PENDEKATAN INTRAPRENEURSHIP UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI LAYANAN INSTANSI PEMERINTAH DI INDONESIA: SEBUAH PETUNJUK SEDERHANA Naila M Tazkiyyah1 Abstract Service excellence is a need for anyone, as well as a lot of people associated with the apparatus of government. As in several other developing countries bureaucrats in Indonesia is still difficult to provide service excellence for the community as a whole. This paper will discuss how intrapreneurship approach in theory and practice can be applied as one method of bureaucratic reforms that have been made in some sectors and government agencies in Indonesia. Not only that, this paper will also provide instructions on how to apply the approach of intrapreneurship in a variety of government agencies to achieve government objectives effectively and efficiently. By using the approach of behavioral aspects of intrapreneurship and activities cover three dimensions: innovativeness, proactive risk handling capability, and managerial professionalization and a full translation of each criteria on these aspects in this paper is expected to deepen the understanding and guideline to applicate entrepreneurial orientation of bureaucrats in Indonesia. Keywords: reform of the bureaucracy, entrepreneurial orientation, intrapreneurship approach, service excellence
Latar Belakang Jika instansi - instansi pemerintahan di Indonesia memiliki saluran call center atau curtomer service yang online 24 jam, maka penulis dapat memastikan bahwa saluran customer call tersebut akan sangat sibuk. Mengapa? Bukan rahasia lagi bahwa kinerja kebanyakan aparat pemerintahan atau birokrat di Indonesia belum berorientasi pada service excellence. Buruknya birokrasi memang bukan hanya masalah besar di Indonesia saja, namun dialami oleh sebagaian besar negara di Asia bahkan juga di seluruh belahan dunia. Political and Economis Risk Consultancy (PERC) meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing, hasilnya birokrasi di Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan 1999, meskipun lebih baik dibandingkan Cina, Vietnam, dan India. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa sebagian besar negara di Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers).2 Di tahun 2000 yang paling membaik adalah Thailand dan Korea Selatan. Globalisasi yang kembali ramai dibicarakan akhir – akhir ini seiring dengan gema ACFTA 2010, tak hanya menuntut peningkatan peran sektor 1 Postgraduate School of Business, Strategic Finance, Universitas Paramadina 2 Masalah Birokrasi di Indonesia. Jurnal Transparansi. Website Masyrakat Transparansi Indonesia. Edisi 18 Maret 2000
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
swasta, namun juga menuntut sektor publik untuk memperbaiki kinerjanya dalam rangka melayani kebutuhan pasar global3. Di negara lain seperti Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina sektor publik di masing – masing negara tersebut telah meningkatkan kompetensi civil service nya demi menanggapi pasar global. Di Malaysia, peran birokrasi lebih diorientasikan ke bisnis dan meredefinisi perannya sebagai fasilitator dalam aktivitas sektor swasta. Di Thailand, peran birokrasi publik adalah untuk memfasilitasi kebijakan pro-pasar seperti privatisasi dan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan sektor swasta seperti business licensing, perdagangan internasional, dan pengawasan fiskal. Namun demikian, tidak semua negara berhasil melakukan perubahan birokrasi. Malaysia dan Singapura tergolong cukup efektif mewujudkan reformasi administrasi karena didukung stabilitas politik dan kerjasama yang baik antara birokrasi dan pemimpin politik. Akan tetapi, tidak demikian yang terjadi di Thailand, Indonesia dan Filipina yang masih terhambat dalam mewujudkan reformasi administrasi karena dominannya aparat birokrasi dan adanya konflik atau kolusi antara birokrasi dan elite politik. Buruknya sistem birokrasi inilah yang harus segera diperbaiki, karena pada praktiknya, sifat patron-client yang kental dimiliki oleh negara dunia ketiga seperti Indonesia yang merupakan ciri hirarkis birokrasi Weber, dianggap telah mematikan inisiatif masyarakat dan kualitas pelayanan bagi masyarakat menjadi tidak efisien Kerangka dan Metodologi Penulisan Kerangka berpikir yang digunakan oleh penulis dalam penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
(Sumber: Penulis)
