BUDAYA HUKUM BIAS GENDER HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM PERKARA CERAI TALAK Ahmad Jalaludin (Dosen STAIN Pekalongan)
Abstract: This study depart from the reality of the attitude religious court judges in handling divorce cases. The judges attitude of gender biased is represented in the language used in court, mediation, proving even the divorce judgment of divorce cases. Factors affecting the attitude among others: educational background, culture of patriarchy, the social and family environment and gender biased laws. The gender-biased of behavior, rather than a culture of law in the Religious Court Judge, that perpetuate gender inequality in the lawless, especially in the case of divorce divorce Keywords: gender biased, divorce, legal culture and judge Abstrak: Kajian ini beranjak dari realitas sikap gender hakim Pengadilan Agama dalam menangani perkara cerai talak. Sikap bias gender tersebut terepresentasi dalam bahasa yang digunakan dalam persidangan, dalam mediasi, pembuktian bahkan dalam putusan perkara cerai talak. Faktor yang mempengaruhi sikap tersebut antara lain: latar belakang pendidikan, kultur patriarkhi, lingkungan sosial dan keluarga dan aturan hukum yang bias gender. Sikap bias gender hakim Pengadilan Agama tersebut, alih-alih menjadi budaya hukum di lingkungan Hakim Pengadilan Agama, sehingga melanggengkan ketidakadilan gender dalam berhukum, khususnya dalam perkara cerai talak. Kata Kunci: Bias gender, cerai talak, budaya hukum dan hakim dari sisi sosiologis bahkan psikologis juga
PENDAHULUAN Pengadilan
Agama
merupakan
berbeda, karena perkara tersebut melibat-
lembaga Peradilan yang didominasi oleh
kan pola relasi suami-isteri yang secara
perkara perceraian. Hal tersebut dibuktikan
sosiologis sangat dipengaruhi oleh kultur
dengan jumlah Perkara Perceraian (cerai
patriarkhi yang notabene bias gender.
talak dan cerai gugat) di Pengadilan
Alih-alih,
Agama, setiap tahunnya meningkat rata-
menempatkan perempuan (isteri) sebagai
rata 10 % dibandingkan dengan Perkara
objek dalam persidangan, sehingga tidak
lainnya
memiliki posisi tawar yang setara dengan
(news.detik.com/.../340-ribuan-
kondisi
tersebut
cenderung
pasangan-cerai-di-2012-istri-lebih-banyak
laki-laki
Di akses tanggal 22 Februari 2014).
dihasilkan pun cenderung melukai rasa
Perkara
berbeda
keadilan bagi perempuan (istri). Artinya,
dengan perkara lainnnya, tidak hanya dari
budaya hukum hakim yang masih bias
sisi jumlah perkara yang masuk, namun
gender
perceraian
memang
(suami),
dalam
dan
putusan
menyelesaikan
Budaya Hukum Bias Gender Hakim Pengadilan Agama… (Ahmad Jalaludin)
yang
perkara | 197
perceraian, khususnya cerai talak, akan
perkara cerai talak dan representasi budaya
melemahkan posisi tawar isteri sebagai
hukum bias gender dalam menyelesaiakan
termohon.
perkara cerai talak.
Fakta budaya
yang
hukum
menunjukan bias
gender
adanya dalam
menangani perkara cerai talak, ditunjukan
PEMBAHASAN A.
Budaya Hukum
dalam beberapa hal, antara lain: pertama,
Berbincang mengenai budaya hukum
dalam persidangan. Hakim menggunakan
tidak lepas dari pemikiran Lawrence M.
Bahasa yang menyudutkan pihak isteri
Friedman yang salah satunya ada dalam
(termohon). Hal ini biasanya terjadi dalam
buku The Legal System: A Social Sciences
perkara cerai talah dengan alasan Nuzus;
Perspective. Friedman memperkenalkan
kedua, dalam mediasi. Misalnya, sidang
konsep budaya hukum (legal culture)
Mediasi hanya dilakukan 1 (satu) kali dan
untuk mempertegas pandangan sebelum-
Pemohon di wakili oleh Kuasa Hukumnya
nya bahwa hukum yang paling baik
dan mediasi telah dinyatakan gagal oleh
dipahami dan digambarkan secara sistemik
hakim mediator, padahal Termohon (isteri)
di mana hukum merupakan salah satu dari
masih menginginkan untuk diberi kesem-
unsur-unsur lain yang satu sama lain
patan bertemu dengan Pemohon dalam
berfungsi secara fungsional. Lebih lanjut
sidang mediasi ini, akan tetapi ditolak oleh
menurut Friedman, budaya hukum dapat
Hakim Mediator, dengan alasan yang tidak
diartikan sebagai sikap manusia terhadap
jelas; ketiga, dalil-dalil yang diajukan oleh
hukum dan sistem hukum, kepercayaan,
Termohon tentang pemenuhan nafkah lahir
nilai serta harapannya (Lawrence M.
yang jarang diberikan oleh Pemohon
Friedman, edisi 4 No 1 (1969):82).
selama pernikahan, dan adanya anak yang
Sebagaimana dikutip Hein Wangania,
lahir dalam pernikahan tersebut tidak men-
Friedman
jadi pertimbangan hakim dalam membuat
hukum menjadi budaya hukum internal
putusan, sehingga amar putusan sama
dan eksternal. Budaya hukum internal
sekali tidak menyebutkan mengenai nafkah
merupakan budaya hukum dari warga
lampau dan nafkah anak.
