CERAI TANPA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DALAM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar S1 Oleh: MIFTAHUL JANNAH NIM: 1210038
PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA 2015
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM ●
Prodi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Terakreditasi B No. : 383/SK/BAN-PT/Akred/S/IX/2014
●
Prodi PerbankanSyari’ah
SK DirjenPendis No. 3656 Tahun 2014
Alamat :Jalan Taman Siswa (Pekeng) no.:09 TahunanJepara 59427 Telp/Fax.: (0291) 593132/085640019811 http://www.syariah.unisnu.ac.id; email :
[email protected]
PERSETUJUAN Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan telah menyetujui skripsi saudara: Nama
: Miftahul Jannah
NIM
: 1210038
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Program Studi
: Ahwal as-Syahsyiyyah
Judul
: Cerai tanpa Putusan Pengadilan Agama dalam Islam dan Hukum Positif
Untuk diujikan dalam munaqosah skripsi Nama
Miftahul Jannah
Tanggal
Tandatangan
17/09/2015
…………..
Pembimbing
Tanggal
Mayadina Rahma Musfiroh, MA
17/09/2015
Tandatangan
…………
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM ●
Prodi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Terakreditasi B No. : 383/SK/BAN-PT/Akred/S/IX/2014
●
Prodi PerbankanSyari’ah
SK DirjenPendis No. 3656 Tahun 2014
Alamat :Jalan Taman Siswa (Pekeng) no.:09 TahunanJepara 59427 Telp/Fax.: (0291) 593132/085640019811 http://www.syariah.unisnu.ac.id; email :
[email protected]
PENGESAHAN Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan telah menyetujui skripsi saudara: Nama
: Miftahul Jannah
NIM
: 1210038
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Program Studi
: Ahwal as-Syahsyiyyah
Judul
: Cerai tanpa Putusan Pengadilan Agama dalam Islam dan Hukum Positif
Telah diujikan dan dinyatakan LULUS dalam munaqosah skripsi. Nama
Drs. H. Ahmad Barowi, M.Ag
Tanggal
Tandatangan
30/09/2015
.................
30/09/2015
..................
Ketua/penguji Dr. Sa’dullah Assa’idi, M.A.
Penguji
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, saya, Nama: Miftahul Jannah NIM: 1210038, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini:
1.
Seluruhnya merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diterbitkan dalam bentuk dan keperluan apapun.
2.
Tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan rujukan dalam penulisan skripsi ini.
Saya bersedia menerima sanksi dari fakultas apabila di kemudian hari ditemukan ketidakbenaran dari pernyataan ini.
Jepara, 17 September 2015
Penulis,
MIFTAHUL JANNAH NIM: 1210038
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang Perceraian di bawah tangan yaitu perceraian yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak melalui jalur hukum atau tanpa proses perceraian di Pengadilan Agama. Padahal dalam UndangUndang sudah jelas bahwa perceraian itu hanya dapat dilakukan didepan pengadilan Dari uraian di atas timbul masalah: Pertama, bagaimana status perceraian tanpa putusan Pengadilan Agama. Kedua, bagaimana status perkawinan yang tidak mempunyai akta cerai.Ketiga,sejauh mana pentingnya akta cerai bagi pelaku perceraian. Untu menyelesaikan permasalahan tersebut, digunakanmetode penelitian Yaitu metode penelitian pustaka (Library Risearch) dimana data-data yang diambil dari buku yang ada yang berhubungan dengan judul yang telah ambil oleh penulis untuk mencari jawaban atas masalah yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerai tanpa putusan pengadilan itu tidak sah, sesuai dengan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Maka dari itu orang yang cerai tanpa putusan pengadilan tidak sah tapi sah menurut agama saja. Sedangkan perkawinan tanpa akta cerai itu juga tidak sah karena akta cerai merupan bukti otentik begitu juga akta nikah. Akta cerai merupakan bukti bahwa orang tersebut sudah selesai melakukan perceraian, apabila sudah melakukan perkawinan maka harus dibatalkan sesuai dengan pasal 22 UU No. 1tahun 1974 bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Begitu pentingnya akta cerai untuk melangsungkan perkawinan yang tak kalah pentingnya yaitu untuk terjaminnya pengurusan hak tunjangan anak dari suami istri harta gono gini dan perkawinan.
MOTTO
ﺧﲑ اﻟﻨﺎس اﻧﻔﻌﻬﻢ ﻟﻠﻨﺎس Sebaik-baik manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi manusia lain
واﻟﻴﺘﻠﻄﻒ Dan hendaklah engkau berlaku lemah lembut
KATA PENGANTAR
Segala puji Allah SWT yang telah melimpahkan Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan skripsiyang berjudul “CERAI TANPA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DALAM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) dalam Ilmu Syari’ah dan Ilmu Hukum Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS) Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara. Shalawatullah Wasalamuhu semoga senantiasa tercurahkan kepada revolusioner Islam penggagas kedamainan dan kebenaran serta kebajikan yaitu baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah memberikan satu inspirasi dalam keterasikan diri serta mampu mengaktualisasikan Rahmatan Lil Alamin sebagai pesan dan cita-cita suci Islam. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Mengingat kelemahan dan keterbatasan kemampuan penulis, serta berkat Rahmat Allah SWT dan juga pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Harapan penulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Dalam penyusunan skripsi ini, perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom, HM, selaku Rektor Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara. 2. Bapak Drs. KH. Ahmad Barowi, TM., M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara.
3. Bapak Hudi S.H.I., M.Si, selaku Ka. Prodi Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara. 4. Ibu Mayadina Rahma Musfiroh, MA., Selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, fikiran serta tenaganya untuk memberikan bimbingan, serta pengarahannya untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara yang telah mendidik dan mengarahkan kepada penulis dalam menekuni ilmu-ilmu keislaman. 6. Segenap staff akademika Fakultas Syari’ah serta staff perpustakaan UNISNU Jepara yang turut pula membantu penulis sehingga menjadikan lancarnya penulisan skripsi. 7. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
Jepara,17 September 2015
Penulis
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang dengan ikhlas telah berkorban dan membantu penulis dalam mengarungi perjalanan panjang dalam menggapai cita-cita: Kepada kedua orang tuaku (Bapak Tas’an dan Ibu Siti Rofikah) yang senantiasa selalu menjadi inspirasi dan kekuatan bagi penulis, Tiada hentihentinya penulis panjatkan doa kepada Allah SWT., semoga Bapak dan Ibu selalu ada dalam rahmat dan karunia-Nya di dunia dan akhirat. Amin,,, Kepada suami tercinta (Maksum Sofyan) yang selalu memberi suport, semangat dan inspirasi sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi. Kepada Saudara-saudaraku yang selalu memberikan semangat dan dukungannya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Kepada teman-teman seperjuanganku Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara dan keluarga besar Fakultas Syari’ah. Almamater Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara serta Fakultas Syari’ah Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah dan Ilmu Hukum yang telah mendidik dan mengarahkan dan membimbingku, terima kasih dan semoga tetap sukses selalu kedepannya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i HALAMAN NOTA PERSETUJUAN …………………………………...
ii
HALAMAN NOTA PENGESAHAN …………………………………....
iii
DEKLARASI ……………………………………………………………...
iv
ABSTRAK …………………………………………………………………
v
HALAMAN MOTTO …………………………………………………….. vi KATA PENGANTAR …………………………………………………….
vii
PERSEMBAHAN ………………………………………………………….. ix DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………
1
B. Penegasan Judul …………………………………………….
10
C. Rumusan Masalah ………………………………………….
11
D. Tujuan Penelitian …………………………………………...
11
E. Telaah Pustaka ……………………………………………...
12
F. Metode Penelitian …………………………………………...
13
G. Sistematika Penulisan ………………………………………
15
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG CERAI TANPA PUTUSAN PENGADILAN
A. Pengertian Perkawinan ……………………………………… 18 B. Dasar Hukum Perkawinan ……………………………… ..... 21 C. Hukum perkawinan...........................................................
25
D. Rukun dan Syarat Perkawinan ………………………….....
28
E. Tata cara perkawinan ………………………………………
31
F. Hal-hal yang membatalkan perkawinan……………………
33
G. Tujuan dan hikmah perkawinan........................................
37
BAB III KAJIAN TENTANG CERAI TANPA PUTUSAN PENGADILAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian perceraian ………………………….......................44 B. Dasar hukum perceraian ……………………………......
48
C. Rukun dan syarat perceraian ..…………….................... D. Prosedur perceraian........................................................ KAJIAN
TENTANG
CERAI
TANPA
PUTUSAN
54 57
PENGADILAN
MENURUT HUKUM POSITIF A. Pengertian perceraian ………………………….......................58 B. Dasar hukum perceraian ……………………………......
61
C. Rukun dan syarat perceraian ..…………….................... D. Prosedur perceraian........................................................
66 68
BAB IV ANALISIS TENTANG CERAI TANPA PUTUSAN PENGADILAN A. Analisis cerai tanpa putusan pengadilan menurut islam dan hukum positif...............................................................................
69
B. Analisis Status Perceraian tanpa Putusan Pengadilan............ 72 C. Analisis Status Perkawinan yang tidak memiliki akta cerai... 75 D. Analisis seberapa jauh pentingnya akta cerai bagi pelaku Perceraian.......................................................................... 80
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………..
84
B. Saran ……………………………………………………
85
C. Penutup …………………………………………………
86
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan kepada nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad saw. Ia melengkapi dan menyempurnakan agama-agama samawi yang diturunkan sebelumnya yang bertujuan untuk menjadi pedoman hidup umat manusia di dunia dan akhirat dalam mencapai tujuan kebahagiaan yang hakiki lahir dan batin . Sebagai suatu syariat yang lengkap dan sempurna maka tidak ada suatu aspek apapun yang dibicarakan oleh Islam, karena Syariat Islam yang abadi mencangkup semua segi kehidupan baik yang mengatur hubungan hamba dengan kholiknya dan mengatur pula hubungan hamba dengan seksama. Begitu pula Islam mengatur dalam masalah perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dibawah cinta kasih dan ridho Ilahi. Dalam hidup manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor penting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadi unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara
suami
istri
dalam
membentuk
ketenangan
dan
ketentraman
serta
mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya. 1 Sesusai dengan 0F
firman Allah SWT. dalam surat ar-Rum ayat: 21, yang berbunyi:
ِ ِ ِِ ِ اﺟﺎ ﻟِﺘَ ْﺴ ُﻜﻨُﻮا إِﻟَْﻴـ َﻬﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑَـْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ ً َوﻣ ْﻦ آﻳَﺎﺗﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻣ ْﻦ أَﻧْـ ُﻔﺴ ُﻜ ْﻢ أ َْزَو ٍ ﻣﻮﱠدةً ور ْﲪﺔً إِ ﱠن ِﰲ ذَﻟِﻚ ﻵﻳ (۲۱:ﺎت ﻟَِﻘ ْﻮٍم ﻳَـﺘَـ َﻔ ﱠﻜ ُﺮو َن)اﻟﺮوم َ ََ َ َ َ َ
Yang artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanya Allah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa cenderung, dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanya diantaramu rasa kasih dan sayang sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Ar – Rum:21). 2 1F
Ayat di atas mengandung tiga konsep yaitu konsep “sakinah”, di urai melalui bahasa hati “saling mengerti dan pengertian” berimplikasi pada suasana keduanya (suami istri), selain konsep “sakinah” ayat itu juga memperkenalkan konsep “mawaddah”, yaitu terlihatnya hasrat saling mencintai diantara keduanya yang mengantarkan kepada sikap agresif satu sama lain, pada tahapan berikutnya disempurnakan oleh konsep “rahmah” yang berarti saling menyayangi dan itu merupakan anugrah agung dari zat maha agung (Allah) karena predikat ini kelak akan langgeng. 3 2F
Tiga konsep di atas merupakan sebuah proses menuju terbangunya manjadi rumah tanggga ideal dan tauladan panutan bagi yang lain, karena rumah tangga yang dibina oleh pasangan suami isteri akan terwujud secara
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Media Group, 2010), cet.
4, hlm. 9 2
Alqur’an, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1999, hlm. 407 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Antar Madzhab) (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), hlm. 91 3
baik mana kala keduanya saling bantu membantu serta seia sekata kegunung sama mendaki, ke bawah sama menurun, terendam sama basah, terbakar sama hangus, dan terpenting saling memahami satu dengan lainya. Sehingga di kala tua mendatang, kekal dan bahagia, selama hayat di kandung badan. Selain itu dalam undang-undang perkawainan No.1 Tahun 1947 bab I pasal (1) menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.” Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengingatkan tali perjanjian rumah tangga yang sakinah, tentram, dan dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang sifatnya global, tetapi perkawinan berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. 4 Perkawinan bertujuan mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota keluarganya. 5
4
Beni Ahmad Saibani & H. Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. 1 hlm.30 5 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor : Kencana,2003), hlm. 22
Tetapi tujuan yang mulai mendalam melestarikan dan menjaga ke seimbangan hidup dalam rumah tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Sebagaimana sebuah bahtera yang mengarungi lautan tidak selamanya berlayar dengan tenang, terkadang tertimpa angin atau badai. Begitupun dengan rumah tangga seseorang tidak selamanya mulus berada dalam kasih sayang (mawadah wa rahmah) tapi di tengah jalan ada batu sandungan yang menggangu mahligai rumah tangga. Realita kehidupan manusia membuktikan banyak hal yang menjadikan rumah tangga hancur (broken home) sekalipun banyak pengarahan dan bimbingan, yakni kepada kondisi yang dihadapi secara praktis. Suatu kenyataan yang harus diakui dan tidak dapat diingkari ketika terjadi kehancuran rumah tangga dan mempertahankannya pun suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak berdasar. Islam tidak segera mendamaikan hubungan rumah tangga dengan cara dipisahkan pada awal bencana (pertikaian). Islam justru berusaha dengan seoptimal mungkin memperkuat hubungan ini, tidak membiarkannya begitu saja tanpa ada usaha. Islam membisikkan kepada kaum laki-laki, Allah berfirman:
ِ ِ ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫﻮا َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ ُ وﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮوف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ ُ َو َﻋﺎﺷ ُﺮ (۱۹ :َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا )أﻟﻨﺴﺎء Yang Artinya: Dan hendaklah pergauli mereka dengan cara yang baik, jika engkau tidak menyukai mereka maka boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.(an- nisa’ :19).
