KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh : AHMAD ROIKAN NIM : 22108010
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013
KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh : AHMAD ROIKAN NIM : 22108010
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013
SKRIPSI KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
DISUSUN OLEH AHMAD ROIKAN NIM: 21208010
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 31 Juli 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Drs. Mubasirun, M.Ag
__________________
Sekretaris Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M. Ag.
__________________
Penguji I
: Prof. Dr. Muh Zuhri, M.A
__________________
Penguji II
: Dr. Adang Kuswaya, M.Ag.
__________________
Penguji III
: Luthfiana Zahriani, S. H., M.H.
__________________
Salatiga, 31 Juli 2013 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M. Ag NIP. 19580827 198303 1 002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
:
Ahmad Roikan
NIM
: 21208010
Jurusan
:
Syari’ah
Program Studi
:
Ahwal Al-Syakhshiyyah
menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakana hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga,10 Mei 2013 Yang menyatakan,
Ahmad Roikan NIM : 21208010
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta terhukum. Kalau harta itu akan berkurang apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan bertambah apabila dibelanjakan. (Sayidina Ali bin Abi Thalib)
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku, isteri dan buah hatiku yang tercinta Almira Syafa Al Raihani dan Amanda Raisya Al Raihani, para Guru dan Dosen STAIN Salatiga, saudarasaudaraku, sahabat-sahabat seperjuanganku, serta teman-teman yang selalu memotivasiku.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan taufiq serta hidayah-Nya, tak lupa shalawat serta salam saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jalan yang gelap menuju ke jalan yang terang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Perceraian Di Pengadilan Agama Boyolali”. Skripsi
ini
disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan program S-1 Jurusan Syari’ah, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai bila tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesainya skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. Imam Sutomo, M. Ag Selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
2.
Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag Selaku Kepala Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
3.
Bapak Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si Selaku Kepala Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah (AHS) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan skripsi. vii
4.
Ibu Heny Satar Nurhaida, SH, M.Si Selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5.
Ibu Dra. Hj. Andi Mulyani Hasyim, SH.MH.MSI Selaku Ketua Pengadilan Agama Boyolali yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan bapak Hakim, bapak Panitera, Wakil Panitera dan seluruh pegawai, karyawan dan karyawati Pengadilan Agama Boyolali yang telah membantu selama kegiatan penelitian di Pengadilan Agama Boyolali.
6.
Bapak Tanwir Winoto dan Ibu Sobiroh Selaku Orang tua saya dan istri beserta anak anak tercinta yang telah banyak memberi bantuan moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7.
Teman-teman semuanya yang telah bersedia memberikan kritik, saran dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal kebaikannya mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya, untuk itu diharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat khususnya bagi almamater dan semua pihak yang membutuhkannya. Amiiin yaa rabbal ‘alamiin. Salatiga, 10 Mei 2013 penulis,
Ahmad Roikan viii
ABSTRAK
Roikan, Ahmad. 2013. Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Perceraian Di Pengadilan Agama Boyolali). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Heny Satar Nurhaida, SH.M.Si
Kata Kunci: Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat bukti Perceraian Dalam pelaksanaan Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama sama dengan Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Umum, namun terdapat penambahan pada hal yang pokok saja. Sehingga, di perlukan kesempurnaan pada masa yang akan datang. Agar masing-masing peradilan dapat menegakkan hukum secara sempurna dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut kebanyakan ahli Hukum Islam dalam Hukum beracara peradilan Islam bahwa seorang saksi itu mutlak harus beragama Islam kecuali dalam masalah wasiat ditengah perjalanan. Sedangkan pada Hukum Acara Peradilan Umum tidak di tentukan mengenai perbedaan agama tersebut. Salah satu alat pembuktian dalam Hukum Acara adalah keterangan saksi, keterangan saksi diperlukan untuk menguatkan suatu gugatan untuk menghasilkan putusan yang tepat. Keterangan saksi membutuhkan aturan yang tetap khususnya bagi Peradilan Agama, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam memutuskan perkara oleh Hakim. Dari paparan di atas, penelitian memfokuskan pada “ Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Perceraian”, sehingga peneliti mengetahui apakah diterimanya saksi non muslim sebagai alat bukti perceraian itu sudah sesuai dengan Hukum Peradilan Islam dan Perundang-undangan yang berlaku. Dan apakah alasan-alasan/ faktor yang melatar belakangi dan dasar hukumnya bahwa saksi non muslim dapat diterima sebagai alat bukti perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali. Metode penelitian yang digunakan peneliti untuk menjawab rumusan masalah tersebut diatas adalah menggunakan metode penelitian kwalitatif yang memfokuskan penelitian pada studi kasus . Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan yuridis murni dan Pendekatan Yuridis Sosiologis. Hasil peneliti ini menunjukkan bahwa keterangan saksi non muslim tidak dapat diterima oleh ahli fiqih dan sebagai kalangan imam-imam mazhab. Menurut Hukum positif bahwa keterangan saksi yang beda agama tidak disebutkan secara terperinci hanya menyebutkan bahwa saksi itu harus yang menyaksikan kejadian tersebut. Sedangkan menurut Majelis Hakim Pengadilan Agama Boyolali pada dasarnya tidak menerima kesaksian non muslim namun tidak secara mutlak, Jika saksi non muslim tidak dapat diterima maka para pencari keadilan akan dirugikan dengan hal tersebut. Artinya keterangan saksi harus diterima karena keterangan saksi merupakan upaya untuk mengungkapkan kebenaran dari suatu peristiwa.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………….
i
HALAMAN LOGO STAIN SALATIGA...........……………………….
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ………………………….
iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………………..
v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……......………………
vi
KATA PENGANTAR.......……………………………………………….
vii
ABSTRAK.. ……….……………………………………………………..
ix
DAFTAR ISI...............................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ………………………………...
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………….
3
C. Tujuan Penelitian. ………………………………………...
4
D. Kegunaan Penelitian …...................……………………….
4
E. Penegasan Istilah ………………………………………….
6
F. Tinjauan Pustaka ………………………………………….
7
G. Metode Penelitian …………………………………………
8
H. Sistematika Penulisan …………………………………......
11
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG ALAT BUKTI
A.
Pengertian Alat Bukti ………………...…........…………..
13
B. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya..
14
C. Persangkaan …......………………………………………..
17
D.
Pengakuan ...........................................................................
19
E.
Sumpah ................................................................................
20
F.
Bukti Saksi ………………………………………………...
25
X Saksi Menurut Hukum Islam dan Perundang Undangan yang berlaku ………………………………………………. G. 27
BAB III
PERKARA KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
A.
Gambaran Umum Pengadilan Agama Boyolali ..................
31
B. Perkara-Perkara Dengan Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Pengadilan Agama Boyolali ...………………
44
C. Alasan dan Faktor-Faktor yang melatar belakangi Pengadilan Agama Boyolali Menerima Perkara Kesaksian non muslim sebagai alat bukti Perceraian ........................… 56
BAB IV
ANALISIS KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
A.
Analisis Terhadap Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Boyolali Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku .................................................. 58
B. Analisis Terhadap Alasan / Faktor yang melatar belakangi Saksi non Muslim dapat diterima sebagi alat bukti Perceraian di Pengadilan Agama Boyolali ………………..
BAB V
65
PENUTUP A Kesimpulan ……………………………………………...
69
B Saran …………………………………………………….
70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada prinsipnya penyelesaian perkara di Pengadilan Agama adalah mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan umum kecuali yang telah diatur secara khusus sebagaimana yang diatur pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa perkawinan pada umumnya dan utamanya dalam perkara perceraian berlaku hukum acara khusus yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam. Diantara tugas hakim dalam penyelesaian perkara perceraian adalah mengkonstatir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta yang dikemukakan oleh para pihak adalah benar-benar terjadi dan hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.
Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Adapun alat bukti yang sering diajukan dalam perkara perceraian adalah berupa bukti saksi. Menurut Ibnu Rusyd, para ahli Hukum Islam sepakat bahwa persyaratan dalam menerima kesaksian dari seorang saksi harus beragama Islam sehingga saksi non muslim tidak dapat diterima kesaksiannya. Demikian pula mayoritas para Hakim Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara perceraian tetap mensyaratkan saksi sebagai alat bukti harus beragama Islam dan saksi non muslim tidak dapat diterima kesaksiannya, tetapi untuk saat sekarang ini pendapat diatas sudah sulit untuk dipertahankan. Masyarakat dalam era globalisasi dunia sekarang ini, kehidupan masyarakat menjadi sangat komplek, termasuk kehidupan masyarakat diwilayah hukum Pengadilan Agama Boyolali. Di dalam masyarakat yang majemuk sudah terjadi pembauran dalam segala aspek kehidupan sehingga banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga / keluarga muslim kebetulan disaksikan oleh non muslim dan peristiwa tersebut menjadi suatu kasus yang memerlukan penyelesaian dan putusan oleh Pengadilan Agama. Seperti halnya kasus terjadinya pertengkaran antara suami istri dalam suatu rumah tangga yang hidup dikawasan perumahan, kebetulan yang
menyaksikan adalah tetangganya yang non muslim, penganiayaan seorang suami terhadap istrinya kemudian dilakukan visum oleh dokter non muslim. Jika kesaksian mereka tidak dapat diterima, padahal saksi tersebut yang kebetulan melihat secara langsung peristiwa-peristiwa yang dijadikan dalil gugatanya, maka para pihak yang berpekara akan merasa dirugikan dan menganggap diperlakukan tidak adil, bahkan para hakim pun akan mengalami kendala dalam menyelesaikan perkara tersebut. Saksi non muslim yang diajukan sebagai alat bukti dalam perkara perceraian adalah merupakan permasalahan yang sering terjadi di Pengadilan Agama Boyolali dan merupakan sebagian kendala Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut. Berdasarkan abstraksi diatas, penulis mengangkat topik permasalahan ini dalam sebuah skripsi dengan judul: “ KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI “. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang menjadi topik pembahasan dalam skripsi yaitu: 1. Apakah diterimanya saksi non muslim sebagai alat bukti perkara perceraian itu sesuai dengan Hukum Islam dan Perundang-undangan yang berlaku ?
2. Apakah alasan-alasan / faktor yang melatar belakangi dan dasar hukumnya bahwa saksi non muslim dapat diterima sebagai alat bukti perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali ? C. Tujuan Penelitian Tujuan pembahasan dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui diterimanya saksi non muslim sebagai alat bukri tersebut apakah sesuai dengan hukum Islam dan Peraturan perundangundangan yang berlaku . 2. Untuk mengetahui alasan atau faktor-faktor yang melatar belakangi dan dasar hukumnya bahwa saksi non muslim dapat diterima sebagai alat bukti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali. D. Kegunaan Penelitian Untuk
memberikan
hasil
penelitian
yang
berguna
secara
kompreherensif, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat di antaranya: 1. Teoritis Dapat
memberikan
sumbangsih pemikiran
terhadap kemajuan
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada ilmu hukum yang memiliki kaitan dengan persoalan kesaksian non muslim sebagai alat bukti dalam perkara perceraian, sehingga dapat mengungkap permasalahanpermasalahan dan menemukan solusinya.