3 Hardjapamengkas, Erry Riana. Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Penegakan dan Pemberantasan KKN. 2003. 258
Naila M. Tazkiyyah Pendekatan Intrapreneurship untuk Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Layanan Instansi Pemerintah di Indonesia
(Sumber: Penulis)
Potret Birokrasi di Indonesia Secara umum, potret birokrasi di Indonesia menunjukkan beberapa perbaikan setelah masa reformasi, walaupun bagi beberapa pihak lebih menyukai tipikal birokrasi era orde baru. Dalam rangka reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah Departemen Keuangan yang terlihat paling berupaya “berbenah” untuk meningkatkan kinerja pegawai dan institusi kelembagaannya. Sebagai langkah awal dari tekad tersebut, telah dilakukan perubahan kelembagaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan produktifitas kinerja birokrasi dalam menyusun kebijakan dan memberikan pelayanan kepada publik. Untuk itu, sejak tahun 2002 telah dilakukan langkah penataan organisasi yang dimulai dari pemisahan tugas dan fungsi penganggaran, formulasi kebijakan, perbendahaan, pengelolaan utang, serta tugas dan fungsi pengelolaan aset negara. Untuk memperkuat langkah tersebut, Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 telah mencanangkan dilaksanakannya Reformasi Birokrasi yang meliputi berbagai program prioritas di bidang: (i) penataan organisasi, (ii) penyempurnaan business process, dan (iii) peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Di bidang penataan organisasi, langkah yang ditempuh berupa penajaman tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Perimbangan Keuangan, dan Badan Kebijakan Fiskal, serta pembentukan beberapa kantor pelayanan modern di Ditjen Pajak. Disamping itu telah pula dilakukan pemisahan dan penajaman fungsi organisasi yang diharapkan menghasilkan struktur organisasi yang mampu menghasilkan kebijakan yang lebih berkualitas, sekaligus mampu memberikan pelayanan terbaik kepada publik. Di bidang 259
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
penyempurnaan business process, langkah yang ditempuh berupa penyusunan analisis dan evaluasi jabatan yang telah menghasilkan uraian jabatan sebanyak 5.225 jabatan, penyusunan standard operating procedures (SOP) sebanyak 6.475 SOP, dan penyusunan analisa beban kerja. Sementara itu, di bidang peningkatan manajemen sumber daya manusia (SDM) beberapa langkah telah dan sedang disiapkan berupa pembentukan assessment center, penyusunan pola mutasi, penyusunan pedoman rekrutmen, pembangunan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian, dan peningkatan disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sebagai kelanjutan dari langkah reformasi birokrasi yang telah dan sedang dilakukan tersebut, dari 6.475 SOP telah dipilih 35 SOP sebagai program prioritas berupa ”Layanan Unggulan”. Beberapa layanan penting tersebut meliputi layanan di bidang perpajakan, kepabeanan dan cukai, penganggaran, perbendaharaan, pengelolaan aset negara, dan pelayanan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Dengan program ini diharapkan berbagai bentuk pelayanan penting tersebut dapat dilayani dengan lebih cepat, singkat, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian masyarakat akan dapat memperoleh kemudahan dan kepastian pelayanan, karena dalam program ini telah dengan jelas dicantumkan: (i) jangka waktu penyelesaian layanan, (ii) biaya yang diperlukan, dan (iii) persyaratan administratif yang ditentukan. Dari contoh pemerintahan daerah kita bisa berkaca pada Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Sragen yang menunjukkan reformasi signifikan pada pelayanan birokrasi di wilayah mereka masing – masing. Pemberian tunjangan kinerja daerah yang dilakukan Kepala Daerah Gorontalo dipandang sebagai terobosan yang mampu mengangkat kinerja aparatur untuk dapat memberikan pelayanan terbaiknya bagi masyarakat. Sebagai hasilnya, Gorontalo telah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah. Bahkan terkait dengan akuntabilitas aparatur, Gorontalo tercatat sebagai provinsi pertama yang memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini sangat membanggakan, mengingat hingga tahun lalu masih banyak daerah yang disclaimer. Dua unit pelayanan publik, yakni e-procurement dan Samsat Drive Thru yang ada di Provinsi Gorontalo merupakan bukti nyata usaha minimalisasi KKN di daerah tersebut untuk menyukseskan agenda reformasi birokrasi. Hal inilah yang menyebabkan daerah yang baru berusia 9 tahun ini ditetapkan sebagai pilot project reformasi birokrasi. Walau demikian, masih banyak instansi pemerintahan dan instansi pemerintah daerah yang perlu dibenahi karena peraturan terkait tender dan perijinan seperti paspor pun masih cukup terbuka dijadikan ajang “pertukaran kepentingan” antara birokrat dan pengguna jasa. Perubahan Cara Pandang Birokrasi Klasik Menuju Modern Pada tahun 1992, ada koreksi terhadap paradigma birokrasi modern Weber yang hirarkis, disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang 260
