PENDAHULUAN
Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi informasi mengakibatkan meningkat pula frekuensi lalu-lintas dan jumlah komoditi hewan beserta produknya di masing-masing kegiatan ekspor, impor, dan antar area. Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara SoekarnoHatta disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta berdasarkan Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) SOEHATTA (2011) Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
Bulan
Jumlah (ekor)
Frekuensi
Jumlah (ekor)
Frekuensi
Jumlah (ekor)
Frekuensi
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Total
191 0 0 588 0 430 0 17 17 0 0 158 1 401
1 0 0 3 0 2 0 1 1 0 0 3 11
192 0 202 0 0 247 47 0 203 0 0 0 891
1 0 1 0 0 2 1 0 1 0 0 0 6
0 0 0 0 220 132 395 0 0 0 99 0 714
0 0 0 0 1 3 4 0 0 0 1 0 8
Jenis sapi yang diimpor antara lain adalah sapi perah, merupakan ternak yang relatif banyak dipelihara untuk memproduksi susu. Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjenak) (2011) menyebutkan bahwa 80% bahan baku susu masih diimpor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2011), sepanjang Januari sampai Juni 2011, impor susu bubuk Indonesia mencapai 101 657 ton dengan nilai US$ 381.472 juta atau setara dengan Rp 3.2 triliun. Rata-rata setiap tahun
2
Indonesia mengimpor bahan baku dan produk jadi susu sebesar US$ 600 juta atau kurang lebih Rp 5.1 triliun. Impor terbanyak berasal dari Selandia Baru dengan nilai sebesar US$ 126.65 juta, Australia senilai US$ 85.297 juta, Amerika Serikat senilai US$ 77.610 juta, Filipina sebanyak US$ 19.247 juta, Singapura senilai US$ 15.528 juta dan negara lainnya US$ 57.137 juta. BPS juga mencatat, pergerakan impor susu dari bulan ke bulan menunjukan kenaikan, April 2011 impor susu hanya sebesar US$ 58.368 juta, Mei naik US$ 70.865 juta, Juni naik menjadi US$ 77.432 juta. Lonjakan susu impor yang masuk ke Indonesia seiring dengan pertumbuhan industri susu yang mencapai level 6 sampai 7% per tahun. Kegiatan importasi beresiko masuknya berbagai penyakit ke Indonesia. Keputusan importasi pada akhirnya harus mempertimbangkan kepentingankepentingan lain baik ekonomi dan politis. Analisa risiko merupakan suatu proses komplek yang sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk menjamin keamanan dan kesehatan pangan secara fisik, tetapi juga secara rohani, karena dalam tahap analisa risiko sudah termasuk verifikasi kehalalan produk yang akan diimport dimana merupakan orientasi penting bagi masyarakat Indonesia. Kebijakan importasi yang didasari murni oleh analisa risiko tidak akan memberikan efek yang merugikan berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan importasi itu sendiri apabila kondisi negara sudah cukup memadai dengan pilihan tidak melakukan importasi. Kondisi yang memadai tersebut harus mencakup kesiapan negara akan ketersediaan ternak dan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Program swasembada pangan merupakan program yang tepat untuk mendukung kebijakan importasi. Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS 2014) merupakan salah satu program prioritas pemerintah dalam lima tahun ke depan untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumber daya lokal. Pencapaian swasembada daging sapi merupakan tantangan yang tidak ringan, karena pada tahun 2009 impor daging mencapai 7.0 x 104 ton dan sapi bakalan setara dengan 250.8 x 103 ton daging (Ditjenak 2010). Data
menunjukkan
bahwa
Indonesia
mengimpor
sapi
rata-rata
5
6.5 x 10 ekor per tahun yang sebagian besar berasal dari Australia (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia/APFINDO 2010). Australia merupakan
3
negara asal dan pertama ditemukannya Query fever (Q fever) pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane pada tahun 1935 (Acha dan Szyfres 2003). Hewan sapi dengan produknya yang diimpor dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan dan manusia ke Indonesia. Q fever merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan ternak yang dapat terserang adalah sapi, kambing, domba maupun ternak ruminansia lain. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, melalui makanan asal ternak terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab. Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lain di Asia Tenggara (Fournier et al. 1998). Akibat distribusi geografis Q fever yang sangat luas dan letak geografis Indonesia yang berdekatan wilayah dengan negara-negara endemik Q fever terutama Australia, maka perlu diwaspadai penyebaran infeksi penyakit ini di Indonesia. Penelitian tentang Q fever di beberapa negara sudah demikian maju, bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan, mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (Seshadri et al. 2003). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak, seperti peternak, pekerja rumah potong, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar terserang Q fever. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever. Penentuan diagnosis yang cepat dan akurat terhadap Q fever sangat dibutuhkan sebagai upaya pengendalian yang tepat dan cepat.
