Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM KURIKULUM NASIONAL 2013 Pdt. Jedida T. Santosa, STM Menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, bagi diri, bagi sesama, bagi alam semesta beserta segenap isi dan peradabannya. Pendidikan Nasional Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan kurikulum, juga pada awal abad 21 dengan diberlakukannya UU RI nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) .1 Mengenai apakah yang dimaksud dengan pendidikan, dirumuskan sebagai berikut: Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya. Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai pelaksanaan Undang-undang ini, sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia diselenggarakan dengan dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diberlakukan di tahun 2004. Kurikulum yang menekankan pada capaian kompetensi peserta didik setelah mengikuti pendidikan ini, pada tahun 2007 diperbaharui dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang lebih memberi tempat pada muatan lokal dan rancangan yang sesuai dengan konteks masing-masing satuan pendidikan. Selain itu juga sistem ini lebih memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan sekolah, melalui komite sekolah. Kemudian setelah enam tahun digunakan, pemerintah lalu menggantikannya dengan kurikulum nasional yang baru, yakni kurikulum 2013 yang dinilai akan lebih mempermudah pencapaian
1
Blog Ay Atyka Sury: Analisis Kurikulum 2013 -28 Mei 2013, diunduh 19/11/2013.
93
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
sasaran pendidikan nasional, yang diarahkan ke kualitas manusia Indonesia setelah 100 tahun merdeka (2045). Diharapkan lulusan sekolah yang dihasilkan akan lebih cerdas, kreatif, inovatif, memiliki kepercayaan diri yang tinggi sebagai individu dan bangsa, serta toleransi terhadap segala perbedaan yang ada.”2 Juga selain ditujukan untuk peningkatan kualitas diri di ranah kognitif (pengetahuan), psikomotorik (ketrampilan) dan afektif (sikap perilaku), pendidikan ditujukan untuk pembangunan kualitas kehidupan masyarakat. Dengan demikian terdapat dimensi peningkatan kualitas personal anak didik, dan di sisi lain terdapat dimensi peningkatan kualitas kehidupan sosial.3 Kurikulum 2013 yang setelah dicoba diterapkan, kemudian diputuskan untuk ditunda penggunaannya, memiliki beberapa ciri khas, antara lain sebagai berikut:4 1. Tiap mata pelajaran mendukung semua kompetensi (sikap, ketrampilan, dan pengetahuan) yang terkait satu dengan yang lain serta memiliki kompetensi dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap kelas. 2. Konsep dasar pembelajaran mengedepankan pengalaman individu melalui observasi (meliputi menyimak, melihat, membaca, mendengarkan), bertanya, asosiasi, menyimpulkan, mengkomunikasikan, menalar, dan berani bereksperimen yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kreativitas anak didik. Pendekatan ini lebih dikenal dengan sebutan pembelajaran berbasis pengamatan (observation based learning). Selain itu proses pembelajaran juga diarahkan untuk membiasakan anak didik beraktivitas secara kolaboratif dan berjejaring untuk mencapai suatu kemampuan yang harus dikuasai oleh anak didik pada aspek pengetahuan (kognitif) yang meliputi daya daya kritis dan kreatif,
2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti: buku guru. h.6 3 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti: buku guru. H 6. 4 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti: buku guru. H 8,9
94
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