Naila M. Tazkiyyah Pendekatan Intrapreneurship untuk Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Layanan Instansi Pemerintah di Indonesia
memperhatikan partisipasi, kerja tim dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Selain itu juga disarankan adanya paradigma birokrasi baru lainnya, seperti4: - Catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah sebagai katalis, disarankan pemerintah dapat melepaskan bidang – bidang yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri. - Community-owned government: empowering rather than serving. Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat. Pemerintah seharusnya lebih mengutamakan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri dibandingkan menjadikan masyarakat tergantung pada pemerintah. - Competitive government: injecting competition into service delivery. Pemerintah perlu membuat iklim persaingan bagi divisi –divisi di kalangan birokratnya dalam memebrikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang – barang kebutuhan publik. Dalam melakukan reformasi birokrasi di Indonesia tentu saja selain perubahan pola pikir yang telah disampaikan di atas, perlu juga untuk mengubah lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarakat universal5. Contoh birokrasi yang terlalu hirarkis, terlihat ketika ada kebiasaan bahwa setiap pekerjaan harus menunggu perintah dari atasan. Akibatnya kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi menjadi berkurang. Kualitas pelayanan birokrasi dinilai buruk dan berbelit – belit. Hal ini berbeda sekali dengan swasta yang memberikan pelayanan interaktif, kompetitif, dan cepat karena jika pelayanan tersebut tidak diberikan maka mereka dapat ditinggalkan pelanggannya. Dalam model bireaucratic entrepreneur, pemerintah dan birokrasi hanya mengarahkan, melakukan pemberdayaan masyarakat, saling bersaing dalam memberikan pelayanan terbaik digerakkan oleh misi yang ditetapkan negara bukan aturan yang dibuat sendiri, dan mereka akan tergerak menghasilkan pendanaan bukan menunggu anggaran. Berikut ini paradigma baru yang ditawarkan untuk birokrasi Indonesia masa depan (Syafuan Rozi, 2000) Kultur dan struktur kerja Hubungan kerja Tujuan kerja Sikap terhadap publik
Irasional-hirarkis Komando-intervensionis Pengendalian publik Rent-seeking (ekonomi biaya tinggi)
Rasional - egaliter Partisipan-outonomus Pemberdayaan publik Pelayanan publik yang profesional dan transparansi biaya
4David Osborne and Ted Gaebler. Reinventing Government, 1993, p.ix. 5 Gifford and Pinchot, The End of Bureaucrazy and The Rise of The Intelligent Organization, San Fransisco: Barret-Koehler Publishers, 1993. 261
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus Pola rekruitmen Model pelayanan Keterkaitan dengan politik
Spoil System Tidak ada kompetisi Birokrasi berpolitik
Merit System Kompetitif Netralitas politik birokrasi
Inefisiensi birokrasi antara lain ditandai dengan adanya tumpang tindih kegiatan antar instansi dan masih banyak fungsi – fungsi yang seharusnya sudah ditangani masyarakat namun masih ditangani pemerintah. Dengan makin besarnya peran yang dijalankan oleh masyarakat, maka seharusnya peran Birokrasi lebih cenderung sebagai agen pembaharuan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, fungsi pengaturan dan pengendalian yang dilakukan oleh negara adalah perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang berfungsi sebagai motivator dan fasilitator guna tercapainya swakarsa dan swadaya masyarakat termasuk dunia usaha. Peran lain yang seharusnya dijalankan oleh birokrasi adalah sebagai consensus building, yaitu membangun pemufakatan antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Peran ini harus dijalankan oleh birokrasi mengingat fungsinya sebagai agen pembaharuan dan faslitator. Sebagai agen perubahan, birokrasi harus mengambil inisiatif dan memelopori suatu kebijakan atau tindakan. Sedangkan sebagai fasilitator, Birokrasi harus dapat memfasilitasi kepentingan - kepentingan yang muncul dari masyarakat, sektor swasta maupun kepentingan negara. Selain itu, pemisahan peran yang melekat pada aparatur pemerintah menjadi suatu keharusan. Aparatur pemerintah adalah pelayan publik yang harus melayani masyarakat apapun latar belakangnya. Perbedaan ideologi maupun pilihan potitik tidak boleh menghalangi perannya sebagai pelayan masyarakat. Dalam rangka optimasi peran birokrasi sebagaimana dikemukakan diatas, kebijaksanaan debirokratisasi, deregulasi, dan desentralisasi perlu dilanjutkan dan dikawal pelaksanaannya, peningkatan pelayanan kepada masyarakat harus terus menerus ditingkatkan dan diusahakan. Pendekatan Intrapreneurship di Lembaga Pemerintahan Makna intrapreneurship tentu saja akan sering bersinggungan dengan asal katanya yaitu entrepreneurship, jika entrepreneurship melambangkan seseorang berciri berani menanggung ketidakpastian (Knight, 1921), inovator (Schumpeter, 1934), pembuat keputusan (Casson, 2003), pengatur dan pengkoordinir sumber daya ekonomi (Marshall, 1890), pialang yang selalu memanfaatkan kesempatan (Kirzner 1973; 1997), dan seorang pengalokasi sumber daya berdasarkan banyak alternatif yang digunakan (Schultz, 1975), maka demikian pula seorang intrapreneur. Seorang karyawan yang berjiwa intrapreneur selalu berinisiatif untuk hal baru yang baik di organisasi tempatnya bekerja, bahkan tanpa diminta oleh atasannya. Tiga kata yang biasa melekat pada diri seorang karyawan berjiwa intrapreneur yaitu proaktif, inovatif dan kreatif. 262
Naila M. Tazkiyyah Pendekatan Intrapreneurship untuk Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Layanan Instansi Pemerintah di Indonesia
Seluruh ciri intrapreneurship dapat dikatakan hampir sama dengan definisi reformasi birokrasi yang telah dibahas sebelumnya di atas, karena itulah penulis mengatakan bahwa pendekatan intrapreneurship secara tidak langsung adalah cara untuk meningkatkan efektifitas kerja para birokrat di Indonesia, bahkan dengan bahasa yang lebih halus di instansi pemerintahan mungkin kita lebih mudah mengajak untuk berintrapreneur daripada mengatakan mereformasi birokrasi. Kata mereformasi birokrasi dapat menimbulkan keengganan dan ketakutan tertentu bagi mereka yang sudah sangat terbiasa dengan ritual birokrat pada umumnya di jaman dahulu. Sedangkan kata “mengajak untuk berintrapreneurship” dapat dinilai lebih positif karena sebagai pemimpin kita bisa mempersilakan mereka untuk melanjutkan pola bekerja seperti dulu yang penting sesuai dengan nilai seorang intrapreneur. Akan tetapi tentu saja sang pemimpin yang mengajak ke arah intrapreneurship harus tetap serius menilai mana pekerjaan yang sejalan dengan proses intrapreneurship dan mana yang tidak, penghalusan pendekatan bukan berarti sebuah toleransi terhadap nilai yang salah. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan pendekatan intrapreneurship tersebut di dalam budaya birokrasi instansi pemerintahan, berikut adalah beberapa aspek perilaku dan aktivitas yang harus dimiliki untuk mengawali budaya entrepreneurship di dalam organisasi: Kreatifitas Kreatif dalam hal ini dapat dimaknai sebagai alternatif terbaik dalam menyelesaikan tugas, terkadang para birokrat terkurung dalam ritual kaku dalam menyelesaikan tugas, yang ini harus disetujui dulu oleh atasan baru dapat mengerjakan tahapan selanjutnya. Dalam beberapa program yang mengharuskan demikian, dalam artian memang cara yang benar seperti itu mungkin tidak masalah, namun jika dapat dikerjakan secara paralel sehingga proses penyelesaiannya lebih cepat, maka harusnya jalan itulah yang dipilih oleh birokrat dengan jiwa intrapreneurship. Inisiatif Penuh inisiatif dapat menjadi faktor pendorong dalam proses pencapaian sasaran. Pada instansi pemerintahan kita sering melihat para birokrat yang tidak mengerjakan apa – apa di meja mereka, sebenarnya dalam kasus tersebut bukan berarti tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan, akan tetapi para birokrat tersebut yang kurang berinisiatif mencari apa yang dapat dikerjakan. Selain mencari pekerjaan apa lagi yang dapat dilakukan inisiatif lainnya yang harus dimiliki adalah bagaimana agar pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat. Pengurusan KTP misalnya, jika dapat dipercepat waktunya tentu akan sangat menyenangkan dan menguntungkan bagi masyarakat sebagai stakeholder utama para birokrat. Inisiatif terakhir yang juga penting adalah bagaimana menyampaikan jasa dengan kualitas yang selalu meningkat.