Islam mengarahkan mereka agar tetap bertahan dan sabar sampai dalam keadaan yang tidak disukai dan Allah membukakan bagi mereka jendela yang tidak jelas tersebut, yang ditegaskan dalam firman-Nya, yakni “Boleh jadi engkau membenci sesuatu padahal Allah menjadi kebaikan yang banyak padanya”. Mereka tidak tahu bahwa pada wanita yang tidak disukai tersebut terdapat kebaikan dan Allah menyimpan kebaikan ini bagi mereka, maka tidak boleh melalaikannya. 6 Oleh karena itu suami istri wajib memelihara terhubungnya tali pengikat perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali pengikat tersebut. Meskipun suami oleh Hukum Islam diberi menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami menggunakan haknya itu dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi hanya menurutkan hawa nafsunya. 7 6F
Jikalau permasalahan cinta dan tidak cinta sudah dipindahkan kepada pembangkangan dan lari menjauh, langkah awal yang ditunjukkan islam bukan talak. Akan tetapi, harus ada langkah usaha yang dilakukan pihak lain dan pertolongan yang dilakukan oleh orang-orang baik. Sebagaimana firman Allah:
َﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُـ ْﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮﻳْﺪا َ َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ (35:إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِْﻴ ًﻤﺎ َﺧﺒِْﻴـًﺮا )اﻟﻨﺴﺎء,ﺻﻠَ ًﺤﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ َﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑَـْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ ْ ِإ Yang artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
6
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Sinar Grafika Offset,2009), cet. 1, hlm.252 7 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), cet. 4, hlm.212
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiistri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (An- Nisa’:35). Jika jalan penengah ini tidak didapatkan hasil, tidak ada ketenangan dan ketentraman, dan mempertahankannya seperti sia-sia. Pelajaran yang diterima adalah mengakhiri kehidupan rumah tangga sekalipun dibenci Islam, yaitu talak.8 Rasulullah saw bersabda: 7F
اﳊَﻼَ َل اِ َﱃ اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﻄﱠﻼَ ِق ْ ﺾ ُ َاَﺑْـﻐ
Yang artinya:
Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak.(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) 9 8F
Hadits ini menjadi dalil bahwa diantara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang paling dimurkai pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan ialah perbuatan menjatuhkan talak. Maka menjatuhkan talak itu sama sekali tidak ada pahalanya dan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarkanya. Suami hanya dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menghindarinya, dan talak itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan.10 9F
8
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Op. Cit, hlm.253 Ibnu Hajar Asqalani, Penjelasan Kitab Shohih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2011, hlm. 660 10 Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit, hlm.212 9
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1947 tentang perkawianan berusaha semaksimal mungkin adanya dapat dilakukan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Karena perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami isteri saja, kepada anak-anak yang mestinya harus di asuh dan dipelihara dengan baik. 11 Perceraian tidak lagi boleh dipatutkan sesuka hati kaum laki-laki di atas penderitaan kaum perempuan, akan tetapi harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan disampaikan di muka sidang pengadilan. Itupun setelah pengadilan lebih dahulu berusaha mendamaikan pasangan suami isteri tetapi tetap tidak berhasil.12 Sesuai dalam dalam konteks keindonesiaan khususnya dalam masalah perkawainan seperti dinyatakan dalam pasal 39 ayat 1 UndangUndang No.1 tahun 1945 bahwa : 1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 3. Tata cara perceraian didepan Sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. 13
11
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.8 12 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.178 13 Beni Ahmad Saibani & H. Syamsul Falah, Op. Cit, hlm. 164
Hal ini di pertegas lagi dalam pasal 115 kompilasi hukum Islam dan pasal 65 Undang-Undang No. 7 tahun 1985 yang menyatakan : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.“ Meskipun dalam ketentuan hukum Islam tepatnya dalam kitab-kitab fiqh klasik talak bisa terjadi atau jatuh dimana dan kapan saja terserah kepada suami karena memang talak menjadi “hak paten” suami inipun dalam ayat alQuran selalu lelaki jadi pelaku hukum talak pun tentu pihak suami. 14 Sesuai 13F
dengan firman Allah dalam surat al- Ahzab (33):49 yang berbunyi :
ِﱠ ِ ِ (49:33/… )اﻻﺣﺰاب.. ﻮﻫﻦ ُ آﻣﻨُﻮا إِ َذا ﻧَ َﻜ ْﺤﺘُ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨَﺎت ﰒُﱠ ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُ ُﻤ َ ﻳﻦ َ ﻳَﺎ أَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟﺬ Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menikahi perempuan perempuan yang beriaman, kemudian kamu mentalak (menceraiakan) mereka ...”.(QS. al-Ahzab (33):49) Berdasarkan konsep diatas bahwa sahnya perkawinan juga diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku nantinya, artinya jika seseorang melaksanakan perkawinan yang sah maka apabila dia melakukan percerraian nanti harus dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sah menurut Undang-Undang yang berlaku.
14
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahad (Bogor: Kencana,2003), hlm.208
Kemudian perceraian tersebut telah dianggap sah sehingga dia dapat melakukan perkawinan kembali. Sahnya perkawinan bagi orang Islam di Indonesia, menurut pasal 2 RUU perkawinan tahun 1973, ditentukan berdasarkan pencatatan perkawinan sebagai unsur penentu. Hukum agama (Islam) dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini yang berfungsi sebagai pelengkap, bukan penentu. RUU Perkawinan tahun 1973 merumuskan sahnya perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 sebagai berikut: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. 15 14F
Ketika melakukan perceraian atau perkawinan yang tidak dilakukan sesuai Undang-Undnag maka akan mendapat hukuman yaitu: 1. Undang-Undang No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk pasal 3 menentukan hukuman denda bagi seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan tidak dihadapan pegawai pencatat nikah, sebanyak-banyaknya Rp. 50.00 (lima puiuh rupiah). Dalam Undang-Undang ini orang yang dapat dikenakan hukuman denda hanya suami.
15
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan tidak di Catat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) cet. 1 hlm.207
2. Kemudian pasal 45 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menentukan bahwa perkawinan yang dilakukan tidak dihadapan pegawai pencatat dikenakan hukuman denda setinggitingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Yang dimaksud dengan pihak yang melanggar peraturan pencatatan nikah adalah pihak mempelai, yaitu suami dan istri.16 B. Penegasan Judul Untuk menghindari kesalahan penafsiran tentang skripsi ini maka penulis menguraikan masing-masing istilah yang penulis pakai dalam skripsi ini: Cerai
: Putusnya hubungan antara suami dan istri (talak) 17
Tanpa
: Keprasangkaan bersyarat 18
Putusan
:Peraturan yang dibuat dan desepakati baik secara tulisan atau tidak tertulis, peraturan, undang – undang yang mengikat perilaku setiap masyarakat tertentu 19.
Pengadilan Agama
:Badan peradilan khusus untuk orang yang beragama islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata
16
Neng Djubaidah, Op. Cit, hlm 354 Sudarsono, Kanus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,2009), cet. 6, hlm. 76 18 John M. Echois & Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, (Jakarta: Gramedia, 1992), cet. 3, hlm. 552 19 Purwo Waskito, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Grafika Mulia hlm. 130 17
tertentu sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku. 20. : Agama yang diridhoi Allah 21
Islam Hukum Positif
: Hukum yang sedang berlaku pada waktu dan tempat tertentu.. 22
C. Rumusan Masalah Berdasarkan melihat latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka penulis sanggat tertarik untuk membahas persoalan di atas dengan fokus permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana status perceraian tanpa putusan pengadilan agama? 2. Bagaimanakah status perkawinan yang tidak mempunyai akta cerai? 3. Seberapa jauh pentingnya akta cerai bagi pelaku perceraian?
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin di capai dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Formal Untuk memenuhi dan melengkapi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada program strata satu (S-1) dalam ilmu syari’ah dan ilmu hukum pada fakultas syari’ah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara.
20
Ibid,hlm. 482 Sudarsono, Kamus Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), cet. 1, hlm. 121 22 Purwo Waskito, Op. Cit, hlm. 140 21
2. Tujuan Fungsional a. Untuk mengetahui status perceraian yang dilakukan tanpa putusan pengadilan agama. b. Untuk
mengetahui
bagaimana
status
perkawinan
yang
tidak
mempunyai akta cerai. c. Untuk mengetahui seberapa jauh pentingnya akta cerai bagi pelaku perceraian. 3. Manfaat penelitian: a. Manfaat teoritis Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu tentang perceraian yang merupakan masalah yang kadang/sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga. b. Manfaat praktis 1. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang dinamis serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. 2. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti. 3. Guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar S1 c. Manfaat akademis Ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau studi komparatif bagi pihak-pihak ingin mengkaji lebih dalam tentang permaslahan tersebut. E. Telaah Pustaka
Dalam skripsi ini penulis menggunakan buku maupun skripsi sebagai acuan dalam mencari jawaban atas masalah yang ada, adapun acuan – acuan tersebut ialah: Skripsi Ahmad Sasminto yang berjudul “Implikasi Hadhonah Akibat Perceraian”, Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara, Tahun 2011. Skripsi Ahmad Asharudin yang berjudul "Kekejaman dan Penganiayaan Berat Sebagai Alasan Perceraian”, Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara pada Tahun 2012. Skripsi Agus Ubaidillah yang berjudul “ Studi Komparasi Tentang Talak antara Fiqh, Madzhab Syafi’i dengan KHI”, Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara pada tahun 2014. skripsi Herna Ramdlaningsih yang berjudul “Akibat Perceraian di Luar Pengadilan”, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo pada tahun 2005. Dari keempat skripsi tersebut belum ada yang membahas Cerai tanpa Putusan Pengadilan Agama Menurut Islam dan Hukum Positif maka dari itu, penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai judul diatas. F. Metodologi Penelitian Dalam sebuah penelitian metode merupakan unsur penting yang menentukan terhadap hasil penelitian tersebut. Metode dalam penulisan ini meliputi seluruh perkembangan pengetahuan, seluruh rangkaian dari sebuah permulaan hingga kesimpulan ilmiah, baik dari bagian yang khusus maupun terhadap keseluruhan bidang dan obyek penelitian. Untuk mempermudah
memahami pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Dalam hal ini penulis menggunakan penelitian pustaka (Library Research) dalam penelitian ini penulis memakai beberapa buku yang menurut pendapat penulis sesuai dengan permasalahan yang penulis bahas. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat eksploratif deskriptif, yaitu sarana yang dipergunakan penulis untuk memperoleh data dan sebagai landasan pengkajian penulis menjawab persoalan yang ada.dengan metode penelitian ini akan diperoleh data yang lengkap dengan bantuan berbagai buku yang erat hubungannya dengan permasalahan yang dibahas. 3. Metode Pengumpulan Data Metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian pustaka ( Library Research) dimana penulis mengumpulkan data melalui teori-teori pendapat para ahli dalam buku-buku yang berhubungan dengan obyek penelitian. 4. Metode Analisis Data Data yang terkumpul dari hasil Library Reserch akan dianalisa secara kualitatif, yaitu dengan menggunakan metode berfikir induksi, yaitu metode berfikir dengan menerangkan data-data yang bersifat khusus yang mempunyai unsur-unsur kesamaan sehingga dapat digenerasikan menjadi kesimpulan yang umum.