masyarakat yang melaksanakan tugas-
juga
membedakan
budaya
Berangkat dari pemikiran dan fakta
tugas hukum secara khusus, seperti polisi,
tersebut maka, manjadi penting dan relefan
jaksa, dan hakim. Sedangkan budaya
untuk dikaji mengenai faktor penyebab
hokum
bias
eksternal
merupakan
budaya
hakim
hukum masyarakat pada umumnya (Hein
pengadilan Agama dalam menyelesaikan
Wangania, Jakarta: 2012 :3). Blankenburg
budaya
198 |
hukum
gender
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
juga mengemukakan bahwa budaya hukum
substance),
merupakan keseluruhan sikap, kepercaya-
structure), dan unsur budaya hukum (legal
an, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan
culture) (Ahmad Ali, 2002: 9).
struktur
hukum
(legal
hukum (Erhard Blankenburg, 1984): 22).
Struktur adalah kerangka, bagian
Budaya hukum itu sendiri adalah sebagai
yang memberi semacam bentuk dan
sub-budaya yang bertalian dengan peng-
batasan
hargaan dan sikap tindak manusia terhadap
menyangkut
hukum sebagai realitas sosial (Tb. Ronny
penegakan
Rachman Nitibaskara, 2006: 32).
kepengacaraan, kejaksaan dan peradilan.
terhadap
keseluruhan,
struktur hukum
jadi
institusi-institusi
seperti
kepolisian,
Konsep budaya hukum, meletakan
Struktur hukum bagaikan foto diam yang
hukum dalam suatu realitas masyarakat,
menghentikan gerak ( a kind of still
sehingga kajiannya tidak lagi dogmatik
photograph, which freezes the action).
melainkan
karena
Subtansi adalah aturan, norma dan pola
“meneropong” bekerjanya hukum dalam
perilaku nyata manusia yang berada dalam
masyarakat yang dilayaninya. Oleh karena
sistem itu. Subtansi juga berarti produk
itu, perwujudan tujuan, nilai-nilai ataupun
yang dihasilkan oleh orang yang berada di
ide-ide
dalam sistem hukum tersebut, mencakup
yuridis
yang
peraturan
empiris,
terkandung
hukum
di
dalam
merupakan
suatu
tidak
saja
aturan
dalam law
books
sendiri,
melainkan juga living law. Sedangkan
melainkan mempunyai hubungan timbal
budaya hukum adalah sikap manusia
balik
masyarakat.
terhadap hukum dan sistem kepercayaan,
Keterlibatan manusia di dalam perumusan
nilai, pemikiran serta harapannya. Dengan
dan pelaksanaan hukum memperlihatkan
kata lain kultur hukum adalah suasana
adanya hubungan antara hukum dan
pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
budaya, sehingga keadilan dan ketidak-
menentukan bagaimana hukum digunakan,
adilan dalam hukum dipengaruhi oleh
dihindari atau disalahgunakan. Analogi
budaya hukum..Budaya hukum inilah yang
yang tepat untuk mengambarkan ketiga
menentukan
unsur
kegiatan
yang
yang
tidak
erat
berdiri
dengan
sikap,
ide,
nilai-nilai
sistem
hukum
adalah
sebagai
diibaratkan
mesin,
seseorang terhadap hukum di masyarakat.
berikut;
Pada dasarnya budaya hukum merupakan
subtansi adalah apa yang dikerjakan dan
salah satu elemen dari sistem hukum yang
dihasilkan oleh mesin itu dan kultur
diperkenalkan
hukum adalah apa saja atau siapa saja yang
oleh
Lawrence
M.
struktur
Friedman, di mana sistem hukum itu
memutuskan
terdiri dari unsur substansi hukum (legal
digunakan.
bagaimana
Budaya Hukum Bias Gender Hakim Pengadilan Agama… (Ahmad Jalaludin)
mesin
itu
| 199
Secara lebih riil konteks putusan
sebelumnya. Dengan demikian, produk
hukum hakim, maka unsur substansi
hukum yangdisebut terakhir merupakan
hukum dimaksudkan sebagai pengkate-
hasil
gorian tindakan salah dan benar. Secara
mengakamodasi kekuatan-kekuatan sosial,
kronologis, putusan hukum hakim meru-
kekuatan-kekuatan hukum yang hidup
pakan hasil dari proses dinamis panjang
dalam masyarakat, dan hukum formal
sebelumnya, yaitu proses interaksional
terkait itu sendiri itulah yang akan
fungsional antar-subunsur dalam unsur
menghasilkan outcome berupa ketertiban
struktur hukum. Pada unsur stuktur hukum
dan keadilan masyarakat luas. Dengan
dimaksud terdapat subunsur hakim, para
demikian, Friedman dalam memahami
pihak, pengacara, saksi, bahkan panitera di
hukum mengadopsi model sebuah sistem,
satu pihak dan pihak lain terdiri dari
ada input, proses, output, dan outcome.