263
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Menghadapi hambatan Hambatan pasti selalu ada, saat ini mungkin hambatan internal organisasi justru menjadi tantangan yang paling berat bagi birokrat yang ingin memulai menerapkan intrapreneurship. Namun, jiwa seorang intrapreneur akan selalu menganggap hambatan sebagai kesempatan untuk membuktikan kemampuan dan kualitas kerja mereka. Menyelesaikan pekerjaan Kemampuan, kecepatan, dan ketepatan dalam menyelesaikan pekerjaan adalah kunci dalam memberika service excellence kepada atasan maupun masyarakat. Dengan inisiatif dan kreatifitas yang dimiliki seorang intrapreneur diharapkan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih singkat tentu saja tanpa mengorbankan kualitas. Berani menghadapi ketidakpastian dan resiko Sebagaimana hambatan, ketidakpastian dan resiko merupakan keniscayaan dalam setiap pekerjaan. Berani menghadapi resiko yang dimaksud pada bagian ini bukanlah asal berani mengambil keputusan cepat namun tentunya setelah memperkaya diri dengan pengetahuan dan pengalaman sehingga keberanian dalam menghadapi ketidakpastian dan resiko yang muncul menghasilkan keputusan terbaik untuk masalah yang dihadapi saat itu. Opportunity perception Kebanyakan birokrat memandang bahwa tidak ada lagi yang dapat dikerjakan sebagai individu, sebenarnya hal ini hanya persepsi dalam melihat sebuah kesempatan. Seorang intrapreneur akan sangat proaktif dan berpikir di luar konteks umum. Misalnya, walaupun atasan tidak menyuruh apapun bukan berarti tidak ada kesempatan berkontribusi, birokrat yang memiliki intrapreneurship dalam makna yang paling sempit akan melihat ke sekeliling kantornya dan melihat apa yang bisa dilakukan, apakah filing dokumen dirapikan, kodifikasi laporan dan pembuatan ringkasan untuk setiap kajian yang telah dilakukan agar mudah untuk dimanfaatkan orang lain, bahkan dalam makna yang lebih luas dapat melihat pada fenomena apa yang terjadi di masyarakat, bagaimana mengatasi kesulitan rakyat dengan posisi yang dimilikinya saat ini. Menciptakan pasar atau produk baru Tidak seperti pengusaha yang berorientasi pada keuntungan ketika menciptakan pasar dan produk baru, seorang birokrat dengan jiwa intrapreneurnya akan mencoba memaksimalkan pencapaian instansinya dengan penciptaan pasar baru misalnya untuk Direktorat Jenderal Pajak, dalam artian akan mencoba pendekatan pada wajib pajak dengan segmen tertentu untuk dapat mengoptimalkan pendapatan pajak bagi negara. Penciptaan produk baru juga sangat penting terutama bagi instansi yang akrab dengan pelayanan bagi masyarakat, misal menemukan program baru yang sesuai untuk meningkatkan layanan kesehatan di daerah tertinggal, bahkan jika memungkinkan mengakomodir pula kebutuhan lainnya seperti infrastrktur dan pendidikan dengan cara menggandeng instansi lainnya.