kemampuan analisis dan evaluasi. Sikap (afektif), yaitu religiusitas, mempertimbangkan nilai-nilai moralitas dalam melihat sebuah masalah, mengerti dan toleran terhadap perbedaan pendapat. Ketrampilan (psikomotorik) meliputi terampil berkomunikasi, ahli dan terampil dalam bidang kerja. 3. Pendekatan pembelajaran adalah student centered artinya proses pembelajaran berpusat pada siswa/anak didik, dengan guru berperan sebagai fasilitator atau pendamping dan pembimbing siswa dalam proses pembelajaran. Selain itu dikenal sebagai active and cooperative learning, yaitu dalam proses pembelajaran siswa harus aktif untuk bertanya, mendalami, dan mencari pengetahuan untuk membangun pengetahuan mereka sendiri melalui pengalaman dan eksperimen pribadi dan kelompok, metode observasi, diskusi, presentasi, melakukan proyek sosial dan sejenisnya. Bersifat contextual, yaitu pembelajaran harus mengaitkan dengan konteks sosial di mana anak didik/siswa hidup, yaitu lingkungan kelas, sekolah, keluarga, dan masyarakat. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat menunjang capaian kompetensi anak didik secara optimal. 4. Penilaian untuk mengukur kemampuan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan hidup siswa yang diarahkan untuk menunjang dan memperkuat pencapaian kompetensi yang dibutuhkan oleh anak didik di abad ke-21. Dengan demikian, penilaian yang dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran adalah penunjang pembelajaran itu sendiri. Dengan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, maka sudah seharusnya penilaian juga dapat dikreasi sedemikian rupa hingga menarik, menyenangkan, tidak menegangkan, dapat membangun rasa percaya diri dan keberanian siswa dalam berpendapat, serta membangun daya kritis dan kretivitas. Jika tujuan dan rumusan filsafati dari pendidikan adalah menjadi bermanfaat, artinya sebagaimana itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, maka Pendidikan budi pekerti yang religius menjadi sangat penting perannya dalam pendidikan di negara ini. Pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama terlebur menjadi satu, hingga pendidikan dilaksanakan berdasar dan bersumber pada pendidikan 95
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
agama yang berwujud pada budi pekerti lulusannya. Namun hal ini mendatangkan kontroversi di lembaga-lembaga agama, khususnya di kalangan lembaga agama Kristen, sebab perubahan yang terjadi tidak hanya bersifat praktis tehnis saja tetapi mengubah hakekat pendidikan agama Kristen. Selama ini dalam pendidikan agama, bukan hanya nilai dan norma yang diajarkan tetapi juga ajaran dan tradisi Kristen; bukan hanya soal moral dan budi pekerti atau etika Kristen, tetapi juga dogma yang menjadi sumber etika. Dan dengan dogma dimaksudkan hal kepercayaan yang dikemas dalam tradisi dan peraturan atau ritual agama. Dengan kata lain, nilai dan norma yang nampak dalam perilaku itu haruskah berdasar pada ajaran Kristen secara eksplisit atau mandiri ataukah tak perlu dari agama tertentu. Dengan begitu yang diutamakan adalah dogma dan ritual agama tertentu yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah ataukah religiusitas yang mengabaikan kekhususan suatu agama? Peran gereja dan pendidikan agama dalam pembangunan manusia Indonesia. Peran serta gereja dalam penyelenggaraan pendidikan formal umum di Imdonesia sudah lama dicatat oleh sejarah, bukan hanya lewat pengajaran agama di sekolah tetapi juga mendirikan dan mengasuh lembaga sekolah sendiri. Sejak zaman penjajahan Belanda, berdampingan dengan pihak pemerintah kolonial, gereja sudah terlibat dalam pendidikan formal bagi masyarakat umum.5 Sekolah-sekolah gereja atau zending didirikan bukan terutama menjadi sarana pekabaran injil, atau mengkristenkan orang maupun mencari anggota gereja. Tapi didorong oleh jiwa injil, sasaran pendidikan adalah memanusiakan manusia melalui transformasi hidup seutuhnya.6 Sekolah Kristen dipandang dari cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai oleh pendirinya mempunyai trifungsi. Pertama, sekolah Kristen merupakan wujud pelayanan Kristen kepada masyarakat, bangsa, dan negara di bidang pendidikan. Kedua, sekolah Kristen yang melaksanakan
