PENDAPAT HAKIM TERHADAP KRITERIA ADIL BAGI SAKSI DALAM MEMBERIKAN KESAKSIAN PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA MALANG (STUDI PERKARA NO. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh Siti Abidatur Rosidah (06210013)
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2010
MOTTO
واشهذوا روي عذل منكم واقيمىا انشهادة اهلل رنكم يىعظ به مه كان يؤمه باهلل وانيىم االخر ومه يتق اهلل يجعم نه مخرجا “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pelajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhiran. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah,niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.1
HALAMAN PERSEMBAHAN 1
Al-Qur‟an Dan Terjemah Al-Jumanatul „Ali (Bandung: J-ART, 2004), 559
1. Keluargaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah rela mengorbankan segalanya untuk dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya; 2. Kakak-kakakku dan saudaraku yang senantiasa memberikan support untuk kesuksesanku; 3. Semua Guruku/Dosenku dari TK hingga di bangku kuliah. Yang telah menunjukkan cahaya yang terang untuk masa depanku; 4. Dulur-dulur KUMAT (Keluarga Mahasiswa Alumni Tebuireng) dari pengurus hingga anggota, pertahankan eksistensi KUMAT sebagai Mahasiswa yang cerdas, berani dan bertanggung jawab; 5. Semua orang yang tidak dapat ku sebut satu-satu, begitu besarnya jasa kalian bagiku.
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah, Dengan
kesadaran
dan
rasa
tanggungjawab
terhadap
pengembangan
keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
PENDAPAT HAKIM TERHADAP KRITERIA ADIL BAGI SAKSI DALAM MEMBERIKAN KESAKSIAN PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA MALANG (STUDI PERKARA NO. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg)
benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti disusun orang lain, ada penjiplakan, duplikasi, memindah data orang lain, baik keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang telah saya peroleh karenanya batal demi hukum.
Malang, 12 April 2010 Penulis,
Siti Abidatur Rosidah NIM 06210013
HALAMAN PERSETUJUAN
PENDAPAT HAKIM TERHADAP KRITERIA ADIL BAGI SAKSI DALAM MEMBERIKAN KESAKSIAN PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA MALANG (STUDI PERKARA NO. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg)
SKRIPSI
Oleh: Siti Abidatur Rosidah NIM:06210013
Telah diperiksa dan disetujui Oleh: Dosen pembimbing,
Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H Nip 19730118 199803 2 004
Mengetahui, Ketua Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah
Zaenul Mahmudi, M.A NIP:19730603 199903 1 001
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulis skripsi saudari Siti Abidatur Rosidah, NIM 06210013, Mahasiswi Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
PENDAPAT HAKIM TERHADAP KRITERIA ADIL BAGI SAKSI DALAM MEMBERIKAN KESAKSIAN PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA MALANG (STUDI PERKARA NO. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg)
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada Sidang Majelis Penguji Skripsi.
Malang, 12 April 2010 Dosen Pembimbing,
Erfaniah Zuhriah, S.Ag. M.H Nip 19730118 199803 2 004
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudari Siti Abidatur Rosidah, NIM 06210013, mahasiswa Fakultas Syari‟ah angkatan tahun 2006, dengan judul: PENDAPAT HAKIM TERHADAP KRITERIA ADIL BAGI SAKSI DALAM MEMBERIKAN KESAKSIAN PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA MALANG (Studi Perkara No.597/Pdt.G/2008/PA.Mlg) Telah dinyatakan LULUS dengan Nilai A. Dewan Penguji:
1. Dr. Roibin, S.Ag, M.HI NIP.19681218 199903 1 001
(
2. Drs. Suwandi, M.H NIP.19610415 200003 1 001
(
3.Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H NIP.19730118 199803 2 004
(
) (Penguji Utama)
) (Ketua)
) (Sekretaris)
Malang, 19 Maret 2010 Dekan,
Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag NIP.19590423 198603 2 003
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim….. Alhamdulillah puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita kejalan-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafa‟at beliau di hari kelak. Amiin… Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat jasa-jasa, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan penuh ta‟dhim dari lubuk hati yang paling dalam penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2. Dra. Hj. Tutik Hamidah. M.Ag. (Dekan Fakultas Syari‟ah), Dr. Umi Sumbulah. M.Ag (Pembantu Dekan I). Drs. M. Fauzan Zenrif. M.Ag. (Pembantu Dekan II), dan Dr. Roibin. M.Ag. (Pembantu Dekan III). 3. Erfaniah Zuhriah, S.Ag. M.H selaku pembimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Atas bimbingan, arahan, saran, motivasi dan kesabarannya penulis sampaikan Jazakumullah Ahsanal Jaza…..
4.
Dra. Hj. Tutik Hamidah. M.Ag selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas Syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
5. Bapak dan ibu yang telah mencurahkan cinta dan kasih saying teriring do‟a dan motivasinya agar kami selalu menjadi orang yang sukses, sehingga penulis optimis dalam menggapai kesuksesan hidup di dunia ini. 6. Seluruh Dosen Fakultas Syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah mendidik, membimbing, mengajarkan dan mencurahkan ilmu-ilmunya kepada penulis.
Semoga
Allah
melipatgandakan
amal
kebaikan
mereka
Allahummagfirlahum war hamhum…Allahummamfa‟na war fa‟na bi „ulumihim Amiin… 7. Segenap Hakim Pengadilan Agama Malang yang telah memberikan kemudahan informasi dan bantuan demi terselesainya penulisan skripsi ini. 8. Seluruh Bagian Administrasi Fakultas Syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan informasi dan bantuan yang berkaitan dengan akademik. 9. Sahabat dan teman-temanku Fakultas Syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim angkatan 2006 yang membantuku penyelesaikan skripsi ini. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena keterbatasan ruang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terakhir, penulis juga sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi perbaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah yang berbentuk skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua, terutama bagi diri penulis sendiri. Amiin ya robbal „alamin…
Malang, 12 April 2010 Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN MOTTO ............................................................................................. ii HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................... iv HALAMAN PERESETUJUAN ..............................................................................v HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... vi HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi ABSTRAK ........................................................................................................... xiii BAB I: PENDAHULUAN......................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................................8 C. Batasan Masalah ..................................................................................................8 D. Rumusan Masalah ...............................................................................................9 E. Tujuan Penelitian .................................................................................................9 F. Manfaat Penelitian .............................................................................................10 G. Definisi Operasional..........................................................................................10 H. Sistematika Pembahasan ...................................................................................12 BAB II: KAJIAN TEORI ....................................................................................14 A. Penelitian Terdahulu .........................................................................................14 B. Pembuktian ........................................................................................................18 1. Pengertian Pembuktian .................................................................................18 2. Hal-hal yang harus dibuktikan dan hal-hal yang tidak harus dibuktikan .....22 3. Sistem Pembuktian .......................................................................................25 C. Saksi Menurut Fikih ..........................................................................................27 1. Pengertian Saksi ...........................................................................................27 2. Syarat-syarat menjadi saksi ..........................................................................30 D. Kriteria Adil Saksi Dalam Perkara Cerai Gugat Perspektif Fikih .....................32
E. Saksi Menurut Undang-Undang Hukum Acara Peradilan Agama ....................40 1. Pengertian Saksi .................................................................................................40 2. Syarat-syarat menjadi saksi ................................................................................41 BAB III: METODE PENELITIAN ............................................................... 47 A. Jenis Penelitian ..................................................................................................47 B. Paradigma Penelitian .........................................................................................48 C. Pendekatan Penelitian........................................................................................49 D. Sumber Data ......................................................................................................50 E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................51 F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...............................................................52 BAB IV: PAPARAN DATA DAN ANALISIS...................................................55 A. Paparan Data .....................................................................................................55 1. Deskripsi Lokasi Pengadilan Agama Malang...............................................55 2. Landasan Kerja dan Dasar Hukum Pengadilan Agama Malang ..................57 3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Malang ....................................................58 4. Identitas Hakim (Responden) .......................................................................59 B. Deskripsi Perkara Cerai Gugat Nomor: 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg ....................60 C. Analisis Data .....................................................................................................65 1. Pendapat Hakim Pengadilan Agama Malang Mengenai Sifat Adil Yang Harus dimiliki Seorang Saksi yang Akan Memberikan KeteranganDi Depan Persidangan ................................................................65 2. Kriteria Yang Harus Dimiliki Seorang Saksi Agar Dapat Dikatakan Memiliki Sifat Adil Sehingga Keterangannya Di Depan Persidangan dapat diterima dan Sah..................................................................................75 3. Alasan Hakim Menolak Pencabutan Keterangan Saksi dalam Perkara Gugat Cerai No.597/Pdt.G/2008/PA.Mlg ...............................................................82 BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................89 1. Kesimpulan ...................................................................................................89 2. Saran .............................................................................................................91 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................92 LAMPIRAN-LAMPIRAN
ABSTRAK
Abidatur Rosidah, Siti. 2010. Pendapat Hakim Terhadap Kriteria Adil Bagi Saksi Dalam Memberikan Kesaksian Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Malang (Studi Perkara No.597/Pdt.G/2008/PA. Malang. Skripsi. Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsyiah. Fakultas Syari‟ah. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Pembimbing Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H. Kata Kunci: Pendapat Hakim, Kriteria Adil, Saksi, Cerai Gugat. Dalam Hukum Islam salah satu syarat menjadi saksi adalah adil, tapi dalam Hukum Acara Peradilan Agama tidak mengatur tentang keadilan seorang saksi. Syarat adil tersebut kemudian mendapat tanggapan dari berbagai pihak terutama para hakim. Hakim mempunyai kriteria adil tersendiri untuk para saksi dan itu berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh para ulama. Dari berbagai kriteria yang muncul paneliti mengadakan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pendapat hakim tentang adil, kriteria adil yang dirumuskan para ulama, serta untuk mengetahui alasan hakim menolak pencabutan keterangan saksi. Agar penelitian ini berjalan lancar sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh peneliti, maka dalam penelitian ini menggunakan paradigma alamiah yang bersumber dari pandangan fenomenologis dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian case study. Sedangkan data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder yang dilakukan dengan teknik pengamatan, wawancara dan dokumentasi yang kemudian data tersebut diedit, diperiksa dan disusun secara cermat serta diatur sedemikian rupa yang kemudian dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Pendapat hakim mengenai sifat adil saksi agar kesaksiannya sah dan dapat diterima sebagaimana Hukum Islam mengacu pada Undang-undang No.7 Tahun 1989, karena sejak diberlakukannya undang-undang tersebut Hukum Acara Peradilan Agama diperbolehkan memakai Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum sebagai Hukum Acaranya, yaitu HIR dan R.Bg. Kriteria adil bagi saksi menurut hakim Pengadilan Agama Malang sesuai dengan yang ditentukan oleh HIR dan R.Bg, yaitu saksi harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil, yang salah satunya saksi harus mau disumpah, karena dengan disumpah saksi dianggap telah jujur. Menurut Hakim Pengadilan Agama Malang jujur merupakan salah satu kriteria adil.Dalam hal penolakan keterangan saksi hakim tidak berpatokan pada pasal-pasal yang ada dalam undang-undang karena tidak ada pasal yang mengatur secara pasti mengenai pencabutan keterangan saksi, tapi hakim menggunakan ijtihad sendiri. Saksi tidak boleh mencabut keterangan karena keterangannya telah dicatat dalam BAP yang merupakan Akta Autentik suatu perkara. Dalam penolakan keterangan saksi hakim melihat keadilan saksi dari kejujurannya yang dibuktikan dengan sumpah.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk-Nya yang ada di bumi. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan sebagaimana firman Allah dalam surat arRum ayat 21 yang berbunyi:
Artinya:”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang”.2 Semua orang menginginkan perkawinan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan untuk mewujudkan itu semua tidaklah mudah. Perkawinan harus dijaga sedemikian rupa agar tidak hancur ditengah jalan yang menyebabkan terjadinya sebuah perceraian. Kata perceraian dalam keluarga seakan merupakan “kiamat” bagi sebuah mahligai rumah tangga. Setiap orang tentu tidak menginginkan perceraian terjadi dalam kehidupan mereka. Namun jika kita lihat fenomena perceraian makin marak belakangan ini, banyak alasan yang membuat suami istri untuk mengambil jalan perceraian seperti misalnya karena tidak ada saling kecocokan, disharmoni yang diakibatkan banyak faktor, KDRT dan lain sebagainya. Perceraian merupakan putusnya hubungan antara pasangan suami istri sehingga segala implikasi yang ditimbulkannya akan berlaku pada pasangan suami istri yang melakukan perceraian. Khusus untuk masyarakat Islam mengajukan perkara perceraian ke Pengadilan Agama. Untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan bukanlah hal mudah tapi ada beberapa proses yang harus dilalui. Setelah para pihak mengajukan perkara perceraiannya ke pengadilan dan telah melalui tahap mediasi tapi gagal, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan duduk perkaranya. Untuk membuktikan kebenaran dari dalil-dalil yang diajukan, maka penggugat ataupun tergugat yang membantah dalil-dalil penggugat harus membuktikannya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1865 KUH Perdata yang berbunyi”setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, 2
Al-Qur‟an Dan Terjemah Al-Jumanatul „Ali (Bandung: J-ART, 2004), 407.
atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”3 Data di lapangan dalam perkara cerai gugat no.597/Pdt.G/2008/PA/Mlg, penggugat harus membuktikan dalil-dalil gugatannya, karena dalam hal ini penggugat adalah seorang istri. Dalam perkara cerai gugat walaupun pihak tergugat tidak membantah dalil-dalil penggugat tapi penggugat tetap diwajibkan untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. Dalam hal gugat cerai seorang istri harus menyerahkan 2 alat bukti, yaitu alat bukti tertulis yang berupa Salinan Akta Perkawinan untuk membuktikan bahwa antara penggugat dan tergugat memang pernah terjadi perkawinan dan alat bukti saksi untuk meneguhkan dalil-dalil gugatan penggugat, karena dalam kasus ini perceraian disebabkan karena KDRT. Menurut hukum acara perdata supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat didengar sebagai alat bukti, maka saksi harus memenuhi syarat-syarat materiil, yaitu: keterangan yang diberikan mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri, keterangan yang diberikan saksi mempunyai sumber pengetahuan yang jelas sebagaimana pasal 308 ayat (1) R.Bg, dan keterangan yang diberikan saksi saling bersesuaian satu sama lain atau dengan alat bukti yang lain. 4 Selain syarat materiil saksi juga harus memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memberi keterangan di depan persidangan, bukan yang dilarang untuk didengar sebagai saksi, bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi 3
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Cet. 39 ; Jakarta: PT. Pradnya Paramita), 475. 4 Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press, 2009),111-112.
menyatakan kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi dan mengucapkan sumpah menurut agama yang dianut.5 Menurut hukum Islam saksi yang dapat diterima kesaksiannya adalah yang memenuhi syarat, dimana syarat tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus dimiliki seseorang untuk memberikan kesaksian, sehingga apabila tidak terpenuhinya syarat-syarat maka kesaksian seseorang tidak dapat diterima. Adapun syaratsyaratnya antara lain: Islam, baligh, berakal, merdeka, dan adil. Salah satu syarat saksi dalam hukum Islam adalah adil. Dalam hukum acara perdata tidak ada persyaratan seorang saksi harus adil sedangkan dalam hukum Islam umat Islam sepakat akan disyari‟atkannya adil sebagai salah satu syarat sebagai saksi yang memberikan keterangannya di dalam persidangan terutama dalam hal perceraian yang menentukan hancur tidaknya suatu hubungan rumah tangga. Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah dalam surat ath-Thalaq ayat 2:
Artinya:”……Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah………” 6 Selain tidak disyaratkan adil bagi saksi hukum acara perdata juga tidak mengatur tentang kriteria agar seseorang saksi bisa dikatakan memiliki sifat adil. Berbeda dengan Hukum Islam selain mensyaratkan adil bagi saksi yang memberikan keterangannya di dalam persidangan, para ulama juga mempunyai kriteria tersendiri agar seorang saksi dikatakan memiliki sifat adil, di antaranya, yaitu: tidak melakukan
5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2006), 250. 6 Al-Qur‟an, Op. Cit., 559.
dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil, baik hati dan bukan merupakan musuh dari salah satu pihak yang berperkara.7 Sifat keadilan merupakan tambahan bagi sifat Islam, dan harus dipenuhi oleh para saksi yaitu kebaikan mereka harus mengalahkan keburukannya, serta tidak dikenal kebiasaan berdusta dari mereka. Sebagaimana firman Allah dalam surat alA‟raaf ayat 29:
Artinya:”....Katakanlah,„Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil...‟”.8 Bahkan yang lebih toleran adalah pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa orang bisa dikatakan memiliki sifat adil cukup hanya dilihat dari keIslamannya secara dzahir saja dan tidak diketahui darinya perbuatan yang merusak kemuliaan dan kehormatannya.9 Syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi karena apabila tidak dipenuhi, maka keterangan seorang saksi tidak dapat diterima dan tidak dapat dikatakan sah secara hukum. Pengadilan Agama sebagai sebuah lembaga tempat orang-orang Islam mencari keadilan yang bahkan salah satu hukum materiilnya adalah al-Qur‟an, Hadits dan kitab-kitab fikih dalam praktek tidak menggunakan kriteria Ulama dalam menilai keadilan dalam diri seorang. Dalam kasus perkara cerai gugat no.597/Pdt.G/2008/PA.Mlg saksi dari pihak penggugat mencabut keterangannya karena dipaksa oleh tergugat. Dalam hal
7
Raihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. VIII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 148. 8 Al-Qur‟an, Op. Cit., 154 9 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1989), 61.
pencabutan keterangannya saksi tersebut Majelis Hakim menolaknya karena alasan telah memenuhi syarat formil sebagaimana yang ditetapkan dalam Hukum Acara Perdata. Dalam kasus ini hakim tidak terlihat menilai keadilan saksi dari apa yang disyaratkan oleh para Ulama. Selain itu fenomena dimasyarakat orang yang berperkara ke Pengadilan Agama kemudian diperintahkan membawa saksi oleh Majelis Hakim, mereka hanya asal-asalan saja membawa saksi asalkan orang tersebut mengetahui apa yang menjadi duduk perkaranya, maka itu sudah dianggap cukup tanpa mempertimbangkan katentuan adil yang disyari‟atkan oleh Hukum Islam dan memiliki kriteria seperti yang disebutkan oleh para Ulama. Tentunya hal ini terlepas dari tahu tidaknya masyarakat akan disyari‟atkannya adil sebagai salah satu syarat untuk menjadi saksi. Sifat adil tidak hanya harus dimiliki oleh seorang saksi dalam akad nikah atau dalam hal poligami saja, tapi diperlukan juga dalam hal saksi yang memberikan keterangannya di depan persidangan, karena sifat adil saksi dalam memberikan keterangan di dalam persidangan sangat menentukan dalam pertimbangan pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim. Sebagai seorang hakim yang harus tunduk kepada undang-undang yang berlaku, apalagi dalam lingkup Peradilan Agama yang tidak sepenuhnya menggunakan al-Qur‟an, Hadits dan kitab-kitab fikih sebagai landasan hukum dalam mengambil keputusan, tentunya seorang hakim memiliki kriteria tersendiri untuk menentukan sifat keadilan dari seorang saksi sehingga keterangannya dianggap sah dan dapat diterima. Setelah diberlakukannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam pasal 54 undang-undang tersebut menyatakan bahwa
Peradilan Agama setara dengan peradilan-peradilan yang lain dan dengan ketentuan itu Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama sama dengan Hukum Acara yang berlaku di peradilan umum, yaitu HIR dan R.Bg termasuk mengenai alat bukti saksi. Dengan adanya undang-undang tersebut yang memuat khusus mengenai Peradilan Agama yang mana di dalamnya tidak mensyaratkan saksi harus memiliki sifat adil dan tidak ada kriteria-kriteria khusus seperti yang para Ulama tetapkan agar seorang saksi dikatakan memiliki sifat adil sehingga keterangan sah dan dapat diterima. Selain itu Peradilan Agama adalah sebuah lembaga yang bisa dikatakan adalah lembaga yang berbasis Islam, dan tentunya hakim-hakim di Peradilan Agama setidaknya memiliki latar belakang agama. Sebagai manusia seorang hakim Peradilan Agama selain harus tunduk pada peraturan undang-undang, yaitu HIR dan R.Bg sebagai landasan hukum formil, hakim Peradilan Agama juga tidak bisa mengabaikan al-Qur‟an, Hadits dan kitabkitab fikih sebagai salah satu landasan hukum materiil. Dalam menentukan kriteria adil bagi saksi tentu hakim Peradilan Agama mempunyai kriteria sendiri, sehingga keterangan saksi di dalam persidangan dapat diterima dan dikatakan sah baik dari Hukum Islam ataupun menurut Undang-Undang yang berlaku. Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan riset yang menelusuri tentang Pendapat Hakim Terhadap Kriteria Adil
Bagi Saksi Dalam Memberikan Kesaksian
Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Malang (Studi Perkara No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg).