subunsur hukum acara, dan undang-
Sebaliknya, jika hukum dipahami secara
undang terkait kitab undang-undang atau
positivistik sebagai seperangkat aturan
lex spesialis yang menjadi dasar preskriptif
atau norma tertulis maupun tidak tertulis
untuk memutus. Dalam konsep Fiedman,
yang mengategorikan suatu perilaku benar
apa yang terjadi pada proses interaksional
atau salah, kewajiban dan hak, maka
itu saja belum cukup memadai untuk
pemahaman demikian ini tergolong meru-
menghasilkan putusan hukum yang adil
pakan gagasan konvensional yang dikha-
mengingat pada proses ini dianggap belum
watirkan semakin menjauhkan jarak dan
memperoleh input berupa unsur budaya
melebarkan ruang antara keadilan yang
hukum, yang menurutnya budaya hukum
dikehendaki masyarakat dengan isi hukum
dimaksud memiliki subunsur yang terdiri
itu sendiri, bahkan semakin menegaskan
dari subunsur kekuatan-kekuatan sosial
pada tidak ada keterkaitannya antara
(legal forces) dan subunsur kekuatan-
hukum dalam teori dengan hukum dalam
kekuatan hukum (legal forces) itu sendiri.
praktik.
Kedua subunsur budaya hukum itulah
dari
Budaya
proses
interaksional
hukum
adalah
yang
cermin
kemudian masuk ke dalam proses in-
identitas dan sekaligus sumber refleksi,
teraksional pada unsur struktur hukum
sumber abstraksi yang terwujud dalam
untuk berinteraksi dengan subunsur pada
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
unsur struktur hukum di atas dan akhirnya
produk hukum, dan terlembagakan dalam
menghasilkan putusan hukum yang subs-
setiap institusi hukum, dalam produk
tansinya mengategorikan suatu tindakan
substansi hukum, dan juga terbentuk
benar atau salah sebagaimana disebut
dalam sikap dan perilaku setiap pejabat
200 |
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
atau aparat dan pegawai yang bekerja di
afektif. Dimensi kognifitif adalah pengeta-
bidang hukum serta para pencari keadilan
huannya tentang hukum yang mengatur
(justice seekers) dan warga masyarakat
perilaku tertentu. Sedangkan dimensi afek-
pada umumnya. Bahkan budaya hukum itu
tif adalah keinsyafannya bahwa hukum itu
juga
para
memang harus ada dan bisa dilaksanakan.
pemimpin dan mekanisme kepemimpinan
Kesadaran hukum dipengaruhi oleh bu-
hukum dalam praktik. Penegak hukum
daya hukum masyarakat. Budaya hukum
disebut profesional karena kemampuan
adalah sikap, pandangan dan nilai yang
berpikir dan bertindak melampaui hukum
berpengaruh terhadap berfungsinya hukum
tertulis tanpa menciderai nilai keadilan.
(Lawrence M. Friedman, 1986:.3). Oleh
Dalam
dituntut
karena itu, untuk mewujudkan hukum
kemampuan penegak hukum mengkritisi
yang berkeadilan gender dipengaruhi oleh
hukum dan praktik hukum demi mene-
kultur hukum yang telah dibangun oleh
mukan apa yang seharusnya dilakukan
masyarakat, jika kultur hukum yang
sebagai seorang profesional. Oleh karena
dibangun oleh masyarakat bias gender
itu, kesadaran akan pentingnya self-image
maka hukum yang berkeadilan gender
positif dan self-esteem sebagai nilai akan
tidak akan terwujud. Hal senada dengan
membantu seorang profesional hukum.
Satjipto Rahardjo yang bertolak dari
Artinya, keahlian saja tidak cukup, namun
anggapan bahwa, dalam proses pembuatan
diperlukan keutamaan bersikap profesio-
hukum, hal yang tidak dapat diabaikan
nal: berani menegakkan keadilan. Konsis-
adalah peranan orang-orang atau anggota
tensi bertindak adil menciptakan kebiasaan
masyarakat yang menjadi sasaran peng-
bersikap adil. Keutamaan bersikap adil
aturan hukum dan yang menjalankan
menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan
hukum positif itu atau penegak hukum
fair terhadap kepentingan masyarakat,
(hakim, polisi , jaksa) (Abdurahman, 1986
tetapi juga lewat keberanian menjadi
:91-93; Kunthoro Basuki, 2002: 157).
whistleblower.
Artinya, apakah pada akhirnya menjadi
mempengaruhi
menegakan
cara
kerja
keadilan,
Bertolak dari pemikiran tersebut di
hukum yang seksis atau non-seksis ditentu-
atas maka hukum yang adil dipengaruhi
kan oleh sikap, pandangan serta nilai yang
oleh kesadaran hukum. Kesadaran hukum
dihayati oleh anggota masyarakat dan
adalah kondisi mental seseorang subjek
penegak hukum.
