KEDUDUKAN SAKSI NON MUSLIM DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA PAYAKUMBUH (Studi Kasus Perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk) Nazifah; NPM : 1210005600126; Fakultas Hukum Universitas Taman Siswa Padang; 83 Halaman; Tahun 2014 ABSTRAK Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama diterangkan bahwa, Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang ini. Dalam era globalisasi saat ini menyebabkan kehidupan masyarakat semakin kompleks dalam segala segi terjadi pembauran, seperti tempat pemukiman tidak lagi dihuni oleh penduduk muslim semata tetapi sudah becampur dengan penduduk yang bukan non muslim, sehingga banyak peristiwa yang terjadi di antara orang Islam yang kebetulan disaksikan atau melibatkan orang non muslim. Pengadilan Agama Payakumbuh merupakan salah satu lembaga peradilan agama yang berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Padang. Dalam penyelesaian perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk, majelis hakim telah menetapkan keterangan seseorang yang dihadirkan di persidangan yang beragama Kristen sebagai saksi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang kedudukan seseorang non muslim yang memberikan keterangan di persidangan pengadilan agama Payakumbuh serta pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan non muslim tersebut sebagai saksi. Dalam menjawab permasalahan di atas dilakukan penelitian dengan pendekatan secara yuridis sosiologis, dimana penelitian ini dilakukan untuk menentukan apakah peraturan perundangundangan atau norma yang ada sudah berjalan sesuai dengan kenyataan dilapangan, sehingga nantinya penelitian ini dapat menggambarkan jawaban permasalahan secara cermat dan sistematis. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran terhadap data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat berdasarkan permasalahan yang diteliti. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa majelis hakim perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk yang melibatkan saksi non muslim yang diajukan oleh pemohon. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim tidak terlalu dalam mengkaji dan menganalisa tentang saksi non muslim yang diajukan oleh pemohon tersebut, padahal sangat banyak teori-teori dari ahli hukum atau doktrin yang bisa dijadikan bahan pertimbangan hukum dalam putusan, apalagi masih banyak perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan ahli hukum tentang kedudukan saksi non muslim di pengadilan agama dan ditambah lagi masih banyak pilihan yang bisa dilakukan hakim dalam pertimbangan hukumnya yang menyangkut hukum pembuktian.
1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penduduk
Indonesia
mayoritas
beragama
Islam,
maka
dalam
pembangunan hukum nasional di Negara Indonesia unsur hukum agama harus benar-benar diperhatikan. Sejak dahulu, para pegawai, para pejabat pemerintah dan atau para pemimpin yang akan bekerja di Indonesia selalu dibekali dengan pengetahuan keislaman, baik mengenai lembaganya maupun mengenai hukumnya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat muslim Indonesia, agar ia berhasil dalam melaksanakan tugasnya kelak di tengah-tengah masyarakat muslim. Kesaksian itu adalah masalah kekuasaan, sedangkan orang-orang non muslim sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa ayat 140 menerangkan bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang non muslim berkuasa terhadap orang-orang Islam. Apabila ia tidak dibenarkan memberikan kesaksiannya di pengadilan tentu orang Islam akan menderita kerugian, seperti terjadinya percekcokan suami isteri dalam rumah tangga yang menyaksikan adalah tetangganya yang kebetulan non muslim sedangkan saksi yang lain tidak ada. Apabila saksi non muslim tidak diterima tentu salah satu di antara mereka akan di rugikan. Maka status keabsahan orang non muslim dalam memberikan kesaksian dan kedudukan saksi non muslim dalam Peradilan Agama sangat penting untuk diteliti. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji, meneliti, dan mempelajarinya yang dituangkan dalam suatu karya ilmiah dalam bentuk
2
skripsi yang diberi judul “Kedudukan Saksi Non Muslim Dalam Proses Penyelesaian Perkara Cerai Talak Di Pengadilan Agama Payakumbuh (Studi Kasus Perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang dikemukan pada bagian latar belakang di atas, maka sebagai batasan penelitian dapat dikemukakan sebagi berikut: 1.
Bagaimanakah kedudukan saksi non muslim dalam penyelesaian perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk di Pengadilan Agama Payakumbuh?
2.
Bagaimana pertimbangan hakim terhadap keterangan saksi non muslim dalam peryelesaian perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk di Pengadilan Agama Payakumbuh?
