I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara di Indonesia. Selain itu Domba Garut juga merupakan aset plasma nutfah Jawa Barat, yang berpotensi baik untuk dikembangkan sebagai sumber protein hewani. Tahun 2009 sampai 2016 populasi domba terus mengalami peningkatan yaitu 10.198.766 ekor menjadi 18.065.553 ekor (BPS, 2016). Peningkatan populasi ternak domba ini harus didukung oleh faktor pakan karena pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan yang mencapai 60% 80%. Ransum komplit merupakan upaya pemberian pakan yang diharapkan dapat lebih efisien, karena penggunaannya yang praktis, yaitu sebagai satu-satunya pakan yang diberikan pada ternak dan mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi karena bernilai gizi tinggi. Ransum komplit ini dapat disusun dengan menggunakan bahan pakan lokal, karena harganya
yang murah, dan
ketersediaannya berkelanjutan. Rumput lapang merupakan salah satu sumber serat yang baik dan biasa diberikan pada ternak karena mudah didapatkan, namun untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak, perlu ditambah bahan pakan lain agar kebutuhannya dapat terpenuhi, salah satunya dengan penambahan berbagai pakan sumber protein dan energi. Pakan lokal sumber protein diantaranya adalah ampas kecap dan bungkil kelapa sementara pakan sumber energi diantaranya
2
adalah onggok dan dedak, dimana dengan bahan tersebut dapat disusun ransum komplit berbasis bahan pakan lokal yang mampu memenuhi kebutuhan ternak. Penyusunan ransum komplit berbasis bahan pakan lokal ini harus mempertimbangkan kebutuhan zat makanan yang dikonsumsi ternak terutama imbangan Protein dan TDN (Total Digestible Nutrient) karena zat makanan inilah yang nantinya digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi. Imbangan protein dan TDN yang efisien dalam pakan dapat diketahui dengan melihat kecernaan bahan kering dan bahan organik, karena kecernaan bahan kering dan bahan organik mencerminkan jumlah nutrisi dalam bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum komplit berbasis bahan pakan lokal terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik pada domba Garut jantan. 1.2. Identifikasi Masalah 1.
Bagaimana pengaruh imbangan protein dan TDN (Total Digestible Nutrient) dalam ransum komplit Domba Garut berbasis bahan pakan lokal terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organiknya.
2.
Berapa imbangan protein dan TDN (Total Digestible Nutrient) dalam ransum komplit berbasis bahan pakan lokal yang menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik paling tinggi pada Domba Garut.
3
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh imbangan protein dan TDN (Total Digestible Nutrient) dalam ransum Domba Garut berbasis bahan pakan lokal terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organiknya. 2. Mengetahui imbangan protein dan TDN (Total Digestible Nutrient) dalam ransum komplit berbasis bahan pakan lokal yang menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik paling tinggi pada Domba Garut. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
informasi
bagi
pengembangan kebutuhan zat makanan pada ternak domba, terutama menjadi acuan dalam penyusunan ransum, khususnya Domba Garut. Selain itu data mengenai hasil kecernaan bahan kering dan bahan organik dari pengaruh imbangan Protein dan TDN dalam ransum komplit berbasis bahan pakan lokal dapat dijadikan informasi bagi peternak, peneliti, dan instansi terkait. 1.5. Kerangka Pemikiran Produktivitas ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas zat makanan yang diberikan, karena apabila ransum yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan ternak maka produktivitasnya menjadi rendah, laju pertumbuhannya lambat dan pertambahan bobot badan rendah, sehingga diperlukan ransum yang seimbang yaitu ransum yang dapat menyediakan semua nutrisi yang dibutuhkan selama 24 jam (Anggorodi,1994). Ransum komplit berupa campuran dari konsentrat dan hijauan, yang mengandung zat makanan bernilai gizi tinggi bagi ternak dan dibentuk sebagai
