PENDAHULUAN
Latar Belakang Pada dasarnya tanah mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting dalam kehidupan individu dan masyarakat, baik sebagai wadah untuk kegiatannya maupun sebagai aset dan faktor produksi untuk penghldupannya, karena harnpir seluruh aktivitas kehidupan manusia mulai dari proses produksi, pertanian, pemukiman sampai kegiatan industri dan rekreasi membutuhkan tanah sebagai masukannya (input). Dengan meningkatnya kegiatan pembanpan, bertambahnya jumlah dan mobilitas penduduk, permasalahan tanah dan konflik di bidang pertanahan tidak akan mereda, tetapi sebaliknya mmglun justru akan bertambah. Hal itu disebabkan karena kebutuhan akan tanah, baik jenis, intensitas maupun volumenya akan semakin meningkat, sedang luas
tanah yang tersedia tidak akan bertambah secara berarti. Tanah-tanah yang tersediapun keadaan dan kemampuannya tidak merata dan sebagian besar sudah ada yang memiliki. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa yang sudah dipunyai itu tidak dimanfmtkan seoptimal mungkin dan sebagian besar belurn didaftar dm belum ada surat tanda buktinya. Selain itu, pentingnya tanah bagi kehidupan manusia karena tanah mempunyai beberapa dimensi (Barlowe, 1978) antara lain dimensi tanah sebagai: (1) ruang, yaitu sebagai area geografis yang merupakan wadah bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi, (2) alam, yaitu sebagai lingkungan alarniah yang proses-proses terkait didalamnya sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti iklim, batwin induk, hujan, topografi, dan lain-lain; (3) faktor produksi, yaitu sebagai sumberdaya b a r sumber
makanan, serat, bahan-bahan bangunan, mineral, energi, dan bahan-bahan alamiah lain yang dibutuhkan oleh manusia; (4) barang konsumsi, yaitu sebagai barang konsumsi karena adanya nilai langsung yang dinikmati masyarakat akibat konsumsi yang dilakukan; (5) situasi, yaitu meliputi lokasi atau posisi strategis yang dimiliki tanah, (6) properti, yaitu meliputi kepemilikan beserta segala hak-hak yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanah; dan (7) kapital, yaitu tanah dapat diperhitungkan sebagai modal. Menurut Anwar (1994), smberdaya tanah menjadi semakin penting karena dengan semakin bertambah jumlah penduduk yang pertumbuhannya masih tinggi akan terus memberi tekanan-tekanan kepada permintaannya. Sedangkan dari sisi persediaan (supply) tanah dalam suatu tatanan ruang'tertentu (suatu wilayah, atau kawasan kotakota) keadaan persediaannya tetap w e d ) , sehingga nilainya menjadi meningkat dari
waktu ke waktu serta dengan berkembangnya ekonomi dan bertambahnya populasi penduduk serta meluasnya kegiatan ekonomi di luar pertanian, maka penggunaan tanahtanah semakin bersaing, seperti digunakan untuk perkebunan, hutan produksi, perumahan, pertambangan maupun untuk tempat perdaganganhisnis, industri dan keperluan pembangunan inhtruktur (jalan-jalan raya, irigasi, dll). Terjadinya ketimpangan antara permintaan dan penawaran tentunya merupakan suatu indikasi bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan (scarcity).
Kelangkaan sumberdaya tanah bukan hanya disebabkan
oleh persediaannya terbatas, tetapi juga apabila sistem pasarnya sering tidak bekerja dengan baik, karena mengalami kendala-kendala kelembagaan atau institusional, yang disebabkan karena terlalu banyaknya pengaturan-pengaturan, sehingga ketersediaan tanah yang dapat digunakan menjadi semakin langka. Dalam hubungannya dengan
aspek kelembagaan tersebut, sumberdaya tanah dapat saja tersedia tetapi sistem kelembagaan yang menyangkut hak-hak (property right) kepemilikan atas tanah yang berlaku dapat menjadi kendala, seperti banyaknya tanah-tanah guntai (absentee lands) yang tidak digarap pemiliknya tetapi dirambah oleh petani tak berlahan karena pemiliknya bukan orang setempat. Tanah-tanah pada keadaan ini banyak mengalami kerusakan dan hak-haknya sulit ditransaksikan, sehingga dalam pasar tanah menjadi terhambat dan pemanfaatannya tidak optimal. Penguasaan tanah yang sangat luas oleh segelintir orang ataupun perusahaan yang tidak dimanfaatkan dengan baik sangat merugikan, yang akan mengakibatkan inefisiensi dan ketidakadilan yang mengarah kepada kemubaziran. Merugikan karena disatu sisi