B. Identifikasi Masalah Untuk memilih dan merumuskan suatu masalah peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi suatu masalah yang timbul dari das sollen dan das sein yang bertujuan untuk menunjukkan adanya masalah secara jelas, banyak, serta luas yang timbul terutama dari kerangka teori atau kerangka konseptual. Adapun masalah dapat diidentifikasi Sebagai berikut: 1. Bagaimana pendapat Hakim mengenai perceraian? 2. Bagaimana pendapat Hakim mengenai gugat cerai? 3. Bagaimana pendapat Hakim mengenai saksi? 4. Apa saja syarat-syarat menjadi saksi? 5. Apa saja kewajiban dan hak-hak saksi? 6. Bagaimana kriteria adil menurut Hakim? 7. Bagaimana prosedur pemeriksaan saksi? 8. Bagaimana pendapat hakim mengenai pencabutan keterangan saksi ketika saksi telah memberikan keterangannya di hadapan Majelis Hakim? 9. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menerima atau menolak keterangan saksi? C. Batasan Masalah Agar permasalahan tetap fokus dan tidak meluas maka pembatasan terhadap masalah ini sangat diperlukan sehingga tujuan dari penelitian bisa dicapai. Menetapkan batasan-batasan masalah dengan jelas sehingga memungkinkan penemuan faktor-faktor yang termasuk ke dalam ruang lingkup masalah dan yang tidak. Untuk itu, peneliti membatasi pada bahasan Pendapat Hakim Terhadap
Kriteria Adil Bagi Saksi Dalam Memberikan Kesaksian Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Malang (Studi Kasus Perkara No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg). D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pendapat Hakim Pengadilan Agama Malang mengenai sifat adil yang harus dimiliki seorang saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan? 2. Menurut Hakim Pengadilan Agama Malang kriteria apa saja yang harus dimiliki saksi agar dapat dikatakan memiliki sifat adil sehingga keterangannya di depan persidangan dapat diterima dan dikatakan sah? 3. Apa alasan Hakim Pengadilan Agama Malang menolak pencabutan keterangan saksi dalam perkara Gugat Cerai No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg? E. Tujuan Penelitian Manusia mempunyai rasa keingintahuan terhadap sesuatu, oleh karena itu berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti bertujuan untuk menjawab permasalahan yang muncul mengenai: 1. Untuk mengetahui pendapat Hakim Pengadilan Agama Malang mengenai sifat adil yang harus dimiliki seorang saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan. 2. Untuk mengetahui kriteria apa saja yang harus dimiliki seorang saksi sehingga keterangannya di depan persidangan dapat diterima dan dikatakan sah. 3. Untuk mengetahui pendapat Hakim menolak pencabutan keterangan saksi dalam perkara Gugat Cerai No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg.
F. Manfaat Penelitian Salah satu tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan di atas, diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis dalam rangka memperluas pengetahuan pendidikan dimasyakarat.
Adapun manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Secara Teoritis a. Menambah, memperdalam dan memperluas khazanah keilmuan mengenai kriteria adil untuk seorang saksi agar keterangannya di depan persidangan dapat diterima dan dikatakan sah. b. Digunakan sebagai landasan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis dimasa yang akan datang. 2. Secara praktis a. Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam. b. Memberikan wawasan dan pengalaman praktis dibidang penelitian mengenai kriteria adil untuk seorang saksi agar keterangannya di depan persidangan dapat diterima dan dikatakan sah. c. Hasil penelitin ini sangat berarti bagi peneliti karena dapat menambah khazanah dan wawasan pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas syari‟ah. G. Definisi Operasional Untuk lebih mempermudahkan pemahaman terhadap pembahasan dalam penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa kata kunci yang sangat erat kaitannya dengan penelitian ini:
Hakim: kadi, juri, wasit, hakim garis.10 Orang yang dimintai untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam lingkup Peradilan. Kriteria: ukuran, standard, patokan, norma11 Sifat-sifat yang harus tercermin dalam diri seorang saksi sehingga ia dikatakan memiliki sifat adil. Adil: tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang pada kebenaran, sepatutnya dan tidak sewenang-wenang, menempatkan sesuatu pada tempatnya.12 Sifat yang dimiliki seseorang, sehingga dengan memiliki sifat adil kesaksian orang tersebut dipercaya oleh hakim. Saksi: orang yang didengar keterangannya di muka pengadilan.13 Orang yang memberikan keterangan di dalam persidangan untuk meneguhkan dalil-dalil gugatan penggugat ataupun bantahan dari tergugat. Kesaksian: kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan mengenai peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan dari salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.14 Keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan untuk meyakinkan hakim mengenai suatu peristiwa yang ia alami, dengar dan ia lihat untuk membuktikan bahwa kejadian yang disengketakan oleh para pihak yang berperkara betul-betul terjadi. Cerai Gugat: gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri
10
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 226. Ibid, 235. 12 Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 7. 13 Subekti. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum (Cet. 5; Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1980), 100. 14 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1998), 135. 11
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.15 Gugat cerai yang diajukan oleh seorang istri kepada suaminya karena sebab-sebab tertentu. H. Sistematika Pembahasan Untuk lebih mempermudah pembahasan masalah secara garis besar terhadap penyusunan skripsi ini, maka penulis menyusun dalam lima bab, yang masingmasing bab dibagi dalam sub-sub dengan perincian sebagai berikut: Bab I Pendahuluan: bab ini merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan. Bab II Kajian Teoritis: bab ini merupakan kajian pustaka yang nantinya akan digunakan peneliti sebagai bahan perbandingan dari hasil penelitian ini. Kajian teori ini akan disesuaikan dengan permasalahan yang sedang diteliti agar nantinya bisa digunakan sebagai alat analisis untuk menjelaskan data yang diperoleh dari lapangan. Bab III Metode Penelitian: Dalam bab ini dibahas tentang metode penelitian yang digunakan yang terdiri dari jenis penelitian, paradigma penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan dan analisis data. Bab IV Pembahasan: Pada bab ini berisi tentang paparan dan analisis data yang diperoleh dari lapangan. Pada bab ini akan disajikan data-data interview dan dokumentasi, ini tentu saja menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan.
15
Seri Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008), 98.
Kemudian dilanjutkan dengan proses analisis data dengan melalui proses edit, verifikasi, analisis, dan kesimpulan yang akan dilanjutkan pada bab selanjutnya. Bab V Penutup: Pada bab ini berisi kesimpulan dari paparan data dan saransaran.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu Terkait dengan penelitian terdahulu, tulisan mengenai saksi memang telah banyak diteliti dan ditulis dalam bentuk skripsi ataupun yang lainnya. 1. Penelitian terdahulu dari penelitian ini pernah dilakukan oleh mahasiswa
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang fakultas Syari‟ah Al-Ahwal AlSyakhsyiyah yang bernama Isna Fahmi Uswati tahun 2004 dengan judul skripsi “Kesaksian Perempuan Dalam Pembuktian Perkara Perdata (Studi Perbandingan Antara Hukum Perdata Islam dan Hukum Acara Perdata)”. Dalam Hukum Acara Perdata, kesaksian perempuan dapat mempunyai nilai yang setara dengan kesaksian laki-laki dalam pembuktian perkara perdata. Tetapi dalam Hukum Perdata Islam terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yaitu kesaksian perempuan dianggap mempunyai nilai setengah dari kesaksian laki-laki. Perempuan dapat menjadi saksi dengan persyaratan antara lain, yaitu: adil, dapat
dipercaya, jujur, baligh (dewasa), berakal, sehat akalnya, merupakan orang yang melihat, mendengar, mengalami dan menyaksikan sendiri dan juga merupakan orang yang cakap dalam bertindak hukum di Pengadilan. 2. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Agus Firmansyah Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang fakultas Syari‟ah Al-Ahwal Al-Syakhsyiyah tahun 2004 dengan judul skripsi “Kesaksian Non Muslim Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan Agama Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus No. 766/ Pdt.G/2003/PA. Mlg)”. Menurut pendapat para ahli fikih dan hakim kesaksian non muslim dipandang sah karena tidak ada dalil yang qath‟i. Menurut pandangan para hakim Pengadilan Agama Kota Malang tentang pemeriksaan saksi non muslim dalam pemeriksaan sidang di Pengadilan Agama dapat diterima, karena kondisi saat ini masyarakat sudah membaur dalam segala bidang, sehingga tidak mustahil peristiwa dan kejadian yang terjadi justru disaksikan oleh orang-orang non muslim. Keterangan mereka dapat diterima asalkan dapat dipertanggujawabkan kebenarannya. Hal ini menyangkut qadha (putusan) guna memperjelas suatu peristiwa dan kejadian yang dipersengketakan oleh para pihak yang berperkara, bukan masalah yang berhubungan dengan keagamaan yang berhubungan dengan ketentuan syari‟at Islam. 3. Penelitian yang dilakukan oleh saudara Ikhwan Haji Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang fakultas Syari‟ah Al-Ahwal Al-Syakhsyiyah tahun 2004 dengan judul skripsi “Keabsahan Saksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Kota Malang Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi Kasus No. 2/Pdt.G/2003/PA.Mlg)”. Pendapat hakim mengenai keabsahan saksi keluarga dalam memutuskan perkara perceraian perspektif Hukum Islam
dan Hukum Positif adalah ketentuan pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang menyatakan harus mendatangkan saksi-saksi dari pihak keluarga
atau orang-orang dekat
dengan suami
istri
untuk didengar
keterangannya pada gugatan perceraian, dan pasal 22 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 tentang gugatan dapat diterima apabila setelah mendengar pihak keluarga atau orang-orang dekat dengan suami istri dan telah cukup jelas adanya perselisihan dan pertengkaran merupakan ketentuan khusus dalam perkara perceraian atas alasan Syiqaq dan sesuai dengan azas doktrin Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Dengan mengesampingkan atau menyingkirkan ketentuan Pasal 145 dan 146 HIR (Pasal 172 dan 174 R.Bg). Dengan demikian hal tersebut sudah sesuai dengan kandungan ayat 135 surat an-Nisa‟ dan ayat 8 surat al-Maidah. Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti teliti adalah sama-sama membahas tentang saksi, sedangkan perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh saudara Isna Fahmi Uswati fokus pada kesaksian perempuan dalam perkara perdata perbandingan antara Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Perdata Islam, Agus Firmansyah fokus penelitiannya adalah kesaksian non-muslim tinjauan dari
Hukum Islam, dan Ikhwan Haji penelitiannya fokus pada saksi keluarga
perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam. Sedangkan penelitian ini memfokuskan kajian penelitian pada pendapat hakim terhadap kriteria adil
bagi saksi dalam
memberikan kesaksian perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Malang (studi perkara No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg).
Tabulasi Penelitian Saksi NO
JUDUL DAN TAHUN
OBJEK
Isna Fahmi
Kesaksian perempuan
Kesaksian
Uswati
dalam pembuktian
perempuan dalam
perkara perdata (studi
perkara perdata
NAMA PENELITI
1
perbandingan antara Hukum Perdata Islam dan Hukum Acara Perdata) tahun 2004 2
Ikhwan Haji
Keabsahan saksi
Saksi keluarga
keluarga dalam perkara
dalam perkara
perceraian di Pengadilan
perceraian di
Agama Malang
Pengadilan
Perspektif Hukum Islam
Agama Malang
dan Hukum Positif (Studi kasus No.2/Pdt.G/2003/PA. Mlg) tahun 2004 3
Agus Firmansyah
Kesaksian non muslim
Kesaksian non
dalam pemeriksaan
muslim di
sidang Pengadilan
Pengadilan
Agama di tinjau dari
Agama Malang
Hukum Islam (Studi
kasus No. 766/Pdt.G/2003/PA.Mlg)
Dari tabulasi penelitian di atas, jelas bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah ada. B. PEMBUKTIAN 1. Pengertian Pembuktian Menurut istilah bukti adalah suatu hal atau peristiwa dan sebagainya yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa dan sebagainya. Secara etimologi pembuktian berasal dari kata dasar “bukti”, artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata “bukti” jika mendapat awalan “pem” dan akhiran “an” maka mengandung arti proses, perbuatan, atau cara membuktikan. Adapun secara terminologi “pembuktian” berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. Menurut Sobhi Mahmasoni yang dikutip oleh Asadulloh al-Faruq menyatakan bahwa yang dimaksud dengan membuktikan suatu perkara adalah mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang meyakinkan. Adapun maksud dari “meyakinkan” adalah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.16 Menurut R. Subekti “pembuktian” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
16
Asadulloh al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam (Jakarta: PT. Buku Kita, 2009), 31.
Dengan demikian pembuktian hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.17 Dalam perkara perdata pada umumnya pembuktian hanya diperlukan manakala dalil dibantah oleh pihak lawan. Tetapi berbeda dengan perkara perdata di Pengadilan Agama, khususnya mengenai perkara perceraian yang tidak sepenuhnya menempatkan pengakuan sebagai alat bukti yang tidak mengandung nilai sempurna dan mengikat, maka meski hubungan hukum dan atau fakta kejadian tidak dibantah oleh pihak lawan, penggugat/ pemohon tetap dibebankan untuk membuktikan gugatan.18 R. Soepomo mendefinisikan “pembuktian” dengan memberikan dua kualifikasi, yaitu: a. Pembuktian dalam arti luas, yaitu membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti bahwa hakim menarik kesimpulan apa yang dikemukan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Untuk itu membuktikan dalam arti luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. b. Pembuktian dalam arti sempit, yaitu pembuktian yang hanya diperlukan manakala apa yang dikemukakan penggugat dibantah oleh tergugat. 19 Sedangkan untuk definisi secara sederhananya Asadulloh menyatakan pembuktian merupakan tindakan memberi kepastian hukum kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.20 17
Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), 7. Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press, 2009), 107. 19 Soepomo, Hukum Acara Peradilan Negeri (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), 62-63. 18
Secara etimologis pembuktian dalam istilah Arab disebut Al-Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Hakim dalam memeriksa perkara harus berdasarkan pembuktian, dengan tujuan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau untuk memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dengan demikian, pembuktian adalah segala sesuatu/alat bukti yang dapat menampakkan kebenaran di sidang peradilan dalam suatu perkara.21 Sebagaimana Pasal 1865 KUH Perdata yang berbunyi”Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”22 Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 KUH Perdata, sebagai berikut: alat bukti surat (tulisan), alat bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan, dan sumpah. Dan untuk Peradilan Agama ditambah 2 alat bukti, yaitu Pemeriksaan di tempat objek sengketa yang diatur dalam Pasal 153 HIR dan Pasal 180 R.Bg dan Keterangan saksi ahli yang diatur dalam Pasal 154 HIR dan Pasal 181 R.Bg.23 Harus dibedakan antara alat bukti pada umumnya dengan alat bukti menurut hukum. Maksudnya meskipun alat bukti yang diajukan salah satu bentuk alat bukti yang ditentukan sebagaimana tersebut di atas tidak otomatis alat bukti yang tersebut
20
Asadulloh al-Faruq, Op. Cit., 33. Asadulloh al-Faruq, Op. Cit., 106. 22 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Cet. 39 ; Jakarta: PT. Pradnya Paramita), 475. 23 Muhammad Zainal Abidin, “Alat Bukti Dalam Pengadila Agama” http://meetabied.wordpress.com/2009/10/29/alat-bukti-dalam-pengadilan-agama/, (diakses pada 20 Maret 2010). 21
sah sebagai alat bukti. Agar supaya alat bukti itu sah sebagai alat bukti menurut hukum, maka alat bukti yang diajukan itu harus memenuhi syarat formal dan syarat materiil. Di samping itu, tidak pula setiap alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung terbuktinya suatu peristiwa. Meskipun alat bukti yang diajukan telah memenuhi syarat formal dan materiil, belum tentu mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Supaya alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian, alat bukti yang bersangkutan harus mencapai batas minimal pembuktian.24 Menurut Sayid Sabiq dalam buku Fikih Sunnah, Hukum Islam mengenal 4 bentuk alat bukti, yaitu saksi, sumpah, pengakuan dan bukti tertulis yang sah. 25 Lebih rinci lagi, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan 26 macam alat bukti, yaitu fakta yang berbicara atas dirinya sendiri yang tidak memerlukan sumpah, pengingkaran penggugat atas jawaban tergugat, fakta yang berbicara atas dirinya sendiri disertai sumpah pemegangnya, pembuktian dengan penolakan sumpah belaka, penolakan sumpah dan sumpah yang dikembalikan, saksi satu orang laki-laki tanpa sumpah penggugat, saksi satu orang laki-laki dengan sumpah penggugat, keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, keterangan saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat untuk bersumpah, keterangan dua orang perempuan dan sumpah penggugat, saksi dua orang perempuan tanpa sumpah, saksi tiga orang lakilaki, saksi empat orang laki-laki, kesaksian budak, kesaksian anak-anak di bawah umur (sudah mumayyiz), kesaksian orang fasik, kesaksian non muslim, bukti
24
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta. Kencana; 2006), 239. 25 Sayiq Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 9 (Cet. 9; Bandung: Al-Ma‟arif, 1990), 110.
pengakuan, pengetahuan hakim, berdasarkan berita mutawatir, berdasarkan berita tersebar, berdasarkan berita orang perorangan, bukti tulisan, berdasarkan indikasiindikasi yang tampak, berdasarkan hasil undian, dan berdasarkan hasil penelusuran jejak. Sedangkan menurut fuqaha alat bukti ada tujuh, yaitu pengakuan (iqrar), kesaksian (syahadah), sumpah (yamin), bersumpah 50 orang (qasamah), menolak sumpah (nukul), pengetahuan hakim dan persangkaan (qarinah). Dan menurut Hasby Ash Shiddiqy bahwa alat bukti yang terpokok yang diperlukan dalam soal gugat menggugat hanya ada 3, yaitu pengakuan (iqrar), kesaksian (syahadah), dan sumpah (yamin).26 2. Hal-Hal Yang Harus Dibuktikan dan Hal-Hal Yang Tidak Harus Dibuktikan 2.1 Hal-hal yang perlu dibuktikan 2.1.1
Di muka persidangan, para pihak yang berperkara dapat mengemukakan fakta atau peristiwa yang dijadikan dasar untuk menetapkan atau membantah hak dan kewajiban dirinya atau orang lain.