2. Praktis a. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum Islam kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam sekaligus dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat bahwa hukum Islam selalu berkembang dan dinamis. b. Bagi Pengadilan Agama Bagi kalangan praktisi hukum dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih dan masukan yang bermanfaat dan berharga dalam melaksanakan tugas negara. Selain itu juga agar pengadilan agama dapat memberi solusi pemecahan terbaik bagi para pencari keadilan sehingga masyarakat puas dan mendapatkan keadilan atas kinerja penegak hukum dalam mengambil suatu keputusan. c. Bagi STAIN Salatiga Bagi kalangan akademisi, dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi ilmiah guna melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam sehingga dapat dijadikan referensi dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mungkin timbul di kemudian hari.
d.
Bagi penulis Dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan maupun pembentukan pola fikir dalam pembaharuan perdata Islam sehingga dapat menjadi pedoman di dalam melangkah meniti kehidupan sosial bermasyarakat.
E. Penegasan Istilah Sebelum penulis membahas permasalahan, maka lebih dahulu perlu dijelaskan pengertian istilah yang dipergunakan dalam judul skripsi ini, dengan tujuan untuk mengetahui gambaran yang jelas dan tidak terjadi salah penafsiran terhadap masalah yang dibahas. Oleh karena itu yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut: 1. Saksi
: Orang yang memberikan keterangan dimuka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya
peristiwa
atau
keadaan
tersebut.
(Muktiarto, 1996 : 160) 2. Non Muslim
: Tidak,
bukan
penganut
Agama
Islam.
(Depdikbud, 1995 : 692) 3. Alat Bukti
: Berbagaima tambahan yang dibutuhkan oleh Hakim baik yang diketahui sendiri oleh Hakim maupun yang diajukan oleh pihak saksi untuk membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau gugatan. (Depdikbud, 1995 : 675)
4. Perceraian
: Dalam istilah ahli Fiqih disebut thalak atau Furqoh;
Thalak
berarti
membuka
ikatan;
membatalkan perjanjian. Furqoh berarti bercerai, kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli fiqih yang berarti “Perceraian antara suami istri”. (Depag, 1986 : 58) 5. Pengadilan Agama
: Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. (Muktiarto, 1996 : 16)
6. Boyolali
: Kota di Karesidenan Surakarta (Jawa Tengah) letaknya di jalan raya antara Surakarta dan Semarang. (Depag, 2004 : 84)
Dari uraian kata demi kata diatas, maka dapat diketahui maksud dari judul skripsi yaitu menelaah dan membahas tentang saksi non muslim yang diajukan sebagai alat bukti dalam perkara perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Boyolali jika ditinjau dari hukum Islam yang bertitik tolak dari nash, kitab fiqih serta perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. F. Tinjauan Pustaka Skripsi tentang Kesaksian atau saksi yang pernah ada yaitu tentang kekuatan kesaksian testimonium de audito dalam hukum acara perdata, dimana kesaksian seseorang berdasarkan sumber dari orang lain yang tidak dilihat, didengar, ataupun dialami sendiri dan tidak dapat dijadikan satu-
satunya alat bukti saksi untuk diputuskanya suatu perkara tersebut, namun tidak ada larangan kepada Majelis Hakim untuk mendengarnya di dalam sidang untuk dijadikan sebagai bahan persangkaan guna menyusun buktibukti yang lebih kuat. Berbeda dengan yang penulis teliti tentang kesaksian saksi non muslim sebagai alat bukti dalam perceraian dimana diperbolehkan kesaksian non muslim sebagai saksi dalam kasus perceraian. Disini penulis ingin mendalami dan meneliti mengapa Pengadilan Agama Boyolali menerima kesaksian non muslim sebagai alat bukti dalam perkera perceraian. Selain itu juga untuk mengetahui pertimbanganpertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara tersebut. G. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Berangkat dari judul dan permasalahan atau kasus yang mendasari penelitian, jenis penelitian ini adalah penelitian kwalitatif. Peneliti akan memfokuskan penelitian pada studi kasus yang dilengkapi dengan datadata di lapangan. Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan dua macam pendekatan yaitu : -
Pendekatan yuridis murni normatif,yaitu penulis meneliti sesuatu kasus berdasarkan nash-nash yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
-
Pendekatan Yuridis Sosiologis, yaitu penulis meneliti peristiwaperistiwa yang terjadi di dalam masyarakat.
2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data. Peneliti akan berpartisipan penuh dalam mengumpulkan data. 3. Lokasi Penelitian Peneliti mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Agama Boyolali yang beralamat di Jl. Pandanaran No 167 Boyolali. Peneliti memilih lokasi tersebut karena kasus saksi non muslim terdapat di Pengadilan Agama Boyolali. 4. Sumber Data
Berdasarkan
sumbernya,
sumber
data
penelitian
dapat
dikelompokkan dalam dua jenis yaitu.
a. Data Primer Data primer menurut Cahya Suryana, SH adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya secara langsung. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara, diskusi terfokus dan penyebaran kuesioner.
b. Data Sekunder Data sekunder menurut Cahya Suryana, SH adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan berkas perkara. Pemahaman terhadap kedua jenis data di atas diperlukan sebagai landasan dalam menentukan teknik serta langkah-langkah pengumpulan data penelitian. 5. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data adalah proses untuk menghimpun data yang diperlukan, relevan, serta dapat memberikan gambaran yang jelas dari aspek yang akan diteliti baik penelitian pustaka ataupun penelitian lapangan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: a. Dokumentasi Teknik pengumpulan data menggunakan dokumentasi dengan cara mengumpulkan bahan-bahan pustaka, baik yang berupa buku-buku literature maupun dokumen-dokumen. Disini yang penulis maksud adalah data-data yang didapatkan dari Pengadilan Agama Boyolali berupa salinan putusan dan arsip-arsip berkas perkara.
b. Wawancara (interview) Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung (direct interview) dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. Penulis melakukan wawancara langsung dengan hakim-hakim dan panitera yang menangani perkara tersebut, juga mewawancarai hakim yang lainnya yaitu bapak Drs.Romadhon dan Drs.H.Asrori,SH.MH. 6. Analisis Data Yang dimaksud dengan analisis data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisa, mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang kongkret tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa data deduktif yaitu cara memberi alasan dengan berpikir dan bertolak dari pernyataan yang bersifat umum kemudian ditarik pada persoalan yang berkaitan dengan penelitian yakni dengan merujuk pada teori-teori setelah itu dikaitkan dengan kenyataan dilapangan. Metode ini digunakan dalam rangka mengetahui bagaimana penerapan kaidah-kaidah normatif dan yuridis dalam perkara kesaksian saksi non muslim sebagai alat bukti dalam perceraian. H. Sistematika Penulisan Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis mencoba memberikan gambaran seluruh penelitian dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab pertama pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,
tinjauan pustaka, metode penelitian, (pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data), dan sistematika penulisan. Bab kedua membahas pengertian alat bukti, macam-macam alat bukti dan kekuatan pembuktiannya, persangkaan, pengakuan, sumpah, bukti saksi, saksi menurut hukum islam dan perundang-undang yang berlaku. Bab ketiga berisi hasil
penelitian dalam perkara kesaksian non
muslim sebagai alat bukti dalam perkara perceraian di pengadilan agama boyolali yang meliputi gambaran umum Pengadilan Agana Boyolali (sejarah singkat Pengadilan Agama Boyolali, nama nama Ketua Pengadilan Agama Boyolali, wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali,), Perkara-perkara dengan kesaksian non muslim sebagai alat bukti di Pengadilan Agama Boyolali, Alasan dan faktor-faktor yang melatar belakangi Pengadilan Agama Boyolali menerima perkara kesaksian non muslim sebagai alat bukti perceraian. Bab keempat berisi analisis terhadap perkara kesaksian non muslim sebagai alat bukti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali yang meliputi analisis terhadap kesaksian non muslim sebagai alat bukti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, analisis terhadap alasan / faktor yang melatar belakangi kesaksian non muslim dapat diterima sebagai alat bukti perceraian di Pengadilan Agama Boyolali. Bab kelima adalah penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran saran.
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG ALAT BUKTI
1.
PENGERTIAN , MACAM-MACAM ALAT BUKTI DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA 1. Pengertian Alat Bukti 1.1 Menurut Bahasa Kata alat bukti berasal dari dua kata yaitu : “alat” dan “bukti”. Alat artinya : perkakas, berbagai-bagai alat.(Depdikbud, 1995 : 39) Bukti artinya : tanda kebenaran, memberi bukti, menerangkan dengan bukti.(Depdikbud, 1995 : 47) 1.2 Menurut Istilah Menurut Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, SH alat bukti adalah segala sesuatu yang dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Menurut Prof.Subekti, SH alat bukti adalah segala sesuatu yang dipergunakan sebagai pembuktian di depan hakim tentang terjadinya peristiwa atau keadaan. Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa alat bukti adalah macam-macam bahan yang dibutuhkan oleh hakim baik yang diketahui sendiri oleh hakim maupun yang diajukan oleh pihak saksi
untuk
membenarkan
atau
menggagalkan
dakwaan
atau
gugatan.(Fauzan, 2005 :36) Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat diambil pengertian bahwa alat bukti adalah : Segala sesuatu yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa atau keadaan baik yang diketahui sendiri oleh hakim maupun yang diajukan oleh pihak untuk membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau gugatan. 2. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan dalam UndangUndang (pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW) ada 5 macam yaitu : 2.1 Alat bukti tertulis / surat Alat bukti tertulis yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Alat bukti ini diatur dalam pasal 138,165,167 HIR, pasal 164, 285, 305 Rbg dan pasal 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi dengan meterai yang cukup, hal ini untuk memenuhi pasal 2 (1) a Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 yang berbunyi :
“dikenakan bea meterai atas dokumen yang berbentuk surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan dan keadaan yang bersifat perdata”.(Amin, 1995 : 23) 2.2. Macam-macam alat bukti surat : 2.2.1. Akta yaitu surat yang diberi tanda tangan, yang menurut peristiwa-peristiwa suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta dibagi menjadi 2 yaitu : -
Akta otentik Yaitu “akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, di tempat mana pejabat berwenang menjalankan tugasnya”.
-
Akta di bawah tangan yaitu akta yang dibuat oleh para pihak dengan sengaja untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.(Subekti, 1983 : 419)
2.2.2. Surat-surat lainnya yang bukan akta, yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani.
Sebagai alat bukti, kekuatan pembuktian akta otentik merupakan bukti sempurna dan lengkap sebagai berikut : 1. Kekuatan bukti lahiriyah. Sebagai asas berlaku akta publica probant sescipsa artinya bahwa suatu akta yang ujudnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu berlaku sebagai akta otentik, kecuali bila terbukti sebaliknya. 2. Kekuatan bukti formil. Dalam arti formil, akta otentik menjadi bukti kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh pejabat. 3. Kekuatan bukti materiil Kekuatan
pembuktian
materiilnya
yaitu
tentang
kebenaran isi dari suatu perbuatan atau penyataan yang dimuat di dalam akta tersebut. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, diatur dalam pasal 2 dan 3 S, 1867 Nomor 29, pasal 288-290 Rbg, pasal 1875-1977 sebagai berikut : 1. Kekuatan pembuktian lahir. Apabila tanda tangan diakui oleh para pihak yang bersangkutan, maka mempunyai kekuatan hukum dan menjadi bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan dan isi pernyataan
di
dalam
akta
tersebut
tidak
lagi
dapat
disangkal.Apabila tulisan atau tanda tangan akta itu dipungkiri, maka ia tidak mempunyai kekuatan pembuktian lain. 2. Kekuatan pembuktian formil. Apabila tanda tangan akta di bawah tangan telah diakui, berarti bahwa keterangan atau pernyataan diatas tanda tangan itu benar dari orang yang menandatanganinya. Kekuatan pembuktian formil akta tersebut sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik. 3. Kekuatan bukti materiil. Menurut pasal 1875 BW, akta di bawah tangan yang diakui mempunyai kekuatan pembuktian materiil seperti akta otentik yaitu bukti sempurna, bagi orang yang terhadap siapa akta itu digunakan, bagi para pihak, bagi ahli warisnya, serta orang yang mendapat hak dari padanya. 2.3. Persangkaan Yaitu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata, dari peristiwa itu ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga telah terjadi.(Subekti, 1980 : 181) Alat bukti persangkaan ini diatur dalam pasal 173 HIR dan 1916 BW.