5. Pendekatan Penelitian Pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang menggunakan pendekatan umum, penyajian dalam pembahasan ini mengemukakan aspek hukum. Oleh karena itu diperlukan dasar-dasar hukum yang signifikan sebagai dasar berfikir dalam pembahasan ini. 23 Dengan harapan agar menghasilkan suatu kajian atau analisi yang benar-benar dapat dipertanggungjaabkan (Qualified). G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran menyeluruh dan memudahkan dalam memahami sekripsi ini maka dibuat sistimatika sebagai berikut: 1. Bagian muka, terdiri dari: Halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi. Bagian ini terdiri dari beberapa bab: BAB I: Pendahuluan, berisi tentang: A. Latar belakang masalah B. Penegasan judul C. Rumusan masalah D. Tujuan penelitian E. Telaah pustaka F. Metode penelitian G. Sistematika penulisan
23
Anton Bakir, Metode-metode Filsafat,( Jakarta : Ghalis Indonesia, 1984 ), hlm. 10
BAB II: Landasan teori, yang berupa tinjauan umum tentang perkawinan dalam hukum Islam dan hukum positif meliputi: A. Pengertian perkawinan B. Dasar hukum perkawinan C. Hukum Perkawinan D. Rukun dan syarat perkawinan E. Tata cara perkawinan F. Hal-hal yang membatalkan perkawinan G. Tujuan dan hikmah perkawinan BAB III: Objek kajian yang menerangkan sekilas tentang perceraian dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif yang meliputi: A. Pengertian perceraian B. Dasar hukum perceraian C. Rukun dan syarat perceraian D. Prosedur perceraian BAB IV: Hasil penelitian dan pembahasan, yang meliputi: A. Analisis status perceraian tanpa putusan pengadilan agama B. Analisis status perkawinan yang tidak memiliki akta cerai C. Analisis seberapa jauh pentingnya akta cerai bagi pelaku perceraian D. Argumentasi hukum Islam dan hukum positif mengenai perceraian tanpa putusan pengadilan BAB V: Kesimpulan, terdiri dari:
A. Kesimpulan B. Saran C. Penutup 2. Bagian kedua terdiri dari: A. Daftar pustaka B. Biodata C. Lampiran – lampiran.
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Perkawinan Allah SWT menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan dilengkapi nafsu syahwat, yakni keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan psikologis yang berlangsung dari sejak zaman dahulu. Dalam rangka itu Allah SWT pun telah menciptakan segala sesuatu yang ada ini saling berjodohan. Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Sesuai dengan perihal di atas, Allah SWT berfirman yang berbunyi :
ِ ض َوِﻣ ْﻦ أَﻧْـ ُﻔ ِﺴ ِﻬ ْﻢ َوِﳑﱠﺎ ﻻ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻮ َن ْ ُﺳْﺒ َﺤﺎ َن اﻟﱠ ِﺬي َﺧﻠَ َﻖ ُ ِاج ُﻛﻠﱠ َﻬﺎ ﳑﱠﺎ ﺗـُﻨْﺒ ُ اﻷر ْ ﺖ َ اﻷزَو (٣٦:)ﻳﺲ Yang artinya: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin : 36) Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembangbiak dan melesterikan hidupnya. Nikah menurut bahasa al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah atau (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan wath’u al-zaujah bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan diatas juga dikemukakan oleh Rahmat
Hakim, bahwa kata nikah berasal dari kata bahasa arab nikahun yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) nakaha sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam masuk dalam bahasa Indonesia. 24 23F
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah:
ِاﻟﱠﺰواج َﺷﺮﻋﺎ ﻫﻮ ﻋ ْﻘ ٌﺪ وﺿﻌﻪ اﻟﺸﱠﺎ ِرع ﻟِﻴﻔﻴ َﺪ ِﻣ ْﻠﻚ اﺳﺘِﻤﺘ ِﺎع ا ﱠلرﺟ ِﻞ ﺑﺎِﻟْﻤﺮأَة َْ ْ َ ْ ُ ُ ََُ َ َ َُ ً ْ ُ َ َْ ُ ِ اﺳﺘِ ْﻤﺘَ ِﺎع اﻟْ َﻤ ْﺮأَةِ ﺑﺎِﻟﱠﺮ ُﺟ ِﻞ ْ َوﺣ ﱠﻞ Yang artinya: Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki. Abu Yahya Zakariya Al-Anshory mendefinisikan:
ِِ ِ ِ ِﺎح أَو َْﳓ ِﻮﻩ َ َﺎح َﺷ ْﺮ ًﻋﺎ ُﻫ َﻮ َﻋ ْﻘ ٌﺪ ﻳَـﺘ ْ ٍ ﺎﺣﺔَ َوﻃْ ٍﺊ ﺑﻠَ ْﻔﻆ اﻧْ َﻜ َ َﻀ ﱠﻤ ُﻦ اﺑ ُ اﻟﻨﱢ َﻜ Yang artinya:
24
hal. 7
Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009,
Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya. Definisi yang dikutip Zakiah Daradjat
ﺎﳘَﺎ ِ ﻀ ﱠﻤ ُﻦ اِﺑﺎَ َﺣﺔَ َوﻃْ ِﺊ ﺑِﻠَ ْﻔ ِﻆ اﻟﻨﱢ َﻜ ُ َﺎح أَ ِو اﻟﺘـ ْﱠﺰوﻳْ ِﺞ أ َْو َﻣ ْﻌﻨ َ ََﻋ ْﻘ ٌﺪ ﻳَـﺘ Yang artinya: Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tajwiz atau semakna dengan keduanya.25 24F
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa: “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tajwiz dan merupakan ucapan seremonial yang sakral. 26 25F
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan: Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.
25
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Media Group, 2010), cet. 4, hlm. 8 26 Tihami & Sohari Sahrani, Op. Cit, hlm. 8
Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. Ketiga, dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil. Keempat, disebutkannya berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. 27 Di samping definisi dalam UU No. 1 Tahun 1974 di atas, kompilasi hukum Islam di Indonesia memberikan definisi lain dan tujuan yang terdapat pada pasal 2 yang berisi akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan pasal 3 yang berisi tujuan sebuah perkawinan yaitu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah. 28 B. Dasar Hukum Perkawinan Allah menciptakan makhluk ini dalam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49, yang berbunyi :
Yang artinya:
27
ِ ْ و ِﻣ ْﻦ ُﻛ ﱢﻞ َﺷﻲ ٍء َﺧﻠَ ْﻘﻨﺎَ َزْو َﺟ (45:)اﻟﺬارﻳﺎت.ﲔ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَ َﺬ ﱠﻛ ُﺮْو َن َ ْ
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Prenaga Media Group, 2009 ), cet 3, hlm.40 28 Abdul Rahman Alghozali, Op Cit, hlm.10
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat:45). Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam surat an-Najm 45, yang berbunyi :
Yang artinya:
ِ ْ واَﻧﱠﻪُ َﺧﻠَ َﻖ اﻟﱠﺰْو َﺟ (45:ﲔ اﻟ ﱠﺬ َﻛَﺮ َوْ اﻻُﻧْـﺜَﻰ)اﻟﻨﺠﻢ َ
Dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, dari sinilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembangbiak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana tercantum dalam surat an-Nisa’ ayat 1, yang berbunyi:
ِﱠ ِﺲو ِ ﺚ ِﻣْﻨـ ُﻬ َﻤﺎ اﺣ َﺪةٍ َو َﺧﻠَ َﻖ ِﻣﻨْـ َﻬﺎ َزْو َﺟ َﻬﺎ َوﺑَ ﱠ َ ٍ ﱠﺎس اﺗﱠـ ُﻘﻮا َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ اﻟﺬي َﺧﻠَ َﻘ ُﻜ ْﻢ ﻣ ْﻦ ﻧَـ ْﻔ ُ ﻳَﺎ أَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﻨ (١: )اﻟﻨﺴﺎء... ًِر َﺟﺎﻻ َﻛﺜِ ًﲑا َوﻧِ َﺴﺎء Yang Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.....” (QS. an-Nisa’ : 1) Perkawinan dijadikan sebagai salah satu tanda-tanda dari pada kebesaran Allah SWT sesuai dalam surat ar-Rum : 21 yang berbunyi:
ِ ِ ِِ ِ اﺟﺎ ﻟِﺘَ ْﺴ ُﻜﻨُﻮا إِﻟَْﻴـ َﻬﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑَـْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ َﻣ َﻮﱠد ًة َوَر ْﲪَﺔً إِ ﱠن ً َوﻣ ْﻦ آﻳَﺎﺗﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻣ ْﻦ أَﻧْـ ُﻔﺴ ُﻜ ْﻢ أ َْزَو ٍ ِﰲ َذﻟِﻚ ﻵﻳ (٢١:ﺎت ﻟَِﻘ ْﻮٍم ﻳَـﺘَـ َﻔ ﱠﻜ ُﺮو َن )اﻟﺮوم َ َ Yang artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum : 21). 29 28F
Perkawinan adalah salah satu perbuatan yang diperintah oleh Allah SWT dan juga termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad saw. Sesuai dengan firman Allah SWT yang tecantum dalam surat an-Nur ayat 32 dan surat ar-Ra’d ayat 38 yang berbunyi:
ِِ وأَﻧْ ِﻜﺤﻮا اﻷﻳﺎﻣﻰ ِﻣْﻨ ُﻜﻢ واﻟ ﱠ ﲔ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَ ِﺎد ُﻛ ْﻢ َوإِ َﻣﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ﻳَ ُﻜﻮﻧُﻮا ﻓُـ َﻘَﺮاءَ ﻳـُﻐْﻨِ ِﻬ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ِﻣ ْﻦ َ ﺼﺎﳊ ََ ُ َ َْ (٣٢: )اﻟﻨﻮر...ﻀﻠِ ِﻪ ْ َﻓ Yang artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya….” (QS. an-Nur : 32)
ِ (٣٨: )اﻟﺮﻋﺪ... ًاﺟﺎ َوذُﱢرﻳﱠﺔ َ َوﻟََﻘ ْﺪ أ َْر َﺳﻠْﻨَﺎ ُر ُﺳﻼ ِﻣ ْﻦ ﻗَـْﺒﻠ ً ﻚ َو َﺟ َﻌﻠْﻨَﺎ َﳍُ ْﻢ أ َْزَو Yang artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan….” (QS. ar-Ra’d : 38) Dalam Islam dianjurkan seorang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan
29
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 41-42
dalam sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺎرة ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ّ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻷ ﻋﻤﺎش ﻗﺎل ّ ﺣﺪﺛﻨﺎ أﰊ ّ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺣﻔﺺ ﺑﻦ ﻏﻴﺎث ّ اﻟﺮﲪﺎن ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﻗﺎل دﺧﻠﺖ ﻣﻊ ﻋﻠﻘﻤﺔ و اﻷﺳﻮد ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻓﻘﺎل ﻋﺒﺪ اﷲ ﻛﻨّﺎ ﻣﻊ ّ ﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ ﺷﺒﺒﺎ ﻻ ﳒﺪ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﻘﺎل ﻟﻨﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ "ﻳَﺎ ّ ّاﻟﻨ ِ ب ﻣﻦ اِﺳﺘﻄَﺎع ِﻣْﻨ ُﻜﻢ اﻟْﺒﺎء َة ﻓَـ ْﻠﻴﺘـﺰﱠوج ﻓَِﺈﻧﱠﻪ أَ َﻏ ﱡ )رواﻩ."ﺼ ُﻦ ﻟِْﻠ َﻔ ْﺮِج ْ ﺼ ِﺮ َوأ ُ ْ َ ََ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ِ ََﻣ ْﻌ َﺸَﺮ اﻟﺸﱠﺒﺎ َ َﺣ َ َﺾ ﻟ ْﻠﺒ (اﻟﺒﺨﺎرى Yang artinya: Diceritakan kepada kami oleh Umar bin Hafis bin Giyas, diceritakan kepada kami oleh Bapakku, Diceritakan kepada kami oleh ‘Amas ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh I’maroh dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata: Saya datang bersama al-Qomah dan Aswad kepada Abdullah ia berkata: Ketika kami bersama Nabi Saw bertemu beberapa pemuda yang tidak mempunyai sesuatu untuk menikah. Maka Rosulullah berkata kepada kami: “Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantaramu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang buruk/liar) dan lebih menjaga kehormatan.”(HR. al-Bukhari) 30 29F
Begitu pula perintah Nabi kepada umatnya untuk melakukan perkawinan seperti dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ibnu Hibban, yang berbunyi:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺧﻠﻒ ﺑﻦ ّ ﻗﺎل،ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ّ : ﻗﺎل،ﳏﻤﺪ ﺑﻦ إﺳﺤﺎق اﻟﺜﻘﻔﻲ ّ أﺧﱪﻧﺎ ﻛﺎن رﺳﻮل اﷲ: ﻋﻦ أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﻠﻚ ﻗﺎل. ﻋﻦ ﺣﻔﺺ ﺑﻦ أﺧﻲ أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﻠﻚ،ﺧﻠﻴﻔﺔ وﻳﻘﻮل " ﺗَـَﺰﱠو ُﺟ ْﻮا اﻟْ ُﻮﻟُْﻮَد، وﻳﻨﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﺘّﺒﺘﻞ �ﻴﺎ ﺷﺪﻳﺪا،ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ ﻳﺄﻣﺮ ﺑﺎﻟﺒﺎءة ( )رواﻩ اﺑﻦ ﺣﺒّﺎن."اﻟْ َﻮ ُد ْوَد ﻓَِﺈ ﱢﱏ ُﻣ َﻜﺎﺛٌِﺮ ﺑِ ُﻜ ْﻢ اْﻷَﻧْﺒِﻴَﺎء ﻳَـ ْﻮَم اﻟْ ِﻘﻴَ َﺎﻣ ِﺔ Yang artinya:
30
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ihya alKutub Arabi), Juz III, hlm.238
Dikabarkan kepada kami oleh Muhammad bin Ishak as-Saqafi, ia berkata: Diceritakan kepada kamioleh Qutaibah bin Sa’id, ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Khalif bin Kholifah, Dari Hafis anak saudara ku yaitu Anas bin Malik. Dari Anas bin Malik ia berkata: Rosulullah Saw memerintahkan segera melakukan perrnikahan dan sangat melarang membujang (memperlambat pernikahan), dan beliau berkata: “Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum di hari kiamat.”(HR. Ibnu Hibban) 31 30F
Ibnu Rusyd menjelaskan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid tentang hukum melakukan perkawinan, yaitu:32 31F
“Segolongan ulama jumhur berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya”. Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lama, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan adakalanya mubah. 33 32F
C. Hukum Perkawinan Berdasarkan nash-nash, baik
al-Qur'an maupun as-Sunnah, Islam
sangat menganjurkan perkawinan kaum Muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi
31 32
‘Alauddin ‘Ali Ibn Balban al-Farisi, Sahih Ibn Hibban (Beirut: al-Resalah), hlm.338 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut: Dar al-Fikr) Juz
II, hlm. 2 33
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad), Jilid IV, hlm. 4
orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh, ataupun mubah. 1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamakannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan nikah. 2. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. 3. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam. 4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya terjerumus dalam perbuatan zina sekiranya tidak kawin. Dan orang tersebut tidak mempunyai kerajinan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah Bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah. Dari uraian diatas menggambarkan bahwa dasar perkawinan, menurut islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.