2.1.2
Peristiwa yang dikemukan oleh para pihak tersebut bisa berupa gugatan, jawaban, replik dan duplik.
2.1.3
Dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat sebagaimana yang yang dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh Drs. Hari Sasangka, S.H.,M.H dimana pada akhirnya hakim dapat mengetahui apa sebenarnya yang disengketakan oleh para pihak yang berperkara.
26
Asadulloh al-Faruq, Op. Cit., 37-38.
2.1.4
Terhadap peristiwa-peristiwa yang dikemukakan, baik oleh penggugat dalam dalil-dalil gugatannya maupun oleh tergugat dalam dalil-dalil jawabannya, peristiwa-peristiwa tersebut harus dibuktikan. Dengan demikian peritiwa-peristiwa yang dikemukakan dalam persidangan harus didukung alat bukti.27
2.2 Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan Tidak semua fakta mesti dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan atau fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain. Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan antara lain: 2.2.1
Hukum positif tidak perlu dibuktikan Hal ini bertitik tolak dari doktrin curia novit jus, yakni pengadilan atau hakim
dianggap mengetahui segala hukum positif.28 Bahkan bukan hanya hukum positif, tetapi meliputi semua hukum. Pihak yang berperkara tidak perlu menyebutkan hukum mana yang dilanggar dan diterapkan, karena hal itu sudah diketahui hakim. Doktrin ini pada dasarnya menghendaki setiap hakim mengetahui seluruh hukum positif atau hukum objektif. Namun kita sadar, tidak seorang pun yang mampu mengetahui seluruh hukum yang berlaku. Karena hal ini, maka seorang hakim haruslah:
27
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa Dan Praktisi (Bandung: Mandar Maju, 2005), 12. 28 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Cet. 8; Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 508.
a. Melaksanakan hukum sesuai dengan kasus yang disengketakan, dan hukum yang mesti harus diterapkan, tidak boleh sedikitpun bertentangan dengan hukum positif maupun dengan hukum objektif yang berlaku. b. Hakim diwajibkan mencari dan menemukan hukum yang persis berlaku untuk diterapkan dalam perkara yang bersangkutan baik dari kumpulan perundangundangan, berita Negara, yurisprudensi atau komentar hukum. c. Sejalan dengan itu, para pihak yang berperkara tidak dapat dituntut membuktikan kepada
hakim
tentang
adanya
peraturan
perundang-undangan
maupun
yurisprudensi yang berlaku terhadap perkara yang disengketakan. Bahkan mengenai hukum kebiasaan pun, tidak boleh dituntut pembuktiannya kepada para pihak yang berperkara. Hakim yang wajib mengubah dan menyempurnakan dasar-dasar hukum yang diambilnya dari hukum kebiasaan. 2.2.2
Fakta yang diketahui umum tidak perlu dibuktikan Yaitu setiap peristiwa yang diketahui secara pasti berdasarkan pengalaman
umum dalam kehidupan masyarakat, bahwa kejadian itu memang demikian untuk dipergunakan sebagai dasar hukum membenarkan suatu tindakan kemasyarakatan yang serius dalam bentuk putusan hakim. Dasar untuk menentukan suatu kejadian atau keadaan termasuk fakta yang diketahui umum adalah sebagai berikut: a. Faktor pengetahuan berdasarkan pengalaman b. Fakta yang konkret dan mudah diketahui tanpa diperlukan penelitian dan pengkajian yang seksama dan mendalam, kejadian atau keadaan yang timbul yang diketahui dengan mudah bagi yang berpendidikan atau mengikuti perkembangan peradaban.
2.2.3
Fakta yang tidak dibantah Pihak lawan yang tidak menyangkal atau membantah dianggap mengakui
dalil dan fakta yang diajukan. Tidak menyangkal identik dengan pengakuan yang dianggap bernilai membebaskan pihak lawan membuktikan dalil atau fakta, apabila pihak lain: a. Mengakuinya dengan tegas, dengan ketentuan pengakuan itu murni dan bulat dengan cara pernyataan pengakuan tidak dibarengi dengan syarat atau kualifikasi. b. Pernyataan pengakuan disampaikan di depan sidang pengadilan secara lisan atau tulisan dalam jawaban, replik atau duplik.29 2.2.4
Fakta yang ditemukan selama proses persidangan Fakta atau peristiwa yang diketahui, dialami, dilihat atau didengar hakim
selama proses pemeriksaan persidangan berlangsung, tidak perlu dibuktikan. Karena fakta atau peristiwa itu memang demikian adanya sehingga telah merupakan kebenaran yang tidak perlu lagi dibuktikan, sebab hakim sendiri mengetahui bagaimana yang sebenarnya.30 3
Sistem Pembuktian Menurut R. Subekti sistem adalah suatu susunan yang teratur yang
merupakan keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (sub-sub) yang satu sama lain saling kait mengkait, dan tidak boleh terjadi suatu tumpang tindih antara bagianbagian itu dan tersusun suatu pemikiran tertentu untuk mencapai tujuan. 1. Dalam hukum acara perdata dianut sistem pembuktian positif, artinya:
29 30
Ibid., 511-512. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1998), 106.
1.1 Sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alatalat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang; 1.2 Suatu gugatan dikabulkan hanya berdasarkan pada alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan; 1.3 Pada pokoknya suatu gugatan yang sudah memenuhi cara-cara pembuktian dengan alat bukti yang sah yakni sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka gugatan harus dikabulkan; 1.4 Hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang. namun demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan dalil-dalil dalam gugatan atau dalam jawaban atas gugatan tanpa dipengaruhi oleh nuraninya, sehingga benar-benar obyektif, yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang; 1.5 Dalam sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formil. 2. Kebenaran yang dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran formil, yang berarti bahwa hakim terikat pada peristiwa yang diakui oleh tergugat atau apa yang tidak dipersengketakan. Disini cukup dengan pembuktian yang tidak meyakinkan tetapi layak. 3. Putusan MARI No. 290 K/Sip/1973, tanggal 3 Agustus 1974, memberikan pertimbangan:”Pertimbangan
Pengadilan
Tinggi
yang
dibenarkan
oleh
Mahkamah Agung, dalam hukum acara perdata tidak perlu adanya keyakinan
hakim (in casu: oleh Pengadilan Negeri dipertimbangkan bahwa „menurut hukum dan keyakinan kami‟)”.31 C. Saksi Menurut Fikih 1. Pengertian saksi Saksi adalah sebuah kata benda dalam bahasa Indonesia yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui”32. Kata saksi dalam bahasa Arab adalah شاهدatau
شهيدyaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata jama‟nya ialah اشهاد
dan شهودKata شهيدjama‟nya ialah شهداء. Masdarnya
adalah الشهادةyang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Sedangkan kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan Pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain.33 Kesaksian dalam Hukum Acara Islam dikenal dengan istilah Asy-Syahadah. Menurut bahasa, asy-syahadah memiliki pengertian sebagai berikut: a. Pernyataan atau pemberitaan yang pasti b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung. c. Mengetahui sesuatu secara pasti, mengalami, dan melihatnya.
31
Hari Sasangka, Op. Cit., 25-27. WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 825. 33 Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 35-37. 32
Menurut syara‟ kesaksian adalah pemberitaan yang pasti, yaitu ucapan yang keluar dan diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena berita-berita telah tersebar. Dalam masalah perdata, kesaksian memiliki definisi lebih khusus, yaitu pemberitaan mengenai hak seseorang atas orang lain dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan yang diperoleh dari penyaksian langsung, bukan karena dugaan atau perkiraan. Menurut Muhammad Salam Madzkur sebagaimana yang dikutip oleh Asadulloh Al-Faruq, persaksian adalah suatu ungkapan tentang berita yang benar di sidang pengadilan dengan menggunakan lafaz syahadah (ucapan kesaksian) untuk menetapkan suatu hal atas diri orang lain. Dalam pengertian tersebut dikatakan yang menyangkut atas diri orang lain, sebab bila yang menyangkut atas diri sendiri bukanlah kesaksian, melainkan ikrar (pengakuan). Ahmad ad Daur yang juga dikutip oleh Asadulloh Al-Faruq mendefinisikan kesaksian sebagai penyampaian perkara yang sebenarnya untuk membuktikan sebuah kebenaran
dengan
mengucapkan
lafal-lafal
kesaksian
di
hadapan
sidang
pengadilan.34 Menurut Drs. H. Roihan A. Rasyid, SH. MA., bahwa alat bukti saksi dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah (saksi perempuan) yang diambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dan saksi adalah manusia hidup. Yang dimaksud dengan syahadah yaitu keterangan orang yang dapat dipercaya di depan sidang pengadilan dengan lafaz kesaksian untuk menetapkan hak atas orang lain. Oleh karena itu, dalam
34
Asadulloh al-Faruq, Op. Cit., 45-46.
pengertian kesaksian dapat pula dimaksudkan di sini kesaksian yang didasarkan atas hasil pendengaran.35 Kesaksian (syahadah) bisa juga diartikan melihat dengan kepala, karena syahid (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan lafaz “aku menyaksikan atau aku telah menyaksikan”. Dikatakan pula bahwa kesaksian berasal dari kata I‟laam (pemberitahuan). Firman Allah Ta‟aala dalam surat ali-Imran ayat 18:
Artinya:”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan; para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. 36 Di sini arti dari kata syahida adalah „alima (mengetahui). Syahid adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia menyaksikan apa yang tidak diketahui orang lain.37 Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa:
عه, عه عمزو به شعيب, حدثنا علي به مسهز عه محمد به عبيد اهلل,حدثنا علي به حجز واليميه, البينة علي المدعي: عه جده ان النبي صلي اهلل عنيو وسلم قال في خطبتو,ابيو 38
35
) (رواه التزمذي. علي ا المدعي عليو
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. VIII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 156 36 Al-Qur‟an, Op. Cit.,53. 37 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (PT Al-Ma‟arif: Bandung, 1989), 55. 38 Tirmidzi, Juz IV (Bairut: Libanon, 2004), 68.
”Diriwayatkan dari ‟Ali ibnu Hujrin, diriwayatkan dari ‟Ali ibnu Mushirin dari Muhammad ibni ‟Ubaidillah, dari ‟Amru ibni Syu‟aib, dari ayahnya, dari kakeknya: sesungguhnya Nabi SAW bersabda dalam khutbahnya: kewajiban adalah kewajiban penggugat sedangkan sumpah adalah kewajiban tergugat”. (HR. Tirmidzi)39 Menurut istilah Jumhur Ulama, sinonim kata al-Bayyinah adalah syahadah yang artinya kesaksian. Pengertian al-Bayyinah dalam al-Qur‟an, as-sunnah dan perkataan para sahabat Nabi saw adalah nama bagi setiap sesuatu yang dapat menyatakan dan mengungkapkan kebenaran40. 2. Syarat-syarat menjadi saksi Menurut Hukum Islam syarat-syarat saksi yang dapat diterima kesaksiannya adalah sebagai berikut: a. Balig, maka tidak diterima kesaksian anak kecil sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282:
Artinya:”….Dan saksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki (diantaramu). Jika tidak dua orang lelaki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…”41 b. Berakal sehat, walaupun terkadang terang ingatannya. Persaksian orang gila atau orang kurang akal tidak bisa diterima.
39
Abd. Rahman Umar, Op. Cit., 38. Ibid, 38. 41 Al-Qur‟an, Op. Cit., 49. 40
c. Islam, oleh sebab itu tidak diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang muslim, kecuali dalam hal wasiat di tengah perjalanan. Tapi orang-orang Hanafiyah memperbolehkan kesaksian orang-orang kafir terhadap sesamanya. Saksi non muslim dapat diterima sepanjang penyaksiannya menyangkut peristiwa atau kejadian untuk memperjelas duduknya perkara.42 d. Mengetahui apa yang dipersaksikan, dalam hukum Islam seorang tidak boleh memberikan kesaksian, kecuali kesaksiannya didasarkan pada ilmu, yaitu didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Orang yang boleh memberikan kesaksian adalah dia yang menyaksikan langsung suatu peristiwa atau hal, baik dengan melihat, mendengar maupun mengalami sendiri. Kesaksian tidak sah jika didasarkan pada dzan (keraguan). e. Dapat berbicara, karena jika ia bisu maka kesaksiannya tidak dapat diterima sekalipun dia dapat mengungkapkan dengan isyarat dan isyaratnya dapat dipahami, kecuali jika dia menulis kesaksiannya itu dengan tulisan menurut Abu Hanifah, Ahmad dan pendapat yang sah dari madzhab Asy-Syafi‟i. f. Adil, sifat keadilan merupakan tambahan bagi sifat Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat ath-Thalaq ayat 2:
Artinya:”……Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah………” 43
42 43
Yahya Harahap, Op. Cit., 254. Al-Qur‟an, Op. Cit., 559.
Ibnu Rusyid menambahkan bahwa seorang saksi harus merdeka dan tidak diragukan I‟tikad baiknya. Dan Sayid Sabiq juga menambahkan bahwa seorang saksi harus memiliki ingatan yang baik dan bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan). Persaksian orang yang mudah lupa tidak dapat diterima, demikian pula orang yang sudah diketahui orang banyak bahwa dirinya itu banyak lupa dan banyak salah karena kepercayaan tidak dapat muncul dengan kata-kata darinya. Juga tidak menjadi anggapan yang kuat bahwa ia jujur karena adanya kemungkinan ketidak jujuran disebabkan sering melakukan kesalahan. Persaksian dapat diterima dari orang yang sedikit lupa dan salah. 3. Kriteria adil bagi saksi dalam perkara cerai gugat perspektif Fikih Dalam Islam seorang istri boleh mengajukan keinginannya berpisah kepada suami dengan menebus dirinya dengan khuluk. Dalam Peradilan Islam istri diperbolehkan mengajukan cerai gugat kepada suaminya dengan alasan suami berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar untuk disembuhkan, suami meninggalkan istri selama 2 tahun, suami mendapat hukuman penjara 5 tahun , suami melakukan kekejaman atau penganiayaan, suami mendapat cacat badan atau penyakit, terjadi perselisihan terus menerus, pelanggaran taklik talak, suami murtad, suami melalaikan kewajibannya, dan suami syiqaq. 44 Hukum
memberi
kesaksian
adalah
fadhu
‟ain
bagi
orang
yang
menyaksikannya tanpa diketahui orang lain, apalagi dalam masalah perceraian yang merupakan aib bagi pelakunya. Macam-macam kesaksian dari segi banyaknya orang yang memberikan persaksian ada empat, yaitu: 44
Slamet Abidin dan Amiruddin, Fiqih Munakahat (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 85-89.
a. Kesaksian zina, saksi harus empat orang laki-laki b. Kesaksian semua urusan selain zina, saksinya dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan c. Kesaksian tentang harta, saksinya cukup dengan satu orang ditambah sumpah d. Kesaksian kehamilan, haid, dan hal-hal kewanitaan yang tidak boleh dilihat, kecuali oleh wanita, kesaksian dengan dua orang perempuan.45 Menurut sebuah hadits yang artinya yang diriwayatkan dari Ibnu Wadhah menyebutkan bahwa dari Abu Maryam, dari Amru bin Salmah, dari Zahir bin Muhammad, dari Abu Juraij, dari Amru bin Syu‟aib, dari ayahnya, Nabi SAW bersabda: ”Bila seorang perempuan menggugat cerai kepada suaminya, dan atas gugatannya dia mengajukan saksi satu orang laki-laki yang adil maka suami diperintahkan bersumpah; jika dia bersumpah maka sebab sumpahnya itu keterangan saksi satu orang laki-laki dinilai batal. Dan jika dia menolak bersumpah maka penolakannya itu menempati kedudukan saksi seorang lagi, dan oleh sebab itu boleh menceraikannya”.46 Salah satu syarat saksi adalah adil. Kaum muslimin sepakat tentang disyari‟atkannya keadilan agar kesaksian seorang saksi diterima. Tapi mereka berbeda pendapat mengenai tentang apa itu keadilan. Menurut Jumhur Ulama keadilan adalah sifat tambahan atas ke-Islaman, yaitu agar komitmen dengan berbagai kewajiban syar‟i dan berbagai anjurannya, dengan menjauhi hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang dimakruhkan. 45 46
Abu Bakar Jabir al Jazairy, Minhajul Muslim (Kairo: Maktabah Al-Mashad Husainiyah), 717-718. Asadulloh Al-Faruq, Op. Cit., 49.