C. Tujuan Penelitian a.
Untuk mengetahui kedudukan saksi non muslim dalam penyelesaian perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk di Pengadilan Agama.
b.
Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap keterangan saksi non muslim dalam penyelesaian perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk di Pengadilan Agama Payakumbuh.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Manfaat teoritis, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menambah waawasan dan sumbangan dalam pengembangan dan penerapan hukum Islam dan hukum perdata di lingkungan peradilan agama.
3
2.
Manfaat praktis, diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran bagi hakim dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama khususnya yang berkaitan dengan keberadaan saksi non muslim.
E. Metode Penelitian Dalam menulis skripsi yang berjudul “Kedudukan Saksi Non Muslim Dalam Proses Penyelesaian Perkara Cerai Talak Di Pengadilan Agama Payakumbuh (Studi Kasus Perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk)” ini, penulis mengharapkan agar penelitian ini berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu diperlukan suatu metode tertentu. Metode penelitian adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturanperaturan yang terdapat dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Pendekatan Masalah Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian yuridis sosiologis, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara melibatkan diri secara langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan apakah peraturan perundang-undangan atau norma yang ada sudah berjalan sesuai dengan kenyataan dilapangan. Adapun objek dari penelitian ini adalah putusan Pengadilan Agama Payakumbuh Nomor Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk tanggal 27 Februari 2012. 2.
Sifat Penelitian
4
Penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut Bambang Sunggono, penelitian yang bersifat deskriptif merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap suatu suatu poplasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu. Penelitian ini memberikan gambaran terhadap data-data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat berdasarkan permasalahan yang dikemukakan. F. Jenis dan Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari pihak yang terkait. Data ini penulis peroleh dengan mendatangi sumber-sumber data yang relevan dengan masalah penelitian. b. Data sekunder Data ini diperoleh dari bahan-bahan bacaan yang ada, terdiri dari: 1.
Bahan Hukum Primer: 1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
5
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958); 4)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078);
5)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);
6)
Putusan
Pengadilan
Agama
Payakumbuh
Nomor
0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk tanggal 27 Februari 2012. 2.
Bahan Hukum Sekunder: 1)
Berbagai buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. -
Kamus Hukum
-
Ensiklopedi
2)
Internet
3)
Berbagai artikel dalam jurnal.
G. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik dan alat pengumpulan data ini dilakukan dengan dua cara yaitu:
6
a.
Wawancara Terhadap data Primer dilakukan dengan wawancara.Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa responden seperti Ketua Pengadilan Agama Payakumbuh, Majelis Hakim dan Panitera Pengganti Perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk, Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Payakumbuh, pihak yang berperkara dan lain sebagainya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada responden yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
b.
Studi dokumen Terhadap data sekunder dilakukan studi dokumen, Penyusun memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari data primer dari dokumen berkas perkara berupa putusan Pengadilan Agama Payakumbuh Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk.
H. Pengolahan dan Analisis Data a.
Pengolahan Data Setelah semua data terkumpul, dilakukan pengolahan data, yang merupakan upaya penulis merapikan data yang diperoleh dilapangan yang masih merupakan data mentah atau belum tersusun dengan rapi. Bambang Waluyo mengakan bahwa pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data dilapangan sehingga siap pakai untuk di analisis.
7
Dalam melakukan pengolahan data ini, penulis menggunakan fasilitas komputer dengan melakukan kegiatan antara lain: 1) data entry, yaitu kegiatan memasukkan data yang diperoleh ke dalam komputer yang telah disediakan; 2) pengeditan, yang dilakukan menjadi lebih halus dan bermakna dan dapat digunakan dalam menganalisis masalah yang diteliti; 3) tabulasi, dari data
yang sudah diedit dilakukan tabulating
terhadapnya. b.
Analisis Data Selanjutnya dilakukan penganalisisan yaitu kegiatan yang dilakukan setelah dilakukan pengolahan terhadap data yang dikumpulkan, berupa data primer maupun data sekunder.
II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Tinjauan Umum Tentang Cerai Talak Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari‟ah. Bidang perkawinan yang menjadi kewenangan dan kekuasaan pengadilan agama adalah hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:
8
a.
Izin beristeri lebih dari satu orang;
b.
Izin melangsungkan pekawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c.
Dispensasi kawin;
d.
Pencegahan perkawinan;
e.
Penolakan perkawinan oleh PPN;
f.
Pembatalan perkawinan;
g.
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri;
h.
