalam kemungkinan yang sama, secara tersirat digambarkan oleh AlQur'an misalnya dalam ayat yang artinya; sesungguhnya telah kami ciptakan manusia itu dalam kejadian yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat (kedudukan) yang serendah-rendahnya (QS. Al Tin : 4 – 5). Pemaknaan istilah alinsan, dalam ayat ini sebagai makhluk yang mempunyai aspek psikologis, amat jelas terlihat pada ayat yang mengatakan “kemudian kami kembalikan dia ke tempat (kedudukan) yang serendah-rendahnya”. Dalam pengertian religius, peletakan manusia kepada kedudukan yang serendah-rendahnya bukanlah disebabkan oleh keburukan keadaan fisik, akan tetapi jelas disebabkan sikap prilaku yang dimunculkan oleh keadaan psikis seseorang. Kesimpulan ini dipertegas oleh ayat selanjutnya pada surat yang sama, yang mengatakan “illa allazina amanu wa ‘amilu alshalihati fa lahum ajrun ghairu mamnun” (kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya). Kriteria yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, adalah jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa penggunaan kata al-insan di sini menunjukkan bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang mempunyai daya-daya psikologis. Diantara daya psokologis yang dianugerahkan Tuhan kepada manuia adalah berupa keinginan, yang dengannya manusia diberi kebebasan untuk memilih. Dengan keinginan dan kebebasan yang dimilikinyanya, maka manusiapun dapat memilih untuk mengikuti atau menolak petunjuk yang diberikan Tuhan melalui rasul-Nya bagi jalan hidupnya di dunia, mengikuti gaya dan tata cara hidup apa saja, serta membentuk kehidupannya sesuai dengan ideologi yang ia pilih. Manusiapun dapat menciptakan kode tingkah lakunya sendiri atau menerima saja kode-kode yang dibuat orang lain, yang tentunya masingmasing pilihan yang telah diambil manusia akan dengan sendirinya mendapatkan konsekuensi sesuai dengan pilihannya tersebut. 37
Daya kejiwaan lainnya yang dimiliki manusia adalah akal, yaitu daya untuk mengingat, memahami dan mengerti hal-hal yang berada di sekitar dan di dalam dirinya. Kepemilikan daya tersebut oleh manusia lebih ditegaskan lagi dalam kitab suci misalnya ketika Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dapat memahami dan menerima pengetahuan, seperti tersirat dalam ayat yang berbunyi “(Allah) mengajar manusia (al-insan) apa-apa yang belum diketahuinya” (QS. Al‘Alaq ayat 5). Ia (Allah) mengajar manusia al-bayan (QS. AlRahman ayat 4). Karena daya-daya psikologis itulah kata insan berkali-kali dihubungkan dengan nazhar atau perintah untuk melihat, mengamati, meneliti, memikirkan dan merenungkan dirinya dan alam sekitarnya, yang selalu dikaitkan dengan perintah untuk mengingat Tuhannya. Salah satu aspek potensial dari apa yang disebut “fitrah” adalah kemampuan berpikir manusia (potensi untuk mengetahui), dimana akal menjadi pusat perkembangnnya. Para intelektual muslim sejak masa awal kemunculan Islam menganggap bahwa kemampuan manusia untuk mengenal (mengetahui) sesuatu yang berada di luar dan di dalam dirinya inilah yang menjadi kriteria esensial yang membedakan manusia dengan segenap makhluk Tuhan lainnya. Dengan demikian, hanya manusialah yang dapat mewujudkan maksud dan kehendak penciptanya bagi kehidupan alam ini, sebab hanya dia yang diberi akal dan kebebasan berkehendak dan berbuat, yang mana ini adalah merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan ilahiyah sebagai penghambaan diri kepada Allah. Penejalasan di atas mengarahkan pada pemahaman bahwa secara instrinsik, manusia adalah terdiri dari 2 (dua) unsur yakni unsur jasmani dan unsur ruhani. Kedua unsur tersebut bermakna simbolis. Dalam pengertian simbolis ini, lumpur menunjukkan kepada keburukan, kerendahan dan kehinaan, sedangkan ruh menunjukkan dimensi ketuhanan, yang selalu cenderung kepada kebaikan, keagungan dan kasih sayang. Karena hakikat kejadian seperti inilah, manusia pada suatu saat dapat mencapai derajat yang tinggi, dan pada saat yang lain dapat meluncur jatuh dalam derajat kehinaan dan paling rendah (Hadi Mulyo, 1985; 173).