Sedangkan menurut Abu Hanifah keadilan cukup dilihat dari ke-Islaman secara zhahir dan tidak diketahui darinya apa yang merusak kemuliaan dan kehormatannya. Perbedaan pendapat ini terjadi karena ketidakjelasan mereka tentang pengertian kata keadilan yang berlawanan dengan kefasikan. Yang demikian itu karena mereka sepakat bahwa kesaksian orang fasik tidak diterima, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.47 Mereka tidak berbeda pendapat bahwa orang fasik diterima kesaksiannya jika taubatnya diketahui, kecuali orang yang kefasikannya tidak diterima meskipun bertaubat, sedangkan menurut jumhur tetap diterima. Perbedaan pendapat ini terjadi karena adanya pengecualian yang terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nuur ayat 4-5:
47
Al-Qur‟an, Op. Cit., 517.
Artinya:”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.48 Kalimat ”kesaksian orang fasik yang telah bertaubat” apakah kembali kepada kata yang paling dekat atau kepada kalimat sebelumnya, kecuali yang dikhususkan oleh ijma‟ yaitu bahwa taubat tidak menggugurkan hukuman had dari dirinya.49 Artinya bahwa kesaksian orang-orang yang fasik setelah taubat diterima ataukah tidak diterima untuk selamanya, terlepas dari perbedaan tersebut menurut ijma‟ para ulama walaupun orang fasik bertaubat tapi ia tidak terlepas dari hadd. Adanya sifat adil dalam diri seseorang, dapat dilihat dalam kehidupan seharihari. Adil merupakan sifat kejiwaan yang dapat mendorong kepada seseorang untuk selalu melakukan perbuatan yang baik dan dapat menjauhi perbuatan yang berdosa serta selalu menjaga harga dirinya. Selain itu, Orang adil ialah yang memiliki sifat:
48
Ibid., 351. Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid, Jilid 2, Penerjemah Abu Usamah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 940. 49
1. Menjauhi segala dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil 2. Baik hati 3. Dapat dipercaya sewaktu marah, tidak akan melanggar kesopanan 4. Menjaga kehormatannya sebagaimana kehormatan orang yang setingkat dengan dia.50 Adil secara bahasa artinya adalah Istiqamah. Kata adil merupakan lawan kata dari curang. Keadilan menurut syara‟ adalah kestabilan keadaan dalam beragama, kelurusan perkataan dan kelurusan perbuatannya. Adil dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, yaitu al-adl. Dalam al-Qur‟an al-adl banyak sinonimnya di antaranya adalah mizan, qawam, al-haq, wasath dan al-qisth. Meskipun demikian, inti dari semuanya itu adalah sama yakni seimbang dan tidak berat sebelah serta menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kata adil terdapat dalam al-Qur‟an sering dikaitkan dengan kondisi sosial masyarakat. Hal ini disebabkan bersikap adil tersebut bukan hanya pada orang lain saja, akan tetapi bersikap adil terhadap diri sendiripun dianjurkan. Adil adalah orang yang mustaqim dalam agamanya, tidak Nampak sesuatu yang meragukan dari dirinya, melaksanakan yang wajib dan menjauhi perkara yang mungkar dan haram. Menurut jumhur Ulama keadilan adalah sifat lebih dari Islam. Yakni hendaknya selalu berpegang teguh dengan berbagai perkataan yang wajib dan sunnah serta selalu menjauhi berbagai hal haram atau makruh. Syaikh Ibnu Taimiyah menyatakan menolak persaksian orang yang terkenal suka bohong adalah perkara yang disepakati oleh kalangan para ahli fikih dan 50
Sulaiman Rasyid, Fikih Islam (Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2000), 490.
sebaiknya persaksian orang yang terkenal jujur dapat diterima, sekalipun tidak berpegang teguh kepada batasan-batasan Allah, yakni ketika dalam kondisi darurat seperti misalnya berada dalam penjara. Sedangkan menurut ahli fikih yang dianggap sebagai tanda keadilan ada 2 hal, yaitu: a. Melaksanakan berbagai hal wajib, yakni shalat 5 waktu dan shalat jum‟at dengan segala sunnah rawatibnya. Maka tidak bisa diterima persaksian orang yang selalu meninggalkan shalat sunnah rawatib dan witir. Selain itu harus selalu bersikap menjauhi hal-hal yang haram dengan tidak melakukan dosa besar dan tidak ketagihan melakukan dosa kecil. b. Memiliki keperwiraan, yaitu semua amal perbuatan yang menghiasi dirinya dan menjadikannya bagus, seperti kedermawanan, berakhlak mulia, baik dalam bertetangga, menjauhi apa-apa yang mengotori dirinya dan menjadikannya bertindak kasar berupa perkara-perkara hina, seperti penyanyi dan pelawak, yaitu orang yang selalu mengundang tawa banyak orang karena perkataan atau tingkah lakunya. Allah SWT telah melarang untuk menerima persaksian orang yang suka menuduh orang lain melakukan zina dan juga orang yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dengan menjadi saksi atau dengan menjadi saksi ia akan bebas dari suatu bahaya.51 Menurut Imam Syafi‟I yang dimaksud saksi yang adil adalah orang yang tidak berdosa besar dan dosa kecil seperti mencuri, sikap perilaku tidak sopan dan sebagainya. Artinya bahwa saksi tersebut tidak selalu melakukan dosa-dosa kecil dan 51
Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan, Ringkasan Fikuh Lengkap, Jilid I-II, Penerjemah Drs. Asmuni (Jakarta: PT Darul Falah, 2005), 1180-1182.
tidak berbuat dosa besar serta berperilaku yang sopan dalam kehidupan di masyarakat52 Ibnu Qasim Al-Ghazi memberikan pengertian adil adalah Istiqamah dan I‟tidal, keduanya diartikan dengan mampu mengekang hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan dosa kecil maupun dosa besar. Sedangkan menurut Abu Bakar Ad-Dimyati adil adalah Islam, mukallaf (mengerti dan dapat membedakan yang benar dan yang salah), bisa mendengar, bisa melihat dan bisa berbicara. Dalam arti tidak cacat secara fisik, sehingga dalam persaksiannya tidak diragukan keadilannya. Selain itu Abu Bakar Ad-Dimyati berpendapat bahwa adil adalah jelas dalam meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa-dosa yang kecil dengan memperbanyak pahala ketaatan untuk menghapus pahala kemaksiatan. Artinya bahwa orang yang adil adalah orang yang mampu meninggalkan dosa besar dan tidak terlalu sering mengerjakan perbuatan yang mengakibatkan dosa kecil serta memperbanyak ketaatan untuk menghilangkan dosa kemaksiatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Pendapat lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Sama‟I bahwa adil itu harus mencakup empat syarat: a. Memelihara perbuatan taat (amalan salih) dan menjauhi perbuatan maksiat b. Tidak mengerjakan dosa kecil yang sangat keji c. Tidak mengerjakan yang halal yang merusak muru‟ah (kesopanan) d. Tidak mengi‟tikadkan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh dasar-dasar syara‟ 52
Abd. Rahman Umar, Op. Cit., 50.
Kemudian Imam Syaukani memberikan pengertian adil adalah: a. Berpegang pada syara‟ b. Mengerjakan pekerjaan taat c. Meninggalkan perbuatan maksiat Sedangkan menurut Soemiyati yang dimaksud dengan adil adalah orang yang taat beragama, yaitu orang yang menjalankan perintah Allah dan meninggalkan halhal yang dilarang oleh Allah. Sedangkan untuk mengetahui keadilan seseorang dapat dilihat karena popularitasnya sebagai orang yang adil dan dapat dilihat dalam tingkah lakunya sehari-hari, yaitu melaksanakan syarat-syarat yang disebutkan berbagai pendapat di atas. Imam Manshur Al-Bahwati, seorang Ulama Fikih madzhab Hanbali mengatakan bahwa adil itu ialah: konsisten dalam beragama serta konsekuen dalam perkataan dan perbuatan. Sedangkan Al-Qurthubi mengatakan bahwa adil itu adalah konsekuen menjalankan agama dan sempurnanya. Hal ini dengan menjauhi dosa besar, memelihara harga diri, meninggalkan dosa kecil, dapat dipercaya dan tidak pelupa. Sedangkan Ash-Shan‟ani mendefinisikan adil dengan orang yang amal baiknya dapat mendesak amal buruknya dan tidak pernah berdusta.53 Dari berbagai pendapat di atas dapat diketahui tentang saksi yang adil adalah: a. Saksi yang selalu mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah b. Saksi mampu mengekang hawa nafsu untuk berbuat yang tidak dibenarkan oleh syara‟ 53
Suaidi, Skripsi Keadilan Saksi Nikah Perspektif Fiqih Islam (Malang: UIN Malang, 2002), 34-36.
c. Saksi selalu taat menjalankan Syari‟at Islam d. Saksi yang tidak selalu mengerjakan perbuatan yang mengakibatkan dosa kecil dan tidak melakukan dosa besar e. Saksi yang mempunyai muru‟ah (wibawa kesopanan) di dalam masyarakat. D. Saksi Menurut Undang-Undang Hukum Acara Peradilan Agama 1. Pengertian Saksi Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Mengenai alat bukti saksi ini diatur dalam Pasal 168-172 HIR dan Pasal 165-179 R.Bg.54 Menurut Sudikno Mertokusumo saksi adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.55 Pada dasarnya pembuktian dengan saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surat atau tulisan tidak ada atau kurang lengkap untuk mendukung atau menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar pendiriannya para pihak. Saksi-saksi ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa atau kejadian yang harus dibuktikan kebenarannya di muka sidang pengadilan, ada juga saksi-saksi itu sengaja diminta untuk datang menyaksikan suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang sedang dilangsungkan.
54
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Cet. 6; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 165. 55 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., 112.
Tentang keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284 R.Bg harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yang dialami, dilihat atau didengar sendiri, dan harus pula disertai alasan-alasan bagaimana diketahuinya peristiwa yang diterangkan oleh saksi-saksi tersebut. Pendapat dan kesimpulan yang diperoleh dengan jalan menggunakan buah pikiran bukanlah kesaksian sebagaimana Pasal 171 HIR dan Pasal 308 R.Bg. Jadi saksi-saksi itu adalah orang-orang yang mengalami, mendengar, merasakan dan melihat sendiri suatu peristiwa atau kejadian-kejadian dalam perkara yang sedang dipersengketakan.56 Dalam Pasal 1895 KUH Perdata disebutkan bahwa “pembuktian dengan saksi-saksi diperbolehkan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undangundang”.57 Menurut Pasal 1902 KUH Perdata, dalam suatu peristiwa atau hubungan hukum menurut undang-undang hanya dapat dibuktikan dengan tulisan atau akta, namun alat bukti tersebut hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan, penyempurnaan pembuktiannya dapat ditambah dengan saksi. 58 2. Syarat-syarat Saksi Supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat didengar sebagai alat bukti maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. Syarat formil saksi adalah: a. Memberikan keterangan di depan persidangan, Pasal 145 ayat (1) HIR
56
Abdul Manan, Op. Cit., 248-249. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit., 481. 58 Yahya Harahap, Op. Cit., 642. 57
b. Bukan orang-orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi menyatakan kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi c. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya (Pasal 147 HIR) d. Cakap menjadi saksi e. Diperiksa satu persatu f. Berumur 15 tahun ke atas g. Sehat akalnya h. Memberikan keterangan secara lisan, sesuai dengan Pasal 144 ayat (1) HIR i. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain, sebagaimana Pasal 169 HIR, kecuali mengenai perzinahan.59 Dalam Pasal 169 HIR, Pasal 306 R,Bg dan Pasal 1905 KUH Perdata dijelaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup. Seorang saksi bukan saksi (unus testis, nulus testis). Keterangan seorang saksi jika tidak ada bukti lainnya maka tidak boleh dipergunakan oleh hakim sebagai alat bukti. Kesaksian dari seorang saksi, tidak boleh dianggap sebagai persaksian yang sempurna oleh hakim, dalam memutus suatu perkara. Hakim dapat membebani sumpah pada salah satu pihak, jika pihak itu hanya mengajukan seorang saksi dan tidak ada alat bukti lainnya. Sedangkan syarat materiil saksi adalah: a. Keterangan yang diberikan mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri oleh saksi (Pasal 171 HIR/ Pasal 308 R.Bg) 59
Mukti Arto, Op. Cit., 165-166.
b. Keterangan yang diberikan harus mempunyai sumber pengetahuan yang jelas, berdasarkan Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 308 ayat (1) R.Bg c. Keterangan yang diberikan saksi harus bersesuaian satu sama lain atau alat bukti yang sah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 172 HIR dan Pasal 309 R.Bg.60 d. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri, Pasal 171 ayat (2) dan Pasal 308 ayat (2) R.Bg e. Tidak bertentangan dengan akal sehat. Tentang benar tidaknya keterangan orang, yang mewajibkan menyimpan rahasia itu terserah pada pertimbangan hakim, sebagaimana Pasal 146 ayat (2) HIR. Orang yang tidak berhak mengundurkan diri sebagai saksi, ia wajib memenuhi kewajiban sebagai saksi. Adapun orang-orang yang dapat mengundurkan diri dari kewajiban menjadi saksi adalah: a. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan saudara perempuan dari suami atau istri dari salah satu pihak. c. Semua orang yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya, Pasal 146 ayat (1) HIR. 61 Menjadi saksi adalah merupakan kewajiban hukum atas setiap orang. Pasal 224 KUHP menyatakan bahwa “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, solusi ahli 60 61
Abdul Manan, Op. Cit., 250-251. Mukti Arto, Op. Cit., 166.
atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhi, diancam: dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan”.62 Pada prinsipnya setiap orang wajib menjadi saksi. Namun demikian untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujuran saksi, ada orang-orang tertentu yang oleh undang-undang tidak boleh didengar sebagai saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu. Orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi ialah: a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus. b. Istri atau suami dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai. c. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah sudah cukup umurnya 15 tahun. d. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan terang. e. Orang yang ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah. Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang: status menurut hukum perdata, tentang perjanjian kerja atau tentang perceraian karena adanya perselisihan suami istri.63 Berdasarkan Pasal 76 Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dalam perkara perceraian berdasarkan alasan cekcok terus menerus (syiqaq) 62 63
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Cet. 7; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), 89. Mukti Arto, Op. Cit., 167.
diperkenankan mempergunakan saksi dari keluarga. Hal ini merupakan Lex Spesialis dari ketentuan umum. Dalam hal menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, cocoknya kesaksian-kesaksian dari yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perilaku atau adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak, Pasal 172 HIR. Penggolongan kesaksian: a. Testimonium de auditu (Pasal 145 ayat (4) HIR), artinya kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain. Dalam bahasa Fikih disebut saksi istifadhoh yang nilai pembuktiannya tidak perlu dipertimbangkan. Tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu, tidaklah dilarang.64 b. Kesaksian di luar sumpah (Pasal 145 ayat (4) HIR), anak-anak di bawah umur 15 tahun, saksi yang masih ada hubungan keluarga atau hubungan perkawinan, atau hubungan kerja dengan menerima upah dan orang gila yang kadang-kadang ingatannya terang dapat didengar keterangannya di luar sumpah. Tetapi keterangan mereka semata-mata hanya dipandang sebagai penjelas, sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara.
64
Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, Perbandingan HIR Dengan R.Bg Disertai Dengan Yurisprudensi MARI Dan Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata (Bandung: Mandar Maju, 2005), 115.
c. Saksi Kelurga (Pasal 145 ayat (2) HIR, Pasal 76 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 dan Pasal 22 PP No.9 Tahun 1975). Dapat didengar sebagai saksi di bawah sumpah dalam perkara tentang perselisihan keadaan menurut hukum perdata dan tentang perjanjian, serta tentang perkara perceraian karena alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus. d. Unus testis nulus testis (Pasal 169 HIR dan Pasal 306 R.Bg), artinya satu saksi bukan saksi.65
65
Mukti Arto, Op. Cit., 166.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian Sebelum melakukan penelitian
menentukan jenis penelitian sangatlah
penting karena jenis penelitian merupakan payung penelitian yang dipakai sebagai dasar utama pelaksanaan riset. Oleh karenanya, penentuan jenis penelitian didasarkan pada pilihan yang tepat karena berpengaruh pada keseluruhan perjalanan riset.66 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian sosiologis (empiris) yang berdasarkan fakta sosial atau pembuktian suatu data yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini juga bisa disebut dengan penelitian studi kasus (Case Study) yang mengarah pada sebuah penelitian yang intensif terhadap satuan analisis tertentu.
66
Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian (Hand Out, Fakultas Syari'ah UIN Malang, 2006),t.h.
Jenis penelitian yang peneliti gunakan mengarah pada penelitian yang bersifat deskriptif yang merupakan penelitian non hipotesis.67 Pada penelitian ini peneliti berusaha mendeskripsikan dan menganalisis sebuah kasus mengenai pendapat hakim Pengadilan Agama Malang terhadap kriteria adil untuk saksi agar kesaksiannya dapat diterima dan dianggap sah. B. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana pendapat Anderson yang dikutip dalam bukunya Deddy Mulyana, paradigma merupakan suatu ideologi dan praktek suatu komunitas ilmuan yang menganut suatu pandangan yang sama untuk menilai aktifitas penelitian dan menggunakan metode serupa.68 Paradigma menurut Bogdan dan Biklen sebagaimana yang dikutip oleh Moleong adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Dalam buku pedoman fakultas Syari‟ah, paradigma ialah sebuah framework tak tertulis, berupa lensa mental atau peta kognitif dalam mengamati dan memahami sesuatu yang dapat mempertajam pandangan terhadap dan bagaimana memahami data. 69 Paradigma ini nantinya akan digunakan peneliti untuk mempermudah dalam menganalisis bahan teoritis.