Perceraian karena talak;
i.
Gugatan perceraian;
j.
Penyelesaian harta bersama;
k.
Mengenai penguasaan anak-anak;
l.
Ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bila bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri; n.
Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
o.
Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
p.
Penunjukan kekuasaan wali;
q.
Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan Agama dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
9
r.
Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
s.
Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
t.
Penetapan asal usul anak;
u.
Putusan tentang hal
penolakan
pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran; v.
Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain;
Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) tersebut dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang mana menyebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yangsukar disembuhkan; Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain; Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri; Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
10
Secara garis besar hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan besar yaitu talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami untuk melepaskan ikatan dengan lafadz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh adalah melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukanolehisteri. Dari dua golongan perceraian ini, dapat dibuat klasifikasi perceraian sebagai berikut: 1. Talak yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu li‟an, perceraian dengan sebab aib suami seperti impoten dan perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam; 2. Talak yang terjadi tanpa putusan Hakim yaitu talak biasa yakni talak yang diucapkan suami baik sharih maupun kinayah dan „ila; 3. Fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu dengan sebab perkawinannya anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur dan perkawinan itu tidak dilakukan oleh wali yaitu bapaknya atau kakeknya, fasakh dengan sebab salah satu pihak dalam keadaan gila, tidak sekufu, kurangnya mas kawin dari mahar mitsil dan salah satu pihak menolak masuk Islam; 4. Fasakh yang terjadi tanpa adanya putusan hakim, yaitu fasakh dengan sebab merdekanya isteri, ada hubungan semenda antara suami isteri dan nikahnya fasid sejak semula. B. Pembuktian dalam Proses Penyelesaian Perkara Berdasarkan adanya pengertian pembuktian dalam arti luas dan dalam arti sempit tersebut, Sudikno Mertokusumo merinci pengertian pembuktian sebagai berikut: a.
b.
c.
Pembuktian dalam arti logis, yaitu memberikan kepastian yang bersifat mutlak kepada setiap orang dan dimungkinkan tidak adanya pihak lawan. Pembuktian dalam arti konvensional, yaitu memberikan kepastian yang bersifat relatif. Kepastian relatif yang dimaksud adalah kepastian yang didasarkan kepada perasaan belaka atau pertimbangan akal saja. Pembuktian dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka.
11
Dari pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Saksi adalah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat,dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. B.1. Apa yang Harus Dibuktikan Sesuai dengan tujuan pembuktian untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu, maka yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan para pihak dalam sesuatu hal yang belum jelas yang menjadi objek sengketa. Jadi yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan kejadiannya, yang telah dikonstantir dan dikualifisir tentang hukumnya. Menurut Taufiq, peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1.
Peristiwa atau kejadian tersebut harus merupakan peristiwa atau kejadian yang disengketakan, sebab pembuktian tersebut merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa. Kalau seandainya peristiwa atau kejadian yang menjadi alasan gugatan itu tidak disengketakan, maka tidak perlu dibuktikan. Oleh karena itu, peristiwa atau kejadian yang sudah diakui oleh tergugat tidak perlu dibuktikan.
12
2.
3. 4.
5.
Peristiwa atau kejadian itu dapat diukur, terikat dengan ruang dan waktu. Hal ini logis sebab peristiwa atau kejadian yang tidak dapat diukur, tidak dapat dibuktikan. Peristiwa atau kejadian itu harus berkaitan dengan hak yang disengketakan. Peristiwa atau kejadian itu efektif untuk dibuktikan. Maksudnya bahwa, seiring untuk membuktikan suatu hak terdiri dari rangkaian beberapa peristiwa atau kejadian, maka peristiwa atau kejadian itu merupakan salah satu mata rangkaian peristiwa atau kejadian tersebut. Peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hukum dan kesusilaan.
B.2. Siapa yang dibebani pembuktian Dalam hukum acara perdata di Indonesia disebutkan bahwa barang siapa yang mengakui mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Dalam Pasal 1865 BW, memberikan pengertian yang sama dengan tersebut di atas yang prinsipnya siapa yang mengakui mempunyai hak maka ia harus membuktikan adanya hak itu, atau peristiwa yang didalilkan itu. B.3. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan Dalam hukum acara perdata, ada dua hal yang tidak perlu dibuktikan oleh hakim dalam proses pemeriksaan perkara, yaitu: a.