34
Selain itu, diungkapkan beberapa dasar hukum yang dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1994 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 sebagai berikut: Tentang keabsahan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat (2) mengungkapkan:“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.” Dalam garis hukum Kompilasi Hukum Islam diungkapkan bahwa pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif, sehingga diungkapkan kutipan keabsahan dan tujuan perkawinan Pasal yaitu 2 dan 3 KHI yang isinya sama dengan Pasal 2 dan 3 UU No. 1 Tahun 1974. Apabila Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 menggunakan istilah yang bersifat umum, maka Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah
34
Tihami & Sohari Sahrani, Op. Cit, hlm. 11
khusus yang tercantum di dalam al-Qur'an. Misalnya: mitsaqan galidzan, ibadah, sakinah, mawadah, dan rahmah. D. Rukun dan Syarat Perkawinan Pernikahan yang didalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah: 1. Mempelai laki-laki 2. Mempelai perempuan 3. Wali 4. Dua orang saksi 5. Shigat ijab kabul Sedangkan syarat-syarat perkawinan yaitu: 1. Bukan mahram dari calon istri 2. Tidak terpaksa atau kemauan sendiri 3. Orangnya tertentu, jelas orangnya 4. Tidak sedang ihram Syarat-syarat istri 1. Tidak ada halangan syara’, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah. 2. Merdeka, atas kemauan sendiri 3. Jelas orangnya 4. Tidak sedang ihram Syarat-syarat wali
1. Laki-laki 2. Baligh 3. Berakal 4. Tidak dipaksa 5. Adil 6. Tidak sedang ihram Syarat-syarat saksi 1. Laki-laki 2. Baligh 3. Berakal 4. Adil 5. Dapat mendengar dan melihat 6. Bebas, tidak dipaksa 7. Tidak sedang ihram 8. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul. 35 Berbeda dengan perspektif fikih, UU No. 1/1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya Undang-Undang Perkawinan (UUP) hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Di dalam bab II Pasal 6 ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
35
Tihami & Sohari Sahrani, Op. Cit, hlm. 14-15
2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mempu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.36 E. Tata Cara Perkawinan Apabila seseorang akan melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan menurut tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu hanya di bawah tangan. Kenyataannya masih ada sebagian masyarakat yang melaksanakan seperti ini. Adapun tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan sesuai urutan-urutannya sebagai berikut. 37 1. Pemberitahuan Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa seorang orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan kepada kantor Urusan Agama, karena berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Sedangkan bagi orang non Islam, pemberitahuannya dilakukan kepada kantor catatan sipil setempat.
36
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006), hlm.39 37 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Undang-undang No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara1996), hlm.170-186
Pemberitahuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 ditentukan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Namun ada pengecualiannya terhadap jangka waktu tersebut karena sesuatu alasan yang penting diberikan oleh camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah. Mengenai siapakah yang dapat memberitahukan kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan itu dapat dilakukan oleh calon mempelai, orang tua mempelai atau wakilnya. Sesuai Pasal 4 PP ini pemberitahuan dapat secara lisan atau tulisan. Kemudian isi pemberitahuan tersebut telah ditentukan secara limitatif oleh Pasal 5 yaitu bahwa pemberitahuan memuat tentang nama, umur, agama, kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman, calon mempelai pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu. 2. Penelitian Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan. Sesuai Pasal 6 Ayat (1) PP No. 9 tahun 1975 Pegawai Pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan baik menurut Hukum Munakahat atau pun menurut Perundang-undangan yang berlaku. Selain itu berdasarkan ayat 2, pegawai pencatat perkawinan juga diwajibkan melakukan penelitian terhadap: 1. Kutipan Akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai 2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
3.
Izin tertulis pengadilan, apabila selain seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
4.
Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih. 38
3. Pengumuman Setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada suatu halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah pegawai pencatat perkawinan menyelenggarakan pengumuman. Adapun mengenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. 4. Pelaksanaan Sesuai ketentuan pemberitahuan tentang kehendak perkawinan itu dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di atas dilakukan Mengenai bagaimana cara pelaksanaan perkawinan, Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975 ternyata membebaskan kembali Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, supaya sah. F. Hal-hal yang Membatalkan Perkawinan Batalnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri. Batalnya perkawinan itu ada
38
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006), hlm.127
dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk batalnya perkawinan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan terjadinya batal perkawinan yaitu: 1. Batalnya perkawinan atas kehendak Allah SWT sendiri melalui matinya salah satu seorang suami istri. Dengan kematian berakhir pula dengan sendirinya hubungan perkawinan. 2.
Batalnya perkawinan karena kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu, bentuk ini disebut dengan sebab talak.
3. Batalnya karena khulu yaitu batal atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu, kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan. Si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan. 4.
Batalnya karena fasakh yaitu batalnya atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.
5. Batalnya perkawinan karena zhihar yaitu karena seorang suami telah menyamakan istrinya dengan ibunya dan seorang suami tersebut tidak boleh menggauli istrinya, jika ia ingin meneruskan hubungan suami istrinya maka harus membayar kaffarah terlebih dahulu. 6.
Batalnya perkawinan karena ila’ yaitu seorang suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli
istrinya dalam masa tertentu, sebelum ia membayar kaffarah atas sumpahnya itu. 7.
Batalnya perkawinan karena li’an yaitu orang suami telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina dan ia tidak boleh menggauli istrinya sampai proses li’an dan perceraian di muka hakim. 39 Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan:
perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedang di dalam penjelasannya disebutkan pengertian “dapat” dalam pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bila mana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pengaturan pembatalan perkawinan lebih lanjut dimuat dalam pasal 27 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1985 yang menyatakan: Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.
39
Moh. Rifa’i, Fikih Islam Lengkap (Kuala Lumpur, Pustaka Jiwa,1996), hlm. 43
Dengan demikian suatu perkawinan bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. 40 Perkawinan batal demi hukum: 1. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i. 2. Seorang suami yang menikahi istrinya yang telah dili’annya. 3. Seorang suami yang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhinya dengan tolak tiga kali, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut dan telah habi masa iddahnya. 4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. 5. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya. 6. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 7. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan susuan (sesusuan) yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau paman susuan.
40
Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh (Bandung: Mandar Maju,1997), hlm.26
8. Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri, atau sebagai bibi, atau kemenakan dari istri. Selanjutnya perkawinan dapat dibatalkan oleh pengadilan apabila: 1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama. 2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain secara sah. 3. Perempuan yang dikawini masih dalam keadaan massa tunggu (iddah). 4. Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974. 5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. 6. Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan. 7. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 8. Perkawinan dilakukan dengan penipuan, penipuan yang dimaksud disini seperti seorang pria yang mengaku sebagai jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah beristri sehingga terjadi poligami tanpa izin pengadilan. G. Tujuan dan Hikmah Perkawinan Islam memandang perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh dan menuntut setiap orang yang terikat didalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban yang berfungsi tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik biologis, tetapi jauh lebih penting tujuan spiritualnya. Zakiyah Darajat mengemukakan 5 tujuan dalam perkawinan yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan Agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akirat dicapai dengan hidup berbakti kepada tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan bermasyarakat. Keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anakanak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Banyak hidup rumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia anak. Nabi memberi petunjuk agar dalam memilih jodoh mengutamakan istri yang tidak mandul.
Yang artinya:
(َﺳ ْﻮَدآءُ َوﻟُْﻮٍد َﺧْﻴـٌﺮ ِﻣﻦء َﺣ ْﺴﻨﺎَءَ َﻋ ِﻘْﻴ ٍﻢ )رواﻩ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن
Perempuan hitam yang beranak lebih baik daripada perempuan cantik tetapi mandul (HR. Ibnu Hibban). Al-Qur’an juga menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar dianugerahi putra yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al- Furqan ayat: 74:
ِ ٍ ُ ﺐ ﻟَﻨَﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْزو ِاﺟﻨَﺎ وذُ ﱢرﻳﱠﺎﺗِﻨَﺎ ﻗُـﱠﺮةَ أ َْﻋ (74:ﲔ )اﻟﻔﺮﻗﺎن ْ َواﻟﱠﺬﻳْ َﻦ ﻳَـ ُﻘ ْﻮﻟُْﻮ َن َرﺑـﱠﻨَﺎ َﻫ َ َ Yang artinya: Dan orang-orang yang berkata: ya tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).....(QS. Alfurqan:74)
2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodohjodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman allah SWT pada surat Ali-Imran ayat 14 tersebut dimuka. Oleh Al-Qur’an dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut pada surat Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan:
ِ ِ ِ ِ ِﺚ ا ِأ ِ ُﺣ ﱠﻞ ﻟﱠ ُﻜﻢ ﻟَْﻴـﻠَﺔَ اﻟ ﱢ ﺎس َﳍُ ﱠﻦ ٌ َﺎس ﻟﱠ ُﻜ ْﻢ َو اَﻧْـﺘُ ْﻢ ﻟﺒ ٌ َﱃ ﻧ َﺴﺎﺋ ُﻜ ْﻢ ُﻫ ﱠﻦ ﻟﺒ ْ َ ُ َﺼﻴَﺎم اﻟﱠﺮﻓ (187:)اﻟﺒﻘﺮة... Yang artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.....(QS. Al-Baqarah:187) 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan diri sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:
ِﱠ (53:)ﻳﻮﺳﻒ.....ﺲ َﻻَﱠﻣﺎ َرةٌ ﺑِﺎاﻟ ﱡﺴ ْﻮِء َ إن اﻟﻨﱠـ ْﻔ........ Yang artinya:
...sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan...(QS. Yusuf: 53) Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah menyalurkannya
dengan
baik,
yakni
perkawinan.
Perkawinan
dapat
mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual, seperti tersebut dalam hadits Nabi SAW:
ِ ﻓَﺎِﻧﱠﻪ أَ َﻏ ﱡ.... ......ﺼ ُﻦ ﻟِﻠْ َﻔ ْﺮِج ْ ﺼ ِﺮ َوأ َ َ َﺣ َ َﺾ ﻟﻠْﺒ Yang artinya: Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal Dikatakan dalam hadits Nabi SAW: Orang-orang laki-laki pemimpin keluarganya, dan akan ditanya dari pimpinannya. Istri memimpin rumah tangga suaminya, dan akan ditanya dari pimpinannya....(Mustafaq ‘alaihi dari ibnu umar). Allah SWT menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Kehendak Allah untuk menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin itu memang sudah dipersiapkan dengan beberapa kelebihan yang diberikan
kepada kaum laki-laki, yang mana sifat-sifat itu tidak diberikan kepada kaum wanita. Tanggung jawab suami terhadap istrinya tidak hanya terbatas masalahmasalah sandang, pangan dan papan, tetapi juga mencakup bidang rohaniahnya. 41 Sementara itu, istri adalah partner suami dalam membangun rumah tangga bahagia. Agar cita-cita membangun rumah tangga bahagia dapat terwujud, pihak istri pun harus melaksanakan beberapa kewajibannya. Dengan demikian, melalui rumah tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha mencari harta yang halal. 42 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang Perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subyek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga salah satu di antara lembaga pendidikan informal, ibu-bapak yang dikenal mulai pertama oleh putra-putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan pribadi/kepribadian sang putra-putri itu sendiri. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
41
Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, hlm.25-30 Ahmad Azhar Abu Miqdad, Pendidikan Seks Bagi Remaja, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 74-75 42
ِ ﻮﻟﻮ ُد َﻋﻠَﻰ َ َ ﻗ: ﺎل َ ََﻋ ْﻦ اَِ ْﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮَة َر ِﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ ﺎل اﻟﻨِ ﱡ َ ﱠﱯ ْ َﻣﺎ َﻣ ْﻦ َﻣ: ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ ْﻢ (ﺼَﺮ اَﻧْﻪُ أ َْو ُﳝَ ﱢﺠ َﺴﺎ ﻧَﻪُ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري اﻟْ ِﻔﻄَْﺮةِ ﻓَﺎَ ﺑْﻮاَﻩُ أَ ْن ﻳﱡـ َﻬ ﱢﻮداَﻧَﻪُ أ َْو ﻳـُﻨَ ﱢ Yang artinya:
“Tiada bayi yang dilahirkan melainkan lahir diatas fitrah maka ayah dan
ibunya
yang
menjadikan
ia
yahudi,
nasrani
atau
majusi.”(H.R.Bukhari dari Abu Hurairah). 43 42F
Hikmah Perkawinan Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah, karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah: 1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks dan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga. 2. Nikah jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasib yang oleh islam sangat diperhatikan sekali. 3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang
43
Tihami & Sohari Sahrani, Op. Cit, hlm.16
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan
sifat
rajin
dan
sungguh-sungguh
dalam
memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Juga dapat mendorong usaha mengeksploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia. 5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menanggung tugastugasnya. 6. Perkawinan, dapat membuahkan, diantaranya: tali keluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat, yang memang oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia. 44
44
Ibid, hlm.19-20
BAB III
OBJEK KAJIAN
A. a. Pengertian Perceraian menurut Islam
Islam mengatur keluarga dengan segala perlindungan dan pertanggung syariatnya. Islam juga mengatur hubungan lain jenis yang didasarkan pada perasaan yang tinggi, yakni pertemuan dua tubuh, dua jiwa, dua hati, dan dua ruh. Dalam bahasa yang umum, pertemuan dua insan yang diikat dengan kehidupan yang bersama, cita-cita bersama, penderitaan yang bersama, dan masa depan bersama untuk menggapai keturunan yang tinggi dan menyongsong generasi yang baru. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh dua orangtua secara bersama yang tidak dapat dipisahkan. 45
Pada prinsipnya, kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawaddah, rahmah dan cinta kasih, yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran masing-masing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Di samping itu harus juga diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan dan saling pengertian satu dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik yang merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang tua mereka.