264
Naila M. Tazkiyyah Pendekatan Intrapreneurship untuk Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Layanan Instansi Pemerintah di Indonesia
Eksplorasi pasar Berbeda dengan makna eksplorasi pasar bagi pengusaha, bagi intrapreneur eksplorasi ini ditujukan untuk menyaring aspirasi masyarakat. Program apa yang sudah berjalan baik dan perlu dipertahankan, program mana yang belum berjalan efektif dan harus disempurnakan, bahkan jika ada program yang ternyata tidak tepat maka harus dicari alternatif lain yang dapat menggantikan program tersebut sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. Mengakuisisi sumber daya Sumber daya yang baik menjadi senjata yang mumpuni tidak hanya bagi seorang entrepreneur tapi juga bagi seorang intrapreneur, dengan adanya sumber daya anggaran dan hubungn baik deng berbagai instansi swasta atau lainnya maka seharusnya pendanaan bukan lagi sumber daya yang harus diakuisisi. Sumber daya manusia di instansi pemerintahan adalah sumber daya yang harus dicari dan dipertahankan kualitasnya. Mencari tentu saja dengan program rekruitmen yang terbuka dan kualifikasi yang baik, sementara mempertahankan tidak kalah sulitnya yaitu dengan monitoring SDM, pelatihan, dan berbagi program lainnya. Mengatur bisnis baru Ekspansi dalam bisnis adalah hal yang menggembirakan, demikian pula untuk birokrat di pemerintahan. Ketika satu program telah berhasil mencapai sasaran yang diinginkan, birokrat berjiwa intrapreneur tentu akan segera mencari sasaran baru untuk dicapai dengan program – program kreatif dan inovatif yang dimilikinya. Sumber : Diolah dari De Jong, Jeroen dan Wennekers, Sander. Intrapreneurship: Conceptualizing Entrepreneurial Employee Behavior. Scale Initiatives. Zoetermer, 2008.
Mewujudkan Entrepreneurial Bureaucrat di Indonesia Sesaat setelah terpilih Bill Clinton pun langsung menunjuk Al Gore untuk membentuk National Performance Review Team yang mengadakan berbagai penelitian intensif, konferensi, dan mengeluarkan ratusan rekomendasi untuk meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan responsiveness operasi pemerintahan berjalan. Jika hal demikian saja dilakukan oleh negara maju, maka sebagai negara berkembang yang ingin terus meningkat prestasinya, Indonesia harus berusaha mereformasi birokrasinya demi mencapai pemerintahan yang efektif dan efisien. Akan tetapi, sebagaimana diketahui masyarakat dan jurnalis di Indonesia sangat peka terhadap pembentukan badan baru atau reformasi yang terlihat terlalu “terbuka”, pendekatan intrapreneurship di masing – masing instansi dengan dipelopori oleh kepala negara dan pemerintahan dapat menjadi metode yang cukup efektif namun “halus” penyampaiannya bagi seluruh masyarakat dan juga para birokrat yang menjadi sasaran perubahan ini. Budaya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, berperan untuk memberdayakan bukan memberi, berorientasi pada yang rakyat lapisan bawah, dan beretika diharapkan mampu menjadi nilai budaya bagi semua birokrat di Indonesia. 265
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Semua hal tersebut menjadi sangat penting untuk menghadapi globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi agenda seluruh negara di dunia. Dengan memberikan service excellence dalam setiap layanannya, maka birokrasi akan mendapat dukungan dan partisipasi masyarakat yang merupakan kunci penting agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terlaksana dengan efektif dan efisien. Lima strategi yang diungkapkan Osborne dan Plastrik untuk mendorong kemampuan birokrasi yang efektif dan efisien antara lain the core strategy untuk menetapkan tujuan bangsa yang kemudian dapat diterjemahkan berupa rencana – rencana stratejik lainnya, the consequences strategy untuk menentukan insentif yang dibangun dalam sistem publik, the customer strategy yang memfokuskan pertanggungjawaban pada konsumen dalam hal ini tentunya masyarakat, the control strategy yang menekankan pada fleksibilitas pengambilan keputusan namun tetap mengedepankan tanggung jawab, yang terakhir adalah the culture strategy yang menentukan budaya organisasi dengan nilai moral untuk mencapai tujuan. Kesimpulan dan Saran Sebagaimana telah dibahas pada pemaparan di atas, di awal tahun 1983 telah muncul isu manajemen publik sebagai bidang yang penting dalam melaksanakan administrasi negara yang efisien, hal ini mencakup sistem pengambilan keputusan, perencanaan, pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya. Hal ini