tatkala harus menghadapi suatu imperatif normatif
untuk
menentukan
pilihan
perilakunya yang berdimensi kognitif dan Budaya Hukum Bias Gender Hakim Pengadilan Agama… (Ahmad Jalaludin)
| 201
Penyebab
bangkan preferensi pada salah satu jenis
gender
kelamin tertentu. Sikap hakim tersebut
Hakim Pengadilan Agama dalam
mengakibatkan mereka juga bertindak
Perkara Cerai Talak
secara khas terhadap para pihak dalam
Bias gender bisa dimaknai sebagai
proses berperkara dan dalam putusan yang
suatu kecenderungan dalam memperlaku-
mereka buat dengan tidak memperhatikan
kan atau menafsirkan fakta atau kasus
dan/atau memperhatikan adanya pola relasi
dengan hanya mempertimbangkan prefe-
yang timpang antara laki-laki dan perem-
rensi kepada salah satu jenis kelamin ter-
puan. Pola relasi gender dalam rumah
tentu berdasarkan prasangka dan stereo-
tangga yang timpang dimana si isteri
type. Dalam definisi yang dibuat oleh
sebagai pihak subordinat, akan semakin
Judicial Council Advisory Committee on
timpang ketika dalam proses persidangan
Gender Bias in the Courts Report (1990),
para hakim berpola pikir dan bersikap bias
bias jender dipahami sebagai “behaviour
gender. Kondisi ini semakin menjadikan
or decision making which is based on or
perempuan (isteri, termohon) mengalami
reveals; (1) stereotypical attitudes about
ketidakadilan baik dalam konteks hukum
the nature and roles of men and women;
maupun sosial, karena dia adalah perem-
(2) perceptions of their relative worth; or
puan. Artinya, pola pikir dan sikap bias
(3) myths and misconception about the
gender hakim akan berdampak pada tidak
social and economic realities encountered
adanya rasa keadilan bagi kaum perem-
by both sexes.” Difinisi tersebut bisa di-
puan, karena dia adalah perempuan. Hal
interprestasikan bahwa, bias gender adalah
tersebut tentunya bertentangan dengan
perilaku yang berbasis pada anggapan
tugas dan tanggungjawab hakim sebagai
stereotype tentang peran alamiah laki-alaki
penegak hukum dalam rangka memenuhi
dan perempuan, serta konsepsi yang salah
keadilan masyarakat. Untuk memenuhi
tentang realitas sosial ekonomi dari kedua
rasa keadilan ini tentunya seorang hakim
jenis kelamin.
tidak boleh membeda bedakan orang, baik
B.
Menelusuri Budaya
faktor
Hukum
bias
Beranjak dari difinisi di atas, maka
laki-laki maupun perempuan.
yang dimaksud dengan budaya hukum bias
Oleh karena itu, Prinsip kesetaraan
gender dalam konteks ini adalah sikap
gender (Gender Equality principle) secara
hakim Pengadilan Agama atau respon
esensial harus melekat dalam sikap setiap
hakim Pengadilan Agama terhadap suatu
hakim ketika menangani perkara yang
stimulus atau objek berdasarkan sudut
diajukan, khususnya perkara cerai talak..
pandang tertentu, yang hanya mempertim-
Hal tersebut senada dengan pendapat
202 |
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
Marian Roberts dalam bukunya ‘Mediation
pedoman profesi ini sejak masa awal
in
of
perkembangan hukum dalam peradaban
Practices’ (2008). Roberts mengemukakan
manusia adalah The Four Commandments
bahwa sengketa keluarga seperti perkara
for Judges dari Socrates. Kode etik hakim
perceraian melibatkan tingkat emosional
tersebut terdiri dari empat butir di bawah
yang tinggi, sehingga penangannya juga
ini.: To hear corteously (mendengar
harus dilakukan secara hati-hati
dengan sopan dan beradab).; To answer
Family
Disputes;
Principles
dengan
melihat latar belakang sosial ekonomi dan
wisely
perasaan
Rita
bijaksana).; To consider soberly (mem-
Pranawati, mahasiswi postgraduate di
pertimbangkan tanpa terpengaruh apapun)
Monash University, Melbourne Australia
dan; To decide impartially (memutus tidak
melakukan penelitian mengenai kinerja
berat sebelah). Sebagai perwujudan dari
hakim peradilan agama dalam menangani
sikap dan sifat di atas, maka sebagai
perkara perceraian, yang mengusulkan
pejabat hukum, hakim harus memiliki
perspektif gender agar diberikan keada
etika kepribadian, yakni: a. percaya dan
semua Cakim (dalam Diklat Cakim),
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b.
sehingga para hakim di Pengadilan Agama
menjunjung tinggi citra, wibawa, dan
menggunakan perspektif gender dalam
martabat hakim; c. berkelakuan baik dan
menangani perkara perceraian. Hal senada
tidak tercela; d. menjadi teladan bagi
juga dikemuakakan oleh Lies Marcoes,
masyarakat; e. menjauhkan diri dari per-
bahwa perlu merubah cara pandang,
buatan asusila dan kelakuan yang dicela
maindset yang bias gender, karena selama
oleh masyarakat; f. tidak melakukan per-
ini isteri yang harus terus menerus dituntut
buatan yang merendahkan martabat hakim;
untuk tabah, kuat, sabar dalam mengarungi
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung
rumah tangga. Isteri adalah pelayan suami
jawab; h. berkepribadian, sabar, bijaksana,
dan anak-anak, sehingga harus melakukan
berilmu; i.. dapat dipercaya; dan j.
perubahan cara melihat keadilan (Lies
berpandangan luas. Sikap, sifat, dan etika
Marcoes Natsir, Dkk 2009).
kepribadian yang harus dimiliki oleh
kedua
belah
pihak.