45
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat, Jakarta:Amzah,2009, hal. 251
Karena itu “ikatan antara suami istri” adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri dengan “mitsaqan-ghalizhan” (Perjanjian yang kokoh) sesuai firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 21 yang berbunyi:
(٤:٢١/َﺧ ْﺬ َن ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣﻴﺜَﺎﻗًﺎ َﻏﻠِﻴﻈًﺎ )اﻟﻨﺴﺎء َ َوأ... Yang artinya:
“ … Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.” (QS. an-Nisa’(4): 21)
Jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi memancarkan airnya, sehingga hati salah satu pihak atau keduanya (suami istri) sudah tidak lagi merasakan cinta kasih, lalu kedua-duanya sudah tidak saling mempedulikan satu dengan lainnya serta sudah tidak menjalankan tugas dan
kewajibannya
masing-masing,
sehingga
yang
tinggal
hanyalah
pertengkaran dan tipu daya, kemudian keduanya berusaha memperbaiki namun tidak berhasil, begitu juga keluarganya telah berusaha melakukan perbaikan, namun tidak kunjung berhasil pula. Maka pada saat itu, tidak adalah kata yang paling tepat seakan-akan ia merupakan setrika yang di dalamnya terdapat obat penyembuh, namun ia merupakan obat paling akhir diminum. Konsekuensinya
ia dapat lepas, karena makna dasar dari talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian.
Sedangkan talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan seperti halnya seekor unta yang terlepas yaitu terlepas tanpa ikatan dan seperti halnya tahanan yang bebas yaitu terlepas ikatannya, akan tetapi secara kebiasaan talak itu melepaskan ikatan. Secara terminologi adalah melepas tali pernikahan, atau melepas akad nikah dengan lafadz talak dan semisalnya. 46
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnahnya menjelaskan bahwa talak diambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’, talak yaitu melepaskan ikatan perkawinan atau mengakhiri hubungan suami istri. 47
Dalam redaksi lain Al-Jaziry mendefinisikan talak yaitu menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. 48
Menurut Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam Fikih Wanita menjelaskan bahwa talak secara bahasa, talak berarti pemutusan ikatan. Sedangkan menurut istilah, talak berarti pemutusan tali perkawinan. 49
46
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr) Juz IX, hal..
864 47
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT al-Maarif, 1980) Juz VIII, hal. 7 48 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad) Juz IV, hal. 249
Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa dalam hukum islam hak talak ini hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa pada
umumnya
suami
lebih
mengutamakan
pemikiran
dalam
mempertimbangkan sesuatu dari pada istri (wanita) yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya perceraian lebih dapat diminimalisasi dari pada jika hak talak diberikan kepada istri.
Selain penjelasan Abdul Ghofur tersebut, menurut Kamal Muhtar, ada beberapa alasan yang memberikan hak talak kepada suami, yaitu sebagai berikut.
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak istri waktu dilaksanakan akad nikah. b. Suami wajib membayar mahar kepada istrinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mut’ah (memberikan sukarela dari suami kepada istri) setelah mentalak istrinya. c. Suami wajib memberi nafkah istrinya pada masa perkawinannya dan masa iddah apabila ia mentalaknya. d. Perintah-perintah mentalak dalam Alqur’an dan Hadits banyak ditujukan pada suami. 50
49
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, al-Jami’ fil Fiqhi an-Nisa Alih bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), hal. 427 50 Muhammad syaifuddin, Sri Turatmiyah & Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal.118
Definisi talak yang lebih panjang dapat dilihat dalam kitab Kifayat alAkhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafazh jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafazh itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-Kitab, al-Hadits, Ijma’ ahli agama dan ahli Sunnah. 51
Dari definisi talak di atas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian, ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik dalam kitab Fikih maupun dalam Undang-Undang Perkawinan.
B. Dasar Hukum Perceraian menurut Islam
Dalil disyariatkan talak dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam surat Albaqarah ayat: 229 yang berbunyi:
ٍ ﺎك ِﲟﻌﺮو ِ ِ (229 :ف أ َْو ﺗَ ْﺴﺮﻳْ ٌﺢ ﺑِﺎِ ْﺣ َﺴ ٍﻦ )اﻟﺒﻘﺮة ْ ُ َْ ٌ اَﻟﻄﱠﻠَ ُﻖ َﻣﱠﺮﺗَﺎن ﻓَﺎ ْﻣ َﺴ Yang artinya: Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik (AlBaqarah:229).
Makna yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 adalah
51
Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Aakhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya) Juz II, hal. 84
sebagai berikut :
1. Sebenarnya perceraian itu bertentangan dengan makna perkawinan itu sendiri, sehingga jika terjadi perceraian, maka sangat wajar sekali seandainya mereka yang bercerai ini bersedia untuk rukun dan rujuk kembali menyusun kesatuan ikatan perkawinan mereka lagi. 2. Perceraian yang boleh rujuk kembali itu hanya dua kali, yaitu talak ke-satu dan talak ke-dua saja. Oleh karena itu terhadap talak ke-tiga tidak ada rujuk. 52
ِِ ﺼﻮا اﻟْﻌِ ﱠﺪ َة َواﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪَ َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ﻻ ْ َﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨﱠﱯِﱡ إِذَا ﻃَﻠﱠﻘْﺘُﻢُ اﻟﻨﱢﺴَﺎءَ ﻓَﻄَﻠﱢﻘُﻮﻫُﻦﱠ ﻟِﻌِﺪﱠﻬﺗ ﱠﻦ َوأ ُ َﺣ ِ ُْﺮِﺟُﻮﻫُﻦﱠ ﻣِﻦْ ﺑـُﻴُﻮﻬﺗِِ ﱠﻦ وﻻ َﳜْﺮﺟﻦ إِﻻ أَ ْن ﻳﺄْﺗِﲔ ﺑَِﻔ ود اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَﻣ ْﻦ ﻳَـﺘَـ َﻌ ﱠﺪ َ ْﺎﺣ َﺸ ٍﺔ ُﻣﺒَـﻴﱢـﻨَ ٍﺔ َوﺗِﻠ ُ ﻚ ُﺣ ُﺪ َ َ َ ُْ َ ِ (۱ :٦۵/ﻚ أ َْﻣًﺮا )اﻟﻄﻼق ُ ود اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ﻇَﻠَ َﻢ ﻧَـ ْﻔ َﺴﻪُ ﻻ ﺗَ ْﺪ ِري ﻟَ َﻌ ﱠﻞ اﻟﻠﱠﻪَ ُْﳛ ِﺪ َ ث ﺑَـ ْﻌ َﺪ ذَﻟ َ ُﺣ ُﺪ Yang artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukumhukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.( QS. at-Thalaq (65): 1)
52
Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), Hal. 202
ِ ِ ِ ِ ِ ﺎح َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤﺎ أَ ْن َ َﻓَﺈ ْن ﻃَﻠﱠ َﻘ َﻬﺎ ﻓَﻼ َﲢ ﱡﻞ ﻟَﻪُ ﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌ ُﺪ َﺣ ﱠﱴ ﺗَـْﻨﻜ َﺢ َزْو ًﺟﺎ َﻏْﻴـَﺮﻩُ ﻓَﺈ ْن ﻃَﻠﱠ َﻘ َﻬﺎ ﻓَﻼ ُﺟﻨ ِ ِ َ ﻳَـﺘَـﺮ :۲ /ود اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻳـُﺒَـﻴﱢـﻨُـ َﻬﺎ ﻟَِﻘ ْﻮٍم ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة َ ْود اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﺗِﻠ ُ ﻚ ُﺣ ُﺪ َ ﻴﻤﺎ ُﺣ ُﺪ َ اﺟ َﻌﺎ إ ْن ﻇَﻨﱠﺎ أَ ْن ﻳُﻘ َ (۲٣. Yang artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Makatidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. alBaqarah (2): 230) Ibnu Umar meriwayatkan bahwa ia menalak istrinya yang sedang menstruasi. Umar bertanya pada Rasulullah Saw: Beliau menjawab:
ِ ِ ِ ِ ﻚ َ ﺾ ﰒُﱠ ﺗَﻄَ ﱠﻬَﺮ ﰒُﱠ إِ ْن َﺷﺎءَ أ َْﻣ َﺴ ُ ُﻣ ْﺮﻩُ ﻓَـ ْﻠﻴُـَﺮاﺟ ُﻌ َﻬﺎ ﰒُﱠ ﻟﻴُ ْﻤﺴ َﻜ َﻬﺎ َﺣ ﱠﱴ ﺗَﻄَ ﱠﻬَﺮ ﰒُﱠ َﲢْﻴ ﺲ ﻓَﺘِﻠْ َ ِ ﱠ ﱠ .ُﱢﺴﺎء ﺑَـ ْﻌ ُﺪ َوإِ ْن َﺷﺎءَ ﻃَﻠﱠ َﻖ ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن َﳝُ ﱠ َ ﻚ اﻟْﻌ ﱠﺪةُ اﻟ ِ ْﱴ أ ََﻣَﺮ اﷲُ أَ ْن ﺗُﻄَﻠ َﻖ َﳍَﺎ اﻟﻨ ()رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري Yang artinya: ”Perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali) kepada istrinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembali dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak, ia boleh meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan jika menghendaki, ia boleh mencerikannya sebelum ia mencampurinya. Demikianlah iddah diperintahkah Allah Swt saat wanita itu dicerikan.” (HR. al-Bukhari) Meskipun para ulama sepakat membolehkan talak, jika keadaan hubungan pernikahan suami istri dalam keadaan kritis, terancam perpecahan,
serta pertengkaran yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negatif tersebut dengan cara talak. 53
Hubungan antara suami istri adalah hubungan yang tersuci dan terkuat. Tidak ada dalil yang menunjukkan kesuciannya dari pada Allah menyebutkan akad antara suami istri sebagai janji yang berat (mitsaq ghalizh) sebagaimana firman Allah: Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (An-Nisa:21).
Jika hubungan antara suami istri begitu kuat, maka tidak boleh diremehkan dan direndahkan. Segala sesuatu yang melemahkan hubungan ini dibenci Islam karena mengakibatkan luputnya manfaat dan hilangnya maslahat antara pasangan suami istri tersebut. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sebaiknya bisa diselesaikan hingga tidak terjadi perceraian.
Karena
bagaimanapun,
baik
suami
maupun
istri
tidak
menginginkan hal itu terjadi. Lebih-lebih sebuah hadits menjelaskan bahwa meskipun thalak itu halal, tetapi sesungguhnya perbuatan itu dibenci oleh Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
53
257
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Op. Cit, hal. 256-
، ﻋﻦ ﳏﺎرب ﺑﻦ دﺛﺎر،ﻣﻌﺮف ﺑﻦ واﺻﻞ ّ ،ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻛﺜﲑ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ّ ّ ﺣﺪﺛﻨﺎ ّ ﻋﻦ،ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪ ِ ِ اﳊَﻼَِل اِ َﱃ اﷲِ اﻟﻄﱠﻼَ ُق ْ ﺾ َ َﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ ُ َ أَﺑْـﻐ:ﺎل َ َﻋ ْﻦ إﺑْ ُﻦ ُﻋ َﻤَﺮ ﻋﻦ َر ُﺳ ْﻮل اﷲ ()رواﻩ أﺑﻮ داود Yang artinya:
Diceritakan kepada kami oleh Katsir Ibn ‘Ubaid, diceritakan kepada kami oleh Muhammad Ibn Kholid, dari Mu’arif Ibn wasil, dari Muharib Ibn Ditsar, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw bersabda: “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Azza wajalla adalah thalak.” (HR. Abu Daud. 54 53F
Siapa saja manusia yang menghendaki rusaknya hubungan suami istri, dalam pandangan Islam ia keluar dari padanya dan tidak memiliki sifat kehormatan. Rasulullah Saw. Bersabda: Tidak tergolong kami orang yang merusak hubungan istri terhadap suaminya. 55 54F
Sedangkan tentang hukum cerai para ahli fiqih berbeda pendapat sehingga dilihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum perceraian atau talak itu ada lima:
1. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus
54
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Bairut, Dar Ihya alKutub Arabi) Juz III, hal. 226 55 Abi Daud Sulaiman Ibn Asa’s as-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar alA’lam,2003), hal. 351
perkara kedua. Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka pada saat itu talak adalah wajib baginya.
2. Makruh
Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan, talak seperti itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya sebab yang membolehkan. Dan karena talak semacam itu dapat membatalkan pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunahkan. Sehingga talak itu menjadi makruh hukumnya.
3. Mubah
Yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.
4. Sunnah
Yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah SWT yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya, atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Hal itu
mungkin saja terjadi, karena seorang wanita itu mempunyai kekurangan dalam hal agama. Dalam kondisi seperti itu dibolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan geraknya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa (4): 19 yang berbunyi:
ِﱠ ِ ِ ِ ﻮﻫ ﱠﻦ ﻟِﺘَ ْﺬ َﻫﺒُﻮا ﺑِﺒَـ ْﻌ ﺾ َﻣﺎ ُ ﱢﺴﺎءَ َﻛ ْﺮًﻫﺎ َوﻻ ﺗَـ ْﻌ ُ ُﻀﻠ َ ﻳﻦ َ ﻳَﺎأَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟﺬ َ آﻣﻨُﻮا ﻻ َﳛ ﱡﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ أَ ْن ﺗَﺮﺛُﻮا اﻟﻨ ِ آﺗَـﻴﺘُﻤﻮﻫ ﱠﻦ إِﻻ أَ ْن ﻳﺄْﺗِﲔ ﺑَِﻔ (٤:١٩/ﺎﺣ َﺸ ٍﺔ ُﻣﺒَـﻴﱢـﻨَ ٍﺔ )اﻟﻨﺴﺎء َ َ ُ ُْ Yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”. (QS. an-Nisa’(4):19)
Imam Ahmad berkata: Tidak patut memegang istri seperti ini. Karena hal itu dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman ranjangnya dari perbuatan rusaknya, dan dapat melemparkan kepadanya anak yang bukan dari darah dagingnya sendiri.