efisiensi pemanfaatan tanah pada umumnya rendah dan disisi yang lain kesempatan untuk memanfaatkan tanah oleh orang atau perusahaan lain yang lebih bersungguh-sungguh dan mampu menjadi hilang sehingga sumbangan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak dapat direalisasikan, ha1 ini tidak adil karena tanah yang menjadi hajat hidup orang banyak tidak tersedia secara merata bagi masyarakat yang lebih banyak. Permasalahan pertanahan akan semakin terasa dengan adanya pengaruh proses globalisasi dalam era milenium abad ke-2 1. Analisa krisis ekonomi moneter yang terjadi sejak bulan Juli 1997 menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi berbasis tanah terutama di perdesaan, secara relatif tidak terlalu parah dipengaruhi oleh dampak negatif dari krisis tersebut. Hal ini memberikan suatu kearifan bahwa distribusi pemilikan penguasaan tanah sangat mempengaruhi hdamental pembangunan nasional. Adanya pengaruh globalisasi, meningkatnya kesadaran anggota masyarakat atas hak kewarganegaraamya,
dan berlangsungnya proses reformasi yang menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengalubatkan masalah pertanahan akan semakin kompleks, sehingga diperlukan kebijaksanaan dan strategi pertanahan yang lebih konseptual dan terpadu. Studi yang dilakukan oleh Saehlhskim, Panuju clan Nasoetion (1999) menyatakan
bahwa
berdasarkan
data
dari
Biro
Pusat
statistik
tentang
pemilikadpenguasaan tanah skala kecil yang mencapai 48,91 % pada tahun 1983 dan meningkat menjadi 50,17 % pada tahun 1993 serta lebih lanjut dinyatakan bahwa semakin kecil skala pemilikadpenguasaan tanah, semakin kecil pula penerimaan usahatani dan pendapatan bersih usahatani yang juga dapat menunjukkan berkurangnya tingkat kesejahteraan dari petani. Selain itu dengan meningkatnya persaingan dalam penggunaan tanah, baik untuk produksi pertanian maupun untuk keperluan lainnya memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya yang terbatas. Saefulhakim dan Nasoetion (1995) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi, diikuti pula oleh peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun membawa konsekuensi pada perubahan alokasi sumberdaya diantara berbagai jenis penggunaan.
Fakta yang dapat langsung terlihat adalah adanya perubahein
penggunaan tanah dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, seperti terlihat pada tabel 1 yang dapat dijelaskan bahwa perubahan penggunaan tanah di Propinsi Jawa Barat ditandai dengan adanya kecenderungan berkurangnya luas penggunaan tanahtanah pertanian produktif (sawah, kolam dan perkebunan) terutama di kota BogorJ3ekasi
Tabel 1. Persentase Luas Penggunaan Tanah Propinsi Jawa Barat dirinci per KabupatenIKota Tahun 1997-1999
--
Sumber : Data Penggunaan Tanah Sensus Pertanian, Badan 6sat~tatistik2000
dan Bandung dari tahun 1997-1999.
Fenomena lainnya adalah kecenderungan
bertarnbahnya luas penggunaan tanah non pertanian (penunahan/bangunan lainnya dan tanah tidur) sehingga perlu tindakan antisipatif sejak dini oleh berbagai pihak terutama meluasnya tanah-tanah tidur di Kota Bekasi, Bogor, Bandung clan kota besar lainnya yang menimbulkan konsekuensi rendahnya produktivitas tanah dari sektor pertanian. Studi yang dilakukan di Jawa Barat oleh Saellhakim dan Ardi (2000), menyatakan
bahwa keterkaitan ke belakang dalam penggunaan input tanah dan
sumberdaya lokal untuk penggunaan industri, listrik, gas dan air serta bangunan menunjukkan koefisien keterkaitan ke belakang yang tinggi seperti yang ditunjukkan pada tabel 2. Sedangkan sektor pertanian paling kecil dalam penggunaan input tanah dan sumberdaya lokal. Hal ini menandakan bahwa banyaknya terjadi alih fungsi tanah
di Jawa Barat yang berasal dari sektor pertanian ke sektor non pertanian Tabel 2. Hasil Analisa Input-Output di Propinsi Jawa Barat Tahun 2000
Sumber :Pelatihan Input-Output Jawa Barat, Safulhakim dan Ardi (2000) Perluasan wilayah urban (khususnya DKI Jakarta dan Kota Bogor) ke wilayah suburban (dalam ha1 ini Kabupaten Bogor) merupakan suatu fenomena yang tidak dapat
dihindari sehingga membawa darnpak pada terbentuknya pusat-pusat kegiatan dan pertumbuhan baru yang membutuhkan tanah dan lokasi-lokasi yang strategis dan kompetitif dari sudut ekonomi.