5 Frank Cooley, The Growing Seed, the Christian Church in Indonesia, Jakarta Bpk Gunung Mulia, h 143.
Andar Ismail (penyunting), Ajarlah mereka melakukan, BPK Gunung Mulia, jakarta 1998, h.153-154 6
96
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
usaha di bidang pendidikan merupakan wahana kesaksian Kristen dalam arti yang luas. Ketiga, sekolah Kristen merupakan sarana komunikasi yang serasi antara gereja dan umat Kristen dengan masyarakat sekitarnya, terutama di bidang kebudayaan.-7 Sekolah Kristen berada di dalam negara dan diselenggarakan untuk kepentingan negara. Negara dikelola berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah Kristen harus tanggap terhadap undang-undang pendidikan pada khususnya. Dengan diselenggarakannya sekolah Kristen, golongan Kristen berdasarkan pengamatan secara empiris dapat ikut baik dalam penyusunan undang-undang secara formal maupun dalam mengikuti pelaksanaannya secara fungsional bagi kepentingan pendidikan warga negara. 8 Penyelenggaraannya mendukung dasar, tujuan, dan pelaksanaan pendidikan nasional. Dengan demikian anak yang tamat sekolah Kristen memperoleh effek sipil dan efek akademis sebagaimana sekolah lain yang diakui oleh negara.9 Gereja lewat pendidikan agama di sekolah, baik di sekolah asuhan gereja maupun negara, ikut serta dalam pembangunan bangsa, khususnya melalui pembangunan manusianya, hingga sebagai warga negara akan dimampukan untuk membangun karakter yang berbudi pekerti luhur di tengah masyarakat yang sementara beralih dari era modern ke era post-modern. Dalam era modern telah timbul sekularisme yang bermuara pada sikap anti agama. Namun, berhadapan dengan gejala hidup seperti ini, pada tahap permulaan abad ke 20, muncullah kembali perhatian terhadap peranan agama dalam usaha memberi arti hidup bagi manusia. Keberagamaan di Barat seperti ini ditandai oleh berbondong-bondongnya manusia kembali pada agama, tapi sebagai pemujaan tanpa lembaga yang memberi pegangan hidup untuk mencapai ketenangan hidup pribadi tanpa mempedulikan apa yang terjadi di sekitarnya.10
. Soetjipto Wirowidjojo, Identitas dan Ciri Khas Sekolah Kristen dalam W. Sairin, Identitas & Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia Antara Konseptual dan Operasional h. 192. 7
8 9
Soetjipto WirowidjojoIdentitas dan Ciri Khas Sekolah Kristen dalam Sairin, h.188
Soetjipto WirowidjojoIdentitas dan Ciri Khas Sekolah Kristen dalam Sairin, h.188 Victor.I. Tanya, Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia h. 85-86
10
97
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
Dalam dunia modern seperti itu, selaku mitra kerja Tuhan dalam dunia, gereja mempunyai dua tugas lewat PAK. Pertama, tugas untuk memperhatikan mereka yang tertindas, yang kalah dan tertinggal dalam sistem yang diciptakan oleh manusia sendiri, agar mereka berkesempatan masuk dan menempatkan diri kembali ke dalam sistem itu, artinya, manusia yang tersisih itu berkesempatan mendapatkan kemanusiaannya kembali. Kedua, gereja harus kritis terhadap sistem- sistem kemasyarakatan yang berlaku, agar manusia dapat menghayati kemanusiaannya secara bebas tanpa dikuasai oleh manusia lainnya. Manusia cenderung untuk menguasai orang lain, sehingga relasi antar sesama manusia tidak akan memanusiakan manusia. Relasionalitas dengan Tuhan sajalah yang pada akhirnya bisa membebaskan manusia.11 Menurut Eka Dharmaputera tingkat kemampuan serta pemikiran agamaagama di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kenyataan umum bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih miskin dan relatif berpendidikan rendah. Akibatnya, seringkali timbul pendapat bahwa agama-agama lebih menjadi beban dan sebagai kekuatan anti kemajuan dan anti pembangunan, walaupum kenyataann semacam itu tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan agama dalam upaya pembangunan bangsa. Pembangunan tidak bisa dilakukan tanpa mengikut sertakan agamaagama, sebab agama-agama merupakan kekuatan kreatif yang bisa diharapkan sebagai kekuatan pembaruan masyarakat. 12 Pendidikan agama dalam kurikulum 2013 Dalam pemikiran serupa, dalam kurikulum 2013 ditetapkan bahwa pendidikan agama harus diberikan secara eksplisit dan ditujukan kepada pembangunan dan pembentukan peserta didik menjadi manusia Indonesia yang dengan etika moralnya akan berpartisipasi dalam pembangunan negara dan bangsa Indonesia. Hal ini tercantum dalam PP RI nomor 55 tahun 2007, Bab II pasal 2:13 (1) pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta 11 John A Titaley Visi dan Misi Pendidikan Kristen dalam masyarakat Plural di Indonesia dalam W. Sairin , h. 149-150
Eka Darmaputera- Institut Dian/Interfidei: sebuah sumbangan dialog , dalam Dialog: Kritik & Identitas Agama. Seri DIAN I tahun 1, H 251 13 PP RI nomor 55 tahun 2007, Bab II pasal 2 12
98
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama. (2) pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilainilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Mengenai peran, tujuan serta cara melaksanakan pendidikan agama, PP RI nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II pasal 5, merumuskan sebagai berikut: 14 (1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan. (2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik (3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, tehnologi, seni dan/atau olah raga. (7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif. inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses, Dalam penelitian tentang hubungan antara religiusitas, empati, situs jejaring sosial, dan social capital dengan perilaku moral remaja, si
14
PP RI nomor 55 tahun 2007, Bab II pasal 5.