38
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Kholid Musyaddad, Pendidikan …
C. Pendidikan Islam 1. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses yang diupayakan dengan sengaja, baik secara formal, informal maupun non formal, maka proses tersebut secara logis berarti akan berakhir pada pencapaian tujuan tertentu. Tujuan yang hendak dicapai tersebut pada hakikatnya adalah merupakan upaya realisasi nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi dan mewarnai pola kehidupan manusia, atau dengan lain perkataan bahwa segala tindak tanduk, segala usaha dan pekerjaannya dan sebagainya biasanya merupakan cermin dari nilai-nilai yang dianutnya dan cermin dari kehendak-kehendak yang ingin dicapainya. Berbicara mengenai tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal Islam. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam adalah tidak lain merupakan realisasi nilai-nilai Islam itu sendiri (tujuan agama Islam). Bila tujuan pendidikan Islam adalah merupakan tujuan Islam itu sendiri, maka ini berarti bahwa yang menjadi dasar dari segala upaya pendidikan yang dilaksanakan adalah ajaran Islam yang pokoknya termuat dalam Al-Qur'an dan hadits. Inti pengalaman keagamaan adalah Tuhan, Tuhan bagi muslim adalah tidak hanya merupakan sebab pertama (causa prima) dan ultimat yang prinsipil, akan tetapi lebih dari itu, Dia adalah inti kenormatifan. Sebagai inti kenormatifan, Tuhan adalah zat yang menjadi tujuan akhir, yakni terminal dimana semua kaitan finalistik mengarah dan berhenti. Setiap tujuan dikejar untuk dilanjutkan dengan tujuan yang kedua yang pada gilirannya dilanjutkan dengan tujuan yang ketiga, dan seterusnya hingga tujuan akhir tercapai. Tujuan akhir ini adalah dasar aksiologis dari semua mata rantai atau rangkaianrangkaian tujuan-tujuan. Tauhid adalah merupakan sentra ajaran Islam. Karenanya, semangat tauhid inilah yang menjadi nafas, warna dan kekuatan dari setiap gerak kehidupan muslim, dan menjadi unsur utama pembentuk peradabannya yang dengan demikian berarti bahwa pendidikan yang dilaksanakan oleh kaum muslim adalah juga didasarkan pada semangat tauhid ini. Sedikit telah disinggung sebelumnya, bahwa wujud makhluk yang bernama manusia ini secara garis besar terdiri dari dua unsur pokok, yaitu jasmani dan rohani. Khusus 39
mengenai unsur yang disebut terakhir, yaitu ruhani sebenarnya juga terdiri dari dua macam yaitu Pertama, apa yang disebut dengan istilah akal, dan kedua, disebut dengan “hati nurani”. Jadi unsur penting dalam diri manusia ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian pokok yaitu unsur jasmaniah (fisik), aqliyah (akal atau unsur kognitif), dan yang ketiga adalah hati (yang termasuk di dalamnya rasa estetika, etika dan juga menyangkut masalah kepercayaan atau keimanan). Ketiga unsur pokok ini telah dipersiapkan oleh Tuhan bagi manusia sebagai bekalnya untuk dapat mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi. Namun demikian unsur-unsur pokok itu bukanlah merupakan barang jadi yang telah selesai dan siap pakai sejak awal kejadian manusia, akan tetapi kesemuanya itu baru merupakan perangkat-perangkat potensial yang tunduk pada hukum-hukum Tuhan (sunnah Allah) yaitu tunduk pada proses pertumbuhan dan perkembangan yang karenanya masih memerlukan upaya pengolahan atau usaha untuk menumbuh kembangkan perangkat-perangkat potensial tersebut, oleh manusia itu sendiri agar dapat berfungsi sesuai dengan kodrat kegunaannya secara maksimal dan optimal, serta dapat teraktualkan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Pada bagian yang terdahulu juga telah disinggung bahwa Allah menciptakan manusia dimuka bumi ini sebagai khalifah yang akan melaksanakan amanah, dalam rangka “pengabdian” kepada-Nya. Oleh sebab itu, sesuai dengan tujuan hidup manusia, maka otomatis, tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh manusiapun juga harus mempunyai visi yang sama pula, yaitu untuk mengembangkan pikiran manusia dan mengatur prilaku manusia serta perasaannya berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Dengan kata lain, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Quthub (1400 H; 13), bahwa tujuan pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini, yakni membentuk manusia seutuhnya agar mampu berperan sebagai khalifah Allah yang harus “mengabdi” atau melaksanakan amanah-Nya. Mahmud Yunus mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah: “Mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa, supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal shaleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi kepada Allah dan 40
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Kholid Musyaddad, Pendidikan …
berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan semua umat manusia” (Mahmud Yunus, 1974; 11).