(menjawab
dengan
arif
dan
Cita hukum keadilan yang terdapat
hakim seperti telah diuraikan di atas
dalam das sollen (kenyataan normatif)
selanjutnya diimplementasikan di persi-
harus dapat diwujudkan dalam das sein
dangan pada saat hakim menjalankan
(kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai
tugasnya. Secara umum, yang harus di-
yang terdapat dalam etika profesi. Salah
lakukan hakim terhadap pihak pencari
satu etika profesi yang telah lama menjadi
keadilan dalam persidangan adalah: ber-
Budaya Hukum Bias Gender Hakim Pengadilan Agama… (Ahmad Jalaludin)
| 203
sikap dan bertindak menurut garis-garis
para hakim Pengadilan Agama bersekolah
yang ditentukan dalam hukum acara yang
mulai dari tingkat SLTP s.d Perguruan
berlaku; tidak dibenarkan bersikap yang
Tinggi, maka akan sangat berpengaruh
menunjukkan memihak atau bersimpati
kental dalam membangun pola pikir dan
atau antipati terhadap pihak-piha yang
sikap bias gender para hakim di PA ini.
berperkara; harus bersikap sopan, tegas,
Kedua,
nilai
patriarkhis
yang
dan bijaksana dalam memimpin sidang,
dibangun oleh lingkungan keluarga dan
baik dalam ucapan maupun perbuatan; dan
sosial. Nilai patriarkhis yang dibangun
harus menjaga kewibawaan dan kekhid-
oleh lingkungan keluarga dan masyarakat,
matan persidangan.
dimana hakim di PA tumbuh dan ber-
Faktor yang menyebabkan pola pikir
kembang, juga menjadi faktor penyebab
dan sikap bias gender hakim Pengadilan
dalam hal ini. Kultur patriarkhi memben-
Agama dalam menangani perkara cerai
tuk perbedaan perilaku, status dan otoritas
talak, antara lain:
antara laki-laki dan perempuan di masya-
Pertama, latar belakang Pendidikan.
rakat kemudian menjadi hirarki gender.
Latar belakang pendidikan menjadi salah
Perbedaan biologis antara laki-laki dan
satu faktor yang membentuk pola pikir dan
perempuan dianggap sebagai awal pem-
sikap dari seseorang. Misalnya, seseorang
bentukan budaya patriarkhi. Masyarakat
yang berlatar pendidikan dari sekolah
memandang perbedaan biologis antara
tertentu dengan model pendidikan yang
keduanya merupakan status yang tidak
konvensional tentu akan berbeda dengan
setara, perempuan yang tidak memiliki
orang lain yang berlatar pendidikan non
otot dipercayai sebagai alasan masyarakat
konvensional.. Argumentasi tersebut akan
meletakkan perempuan pada posisi lemah.
lebih jelas jika dianalisis dengan meng-
Laki-laki dianggap memiliki fisik kuat.
gunakan konsep pola pikir dan sikap. Jika
Walby
pola pikir atau mindset adalah cara menilai
merupakan sistem terstruktur dan praktek
dan memberikan kesimpulan terhadap
sosial yang menempatkan kaum laki-laki
sesuatu berdasarkan sudut pandang ter-
sebagai pihak yang mendominasi, melaku-
tentu,
kan operasi dan mengeksploitasi kaum
yang
dipengaruhi
oleh
emosi
(mentality), pendidikan, pengetahuan dan
mengatakan
bahwa,
partiarkhi
perempuan (Silvia Walby, 1998:20).
pengalaman dan pola pikir akan meme-
Ketiga, aturan hukum yang bias
ngaruhi sikap seseorang dalam meman-
gender. Undang–undang RI Nomor 1
dang
model
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kom-
pendidikan yang tidak adil gender dimana
pilasi Hukum Islam yang selama ini dijadi-
204 |
objek
sasaran,
maka
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
kan sebagai rujukan bagi para Hakim di
dipastikan
Pengadilan Agama, alih-alih menempatkan
mencerminkan nilai-nilai tersebut. Pola
perempuan sebagai subordinat di belakang
relasi suami isteri yang dikonstruksi
laki-laki. Pembakuan peran gender dalam
dan/atau dilegitimasi oleh hukum Negara
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tersebut,
Tentang Perkawinan dimana isteri adalah
kepentingan dimana kaum perempuan
Ibu rumah tangga yang tentunya berada di
dikalahkan
wilayah domestik dan suami sebagai
dengan mengatasnamakan agama. Inpres
pencari nafkah yang berada di wilayah
No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
publik merupakan bentuk ketidakadilan
Hukum Islam (KHI) yang bertujuan untuk
gender.
memenuhi
Dikhotomi
domestik
publik
hukum
akhirnya
oleh
keluarganya
menjadi
akan
bangunan
kepentingan laki-laki
kebutuhan
hukum
materiil
tersebut menjadikan pola relasi yang
Peradilan Agama, yang terdiri dari tiga
timpang antara suami isteri dan tentunya
bagian; hukum perkawinan (buku I),
isteri terdiskriminasi dalam area yang
hukum kewarisan (buku II) dan hukum
membelenggu kehidupan mereka. Hal
perwakafan (buku III sebagai Pedoman
tersebut semakin dipertegas oleh anggapan
bagi para hakim di Pengadilan Agama,
bahwa, wajah dunia sangat dipengaruhi
juga dianggap sudah tidak sesuai dengan
bagaimana pola relasi dalam keluarga
nilai-nilai kesetaraan, keadilan gender
dibentuk. Ada yang melihat bahwa pem-
yang
bentukan dunia diawali dengan mekons-
Pembakuan peran antara laki-laki dan
truksi relasi perempuan dan laki-laki
perempuan yang terdapat dalam KHI
dalam keluarga melalui hukum. Oleh
ternyata
karenanya
Undang-undang
Undang-undang
perkawinan
menjamin
tidak
hak-hak
jauh
perempuan.