99
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
peneliti menyimpulkan bahwa bukan religiusitas yang menentukan perilaku moral, melainkan empati, jejaring sosial, dan social capital (orang tua, guru dan teman) dengan empati sebagai faktor yang berpengaruh paling kuat di antara ketiganya. 15 Kalau benar demikian, akan berhasilkah pendidikan agama di sekolah, yang dalam kurikulum 2013 disatukan dengan Budi Pekerti, dalam pembangunan watak dan kualitas manusia Indonesia? Hal yang sepatutnya dilakukan adalah bagaimana hingga ajaran agama dan religiusitas dapat menjadi sumber moral dan budi pekerti bagi setiap warga negara. Wajah Pendidikan Agama di era Postmodern di tengah masyarakat yang Pluralis Dunia abad 21 disebut sebagai dunia yang diwarnai pluralitas atau kemajemukan yang warna warni. Era yang disebut juga sebagai era post-modern, membuka diri untuk keagamaan meskipun dalam arti yang berbeda dari era pre- modern yang dipenuhi animisme dan tahyul, dan yang di era modern dijauhi orang. Di tengah kemajemukan atau keaneka-ragaman hidup manusia itulah pendidikan agama dilaksanakan. Gereja sebagai pengemban amanat mengajar perlu melakukan refleksi, melakukan kajian ulang terhadap isi pengajaran, nilai dan norma yang diajarkan selama ini, juga cara mengajar yang dapat membuat ajaran menjadi berguna bagi kehidupan peserta didik dalam hidup bersama di tengah dunianya. Yang jelas ajaran yang bersumber pada Alkitab tidak akan berubah, tapi pesannya dapat diselaraskan dengan konteks. Pandangan dunia postmodern tidak hanya memungkinkan bangkitnya kembali kepercayaan; dengan adanya tempat untuk Tuhan di dalamnya, ini membuat rasa percaya kepada Tuhan menjadi wajar kembali. Dorongan religius seseorang untuk selalu selaras dengan yang benarbenar nyata mencegah orang menganut materialisme. Dan ini memperkuat rasa persaudaraan antara satu sama lain, karena melihat semua sebagai yang berasal dari satu sumber ilahi, hidup bersama dalam satu realitas ilahi, dan memiliki satu tujuan ilahi. Realitas ilahi alam semesta ada dalam mereka, dan mereka di dalamnya, dan kehidupan mereka memiliki makna keabadian di dalamnya. Manusia tidak bisa
15
Sarlito Wirawan Sarwono, Sindonews,com, 2 desember 2013, Opini,
100
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
merusak hidup sesama tanpa merusak asal usul dan tujuan ilahi kehidupannya.16. Letty M. Russel sewaktu berbicara tentang kepedulian gereja terhadap masa depan dari perspektif pendidikan, berkata:17 In talking about the future, the first concern of the church should not be its own survival as an institution. Rather, the church is called by the hope which it shares to join others in planning concrete educational and social alternatives for society, its chief aim is not survival but a future in which men and women will be glad to live. The church is called by God’s promise to face the problems and despair in the world today, confident in his hope for mankind. (Berbicara mengenai masa depan, perhatian pertama gereja haruslah bukan kelangsungannya sebagai lembaga. Tapi yang lebih tepat adalah panggilan gereja untuk bersama dengan yang lain merencanakan pendidikan yang nyata dan alternatif sosial bagi masyarakat, sasaran utama bukanlah kebertahanannya tapi suatu masa depan dalam mana baik laki-laki maupun perempuan akan senang untuk hidup. Gereja dipanggil oleh janji Allah untuk menghadapi masalah-masalah dan keputusasaan di dalam dunia sekarang, yakin dalam harap untuk manusia.) Dan John H.Westerhoff III, berpendapat bahwa Pendidikan (Agama) Kristen tidak dapat berbicara hanya soal Alkitab dan teologi atau gereja saja. Di masa depan dia perlu berwawasan aksi duniawi yakni pencarian akan perdamaian, keadilan sosial dan kemakmuran, dan Kerajaan Allah. Juga kebutuhan untuk berpijak pada warisan budaya dan kekuatan untuk bertindak dalam dunia agar dunia menjadi lebih manusiawi. Konteks dunia akan makin majemuk dan kehidupan beragama akan dijalankan dalam kemajemukan agama. Berarti, semua harus belajar untuk hidup bersama dalam perdamaian dengan rasa saling mempercayai yang timbal balik, setia, dan komit pada suatu dunia baru dimana kasih, dan keadilan
16
h.95,96.