mampu berperan sebagai khalifah Allah di bumi dan melaksanakan amanah-Nya. Proses pendidikan dalam pengertian proses pemeliharaan, pengasuhan dan pendewasaan anak didik adalah merupakan rangkaian yang integral dari proses penciptaan alam semesta dan hubunganya dengan penciptaan manusia. Dengan pengertian, bahwa untuk sampai pada pemahaman tentang hakikat pendidikan Islam harus dipahami dari sumber pangkalnya, yaitu harkat dari proses penciptaan alam dan hubungannya dengan penciptaan manusia serta kehidupan di muka bumi ini. Menurut Islam, alam ini bersumber pada Allah sebagai sang Pencipta, yang mana alam ini diciptakan secara berangsurangsur menurut ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya. Allah menyebut diri-Nya sebagai Rabb Al Alamin. Adapun perkataan Rabb itu sendiri adalah bermakna memperbaiki, mengurus dan juga mendidik (Abd. Al-Rahman Al-Nahlawi, 1988; 12), disamping itu juga diterjemahkan dengan “Tuhan” dan mengandung pengertian Tarbiyah dan sebagai murrabi (T.M. Hasbi Ashshiddieqy, 1977; 12). Sebagai Rabb Al-‘Alamin, kaum muslim meyakini bahwa Allah adalah yang mengurus, mengatur, memperbaiki proses penciptaan alam semesta dan menjadikannya tumbuh dan berkembang secara dinamis sampai mencapai tujuan pencipatan-Nya. Fungsi mengurus, menumbuh kembangkan dan sebagainya itu disebut sebagai fungsi rububiyah Allah terhadap alam semesta, yang bisa dipahami sebagai fungsi “kependidikan”. Jadi, proses penciptaan alam raya yang berlangsung secara evolusi tersebut pada hakikatnya merupakan perwujudan atau realisasi dari fungsi rububiyah Allah terhadap alam semesta ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya pendidikan Islam itu tidak lain adalah keseluruhan dari proses dan fungsi rububiyah Allah terhadap manusia, sejak dari proses penciptaan serta pertumbuhan dan perkembanganya secara berangsur-angsur sampai sempurna, hingga dengan pengarahan serta bimbingan-Nya dalam pelaksanaan tugas kekhalifahan. Selanjutnya atas dasar tugas kekhalifahan tersebut, manusia bertanggung jawab untuk merealisasikan proses kependidikan Islam tersebut, yang pada hakikatnya adalah proses dan fungsi rububiyah Allah, sepanjang masa. Karenanya, maka setiap orang tua atau generasi bertanggung jawab untuk mempersiapkan
Senada dengan ini Umar Muhammad Al-Thoumi Al-Syaibani (1976; 438) mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk membuka, mengembangkan dan mendidik segala aspek pribadi manusia dan segala potensinya, dan bertujuan untuk mengembangkan segala segi kehidupan dalam masyarakat, guna meningkatkan taraf kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta berusaha turut serta menyelesaikan masalah-masalah kehidupan masa kini, dan bersiap menghadapi tuntutan-tuntutan kehidupan masa mendatang serta memelihara sejarah dan kebudayaan manusia.Sementara itu Ali Khalil Aynayni (1980; 153 – 200) membagi tujuan pendidikan Islam kepada 2 (dua) bagian, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum maksudnya adalah beribadah kepada Allah, dalam pengertian untuk membentuk manusia yang memiliki jiwa pengabdian kepada Allah. Tujuan umum ini menurut beliau pula bersifat tetap, berlaku dimana saja. Sedangkan tujuan khusus pendidikan Islam berdasarkan pada waktu dan keadaan dengan berbagai pertimbangan, baik itu pertimbangan keadan geografi, ekonomi dan lain-lain yang ada di tempat tersebut. Dalam tujuan khusus ini biasanya dapat dirumuskan berdasarkan ijtihad para ahli di tempat bersangkutan. Sementara Sayyid Sabiq berkomentar bahwa maksud dari pendidikan Islam adalah menyiapkan anak-anak dari segi badan, akal dan jiwa, sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna (1956; 237). Mengingat Allah sendiri telah menciptakan manusia dengan dua kecenderungan pokok yaitu baik dan buruk, dengan kata lain bahwa manusia pada suatu saat