bebeda
dengan
turunannya,
yaitu
dan Kompilasi Hukum Islam sebagai
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
landasan hukum keluarga senantiasa men-
Tentang Perkawinan. KHI yang lebih
jadi areal kontenstasi berbagai kelompok
banyak diambil dari penjelasan normatif
kepentingan. Bagi negara yang represif
tafsir-tafsir
dan
sehingga
anti
perempuan;
upaya
untuk
ajaran kurang
keagamaan
klasik,
mempertimbangkan
mengontrol perempuan sesuai dengan
kemaslahatan bagi umat Islam Indonesia,
nilai-nilai
rezim
khususnya bagi kaum perempuan. Praktek-
pemerintahannya adalah dengan mengubah
demikian mempengaruhi dan dipengaruhi
hukum
cara pandang pembuat kebijakan dan
dan
keluarga.
kepentingan
Bagi
Negara
yang
demokratis dan menjunjung tinggi-tinggi
pelaksananya
nilai-nilai
masyarakat. Kondisi tersebut akhirnya
kemanusiaan,
maka
dapat
bahkan
Budaya Hukum Bias Gender Hakim Pengadilan Agama… (Ahmad Jalaludin)
diamini
oleh
| 205
mempengaruhi para hakim di Pengadilan
dan kekuasaan kaum laki-laki berpengaruh
Agama,
dalam
sebagai
pelaksana
hukum
melanggengkan
ketidakadilan
sehingga berpotensi menghasilkan putusan
gender (gender inequalities) termasuk
yang berpihak dan/atau menguntungkan
dalam konteks hukum.
suami. Hal tersebut senada dengan Feminist Legal
Theory,
bahwa
hukum
yang
C.
Representasi Budaya Hukum Bias Gender Hakim Pengadilan Agama
diformulasikan oleh untuk laki-laki dan
dalam Perkara Cerai Talak
bertujuan memperkokoh hubungan sosial
Pengadilan
Agama
merupakan
yang patriarkhis, sehingga hukum abai
lembaga Peradilan yang didominasi oleh
terhadap pengalaman perempuan, dan
perkara perceraian, dimana perkara terse-
hukum yang dihasilkan adalah hukum
but melibatkan pola relasi suami-isteri
yang seksis atau bias laki-laki (Tapi Omas
yang secara sosiologis sangat dipengaruhi
Ihroni, 2004: 28) Hal ini dipertegas oleh
oleh kultur patriarkhi yang notabene bias
Jacques Lacan, yang menyatakan bahwa,
gender. Alih-alih, kondisi tersebut cende-
aturan simbolis yang sarat dengan aturan
rung menjadikan. hakim di Pengadilan
laki-laki telah menyulitkan perempuan,
Agama menempatkan perempuan (isteri)
aturan ini diekspresikan dalam bahasa dan
sebagai objek dalam persidangan, sehingga
cara berpikir yang maskulin sehingga
tidak memiliki posisi tawar yang setara
menyebabkan
perempuan
dengan laki-laki (suami), dan putusan yang
secara berulang (Gadis Arivia, 2003:128)..
dihasilkanpun cenderung melukai rasa
Penindasan perempuan secara berulang
keadilan bagi perempuan (isteri). Budaya
dan/atau ketertindasan kaum perempuan,
hukum bias gender yang ditunjukan oleh
menurut Gunder Frank, Antonio Gramsi
para hakim di Pengadilan Agama dalam
dan Lousi Altusser disebabkan karena
menangani perkara cerai talak, antara lain:
penindasan
adanya nilai dan kepentingan yang sama
Pertama, dalam persidangan. Bahasa
antara negara dan laki-laki (Mansur Fakih,
yang digunakan oleh hakim dalam persi-
, 1999:36-37). Pemikiran tersebut bisa
dangan cenderung dimaknai bias gender
of
karena menyudutkan pihak isteri (termo-
hegemoni (negara, masyarakat dan rumah
hon). Misalnya, “kamu kan seorang pe-
tangga) yang masih didominasi oleh laki-
rempuan, kan tidak pantas berboncengan
laki, maka perempuan akan semakin
dengan laki-laki yang bukan muhrim”
tertindas. Ideologi patriakhi yang dibangun
Frase “perempuan tidak pantas” tentunya
oleh relasi gender berbasis kepentingan
sangat bias gender, karena yang tidak
dipahami
206 |
bahwa,
dengan
center
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
pantas berduaan dengan yang bukan
ketika dalam masyarakat nilai-nilai yang
muhrim bukan hanya perempuan, namun
dibangun terkait dengan seksualitas perem-
juga laki-laki.
puan mencerminkan ketidakadilan gender,
Kedua,
dalam
mediasi.