4
satu-satunya pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Penggunaan ransum komplit dapat menjamin meratanya distribusi asupan ransum, agar fluktuasi kondisi ekosistem didalam rumen diminimalisir (Ensminger dan Parker, 1986). Konsentrat dalam ransum komplit dapat terdiri dari bahan pakan lokal yang dapat dimanfaatkan dan diolah sebagai pakan ternak. Namun kandungannya yang berbeda membuat pemanfaatannya harus dilakukan secara bersamaan, agar kebutuhan nutrisi seperti protein dan energi dapat terpenuhi dan dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk pertambahan bobot badan dan produksi ternak. Pengaturan tingkat protein dan energi dalam ransum merupakan salah satu upaya dalam melakukan perbaikan performa ternak, karena laju pertumbuhan ternak yang cepat akan membutuhkan protein lebih tinggi dalam ransumnya (Haryanto, 1992), namun efisiensi penggunaan protein untuk pertumbuhan jaringan tubuh dipengaruhi oleh ketersediaan energi (Ensminger dan Parker, 1986), dengan demikian imbangan protein dan energi dalam ransum sangat penting untuk diketahui karena erat kaitannya dengan pertumbuhan dan produktivitas ternak. Protein merupakan bagian dari bahan organik, dimana kandungan protein dalam ransum akan mempengaruhi kecernaan bahan kering dan bahan organik. Dengan demikian apabila daya cerna bahan organik meningkat maka daya cerna protein juga meningkat. Tingginya daya cerna bahan organik menunjukan tingginya kualitas ransum karena nilai kecernaan bahan organik diperoleh melalui selisih jumlah bahan organik yang dikonsumsi dan yang diekskresikan, sehingga tinggi rendahnya nilai kecernaan menunjukan seberapa besar zat makanan dalam
5
ransum dapat dicerna. Kecernaan bahan organik dalam rumen meliputi kecernaan zat makanan berupa komponen-komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin (Gatenby, 1986). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan pakan, adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik dari bahan pakan, dan pengaruh terhadap perbandingan dari bahan pakan (Anggorodi, 1979), kecernaan juga dipengaruhi oleh faktor hewan, komposisi pakan dan jumlah pakan (Tillman dkk., 1998). Kecernaan bahan kering merupakan ukuran konsumsi ransum ternak yang juga dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi, 1979). Nutrisi yang diserap oleh tubuh ternak dapat diketahui dengan mengukur kecernaan bahan kering menggunakan analisis jumlah bahan kering dalam ransum dan dalam feses, sehingga jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan diekskresikan dapat diketahui dan selisihnya merupakan jumlah bahan kering yang dapat dicerna. Tingkat kecernaan suatu bahan pakan yang tinggi dapat diperoleh apabila pakan mengandung protein tinggi dengan kandungan serat kasar rendah (Tillman dkk., 1991). Sehingga semakin sedikit jumlah bahan kering dalam feses maka semakin tinggi kecernaan bahan kering dalam suatu bahan pakan. Pencapaian produksi ternak juga dipengaruhi oleh tingkat penggunaan energi dalam ransum. Kebutuhan energi ternak ialah kebutuhan energi untuk hidup pokok dan untuk produksi. Kebutuhan energi untuk hidup pokok adalah jumlah energi dalam pakan yang harus dikonsumsi setiap hari bukan untuk mendapat ataupun kehilangan energi tubuh, energi tersebut digunakan untuk
6