Berkembangnya pembangumm kawasan industri,
komplek-komplek pernukiman dan kegiatan ekonomi lainnya memperlihatkan wilayah Kabupaten Bogor telah dan sedang menuju terbentuknya suatu pusat kegiatan dan pertumbuhan yang potensial dan strategis. Disamping itu laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di perkotaan merupakan fenomena umurn yang terjadi di kota-kota besar, studi yang dilakukan oleh Server (1996) menyatakan bahwa populasi di Jakarta tahun 2000 mencapai 13 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 5,5 % per tahun, sementara yang tinggal di region aglomerasi metropolitan (Kawasan Jabotabek) berkisar antara 18-20 juta jiwa, merupakan kawasan urban terbesar di Asia (bahkan di dunia).
Walaupun lonjakan
penduduk yang tinggi di kawasan perkotaan akan membawa manfaat-manfaat ekonomi tertentu seperti skala ekonomi yang besar yang memungkinkan penghematan biaya produksi, sumber tenaga kerja yang melimpah, efisiensi dan efektifitas fasilitas sosial tetapi dengan semakin besarnya kota maka keuntungan tersebut seolah tidak berarti dengan meningkatnya biaya-biaya sosial. Bahkan pada tingkat tertentu, keuntungankeuntungan yang diperoleh jika dikompensasi dengan kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh biaya-biaya sosial yang diderita masyarakat akan bernilai negatif
Pada kondisi ini dapat dikatakan bahwa wilayah kota mengalami skala disekanomi (diseconomy of scale). Biaya-biaya sosial yang ditimbulkan dalam ha1 ini dalam bentuk pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan, kemacetan, kerawanan sosial, merosotnya moralitas dan mentalitas generasi muda dll. Implikasi dari laju pertumbuhan penduduk
yang cukup besar itu secara signifikan akan mempengardu proses alih fbgsi tanah dan alih kepemilikan tanah di wilayah suburban. Studi yang dilakukan oleh Dowall dan Leaf (1991) menunjukkan harga tanah meningkat lebih cepat di wilayah luar kota (suburban) dan menunjukkan peningkatan nilai tanah yang berubah dari pertanian ke penggunaan urban (perkotaan). Pembangunan yang selama ini bias kepada pembangunan kawasan perkotaan (urban bias) dan lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi mengakibatkan ketimpangan yang sangat lebar antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan karena pemerataan secara "otomatis" yang diharapkan setelah mengejar pertumbuhan ekonomi tidak terjadi (tricle down eflect kezuah hinterland ti& terjadi; sebaliknya yang terjadi adalah net eflect-nya malah menimbulkan masive backwash eflect (Lipton 1977 dalam Anwar dan Rustiadi, 2000). Sehingga daerah-daerah belakang (hinterland) menjadi kekurangan sumberdaya akibat pengurasan yang dilakukan oleh kota, baik itu sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya modal yang merupakan penentu kemajuan dan pembangunan. Selain itu kegagalan pemerintah Orde Baru karena begitu kuatnya dominasi pemerintah pusat yang mengarah kepada terjadinya kerusakan moral (moral hazard). Kebijakan yang bersifat sentralistik dan adanya perilaku moral hazard
menyebabkan alokasi sumberdaya yang tidak efisien dan
seringkali merusak tatanilai yang dianut oleh masyarakat yang
mengakibatkan
masyarakat tidak memiliki inovasi dalam mengembangkan diri dan daerahnya. Paradigma pembangunan yang urban bias tersebut telah menimbulkan berbagai persoalan di kota besar seperti terjadinya urbanisasi karena akumulasi kapital yang berada di perkotaan. Urbanisasi tersebut pada akhirnya akan menimbulkan berbagai
persoalan di kota besar karena daya dukung yang terbatas dan yang terjadi bukan lagi
economic of scale (economic of aglomeration) m u n justru diseconomic of scale. Kotakota besar tumbuh dengan cepat sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang seringkali mengabaikan hgsinya untuk memberikan pelayanan kepada wilayah suburban. Dampak yang lebih buruk dari urban bias ini akan mengakibatkan tumbuh suburnya kantung-kantung pemukiman kumuh (slum)dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar (shantytown) serta pennasalahan-pennasalahan lain yang sangat kompleks yang imbasnya sampai kepada wilayah suburban. Berdasarkan keterangan dan pemaparancpemaparan di atas, sebagai salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan suatu Kajian Struktur Kepemilikan Tanah di Wilayah Sub Urban yang dalam konteks penelitian ini dipilih sebagai studi kasus adalah Kelurahan Pakansari Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor, dikarenakm lokasi Kabupaten Bogor yang strategis dan kompetitif serta merupakan daerah penyangga dan berbatasan langsung dengan tiga propinsi besar yaitu propinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta, memerlukan suatu penanganan yang komprehensif dan profesional dalam ha1 kepemilikan tanah sehingga terwujudnya kepemilikan tanah yang lebih merata, berkelanjutan dan berkeadilan sosial.