Dalam hukum pembuktian, ada 2 macam persangkaan yaitu : 2.3.1 Persangkaan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang misalnya panggilan melalui Mass Media dianggap sah dan patut (pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975). 2.3.2 Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim dan keadaan yang timbul di persidangan Sebagai alat bukti saksi kekuatan bukti persangkaan juga dilakukan oleh majelis hakim dikarenakan, Persangkaan merupakan pembuktian sementara dan pada hakekatnya merupakan alat bukti yang bersifat tidak
langsung.Hakim
bebas
dalam
menemukan
persangkaan
berdasarkan kenyataan, setiap peristiwa yang telah terbukti dalam persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan jika memenuhi syarat-syaratnya. Kekuatan bukti persangkaan menurut Undang-Undang bersifat memaksa, hakim terikat pada ketentuan Undang-Undang kecuali jika dilumpuhkan oleh bukti lawan. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, SH bukti persangkaan hakim
yang
berdasarkan kenyataan,
diserahkan kepada
pertimbangan
mempertimbangkannya secara logis.
kekuatan pembuktiannya
hakim,
maka
hakim wajib
2.4. Pengakuan Yaitu pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.(Fauzan, 2005 :52) Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174,175,176,HIR, pasal 311,312,313 Rbg dan pasal 1923-1928 BW. Pengakuan ini dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan dan dapat pula diberikan secara tertulis maupun lisan didepan sidang. Bentuk pengakuan ada 3 macam yaitu : 2.4.1. Pengakuan murni. 2.4.2. Pengakuan dengan kualifikasi 2.4.3. Pengakuan dengan klausula. Sebagai bentuk kekuatan pembuktian pengakuan dengan pengertian dan penjelasan bahwa : `
1. Pengakuan murni di muka sidang merupakan bukti yang sempurna terhadap
yang
melakukannya,
dan
bersifat
menentukan karena tidak memungkinkan pembuktian lawan (pasal 174 HIR, pasal 311 Rbg, pasal 1925 BW). 2. Pengakuan dengan kualifikasi ini merupakan pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan, oleh
karena itu pengakuan seperti ini harus diterima seutuhnya dan tidak boleh dipisah-pisahkan, sehingga merugikan pihak yang memberikan pengakuan. Pengakuan ini harus diterima bulat dan pengakuan ini disebut “ Pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan”.(Fauzan, 2005 : 53) 3. Pengakuan dengan klausula merupakan suatu pengakuan yang disertai
dengan
keterangan
tambahan
yang
bersifat
membebaskan. Pengakuan ini juga tidak boleh dipisahpisahkan, harus diterima seutuhnya. 2.5. Sumpah Adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya.(Mukti, 1996 : 179) Pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat relegius yang dipergunakan dalam peradilan. Sumpah ada 2 macam yaitu : 2.5.1. Sumpah Promissoir
Yaitu sumpah / janji untuk melakukan atau tidak melakukan dan ini mempunyai fungsi formil yaitu syarat sah dilakukanya suatu tindakan yang menurut hukum harus dilakukan diatas sumpah itu. Sumpah ini ada 6 macam : 1. Sumpah Jabatan 2. Sumpah PNS 3. Sumpah Saksi 4. Sumpah Ahli 5. Sumpah Juru Bahasa / Tplk 6. Sumpah Hakim.(Mukti, 1996 : 179) 2.5.2 Sumpah Assertoir / Confirmatoir Yaitu sumpah / janji untuk memberikan keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak benar. Sumpah ini mempunyai fungsi materiil yaitu sebagai alat bukti di muka pengadilan untuk menyelesaikan sengketa. Sumpah ini ada 3 macam yaitu : 1. Sumpah Suppletoir / Pelengkap 2. Sumpah Decissoir / Pemutus 3. Sumpah Penaksir Kekuatan alat bukti sumpah Kekuatan pembuktian sumpah suppletoir bersifat :
a) Menyelesaikan perkara b) Memiliki kekuatan pembuktian sempurna c) Masih memungkinkan adanya bukti lawan dapat dibatalkan dengan putusan hakim yang lebih tinggi. d) Apabila sumpah itu terbukti palsu, dapat dijadikan alasan mohon
peninjauan
kembali
kepada
Mahkamah
Agung.(Mukti, 1996 : 185) Apabila
pihak
yang
diperintahkan
tersebut
telah
mengucapkan sumpah, maka ia dimenangkan, sedangkan apabila pihak tersebut menolak untuk bersumpah, maka ia akan dikalahkan dalam perkara. Kekuatan hukum dari sumpah decissoir ialah bersifat : a. Kebenaran peristiwa menjadi pasti. b. Merupakan alat bukti yang bersifat menentukan. c. Tidak memungkinkan bukti lawan. d. Pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu. e. Tidak dapat dibatalkan oleh hakim yang lebih tinggi. f. Apabila sumpah itu palsu berdasarkan putusan hakim pidana,
maka
tidak
dapat
diajukan
Peninjauan
Kembali.(Mukti, 1996 : 190) Kekuatan sumpah penaksiran sama dengan sumpah suppletoir yakni bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan. Disamping 3 macam sumpah tersebut di atas, dalam hukum Islam dikenal 2 macam sumpah yaitu :
1. Sumpah Li’an Sumpah ini diatur dalam pasal 88 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 127 Kompilasi Hukum Islam dan Alqur’an Surat Annur ayat 6-9. Sumpah ini menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama lamanya karena suami menuduh isterinya berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterunya, sedangkan isterinya menolak tuduhan tersebut.(Mukti, 1996 : 190) 2. Yaminul Istidhhar Yaitu sumpah penegasan yang berfungsi sama dengan sumpah suppletoir, tetapi hanya bisa dipakai dalam sengketa perkawinan, perceraian dan kelahiran, dimana pihak lawan tidak hadir dalam sidang. Sumpah ini hanya sebagai syarat penetapan hakim terhadap orang yang ghaib, sehingga dalil-dalil gugat harus
dibuktikan
dengan
alat
bukti
lain
yang
cukup.(Mukti, 1996 : 193) Kekuatan pembuktian Yaminul Istidhhar ini sama dengan sumpah suppletoir. Disamping 5 macam alat bukti yang diuraikan di atas menurut pasal 164 HIR, maka masih terdapat alat bukti yang dapat digunakan untuk memperoleh kepastian
mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa yaitu antara lain : 1. Pemeriksaan di tempat / Descente Yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya, yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.(Mukti, 1996 : 193) Pemeriksaan setempat ini diatur dalam pasal 153 HIR, pasal 180 Rbg dan pasal 211 RV. Kekuatan pembuktian hasil pemeriksaan di tempat ini diserahkan kepada pertimbangan hakim. 2. Keterangan Ahli / Saksi Ahli Yaitu keterangan dari pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Di dalam praktek pengadilan sering disebut saksi ahli hal ini diatur dalam pasal 154 HIR, pasal 181 Rbg dan 215 RV. Hakim menggunakan keterangan ahli bertujuan untuk :
- Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, misalnya : hal yang bersifat tehnis, ilmu kedokteran dan lain-lain. - Memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian saksi ahli ini adalah bebas, hakim tidak wajib mengikuti pendapat ahli tertentu dan bebas untuk menilai pendapat saksi ahli. Hakim tidak terikat pada keterangan ahli, bahkan boleh berpendapat
lain
daripada
keterangan
ahli,
jika
bertentangan dengan keyakinannya. Apabila hakim akan mengikuti pendapat saksi ahli, maka harus yakin bahwa hal tersebut adalah benar sesuai dengan keyakinannya. 2.6. Bukti saksi Yaitu orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.(Mukti, 1996 : 116) Alat bukti saksi ini diatur dalam pasal 168-172 HIR. Adapun kewajiban saksi adalah sebagai berikut: 1. Menghadiri sidang sesuai dengan panggilan.
2. Mengangkat sumpah sesuai agamanya. 3. Memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan alaminya.(Mukti, 1996 : 163) Kekuatan hukum alat bukti saksi dapat menguatkan bukti saksi, apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, mempunyai nilai pembuktian bebas yaitu hakim bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya, tidak terikat dengan keterangan saksi, bahkan hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi kuat. Menurut pasal 172 HIR, pasal 309 Rbg, 1908 BW, hakim tidak wajib dan tidak dipaksa untuk mempercayai saksi, sehingga kesaksian sebagai alat bukti berlainan dengan alat bukti surat, tidak bersifat memaksa.
2.
SAKSI
MENURUT
HUKUM
ISLAM
DAN
PERUNDANG-UNDANG YANG BERLAKU. 1.
Saksi menurut Hukum Islam Saksi menurut hukum Islam disebut “Syahid” untuk saksi laki-laki dan “Syahidah”
untuk
saksi
perempuan
yang
diambil
dari
kata
“Musyahadah” yang artinya : menyaksikan dengan dugaan dengan mata kepala sendiri dan saksi adalah manusia hidup.(Roihan, 1994 : 156) Hal ini berdasarkan Firman AllahS.A.W :
(٢٨٢ : ()اﻟﺒﻘﺮة#r߉ Îhô± tFó™ $#urÈûøïy‰ ‹Íky` ÏBöN à6 Ï9%y` Íh‘( “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu) “.(Q.S.Albaqoroh ayat 282).(Alqur’an dan terjemah,1976: 56) Dan firman Allah yang berbunyi :
(٢ : ()اﻟﻄﻼق#r߉ Íkôr&urô“ ursŒ5A ô‰ tã óO ä3 ZÏiB(…. “ ……. Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil diantara kamu…… “ (Q.S. Attholaq, ayat 2).(Alqur’an dan terjemah, 1976 : 945) Para Jumhur Fuqaha menyamakan pengertian syahadah dengan bayyinah, sedangkan menurut Ibnu Qayyim, pengertian bayyinah lebih luas dari syahadah, karena bayyinah meliputi apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu perkara yang disengketakan sebagaimana karinah-karinah yang qath’iyyah.(Ridlo, 1976 : 123)
Dari uraian diatas, maka kesaksian merupakan sebagaian dari Al bayyinah karena bisa dua orang saksi dan bisa juga dalam bentuk lain seperti sangkaan atau petunjuk ( dilalatul hal ). Oleh karena itu menurut hukum Islam, pihak penggugat harus membuktikan gugatannya dengan bayyinah, diantaranya adalah dengan kesaksian saksi-saksi yang dapat mengungkapkan kebenaran dalil gugatanya. Sebagaimana Sabda Nabi S.A.W :
( اﻟﺒﯿﻨﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﻋﻲ و اﻟﯿﻤﯿﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﻋﻲ )رواه اﻟﺒﻲ ھﻘﻲ “orang yang mendakwa harus menunjukkan bukti dan yang terdakwa harus bersumpah “( H.R. Baihaqi) Dalam hukum Islam, alat bukti saksi mempunyai syarat-syarat tertentu pula sebagaimana syarat saksi dalam hukum acara perdata sebagaimana tersebut diatas. Menurut Madzab Syafii dan Iman Abu Hanifah, secara garis besar ada 5 syarat sifat saksi yang harus dipegangi hakim dalam memeriksa kesaksian yaitu : 1.