David Ray Griffin, Tuhan & Agama dalam Dunia Postmodern- Yogyakarta.
John H. Westerhoff III (ed) ,A Colloquy on Christian Education, Philadelphia, 1972, h 212 17
101
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
dirasakan oleh semua golongan. Pendidikan (Agama) Kristen tidak mungkin lagi hanya peduli pada iman Kristen18 Menurut Westerhoff dampak dari perubahan ini perlu diawali justru dengan pendidikan untuk kaum dewasa. 19 “ We urgently need education by adults for adults to become more adult. We will need to turn our emphasis to adults. To prepare children for life as adult Christians is to offer children a model of the mature Christians which will make possible his own growth and development into maturity. Lacking large numbers of those mature Christians in the church we will need to focus our educational effort in the direction of enabling adults to become Christian..” ( Kita butuh segera pendidikan oleh kaum dewasa, untuk kaum dewasa agar menjadi makin dewasa. Menyiapkan anak-anak untuk kehidupan sebagai orang Kristen dewasa adalah menawarkan pada anak-anak satu model/teladan dari orang Kristen yang matang yang akan memungkinkan pertumbuhannya sendiri menuju kedewasaan. Jumlah orang Kristen yang matang dalam gereja begitu kurang sehingga kita harus memusatkan usaha pendidikan pada arah memampukan kaum dewasa untuk menjadi Kristen.) Agar terjadi perubahan bagi generasi muda dalam cara pandang, nilai dan norma, dan sikap hidup, yang dibutuhkan oleh mereka dalam memasuki masa depan mereka, dibutuhkan tokoh teladan yang sepatutnya adalah orang tua dan generasinya oleh karena itu pendidikan bagi orang dewasa menjadi penting agar mereka mampu menjadi panutan hidup, termasuk dalam keberagamaan mereka. Pendidikan moral dan agama harus diberikan kepada anak didik sedini mungkin dalam keluarga dan di sekolah secara usikan hati.20 Menurut
John H. Westerhoff III (ed) ,A Colloquy on Christian Education, Philadelphia, 1972, h. 250 18
John H. Westerhoff III (ed) ,A Colloquy on Christian Education, Philadelphia, 1972, h. 251 19
20
Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi. Kanisius, Yogyakarta 1994,
H.7,8.