4
Perumusan Masalah Penelitian terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini masih jarang dilakukan karena gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever yang tidak begitu menciri, seperti terjadinya pneumonia, keguguran ataupun tingginya kasus hepatitis dan endokarditis. Temuan kasus klinik belum pernah didiagnosa kearah adanya Q fever, sehingga kurang diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi dampak jangka panjang penyakit ini sangat membahayakan dan fatal bagi manusia. Di sisi lain Indonesia merupakan pengimpor ternak terutama sapi, baik sapi bakalan, sapi perah maupun daging beku dari Amerika, Australia, New Zealand dan beberapa negara lain. Selain itu era globalisasi akan meningkatkan arus lalu lintas perdagangan ternak dan juga mobilitas manusia, yang juga berdampak terhadap cepatnya penyebaran penyakit khususnya zoonosa seperti Q fever ataupun yang lainnya. Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 1955 Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia dari 188 serum sapi yang diperiksa secara serologis positif mengandung antibodi C. burnetii menggunakan cappilary tube agglutination test (CAT) (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rumawas (1976) menunjukkan bahwa dari 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang ditemukan 4 sampel (1.2%) positif antibodi terhadap Q fever menggunakan metode CAT. Vanpeenen et al. (1978) juga melakukan penelitian penyakit Q fever pada pekerja di Indonesia secara seroepidemiologi. Penelitian selanjutnya dilaporkan Miyashita et al. (2001) pada kasus pneumonia yang diderita oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia dan ditemukan positif terinfeksi C. burnetii. Hasil seroprevalensi Q fever di Bogor pada domba dan kambing menunjukkan sebesar 31.88% dan 20.29% menggunakan metode indirect immunofluorescent antibody (IFA), sedangkan dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) terhadap 245 ekor sapi bali dan Brahman cross ditemukan 15 ekor (6.12%) positif DNA C. burnetii serta pada 165 ekor kambing dan domba ditemukan 6 ekor (3.64%) positif DNA C. burnetii di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006).
5
Data di atas dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian tentang keberadaan penyakit Q fever di Indonesia terutama pada hewan sapi yang diimpor dari Australia, hal ini penting dilakukan karena sampai saat ini volume importasi sapi masih tinggi untuk mewujudkan swasembada daging tahun 2014.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan suatu kajian tentang penyakit Q fever dan keberadaan C. burnetii pada sapi perah impor dari Australia, dan (2) mengkaji faktor risiko penyebaran C. burnetii ke lingkungan berkaitan dengan sanitasi, higiene personal, dan biosekuriti.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran data yang pasti dan akurat tentang keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit Q fever sehingga dapat dijadikan pertimbangan ilmiah dalam hal importasi sapi perah dari Australia.
Hipotesa Hipotesa penelitian ini adalah (1) C. burnetii sebagai penyebab Q fever ditemukan dan menginfeksi sapi perah impor dari Australia, dan (2) terdapat faktor risiko penyebaran C. burnetii ke lingkungan peternakan berkaitan dengan sanitasi, higiene personal dan biosekuriti.