yang kemudian memunculkan konsep baru di Amerika Serikat yaitu New Public Management oleh Patrick Dunleavy (1991) yang memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi untuk memberikan pelayanan berkualitas. Di Indonesia sebenarnya pun tidak jauh berbeda, semenjak mundurnya orde baru dari pemerintahan, berbagai kalangan elit maupun masyarakat seolah tidak pernah berhenti meneriakkan reformasi birokrasi. Namun apa yang membuatnya sulit dan bagaimana memulainya, hal inilah yang akan coba dibahas pada paparan bab ini. Berdasarkan pengalaman empiris selama ini, rakyat hampir menjadi pesimis dengan sulitnya mereformasi birokrasi di Indonesia yang sudah demikian kental budaya ketidakdisiplinannya. Ada dua pendekatan populer yang biasa dilakukan, pertama dengan metode formal struktural yang mengutamakan penataan organisasi dan fungsi – fungsi di dalamnya terlebih dahulu sehingga mental dan lainnya dapat terbentuk. Metode kedua dengan pendekatan moral yaitu bagaimana mengubah budaya dan mental para birokrat agar dapat memberikan service excellence dengan nilai moral yang dijunjung tinggi oleh seluruh aparat pemerintahan. Metode kedua dinilai lebih baik karena dapat membangun semangat dari dalam jiwa para birokrat tersebut namun tentunya seiring dengan nilai lebihnya hal ini juga lebih sulit dilakukan. 266
Naila M. Tazkiyyah Pendekatan Intrapreneurship untuk Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Layanan Instansi Pemerintah di Indonesia
Internalisasi nilai – nilai merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi (Riggs, 1966). Pendekatan intrapreneurship dengan menciptakan kejelasan aspek aktifitas dan perilaku pada instansi pemerintahan tertentu yang diatur akan muncul sebagai metode perubahan mental birokrat dengan pendekatan moral yang cukup efektif dalam mewujudkan birokrat berjiwa entrepreneur, namun bagi penulis saat ini pendekatan ini harus juga didukung dengan metode formal struktural yaitu dengan ketegasan reward bagi yang berprestasi dan punishment bagi yang menyalahi aturan. ___________ Daftar Pustaka Burns, James Macgregor. Et all. Government by The People, New Jersey: Prentice Hall. 2001 Casson, M. The Entrepreneur: An Economic Theory (2nd edition). Cheltenham: Edward Elgar. 2003. Drucker, Petter F. The New Realities in Government and Politics, In Economics and Business, In Society and World View. New York: Harper & Row Publisher. 1989 Frederickson, H. George. “Toward a New Public Administration”, dalam Frank E. Marini, Toward a New Public Administration: The Minnowbrook Perspective. Novato: Chandler Publishing Company. 1971. Frederickson, George, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey Bass,1997. Gifford and Pinchot, Elizabeth. The End of Bureaucracy and The Rise of The Intelligent Organization, San Fransisco: Barret-Koehler Publishers, 1993. Hardjapamengkas, Erry Riana. Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Penegakan dan Pemberantasan KKN. 2003. Jurnal Transparansi, Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, edisi 18 Maret 2000. Kartasasmita, Ginandjar. Revitalisasi Administrasi MewujudkanPembangunan Berkelanjutan. 2007.
Publik
dalam
Kirzner, I.M. Competition and Entrepreneurship. University of Chicago Press: Chicago. 1973 Knight, F. H. Risk, Uncertainty, and Profit. Hart, Schaffner & Marx. 1921. Marshall, A. Principles of Economics. London : Macmillan. 1890.
267
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Mccrae, Norman. Intrapreneurial Now, The Economist. April 17, 1982 Osborne, David dan Ted Gaebler. Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York: Penguin. 1993 Pinchot, Gifford & Pinchot, Elizabeth. Intra-Corporate Entreprenuership. Tarrytown School for Entrepreneurs. 1978 Riggs, Fred W. Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society. Boston: Houghton Mifflin Company. 1964 Schumpeter, J.A. The Theory of Economic Development. Cambridge Mass : Harvard University Press. 1934. Soebhan, Syafuan Rozi. Model Reformasi Birokrasi Indonesia. 2000 Weber, Max. “Bureaucracy”, dalam Hans H. Gerth, From Max Weber: Essay in Sociology. London: Oxford Univerity Press, Inc. 1973 www.reform.depkeu.go.id Intrapreneurship : Conceptualizing Entrepreneurial Employee http://www.entrepreneurship-sme.eu/pdf-ez/H200802.pdf
Behaviour.
ENTREPRENEURSHIP AND INNOVATION POLICY http://www.fep.up.pt /conferencias/EAEPE2007/Papers%20and%20abstracts_CD/Stam.pdf http://www.ginandjar.com.“The Theory of Administration”.
268