67
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), 245. Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), 9. 69 Fakultas Syaria‟ah Universitas Islam Negeri Malang, Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Cet. I; Malang: Fakultas Syari‟ah, 2005), 10. 68
Pada penelitian ini peneliti menggunakan paradigma alamiah (Naturalistic paradigm) yang bersumber pada pandangan fenomelogis.70 Paradigma alamiah bersumber dari pandangan Max Weber yang diteruskan oleh Irwin Deutcher yang lebih dikenal dengan pandangan fenomenologis yang berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berfikir maupun bertindak orang-orang itu yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang-orang itu sendiri.71 Dalam penelitian ini peneliti berusaha menggali informasi dari Hakim Pengadilan Malang mengenai fenomena kriteria adil untuk saksi agar kesaksiannya dapat diterima dan dianggap sah. C. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).72 Alasan peneliti memilih pendekatan kualitatif ini karena data-data yang dibutuhkan berupa sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu dikuantifikasikan. Sebaran-sebaran informasi yang dimaksud adalah yang didapat dari hasil wawancara dengan para informan. Dalam hal ini peneliti bisa mendapatkan data yang akurat dan otentik karena peneliti bertemu dan berhadapan langsung dengan informan sehingga peneliti bisa langsung wawancara dan berdialog dengan informan. Selanjutnya peneliti mendeskripsikan tentang objek yang diteliti secara sistematis dan mencatat semua
70
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi(Cet. 5; Bandung: PT Rosda Karya, 2008), 50. 71 Ibid., 52. 72 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Prosedur, Tehnik, dan Teori (Surabaya: Bina Ilmu Ofset, 1997), 11.
hal yang berkaitan dengan objek yang diteliti kemudian mengorganisir data-data yang diperoleh sesuai dengan fokus pembahasan. D. Sumber Data Sumber data adalah sesuatu yang sangat penting dalam suatu penelitian. Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh. Sumber data merupakan salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan-kesalahan dalam menggunakan atau memahami sumber data, maka data yang diperoleh juga akan melesat dari yang diharapkan.
73
Untuk itu sumber data
yang peneliti gunakan antara lain: a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. 74 Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama/ primer. Dalam hal ini peneliti akan mewawancarai Hakim Pengadilan Agama Malang mengenai kriteria adil untuk saksi agar kesaksiannya dapat diterima dan dianggap sah dan putusan perkara No.597/Pdt.G/2008/PA.Mlg. b. Data sekunder, merupakan sumber data yang membantu memberikan keterangan atau data pelengkap sebagai bahan pembanding. Dalam hal ini, data sekunder diperoleh dari Praktek Perkara Perdata Pada Pangadilan Agama karangan Drs. H.A. Mukti Arto, SH, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama karangan Dr. H. Abdul Manan, Sh., S. IP., M. Hum, Hukum Acara Peradilan Islam karangan Asadulloh Al-Faruq, Fikih Sunnah karangan Sayyid Sabiq, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
73 74
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 129. Marzuki, Metodologi Rise (BPFE-UII, 1995), 55.
Pembuktian dan Putusan Pengadilan karangan M. Yahya Harahap, S.H, dan Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam karangan Abd. Rahman Umar. E. Teknik Pengumpulan Data Data artinya informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran tertentu, untuk digunakan sebagai landasan dalam menyusun argumen yang logis menjadi fakta. Sedang fakta itu sendiri adalah kenyataan yang telah diuji kebenarannya secara empirik, antara lain melalui analisis data. Metode pengumpulan data adalah bagian instrumen pengumpulan data yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian. Suatu penelitian bisa dikatakan berkualitas jika metode pengumpulan datanya valid. Ada beberapa pengumpulan data, yaitu: a. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.75 Di dalam bukunya Moh. Nazir dijelaskan, yang dimaksud wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara penanya/ pewawancara dengan penjawab/ responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).76 Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah tidak terstruktur. Dalam hal ini mula-mula interviwer menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam dalam mengorek keterangan lebih jauh.77 Jenis wawancara tidak terstruktur ini digunakan oleh peneliti agar dalam proses wawancara nantinya peneliti tidak kebingungan dengan apa yang akan
75
Lexy J. Moleong, Op. Cit., 186. Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 193. 77 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), 227. 76
dibahasnya, selain itu juga berfungsi untuk memperoleh jawaban yang lebih luas dari informasi yang diberikan oleh informan. Pada mulanya peneliti membuat pedoman wawancara. Wawancara semi terstruktur ini digunakan jika dalam proses wawancara ditemukan pertanyaan baru dari adanya statement informasi atau adanya pertanyaan yang tidak terdapat dalam pedoman wawancara. Dalam hal ini peneliti akan mewawancarai Hakim Pengadilan Agama Malang mengenai kriteria adil untuk saksi agar kesaksiannya dapat diterima dan dianggap sah. b. Dokumentasi Dokumentasi adalah mencari data yang terkait topik penelitian yang berupa cacatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, dan semacamnya. Sedangkan objeknya sebagian besar dari benda mati.78 Untuk itu, dokumentasi sangat diperlukan sebagai bukti bahwa peneliti benar-banar melakukan penelitian dan hasil dokumentasi digunakan untuk menunjang penelitian ini. Dalam proses ini peneliti menggunakan foto-foto, rekaman wawancara, dan pedoman wawancara F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Sebelum data dianalisis maka perlu dilakukan proses pengolahan data terlebih dahulu untuk memisahkan data yang relevan dan yang tidak relevan. Pengolahan data dimulai dengan editing, klasifikasi, verifikasi, analisis dan kesimpulan. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Editing, yaitu memeriksa kembali data yang diperoleh sekaligus dipelajari, dari segi kelengkapan data, penulisan data, kejelasan makna, kesesuaian serta 78
Ibid., 231.
relevansinya dengan data lain.79 Disini peneliti melihat kembali data-data yang diperoleh dari lapangan apakah sudah lengkap atau belum dan untuk mengetahui apakah masih ada data-data yang tidak dipahami. b. Classifaying, yakni mengklasifikasikan data-data yang telah diperoleh agar lebih mudah dalam melakukan pembahasan data sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.80 Dalam konteks ini peneliti mengelompokkan data menjadi dua, yaitu hasil temuan saat wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Malang dan hasil temuan yang terdapat dalam buku-buku yang sesuai dengan tujuan peneliti untuk menunjang penelitian ini. Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk memberi kemudahan dari banyaknya bahan yang didapat dari lapangan sehingga isi penelitian ini mudah dipahami oleh pembaca. Pada proses ini peneliti mengelompokkan data yang diperoleh dari wawancara tersebut berdasarkan rumusan masalah. c. Verifying, yaitu memeriksa kembali data dan informasi yang diperoleh dari lapangan, agar validitasnya bisa terjamin. Dalam hal ini peneliti menemui kembali para informan yang telah diwawancarai untuk memberikan hasil wawancara untuk diperiksa dan ditanggapi sehingga dapat diketahui kekurangan atau kesalahannya. Dari hasil wawancara setelah diedit dan diklasifikasikan kemudian oleh peneliti diketik rapi dan diserahkan kembali pada informan untuk mengetahui kesesuaian data yang diperoleh untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan atau tidak.
79
Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian (Hand Out, Fakultas Syari'ah UIN Malang, 2006),t.h. 80 Ibid., 2006
d. Analysing, agar data mentah yang diperoleh dari informan yang berbeda-beda dapat lebih dipahami, maka pada tahap ini peneliti menganalisis data-data tersebut untuk dipaparkan kembali. Sedangkan metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, yaitu analisis yang menggambarkan keadaan dan pandangan dengan kata-kata atau kalimat mengenai kriteria adil untuk saksi agar kesaksiannya dapat diterima dan dianggap sah. Dalam analisis ini awalnya peneliti menyebutkan paparan data dari hasil wawancara sesuai dengan pengklasifikasian masing-masing lalu kemudian dianalisis. e. Concluding, merupakan langkah yang terakhir, yaitu pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah untuk mendapatkan jawaban. Pada tahap ini peneliti sudah menemukan jawaban-jawaban dari hasil penelitian yang telah dilakukan yang nantinya digunakan untuk membuat kesimpulan yang kemudian menghasilkan gambaran secara ringkas, jelas dan mudah dipahami.
BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Paparan Data 1. Deskripsi Lokasi Pengadilan Agama Malang Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Malang yang terletak di Jalan Raden Panji Suroso No.1 Kelurahan Polowijen Kecamatan Blimbing Kota Malang. Secara astronomis Pengadilan Agama Malang berkedudukan antara 705‟- 802‟ LS dan 1126‟- 127‟ BT, dengan batas wilayah: Sebelah Utara
: Kecamatan Singosari dan Kecamatan Pakis
Sebelah Timur : Kecamatan Pakis dan Kecamatan tumpang Sebelah Selatan : Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji Sebelah Barat
: Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau
Pengadilan Agama Malang terletak di ketinggian 440 sampai 667 meter di atas permukaan laut. Di Kota Malang terdapat lima kecamatan yaitu: 1. Kecamatan Kedungkandang
2. Kecamatan Klojen 3. Kecamatan Blimbing 4. Kecamatan Lowokwaru 5. Kecamatan sukun Kantor Pengadilan Agama Malang di Jl. Raden Panji Suroso di bangun dengan anggaran DIPA tahun 1984 dan mulai ditempati tahun 1985 terjadi perubahan yuridiksi berdasarkan Keppres No. 25 tahun 1996 adanya pemisahan wilayah yakni dengan berdirinya Pengadilan Agama Kabupaten Malang yang mewilayahi Kabupaten Malang/Kotamadya Malang. Sebagai aset Negara Pengadilan Agama Malang menempati lahan seluas 1.448m 2 dengan luas bangunan 884 m2 yang terbagi dalam bangunan-bangunan pendukung yakni ruang sidang, ruang tunggu, ruang pendaftaran perkara dan ruang arsip. Adapun pembangunan gedung Pengadilan Agama Malang yang berlokasi di Jalan Raden Panji Suroso dimulai tahun 1984 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 25 September 1985 yang bertepatan dengan tanggal 10 Muharram 1406 H dan selama itu telah mengalami perbaikan-perbaikan. Perbaikan terakhir pada tahun 2005 berdasarkan DIPA Mahkamah Agung RI Nomor 005.0/05-01.0/-/2005 tanggal 31 Desember 2004 Revisi I Nomor : S-1441/PB/2008 tanggal 5 April 2005. Pengadilan Agama Malang mendapatkan dana rehabilitasi gedung yang digunakan untuk merehabilitasi bangunan induk menjadi 2 lantai yang dipergunakan untuk ruang ketua, ruang wakil ketua, ruang hakim, ruang panitera / sekretaris, ruang panitera pengganti, ruang pejabat kepaniteraan dan ruang kesekretariatan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 tanggal 09 Maret 1993 Pengadilan Agama ini mempunyai status sebagai Pengadilan Agama Kelas IA. 2. Landasan Kerja dan Dasar Hukum Pengadilan Agama Malang Landasan kerja Pengadilan Agama Malang diambil berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Adapun Pengadilan Agama Malang dibentuk berdasarkan Staatblaad tahun 1882 No. 152 Jo Staatblaad tahun 1937 No. 116 dan No. 610. Namun pada tahun 1931 dengan ordonansi tanggal 31 Januari 1931 dalam staatblaad No. 31 Tahun 1931, ditetapkan 4 pokok antara lain: 1.
Bentuk Pengadilan Agama sebagai Prestenraad atau Raad Agama diubah menjadi penghulu Goucht yang terdiri dari seorang Penghulu sebagai Hakim didampingi oleh 2 orang Penasehat dan panitera;
2.
Wewenang Pengadilan Agama dibatasi hanya memeriksa perkara-perkara yang berhubungan dengan perkara perceraian / fasakh, sedangkan perkara waris, gono-gini, hadhonah, diserahkan kepada Landraad;
3.
Untuk menjamin atas keadilan Hakim, dan untuk mengangkat kedudukan Pengadilan Agama, maka Hakim harus menerima gaji tetap dari Bendaharawan;
4.
Diadakan pengadilan Islam Tinggi, sebagai badan Pengadilan banding atas keputusan Pengadilan Agama.81
81
http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/profil Pengadilan Agama Malang.html, (diakses pada 23 Maret 2010).
3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Malang a. Visi Mewujudkan Peradilan Agama yang berwibawa dan bermartabat/ terhormat dalam menegakkan hukum untuk menjamin keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. b. Misi 1. Menerima perkara dengan tertib dan mengatasi segala hambatan atau rintangan sehingga tercapai pelayanan penerimaan perkara secara cepat dan tepat sebagai pelayanan prima. 2. Memeriksa perkara dengan seksama dan sewajarnya sehingga tercapai persidangan yang sederhana, cepat dan dengan biaya ringan. 3. Memutus perkara dengan tepat dan benar sehingga tercapai putusan/ penetapan yang memenuhi rasa keadilan dan dapat dilaksanakan serta memberikan kepastian hukum. Di samping Visi dan Misi tersebut di atas secara umum juga mengacu pada Visi dan Misi Mahkamah Agung RI. a. Visi Mewujudkan supremasi hukum melalui Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapat kepercayaan publik, professional dalam memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik. b. Misi 1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan serta Keadilan masyarakat.
2. Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan independen dari campur tangan pihak lain. 3. Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan. 4. Mewujudkan institusi Peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati. 5. Melaksanakn kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.82 4. Identitas Hakim (Responden) Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai dua hakim yang telah ditunjuk oleh Wakil Ketua Pengadilan Agama Malang untuk memberikan informasi kepada peneliti terhadap penulisan skripsi dengan judul ” Pendapat Hakim Terhadap Kriteria Adil Bagi Saksi Dalam Memberikan Kesaksian Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Malang (Studi Perkara No. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg)” a. Nama : Drs. Munasik., M.H TTL
: Bangkalan, 02 Juni 1968
Alamat : Jl. Simpang Grojokan IV/B-I Kel. Pandanwangi Adapun perjalanan karir beliau menjadi hakim dimulai pada tahun 1995 di NTT, yakni sebagai calon hakim, kemudian SK hakim turun pada tahun 1999. Tahun 2005 pindah ke Pengadilan Agama Bangkalan, dan pada bulan Juli tahun 2008 beliau bertugas di Pengadilan Agama Malang. b. Dra. Hj. Masnah Ali, dimana beliau mulai menjadi Ketua Majelis Hakim pada tahun 1994.
82
http://simta.uns.ac.id/cariTA.Visi dan Misi PA. Malang, (diakses pada 23 Maret 2010).
B. Deskripsi Perkara Cerai Gugat Nomor: 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg. Penelitian ini diangkat dari sebuah kasus yang pernah ditangani di Pengadilan Agama Malang, yang didaftarkan pada bulan Mei 2008 dan diputus pada bulan November 2008. Duduk perkara dari kasus ini adalah adanya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami sehingga istri mengajukan gugat cerai. Penggugat adalah seorang wanita berumur 40 tahun yang tinggal di Kota Malang dan bekerja sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan Tergugat adalah seorang laki-laki berumur 42 tahun yang juga tinggal di Kota Malang pekerjaan swasta. Berdasarkan Kutipan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama, keduanya telah menikah pada tanggal 16 Juli 1990. Setelah menikah, rumah tangga Penggugat dan Tergugat berjalan dengan baik, rukun dan harmonis. Mereka tinggal di rumah orang tua Tergugat selama kurang lebih 1 tahun kemudian pindah ke rumah kontrakan selama kurang lebih 5 tahun dan kemudian pindah ke rumah yang dibeli bersama antara Penggugat dan Tergugat selama kurang lebih 12 tahun. Mereka dikaruniai empat orang anak. Namun sejak tahun 2004, rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena masalah ekonomi dan Tergugat kurang mencukupi nafkah. Puncak dari perselisihan antara Penggugat dan Tergugat terjadi sekitar tahun 2007, Tergugat menuduh Penggugat berselingkuh bahkan Penggugat pernah dicekik dan dijambak oleh Tergugat yang mengakibatkan Penggugat dan Tergugat pisah ranjang. Selama pisah ranjang tergugat tidak pernah melakukan
komunikasi dengan Penggugat dan Tergugat sudah tidak pernah menafkahi Penggugat baik lahir maupun batin. Awalnya Penggugat masih berusaha untuk rukun dengan Tergugat, Namun pada akhirnya Penggugat menyatakan tidak rela karena kebahagiaan dan ketentraman rumah tangga tidak dapat terwujud lagi sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang perkawinan. Pada keadaan yang demikian itu, Penggugat akhirnya berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat diteruskan lagi, dan Penggugat bermaksud menggugat cerai kepada Tergugat. Kemudian
Penggugat
mengajukan
gugatan
cerai
kepada
Ketua
Pengadilan Agama Malang agar menjatuhkan talak satu ba‟in sughra yang akan diikrarkan oleh Tergugat kepada Penggugat. Serta memohon agar perceraian tersebut dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah. Selanjutnya Penggugat dan Tergugat mengikuti tahap persidangan. Pada sidang yang pertama hakim telah mengupayakan kedua belah pihak ke arah perdamaian, akan tetapi tidak berhasil. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 jo. PP Nomor 45 tahun 1990, maka Penggugat sebagai PNS yang akan melakukan perceraian dengan Tergugat harus mengikuti peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu sebelum melaksanakan sidang harus memperoleh Surat Keterangan Cerai dari atasannya selambat-lambatnya 6 bulan. Selanjutnya pada persidangan kedua tanggal 19 Juni 2008 Pergugat telah memperoleh surat tersebut, maka persidangan dapat dilanjutkan.