Sidang
maka hukumpun juga tidak berkeadilan
Mediasi hanya dilakukan 1 (satu) kali dan
gender, seksis. Hukum yang seksis adalah
Pemohon di wakili oleh Kuasa Hukumnya
hukum
dan mediasi telah dinyatakan gagal oleh
perempuan,
hakim mediator, padahal Termohon (isteri)
kontruksi sosial yang bias gender. Konsep
masih menginginkan untuk diberi kesem-
hukum berkeadilan gender, bagi para
patan bertemu dengan Pemohon dalam
feminis dimaknai sebagai hukum yang
mediasi ini, akan tetapi ditolak oleh Hakim
berpihak kepada perempuan karena dalam
Mediator, dengan alasan yang tidak jelas.
relasi gender perempuan dianggab sebagai
yang
tidak
karena
memihak
kaum
dipengaruhi
oleh
Ketiga, dalam pembuktian. Beberapa
"yang lain" atau inferior yang hak-haknya
alat bukti surat Termohon dikesampingkan
patut mendapat perlindungan. Patricia
oleh Hakim dengan dalil tidak ada
Cain menegaskan bahwa, dalam kondisi
relevansinya, padahal bukti tersebut bisa
dimana
memperkuat dalil yang dituduhkan oleh
golongan inferior perlu adanya sistem
Pemohon.
hukum demokratis yang memungkinkan
perempuan
dianggap
sebagai
Keempat dalam putusan.Dalil-dalil
setiap perempuan dapat mendefinisikan
yang diajukan oleh Termohon tentang
diri mereka sendiri (Patricia Cain, 1993:
pemenuhan nafkah lahir yang jarang
244-246.).
diberikan oleh Pemohon selama perni-
Secara lebih riil dalam konteks
kahan, dan adanya anak yang lahir dalam
putusan
pernikahan tersebut tidak menjadi pertim-
substansi hukum dimaksudkan sebagai
bangan hakim dalam membuat putusan,
pengkategorian tindakan salah dan benar.
sehingga amar putusan sama sekali tidak
Secara kronologis, putusan hukum hakim
menyebutkan mengenai nafkah lampau
merupakan hasil dari proses dinamis
dan nafkah anak.
panjang sebelumnya yaitu proses interak-
hukum
hakim,
maka
unsur
Menyitir pendapat beberapa ahli
sional fungsional antar-subunsur dalam
hukum bahwa, hukum yang dalam konteks
unsur struktur hukum. Pada unsur stuktur
ini adalah putusan hakim, merupakan
hukum dimaksud terdapat subunsur hakim,
pergulatan kepentingan sosial, budaya
para pihak, pengacara, saksi, bahkan
yang mencerminkan standar nilai yang
panitera di satu pihak dan pihak lain terdiri
dianut oleh masyarakat. Oleh karena itu,
dari subunsur hukum acara, dan undang-
Budaya Hukum Bias Gender Hakim Pengadilan Agama… (Ahmad Jalaludin)
| 207
undang terkait kitab undang-undang atau
Budaya
hukum
adalah
cermin
lex spesialis yang menjadi dasar preskriptif
identitas dan sekaligus sumber refleksi,
untuk memutus. Dalam konsep Friedman,
sumber abstraksi yang terwujud dalam
apa yang terjadi pada proses interaksional
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
itu saja belum cukup memadai untuk
produk hukum, dan terlembagakan dalam
menghasilkan putusan hukum yang adil
setiap institusi hukum, dalam produk
gender,
ini
substansi hukum, dan juga terbentuk
dianggap belum memperoleh input berupa
dalam sikap dan perilaku setiap pejabat
unsur budaya hukum, yang menurutnya
atau aparat dan pegawai yang bekerja di
budaya
memiliki
bidang hukum serta para pencari keadilan
subunsur
(justice seekers) dan warga masyarakat
kekuatan-kekuatan sosial (legal forces)
pada umumnya. Bahkan budaya hukum itu
dan subunsur kekuatan-kekuatan hukum
juga
(legal forces) itu sendiri.
pemimpin dan mekanisme kepemimpinan
mengingat
hukum
subunsur
yang
pada
proses
dimaksud terdiri
dari
mempengaruhi
cara
kerja
para
Kedua sub-unsur budaya hukum
hukum dalam praktik. Penegak hukum
itulah kemudian masuk ke dalam proses
disebut profesional karena kemampuan
interaksional pada unsur struktur hukum
berpikir dan bertindak melampaui hukum
untuk berinteraksi dengan subunsur pada
tertulis tanpa menciderai nilai keadilan.
unsur struktur hukum di atas dan akhirnya
Dalam
menghasilkan putusan hukum yang subs-
kemampuan penegak hukum mengkritisi
tansinya mengategorikan suatu tindakan
hukum dan praktik hukum demi mene-
benar atau salah sebagaimana disebut
mukan apa yang seharusnya dilakukan
sebelumnya. Dengan demikian, produk
sebagai seorang profesional. Oleh karena
hukum yang disebut terakhir merupakan
itu, kesadaran akan pentingnya self-image
hasil dari proses interaksional yang meng-
positif dan self-esteem sebagai nilai akan
akamodasi kekuatan-kekuatan sosial, ke-
membantu seorang profesional hukum.
kuatan-kekuatan hukum yang hidup dalam
Artinya, keahlian saja tidak cukup, namun
masyarakat, dan hukum formal terkait itu
diperlukan keutamaan bersikap profesio-
sendiri itulah yang akan menghasilkan
nal: berani menegakkan keadilan. Konsis-
outcome berupa ketertiban dan keadilan
tensi bertindak adil menciptakan kebiasaan
masyarakat
demikian,
bersikap adil. Keutamaan bersikap adil
Friedman dalam memahami hukum meng-
menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan
adopsi model sebuah sistem, ada input,
fair terhadap kepentingan masyarakat,
luas.