Perumusan Masalah Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya intensitas pembangunan, semakin meningkat pula kebutuhan tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan bagi pemerintah dan masyarakat sedangkan luas tanah relatif tidak bertambah. Hal tersebut menmbatkan timbulnya beberapa masalah yang berkaitan
dengan kepemilikan tanah. Secara umum permasalahan tersebut adalah : adanya fenornena penguasaan tanah yang sangat luas oleh segelintir orang ataupun perusahaan yang tidak dimanfaatkan dengan baik, sehingga sangat merugikan dan tidak adil. Merugikan karena disatu sisi efisiensi pemanfaatan tanah pada umumnya rendah atau tidak dimanfmtkan sama sekali menjadi tanah terlantar (tanah tidur) dan disisi yang lain kesempatan untuk memanfaatkan tanah oleh orang atau perusahaan lain yang lebih bersungguh-sungguh dan mampu menjadi hilang sehingga sumbangan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak dapat direalisasikan, ha1 ini tidak adil karena tanah yang menjadi hajat hidup orang banyak tidak tersedia secara merata bagi masyarakat yang lebih banyak.
Inventarisasi tentang tanah tidur yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Bogor di 18 Kecamatan telah mencapai 948,22 Ha, walaupun belum mencakup seluruh kecamatan (35 kecamatan) namun patut diantisipasi sejak dini agar terwujudnya kepemilikan dan penguasaan tanah yang lebih merata, berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Dari uraian-uraian di atas maka dapat dirurnuskan beberapa permasalahan pokok, yaitu : 1. Bagaimana sebaran dan distribusi kepemilikan tanah di daerah penelitian ?
2. Bagaimana keragaan dan tingkat ketimpangan
kepemilikan tanah di daerah
penelitian? 3. Bagaimana kaitan karakteristik tanah dan pemilik tanah dengan pola penggunaan
tanah di daerah penelitian ?
Tujuan Penelitian Seperti telah disinggung secara sekilas di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang struktur kepemilikan tanah dan kaitan antara karakteristik tanah dan pemilik tanah dalam mempengaruhi pola penggunaan
tanah di Wilayah Sub Urban yang akan dilakukan di Kelurahan Pakansari Kecarnatan Cibinong Kabupaten Bogor. Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengkaji sebaran dan distribusi kepemilikan tanah di daerah penelitian.
2. Melihat keragaan dan tingkat ketimpangan kepemilikan tanah di daerah penelitian. 3. Menganalisa kaitan karakteristik tanah dan pemilik tanah dengan pola penggunaan tanah di daerah penelitian.
Kegunaan Penelitian Sedangkan kegunaan dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Bag pengembangan ilmu pengetahuan, terutarna dalam mengkaji alih penguasaan tanah di wilayah suburban;
2. Bagi pemerintah daerah setempat, sebagai sumber data dan sumbangan pemikiran sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembangunan khususnya mengenai pengaturan penguasaan dan penatagunaan tanah; 3. Bagi masyarakat, dengan penelitian ini dapat melihat potret nyata tentang
fenomena kepemilikan dan penguasaan tanah.
grna Pembangunan
1
*
r n
Paradipsla Lama : Menekankan pada Pertumbuhan Ekonomi Urban Bias Sentralistik
( Laju pertumbuhan penduduk dan
Paradim Baru : Menekankan pembangunan pada : PertumbuhanEkonomi (Growth) Pemerataan (Equily) Suistanability (keberlanjutan) Desentralisasi (otonomi)
/
intensitas pembanguuan yang tinsgi di wilayah urban (perkotaan) Struktur Kepemilikan p e n e dan Penggunaan Tanah Yang Merata, Berkelanjutan dan Berkeadilan Sosial
Ketimpangan spasial, sektord, individu/kelompok masyarakat Urbanisasi Biaya sosial yang tinggi di perkotaan Suburbanisasi
Dampak wilayah Suburban : Ketimpangan antara permintaan& penawmn tanah Terjadi alih fungsi serta alih kepemilikan tanah Harga Tanah yang tinggi Inefisiensi, ketidakadilan yang mengarah kepada kemubaziran
I Perbaikan
Perlunyapenelitian dan ~ebijakanDalam Mengkaji Struktur Kepemilikan Penguasaan
Garnbar 1. Diagram Alir pentingnya penelitian tentang Kajian Distribusi Pemilikan Penguasaan dan Penggunaan Tanah.
I