mampu untuk berbuat baik dan pada saat lain dapat berbuat buruk, dengan kebebasan kehendak, kebebasan memilih dan bertindak yang telah dianugerahkan Tuhan kepada-Nya (QS. Al-Syams, ayat 10). Maka pendidikan Islam disamping memang mementingkan pendidikan intelektual dan pendidikan jasmani, dengan demikian juga jelas amat mementingkan unsur-unsur pembinaan moral (akhlak) manusia, yang merupakan implikasi teoritis dan logis dari adanya tanggung jawab manusia sebagai pengemban amanah. Oleh karena itu, maka seluruh aktifitas kependidikan dalam Islam, baik pendidikan yang dilakukan dalam keluarga, sekolah ataupun masyarakat, kesemuannya adalah diarahkan kepada tercapaianya tujuan tersebut, yaitu manusia yang 41
42
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Kholid Musyaddad, Pendidikan …
anak atau generasi berikutnya, serta membimbing dan mengarahkannya agar mereka mampu mewarisi dan mengembangkan tugas kekhalifahan secara berkesinambungan (QS. Al Nisa’, ayat 9). 2. Metode Al-Qur'an dalam Membina Kepribadian Muslim Hal menarik yang kiranya menjadi penting untuk dipikirkan berkenaan dengan wahyu Tuhan yang pertama diturunkan kepada rasul-Nya, Muhammad SAW adalah mengenai perintah Tuhan untuk membaca, bukan perintah untuk menyembah Allah, padahal masyarakat Arab khususnya Quraisy pada waktu itu benar-benar merupakan masyarakat paganis (penyembah berhala) yang menurut ajaran llahi merupakan suatu dosa yang amat besar. Bila ayat pertama Tuhan ini dikaitkan dengan keadan masyarakat Arab waktu itu, baik kehidupan religius maupun moral, yang dalam referensi kesejarahan Islam amat terkenal dengan sebutan “zaman jahiliyah”, maka secara kontekstual dapat dipahami bahwa Islam sejak awal diturunkannya telah mengajak umat manusia untuk membangun kesadaran intelektualnya atau mengembangkan potensi kognitifnya. Prof. Hamidullah melakukan penelitian yang menarik bahwa hampir semua ayat Al-Qur'an tentang pujian atau dalam kaitannya dengan belajar dan menulis, masuk dalam ayat-ayat periode Makkah, sementara ayat-ayat Madaniyah lebih banyak menekankan pada tindakan-tindakan dan pelaksanaan (Muhammad Hamidullah, 1949; 51 – 52). Dengan demikian Islam telah meletakan kesadaran intelektual tersebut sebagai kerangka acuan normatif bagi upaya mengadakan perubahan sosial dan norma-norma kemasyarakatan, kebudayaan dan peradaban manusia, bahkan telah meletakannya sebagai landasan pokok keimanan. Peletakan kesadaran intelektual sebagai landasan iman ini dipertegas dengan banyak ayat-ayat suci yang memerintahkan manusia untuk memikirkan alam, memikirkan hal-hal yang sederhana dan kongkrit, yang dalam hal ini hampir selalu dihubungkan dengan keimanan terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta. Landasan normatif Islam dengan membangun kesadaran manusia seperti ini adalah merupakan grand methode dari seluruh metodologi Islam dalam membangun dan mendidik manusia. Membangun kesadaran sebagai metode pokok dalam melakukan usaha perubahan, pengembangan dan pendidikan manusia, adalah sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri, 43
sebagaimana telah dibahas sebelumnya, yaitu sebagai makhluk yang diberi kebebasan berkehendak dan kebebasan bertindak serta sebagai makhluk yang mempunyai potensi berpikir. Dengan kebebasan yang dimiliki manusia inilah, maka Tuhan dengan kasih sayang-Nya, tidak dengan semena-mena memerintahkan manusia untuk beriman dan menyembah kepada-Nya, akan tetapi memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir mencari bukti melalui hal-hal yang konkrit, mulai dari yang ada dalam diri manusia itu sendiri sampai segala hal sesuatu yang ada disekelilingnya yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung, sehingga sampai pada suatu tingkat kesadaran bahwa Tuhan memang benar adanya dan karenanya tumbuhlah iman. Senada dengan ini