Adil yaitu menjauhkan diri dari semua dosa besar, selalu menjauhkan diri dari dosa-dosa kecil, selamat aqidahnya, tidak mudah marah dan menjaga kehormatan dirinya.
2.
Dewasa / baliqh
3.
Islam
4.
Merdeka / bukan budak
5.
Mempunyai iktikad baik dalam memberi kesaksian di dalam persidangan.
Menurut Sayid Sabiq, syarat saksi adalah sebagai berikut : 1. Saksi harus memberikan kesaksian yang ia lihat dan alami sendiri seperti mengetahui terangnya matahari dengan mata kepalanya sendiri. 2. Saksi tidak memberikan keterangan kesaksiannya secara ragu atau secara istifadlah (testimonium de audito). 3. Batas minimal saksi adalah dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang wanita.(Sayid, 1971 : 427) Dalam praktek Peradilan Islam, menetapkan alat bukti saksi sebagai berikut : 1.
Perkara zina / tuduhan zina, saksi harus empat orang laki-laki yang beragama Islam dan adil.
2.
Perkara pidana, saksi harus dua orang laki-laki yang beragama Islam dan adil
3.
Masalah harta, boleh saksi seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
4.
Khusus perkara yang lazim hanya diketahui perempuan seperti keperawanan, aib perempuan, dapat dengan dua atau empat orang perempuan.(Abdul Manan, 2000 : 230)
2.
Saksi Menurut Perundang-Undangan Yang Berlaku. Menurut hukum acara perdata pada umumnya, alat bukti saksi diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HR ( pasal 165-179 Rbg ), 1895 dan 19021912 BW. Saksi yang diajukan oleh para pihak di depan persidangan agar dapat menjadi alat bukti harus memenuhi syarat yang meliputi syarat formil maupun syarat materiil. 2.1. Syarat formil saksi yaitu : 2.1.1 Berumur 15 tahun keatas dan sehat akalnya. 2.1.2 Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi ( pasal 144-145 HIR ) yaitu keluarga sedarah dan semenda karena perkawinan menurut garis lurus dari pihak yang berperkara, isteri maupun suami dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai. 2.1.3 Menghadap di persidangan dan mengangkat sumpah serta memberikan keterangan secara lesan. 2.2.
Syarat materiil saksi menurut pasal 170 dan 171 HIR yaitu :
2.2.1 Menerangkan peristiwa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri. 2.2.2 Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya dari sumber pengetahuan
yang
jelas,
bukan
merupakan
pendapat
/
kesimpulannya sendiri. 2.2.3 Keterangan saksi harus saling bersesuai satu sama lain dan tidak bertentangan dengan akal sehat.
BAB III PERKARA KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Boyolali
1. Letak Geografis Pengadilan Agama Boyolali Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis terhadap Dra.Hj. Andi Muliany Hasyim, SH, MH, MSI Hakim Pengadilan Agama Boyolali pada hari Jum’at tanggal 7Desember 2012, bahwa Kabupaten Boyolali terletak pada arah selatan dari Kabupaten Semarang dengan jarak tempuh sepanjang 70 Km. Secara geografis Kabupaten Boyolali berada di bagian tenggara lereng gunung Merapi dan berada pada titik koordinat 7° 28' lintang selatan dan garis bujur 107° 48’ bujur timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kabupaten Semarang dan Purwodadi
Sebelah Timur
: Kabupaten Sragen dan Karanganyar
Sebelah Selatan : Kabupaten Klaten dan Sukoharjo Sebelah Barat
: Kabupaten Magelang.
Secara administratif Kabupaten Boyolali terdiri dari 19 kecamatan dan 150 desa/kelurahan, luas wilayah 1.015 Km, dengan jumlah penduduk berdasar sensus tahun 2010 sebanyak 944.181 orang dengan perincian 461.806 orang laki-laki dan 482.375 orang perempuan. Dilihat dari pemeluk agama, Islam sebagai agama mayoritas dengan jumlah 915.282 orang, Kristen 11.479, Katolik 7.119, Hindu 3.737 dan Budha 3.530 orang.
2.
Sejarah Singkat Pengadilan Agama Boyolali a. Masa sebelum Penjajahan Belanda. Kabupaten Boyolali berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Dalam sejarah Kerajaan Mataram terdapat beberapa jabatan keagamaan di tingkat desa diantaranya Kaum, Amil, Modin, Kayim dan Lebai. Kemudian di tingkat kecamatan ada Penghulu dan Naib. Sementara di tingkat kabupaten seorang bupati didampingi oleh patih untuk urusan bidang pemerintahan umum dan seorang penghulu di bidang agama. Pada pusat Kerajaan Matarm, dilingkungan kerajaan terdapat dijumpai Kanjeng Penghulu atau Penghulu Ageng yang berfungsi sebagai Hakim pada Mejelis Pengadilan Agama saat itu. Konsep dari sebuah "pengadilan" agama saat itu juga masih sederhana sekali, sebuah majelis hanya terdiri dari Penghulu yang bertugas mengadili suatu perkara perdata, yang terdiri dari Penghulu Kanjeng dan Penghulu Kabupaten. Dengan demikian pada saat itu pola masyarakat Kerajaan Mataram telah ada Majelis Agama yang bertugas menyelesaikan sengketa antar umat islam di bidang tertentu dan peranan Hakim dipegang oleh seorang Penghulu, baik Penghulu Kabupeten (untuk tingkat Kabupaten) dan Penghulu Kanjeng (untuk tingkat Kerajaan). b. Masa Penjajahan Belanda Pada tanggal 19 Januari 1882 Raja Belanda Willem III dengan ketetapan Nomor 24 menetapkan suatu peraturan tentang Pengadilan Agama dengan nama ”Priesteraden” untuk Jawa dan Madura di muat dalam Staatsblad 1882 Nomor 152, diatara pasal adalah : Pasal 1 : ”Disamping setiap Landraad di Jawa dan Madura diadakan satu Pengadilan Agama, yang
wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum Landraad, Pasal 2 menyebutkan : Pengadilan Agama tersusun atas : 1.
Penghulu diperbantukan kepada Landraad sebagai ketua.
2.
Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan ”pristers” sebagai anggota. Berdasarkan Staatsblad 1882 Nomor 152 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1882, maka secara resmi Pengadilan Agama diakui sebagai Peradilan yang sah di wilayah jajahan Belanda. Saat itu pimpinan Pengadilan Agama dijabat oleh seorang ketua yang merangkap pejabat Adviseur Bij De Landraadatau yang dikenal dengan Penghulu Landraad .Kemudian berdasarkan Staatsblad 1937 Nomor 116 tentang Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama membahas tentang hal-hal diantaranya: masalah yang bisa diselesaikan melalui Pengadilan Agama adalah masalah-masalah kewarisan dan kebendaan yang berkaitan dengan perkawinan, dengan dasar tersebut Kompetensi Pengadilan Agama meliputi : 1)
Persilisihan antara suami isteri yang beragama Islam.
2)
Perkaraperkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan Hakim Agama (Islam).
3)
Memberi putusan perceraian.
4)
Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (taklik talak) sudah ada.
5)
Perkara
mahar
(mas kawin ), sudah termasuk mut’ah. 6)
Perkara tentang keperluan kehidupan suami isteri yang wajib diadakan oleh suami.
c.
Masa Penjajahan Jepang Pada masa ini, Pengadilan Agama tetap dipertahankan berdasarkan Paraturan Peralihan Pasal 4 Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu Saire) tanggal 7 Maret 1942 Nomor 1 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama masuk dalam Departemen Kehakiman (Shihobu) dari Gunseilanbu (nama kabinet waktu itu) dan disebut degan istilah Sooriyo Hooin (Pengadilan Agama dalam istilah Jepang). Pada masa ini melalui proses penelusuran sejarah dapat diketahui administrasi dari Pengadilan Agama seperti Ketua, Mejelis dan karyawan yang membantu dalam proses persidangan.
d. Masa Kemerdekaan Pada saat permulaan Indonesia merdeka Pengadilan Agama berada di bawah Departeman Kehakiman (sekarang Kementerian Kehakiman), dan berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 1/S.D tanggal 3 Januari 1945 Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) berdiri, maka Pengadilan Agama beralih di bawah Departemen Agama (berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946). Pengadilan Agama Boyolali sebelum tahun 1949 berkantor di serambi masjid, kemudian sejak tahun 1949 sampai dengan tahun 1955 Kantor Pengadilan Agama Boyolali menempati gedung Departemen Agama (baca Kementerian Agama) yang terletak di Jalan
Pandanaran 67 Boyolali. Perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama Boyolali masih sedikit karena masih banyak perceraian (Cerai Talak) yang dijatuhkan oleh suami tidak dilakukan di muka persidangan Pengadilan Agama Boyolali, namun setelah lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku secara efektif, dan sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maka tugas-tugas Pengadilan Agama menjadi semakin bertambah, perkara-perkara perkawinan diatur dengan jelas, sehingga volume perkara yang diterima di Pengadilan Agama Boyolali meningkat. Pada tahun 1976 Pengadilan Agama Boyolali telah memiliki gedung tersendiri seluas 348 m², yang terletak di Jl. Printis Kemerdekaan Boyolali, dibangun diatas tanah seluas 546 m² dari Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali / tanah hak milik Negara dengan status hak pakai sebagaimana tersebut dalam seftifikat Hak Pakai Nomor : 12 tahun 1987. Pada bulan Juni 2004, Pasca satu atap pengadilan dibawah lembaga Mahkamah Agung khususnya lembaga Peradilan Agama mengalami kemajuan yang signifikan, Mahkamah Agung Republik Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan citra Peradilan yang lebih berwibawa dan bermartabat, baik dari segi sarana dan prasarana maupun kualitas sumber daya manusia (SDM), Dan berdasarkan Surat Kepala Badan Urusan Administrasi MA-RI Nomor 42/BUA-PLS-KEP/XII/2006, tanggal 12 Desember 2006 kemudian ditindak lanjuti dengan penandatanganan Berita Acara Serah Terima Gedung lama Pengadilan Negeri Boyolali yang terletak di Jalan Pandanaran No. 167 Boyolali kepada Pengadilan Agama Boyolali pada tanggal 19 September 2007. Dan Tahun 2007
melalui DIPA PTA Jawa Tengah gedung lama Pengadilan Negeri Boyolali tersebut direnovasi dan selesai pada bulan Desember 2007. Dan secara resmi Pengadilan Agama Boyolali berkantor di Jalan Pandanaran Nomor 167 Boyolali sejak bulan Pebruari 2008 sampai sekarang. Eksistensi Pengadilan Agama makin diakui setelah diundangkannya UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Lembaga Peradilan Agama mengalami perubahan besar dan mendasar yang diperkuat keberadaannya melalui Pasal 106 Undang-Undang Peradilan Agama, kemudian Undang-Undang tersebut diubah dengan menambah dan memperluas kewenangan Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan lebih disempurnakan lagi dengan perubahan kedua atas Undang-Undang Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. e. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Sejak kehadiran dan diundangkan berlakunya undang-undang no.14 tahun 1970 pada tanggal 17 Desember 1970 kedudukan dan posisi Pengadilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Boyolali, namun umat Islam Indonesia masih harus berjuang karena belum mempunyai undang-undang yang mengatur tentang keluarga muslim. Melalui proses kehadiranya pada akhir tahun 1973 membawa suhu politik naik. Para ulama dan umar Islam Boyolali juga ikut berpartisipasi untuk mewujudkan undangundang perkawinan, maka akhirnya terbitlah Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 januari 1974 sebagai ketentuanhasil kompromi yang luas seluruh rakyat Indonesia. Setelah secara efektif undang-undang perkawinan berlaku yaitu dengan terbitnya
peraturan pemerintah No.9 tahun 1975. Pengadilan Agama Boyolali dilihat dari fisiknya masih tetap seperti dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya semakin mantap karena semakin banyak perkara masuk yang menjadi kewenangannya, sehingga terasa sekali Pengadilan Agama Boyolali kekurangan personel atau pegawai. Untuk mengatasi hal itu Pengadilan Agama Boyolali merekrut tenaga tidak tetap atau tenaga honorer. Dan sarana dan prasarana yang digunakan untuk menangani dan menyelesaikan perkara yang masuk masih sangat sederhana. Untuk melaksanakan pemanggilan kepada para pihak diangkatlah juru sita.
f. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Sejak diundangkannya Undang-undang No.7 tahun 1989 posisi Pengadilan Agama Boyolali semakin kuat. pengadilan agama berwenang menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui pengadilan negeri. Selain itu hukum acara yang berlaku di Pengadilan agama sama dengan hukum acara yang berlaku di pegadilan negeri. Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hokum, telah dilakukan perubahan terhadap Undangundang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. g. Sejak berlakunya Undang-Undang No.3 Tahun 2006.
Sebelum Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 diberlakukan, Pengadilan Agama secara administrasi dan finansial berada dibawah Departemen Agama. Akan tetapi sejak undang-undang
tersebut
diberlakukan,
pembinaan
tekhnis
peradilan,
organisasi,
administrasi dan finansial dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Maka sesuai petunjuk Mahkamah Agung mulai diadakan pemisahan jabatan antara kepaniteraan dan kesekretariatan begitu juga rangkap jabatan antara jurusita dan panitera pengganti selain itu hakim juga diberi tugas pengawasan bidang-bidang. Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945 berdasarkan pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya. Di lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha Negara, dan peradilan militer, peradila agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh dan bidang ekonomi syari’ah. Secara bertahap namun pasti semenjak peradilan agama berada dalam satu atap bersama dibawah naungan Mahkamah Agung, secara administrasi Pengadilan Agama Boyolali mulai mendapatkan perhatian, salah satunya dengan pembangunan gedung baru, kantor Pengadilan Agama Boyolali yang semula berada di Jl. Perintis Kemerdekaan, Boyolali sampai dengan tanggal 1 Januari 2007 kantor Pengadilan Agama Boyolali pindah ke gedung baru di Jl. Pandanaran No.167 Boyolali. Kemudian kantor lama digunakan sebagai penyimpanan arsip-arsip dan rumah dinas.
3.
Nama-Nama Ketua Pengadilan Aga Boyolali Sejak terbentuk Pengadilan Agama Boyolali tahun 1937, Penghulu /Ketua Pengadilan Agama Boyolali telah beberapa kali berganti, namun nama-nama Ketua Pengadilan Agama sebelum tahun 1949 tidak dapat diketemukan walaupun telah berusaha dengan mengunjungi informan dan mencari di beberapa literature. Dan untuk Ketua Pengadilan Agama Boyolali dari tahun 1949 sampai sekarang nama Ketua Pengadilan Agama Boyolali serta periodenya seperti tersebut dibawah ini :
1.
Ky. Djamaludin,
Masa Jabatan Ta
1949 – 1955 2.
Pujo Taruno,Masa Jabatan Tahun 19 1962
3.
Dirjo Sukarso,Masa Jabatan Tahun 1 – 1974
4.
Drs.
Achmad
Slamet,Masa
Jab
Tahun 1974 – 1980 5.
Drs. A. Barizi,Masa Jabatan Tahun 1 – 1984
6.
Drs.H. Muzamil, SH Masa Jab Tahun 1985 - 1997
7.
Drs. H. Ali Muchson, M.Hum M Jabatan Tahun 1997 - 2003
8.
Drs.H. Syadzali Musthofa, SH M Jabatan Tahun 2003 - 2007
9.
Drs.H. Noor Salim, SH.M.H M Jabatan Tahun 2007 – 2010
10.
Dra. Hasyim,SH.,MH.,MSI Masa Jabatan Tahun 2010 – sekarang
4.
Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali
Hj.
A.
Muliany
Wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Boyolali Kabupaten Boyolali terletak pada arah selatan dari Kota Semarang dengan jarak tempuh sepanjang kurang lebih 70 Km. Secara Geografis Kabupaten Boyolali berada di bagian tenggara lereng gunung Merapi (alam : Laut, Selat, Samudra, Sungai) atau secara administrasi (kewilayahan ) Pengadilan Agama Boyolali berbatasan sebagai berikut : Sebelah Barat
Kabupaten Magelang
Sebelah Utara
Kabupaten Semarang dan Purwodadi
Sebelah Timur
Kabupaten Sukoharjo,Karanganyar dan Sragen
Sebelah Selatan
Kabupaten Klaten dan Sukoharjo.
dengan luas wilayah 1.015 Km.
Secara astronomis Pengadilan Agama Boyolali terletak pada titik koordinat : a. 70 28’ Lintang Selatan b. 1070 48’
Bujur Timur
Data Wilayah Hukum Pengadilan Agama Boyolali. dari 19 kecamatan terdiri 261 Desa dan 3 Kalurahan adalah sebagai berikut :
1. KECAMATAN AMPEL terbagi 20 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km 2. KECAMATAN CEPOGO terbagi 14 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km. 3.
KECAMATAN BOYOLALI terbagi 3 Kelurahan dan 6 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 5 km.
4.
KECAMATAN MOJOSONGO terbagi 12 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 5 km.
5.
KECAMATAN TERAS terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 10 km.
6.
KECAMATAN SAWIT terbagi 12 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 15 km.
7.
KECAMATAN MUSUK terbagi 20 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
8.
KECAMATAN BANYUDONO terbagi 15 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 14 km.
9.
KECAMATAN SAMBI terbagi 16 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
10. KECAMATAN NGEMPLAK
terbagi 12 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 30 km. 11. KECAMATAN
NOGOSARI
terbagi 13
Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 30 km. 12. KECAMATAN SIMO
terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 35 km. 13. KECAMATAN KARANGGEDE
terbagi 16 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 40 km. 14. KECAMATAN SELO
terbagi 8 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 55 km. 15. KECAMATAN KLEGO terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 40 km. 16. KECAMATAN ANDONG terbagi 16 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 40 km. 17. KECAMATAN KEMUSU terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 50 km. 18. KECAMATAN WONOSEGORO
terbagi 18 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 45 km. 19. KECAMATAN JUWANGI terbagi 10 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 75 km.
B.
Perkara
–
Perkara dengan kesaksian non muslim sebgai alat bukti di Pengadilan Agama Boyolali. Peranan hakim sebagai aparat penegak hukum, pada prinsipnya tidak lain dari pada melaksanakan fungsi Peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi Peradilan ini, para Hakim Pengadilan Agama harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan. Hakim harus berusaha semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung asas hukum yang benar. Jangan sampai ada putusan yang justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat. Dalam perkara di Pengadilan Agama baik perkara cerai gugat maupun cerai talak, para pihak yang berperkara diwajibkan untuk mengajukan alat bukti yang berupa saksi walaupun sudah ada pengakuan. Hal ini mengakibatkan para pihak sering merasa kesulitan bahkan merasa dirugikan karena saksi yang dihadirkan tidak diterima sebagai alat bukti oleh Majelis Hakim yang memeriksanya karena tidak beragama Islam. Seperti halnya dengan Perkara-perkara yang ada dibawah ini : 1.
Perkara Nomor : 0159/Pdt.G/2011/PA.Bi Telah di terima dan terdaftar di register perkara di Pengadilan Agama Boyolali dengan Nomor : 0159/Pdt.G/2011/PA.Bi, dengan Pemohon Bowo Santoso Bin D. Wignyo Sumarto, Umur 41 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Karyawan PT. Coca-cola, bertempat tinggal di Dusun Krajan Rt.01/01 Desa Bringin, Kecamatan Bringin,
Kabupaten Semarang. Melawan Hidayah Binti Abdul Fatah, umur 37 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Swasta, bertempat tinggal di Dusun Dudan Rt.07/01 Desa Teras, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. Tentang Duduk Perkaranya : point ke 3 dan 5 ,Bahwa pada mulanya rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam keadaan baik, rukun dan bahagia namun kemudian menjadi goyah karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Termohon selalu mencurigai dan menuduh Pemohon telah menjalin hubungan cinta dengan wanita lain. Bahwa sejak itu Pemohon merasa tidak dapat dapat lagi mengendalikan dan membina Termohon, Pemohon berpendapat antara Pemohon dan Termohon sudah tidak ada lagi saling pengertian dan tidak ada lagi kecocokan, dan kemudian Pemohon dan Termohon berpisah rumah.Kemudian Pemohon mengajukan 2 (dua) orang saksi yaitu Joko Margono, Umur 32 tahun, Agama Katolik, Pekerjaan Karyawan PT. Coca Cola, dengan Sigit Wahyudi, Umur 30 Tahun, Agama Katolik, Pekerjaan Karyawan PT. Coca Cola. Dengan alasan kedua saksi tersebut yang menyaksikan langsung peristiwa pertengkaran antara Bowo Santoso dengan istrinya bahkan menyaksikan saat Pemohon disiram bensin oleh istrinya kemudian baju-baju Pemohon yang ada dilemari dibakar oleh Termohon. Tentang Hukumnya : Menimbang, bahwa kesaksian para saksi telah disampaikan, setelah mengangkat sumpah dan kesaksian para saksi sesuai dengan apa yang mereka lihat, dengar sendiri dan ternyata kesaksiannya para saksi telah menguatkan dalil permohonan Pemohon dan sebagaian diakui kebenarannya oleh Termohon, sehingga keterangan para saksi dapat dijadikan alat bukti. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat rumah tangga Pemohon dan Termohon telah pecah dan sendi-sendi pokok dalam rumah tangga telah rapuh, sehingga jalinan rumah tangga
yang sakinah telah hancur, disebabkan karena tidak adanya saling pengertian (saling percaya mempercayai) antara suami isteri sehingga mengakibatkan pertengkaran secara terus menerus. Menimbang, maka bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dalil Permohonan Pemohon telah terbukti dan telah cukup alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah nomor9 tahun 1975 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu permohonan Pemohon dapat dikabulkan.(MENGADILI): - Mengabulkan permohonan Pemohon. – Memberi izin kepada Pemohon Bowo Santoso Bin D.Wignyo Sumarto untuk berikrar menjatuhkan talak terhadap Termohon Hidayah Binti Abdul Fatah dihadapan sidang Pengadilan Agama Boyolali.- menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon berupa nafkah iddah dan mut’ah. – Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp……… ( Putusan 0159/Pdt.G/2011/PA.Bi ). 2.