memelihara kelestarian hidup dan mempertahankan keutuhan alat-alat tubuh (NRC, 1985), sementara energi untuk produksi adalah energi diatas kebutuhan hidup pokok yang dimanfaatkan untuk proses produksi, yang meliputi pertumbuhan. Ternak yang mengalami kekurangan energi dalam pakannya akan mengurangi fungsi rumen dan menurunkan efisiensi penggunaan protein serta menghambat pertumbuhan ternak (Ensminger dan Parker, 1986). Tingkat kecernaan sendiri dipengaruhi oleh kadar asam lemak terbang dalam rumen yang menentukan jumlah mikroba dalam rumen, dimana semakin tinggi kadar asam lemak terbang maka mikroba dalam rumen akan semakin banyak sehingga tingkat kecernaanpun akan semakin tinggi. Kadar asam lemak terbang ini merupakan hasil degradasi energi dalam ransum oleh mikroba. Dengan demikian keseimbangan penggunaan tingkat protein dan energi yang dikonsumsi, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pokok ternak. Imbangan protein dan TDN yang baik untuk ternak domba harus mengandung protein 12% dengan TDN 60% (Kearl, 1982), sementara kebutuhan ransum untuk ternak domba yang sedang tumbuh dengan bobot badan 15-30 kg membutuhkan protein kasar 11,8-16,41 % dan TDN 55,3-69,6 % (Ranjhan, 1993). Adapun kebutuhan protein dan TDN ternak domba lepas sapih adalah 16 % dan 73% (Chruch, 2002). Namun berdasarkan penelitian Purbowati (2007) imbangan protein dan TDN untuk penggemukan domba dari bobot 12,76 sampai 20 kg adalah 15,09 % dan 58,60% dan berdasarkan penelitian Supratman (2016) imbangan protein dan TDN dalam ransum yang baik adalah 12% dan 59,7%. Penelitian Hartini (2008) menyatakan penggunaan ampas bir dengan level 0, 10, 20, dan 30 % dalam ransum dengan imbangan Protein dan TDN sebesar P0
7
(12,1% dan 54,63%), P1 (12,7% dan 56,73%), P2 (13,30% dan 58,82%) dan P3 (13,87% dan 60,91%) menghasilkan kecernaan bahan kering berturut-turut 61,02%, 60,78%, 63,42%, 58,53%, dan kecernaan bahan organik 60,09%, 56,77%, 59,24% dan 56,99%. Penelitian Pertiwi (2010) mengenai pengaruh pemberian ampas ganyong fermentasi dengan level 0, 5, 10 dan 15% dengan imbangan protein dan TDN sebesar P0 (15,59 % dan 63,95), P1 (14,96% dan 64,54%), P2 (14,33% dan 65,14%), dan P3 (13,70% dan 65,74%) juga menghasilkan kecernaan bahan kering 66,61%, 67,09%, 68,49% dan 70,42% dan kecernaan bahan organik 69,88%, 70,08%, 70,35%, dan 73, 02%. Penelitian mengenai jagung dan onggok sebagai sumber karbohidrat dengan perlakuan hanya jagung sebagai sumber karbohidrat, hanya onggok sebagai sumber karbohidrat dan campuran jagung dan onggok sebagai sumber karbohidrat dengan imbangan protein dan TDN sebesar P1 (16,01% dan 65,37%), P2 (15,95% dan 65,52%), dan P3 (16,50% dan 66,16%), menghasilkan kecernaan bahan kering 64,63%, 66,16%, dan 69,08% dan kecernaan bahan organik 68,36%, 66,51%, dan 71, 76% (Karolita, 2011). Penelitian mengenai ransum tongkol jagung dan kombinasi berbagai sumber protein dengan imbangan protein dan TDN sebesar P1 (15,06 % dan 61,35), P2 (19,01% dan 70,10%), P3 (14,69% dan 70,68%), dan P4 (15,31% dan 63,88%) menghasilkan kecernaan bahan kering 59,29%, 68,30%, 67,14% dan 63,03% dan kecernaan bahan organik 59,29%, 69,00%, 69,54%, dan 62, 74% (Nugroho, 2012) Berdasarkan hal tersebut maka dapat diambil hipotesis bahwa kandungan protein dan TDN 12% dan 65% memberikan pengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan nilai kecernaan paling tinggi.
8
1.6.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan Perbibitan Ternak
Domba Garut, Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat, yang terletak di Jl. Margawati Km. 7, Kelurahan Sukanegla, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut. Dengan waktu penelitian kurang lebih 1 bulan pada tanggal 16 Januari 2017 sampai 16 Februari 2017, yang terdiri dari tahap persiapan selama satu minggu, dan tahap pendahuluan serta pengumpulan data selama tiga minggu, adapun analisis kecernaan bahan kering dan bahan organik dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran pada tanggal 16 Februari 2017 sampai 23 Februari 2017.