Ibnu Qudamah berkata: Talak dalam salah satu dari dua keadaan di atas (Yaitu tidak taat kepada Allah dan kurang rasa malunya) barang kali wajib. Dan berkata pula: Talak sunnah yaitu thalak karena perpecahan antara suami
istri yang sudah berat dan bila istri keluar rumah dengan minta khulu’ karena ingin terlepas dari bahaya. 56
5. Mahzhur (terlarang)
Yaitu talak dilakukan ketika istei sedang haid, para ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. 57
C. Rukun dan Syarat Perceraian menurut islam
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya thalak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak tersebut adalah sebagai berikut:
1. Suami.
Suami
adalah
yang
memiliki
hak
talak
dan
yang
berhak
menjatuhkannya. Selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Talak bersifat menghilangkan ikatan perkawinan. Oleh karena itu talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.
56
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1980) Juz VII, hal. 12 57 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hal. 208-210
Sebagaimana sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jubair bahwa Rasulullah saw bersabda:
اﻟﻨﺰال ّ ،ﳏﻤﺪ ﳛﲕ ّ ّ ﻋﻦ،اﻟﻀﺤﺎك ّ ﻋﻦ،ﻋﻦ ﺟﻮﺑﲑ، أﻧﺒﺄﻧﺎ ﻣﻌﻤﺮ،اﻟﺮّزاق ّ ﺣﺪﺛﻨﺎ ّ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﱯ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ ﻗﺎل"ﻻَ ﻃَﻼَ َق ْﻗﺒ َﻞ ّ ّ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ أﰊ ﻃﺎﻟﺐ ﻋﻦ اﻟﻨ،ﺑﻦ ﺳﱪة . (ﺎح" )رواﻩ إﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ ٍ ﻧِ َﻜ Yang artinya: Diceritakan kepada kami oleh Muhammad Ibn Yahya, diceritakan kepada kami oleh Abdul Rozak, dikhabarkan kepada kami oleh Ma’mar, dari jubair, dari Dohak, dari an-nazal Ibn Sabroh, dari Ali Ibn Abi Tholib, Nabi saw bersabda: “tidak ada thalak kecuali setelah akad perkawinan”.(HR.Ibnu Majah) 58 57F
Talak akan sah apabila suami yang menjatuhkan talak tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berakal sehat, maka tidak sah thalaknya anak kecil atau orang gila
b. Baligh dan merdeka
c. Atas kemauan sendiri bukan dipaksa orang lain
d. Masih ada hak untuk menthalak
2. Istri
58
Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazidal-Qozwini, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabah Dahlan), Juz I, hal.660
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.
Talak akan sah apabila istri yang dijatuhkan talak memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. b.
Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
c.
Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah.
3. Sighat talak
Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.
Talak yang langsung dan jelas, misalnya suami berkata pada istrinya:”saya jatuhkan talak satu kepadamu”. Dengan diucapkan suami perkataan seperti itu jatuhlah talak satu kepada istrinya saat itu juga dan sah hukumnya. Sedangkan sighat talak yang diucapkan secara sindiran, misalnya
suami berkata pada istrinya:”Kembalilah ke orang tuamu” atau “Engkau telah aku lepaskan dari aku”. Ini dinyatakan sah apabila:
a. Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada istrinya. b. Suami mengatakan kepada hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak pada istrinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepada istrinya, maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Muhammad jawad mughniyah menjelaskan bahwa disyaratkan bagi orang yang menalak hal-hal berikut ini.
1. Baligh.
Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah,sekalipun dia telah pandai.
2. Berakal sehat.
Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila, baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian, pada saat gila, tidak sah.
3. Atas kehendak sendiri.
Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan istrinya), menurut kesepakatan para ulama madzhab, tidak dinyatakan sah.
4. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak.
Dengan demikian, kalau seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-main, maka menurut imamiyah talaknya dinyatakan tidak jatuh. Abu zahrah mengatakan bahwa, dalam mazhab hanafi talak semua orang dinyatakan sah, kecuali anak kecil, orang gila dan orang yang kurang akalnya. Dengan demikian, talak yang dijatuhkan oleh orang yang mengucapkannya dengan main-main, dalam keadaan mabuk akibat minuman yang diharamkan, dan orang yang dipaksa, dinyatakan tidak sah. 59
Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya menunjukkan kemarahannya. Semisal suami memarahi istri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan thalak, maka yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat thalak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak.60
D.Prosedur Perceraian menurut Islam
Perceraian dapat terjadi dengan segala cara yang menunjukkan berakhirnya hubungan suami istri, baik dinyatakan dengan kata-kata, dengan
59
60
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 120-121 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana, 2003), hal. 201-204
surat kepada istrinya, isyarat oleh orang yang bisu, maupun dengan mengirimkan seorang utusan.
a. Perceraian dengan kata-kata
Adakalanya kata-kata yang digunakan itu terus terang, tetapi adakalanya dengan sindiran. Yang dengan kata terus terang yaitu kata-kata yang mudah dipahami artinya waktu diucapkan, seperti: “engkau tertalak”, atau dengan segala kata-kata yang diambil dari kata dasar talak. Sedangkan kata-kata sindiran yang bisa digunakan itu berarti talak dan lainnya, seperti: “engkau terpisah”, atau dengan kata “perkaramu ada di tanganmu sendiri”.
b. Perceraian dengan surat
Perceraian dengan menggunakan surat dapat dijatuhkan sekalipun yang menulisnya mampu berkata-kata. Karena suami boleh menolak istrinya dengan lafadz (ucapan), iapun berhak untuk menolak melalui surat, dengan syarat suratnya itu jelas dan terang. Misalnya: “Wahai Fulanah! Engkau tertolak”
c. Isyarat orang bisu
Isyarat orang bisu merupakan alat menjelaskan maksud hatinya kepada orang lain. Karena itu, isyarat seperti ini dipandang sama nilainya dengan kata-kata yang diucapkan dalam menjatuhkan thalak apabila orang bisu memberikan isyarat yang maksudnya mengakhiri hubungan suami istri.
d. Mengirimkan seorang utusan
Talak dianggap sah dengan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan kepada istrinya yang berada di tempat lain bahwa ia telah ditolak. Dalam hal ini, utusan tadi bertindak selaku orang yang menolak. Karena itu, tolaknya sah. 61
A. b. Perceraian menurut Hukum Positif
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, namun dalam realitasnya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan, sesuai dengan Pasal 38 UUP menyatakan: perkawinan dapat putus karena sebab kematian, perceraian, ataupun karena putusan pengadilan.
Dalam
KHI
pasal-pasal
yang
digunakan
lebih
banyak
yang
menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci meskipun tampak mengikuti alur yang digunakan oleh Undang-Undang Perkawinan. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada XVI dalam Pasal 113 menyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
61
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz III, Alih bahasa Nor Hasanuddin, 2006, (Jakarta: Pena Pundi Aksara), hal. 146-150
Perceraian adalah merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.62
Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan pada Bab XVI dalam Pasal 117 yang dimaksud dengan talak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131”.
Perceraian berakibat hukum putusnya perkawinan. Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa putusnya perkawinan berarti berakhirnya suami istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan sebagai berikut:
a. Putusnya perkawinan karena atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami atau istri. Adanya kematian itu menyebabkan dengan sendirinya berakhir hubungan perkawinan. b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami karena adanya alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talak. c. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
62
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Inter Masa, 2003), hal. 42
berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu. Putus perkawinan dengan cara ini disebut khuluk. d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dijalankan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.
Memperhatikan arti dari istilah perceraian sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dipahami bahwa perceraian adalah istilah yang digunakan untuk menegaskan terjadinya suatu peristiwa hukum berupa putusnya perkawinan antara suami istri dengan alasan alasan hukum yang harus dinyatakan secara tegas didepan sidang pengadilan. Putusnya perkawinan berarti putusnya hubungan hukum perkawinan antara suami dan istri, sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami dan istri dan tidak lagi menjalani kehidupan suami istri dalam rumah tangga. Namun putusnya perkawinan tersebut tidak memutuskan hubungan silaturrahim antara bekas
suami dan bekas istri, apalagi mereka telah mempunyai anak-anak selama berumah tangga. 63
B. Dasar Hukum Perceraian menurut Hukum Positif
63
Muhammad syaifuddin, Sri Turatmiyah & Annalisa Yahanan, Op. Cit hal.17-18
Jika diamati pada aturan-aturan fikih berkenaan dengan perceraian, terkesan seolah-olah fikih memberi kemudahan atau kelonggaran untuk terjadinya suatu perceraian, berbeda dengan UUP dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya suatu perceraian.
Sebenarnya yang disebut dalam Pasal 1 UU No. 1/1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa KHI disebut dengan mistagan ghalizhan (ikatan yang kuat). Namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan.
Meskipun perkawinan dimaksudkan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat bagi pasangan suami isteri yang memeluk agama Islam, namun dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya juga dimungkinkan timbulnya permasalahan yang dapat mengakibatkan terancamnya keharmonisan perkawinannya. Bahkan apabila permasalahan tersebut tidak memungkinkan untuk dirukunkan kembali, sehingga keduanya sepakat untuk memutuskan perkawinannya melalui perceraian.
Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) berlaku, perkawinan diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) termasuk ketentuan tentang putusnya perkawinan (perceraian). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan dalam Buku I Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang perkawinan tidak berlaku. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat pengertian tentang perceraian, hanya mengatur tentang putusnya perkawinan serta akibatnya.
Dalam Pasal 38 UUD dinyatakan: “Perkawinan dapat putus karena, a. kematian, b. perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan.”
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur tentang tata cara perceraian, yaitu dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa: “seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.
Alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 14 tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUP, yaitu :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d) Salah satu pinak melakukan kekejaman atau penganiayaan beratyang membahayakan pihak yang lain. e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah lepasnya ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan. 64
Selanjutnya pada Pasal 39 UUP dinyatakan:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
64
Alhamdani, Op. Cit , hal.202
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 3. Untuk melakukan perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Dalam KHI pekawinan dapat putus disebabkan perceraian dijelaskan pada Pasal 113, dan 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang disebabkan oleh gugatan perceraian.
Berbeda dengan UUD yang tidak mengenal istilah talak KHI menjelaskan pada Pasal 117 yang dimaksud dengan talak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.”
Menurut Kompilasi Hukum Islam Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 113 KHI, yang mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:
1) Kematian;
2) Perceraian;
3) Putusan Pengadilan.
Menurut Pasal 114 KHI menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri. Selanjutnya menurut Pasal 115 KHI menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Pasal 116 KHI alasan-alasan terjadinya perceraian pasangan suami isteri dapat disebabkan karena:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau lain sebagainya yang sulit disembuhkan; 2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama, 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; 6) Terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri secara terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya; 7) Suami melanggar taklik-talak. Adapun makna taklik-talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah
yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang; 8) Terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Perceraian yang terjadi karena talak suami isterinya ditandai dengan adanya pembacaan ikrar talak, yaitu ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dan dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur dalam Pasal 129,130, dan 131 (Pasal 117 KHI).
C. Rukun dan Syarat Perceraian menurut Hukum Positif
Sebenarnya rukun dan syarat perceraian menurut hukum positif sama dengan rukun dan syarat perceraian dalam islam, hanya saja dalam UUP dan KHI tidak dijelaskan. Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud. Rukun dan talak antara lain:65
1. Suami.
Suami
adalah
yang
memiliki
hak
talak
dan
yang
berhak
menjatuhkannya.
65
Ahmad Rafiq,Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1998). Hal.23
Untuk sahnya talak, suami yang yang menjatuhkan talak disyaratkan :
a. Berakal
b. Baligh
c. Atas kemauan sendiri
2. Istri.
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isterinya sendiri.
Untuk sahnya talak, bagi isteri yang ditalak disyaratkan :
a. Isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
b. Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah.
3. Siqhat talak.
Siqhat talak adalah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih maupun kinayah, baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.
4. Qashdu(sengaja),
artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain.
Masyarakat yang ingin melakukan perceraian hendaknya memenuhi persyaratan - persyaratan sebagai berikut :
1. Suami - istri yang hendak melakukan pengajuan cerai, mendatangi Kantor Urusan Agama.
2. Suami - Istri memberikan keterangan tentang alasan mereka ingin mengajukan perceraian kepada Staff Pegawai KUA.
3. Setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak atas alasan mereka ingin bercerai, kemudian Staff Kua membuatkan Surat Pengantar / Surat Permohonan Cerai yang telah ditandatangani kepala KUA.
4. Kemudian Suami - Istri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama dengan membawa Surat Pengantar Cerai dari KUA.
5. Suami - Istri membayar biaya proses perceraian kepada pengadilan agama.
6. Suami - Istri menjalani proses sidang perceraian di Pengadilan Agama.
D. Prosedur Perceraian menurut Hukum Positif
Kalau kita merujuk kepada UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam itu secara umum dijelaskan bahwasannya perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan, dalam hal ini sesuai dengan apa yang telah
tercantum dalam UU 1 tahun 1974 Pasal 39 Ayat 3 dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 129-148.
Prosedur perceraian yang didasarkan atas talak suami terhadap isterinya sesuai ketentuan KHI adalah sebagai berikut:
a. Seorang suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya, terlebih dulu mengajukan permohonan secara lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal isteri dan disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan tersebut (pasal 129 KHI). b. Pengadilan Agama yang bersangkutan dapat mengabulkan ataupun menolak permohonan talak tersebut, dan keputusannya dapat dimintakan upaya hukum tingkat banding maupun kasasi (pasal 130 KHI).