Perkara Nomor : 0882/Pdt.G/2011/PA.Bi Telah di terima dan terdaftar di register perkara Pengadilan Agama Boyolali dengan
Nomor : 0882/Pdt.G/2011/PA.Bi Dengan Penggugat Fransisca Omaela Dewi, umur 31 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta, Pendidikan SMA, tempat ringgal di Perum Persada Asri Gupitasari Rt.06 Rw.02 Desa Teras, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali, Melawan Muh Nur Muntoha Bin Syakuri, umur 39 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Karyawan Swasta, Pendidikan SMK, tempat tinggal di Dukuh Pamotan Rt.02 Rw.07 Desa Tanggen, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang sebagai Tergugat, Tentang Duduk Perkaranya poin ke 4- Bahwa sejak tahun 2007 rumah tangga Penggugat dan Tergugat
mulai tidak tentram yang disebabkan masalah: a. Bahwa Tergugat tidak pernah memberi nafkah wajib kepada Penggugat karena Tergugat bekerja yang hasilnya hanya untuk dirinya sendiri tanpa memperhatikan Penggugat dan rumah tangga bersama dan Tergugat memberi nafkah wajib tidak menentu jumlah dan waktunya sehingga yang memenuhi kebutuhan rumah tangga bersama adalah orang tua Penggugat. b. Bahwa dengan keadaan tersebut diatas maka antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi pertengkaran jika bertengkar Tergugat sering berkata kasar serta menganiaya fisik Penggugat sehingga sangat menyakitkan hati Penggugat dan Tergugat juga sering meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin Pengggugat yang pulangnya tidak menentu waktunya. c.Bahwa pada bulan Agustus 2010 Penggugat dan Tergugat bertengkar yang disebabkan Tergugat memberi nafkah wajib tidak layak serta sikap dan perilaku Tergugat yang tidak pernah berubah yang akhirnya Tergugat tanpa ijin Penggugat pulang ke rumah orang tua Tergugat dan tidak pernah kembali sehingga Penggugat dan Tergugat hidup berpisah rumah sampai sekarang. Kemudian Penggugat mengajukan 2 ( dua ) orang saksi dalam perkara Cerai Gugat Nomor : 0882/Pdt.G/2011/PA.Bi masing-masing Sriyani bin Sonorejo, Umur 55 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Ibu rumah tangga, tinggal di Perum Persada Asri Gupitasari Rt.06 Rw.02Desa Teras, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali, dan Sarumiyati binti Supono, Umur 27 tahun, Agama Kristen, Pekerjaan Swasta, tinggal di Dukuh Karangbulu Rt.03 Rw.01 Desa Mudal, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, dengan alasan saksi Sriyani sebagai ibu kandung Penggugat yang menyaksikan langsung saat Penggugat dianiaya suaminya karena pada saat kejadian tersebut Sriyani sedang berada di dalam rumah Penggugat dan saksi Sriyani sebagai tetangga dekat Penggugat dan Tergugat sedang berada di depan rumah Penggugat dan Tergugat. Pertimbangan Hakim atau Tentang
Hukumnya, Menimbang, bahwa alasan Penggugat untuk bercerai adalah sebagaimana tersebut diatas, yang pada pokoknya adalah rumah tangganya goyah sejak tahun 2007 rumah tangganya sering bertengkar dan berselisih masalahnya ekonomi dan Tergugat suka memukul Penggugat kemudian Tergugat pergi meninggalkan Penggugat hingga pisah rumah selama 1 tahun dan selama itu tidak lagi mengurusi apapun terhadap Penggugat, Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil gugatan tersebut, Penggugat telah mengajukan bukti saksi-saksi dan ternyata keterangan kesaksian para saksi satu sama lainya saling menguatkan terhadap dalil gugatan Penggugat sebagaimana tersebut diatas. Menimbang, bahwa pertimbangan tersebut di atas alasan gugatan Penggugat terutama mengenai menyakiti badan jasmani dan membiarkan serta tidak mengurus selama 1 tahun patut dinyatakan terbukti kebenaranya. Menimbang, bahwa berdasarkan dalil gugatan Penggugat, jawaban Tergugat dan keterangan kesaksian para saksi Penggugat, Majelis Hakim menilai telah terbukti menurut hukum Tergugat melanggar ta’lik talak butir 3 dan 4 padahal ta’lik talak itu bersifat mengingatkan dan Penggugat telah membayar iwadl Rp.10.000 (sepuluh ribu rupiah) maka haruslah dinyatakan syarat jatuhnya talak berdasarkan ta’lik talak telah terpenuhi, Menimbang, bahwa berdasarkan segenap pertimbangan tersebut diatas , Majelis Hakim dalam musyawarahnya telah sepakat menilai gugatan telah cukup beralasan dan terbukti menurut sehingga patut dikabulkan dengan menerapkan pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam. Kemudian dengan amar putusan : (MENGADILI) – Menghabulkan gugatan Penggugat, - Menetapkan jatuh talak satu khul’I Tergugat (Muh Nur Muntoha Bin Syakuri) terhadap Penggugat (Fransisca Omaela Dewi Binti Suristono) dengan iwadl Rp.10.000,-. - Membebankan kepada Penggugat untuk
membayar biaya perkara ini sejumlah Rp.328.000,-.(Putusan, 0882/Pdt.G/2011/PA.Bi)
3.
Perkara Nomor : 0636/Pdt.G/2012/PA.Bi Telah di terima dan terdaftar di register perkara Pengadilan Agama Boyolali dengan
Nomor : 0636/Pdt.G/2011/PA.Bi Dengan Pemohon : Widodo Bin Harto Suwarno, umur 35 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Buruh, Pendidikan SMA, tempat tinggal di Dukuh Gumuk Rt.33 Rw.06 Desa Siwal, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang, Melawan Tutik Hastuti Binti Suroso, umur 25 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Buruh Pabrik, Pendidikan SMA, tempat tinggal di Dukuh Gudang, Desa Ngargosari, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, sebagai Termohon, Tentang Duduk Perkaranya poin ke 2: - Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon bertempat tinggal kadang di rumah orang tua Pemohon kadang di rumah orang tua Termohon selama 7 tahun dan telah hidup sebagaimana layaknya suami istri dan dikarunia 1 orang anak bernama Daniel Maxi Pratama, laki-laki umur 7 tahun sekarang ikut Termohon, - Bahwa sejak bulan Juli tahun 2005 rumah tangga Pemohon dengan Termohon mulai tidak tentram yang disebabkan; a. bahwa Pemohon berusaha mengajak Termohon untuk hidup bersama di tempat Pemohon namun Termohon selalu tidak mau tanpa mengemukakan alasan yang jelas dan Pemohon selalu berusaha bersabar dan membujuk Termohon agar mau bertempat tinggal di tempat Pemohon namun Termohon selalu tidak mau dan Termhon kalau diajak oleh Pemohon untuk membicarakan persoalan rumah tangga bersama Termohon juga tidak mau, b. bahwa Pemohon sudah berusaha untuk menasehati Termohon namun Termohon malah tidak menghargai Pemohon sebagai seorang suami yang sah, namun Termohon hanya diam saja
tanpa memberikan jawaban kepada Pemohon walaupun nasehat Pemohon tersebut dalam rangka membina rumah tangga yang baik sehingga Pemohon dan Termohon sering terjadi pertengkaran dan dalam pertengkaran tersebut Termohon pernah dua kali meminta cerai kepada Pemohon, c. bahwa pada bulan Januari 2012 untuk membantu keuangan rumah tangga bersama Termohon minta ijin kepada Pemohon untuk bekerja di pabrik dan sejak itu Termohon mempunyai sikap dan perilaku yang berbeda kepada Pemohon contohnya kalau Termohon mau berangkat bekerja diantar oleh Pemohon tidak mau dan Termohon pulang dari bekerja di jemput oleh Pemohon juga tidak mau; d. bahwa pada bulan Pebruari 2012 Pemohon dan Termohon bertengkar yang disebabkan Termohon tidak mau diajak bertempat tinggal di tempat Pemohon serta sikap dan perilaku Termohon yang pernah berubah yang akhirnya Pemohon dan Termohon berpisah tempat tinggal. Kemudian Penggugat mengajukan 2 (dua) orang saksi yaitu Muji binti Somorejo, Agama Kristen, Pekerjaan Tani, bertempat tinggal di dukuh Gumuk Rt.33 Rw.06 Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, dengan Suroso bin Citrorejo, Agama Islam, Pekerjaan Tani, bertempat tinggal di Dukuh Gudang Desa Ngargosari Kecamatan Ampel Kabupaten Semarang. dengan alasan kedua saksi tersebut yang menyaksikan langsung peristiwa pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon dan saksi mengetahui mereka telah berpisah. Pertimbangan Hakim atau Tentang Pertimbangan Hukumnya, Menimbang, bahwa sesuai ketentuan dalam pasal 31 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, jo.Pasal 82 (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan diubah dengan Udang-undang Nomor 3 tahun 2010, Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon, karena Pemohon tetap pada permohonannya untuk bercerai dengan Termohon, maka usaha damai
tidak berhasil. Menimbang, bahwa dalil pokok permasalahan ini adalah cerai talak dengan alasan sejak bulan Juli 2005 antara Pemohon dan Termohon sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan masalah tempat tinggal karena Termohon tidak mau diajak tinggal bersama di rumah orang tua Pemohon, bahkan sejak bulan pebruari 2012 antara Pemohon dan Termohon telah pisah rumah, dan selama itu tidak pernah saling melaksanakan hak dan kewajibannya. Menimbang, bahwa meskipun terhadap dalil permohonan Pemohon tentang adanya perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangganya yang berakibat pisah rumah sejak bulan pebruari 2012 diakui kebenaranya oleh Termohon. Menimbang, bahwa alat bukti yang diajukan Pemohon berupa bukti surat dan saksi-saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka majelis berpendapat bahwa alat bukti tersebut sah sebagai alat bukti. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut diatas, maka telah cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Pemohon. Menimbang, bahwa Majelis sependapat dengan pendapat tersebut dia atas dan sesuai yang dimaksud Pasal 113 huruf ( c ) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia maka perkawinan antara Pemohon dan Termohon dapat diputuskan dan dijatuhkan oleh Pengadilan dengan talak bain shugra. (MENGADILI) 1. Mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Pemohon (widodo bin Harto Suwarno) terhadap Termohon (Tutik Hastuti binti Suroso). 3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp………. (Putusan, 0636/Pdt.G/2012/PA.Bi) 4.