Pada proses selanjutnya, Majelis Hakim masih berusaha mendamaikan kedua belah pihak dengan jalan mediasi dengan seorang mediator Hakim Pengadilan Agama Malang yaitu dengan hakim yang bernama Drs. Munasik, M.H. tapi ternyata tidak berhasil. Kemudian dibacakanlah surat gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat. Pada sidang selanjutnya, Tergugat dan kuasa hukumnya memberikan jawaban secara tertulis yang pada pokoknya Tergugat menolak seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat. Selanjutnya Penggugat mengajukan alat bukti untuk menguatkan dalildalil gugatannya berupa fato copy Duplikat Akta Nikah yang dibuat Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama yang telah bermaterai cukup dan foto copy tersebut sesuai dengan aslinya (P.1), foto copy Bukti Laporan Kehilangan Barang yang dikeluarkan oleh Polresta Malang tertanggal 15 April 2008 yang telah bermaterai cukup dan sesuai dengan aslinya (P.2), foto copy Bukti Lapor Kekerasan dalam rumah tangga yang dikeluarkan oleh Polresta Kota Malang tertanggal 17 Maret 2008 yang telah bermaterai cukup dan sesuai dengan aslinya (P.3) dan satu kondom dalam bungkus merek Durek (P.4). Selain mengajukan bukti-bukti berupa dokumen, Penggugat juga mengajukan 2 saksi. Saksi pertama adalah adik Penggugat yang berumur 31 tahun, beragama Islam, bekerja sebagai penjaga makam dan tinggal di Kota Malang. Saksi ini memberikan keterangan bahwa antara Penggugat dan Tergugat awalnya hidup dengan rukun dan harmonis kemudian sering terjadi perselisihan dan pertengkaran karena Tergugat tidak memberi nafkah, Tergugat sering membohongi Penggugat, Tergugat menuduh Penggugat selingkuh dan Tergugat sering melakukan kekerasan (main tangan) menampar Penggugat. Selain itu
Penggugat dan Tergugat juga sudah pisah ranjang, tidak ada komunikasi dan tidak pernah keluar bersama selama 1 tahun. Dalam keadaan seperti itu saksi pertama sudah memberikan nasihat agar rukun kembali, namun usahanya tidak berhasil. Saksi kedua adalah tetangga sekaligus pacar dari anak Penggugat yang berusia 23 tahun, beragama Islam, bekerja sebagai montir dan tinggal di daerah Kota Malang. Atas beberapa pertanyaan yang diberikan oleh Majelis Hakim, saksi kedua memberikan keterangan yang pada intinya sama dengan keterangan yang diberikan oleh saksi pertama yaitu Penggugat dan Tergugat sering bertengkar karena Tergugat menuduh Penggugat selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Dalam keadaan seperti itu saksi kedua juga telah memberikan nasihat agar rukun kembali, namun usahanya tidak berhasil. Atas keterangan saksi-saksi tersebut, Penggugat menyatakan tidak keberatan dan menerimanya. Sedangkan Tergugat mengajukan surat berupa foto copy Surat Nikah untuk suami (T.1), foto copy Surat Nikah untuk istri (T.2) yang keduanya dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Malang yang keduanya telah bermaterai cukup dan sesuai dengan aslinya, serta mengajukan 3 orang saksi. Saksi pertama adalah tetangga Penggugat dan Tergugat, inti dari keterangan saksi pertama adalah saksi tidak pernah tau bahwa antara Penggugat dan Tergugat terjadi pertengkaran, tapi saksi pernah diajak Tergugat mencari Penggugat ke tempat Penggugat bekerja tapi tidak ada. Saksi kedua adalah tetangga Tergugat dan Penggugat berumur 28 tahun, beragama Islam, pekerjaan swasta. Saksi menerangkan bahwa saksi kenal dengan
Penggugat dan Tergugat tetapi saksi tidak mengetahui pernikahan keduanya. Saksi tahu antara Penggugat dan Tergugat kumpul bersama dan mempunyai 4 orang anak tapi sejak tahun 2007 antara Tergugat dan Penggugat terjadi perselisihan dan pertengkatan tetapi saksi tidak mengetahui permasalahannya dan saksi juga mengetahui antara Tergugat dan Penggugat tidak pernah pergi berdua. Atas keterangan saksi tersebut Penggugat dapat menerima sedangkan Tergugat tidak menanggapi. Saksi ketiga adalah adik tergugat berumur 36 tahun, beragama Islam, pekerjaan swasta dan bertempat tinggal di Kota Malang. inti keterangan saksi yang kedua sama dengan saksi pertama, yaitu saksi mengetahui antara Tergugat dan Penggugat terjadi perselisihan dan pertengkaran tapi tidak tahu permasalahannya, Tergugat curhat dengan saksi lebih dari 6 kali dan saksi pernah diajak Tergugat mencari Penggugat di salah satu rumahnya tapi tidak ketemu. Dari keterangan saksi tersebut kuasa Tergugat tidak menanggapinya sedangkan Penggugat menanggapi kalau saksi kerja di luar negeri dan Penggugat baru tahu kalau saksi pulang. Pada sidang berikutnya pada tanggal 23 Oktober 2008 dalam acara kesimpulan, Tergugat menyampaikan bukti surat tertanggal 22 Oktober yang dibuat dan ditandatangani oleh saksi kedua dari Penggugat yang menyatakan bahwa ia mencabut keterangan-keterangan yang telah diberikannya sebagai saksi. Atas pencabutan keterangan saksi dengan suratnya tersebut Penggugat keberatan karena saksi dipaksa mencabut kesaksiannya karena saksi takut pada Tergugat dan diancam, kalau keterangannya tidak dicabut urusannya jadi panjang
dan Tergugat pernah datang ke rumah saksi dan saksi mengatakan kalau Tergugat mengaduk-aduk rumah orang tua Tergugat. Selanjutnya Penggugat menyampaikan kesimpulan secara lisan tetap pada gugatannya sedangkan Tergugat menyampaikan kesimpulannya secara tertulis tanggal 23 Oktober 2008 yang selanjutnya Penggugat dan Tergugat tidak lagi menyampaikan sesuatu dan memohon agar segera dijatuhkan putusan.83 C. Analisis data 1. Pendapat Hakim Pengadilan Agama Malang mengenai sifat adil yang harus dimiliki seorang saksi yang akan memberikan keterangan di depan persidangan. Pembuktian sangat diperlukan dalam suatu persengketaan, karena pembuktian merupakan upaya dari pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa tentunya dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang. sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1865 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa orang yang merasa punya hak atau untuk meneguhkan haknya ataupun membantah suatu hak atau untuk menunjukkan sutu peristiwa, maka orang tersebut wajib membuktikannya. Pembuktian memang hanya digunakan ketika terjadi persengketaan tapi lain halnya dengan perceraian, apalagi dalam hal cerai gugat pihak istri sebagai penggugat tetap harus membuktikan dalil-dalil yang menjadi gugatannya. Dalam Hukum Islam terjadi atau tidaknya suatu perceraian berada di tangan suami dan ketika seorang suami menjatuhkan talak atau menceraikan istrinya, maka seorang 83
Putusan No.597/Pdt.G/2008/PA.Mlg (Malang, 28 November 2008).
suami tidak memerlukan adanya bukti, karena begitu suami mengucapkan kata perceraian, maka jatuhlah talak. Dalam perkara perceraian pihak penggugat wajib menyerahkan 2 alat bukti, yaitu alat bukti yang berupa salinan Akta Perkawinan yang digunakan untuk membuktikan bahwa antara para pihak memang benar-benar pernah terjadi perkawinan dan saksi untuk meneguhkan dalil-dalil gugatan penggugat atau bantahan dari pihak tergugat. Terlebih lagi perceraian karena cerai gugat dimana seorang istri yang mengajukan gugatan cerai kepada suami, maka sang istri wajib mendatangkan saksi-saksi untuk menguatkan dalil-dalil yang menjadi gugatannya apalagi ternyata gugatannya karena adanya pertengkaran, perselisihan dan ada penganiayaan. Walaupun istri mengatakan ingin bercerai dengan suaminya selama suaminya mengatakan tidak mau, maka perceraian tidak akan terjadi, itulah perbedaan laki-laki dan perempuan dalam Hukum Islam. Tapi Hukum Islam memperbolehkan istri meminta cerai kepada suami dengan cara khuluk. Dan tentunya harus disertai dengan alasan-alasan diperbolehkannya istri menggugat cerai suaminya. Seorang istri dibolehkan mengajukan gugat cerai kepada suami harus didasarkan pada alasan-alasan, sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 19 huruf (a) PP No.9 Tahun 1975 dan KHI Pasal 116 huruf (a) dimana seorang istri boleh mengajukan gugat cerai kepada suaminya jika suami melakukan penganiayaan atau kekejaman. Begitu juga dengan Pasal 19 huruf (f) PP No.9 Tahun 1975 dan KHI pasal 116 huruf (f) yang menyatakan bahwa istri boleh meminta cerai kepada suaminya jika terjadi perselisihan terus menerus. Dan
suami melalaikan kewajibannya sesuai dengan pasal 34 UU No.1 Tahun 1974 dan Pasal 117 KHI. Dalam perkara cerai gugat saksi sangat diperlukan dalam hal pembuktian. Dalam perkara cerai gugat no.597/Pdt.G/2008/PA.Mlg seorang istri mengajukan gugatan cerai kepada suaminya karena suaminya tidak pernah memberinya nafkah dan suami melakukan KDRT. Dengan alasan ini, maka istri sebagai penggugat wajib menyerahkan alat bukti berupa saksi untuk meneguhkan dalildalilnya. Saksi sangat diperlukan dalam suatu persengketaan untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi persengketaan untuk menyatakan bahwa persengketaan itu benar-benar terjadi dan memang begitu adanya. Saksi merupakan salah satu alat bukti yang dianggap sah oleh undang-undang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata. Arti saksi sebagai alat bukti sangat penting tampak dari kenyataan bahwa banyak peristiwa-peristiwa hukum yang tidak dicatat atau tidak ada alat bukti tertulis. Sehingga saksi merupakan satu-satunya alat bukti yang dapat digunakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Munasik saksi adalah: “Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut”.84 Sedangkan saksi menurut Ibu Masnah adalah: ”Saksi adalah orang yang harus memberikan keterangan di muka sidang. Dimana orang tersebut mengetahui betul kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri”.85
84 85
Munasik, wawancara (Malang, 30 Maret 2010) Masnah Ali, wawancara (Malang, 6 April 2010).
Pengertian saksi yang diberikan oleh bapak Munasik dan ibu Masnah tidak berbeda jauh hanya saja bapak Munasik memberikan keterangan bahwa orang yang bersaksi di depan persidangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Yang dimaksud dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi adalah syarat formil dan syarat materiil saksi. Tanpa terpenuhinya syarat-syarat tersebut tentu seseorang tidak bisa dijadikan saksi sebuah perkara di depan persidangan. Pembuktian dengan saksi-saksi diperbolehkan dalam segala hal, kecuali jika undang-undang menentukan lain. Pembuktian dengan saksi-saksi baru dibutuhkan jika alat bukti surat atau tulisan tidak ada atau kurang lengkap untuk mendukung dan menguatkan dalil-dalil yang menjadi dasar pendirian para pihak. Sedangkan pengertian kesaksian menurut bapak Munasik adalah: “Keterangan saksi yang diberikan di dalam sidang untuk meyakinkan Majelis Hakim bahwa peristiwa atau sengketa yang terjadi di antara para pihak betul-betul terjadi”.86 Berbeda dengan pengertian kesaksian yang dipaparkan bapak Munasik, ibu Masnah mengartikan kesaksian adalah: ”Menyaksikan kejadian/peristiwa itu bukan dari orang lain”.87 Katerangan ibu Masnah dapat diartikan bahwa orang yang menjadi saksi adalah orang yang mengetahui betul kejadian/peristiwa, dan pengetahuannya bukan dari orang lain, maka dengan menyaksikan sendiri ia bisa di dengar sebagai saksi yang memberikan keterangannya di depan sidang pengadilan. Walaupun pengertian kedua responden berbeda tapi pada intinya sama, yaitu kesaksian merupakan keterangan yang diberikan oleh saksi yang bertujuan untuk
86 87
Op. Cit., Munasik. Op. Cit., Masnah Ali
meyakinkan hakim mengenai sebuah kejadian, yang mana pengetahuannya tersebut diketahuinya sendiri bukan dari orang lain. Keterangan saksi yang dapat meyakinkan hakim apabila ia peroleh dari ia melihat, mengalami atau mendengar sendiri, sebagaimana menurut kaidah ushul fikih yang disebut dengan yakin:
هو ما كان ثا بتا با لنظر والد ليل Artinya:”Sesuatu yang tetap, dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil (bukti)”.88 Dengan penglihatan maka sudah tentu saksi mendengar dan ikut mengalami sebuah peristiwa, sehingga dengan itu ia bisa meyakinkan hakim. Dengan begitu sebuah keyakinan dapat dimunculkan ketika saksi mengatakan bahwa keterangan yang ia berikan karena ia mengalami, mendengar dan melihatnya sendiri. Kesaksian atau keterangan yang diberikan oleh saksi baru bisa dianggap sebagai alat bukti dan bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim jika saksi memberikan keterangannya di depan sidang pengadilan dan berada di bawah sumpah. Karena fungsi saksi adalah: “Untuk meneguhkan dalil-dalil gugatan Penggugat atau Pemohon atau bantahan Tergugat atau Termohon. Di Pengadilan Agama Malang alat bukti yang biasa digunakan adalah alat bukti tertulis, saksi dan pengakuan, sedangkan dalam pembuktian yang paling sering digunakan oleh para pihak adalah alat bukti tertulis dan alat bukti saksi sedangkan alat bukti pangakuan jarang dipakai”.89
88
Abdul Mudjid, Al-Qawa-„idul Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih), (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1984), 25. 89 Op. Cit., Munasik.
Selain itu fungsi saksi adalah: “Sebagai tambahan untuk menguatkan dalil penggugat. Karena jika apa yang dikatakan Penggugat dan saksi berbeda, maka dalil-dalil yang diajukan Penggugat bisa ditolak oleh Majelis Hakim”90 Walaupun saksi berfungsi untuk meneguhkan dalil-dalil gugatan penggugat ataupun meneguhkan dalil-dalil bantahan tergugat, di lapangan yang sering terjadi adalah hakim hanya memperhatikan keterangan saksi yang meneguhkan dalil-dalil penggugat sedangkan keterangan saksi mengenai dalildalil bantahan tergugat tidak diperhatikan, sehingga dalam kasus perceraian majelis hakim banyak yang mengabulkan keinginan penggugat untuk bercerai sehingga jarang ditemui penggugat dan tergugat akur kembali tidak bercerai walaupun dalam hal ini adanya mediasi sangat mempengaruhi. Harus diakui bahwa tidak dapat dihindarkan kemungkinan adanya saksi palsu yang sengaja diajukan oleh para pihak yang bersangkutan untuk memberikan kesaksian yang tidak benar di depan Majelis Hakim. Untuk itu agar dapat menjadi saksi di depan persidangan dan keterangannya dapat diterima, maka seorang saksi haruslah: “Memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana yang terdapat dalam HIR dan R.Bg. Di Pengadilan Agama Malang pasal-pasal mengenai saksi yang tercantum dalam HIR dan R.Bg sangat diperhatikan dan batas minimal saksi adalah 2 orang. Jika hanya satu saksi maka dianggap bukan saksi (unus testis nulus testis) jadi harus ditambah dengan alat bukti lain. Penilaian Hakim terhadap keterangan saksi adalah berdasarkan syarat-syarat formil dan materiil yang telah ditentukan oleh Hukum Acara Perdata (HIR dan R.Bg)”. 91 Dalam Pasal 172 HIR/ Pasal 309 R.Bg dinyatakan bahwa dalam menilai suatu kesaksian, Hakim harus memperhatikan khusus kecocokan kesaksian satu 90 91
Op. Cit., Masnah Ali. Op. Cit., Munasik.
dengan kesaksian yang lain, kecocokan antara kesaksian-kesaksian dengan apa yang di dalam sidang diketahui dari sumber-sumber lain mengenai duduknya perkara. Sebab-sebab yang mungkin membuat para saksi menerangkan tentang duduknya perkara secara begini atau begitu, cara hidup, kesusilaan dan kedudukan para saksi, dan pada umumnya segala sesuatu yang mungkin dapat mempengaruhi hal dapat atau tidak dapatnya dipercaya para saksi. Selain memenuhi syarat formil dan syarat materiil seorang saksi harus: ”Menerangkan dengan sebenarnya. Dengan sumpah saksi harus berkata yang sebenarnya, sebelum menyumpah saksi Majelis Hakim terlebih dahulu menerangkan akibat dari sumpah yang diucapkan oleh saksi. Jika saksi menyatakan kesediannya, maka saksi telah dianggap tidak berbohong oleh Majelis Hakim, sebagaimana firman Allah yang menyatakan bahwa berdosa besarlah orang yang mengatakan sesuatu tidak seperti apa yang ia lakukan”.92 Ketika Mejelis Hakim terlebih dahulu menerangkan akibat dari sumpah yang diucapkan oleh saksi yang tujuannya untuk menegaskan agar saksi menerangkan yang sebenarnya, yang nantinya dari sinilah hakim memiliki kayakinan walaupun keyakinan hakim tidak sepenuhnya tapi hanya melihat dari dzahir saksi. Memenuhi syarat formil dan materiil bagi saksi merupakan ketetapan yang diberlakukan oleh Undang-undang Hukum Acara Perdata secara umum, tapi dalam Hukum Acara Peradilan Islam syarat untuk menjadi saksi adalah memiliki sifat adil, sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyid bahwa kaum muslimin sepakat agar seorang saksi memiliki sifat adil, sehingga keterangannya dapat diterima dan dianggap sah. 92
Op. Cit., Masnah Ali.