102
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
Westerhoff III, cara yang tepat yang digunakan untuk pendidikan ini adalah dengan cara sosialisasi agama:21 Religious socialization is a process consisting of lifelong formal and informal mechanism, through which persons sustain and transmit their faith (world view, value system) and life style. This is accomplished through participation in the life of a tradition bearing community with its rites, rituals, myths, symbols, expressions of beliefs, attitudes and values, organizational patterns and activities. Religious education, on the other hand, can be defined as those deliberate systematic and sustained efforts of a community of faith which intentionally aim at enabling persons and groups to evolve particular ways of thinking, feeling and acting. ….. the latter is intentional, while the former includes both the intentional and the unintentional….. socialization is at best a blurred image, education is clearer but tends to refer almost exclusively to church schooling and its printed curricule, youth fellowships and their stated programs, confirmation and pastor’s classes, and perhaps particular programs labeled adult education. Now all these are surely deliberate systematic and sustained efforts. They are education. Lembaga agama dan perannya dalam penyiapan generasi yang unggul dan tangguh serta luhur budi pekertinya Ketika tulisan ini sementara dikerjakan, beredar berita tentang wafatnya Nelson Mandela, tokoh perdamaian dari Afrika Selatan. Dalam pidatonya di Parliament of the World’s Religions, di Cape Town, 5 Desember 1999, Mandela *mengungkapkan bagaimana lembaga agama telah membuat dirinya exist. Dia mengakui bahwa generasinya adalah hasil dari pendidikan keagamaan. Dan selama melewati masa sulit dan penuh derita selama di dalam penjara, lembaga keagamaan telah memberinya harapan hidup. Juga selama ribuan orang tua mereka di penjara, lembaga keagamaan, baik Kristen, Islam, Hindu maupun Yahudi, mengumpul dana bagi anak-anak mereka di negeri itu. Dan ketika mereka meninggalkan penjara, mereka memiliki pendidikan
John H. Westerhoff III and Gwen Kennedy Neville Generation to generation., The Pilgrim Press, New York 1979 ,h 41 21
103
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
jenjang tinggi karena dukungan yang mereka peroleh dari lembaga keagamaan. Mereka tidak memperoleh kepedulian, dukungan ataupun edukasi dari pemerintah tapi dari lembaga keagamaan, karena itu dia sangat menghargai lembaga keagamaan dan juga belajar dari bacaan yang berisi ajaran-ajaran dasar bagi perilaku manusia seperti Bhagavad Gita, Koran, Alkitab dan dokumen-dokumen penting lainnya. Ajaran agama inilah yang menjadi pendorong mereka dalam semua kegiatan mereka. Dari situlah mereka memperoleh pengharapan bahwa suatu waktu mereka akan keluar dari penjara dan hidup bebas. Dan Mandela berpendapat bahwa orang yang bebas tidak akan membawa kepahitan ataupun kebencian yang dialami di masa lampau ke masa kini ataupun masa depan. Dunia ini sementara menjalani perumusan kembali nila-nilai dan cara pandang terhadap hidup. Globalisasi ekonomi dunia dan kemajuan pesat tehnologi komunikasi telah membuat dunia menjadi kecil. Namun kemajuan tehnologi juga mungkin telah meningkatkan kebingungan terhadap nilai-nilai ketika masyarakat berusaha menempatkan yang lokal ke dalam dunia yang terglobalisasi. Peningkatan kemiskinan dalam satu dunia yang pada waktu bersamaan ditandai oleh kekayaan yang berlimpah , kesengsaraan dan marjinalisasi dari kelompok-kelompok rentan pada saat ketika konsep demokrasi dan kesetaraan seharusnya telah menjadi universal, bertumbuhnya degradasi lingkungan seringkali disebabkan oleh pembangunan industri. Semua itu adalah sebagian saja dari kontradiksi yang intinya adalah pergumulan moral dan etika. Dan di tingkat kehidupan pribadi ketika seharusnya dunia makin menyempit, mengecil, kesepian individu di seluruh dunia malah meningkat, demikian kata Mandela. Di tengah konteks seperti yang dikatakan Mandela itu peran kelembagaan agama sangat dibutuhkan bukan hanya untuk memperbaiki dan menyembuhkan keadaan. Tapi di masa kini, gereja perlu menjadi gereja yang profetik, yang mempunyai penglihatan dan mampu melihat menembus masa serta mengetahui apa yang dikehendaki Tuhan yang Mahakuasa. Gereja yang kehilangan kenabiannya berarti kehilangan identitasnya dan kehilangan jiwanya sebab Roh Kudus tidak lagi berdiam dalamnya. Jika gereja benar-benar profetik, maka gereja harus keluar meninggalkan kenyamanan dalam rumah sendiri. Bersama-sama dengan kelompok agama lain, melakukan ziarah mencari kebenaran ilahi tanpa 104
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