Perkara Nomor : 0742/Pdt.G/2012/PA.Bi Telah di terima dan terdaftar di register perkara Pengadilan Agama Boyolali dengan
Nomor : 0742/Pdt.G/2012/PA.Bi Dengan Penggugat Sri Sulastri Binti Hadi Sutrisno, umur
38 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Pembuat Makanan Kecil, Pendidikan SMP, tempat tinggal di dukuh Sanggrahan Rt.15 Rw.04 Desa Pelem, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali Melawan Sapto Widayatno Bin Harto Wiyono, umur 40 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Kondektur Bus, Pendidikan SMP, semula bertempat tinggal di dukuh Sanggrahan Rt.15 Rw.04 Desa Pelem, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, sekarang tidak diketahui alamatnya dengan jelas dan pasti di wilayah Republik Indonesia. Tentang Duduk perkarannya poin ke 3 dan 4 : Bahwa pada bulan April 2002 Tergugat minta izin kepada Penggugat untuk bekerja, namun sejak saat itu Tergugat tidak pernah pulang dan tidak pernah kirim kabar kepada Penggugat serta tidak diketahui tempat tinggalnya dengan jelas dan pasti diwilayah Republik Indonesia sehingga sekarang sudah 10 tahun 2 bulan lamanya. Bahwa Penggugat telah berusaha keras mencari Tergugat namun tidak ketemu. Kemudian di persidangan Penggugat mendatangkan dua saksi yaitu: Kurniawan Widiyanto bin FX.Sugito, umur 41 tahun, Agama Katolik, Pekerjaan Tani, bertempat tinggal di Dukuh Sanggrahan Rt.15 Rw. 04 Desa Pelem, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali dan Sabdo Wasono bin Harjo Suwito, umur 39 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Tani, bertempat tinggal di Dukuh sanggrahan Rt.15 Rw.04 Desa Pelem, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali.dengan alasan kedua saksi tersebut yang mengetahui langsung peristiwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon serta kapan mereka berpisah. Pertimbangan Hakim atau Tentang Pertimbangan Hukumnya: Menimbang, bahwa Penggugat mengendalilkan, sejak bulan April 2002 terjadi pisah tempat kediaman disebabkan Tergugat ijin Penggugat untuk pergi bekerja sampai sekarang sudah berlangsung selama 10 tahun 2 bulan dan selama itu Tergugat telah membiarkan atau tidak memperdulikan Penggugat serta tidak memberi nafkah wajib kepada Penggugat dan tidak
diketahui tempa tinggalnya yang jelas. Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil Penggugat dihubungkan dengan bukti P.3 dan keterangan saksi-saksi tersebut di atas, maka majelis telah menemukan fakta di persidangan yang pokoknya bahwa dalam masa selama 10 tahun, Tergugat telah pergi meninggalkan Penggugat dan tidak memberi nafkah serta telah membiarkan atau tidak memperdulikan Penggugat.(MENGADILI) – Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir. – Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek. – Menetapkan jatuh talak satu khul’I Tergugat (sapto Widayatno Bin Harto Wiyono) terhadap Penggugat (Sri Sulastri binti Hadi Sutrisno) dengan iwadl Rp.10.000,-. – Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp……….. (Putusan 0742/Pdt.G/2012/PA.Bi)
C. Alasan dan Faktor-Faktor yang melatar belakangi Pengadilan Agama Boyolali Menerima Perkara Kesaksian nonmuslim sebagai alat bukti perceraian.
Kompetensi atau wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antar orang-orang yang beragama Islam dalam bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Waqaf, Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Ekonomi Syariah. Kewenangan tersebut diatur dalam ketentuan pasal 2 dan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 bahwa Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara perdata tertentu di antara orang-orang yang beragama Islam dan dilaksanakan berdasarkan Hukum Islam. Perkara kesaksian saksi non muslim sebagai alat bukti perceraian di Pengadilan Agama Boyolali sebagaimana terdaftar dalam register perkara di Pengadilan Agama Boyolali, perkara tersebut diterima oleh majelis hakim. Adapun alasan majelis hakim dalam menerima perkara tersebut dikarenakan kewenanganya dalam menyelesaikan perkara perceraian. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis terhadap Ketua Majelis A dengan ibu Dra. Hj. Andi Muliany Hasyim, SH, MH, MSI,Ketua Majelis Ketua Majelis B dengan bapak Drs.H.Achmad Harun Shofa, SH, Ketua Majelis C1 dengan ibu Dra. Hj. Aina Aini
Iswati Husnah dan Ketua Majelis C2 dengan Ibu Dra.Hj.Amroh Zahidah, SH,pada hari Jum’at tanggal 4Januari 2013, bahwa alasan atau faktor diterimanya perkara kesaksian non muslim sebagai alat bukti dalam perkara perceraian, karena kewenangan lembaga atau institusi,dimana permasalahan yang terjadi di masyarakat yang selalu berkembang dan adanya faktor menyimpang dari aturan hukum yang ada. Kemudian perkara yang sudah ada membutuhkan suatu penyelesaian. Untuk itu kita sebagai aparat penegak hukum wajib menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan sebaik baiknya.
BAB IV ANALISIS KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
A.
Analisis TerhadapKesaksian Saksi Non Muslim Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Boyolali Menurut HukumIslam dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya asas keislaman adalah asas utama yang melekat pada undang-undang peradilan agama yang mempunyai makna bahwa pihak yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan di lingkungan peradilan agama hanya karena yang beragama Islam. Keislaman seseoranglah yang menjadi dasar kewenangan pengadilan agama di lingkungan peradilan agama. Dengan kata lain, seorang penganut agama non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan peradilan agama. Asas ini diatur dalam Pasal 2, Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga dan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Penegasan asas personalitas dapat dianalisis sebagai berikut : a. Menunjuk pada para pihak yang berperkara ataupun yang menjadi bagian dalam penyelesaian perkara harus beragama Islam, Jika salah satu pihak atau yang menjadi bagian dalam perkara tersebut tidak beragama Islam,
maka perkaranya tidak dapat ditundukkan kepada kewenangan pengadilan di lingkungan peradilan agama. b. Menunjuk pada hukum yang melandasi hubungan hukum tersebut. Dalam hal ini haruslah hukum Islam, jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasarkan hukum Islam, maka perkara tersebut tidak menjadi kewenangan pengadilan agama. Asas personalitas keislaman penerapannya menjadi mutlak apabila didukung dan tidak dipisahkan dengan unsur hubungan hukum yang telah mendasarinya yaitu hukum Islam. Untuk itu diperlukan pegangan yang dapat dijadikan acuan kapan pengadilan agama berwenang dan menyelesaiakan permasalahan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT :
(٢٨٢ : ()اﻟﺒﻘﺮة#r߉ Îhô± tFó™ $#urÈûøïy‰ ‹Íky` ÏBöN à6 Ï9%y` Íh‘( “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantaramu)” (Alqur’an dan Terjemahnya, 1976 : 152) Pengertian kata “diantaramu” disini adalah diantara laki-laki yang beragama Islam, sehingga syarat mutlak saksi harus beragama Islam. Pada hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh H.R. Baihaqi: tidak diterima kesaksian seorang beragama kepada orang yang beragama lain, kecuali Islam, sebab mereka adil pada dirinya dan pada orang lain.
Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat bahwa kesaksian saksi non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama mereka sama maupun agama mereka berbeda karena orang yang bukan Islam, bukanlah orang yang bersifat adil dan bukan dari orang yang bukan Islam, bukanlah orang bersifat adil dan bukan dari orang yang ridha kepada kaum muslim, Allah mensifatkan mereka sebagai orang yang suka dusta dan fasiq sehingga tidak dapat dijadikan saksi. Menerima kesaksian mereka berarti memaksa hakim untuk memutus dengan kesaksian yang dusta dan fasiq. Sedangkan orang Islam tidak boleh dipaksa dengan kesaksian orang yang bukan Islam, karena jika kesaksian mereka diterima berarti sama dengan memuliakan dan mengangkat derajat mereka, sedangkan Islam melarang yang demikian itu. (Ibnu Rusyd, 1989 : 685) Menurut Ibnu Ruyd dalam kitabnya Biayatul Mujtahid bahwa secara garis besar ada lima sifat saksi yang harus dipegangi oleh hakim dalam memeriksa saksi yaitu : 1.
Adil
2.
Dewasa
3.
Islam
4.
Merdeka bukan budak
5.
Beritikad baik memberikan kesaksiannya di dalam persidangan. (Ibnu Rusyd, 1989 : 684) Al Mahalli berpendapat bahwa masalah sifat adil di dalam seorang
saksi merupakan suatu hal yang pokok yang telah disepakati oleh kaum
muslimin dalam menerima kesaksian seseorang, dan syarat adil yang hakiki adalah menjauhkan diri dari semua dosa-dosa besar, juga menjauhkan diri dari terus menerus melakukan dosa kecil. Dengan melakukan dosa besar dan dosa kecil dalam segala bentuknya, maka hilanglah sifat keadilannya. (Ibnu khazim : 319) Para ahli Hukum Islam telah sepakat bahwa kesaksian orang-orang non muslim terhadap orang Islam
tidak diperkenankan , hal ini karena
kesaksian itu adalah masalah tauliyah ( kekuasaan ) sedangkan orang-orang non muslim tidak berkuasa atas orang-orang Islam. Sedangkan perceraian dengan alasan-alasan tertentu atau secara kasuistik, seperti halnya perceraian karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak dapat dirukunkan lagi ( Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 ), Majelis C1 menerima kesaksian dari saksi keluarga / orang dekat para pihak tanpa mempersoalkan agama. Hal ini sesuai dengan pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 76 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Para ahli Hukum Islam di kalangan Hanabilah membolehkan kesaksian dari saksi non muslim atas orang-orang Islam dalam bidang wasiat apabila dilaksanakan dalam perjalanan ( musafir ) dan tidak ada orang lain yang dapat diangkat menjadi saksi dari kalangan orang Islam. (Ibnu Rusyd, 1989 : 686) Menurut Ibnu Mudzin, pendapat ini dipakai juga oleh syuraih, An Nukha’I dan Al Ausat dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Hanya saja mereka berselisih tentang pengertian non muslim, syuraih mengatakan bahwa hal itu hanya mencakup orang non muslim yang ahli kitab saja, sedang yang lain mengatakan bahwa non muslim adalah mencakup semua orang di luar Islam. Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’I menolak kesaksian non muslim secara mutlak, kecuali dalam hal yang sangat darurat seperti kesaksian dokter non muslim terhadap suatu peristiwa. Sifat darurat ini merupakan alasan yang diterapkan juga oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama boyolali sebagaimana Qaidah Fiqhiyah : “Kesempitan itu menurut syara’ bisa ditiadakan dan diterima “
(Abdul
Wahab : 349 ) Dalam masalah persaksian yang penting adalah saksi tersebut dapat mengungkapkan kebenaran dan saksi non muslim pun ada yang dapat dijamin kepercayaanya sehingga kesaksiannya dapat diterima sebagai alat bukti. Sedangkan alasan diterimanya saksi non muslim yang diterapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Boyolali adalah bahwa saksi bukan sebagai syarat Hukum sebagaimana syarat sahnya perkawinan sesuai dengan ketentuan syari’at sebagaimana hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh HR.Daruqthni : “ Tidak sah nikah kecuali ada wali dan dua orang saksi ”. (Ibnu Rusyd, 1989 : 416)
Akan “tidak sah” disini berarti menunjukkan bahwa saksi nikah merupakan syarat dalam perkawinan, dengan demikian tidak adanya saksi saat ijab qabul dinyatakan tidak sah.