Dengan
menegakan
keadilan,
dituntut
proses, output, dan outcome. 208 |
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015
tetapi juga lewat keberanian menjadi
hukum yang seksis atau non-seksis ditentu-
whistleblower.
kan oleh sikap, pandangan serta nilai yang
Bertolak dari pemikiran tersebut di
dihayati oleh anggota masyarakat dan
atas maka hukum yang adil gender
penegak hukum, yang dalam konteks ini
dipengaruhi
hukum.
adalah Hakim di Pengadilan Agama. Hal
Kesadaran hukum adalah kondisi mental
tersebut senada dengan aliran feminist
seseorang subjek tatkala harus menghadapi
legal theory bahwa patriarkhisme menjadi
suatu imperatif normatif untuk menentu-
penyebab diskriminasi terhadap perem-
kan pilihan perilakunya yang berdimensi
puan, sehingga, aturan simbolis yang sarat
kognitif dan afektif. Dimensi kognifitif
dengan aturan laki-laki telah menyulitkan
adalah pengetahuannya tentang hukum
perempuan, aturan ini diekspresikan dalam
yang mengatur perilaku tertentu. Sedang-
bahasa dan cara berpikir yang maskulin
kan dimensi afektif adalah keinsyafannya
sehingga menyebabkan penindasan perem-
bahwa hukum itu memang harus ada dan
puan secara berulang. Oleh karena itu, hal
bisa dilaksanakan. Kesadaran hukum dipe-
yang harus dilakukan adalah merumuskan
ngaruhi oleh budaya hukum masyarakat.
kembali praktek hukum yang selama ini
Budaya hukum adalah sikap, pandangan
mengesampingkan, tidak menghargai dan
dan nilai yang berpengaruh terhadap
meremehkan kepentingan kaum perem-
berfungsinya hukum. Oleh karena itu,
puan.
oleh
kesadaran
untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan gender dipengaruhi oleh kultur
PENUTUP
hukum yang telah dibangun oleh masya-
Faktor yang menyebabkan budaya
rakat, jika kultur hukum yang dibangun
hukum (pola pikir dan sikap) bias gender
oleh masyarakat bias gender maka hukum
hakim di Pengadilan Agama dalam perkara
yang berkeadilan gender tidak akan terwu-
cerai talak, antara lain: latar belakang
jud. Hal senada dengan Satjipto Rahardjo
Pendidikan formal dan informal yang
yang bertolak dari anggapan bahwa, dalam
belum menerapkan model pendidikan adil
proses pembuatan hukum, hal yang tidak
gender; Nilai patriarkhis yang dibangun
dapat diabaikan adalah peranan orang-
oleh lingkungan keluarga dan sosial,
orang atau anggota masyarakat yang men-
dimana mereka terlahir dari orang tua dan
jadi sasaran pengaturan hukum dan yang
lingkungan sosial sebagai suku Jawa dan;
menjalankan
atau
adanya aturan hukum yang bias gender
penegak hukum (hakim, polisi, jaksa).
sebagai rujukan bagi para Hakim di
Artinya, apakah pada akhirnya menjadi
Pengadilan Agama, khsususnya terkait
hukum
positif
itu
Budaya Hukum Bias Gender Hakim Pengadilan Agama… (Ahmad Jalaludin)
| 209
dengan perkara cerai talak. Budaya hukum
Tanggung Jawab antara Kepolisian
(pola pikir dan sikap) bias gender hakim
dan
Pengadilan Agama dalam perkara cerai
2012
Kejaksaan,Makalah,
Jakarta:
talak terepresentasi, antara lain: dalam
D. Kelly Weisberg ( ed) ,Feminist Legal
persidangan. Bahasa yang digunakan oleh
Theory :Foundations, Philadelphia:
hakim, sangat menyudutkan pihak isteri
Temple University Press, 1993
(termohon, perempuan); dalam mediasi,
Gadis
Filsafat
Arivia,
berperspektif
tidak memberikan kesempatan pada ter-
Feminisme. Jakarta: Yayasan Jurmal
mohon dengan alasan yang tidak jelas;
Perempuan, 2003
dalam pembuktian. Mengenyampingkan
Heni Wangania, Perbandingan Budaya
alat bukti Termohon dengan dalil tidak ada
Hukum Hakim dalam Menangani
relevansinya, padahal bukti tersebut bisa
Perkara
memperkuat dalil yang dituduhkan oleh
Tipikor dan Pengadilan Umum,
Pemohon; .dalam putusan. tidak memper-
Makalah, Jakarta: 2012
timbangkan dalil yang diajukan Termohon, sehingga amar putusan sama sekali tidak menyebutkan mengenai nafkah lampau
Korupsi
di
Pengadilan
Kunthoro Basuki, Budaya Hukum, Jurnal Mimbar Hukum UGM, 2002 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and Welfare State, New York: Walter de
dan nafkah anak.
Gruyter, 1986 Lies Marcoes Natsir, Dkk Demi Keadilan
DAFTAR PUSTAKA Abdurahman, Tebaran Pemikiran tentang
Dan
Kesetaraa:
Dokumentasi
Hukum dan Masyarakat, Jakarta :
Program Sensitivitas Jender Hakim
Media Pustaka, 1986.
Agama
Di
Indonesia,
Jakarta:
Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum Di
Puskumham Uin Syarif Hidayatullah
Indonesia, Penyebab dan Solusinya,
Jakarta Bekerja Sama Dengan The
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002
Asia Foundation, 2009
Anas
Yusuf,
Profesi
Hukum
dalam
Dimensi Pelaksanaan Tugas dan
210 |
MUWAZAH, Volume 7, Nomor 2, Desember 2015