Peristiwa yang dianggap tidak mungkin perlu diketahui oleh hakim atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, seperti:
1) Dalam putusan verstek 2) Dalam hal tergugat reperte
13
Jika tergugat tidak mengakui dan juga tidak membantah dalil-dalil gugatan penggugat, tergugat menyerahkan sepenuhnya kepada pertimbangan majelis hakim, maka dalam hal seperti ini tidak perlu diadakan pembuktian lagi. 3) Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat Jika tergugat mengakui dalil-dalil gugatan dari penggugat, maka gugatan penggugat tidak perlu dibuktikan lagi. Semua dalil gugatan penggugat dianggap telah terbukti. 4) Telah dilaksanakan sumpah decesoir Sumpah decesoir merupakan sumpah yang menentukan, oleh sebab itu jika sumpah decesoir telah dilaksanakan oleh satu pihak yang berperkara, maka pembuktian lebih lanjut tidak diperlukan lagi. b.
Hakim secara ex officio dianggap telah mengetahui atau mengenal peristiwanya, sehingga peristiwa atau kejadian yang menjadi dasar gugatan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
1) Pernyataan yang bersifat negatif. Suatu peristiwa atau suatu hal yang negatif pada umumnya tidak mungkin untuk dibuktikan (negative non sunt probanda), misalnya membuktikan bahwa tidak berhutang, tidak menerima uang, tepatnya membuktikan yang serba tidak, itu pada umumnya suatu hal yang tidak mungkin untuk dibuktikan. 1) Peristiwa notoir feiten Dalam hukum acara perdata notoir feiten merupakan “omstandeg heiden” atau fakta yang diketahui umum, sering juga disebut pengetahuan umum, berupa:
14
1.
Kenyataan pengalaman manusia bahwa sesuatu hal atau peristiwa selalu akan menimbulkan kesimpulan tertentu yang sudah pasti.
2.
Hal ihwal suatu keadaan atau peristiwa yang diketahui umum dan berbarengan dengan itu, umum berpendapat bahwa apabila terjadi sesuatu hal atau peristiwa akan begitulah keadaan yang sebenarnya dan semestinya.
2) Pengetahuan hakim Pada dasarnya pengetahuan hakim sangat berdekatan dengan peristiwa notoir feiten, tetapi ketentuan ini tidak selamanya demikian. Sebab secara kausistik pengetahuan hakim bisa bersandar pada hipotesa ilmu pengetahuan atau kelaziman yang berlaku pada daerah setempat. C. Alat-alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara (pencari keadilan), alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan. Adapun alat-alat bukti menurut hukum acara perdata seperti diatur dalam Pasal 164 HIR, pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 BW adalah sebagai berikut: 1.
Alat bukti surat
2.
Alat bukti saksi
3.
Persangkaan (dugaan)
4.
Pengakuan
5.
Sumpah
1.
Alat bukti surat
15
Bukti surat dalam perkara perdata merupakan bukti utama, karena dalam lalu lintas keperdataan sering sekali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa surat atau tulisan. a. Akta autentik Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa, akta autentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. Suatu akta autentik dapat dijadikan bukti dalam suatu perkara apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Syarat formil a. Bersifat partai; b. Diperbuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang berwenang untuk itu; c. Memuat tanggal, hari dan tahun pembuatannya; d. Ditandatangani oleh pejabat yang membuat; 2) Syarat materil a. Isinya berhubungan langsung dengan yang disengketakan; b. Isinya tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum; c. Sengaja dibuat sebagai alat bukti; b. Akta di bawah tangan
16
M. Yahya Harahap, mengatakan bahwa agar akta di bawah tangan dapat dijadikan alat bukti, harus memenuhi syarat formil dan syarat materil, yaitu: 1) Syarat formil a. Bersifat partai; b. Pembuatannya tidak dihadapan pejabat; c. Harus bermaterai; d. Ditandatangani oleh kedua belah pihak; 2) Syarat materil a. Isi akta berkaitan langsug dengan apa yang diperkarakan; b. Isi akta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum; c. Sengaja dibuat untuk alat bukti; c. Surat-surat lain yang bukan akta Surat-surat bukan akta sebagimana yang diatur dalam Pasal 294 R.Bg., dan Pasal 1881 BW, bentuknya dapat berupa surat biasa/koresponden, catatan harian dan sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai alat bukti. Nilai kekuatannya tergantung kepada penilaian hakim. Jika isinya mengadung fakta, maka dapat dipergunakan sebagai bukti permulaan yang memerlukan dukungan dari alat bukti lain. 2.