Lebih lanjut sesuai ketentuan pasal 131 KHI teknis penyelesaian perkara permohonan talak tersebut melalui tahapan berikut:
1) Pengadilan Agama setelah mempelajari, permohonan talak, maka dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil suami dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan maksud menjatuhkan talak. 2) Setelah Pengadilan Agama (Hakim) tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga,maka Pengadilan Agama, menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya. 3) Setelah keputusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 bulan terhitung
sejak Putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talaknya gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak dilaksanakan, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang Terjadinya Talak sebanyak rangkap 4 yang merupakan bukti perceraian bagi mantan suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah di wilayah .tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada mantan suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama. 66
66
Muhamad Idrus Ramulya, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Akasara, 1990).hal. 154
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Cerai tanpa Putusan Pengadilan menurut Islam dan Hukum Positif
Putusnya perkawinan karena perceraian dalam istilah ahli Fiqh disebut talak atau furqah. Arti dari talak adalah membuka ikatan, membatalkan perjanjian, sedangkan furqah artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata tersebut dipakai oleh ahli fiqh sebagai satu istilah, yang berarti
bercerai
antara
suami
isteri.
Meskipun
Islam
tidak
melarang perceraian, tetapi bukan berarti Agama Islam menyukai terjadinya perceraian dalam satu perkawinan. Agama islam memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang tidak disukai. Rasulullah saw bersabda:
اﳊَﻼَ َل اِ َﱃ اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﻄﱠﻼَ ِق ْ ﺾ ُ َاَﺑْـﻐ Yang artinya:
Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak.(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) 67 6F
67
Ibnu Hajar Asqalani, Penjelasan Kitab Shohih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2011, hlm. 660
Mengenai perceraian yang dilakukan bukan di depan hakim, pada satu sisi perceraian tersebut sah secara hukum Islam karena dalam literatur hukum Islam tidak diharuskan perceraian dilakukan di depan pengadilan. Perceraian dapat jatuh apabila seorang suami telah mengucapkan kata talak kepada istrinya baik secara sungguh-sungguh atau diucapkannya secara tidak sungguhsunguh sesuai dengan hadis Rasulullah saw:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﺎ ﰎ ﺑﻦ اﲰﺎﻋﻴﻞ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ادرك )ﰱ اﻟﺘﻘﺮﻳﺐ: ﻗﺎل, ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ، ﻋﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮة، ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﻫﻚ: اردك ( ﻋﻦ ﻋﻄﺎء: واﳋﻼﺻﺔ ِ ِ ِ ٌ َ ﺛَﻼ: اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ َواﻟﱠﺮ ْﺟ َﻌﺔُ )رواﻩ،واﻟﻄﱠﻼَ ُق، َ ﺎح ُ اَﻟﻨﱢ َﻜ: ث ﺟ ﱞﺪ ُﻫ ﱠﻦ ﺟ ﱞﺪ َوَﻫ ْﺰُﳍُ ﱠﻦ ﺟ ﱞﺪ ( اﻟﱰﻣﺬى Yang Artinya:
Diceritakan kepada kami oleh Qutaybah, ia berkata : Diceritakan kepada kami oleh Hatim Ibn Ismail dari Abdurrahman Ibn Adrak (didalam kitab at-Taqrib dan Khulasoh : Ardak) dari Atho: dari Ibn Mahak, dari Abi Hurairah, berkata Rasulullah saw : “tiga perkara kesungguhannya di pandang benar dan main-mainnya di pandang benar pula, yaitu: nikah, thalak, rujuk.(HR. at-Tirmidzi) 68 67F
Dengan demikian perceraian tersebut sah secara syara’ akan tetapi jika melihat dari kacamata hukum positif atau sistem perundang-undangan di Indonesia yang mengacu kepada Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, perceraian tersebut tidak sah secara hukum hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 39 ayat 1 UU. No.1 tahun 1974 tentang
68
Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Suroh, Sunan at-Tirmidzi (kairo: Darul Hadits,1999),Juz III, hal.319
perkawinan yang berbuyi : “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” 69
Ketentuan diatas menunjukkan bahwa setiap pasangan suami istri yang akan melakukan perceraian tidak bisa disembarang tempat, mereka diharuskan oleh Undang-Undang untuk melaksanakan perceraian didepan hakim dalam sebuah acara persidangan dipengadilan. Meskipun pasangan suami isteri tersebut melakukan nikah siri namun mereka wajib memenuhi hukum yang mengharuskan suatu perceraian dilakukan didepan persidangan. Tentunya dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dapat mengarahkan masyarakat kepada suatu tatanan hukum yang lebih tertib, sekaligus dapat mengatasi terjadinya perceraian yang dilakukan oleh suami secara semena-mena terhadap istrinya tanpa mempertimbangkan akibatnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1947 tentang perkawianan juga berusaha semaksimal mungkin adanya dapat dilakukan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Karena perceraian dilakukan tanpa
69
Muhamad Idrus Ramulya, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Akasara, 1990).hal. 155
kendali dan sewenang-wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami isteri saja, kepada anak-anak yang mestinya harus di asuh dan dipelihara dengan baik. 70
Salah satu azas dalam Undang-Undang perkawinan adalah mempersulit terjadinya perceraian,cara mempersulit ini antara lain dengan menetapkan syarat-syarat tertentu seperti ikrar cerai harus diucapkan di depan sidang Pengadilan. Kebijakan tersebut dijabarkan oleh hakim antara lain dengan menyelenggarakan beberapa kali sidang, untuk menggali permasalahan dan memberi kesempatan kepada suami dan istri untuk merenungkan niatnya untuk bercerai.
B. Analisis Status Perceraian Tanpa Putusan Pengadilan
Berdasarkan Pasal 38 UUP disebutkan bahwa putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri disebabkan karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan dan pasal 39 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa sahnya perceraian harus dilakukan
70
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.8
didepan sidang pengadilan agama. Talak yang diucapkan diluar sidang pengadilan agama adalah tidak sah dan dianggap talak liar.71
Perceraian diluar sidang pengadilan agama adalah sah menurut fiqh. Fiqh yang difokuskan oleh fuqaha dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Jadi bisa saja, jika pendapat seorang ulama dahulu mendatangkan kemaslahatan, jika diterapkan dalam kondisi sekarang akan menimbulkan kemadharatan. Oleh karena itu harus dibedakan tidak dipertentangkan. Bukan fiqh yang tidak relevan, tetapi kesalahan itu berada pada orang-orang yang menempatkan fiqh yang ditulis untuk waktu itu, untuk kepentingan sekarang. Perceraian harus dilakukan didepan sidang pengadilan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kepentingan masyarakat. Tujuannya adalah agar suami istri tidak semena-mena menggunakan talak atau cerai. Hal ini dimaksudkan agar suami lebih berhatihati tidak mudah secara emosional dalam mengucapkan kata-kata cerai atau talak sebagai penyelesaian konflik yang mungkin terjadi diantara mereka. Jika dilacak landasan metodologinya cukup jelas. Ahli ushul fiqh menyebutkan dengan prinsip maslahah mursalah. 72
Sesuai dengan UU baik dalam UU. Perkawinan No.1 tahun 1974 mupun dalam KHI pasal 115 disebutkan perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan agama, setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, jadi peceraian
71
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hal.20 Agus Ubaidillah, Studi Komparasi Tentang Talak antara Fiqh, Madzhab Syafi’i dengan KHI, 2014, hal.73 72
hanya ada dalam sidang pengadilan agama. Perceraian atau talak yang dilakukan diluar pengadilan agama tidak sah. Pengadilan tidak mengenal itsbat talak, itsbat talak tidak ada, yang ada itsbat nikah. Disamping itu pengadilan tidak akan menjatuhkan talak kalau tidak memenuhi alasan alasan yang menyebabkan suatu perceraian terjadi diantaranya antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan ada hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Perceraian harus dilakukan didepan sidang pengadilan agama, hal ini dilakukan agar mendapat kepastian hukum dari pemerintah untuk melindungi hak-haknya masing-masing. Disamping agar keberadaan wanita atau istri terlindungi, juga sebagai jaminan bagi wanita agar eksistensinya tidak dilecehkan serta mengurangi kesewenang-wenagan suami dalam mengucapkan talak.73
Indonesia adalah Negara bangsa, bukan Negara agama. Hukum yang berlaku adalah hukum positif, bukan hukum agama. Ini mirip dengan konsep sekuler yang memisahkan antara agama dengan Negara. Urusan agama diserahkan kepada masing-masing individu, sebagai warga Negara yang baik selain taat beragama kita juga dituntut untuk mentaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam hal perkawinan yang notabene domain agama. Apalagi Indonesia bukanlah Negara sekuler, tapi juga Negara agama lebih mengakomodasi hal-hal yang berkaitan dengan urusan
73
Ibid, hal. 74
agama, salah satunya dalam perkawinan, perceraian dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. 74 73F
Mengenai status perceraian yang dilakukan bukan di depan hakim, pada satu sisi perceraian tersebut sah secara hukum Islam karena dalam literatur hukum Islam tidak diharuskan perceraian dilakukan di depan pengadilan. Perceraian dapat jatuh apabila seorang suami telah mengucapkan kata talak kepada istrinya baik secara sungguh-sungguh atau diucapkannya secara tidak sungguh-sunguh sesuai dengan hadis Rasulullah saw:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﺎ ﰎ ﺑﻦ اﲰﺎﻋﻴﻞ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ادرك )ﰱ اﻟﺘﻘﺮﻳﺐ: ﻗﺎل, ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ، ﻋﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮة، ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﻫﻚ: اردك ( ﻋﻦ ﻋﻄﺎء: واﳋﻼﺻﺔ ِ ِ ِ ٌ َ ﺛَﻼ: اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ َواﻟﱠﺮ ْﺟ َﻌﺔُ )رواﻩ،واﻟﻄﱠﻼَ ُق، َ ﺎح ُ اَﻟﻨﱢ َﻜ: ث ﺟ ﱞﺪ ُﻫ ﱠﻦ ﺟ ﱞﺪ َوَﻫ ْﺰُﳍُ ﱠﻦ ﺟ ﱞﺪ ( اﻟﱰﻣﺬى Yang Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Qutaybah, ia berkata : Diceritakan kepada kami oleh Hatim Ibn Ismail dari Abdurrahman Ibn Adrak (didalam kitab at-Taqrib dan Khulasoh : Ardak) dari Atho: dari Ibn Mahak, dari Abi Hurairah, berkata Rasulullah saw : “tiga perkara kesungguhannya di pandang benar dan main-mainnya di pandang benar pula, yaitu: nikah, thalak, rujuk.(HR. at-Tirmidzi) 75 74F
Dengan demikian perceraian tersebut sah secara syara’ akan tetapi jika melihat dari kacamata hukum positif atau sistem perundang-undangan di 74
Ibid, hal. 80 Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Suroh, Sunan at-Tirmidzi (kairo: Darul Hadits,1999),Juz III, hal.319 75
Indonesia yang mengacu kepada Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, perceraian tersebut tidak sah secara hukum hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 39 ayat 1 UU. No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbuyi : “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Maka secara Yuridis dapat dikatakan perceraian tersebut tidak sah dan harus dibatalkan dan si istri/suami secara hukum masih terikat dengan suami/istri yang lama. Dengan demikian menurut hemat penulis perceraian tersebut
tidak
sah
karena
sistem
perundang-undangan
mensyaratkan
dilangsungkannya talak cerai atau gugat cerai harus dilaksanakan di depan hakim pengadilan. Selain itu, dari segi kemaslahatan disyaratkannya perceraian di depan hakim, agar tidak terjadi perceraian secara sembarangan dan exploitasi suami terhadap istri dengan kekuasaan yang otoritatif dari suami untuk menceraikan si istri dengan tanpa alasan.
C. Analisis Status Perkawinan Yang Tidak Mempunyai Akta Cerai
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini merupakan bunyi pasal 1 UU. No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari maksud kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”, hal ini memberikan isyarat bahwa suatu
perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan landasan agama. Akan tetapi hal ini tidak cukup, karena dalam praktiknya di Indonesia suatu pernikahan yang sah tidak hanya menggunakan landasan hukum Islam saja tetapi juga harus juga berlandaskan kepada aturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Sedangkan ayat 2
berbunyi : “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. 76
Dari dua pasal diatas dapat kita simpulkan bahwa suatu pernikahan baru dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan hukum Islam dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat kita pahami pula, ketika suatu pernikahan harus dilakukan di depan peraturan perundangperundangan maka perceraian pun harus dilakukan di depan pengadilan. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 39 ayat 1 UU. No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu mendapat pengakuan dari negara, yang dalam hal ini
76
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. 1, hal. 48
ketentuannya terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tentang
pencatatan perkawinan ialah tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan bertujuan agar keabsahan perkawinan mempunyai kekekuatan hukum, jadi tidak menentukan sah/tidaknya suatu perkawinan. 77
Pencatatan perkawinan, walaupun tidak secara tegas dinyatakan sebagai syarat sahnya perkawinan, tetapi mempunyai akibat penting dalam hubungan suami isteri. Akibat dari perkawinan tersebut adalah menyangkut mengenai hubungan suami isteri yang melahirkan hak dan kewajiban timbulnya harta benda atau kekayaan suami isteri dalam perkawinan serta hubungan antara orang tua dengan anak – anaknya yang dilahirkan dari perkawinan mereka.
Menurut penulis, walaupun sah menurut hukum agama, namun dengan tidak dicatatnya perkawinan akan membawa akibat hukum berupa :
Pertama, perkawinan dianggap tidak sah menurut hukum negara. Perkawinan yang dilakukan tersebut di mata negara, dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Hal demikian mengandung arti bahwa,
77
Ibid, hal.50
anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula secara hukum. Anak -anak dalam perkawinan ini berstatus sebagai anak di luar perkawinan.