Saksi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali adalah sebagai alat pembuktian berhubungan dengan syarat formal yang bersifat qadhaan yaitu guna memperjelas suatu peristiwa dan kejadian yang dipersengketakan oleh pihak yang berperkara sehingga jika saksi tersebut telah memenuhi syarat formal maka dapat diterima sebagai alat bukti. Seperti hal sidang penyaksian Ikrar
Talak,
Majelis Hakim
mensyaratkan saksi harus muslim, karena saksi dalam persidangan tersebut suami kepada istrinya sehingga hal ini saksi sebagai syarat hukum yang berkaitan dengan diyanatan. Kalangan sahabat berpendapat bahwa mempersaksikan thalak hukumnya wajib dan merupakan syarat sahnya talak. Ali bin Ali Tholib pernah berkata kepada orang yang bertanya tentang talak bahwa talak yang tidak dipersaksikan dengan dua orang laki-laki yang adil sebagaimana perintah Allah dalam Alqur’an adalah bukan thalak yang sah. (Sayid sabit, 1978 : 35) Perintah Allah tersebut termaktub dalam surat Atthalaq ayat 2 yang berbunyi : ” Bila mereka telah mendekati masa akhir idahnya, rujukilah mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik dan persaksikanlah kepada dua orang laki-laki yang adil diantara kamu “ (Alqur’an dan Terjemah, 1976 : 1305 ) Dan Sabda Nabi S.A.W :”Nikah itu dengan saksi, thalaq dengan saksi dan rujuk dengan saksi ”. (Sayit sabit, 1978 : 35)
Berdasarkan uraian diatas, bahwa Pengadilan Agama Boyolali yang terdiri dari 4 Ketua Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara perceraian pada prinsipnya tidak dapat menerima saksi non muslim sebagai alat bukti, tetapi tidak secara mutlak, karena secara kasuistik dapat menerima kesaksian saksi non muslim sebagai alat bukti. Dan hal ini sesuai dengan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yaitu yang berbunyi sebagai berikut : “ Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”. Hukum Acara Perdata yang diterapkan dan diberlakukan di Pengadilan Agama Boyolali sudah sesuai perundang-undangan yang berlaku yaitu HIR, sedangkan hukum acara khusus yang diterapkan adalah: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 3. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam). 4. Peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI. 5. Peraturan dan Keputusan Menteri Agama. 6. Kitab Fiqih dan Sumber Hukum Islam.
B.
Analisis terhadap alasan / faktor yang melatarbelakangi saksi non muslim dapat diterima sebagai alat bukti perceraian di pengadilan agama boyolali. Dalam perkara cerai gugat maupun cerai talak, para pihak yang berperkara diwajibkan untuk mengajukan alat bukti yang berupa saksi walaupun sudah ada pengakuan. Hal ini mengakibatkan para pihak sering merasa kesulitan bahkan merasa dirugikan karena saksi yang dihadirkan tidak diterima sebagai alat bukti oleh Ketua Majelis Hakim yang memeriksanya, karena tidak beragama Islam. Para pihak menghadirkan saksi non muslim, karena berbagai alasan atau faktor antara lain : - Tempat tinggal para pihak di lingkungan non muslim - Kawan kerja / seprofesi - Saksi sebagai tokoh masyarakat - Saksi yang merupakan satu-satunya orang yang menyaksikan langsung peristiwa yang dijadikan dalil. Adapun Majelis Hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwa dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara hakim harus mengetahui secara obyektif duduk perkara yang sebenarnya sebagai
dasar keputusannya. Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui melalui pembuktian. Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Hakim dianggap tahu hukumnya oleh karena itu hakim dalam mempertimbangan putusannya wajib melengkapi alasan-alasan hukum. Sebagaimana tugas proporsional antara hakim dan para pihak dalam persidangan dimana para pihak harus mengemukakan rangkaian peristiwa yang telah terjadi. Dalam praktek di Pengadilan Agama Boyolali, Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara perceraian secara kasuistik, dapat menerima kesaksian non muslim sebagai alat bukti dengan alasan : 1. Saksi bukan sebagai syarat hukum. 2. Saksi sebagai alat bukti yang berhubungan dengan syarat formal yang berkaitan dengan qadlaan. 3. Darurat, keterpaksaan atau kesempitan, misalnya tidak ada yang dapat diajukan sebagai saksi peristiwa untuk menguatkan gugatan / bantahannya. 4. Memenuhi syarat-syarat sebagai saksi baik syarat formil maupun syarat materiil yang diatur pasal 168-172 HIR. Berdasarkan uraian diatas, bahwa Pengadilan Agama Boyolali yang terdiri dari 4 Ketua Majelis Hakim mempunyai kesimpulan, bahwa dalam menyelesaikan perkara perceraian pada prinsipnya tidak dapat
menerima saksi non muslim sebagai alat bukti, akan tetapi tidak secara mutlak, karena secara kasuistik dapat menerima kesaksian saksi non muslim sebagai alat bukti. Yang berdasarkan atas kewenangan dan pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh majelis hakim, dan sebagaimana sesuai dengan tugas pokok dan fungsi seorang hakim.Yang terdapat dalam pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dikarenakansuatu kewenangan yang terdapat di dalam UndangUndangan sekaligus sebagai aparaturpenegak hukum yang harus menyelesaikan suatu permasalahan, dimana permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini yang selalu berkembang. sehingga membutuhkan suatu penyelesaian. Untuk itu kita wajib menyelesaikannya dengan rasa keadilan meskipun adanya unsur menyimpang dari prinsip-prinsip tersebut, namun demi menyelesaikan kasus atau permasalahan yang ada kita wajib menyelesaikan nya dengan sebaik-baiknya. karena itu adalah wujud tanggung jawab kita. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Boyolali mengenai Perkara Kesaksian non muslim sebagai alat bukti perceraian, adalah suatu permasalahan riil dan nyata yang terjadi, di karenakan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru terjadi di masyarakat, dimana aturan yang berlaku saat ini belum mengikuti permasalahan yang perkembang di masyarakat. Sehingga Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan
tersebut,
menerapkan
pemikiran-pemikiran
yang
baru
untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan penuh rasa keadilan, sehingga masyarakat akan mendapatkan hasil dari pelayanan hukum yang baik.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Setelahpenulismenguraikandanmenganalisatentangsaksinon muslimsebagaialatbuktidalamperkaraperceraian
di
Pengadilan
Agama
Boyolali, sebagaikesimpulannyapenuliskemukakansebagaiberikut : 1. BahwaDiterimanyasaksinon muslimsebagaialatbuktiperceraianitubelumsesuaidenganaturanhukum Islamnamuntelahsesuaidenganperundangundangan karenaPeradilan
yang
berlaku,
Agama
tidaksemata-
matahanyaberpedomanpadahukumperdata
yang
digunakanolehPeradilanUmum,
yang
dimanaadaaturankhusus
dimilikiPengadilan Agama yang diaturdalamketentuanpasal2 danpasal 49Undang-
UndangNomor3Tahun2006tentangPeradilan
bahwaPengadilan
Agama, Agama
hanyaberwenangmengadiliperkaraperdatatertentu di antara orang-orang yang
beragamaislamdandilaksankanberdasarkanHukum
daripenjelasantentangHukum
Islam
Islam.
Dan
bahwasanyasaksinon
muslimtidakdapatditerimamenjadisaksiperceraiannamunsecarakasuistikdi Pengadilan
AgamaBoyolalidapatmenerimakesaksiansaksinon
muslimsebagaialatbukti
yang
berdasarkanataskewenangandanpertimbangan-pertimbangan
yang
dilakukanolehMajelis Hakim.
2. Alasan
-
alasan
/
Faktor
yang
melatarbelakangidandasarhukumnyasaksinon muslimdapatditerimasebagaialatbuktiperkaraperceraian
di
Pengadilan
Agama Boyolali : Di dalamprakteknya di Pengadilan Agama BoyolaliMajelisHakim dalammenyelesaikanperkaraperceraiansecarakasuistikdapatmenerimakesai ksiannon muslimsebagaialatbuktidenganalasan / faktor : a. Saksibukansebagaisyarathukum
/
syaratsah
yang
berhubungandengansyarat
formal
ditentukansyari’atataubersifatdiyanatan. b. Saksisebagaialatbuktiyang danbersifatqadhaan. c. Darurat ,keterpaksaan / kesempitan. d. Tidakmelanggarketentuanperundang-undangan yang berlaku. Dasarhukum yang dipakaiyaituPasal 54 Undang-UndanganNomor 7 tahun 1989, Pasal 49 ayat (1) Undang-UndangNomor 3 tahun 2006, tentangPeradilan Agama, danPasal 19 Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentangKekuasaanKehakiman.
B. SARAN-SARAN Dengandasarpemikiran yang telahpenulisuraikandalamskripsiini, terutama
yang
tertulisdalamkesimpulan,
saran,Hendaklahpraktisihukum
di
makapenulismemberikan Pengadilan
Agama
beranimemikultanggungjawabdalammenegakkankebenarandankeadilansecara kongkritdenganberperansebaikbaiknyadalammengantisipasiperubahannilaisosial masyarakatdanberperandalammenafsirkanaturan-aturanhukum
di yang
berlakudandapatmenemukanasas-asashukum yang baru.
Semogaskripsi yang sederhanainibermanfaatkhususnyabagipenulis, karena yang jelasmempunyaiartibesardalamkehidupanpribadidanberguna pula bagiparapembacadansemoga Allah senantiasameridloinya.
Boyolali, Penulis
Ahmad Roikan
DAFTAR PUSTAKA Alqur’andanTerjemahannya, Arto, Mukti, 1996, PraktekPerkaraPerdatapadaPengadilan Agama, Yogyakarta, PustakaPelajar. Depdikbud, KamusBesarBahasa Indonesia, Jakarta, PN. BalaiPustaka, 1995. Depag, 1986, KompilasiHukum Islam Tentang NTCR, Jakarta. Tunggal, Widjaya, Amin, 1995, HimpunanPeraturan Bea MateraiTahun 1995, Jakarta, PT. Harvarindo. Fauzan, 2005, Pokok – PokokHukumAcaraPerdataPeradilan Agama Dan MahkamahSyar’iyah Di Indonesia, Jakarta, PT. Kencana. Soebekti, 1980, Pokok-pokokHukumPerdata, Jakarta, PT. Intermasa. Depag, 2004, YurisdiksiPengadilanTinggi Agama Semarang, Jakarta. A Rosyid, Roihan, 2006, HukumAcaraPeradilan Agama, Jakarta, PT. Raja GrafindoPersada. Ridlo , Muhammad Rosyid, 1976, Tafsir Al Manar, Jilid III, Mesir, DarulFikri. Sabiq, Sayid , 1971, FiqihSunah, Jilid III dan VIII, Libanon, DarulKitabilArobi. Manan, Abdul, 2000, PenerapanHukumAcaraPerdata Di LingkunganPeradilan Agama, Jakarta, Yayasan Al Hikmah.
Rusyd, Ibnu, 1989, BidayatulMujtahid, Jilid 3, Jakarta, Dar al jiilBeirut. Khazim, Ibnu, Al Mahalla, Juz3, Beirut, DarulFikri, t.t. Khalllaf ,
Abdul Wahab, Kaidah-KaidahHukum Islam, Jakarta, PT. Raja
GrafindoPersada.