Alat bukti saksi Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti
tulisan atau akta. Dalam kenyataan bisa terjadi sama sekali penggugat tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan, atau alat bukti
17
tulisan yang ada, tidak mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan. Dengan demikian, sebagaimana kutipan di atas, hadinya seorang saksi adakalanya secara kebetulan dan adakalanya memang dengan sengaja dihadirkan ditempat itu. 1.
Kesaksian seseorang dengan kebetulan Kesaksian ini adalah keterangan dari seseorang yang melihat, mendengar
atau mengalami sendiri suatu peristiwa hukum yang harus dibuktikan di muka hakim tanpa sengaja didatangkan untuk itu, atau secara kebetulan saksi tersebut menyaksikan peristiwa tersebut berlangsung. 2.
Kesaksian seseorang dengan sengaja Orang-orang yang terlalu dekat hubungannya dengan pihak-pihak yang
berperkara, seperti keluarga sedarah dan ipar laki-laki maupun perempuan, sekalipun setelah terjadi perceraian boleh menjadi saksi dalam beberapa perkara khusus, yaitu: 1. 2. 3.
4.
Dalam perkara-perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak. Dalam perkara-perkara mengenai nafkah, termasuk pembiayaan, pemeliharaan, dan pendidikan seorang anak belum dewasa. Dalam pemeliharaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan atau pemecahan dari kekuasaan orang tua atau perwalian. Dalam perkara-perkara mengenai suatu persetujuan perburuhan.
Pendapat dan kesimpulan yang diperoleh dengan jalan menggunakan buah pikiran bukanlah kesaksian. a. Syarat formil
18
1. Memberi keterangan di depan sidang pengadilan. 2. Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi. Berdasarkan Pasal 145 HIR/172 R.Bg., pihak-pihak yang dilarang untuk didengar sebagai saksi adalah keluarga sedarah dan semenda karena perkawinan menurut garis lurus dari pihak yang berperkara, isteri atau suami dari salah satu pihak meskipun telah bercerai, anak-anak di bawah umur dan orang uang tidak waras atau gila. 3. Bagi kelompok saksi yang berhak mengundurkan diri, menyatakan kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi yaitu saudara ipar salah satu pihak yang berperkara, keluarga isteri atau suami kedua belah pihak sampai derajat kedua, dan orang-orang yang karena jabatannya diharuskan menyimpan rahasia jabatan. 4. Mengangkat sumpah menurut agama yang dipeluknya. b. Syarat materil 1. 2. 3. 4. 5.
Menerangkan apa yang dilihat, didengar dan ia alami sendiri. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri. Saling bersesuaian satu sama lain. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Dalam Pasal 169 HIR/306 R.Bg., dan Pasal 1905 BW dijelaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai bukti yang cukup. Seorang saksi bukan saksi (unus testis, nulus testis). Keterangan seorang saksi, tidak boleh dianggap sebagai persaksian yang sempurna oleh hakim dalam memutus suatu perkara. 3.
Bukti persangkaan Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang
dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau berlum terbukti, baik yang berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim. a.
Persangkaan berdasarkan undang-undang (Blote Vermoedens)
19
Dalam hukum pembuktian, persangkaan berdasarkan undang-undang dikenal juga dengan persangkaan berdasarkan hukum, yaitu persangkaan yang oleh
undang-undang
dihubungkan
dengan
perbuatan-perbuatan
tertentu.
Persangkaan semacam ini, menurut Pasal 1916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain: (1) Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena sematamata demi sifat dan wujud dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang; (2) Perbuatan yang oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan tertent; (3) Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (4) Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau sumpah salah satu pihak. b.
Persangkaan hakim (Rechtelijk Voermoedens) Jika dibaca dan diteliti ketentuan Pasal 1922 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata maupun Pasal 173 HIR, cara menarik kesimpulan alat bukti persangkaan yang memenuhi syarat formil, dapat dikemukakan acuan sebagai berikut: a.
Pertama-tama beranjak atau bertitik tolak dari data atau fakta yang telah
terbukti
dalam
persidangan,
untuk
menyingkap
atau
mengungkap fakta yang belum diketahui; b.
Cara mengungkapkannya, dengan jalan menarik kesimpulan dari fakta yang sudah ada dan terbukti tersebut.