Ketiga, akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Untuk mengenai status perkawinan yang dilakukan oleh janda yang tidak mempunyai akta cerai Dalam perspektif hukum Islam tidak ada korelasi dan relevansi ada atau tidak akta cerai untuk melaksanakan perkawinan berikutnya. Sedangkan menurut hukum positif akta cerai merupakan bukti legalitas pengakuan oleh Negara terhadap putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri. Tanpa akta cerai tersebut seseorang tidak dapat melakukan pernikahan berikutnya karena dianggap masih terikat dengan perkawinan sebelumnya. Dalam UUD No.1 tahun 1974 diterangkan bahwa prinsip dasar perkawinan adalah monogami disinilah letak pentingnya keberadaan akta cerai yaitu untuk sebagai syarat melancarkan pernikahan berikutnya.
perkawinan ke dua yang telah dilakukan dengan orang lain walaupun tanpa pengetahuan istri/suami hal tersebut tetap tidak dapat di benarkan karena secara yuridis masih terikat dalam perkawinan dengan yang lama sebagai akibat perceraian yang tidak sah secara hukum positif. Sehingga perkawinan
dilakukan secara formal dan administrative di depan pegawai pencatat pernikahan seharusnya di batalkan, Karena dalam pasal 22 UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Sedangkan dalam penjelasan disebutkan pengertian “ dapat” dalam pasal ini adalah bisa batal bilamana menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain, dengan demikian dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh seseorang bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pada kasus diatas harus dibatalkan karena cacat hukum. 78 Akan tetapi kalau kita merujuk kepada hukum Islam maka pernikahan tersebut dianggap sah, karena perceraiannya yang dilakukan sebelumnya adalah sah secara hukum Islam dan dia pun telah memenuhi persyaratan secara hukum Islam untuk melakukan suatu pernikahan. Sehingga pernikahan kedua yang dilakukannya adalah sah secara hukum Islam.
Setelah pemaparan diatas yang menyatakan bahwa perkawinan kedua dari pelaku yang bercerai diluar sidang pengadilan harus dibatalkan secara hukum positif, maka setatus perkawinan tersebut menjadi perkawinan sirri karena menurut hukum Islam sah-sah saja sebab perceraiannya pun dianggap sah menurut hukum Islam. Akan tetapi apabila pihak-pihak terkait ingin
78
1, hal. 33
Zaenuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.
meneruskan perkawinan dan diakui oleh hukum Islam dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Maka seorang tersebut harus terlebih dahulu mengurus surat-surat bukti perceraian (Akta Cerai) dari pengadilan dan setelah itu menetapkan perkawinannya di Pengadilan Agama atau disebut Isbat Nikah.
Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “ Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat Nikahnya di Pengadilan Agama. Sebagai contoh kasus Ayu Azhari yang mengajukan Isbat Nikah demi mendapatkan aspek legal perkawinannya serta menyelamatkan masa depan anak dan keturunannya, sebab Isbat Nikah merupakan saluran yang tepat agar para pihak terkait terhindar dari kesimpangsiuran hukum. 79 Nikah dibawah tangan apabila tidak dilegalkan akan berimplikasi terhadap hukum diantaranya hukum kewarisan, antara suami istri tidak bisa saling waris-mewarisi demikian pun antara anak-anak yang dilairkan dari hasil perkawinan dengan orang tuanya. Begitu juga dalam hukum perwalian dalam nikah, seorang bapak tidak berhak menjadi wali nikah dari anak perempuannya.
D. Analisis Seberapa Jauh Pentingnya Akta Cerai Bagi Pelaku Perceraian
Akta perceraian adalah suatu bukti outentik tentang putusnya suatu ikatan perkawinan. Apabila Akta Perkawinan dikeluarkan oleh Kantor Catatan
79
http:// www.lampungpost.com, tgl akses 16 Maret 2015 Jam: 19.24
Sipil, maka perceraian harus melalui Pengadilan Negeri, yang telah menjadi kekuatan hukum yang pasti, baru dicatatkan/didaftarkan dalam daftar perceraian yang berjalan dan telah diperuntukan untuk itu perceraian perlu dicatatkan dan diurus akta perceraiannya karena Bukti sahnya perceraian yang diperlukan sebagai dasar: •
Legalitas putusnya perkawinan dan perubahan status sebagai janda atau duda cerai hidup
•
Pengurusan hak tunjangan anak dari suami istri, harta gono gini, dan perkawinan setelah perceraian.
Bagi Pemerintah, dengan pencatatan Perceraian diperoleh statistik peristiwa yang dapat digunakan untuk kepentingan pemantauan keluarga dan penetapan kebijakan pembangunan lainnya. 80
Persyaratan pencatatan perceraian •
Pencatatan perceraian dilakukan di tempat terjadinya perceraian
•
Pencatatan perceraian dilakukan dengan menyerahkan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan kutipan akta perkawinan
•
Pencatatan perceraian dilakukan dengan tata cara:
80
Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), hal. 28-29. Lihat pasal 1877 BW/KUH-Per
o
Pasangan suami dan istri yang bercerai mengisi Formulir Pencatatan Perceraian pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan melampirkan salinan putusan pengadilan dan kutipan akta perkawinan
o
Pejabat pencatatan sipil pada instansi pelaksana mencatat pada register akta perceraian, memberikan catatan pinggir pada register akta perkawinan dan mencabut kutipan akta perkawinan serta menerbitkan kutipan akta perceraian
o
Kutipan Akta Perceraian diberikan kepada masing-masing suami dan istri yang bercerai
o
Instansi Pelaksana berkewajiban memberitahukan hasil pencatatan perceraian kepada Instansi Pelaksana tempat pencatatan peristiwa perkawinan
•
Panitera berkewajiban mengirimkan salinan putusan pengadilan mengenai perceraian kepada instansi pelaksana tempat pencatatan peristiwa perkawinan
•
Instansi pelaksana mencatat dan merekam dalam database kependudukan
Syarat Mengambil Akta Cerai : a) Menyerahkan nomor perkara yang dimaksud b) Memperlihatkan KTP asli dan menyerahkan fotocopynya c) Membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) d) Bermaterai 6000 yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah setempat
Ketentuan Akta Perceraian:
Setiap peristiwa perceraian yang telah mendapatkan Putusan Pengadilan tetap (Islam dari Pengadilan Agama, Non Islam dari Pengadilan Negeri) harus dilaporkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Pelaporan menggunakan formulir dari Dinas yang telah disepakati bersama instansi yang berwenang untuk membangun stastistik Vital.
Setiap peristiwa perceraian yang telah mendapatkan putusan Pengadilan Negeri harus didaftarkan ke Dinas.
Jangka Waktu pendaftaran paling lambat 60 ( enam puluh ) hari sejak putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pendaftaran yang melebihi jangka waktu dikenakan retribusi sesuai ketentuan.
Pencatatan perceraian sebagaimana dimaksud di atas dicatat dalam akta perceraian dan kutipan akta perceraian. 81
Dalam perspektif hukum Islam tidak ada korelasi dan relevansi ada atau tidak akta cerai untuk melaksanakan perkawinan berikutnya. Sedangkan menurut hukum positif akta cerai merupakan bukti legalitas pengakuan oleh Negara terhadap putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri. Tanpa
81
Ibid, hal. 80
akta cerai tersebut seseorang tidak dapat melakukan pernikahan berikutnya karena dianggap masih terikat dengan perkawinan sebelumnya. Dalam UUD No.1 tahun 1974 diterangkan bahwa prinsip dasar perkawinan adalah monogami disinilah letak pentingnya keberadaan akta cerai yaitu untuk sebagai syarat melancarkan pernikahan berikutnya. Maka dari itu akta cerai memang sangat penting salah satunya untuk terjaminnya Pengurusan hak tunjangan anak dari suami istri, harta gono gini, dan perkawinan setelah perceraian.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian serta analisis-analisis yang telah penulis paparkan pada babbab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sekaligus jawaban atas rumusan masalah yang ada, uraian tersebut ialah sebagai berikut:
1. Pada hakekatnya perceraian yang diucapkan oleh seorang suami kepada seorang istri dalam Hukum Islam dapat saja terjadi kapan dan dimana pun seorang suami mengucapkan ikrar talak maka saat itu pun terjadi perceraian dan sudah dianggap sah. Berbeda dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia karena dalam sistem perundang-undangan di Indonesia perceraian yang di anggap sah apabila dilakukan dihadapan hakim atau sidang pengadilan sesuai dengan pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 2.
Perkawinan yang dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan hukum Islam dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengacu pada UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian kita pahami ketika suatu perkawinan harus dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan maka perceraian pun harus dilakukan di depan sidang pengadilan dan
apabila suatu perkawinan kedua dilakukan tanpa adanya Akta Cerai dari pengadilan maka menurut Hukum Islam sah-sah saja, akan tetapi menurut Hukum Positif tidak sah bahkan harus dibatalkan. 3.
Menurut hukum positif akta cerai merupakan bukti legalitas pengakuan Negara terhadap putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri. Tanpa akta cerai tersebut seseorang tidak dapat melakukan pernikahan berikutnya karena dianggap masih terikat dengan perkawinan sebelumnya. Maka dari itu disinilah letak pentingnya keberadaan akta cerai yaitu untuk sebagai syarat melancarkan pernikahan berikutnya. Yang tak kalah pentingnya yaitu untuk terjaminnya pengurusan hak tunjangan anak dari suami istri, harta gono gini dan perkawinan setelah perceraian.
B. Saran-Saran
1. Sebaiknya pihak Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama perlu meningkatkan Sosialisasi hukum perkawinan kepada masyarakat dan ulama. 2.
Agar tidak terjadi lagi pelanggaran pada Undang-Undang Perkawinan sebaiknya pencatatan nikah dijadikan rukun nikah dan perceraian di depan Pengadilan Agama sebagai syarat sah cerai.
3. Pelaksanaan Undang-Undang dalam hal ini Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama harus konsisten dalam menjalankan UndangUndang.
C. Kata Penutup
Masih penulis harapkan demi kesempurnaan studi lebih lanjut, atau tidak menutup kemungkinan bisa dikembangkan lebih jauh, lebih mendalam apalagi secara prioritas adalah lembaga atau perguruan tinggi yang bergerak dalam kajian syari’ah. Demi menutup kekurangan selama penulis alami. Akhirnya penulis juga berharap adanya penelitian yang lebih mendalam mengenai cerai tanpa Putusan Pengadilan Agama.
Demikianlah penelitian yang penulis lakukan mengenai CERAI TANPA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DALAM ISLAM DAN HUKUM POSITIF penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat dan penerapan hukum (positif dan agama) tentang cerai tanpa putusan pengadilan.
Dalam jagad intelektual, penulis meyakini tidak ada karya ilmiah yang sempurna, maka kritik dan juga saran dan sumbangan data senantiasa penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Akhirnya sekali lagi peulis haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala bantuan, perhatian, kritik dan juga saran yang telah diberikan, penulis tiada sanggup membalasnya, hanya mampu mendoakan dengan iringan doa jaza kumullah khoiron kasiro wa ahsanal jaza, Amiiin.
DAFTAR PUSTAKA Balban al-Faris,’Alaudin Ali Ibn Sahih Ibn Hibban (Beirut: al-Resalah) Ghazaly,Abd.Rahman Fiqh Munakahad (Bogor: Kencana,2003) Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat, Jakarta:Amzah,2009. Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Sinar Grafika Offset,2009), cet. 1. Manan,Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006). Ghozali, Abdul Rahman.Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Media Group, 2010), cet. 4. Al-Jaziri,Abdurrahman Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad) Juz IV. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hal.20 Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Bairut, Dar Ihya al-Kutub Arabi) Juz III. Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazidal-Qozwini, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabah Dahlan), Juz I. Abi Daud Sulaiman Ibn Asa’s as-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar alA’lam,2003). Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Suroh, Sunan at-Tirmidzi (kairo: Darul Hadits,1999),Juz III. Ubaidillah,Agus. Studi Komparasi Tentang Talak antara Fiqh, Madzhab Syafi’i dengan KHI, 2014. Abu Miqdad,Ahmad Azhar Pendidikan Seks Bagi Remaja, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997. Abbas,Ahmad Sudirman Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Antar Madzhab) (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006). Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002). Alqur’an, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1999. Syarifuddin,Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Prenaga Media Group, 2009 ), cet 3. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006). Bakir,Anton.Metode-metode Filsafat,( Jakarta : Ghalis Indonesia, 1984 ). Nasution,Bahder Johan. Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh (Bandung: Mandar Maju,1997). Beni Ahmad Saibani & H. Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. 1. http:// www.lampungpost.com, tgl akses 16 Maret 2015 Jam: 19.24
Asqalani,Ibnu Hajar. Penjelasan Kitab Shohih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2011. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut: Dar al-Fikr) Juz II. Taqiyuddin,Imam Kifayat al-Aakhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya) Juz II. John M. Echois & Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, (Jakarta: Gramedia, 1992), cet. 3. Moh. Rifa’i, Fikih Islam Lengkap (Kuala Lumpur, Pustaka Jiwa,1996). Ramulyo,Moh Idris Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Undang-undang No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara1996). Ramulya,Muhammad Idrus. Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Akasara, 1990). Suma,Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004). Muhammad syaifuddin, Sri Turatmiyah & Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan tidak di Catat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) cet. 1. Waskito,Purwo Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Grafika Mulia. Sabiq,Sayid. Fiqh Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT al-Maarif, 1980) Juz VIII. Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005). Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Inter Masa, 2003). Sudarsono, Kamus Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), cet. 1. Sudarsono, Kanus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,2009), cet. 6. Ayyub,Syaikh Hasan Fikih Keluarga Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001). Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, al-Jami’ fil Fiqhi an-Nisa Alih bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998). Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr) Zaenuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Miftahul Jannah
Tempat & tanggal lahir
: Jepara, 23 Oktober 1992
Alamat
: Bawu, RT 06 RW 01 Batealit Kabupaten Jepara
Agama
: Islam
Fakultas
: Syari’ah dan Ilmu Hukum
Program studi
: Al Ahwal Al Syakhshiyah
Pendidikan formal
1. SD Bantrung 1
lulus tahun 2003
2. MTS Amal Muslimin Bantrung
lulus tahun 2006
3. SMA Nurul Muslim Mindahan
lulus tahun 2009
4. UNISNU Jepara
Tahun 2010 - sekarang
Jepara,17 September 2015
Penulis
Miftahul Jannah