Sayyid Quthub berkomentar bahwa moralitas Islam tidak hanya terdiri dari kumpulan belenggu, perintah-perintah dan laranganlarangan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kekuatan konstruktif dan positif dan merupakan suatu kekuatan pendorong bagi perkembangan yang berkesinambungan dan bagi kesadaran pribadi (Sayyid Quthub, tt; 33). Jadi, kesadaran inilah yang menjadi unsur penting dalam metodologi pembinaan insan dalam Islam, yang mana unsur ini sesuai dengan kodrat alamiah manusia sebagai makhluk berpikir yang mempunyai kebebasan, sementara membangun kesadaran itu sendiri dimulai dari individu-individu sebagai unsur terkecil dari kelompok sosial. Beranjak dari kesadaran intelektual melalui pemikiran terhadap segala sesuatu yang konkrit inilah Islam mulai mengajak manusia untuk beriman kepada adanya Tuhan (Allah), Pencipta Yang Maha Esa. Bahkan hingga ketika manusia sudah beriman, Allah tetap memerintahkan untuk selalu memperkuat keimanan atau keyakinannya melalui keaktifan berpikir tentang alam ciptaan-Nya. Berdasarkan pandangan seperti ini, maka dapat dipahami bahwa kesadaran rasio semata dalam Islam sebenarnya tidak menjadi penting, dan bahkan dinilai berbahaya bila tidak diimbangi dengan kesadaran ruhaniah atau keimanan. Kedua bentuk kesadaran inilah yang kemudian menghantarkan manusia pada suatu kondisi psikologis tertentu yaitu keadaan hati yang selalu ingat kepada Allah, dan selalu merasakan kehadiran-Nya. Inilah metode Al-Qur'an dalam mengubah dan memperbaiki masyarakat jahiliyah, yang karenanya juga berarti suatu metode pendidikan, karena pendidikan itu sendiri pada 44
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
dasarnya juga betujuan kondisi masyarakat.
mengadakan
perbaikan-perbaikan
Daftar Pustaka Abi-Al Fadhl Jamal Al-Din Muhammad bin Makram Ibn Manzhur, Lisan Al-‘Arab. (Beirut ; Dan Al-Fikr, 1990). Jilid. 4 & 9 Abd. Al-Rahman Al-Nahlawi, Ushul Al Tarbiyah Al –Islamiyah Wa Asalibuha, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1988), hal. 12. Ahmad Baiquni, (Juni 1990), Al-Qur’an dan Ilmu Fisika Dalam Perspektif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an, (makalah) Ahmad Ibrahim Mahna, (1971), Al-Insan Fi Al-Qur’an Al-Karim, Beirut; dar al-Kutub al-‘ilmiyah Ali Khalil Aynayni, Falsafah Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Fi Al-Qur'an AlKarim, (Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, 1980) Al-Raghib Al-Asfahani, (1972), Mu’jam Al-Mufradat Al-Fazh Al-Qur’an, Nadim Al-Mar’asyaili (Pentahqiq), Beirut; Dar Al-Fikr Budhi Munawar Rahman, (1992), Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta; Yayasan Wakaf paramadina, Cet. II HM. Arifin, (1994), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV Ibn Taimiyah, (tt), Minhaj Al-Sunnah Al-Nabawiyah Fi Naqdh Kalam AlSyi’ah wa Al-Qadariyah, Riyadh; Maktabah Al-Riyadh AlHaditsah, jilid 1 Ismail dan Louis Lamya’ al-Faruqi, (1986), The Cultural Atlas Of Islam, NewYork; Macmilan Pub. Co. Mahmud Yunus, Methodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta : AlHidayah, 1974). Cet. IV. Muhammad Noor Syam, (1988), Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, Cet. IV Muhammad Quthub, Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, (Kairo : Dar Al-Syuruq, 1400 H). Cet. IV, Jilid I, Thanthawi Jauhari, (tt), Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an, Beirut; Dar Alfikr, Jilid I Sayyid Quthub. This Religon of Islam. (USA : International Islamic Federation on Student Federation, tt) Sayid Sabiq, Islam, (Beirut :D ar Al-Ktab Al-Islamiyah, 1956), T.M. Hasbi Ashshiddieqy, Tafsir Al Bayan, (Bandung : Al-Ma’arif, 1977), Jilid 1 ‘Umar Muhammad Al-Thoumi Al-Syaibani. Filsafat Pendidikan Islam, Hasan Langgulung (pentj) Judul Asli Falsafah Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976) Cet. 1, 45