Dalam teori dan praktik, ada dua faktor dan unsur pokok yang dapat membentuk persangkaan hakim: 1) Faktor fakta yang sudah terbukti dan diketahui
20
Sudah dijelaskan syarat formil yang sah menarik persangkaan hakim harus bersumber dari fakta yang diketahui dan terbukti dalam persidangan. Berarti faktor atau unsur utama membentuk atau mengkonstruksi alat bukti persangkaan hakim, tidak lain dari fakta yang sudah terbukti atau yang sudah diketahui dalam persidangan. 2) Faktor akal atau intelektualitas 4.
Bukti Pengakuan Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti adalah hukum acara perdata
diatur dalam Pasal 174 HIR dan Pasal 311 R.Bg., serta Pasal 1923 sampai Pasal 1928 BW.Teguh Samudera mengemukakan bahwa pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, di mana ia mengakui apa-apa yang dikemukakan oleh pihak lawan. M. Yahya Harahap mengatakan, bahwa pengakuan bukanlah merupakan alat bukti. Hal ini disebabkan antara lain: 1.
Alat bukti adalah alat yang mampu dipergunakan membuktikan pokok perkara yang disengketakan, sedangkan pengakuan tidak dapat dipergunakan, karena dia sendiri tidak memiliki fisik yang dapat diajukan dalam persidangan;
2.
Apabila salah satu pihak mengakui apa yang diajukan atau didalilkan pihak lawan, hakim tidak dibenarkan lagi untuk memberi pendapat tentang masalah atau objek pengakuan, sehingga: a. hakim tidak boleh lagi menyelidiki kebenaran pengakuan itu.
21
b. karena dengan pengakuan, para pihak yang bersengketa telah menentukan sendiri penyelesaian sengketa. 3.
Dengan demikian, hakim mesti terikat atau sudah terikat menyelesaikan sengketa sesuai dam bertitik tolak dari pengakuan tersebut. Abdul Manan menjelaskan bahwa pengakuan dapat dijadikan bukti harus
memenuhi syarat-syarat: a. Syarat formil 1) Disampaikan di persidangan. 2) Disampaikan langsung oleh pihak yang berperkara atau kuasanya secara lisan atau tulisan b. Syarat materil 1) Pengakuan diberikan langsung mengenai pokok perkara. 2) Tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata. 3) Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral, dan ketertiban umum. 5. Sumpah Sumpah sebagai alat bukti dalam hukum acara diatur dalam Pasal 314 HIR dan Pasal 177 R.Bg. serta Pasal 1929-1945 BW. Dalam hukum acara perdata, sumpah sebagai alat bukti dapat dibagi dalam beberapa jenis, antara lain: 1. Sumpah pelengkap (suplatoireed) Agar sumpah dapat dijadikan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan materil sebagai berikut:
22
1) Syarat formil a. Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian yang sudah ada, akan tetapi belum mencapai batas minimal pembuktian; b. Bukti yang sudah ada baru berupa bukti permulaan; c. Para pihak tidak mampu lagi menambah alat bukti yang telah ada dengan alat bukti lain; d. Dibebankan atas perintah hakim akan diucapkan di depan sidang pengadilan secara pribadi. 2) Syarat materi a. Lafaz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang bersumpah; b. Isi sumpah berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak bertentangan dengan hukum, agama, moral, dan kesusilaan. 2. Sumpah pemutus (decissoireed) Syarat-syarat sumpah pemutus sebagai alat bukti harus memenuhi syaratsyarat formil dan materil yaitu: 1) Syarat formil a. Jika memang tidak ada bukti lain. b. Harus atas permintaan salah satu pihak. c. Diucapkan dalam sidang secara in person. 2) Syarat materil a. Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri atau yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak yang berperkara.
23
b. Isi sumpah harus relevan dengan pokok perkara. c. Sumpah pemutus itu harus litis decissoir karena tujuan dari pelaksanaan sumpah pemutus adalah untuk menyelesaikan perkara. 3. Sumpah penaksir (aestimatoir)
IIIKEDUDUKAN SAKSI NON MUSLIM DALAM PENYELESAIAN PERKARA NOMOR PENGADILAN AGAMA PAYAKUMBUH
0488/Pdt.G/2011/PA.PYK
DI
A. Tinjauan Tentang Pengadilan Agama Payakumbuh Pengadilan Agama Payakumbuh terletak di wilayah Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Secara goegrafis Kota Payakumbuh terletak pada posisi 00 10‟ sampai dengan 00017‟ LS dan 100035‟ sampai dengan 100048‟ BT. Tercatat memiliki luas wilayah lebih kurang 80,43 KM2 atau setara dengan 0,19 % dari luas Sumatera Barat dan berbatasan langsung dengan lima kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Keadaan topografi Kota Payakumbuh bervariasi antara daratan dan berbukit dengan ketinggian 513 meter di atas permukaan laut. Suhu udara rata-rata 260 Celcius dengan kelembaban udara berkisar antara 45 % sampai dengan 50 %. B. Penilaian Saksi dalam Konsep Hukum Islam dan Kedudukan Saksi Non Muslim dalam Penyelesian Perkara di Pengadilan Agama Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Islam
2.