prasangka ataupun anggapan bahwa hanya ada satu yang benar sedang yang lain sesat atau di jalan yang salah. Gereja yang profetik adalah gereja, komunitas, persekutuan umat yang mau turun ke jalan, ke tengah masyarakat, terutama mencapai kaum pinggiran atau tersisihkan (marjinal). Di sana gereja hadir bukan untuk membagi-bagikan hadiah, bantuan ataupun sumbangan bagi yang memerlukannya saja, tetapi kehadirannya harus merupakan wujud rasa kebersamaan (solidaritas) dengan sesama. Gereja tidaklah hanya memberi diakonia karitatif atau pengasihan, yang didorong oleh rasa belas kasihan belaka, tetapi belajar dari Kristus maupun Tuhan sendiri, dorongannya adalah karena kaum yang tersisihkan, miskin dan tertindas adalah sesama manusia, yang dicipta sebagai citra Allah yang sama dan setara. Gereja bukan komunitas yang menjadikan dirinya subyek sementara yang lain menjadi obyek dari belas kasihan, termasuk dari gereja. Yang harus dikerjakan adalah komunitas gereja berperan sebagai sarana bagi setiap individu dalam memberdayakan diri sehingga bisa hidup mandiri. Dengan demikian mereka dapat memenuhi harkatnya sebagai ciptaan Allah yang dimuliakan, dengan menjadi teman sekerjaNya dalam membangun kehidupan bersama yang sejahtera. Karena itu gereja dalam proses pemberdayaan ini harus melibatkan masyarakat secara bersama untuk aktif dalam proses. 22. Dan proses itu dilakukan lewat pendidikan yang membebaskan, lewat pendidikan yang membuka kesadaran sehingga komunitas menyadari hakekatnya dan panggilannya di pembangunan kehidupan yang sejahtera bagi semua. Pendidikan gereja, khususnya PAK harus diarahkan ke sasaran tersebut, fokusnya adalah manusianya, yakni agar mereka dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan bangsa, baik secara fisik material, lebih-lebih dalam peningkatan kesadaran dan kualitas manusia Indonesia yang ideal yang pada gilirannya akan bersama-sama membangun kehidupan yang sejahtera, setara dalam kemajemukan, adil dan merata bagi semua yang berdiam di Indonesia. Mengenai Pendidikan Agama di sekolah, yang merupakan komunitas yang majemuk, sebaiknya ditujukan pada pelengkapan individu dengan nilai dan norma yang religius agar mampu menjadi manusia yang punya budi luhur dan integritas individu yang utuh. Untuk
22
Paulo Freire, Politik Pendidikan, ReaD dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999, h.232
105
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
pengalih generasian ajaran dan tradisi suatu agama, biarlah dilakukan di lembaga masing-masing tanpa menutup pintu untuk yang berbeda keyakinan. Dengan demikian sekolah dan pendidikan umum tidak disalah gunakan menjadi sarana dakwah atau konversi agama. Gereja perlu mengingat bahwa Pendidikan Agama di sekolah perlu dibedakan dengan Pendidikan Agama yang dilakukan di dalam lingkungan jemaat dengan berbagai bentuknya seperti pembinaan warga jemaat atau awam, pembinaan para majelis atau pelayan khusus, Sekolah Minggu untuk berbagai tahap umur, Katekisasi Sidi, Katekisasi pra Nikah, Katekisasi pra Baptisan dll. Bahkan ada yang memberikan katekisasi sekolah yang dilakukan ekstra kurikuler namun wajib di sekolah asuhannya, seperti di lingkungan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang dibedakan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama/Budi Pekerti. Tujuan Pendidikan agama Kristen perlu digariskan dengan jelas sesuai dengan masing-masing bentuk dan kekhususannya, namun dengan satu sasaran yang sama pada akhrnya, yakni bukan pada kepentingan suatu agama namun pada pribadi manusia nya. KEPUSTAKAAN Djuretna. A. Imam Muhni Moral & Religi Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1994 Freire, Paulo
Politik Pendidikan Yogyakarta, 1999
REaD
dan
Pustaka
Pelajar,
Griffin, David Ray(ed.) Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005 Ismail, Andar (ed.) Ajarlah Mereka Melakukan BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1998 Sairin, Weinata (ed.) Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia Antara Konseptual dan Operasional BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003 Tanya, Victor I. Spiritualitas dan Pembangunan di Indonesia BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996
106
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
Westerhoff III, John H. (ed.) A Colloquy on Christian Education United Church Press, Philadelphia, 1972 Westerhoff III, John H. Generation to Generation & Neville, Gwen K. The Pilgrim Press, New York, Philadelphia, 1979 Dialog: Kritik & Identitas Agama Penerbit DIAN / Interfidei, Yogyakarta, 1994 ------------------ Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti: buku guru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2013
107