Mengenai sifat adil yang harus dimiliki seorang saksi bapak Munasik berpendapat: ”Dalam Hukum Islam seorang saksi memang harus memiliki sifat adil, tapi sejak Undang-undang No.7 Tahun 1989 diberlakukan Pengadilan Agama telah sejajar dan sama dengan Pengadilan-pengadilan yang lain. Konsekuensinya menurut Pasal 54 Undang-undang No.7 Tahun 1989 Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama sama dengan Hukum Acara yang berlaku di Peradilan umum, yaitu HIR dan R.Bg termasuk mengenai alat bukti saksi. Menurut Prof. Bustanul Arifin hukum acara yang ada di HIR dan R.Bg tidak bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu dengan diundangkannya Undang-undang No.7 Tahun 1989 Pengadilan Agama diperbolehkan memakai HIR dan R.Bg sebagai Hukum Acaranya. Sedangkan keadilan saksi dilihat apakah saksi telah memenuhi syarat formil dan syarat meteriil atau belum dan di antara syarat-syarat tersebut saksi harus disumpah. Dengan disumpahnya saksi, maka segala keterangan yang diberikan saksi dianggap sebagai kejujuran karena Hakim haruslah selalu khusnudzan (yang dilihat zhahirnya). Dalam perkara perdata yang diperiksa hanyalah formal-formalnya saja”.93 Menurut ibu Masnah orang dikatakan memiliki sifat adil ketika: ”Orang tersebut menerangkan yang sebenarnya apa yang ia ketahui. Dan keadilan dapat dilihat ketika seorang saksi memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan ia ketahui”94 Manusia dituntut adil tidak saja dalam interaksinya dengan Tuhan, tapi juga dengan sesama manusia dan dirinya sendiri. Keadilan tidak mengenal pembatas kekeluargaan, pertemanan dan bahkan permusuhan. Keadilan harus ditegakkan, walau itu menyentuh kepentingan diri sendiri, keluarga, teman kita sendiri. Bahkan menurut al-Qur‟an walau demi memberikan hak kepada siapa yang kita anggap musuh. Dengan kata lain “like and dislike” tidak boleh menjadi ukuran dalam penegakan keadilan. Sifat adil bagi saksi tidak hanya diperlukan pada saksi yang akan menjadi saksi dalam akad nikah saja tapi sifat adil juga diperlukan bagi saksi yang akan
93 94
Op. Cit., Munasik. Op. Cit., Masnah Ali.
memberikan kesaksian di depan persidangan. Sebagaimana yang diungkapkan dalam bukunya Asadulloh Al-Faruk sifat keadilan yang dimiliki saksi sangat penentukan dalam penilaian hakim. Dengan
memiliki
keadilan
seorang
saksi
akan
bisa
lebih
bertanggungjawab dengan keterangan yang diberikannya di depan persidangan, sebagaimana makna adil yang secara bahasa memiliki arti istiqamah dan keadilan menurut syara‟ yaitu kelurusan dalam perkataan dan kelurusan dalam perbuatannya. Artinya semua perkataannya sesuai dengan perbuatannya tidak ditambah-tambahi dan tidak dikurangi. Sebagaimana
dalam
hadits
yang
diriwayatkan
dari
Ibnu
Wadhah
menyebutkan bahwa dari Abu Maryam, dari Amru bin Salmah, dari Zahir bin Muhammad, dari Abu Juraij, dari Amru bin Syu‟aib, dari ayahnya, Nabi SAW bersabda: ”Bila seorang perempuan menggugat cerai kepada suaminya, dan atas gugatannya dia mengajukan saksi satu orang laki-laki yang adil maka suami diperintahkan bersumpah; jika dia bersumpah maka sebab sumpahnya itu keterangan saksi satu orang laki-laki dinilai batal. Dan jika dia menolak bersumpah maka penolakannya itu menempati kedudukan saksi seorang lagi, dan oleh sebab itu boleh menceraikannya”.95 Dari hadis tersebut jelas disebutkan bahwa seorang istri yang menggugat cerai suaminya tetap harus mengajukan saksi dan saksi tersebut salah satu syaratnya adalah memiliki sifat adil. Keadilan memang perlu dalam setiap aspek kehidupan manusia terutama dalam penegakan hukum, jika keadilan tidak ada maka penegakan suatu hukum juga akan susah. Sebagaimana manusia apalagi hakim tidak punya batasan atau
95
Asadulloh Al-Faruq, Op. Cit., 49.
standar yang seharusnya dijadikan sebagai ukuran mengenai sifat adil seseorang, yang dalam hal seorang saksi. Walaupun dalam syara‟ dijelaskan bahwa orang yang adil adalah orang yang perkataan dan perbuatannya sama, tapi untuk saksi apakah itu berlaku. Seorang hakim tentu tidak tahu apakah saksi-saksi yang diajukan ke depan persidangan adalah seorang yang perkataan dan perbuatannya sama, karena hakim tentu tidak berinteraksi dengan saksi-saksi tersebut bahkan seringkali yang terjadi di lapangan saksi tidak mengetahui dan tidak kenal dengan saksi-saksi tersebut. Dan bahkan dalam peraturan Pengadilan sendiri hakim dilarang untuk berinteraksi dengan para pihak yang bersengketa ataupun dengan saksi. Maka tindakan hakim yang hanya menggunakan undang-undang hukum acara perdata sebagai standar diterimanya keterangan saksi adalah benar. Dari hasil wawancara dengan para hakim dapat diketahui sistem pembuktian yang dianut adalah sistem pembuktian positif. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hakim dalam pengambilan keputusan yang hanya didasarkan pada kebenaran formil, sesuai dengan apa yang diakui oleh para pihak dan para saksi sebagai alat bukti. Kesesuain keterangan yang diberikan para pihak dan saksi-saksi yang diajukan cukup untuk hakim dalam pertimbangan pengambilan keputusan. Karena hakim tidak bisa menentukan sifat adil dari saksi, maka hakim cukup berpedoman pada undang-undang saja untuk menentukan bahwa saksi tersebut layak dan pantas untuk didengar keterangannya di depan persidangan. Sesuai dengan pengamatan, Pengadilan memakai sistem pembuktian positif yang mana di sana hakim laksana robot, hakim tidak boleh menggunakan
nuraninya dalam pengambilan keputusan, tapi hakim cukup menilainya dari apa yang diakui oleh para pihak dan singkronisasi antara para pihak dan saksi-saksi atau alat bukti lain yang sah. 2. Kriteria yang harus dimiliki seorang saksi agar dapat dikatakan memiliki sifat adil sehingga keterangannya di depan persidangan dapat diterima dan sah. Adil merupakan salah satu syarat bagi saksi yang disepakati oleh semua umat Islam. Sifat adil bagi saksi tidak hanya harus dimiliki saksi dalam akad nikah saja, tetapi sifat adil juga harus dimiliki oleh saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan, karena sifat adil saksi tentu akan sangat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh hakim. Walaupun sifat adil bagi saksi disepakati oleh semua umat Islam tapi umat Islam berbeda pendapat mengenai kriteria yang harus dimiliki seorang saksi agar dapat dikatakan memiliki sifat adil itu sendiri. Dari berbagai pendapat yang diungkapkan oleh para ulama dapat disimpulkan bahwa seorang saksi dapat dikatakan memiliki sifat adil ketika: f. Saksi yang selalu mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah g. Saksi mampu mengekang hawa nafsu untuk berbuat yang tidak dibenarkan oleh syara‟ h. Saksi selalu taat menjalankan Syari‟at Islam i. Saksi yang tidak selalu mengerjakan perbuatan yang mengakibatkan dosa kecil dan tidak melakukan dosa besar j. Saksi yang mempunyai muru‟ah (wibawa kesopanan) di dalam masyarakat.
Para ulama boleh saja menetapkan kriteria seseorang sehingga bisa dikatakan adil, tapi di Pengadilan Agama Malang hakim tidak menggunakan semua kriteria dari ulama ini sebagai pedoman dalam menentukan apakah adil bisa dikatakan memiliki sifat adil ataukah tidak. Sebagaimana pendapat Bapak Munasik yang mengatakan bahwa: ”Sekarang Islam tidak hanya berinteraksi dengan orang-orang Islam saja tapi juga berinteraksi dengan orang-orang non Islam, sehingga untuk mencari kriteria-kriteria seperti yang diungkapkan oleh para Ulama tentu tidak mungkin. Bisa saja ketika terjadi suatu perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat yang beragama Islam ternyata disaksikan dan diketahui oleh orang non Muslim, sehingga ketika orang tersebut dihadirkan di depan persidangan sudah jelas ia tidak memenuhi semua kriteria-kriteria tersebut96, sebagaimana kaidah ushul fikih yang mengatakan bahwa: الحكم يدور مع علته وجودا وعدما ”Hukum itu tergantung pada ‟illatnya, baik tetapnya maupun hilangnya ‟illat”.97 Hukum Islam adalah hukum yang elastis, hukum Islam selalu mengikuti perkembangan zaman. Hukum Islam di Indonesia tidak bisa diterapkan seperti pada bangsa Arab zaman dahulu ketika Nabi masih ada. Jika seumpamanya hukum Islam tidak mengikuti perkembangan zaman dan harus dianut dengan fanatik seperti dahulu bisa jadi hukum Islam akan dilupakan. Sekalipun itu di Pengadilan Agama sendiri yang notabenenya berbasis Islam dan salah satu hukum materiilnya menggunakan al-Qur‟an dan Hadits. Jika Pengadilan Agama tetap mempertahankan apa yang tersurat dalam al-Qur‟an maupun Hadits tanpa ditelaah dengan dengan baik maksudnya apa dan diperkirakan bisa diterapkan
96
Op. Cit., Munasik. Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam (Cet. 3; Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), 52. 97
atau tidak pada zaman sekarang ini tentu tidak akan ada orang yang mau berperkara ke Pengadilan Agama. Pendapat yang disampaikan oleh ibu Masnah tidak berbeda jauh dengan apa yang dikatakan oleh bapak Munasik, yaitu: ”Kriteria yang dipaparkan oleh para Ulama terdahulu adalah kewajiban dari setiap individu dan saksi adalah sebagian dari individu-individu itu, tapi saksi adalah orang yang harus hadir ke persidangan untuk memberikan keterangannya. Sedangkan untuk penerapan kriteria dari para ulama tersebut tentu sangat sulit karena bisa saja yang jadi saksi adalah orang-orang non muslim.”98 Pada zaman sekarang ini jika hakim berpegang pada kriteria adil yang ditetapkan oleh Ulama agar seorang saksi bisa dikatakan mempunyai sifat adil dan keterangannya bisa diterima dan dikatakan sah, yakni selalu melakukan halhal yang diwajibkan dan menjauhi segala yang haram dan makruh, menjauhi segala dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil, menjaga harga dirinya, baik hati dan lain sebagainya tentu hakim akan merasakan kesulitan dan banyak kendala. Kesulitan dan kendala yang dihadapi seperti misalnya ketika dalam persidangan dan para pihak menghadirkan saksi-saksi tentu tidak mungkin Majelis Hakim menanyakan apakah dia memiliki kriteria-kriteria yang dipaparkan Ulama atau tidak sebelum saksi tersebut memberikan keterangan. Selain itu Majelis Hakim juga tidak mungkin menyuruh para pihak yang berperkara mendatangkan saksi-saksi yang memiliki sifat adil dengan kriteriakriteria yang dijelaskan oleh para Ulama, karena itu akan menpersulit para pihak yang berperkara.
98
Op. Cit., Masnah Ali.
Dalam praktek biasanya pihak yang berperkara ketika mendatangkan saksi tidak melihat apakah saksi-saksi tersebut memiliki sifat adil dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan atau tidak, mereka hanya melihat bahwa saksisaksi itu berhak menjadi saksi karena saksi-saksi itu mengetahui, melihat dan mendengar sebab-sebab permasalahan di antara para pihak dan ia bersedia bersaksi di depan pengadilan. Kendala lain, kriteria adil seperti yang diungkapkan para ahli fikih, yakni melaksanakan shalat 5 waktu dan shalat jum‟at dengan segala sunnah rawatibnya dan witir. Zaman sekarang banyak orang yang malas mengerjakan shalat 5 waktu apalagi shalat sunnah rawatib dan shalat witir. Walaupun di antara saksi-saksi yang dibawa ke persidangan ada yang mengerjakannya Majelis Hakim pun belum tentu mengetahuinya dan itu tidak mungkin ditanyakan oleh Majelis Hakim, kalaupun ditanyakan ada kemungkinan saksi-saksi yang bersangkutan tidak mengakuinya. Karena berbagai kendala dan kesulitan yang dihadapi saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan tidak harus memiliki sifat adil dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan Ulama. Karena itu: ”Pengadilan Agama Malang menggunakan HIR dan R.bg. Seorang saksi dianggap telah memiliki kriteria adil jika saksi telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil dan salah satunya mau disumpah. Ketika saksi mau disumpah, maka hakim menganggap ia akan mengatakan hal yang sejujurnya, dan jujur merupakan salah satu kriteria adil”.99 Begitu juga dengan pendapat ibu Masnah: ”Dalam praktek di Pengadilan Agama Malang hanya satu kriteria orang dikatakan memiliki sifat adil, yaitu kejujuran, dimana kejujuran dari seorang
99
Op. Cit., Munasik.
saksi itu dilihat dari zhahirnya, yaitu dengan disumpah dimana sebelumnya Majelis Hakim sudah menjelaskan implikasi dari sumpah tersebut”.100 Mengenai kriteria seorang saksi dapat dianggap memiliki sifat adil setiap orang memiliki kriteria masing-masing begitu juga dengan para Hakim. Karena kriteria-kriteria yang diungkapkan oleh para Ulama sangat sulit untuk diterapkan pada zaman sekarang ini maka hakim cukuplah hanya melihat dari kejujuran saksi saja yang dibuktikan dengan ia mau disumpah. Orang yang mempunyai sifat adil bukanlah orang yang dapat menjalankan ajaran Islam dengan bersih tanpa dicampuri oleh kemaksiatan sedikitpun, sebab jika inilah yang dimaksud dengan adil, pasti sukar sekali mendapatkannya, padahal banyak terjadi persoalan yang membutuhkan adanya saksi. Menurut hakim Pengadilan Agama Malang kejujuran adalah salah satu sifat adil dan hal ini sesuai dengan kesepakatan para ahli fikih yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah. Pada zaman sekarang hanya kejujuran yang bisa diterapkan dalam menilai keadilan seseorang. Walaupun dalam praktek di pengadilan kejujuran seseorang hanya bisa dilihat hakim dari dzahir saja, sedangkan hakim tidak mengetahui batinnya, karena sesuatu yang bersifat batin hanya Allah yang mengetahuinya sedangkan manusia tidak mengetahuinya, jadi mengenai persoalan batin hanya Allah yang berhak untuk memberinya sanksi bukan hakim yang hanya sebagai manusia. Kejujuran saksi bisa dilihat hakim ketika ia berani duduk di kursi saksi di depan persidangan dan ia menyatakan kesediannya untuk disumpah. Hal ini
100
Op. Cit., Masnah Ali.
terlepas dari apakah saksi tersebut benar-benar memahami implikasi dari sumpah tersebut yang menggunakan nama Allah ataukah tidak. Sebagai seorang manusia tentu hakim tidak memiliki kemampuan untuk melihat hati dan pikiran seorang manusia untuk menentukan apakah ia berkata jujur dan sesuai dengan apa yang ia alami, dengar dan ia lihat ataukah malah sebaliknya ia malah berbohong. Jika kita pahami syarat-syarat saksi yang ditentukan oleh Undang-Undang Hukum Acara Perdata, yaitu HIR dan R.Bg yang juga diterapkan dalam Peradilan Agama, tentu kita akan sadari dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, maka seorang saksi bisa dikatakan memiliki sifat adil dan layak untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Karena hanya syaratsyarat yang ditetapkan HIR dan R.Bg yang bisa diterapkan sekarang ini, sedangkan syarat-syarat dari Ulama jika diterapkan banyak banyak mengalami kendala. Dalam Undang-undang Hukum Acara perdata tidak ditentukan kriteria adil bagi saksi, hanya syarat formil dan syarat materiilnya saja. Syarat formil dan syarat materiil yang ditetapkan oleh undang-undang tentu memiliki tujuan. Salah satu tujuan seperti saksi harus mengucapkan sumpah adalah untuk mencari kebenaran dari keterangan saksi dan dengan sumpah saksi diharapkan akan berkata yang sejujurnya. Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Bustanul Arifin HIR dan R.Bg tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Seperti misalnya salah satu syarat formil saksi menurut undang-undang adalah mengangkat sumpah menurut agamanya masing-masing. Dengan mengucapkan sumpah apalagi dibarengi dengan nama Tuhan setidaknya bagi saksi yang mengerti tentang implikasi sumpah yang
menyebut nama Tuhan tentu sedikit banyaknya ia akan berpikir untuk berkata jujur dan tidak membohongi hakim karena ia mempertimbangkan akibat dari sumpah itu sendiri. Selain itu saksi juga harus berumur 15 tahun, dimana pada umur tersebut seseorang sudah dikatakan dewasa dan mengerti mana yang baik dan yang buruk. Sama halnya dalam Hukum Islam seseorang yang belum baligh kesaksiannya tidak akan diterima, karena ia dianggap belum mengerti apa sebenarnya tujuan ia memberikan kesaksian dan ia tidak mengerti makna sumpah yang diucapkan sebelum ia memberikan keterangan. Dan akhirnya kejujuran yang diharapkan untuk membuktikan perkara yang disengketakan dan yang akan menjadi bahan pertimbangan hakim tidak dapat terwujud. Tidak dapat kita pungkiri kadang-kadang anak kecil lebih bisa diandalkan untuk bisa berkata jujur dari pada orang dewasa. Orang dewasa seringkali meremehkan makna sumpah walaupun mengerti implikasi dari sumpah yang menggunakan nama Tuhan sebagaimana sumpah yang diucapkan di depan persidangan. Jika saja keterangan anak kecil dapat dijadikan sebagai alat bukti tentu sedikit banyak keadilan yang diharapkan akan terwujud. Dengan sedikit nasihat mengenai makna sumpah dan sanksi yang ia terima ketika sumpah tersebut dilanggar anak kecil yang sebelumnya ingin berbohong tentu akan berpikir ulang untuk mengatakan kebohongan dan bisa jadi ia akan mengatakan yang sebenar-benarnya. Salah satu syaratnya lagi adalah memberikan keterangan di depan persidangan. Orang yang mengatakan suatu kebenaran di luar persidangan mengenai peristiwa seperti misalnya perkara cerai gugat tentu tidak akan
berpengaruh apa-apa. Lain ketika ia mengatakannya di depan persidangan ketika ia mengatakannya di depan persidangan dan ia mau disumpah, maka itu bisa digunakan oleh majelis hakim sebagai bahan pertimbangan, sehingga bisa jadi gugatan dari istri sebagai penggugat yang ia bela akan dikabulkan oleh Majelis Hakim. Syarat lain adalah keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain harus saling bersesuaian, jika tidak maka hakim tidak boleh menggunakannya sebagai bahan pertimbangan karena walaupun menghadirkan dua saksi tapi yang membenarkan hanya satu saksi sedangkan yang satu tidak maka tetap dianggap unus testis nulus testis. Pada masyarakat Indonesia terutama orang-orang yang berasal dari desa hakim adalah orang yang sangat dihormati atau bahkan ditakuti sehingga ketika mereka disuruh memberikan kesaksian di depan persidangan mereka cenderung tidak akan berbohong dan mengatakan semua peristiwa yang ia alami, dengar dan ia lihat dengan jujur, bahkan orang desa biasanya sangat takut akan implikasi dari sumpah apalagi sumpah yang menggunakan nama Tuhan. 3. Alasan Hakim menolak pencabutan keterangan saksi dalam perkara gugat cerai no. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg. Saksi merupakan alat bukti dalam perkara perdata walaupun bukan merupakan alat bukti pertama. Saksi diperlukan ketika terjadi perselisihan di antara para pihak yang berperkara. Apalagi dalam perkara cerai gugat, dimana seorang istri mengajukan gugatan cerai karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus dan tidak ada alasan untuk rukun lagi. Dalam hal ini
kehadiran saksi sangat penting untuk membuktikan adanya perselisihan dan pertengkaran tersebut. Saksi yang dipanggil ke depan sidang Pengadilan harus memenuhi persyaratan sehingga ia bisa memberikan keterangannya di depan sidang Pengadilan. Saksi yang dipanggil ke depan persidangan boleh mencabut keterangannya setelah ia memberikan kesaksian atas suatu perkara dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai alasan yang mendasar dan logis. Sepintas terkesan bahwa syarat pencabutan tersebut mudah dipahami dan mudah untuk dilakukan sehingga penerapannya akan lancar tanpa permasalahan. Akan tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian karena ternyata dalam praktek di persidangan pencabutan keterangan oleh saksi banyak menimbulkan permasalahan, terutama mengenai penilaian hakim terhadap alasan pencabutan keterangan dimana dalam praktek di persidangan hakim tidaklah mudah menerima alasan pencabutan keterangan saksi. Dalam praktek di Pengadilan Agama Malang pencabutan keterangan saksi ada yang membolehkan dan ada yang tidak tergantung pendirian Majelis Hakim, sebagaimana yang dikatakan bapak Munasik: ”Tidak ada pasal yang menentukan secara pasti. Ada 2 pendapat mengenai pencabutan keterangan saksi: 1. Keterangan yang diberikan di depan sidang pengadilan dan telah dicacat dalam BAP tidak boleh dicabut, karena BAP merupakan Akta Otentik 2. Pembuktian merupakan hak Penggugat dan Tergugat karena itu pencabutan keterangan saksi diperbolehkan, terserah Penggugat dan Tergugat (para pihak) yang dibebani pembuktian.”101
101
Op. Cit., Munasik.