Adil
3.
Baligh dan berakal
24
4.
Berbicara
5.
Saksi itu adalah orang yang tidak berkepentingan dan tidak terkait dengan orang yang memerlukan saksi.
6.
Merdeka
7.
Hafal dan cermat
8.
Dapat melihat Akan tetapi azas ini dibatasi dengan beberapa hal:
1.
2.
Hakim dilarang mendengar keterangan mereka sebagai saksi, yaitu: a. Keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. b. Suami isteri dari salah satu pihak, meskipun telah bercerai. Mereka yang tidak mampu secara nisbi (relatif) Mereka boleh didengar, akan tetapi tidak sebagai saksi, yaitu: a. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun. b. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang dan sehat. Mereka yang boleh mengundurkan diri menjadi saksi, yaitu: a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak. b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara lakilaki dan perempuan dari suami atau isteri dari salah satu pihak.
Semua orang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan menyimpan rahasia. C. Kedudukan Saksi Non Muslim dalam Penyelesaian Pekara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk di Pengadilan Agama Payakumbuh Untuk membuktikan dalil gugatannya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat berupa foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon yang dikeluarkan oleh Camat Payakumbuh Utara tanggal 17 April 2007 di beri kode P1 dan Foto Copy Kutipan Akta Nikah Nomor : 207/30/XI/2001, yang dikeluarkan oleh PPN/KUA Payakumbuh Timur tanggal 23 Nopember 2011, diberi kode P2
25
dan Pemohon juga telah menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang bernama Dede Alifah binti Supadi, umur 50 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kelurahan Koto Nan Gadang, Kecamatan Payakumbuh Utara, Kota Payakumbuh dan Sabri Chandra bin Sofyan Taman, umur 43 tahun, agama Kristen, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di Jalan A. Yani No. 27 Kelurahan Nunang, Kecamatan Payakumbuh Barat, Kota Payakumbuh. Selanjutnya mengenai saksi kedua yang beragama Kristen tersebut di atas, hakim Pengadilan Agama memiliki pendapatnya masing-masing. Ketua Pengadilan Agama Payakumbuh, Drs. H. Arinal, M.H, yang juga merupakan Ketua Majelis perkara tersebut menjelaskan bahwa, seorang non muslim yang memberikan kesaksian di muka persidangan pengadilan agama tidak menjadi permasalahan, sepanjang keterangan yang diberikan saksi tersebut berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa dengan terlebih dahulu di sumpah menurut agama saksi yang bersangkutan, karena pada hakikatnya yang diperlukan dari seorang saksi dalam persidangan adalah keterangan dari saksi tersebut. D. Pertimbangan Hakim Terhadap Keterangan Saksi Non Muslim Dalam Penyelesaian Perkara Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk di Pengadilan Agama Payakumbuh Menurut Drs. H. Arinal, M.H, putusan merupakan mahkotanya seorang hakim. Dari putusan yang dibuat oleh seorang hakim, akan terlihat jelas kemampuan dan kemahiran hukum seorang hakim yang tertuang dalam pertimbangan hukumnya.
26
IV. PENUTUP A. KESIMPULAN Hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai penutup dari karya tulis ini, antara lain: 1.
Sebagian aparatur Pengadilan Agama Payakumbuh, mempunyai pendapat yang berbeda tentang kedudukan saksi non muslim dalam memberikan kesaksian di Pengadilan Agama.
B. SARAN 1.
Dalam
memutus
suatu
perkara
Nomor
0488/Pdt.G/32012/PA.Pyk,
sebaiknya hakim mempertegaskan terlebih dahulu kepada para pihak apakah benar-benar tidak ada lagi saksi yang beragama Islam yang mengetahui pokok perkara yang sedang diperiksa, karena dalam hal ini masih terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli. Hal ini sangat penting, karena hukum acara yang berlaku di pengadilan agama tidak hanya hukum acara yang berlaku di pengadilan negeri, tetapi juga berdasarkan Hukum Islam yang merupakan ciri khas dari pengadilan agama. 2.
Dari penelitian yang dilakukan penulis, terlihat bahwa majelis hakim yang memeriksa perkara nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk tidak mengkaji terlalu dalam kedudukan saksi yang bukan beragama Islam dalam pertimbangan hukumnya.
27
DAFTAR PUSTAKA A. Buku al-Asas al-Humaidi, Abd. Al-Rahman Ibrahim Abd, 1989, al-Qadha’wa Nizhamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah, Cet. I, Jami‟ al-Umm al-Qura, Mekkah. Abd. al-Asas al-Makbari al-Fanani, Zainuddin ibn, 1994, Fath al-Mu’in, Sinar Baru al-Gesindo, Bandung. Abdurrahman, 1994, Hukum Acara Perdata, Universitas Trisakti, Jakarta. Arto, Mukti,1996,Prektek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. , 2005, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Ctk Enam, Pustaka Pelajar,Yogyakarta. Ali, Zainuddin, 2002,Hukum Perdata Islam Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu. Adi, Rianto, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta. Abdurrahman, A.A Humam, 2004, Peradilan Islam: Keadilan Sesuai Fitrah Manusia, Ctk. Pertama, Wadi Press, Ciputat. Anshoruddin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Pelajar, Yogyakarta. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
dalam
Lingkungan
Peradilan
Agama,
Ditbinbapera, Jakarta.
28
Daud Ali, Mohammad, 2004, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Cetakan Kesebelas, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Harahap, M. Yahya, 1991, Kumpulan Makalah Hukum Acara Perdata, Pendidikan Hakim Senior, Angkatan I, Tugu, Bogor. , 2008, Hukum Acara Perdata, Gugatan, Persidangan, Pemyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. Kansil, CST, 1991, Pengantar IlmuHukumdan Tata HukumIndonesia. Ctk. Kedelapan,Balai Pustaka,Jakarta. Kadir Muhammad, Abdul,1998,Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga di Beberapa Negara Eropa, Citra Aditya, Bandung. Muhammad al-Syarbaini, Al-Khitab, 1958, Mughni al-Muhtaj, Dar al-Fikr, Beirut. Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet I, Liberty, Yogyakarta. Manan, Abdul, 2000, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta. , 2001, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, al-Hikmah & DITBINBAPERA,.No 52 Th XII, Jakarta. , 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta.
29
Mertokusumo, Sudikno, 2006, Hukum Acara Perdata, Ctk Pertama Edisi ketujuh, Liberty Yogyakarta,Yogyakarta. Pitlo, A, 1986, Pembuktian dan Daluarsa, Intermasa, Jakarta. Projodikoro, R. Wirjono,1992, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur, Bandung. Payakumbuh Dalam Angka, 2009, Badan Pusat Statistik Kota Payakumbuh. Rusyd, Ibn, 1960, Bidayat al-Mujtahid wa Hinayat al-Muqtashid, Dar al-Fikr, Beirut. Rasyid, Roihan A, 1994, Hukum Acara Peradilan Agama, RajaGrafindo, Jakarta. Subekti, R, dan R. Tjitrosoedibio, 1983, Kamus Hukum, Pradya Paramita, Jakarta. Supomo, R, 1986, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradya Paramita, Jakarta. Subekti, R, 1989, Hukum Acara Perdata, BPHN, Jakarta. , 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradya Paramita, Jakarta. Samudra, Teguh, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung. Supramono, Gatot,1993, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Alumni, Bandung. Saleh, K. Wantjik, 1996, Hukum Acara Perdata HIR/R.Bg., Ghalia Indonesia, Jakarta. Soejono, 1998, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Subekti, R, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramitha, Jakarta.
30
Tresna, R, 1976, Komentar HIR, Pradya Paramita, Jakarta. Taufiq, 1988, Teknik Membuat Putusan, Makalah pada Temu Karya Hakim Pengadilan Agama se-Jawa, PPHIM, Jakarta. Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078).
31
Putusan Pengadilan Agama Payakumbuh Nomor 0488/Pdt.G/2011/PA.Pyk tanggal 27 Februari 2012.
32