BAP sebagai Akta Otentik sebuah perkara tentu mempunyai kekuatan pembuktian formil, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada pejabat yang membuatnya. 102 Oleh karena itu, segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam Akta Otentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan yang terdapat di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya yang dalam hal ini adalah Majelis Hakim dan Penitera persidangan, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan oleh pejabat yang membuat akta, yaitu tanggal yang tertera di dalamnya. Tanggal tersebut pastinya sesuai dengan kapan BAP itu dibuat, sehingga sewaktu-waktu bila diperlukan BAP itu bisa digunakan untuk alat bukti. Mungkin alasan ini yang mendasari Majelis Hakim yang berpendapat bahwa keterangan yang telah dicatat dalam BAP tidak bisa dicabut. Dan mengenai pendapat yang kedua yang membolehkan keterangan saksi boleh tercabut karena itu tergantung pada para pihak, jika kita menilainya dari kasus cerai gugat no.597/Pdt.G/2008/PA.Mlg hal ini tentu wajar ketika hakim berpendapat seperti itu. Pada perkara ini penggugat mengajukan 2 saksi sedangkan tergugat mengajukan 3 saksi walaupun yang satu tidak meneguhkan dalil-dalil bentahan dari tergugat tapi 2 saksi yang lain menguatkannya, sehingga ketika saksi dari penggugat mencabut keterangannya tentu tidak akan 102
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Cet. 39; Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008), 475.
berpengaruh terhadap keputusan hakim karena batas minimal saksi adalah 2 orang kecuali dalam kasus perzinahan. Satu saksi bukanlah saksi (unus testis nulus testis), sebagainya yang diterangkan dalam Pasal 169 HIR, Pasal 306 R.Bg dan Pasal 1905 KUH Perdata dan satu saksi tanpa alat bukti lain tidak boleh digunakan hakim sebagai pertimbangan dalam pengambilan hukum. Sebagai salah satu anggota Majelis Hakim menurut pendapat pribadi ibu Masnah menyatakan: ”Seorang saksi boleh mencabut keterangannya, itu terserah pada para pihak” 103 Seperti kata responden para pihak boleh mencabut keterangannya karena itu hak para pihak yang berperkara, jika dipahami tentu itu benar dan memang seharusnya begitu. Hakim tidak bisa menentukan boleh tidaknya seorang saksi mencabut keterangannya, dimana nantinya itu untuk kepentingan para pihak bukan kepentingan hakim. Sebagai orang yang mempunyai kepentingan para pihak boleh melakukan apa saja termasuk mencabut keterangan saksi-saksi yang diajukannya dan hakim tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan mereka hakim hanya berkepentingan untuk memberikan keputusan. Praktek di Pengadilan Agama walaupun ada pendapat saksi bisa mencabut keterangannya tapi Majelis Hakimlah yang menentukan pencabutan keterangannya dikabulkan atau ditolak. Seperti dalam kasus perkara cerai gugat no. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg, Majelis Hakim menolak surat pernyataan pencabutan keterangan saksi dari pihak Penggugat yang diajukan oleh pihak Tergugat. Menurut Bapak Munasik:
103
Op. Cit., Masnah Ali.
”Dalam perkara cerai gugat no. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg Majelis Hakim mengikuti pendapat yang pertama yang tidak membolehkan pencabutan keterangan karena telah diberikan di depan persidangan dan telah dituangkan dalam BAP sehingga Majelis Hakim menolak pencabutan keterangan saksi dan gugatan Penggugat dikabulkan karena saksi yang mencabut keterangannya meneguhkan dalil-dalil dari Penggugat”.104 Walaupun Ibu Masnah merupakan salah satu anggota Majelis Hakim, dimana secara pribadi Ibu Masnah membolehkan pencabutan keterangan saksi karena merupakan hak para pihak, tapi ibu Masnah tidak bisa hanya menggunakan pendapat pribadi saja, karena dalam menangani perkara cerai gugat no. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg Majelis Hakim terdiri dari tiga hakim, sehingga dalam mengambil keputusan harus dengan kesepakatan tiga hakim tersebut. Dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim karena tidak ada pasal-pasal yang menentukan secara pasti adalah ijtihad, sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Munasik: ”Dasar yang digunakan untuk pertimbangan dan mengambil putusan pencabutan keterangan saksi secara pasti tidak ada, tapi dalam hal ini Majelis Hakim berijtihad sendiri”.105 Pendapat bapak Munasik tidak berbeda jauh dengan pendapat ibu Masnah: ”Majelis Hakim menggunakan ijtihad, karena tidak ada pasal-pasal yang secara pasti mengatur tentang pencabutan keterangan saksi” 106 Selain itu, alasan hakim menolak surat pernyataan pencabutan keterangan saksi tersebut karena Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa saksi telah memenuhi syarat formil sebagai saksi, memberikan keterangan dipersidangan secara sukarela, telah disumpah serta keterangan saksi telah termuat dalam Berita
104
Op. Cit., Munasik. Op. Cit., Munasik. 106 Op. Cit., Masnah Ali. 105
Acara Persidangan yang merupakan akta autentik, sebagaimana yang tertuang dalam putusan. Menurut keterangan Penggugat saksi mencabut keterangannya karena takut dan diancam oleh Tergugat. Alasan Tergugat melakukan hal tersebut agar urusannya tidak menjadi panjang karena Tergugat tidak ingin bercerai dengan Penggugat, Tergugat masih sangat mencintai Penggugat dan tetap ingin mempertahankan rumah tangganya.
Dalam hal pemaksaan dan ancaman
terhadap saksi, maka pihak yang melakukannya bisa dikenai sanksi karena sekarang sudah ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi, yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Walaupun undang-undang secara umum berlaku untuk saksi terhadap kasus pidana, tapi bisa juga diterapkan untuk saksi dalam kasus perdata. Sekarang zaman sudah berkembang saksi tidak hanya mendapat ancaman dan paksaan ketika dalam kasus pidana saja tapi juga saksi dalam perkara perdata kerap mengalaminya seperti dalam kasus di atas saksi dalam masalah cerai gugat mencabut keterangannya karena alasan takut dan diancam oleh Tergugat, maka sudah sepantasnya ia mendapat perlindungan hukum agar nantinya tidak terjadi hal yang sama dikemudian hari. Kasus pencabutan keterangan saksi seperti kasus di atas menurut kedua responden selama bertugas di Pengadilan Agama Malang adalah yang pertama, sebagaimana keterangan bapak Munasik:
”Kasus pencabutan keterangan saksi selama saya bertugas disini belum pernah terjadi, kecuali kasus ini”.107 Dan juga menurut ibu Masnah: ”Selama saya bertugas disini selain kasus ini belum pernah ada, malah kasus yang pernah terjadi adalah pencabutan kuasa”.108 Dalam menolak pencabutan keterangan saksi dalam kasus di atas Majelis Hakim hanya mempertimbangkan bahwa saksi telah memenuhi syarat formil dan saksi mau disumpah sehingga layak didengar keterangannya di depan persidangan. Sehingga dari hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Malang dapat disimpulkan hanya satu yang digunakan hakim sebagai tolak ukur dalam menentukan sifat adil bagi saksi, yaitu kejujuran yang dibuktikan dengan saksi mau disumpah yang merupakan salah satu syarat formil yang ditetapkan oleh HIR dan R.Bg.
107 108
Op. Cit., Munasik. Op. Cit., Masnah Ali.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan paparan yang telah di sampaikan pada bab sebelumnya, maka dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Dalam gugat cerai penggugat harus mendatangkan saksi ke depan persidangan. Dan salah satu syarat saksi adalah adil sebagaimana ketentuan dalam Hukum Islam. Pendapat Hakim mengenai sifat adil yang harus dimiliki oleh saksi untuk dapat memberikan kesaksiannya di depan sidang pengadilan sebagaimana dalam Hukum Islam agar kesaksiannya dapat diterima dan dikatakan sah berpedoman pada Undang-undang No.7 Tahun 1989, dimana dalam Pasal 54 menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan umum, yaitu HIR dan R.Bg. Dalam HIR dan R.Bg dijelaskan untuk dapat menjadi saksi haruslah memenuhi syarat formil dan syarat meteriil saksi. Dengan diberlakukan Undang-undang N0.7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka Pengadilan Agama diperbolehkan memakai HIR dan R.Bg sebagai
hukum acaranya. Jika saksi telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil seperti dalam undang-undang, maka saksi telah dianggap adil. 2. Mengenai kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang saksi agar dapat dikatakan memiliki sifat adil, Hakim tidak melihatnya dari kriteria-kriteria yang diungkapkan oleh Ulama yang secara garis besar harus menjauhi dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil, selalu melakukan shalat 5 waktu dan sunnah rawatibnya, tidak meninggalkan shalat witir, menjauhi halhal yang dapat membuatnya jelek, selalu melakukan hal-hal yang dapat membuat dirinya dikatakan baik dan lain sebagainya, hanya cukup dari terpenuhinya syarat formil dan syarat materiil yang salah satunya saksi mau disumpah. Karena ketika saksi mau disumpah, maka Majelis Hakim menganggap saksi mengatakan saksi telah menerangkan yang sejujurnya. Seorang Hakim harus selalu khusnudzan dan Hakim hanya melihat dari zhahir saksi saja, ketika saksi ditanya oleh Majelis Hakim apakah ia melihat, mendengar atau melihat sendiri sebuah kejadian dan ia tidak bohong dan saksi membenarkannya, maka itu sudah cukup untuk hakim. Kejujuran termasuk kriteria adil. 3. Alasan hakim Pengadilan Agama Malang menolak pencabutan keterangan saksi pada perkara cerai gugat no. 597/Pdt.G/2008/PA.Mlg karena saksi dianggap telah memenuhi syarat formil sebagai saksi, memberikan keterangannya di depan sidang dengan sukarela dan keterangannya telah dicatat dalam BAP yang merupakan Akta Autentik dari perkara tersebut. Oleh karena itu, karena keterangan saksi telah dicatat dalam BAP, maka saksi tidak bisa mencabut keterangannya. Majelis Hakim tidak menggunakan
Undang-undang sebagai dasar hukum dalam menolak pencabutan keterangan saksi tapi menggunakan ijtihad sendiri karena tidak ada pasal-pasal yang menentukan secara pasti. Keadilan saksi dilihat dari kejujurannya karena saksi mau disumpah. B. Saran 1. Para hakim dapat memberikan pengertian tentang pentingnya peranan seorang saksi dalam persidangan terlebih lagi kasus perceraian yang disebabkan karena adanya perselisihan dan pertengkaran. 2. Bagi saksi, dapat diberikan pengertian mengenai makna sumpah sehingga saksi tidak main-main dalam memberikan keterangan. 3. Para hakim dapat bekerja dengan aparatur Negara yang lain dalam perlindungan terhadap saksi meskipun dalam perkara perdata agar saksi merasa aman dalam memberikan keterangannya dalam persidangan.
DAFTAR PUSTAKA ------------Al-Qur‟an Dan Terjemah (2004) Al-Jumanatul „Ali: Bandung. Abidin, Slamet dan Amiruddin (1999) Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia. Al-Faruq, Asadulloh (2009) Hukum Acara Peradilan Islam. Jakarta: PT. Buku Kita. Arto, Mukti (2005) Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Cet ke -6, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arikunto, Suhrsimi (1998) Prosedur Penelitian. Jakarta: Bulan Bintang. Bungin, Burhan (2001) Metodologi Penelitian Sosial.
Surabaya: Airlangga
University Press. Bin Fauzan, Al-Fauzan (2005) Shalih Ringkasan Fikuh Lengkap. Jilid I-II, Penerjemah Drs. Asmuni, Jakarta: PT Darul Falah. Endarmoko, Eko (2007) Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ----------Fakultas Syaria‟ah Universitas Islam Negeri Malang (2005) Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cet. I, Malang: Fakultas Syari‟ah. Harahap, Yahya (2008) Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Cet ke-8, Jakarta: Sinar Grafika. J. Meleong, Lexy 2008 Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Cet ke-25, Bandung: PT Rosda Karya. Jabir al Jazairy, Abu Bakar, Minhajul Muslim. Kairo: Maktabah Al-Mashad Husainiyah. Marzuki (1995) Metodologi Riset. BPFE-UII.
Manan, Abdul (2006) Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta. Kencana. Mertokusumo, Sudikno (1993) Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Mulyana, Deddy (2001) Metode Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Mudjid, Abdul (1984) Al-Qawa-„idul Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih). Yogyakarta: Nur Cahaya. Nazir (2003) Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Purwadarminta (1994) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. R. Subekti, R. Tjitrosudibio (2008) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cet ke 38, Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Rasyid, Chatib dan Syaifuddin (2009) Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press. Rasyid, Sulaiman (2000) Fikih Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo. Rusyid, Ibnu (2007) Bidayatul Mujtahid. Jilid 2, Penerjemah Abu Usamah, Jakarta: Pustaka Azzam. Rahman, Asjmuni (2005) Metode Penetapan Hukum Islam. Cet ke-3, Jakarta: PT Bulan Bintang. Rasyid, Raihan (2001) Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. VIII, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sabiq, Sayyid (1989) Fikih Sunnah. Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma‟arif. --------------- (1990) Fikih Sunnah. Jilid 9, cet ke-9, Bandung: Al-Ma‟arif. Subekti dan Tjitrosoedibio (1980) Kamus Hukum. Cet ke 5, Jakarta: PT Pradnya Paramita
Subekti 1983 Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita. Soepomo (1978) Hukum Acara Peradilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita. Sasangka, Hari (2005) Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung: Mandar Maju. Saifullah (2006) Buku Panduan Metodologi Penelitian. Hand Out, Fakultas Syari'ah UIN Malang. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin (1997) Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Prosedur, Tehnik, dan Teori. Surabaya: Bina Ilmu Ofset. Sugono, Bambang (2003) Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Graffindo. Suaidi (2002) Skripsi Keadilan Saksi Nikah Perspektif Fiqih Islam. Malang: UIN Malang. Sasangka, Hari dan Ahmad Rifai (2005) Perbandingan HIR Dengan R.Bg Disertai Dengan Yurisprudensi MARI Dan Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata. Bandung: Mandar Maju. ..........(2004) Tirmidzi. Juz III, Libanon: Bairut. Moeljatno (2008) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cet ke 7, Jakarta: Sinar Grafika Offset. Muhammad
Zainal
Abidin,
“Alat
Bukti
Dalam
Pengadila
Agama”
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/29/alat-bukti-dalam-pengadilanagama/, (diakses pada 20 Maret 2010). Ukie,“AlatBukti”http://elfatsani.blogspot.com/2009/04/alat-bukti-saksi.html, (diakses pada 23 Maret 2010). http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/profil Malang.html, (diakses pada 23 Maret 2010).
Pengadilan
Agama
http://simta.uns.ac.id/cariTA.Visi dan Misi PA. Malang, (diakses pada 23 Maret 2010).
PANDUAN WAWANCARA
1. Apa yang disebut dengan saksi? 2. Apa yang disebut dengan kesaksian? 3. Apa fungsi saksi dalam persidangan? 4. Apa saja syarat-syarat untuk menjadi saksi? 5. Bagaimana pendapat hakim mengenai syarat adil yang harus dimiliki seorang saksi? 6. Dari berbagai pendapat para ulama dapat disimpulkan bahwa orang dikatakan memiliki sifat adil jika ia menjauhi dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil, melakukan shalat 5 waktu dan sunnah rawatibnya serta tidak meninggalkan shalat witir, melakukan hal-hal yang membuat dirinya dikatakan baik dan menjauhi segala yang bisa membuat ia dipandang jelek dan sebagainya. Mengenai kriteria ini bagaimana menurut hakim? 7. Kriteria apa saja yang harus dimiliki saksi agar dapat dikatakan memiliki sifat adil? 8. Apa alasan hakim menolak pencabutan keterangan saksi? 9. Bolehkah seorang saksi mencabut keterangannya ketika sudah memberikan kesaksianya di depan persidangan? 10. Apa dasar hukum yang digunakan oleh hakim menolak pencabutan keterangan saksi? 11. Apakah kasus pencabutan keterangan oleh saksi pernah terjadi sebelumnya?