MODEL PEMBIBITAN SAPI BALI BERBASIS KANDANG KOLEKTIF I Putu Sudrana1), Chalid Thalib2), Lalu.Ahmad Zainuri1) dan Dahlanudin1) 1) Fakultas Peternakan Universitas Mataram, 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Pendahuluan Kebutuhan masyarakat Indonesia akan produk peternakan akan terus meningkat dari tahun ketahun sebagai akibat bertambahnya penduduk yang diperkirakan pada tahun 2010 berjumlah 232.5 juta dan pada tahun 2014 menjadi 242.2 juta jiwa (BPS, 2009)
dan juga karena
meningkatnya kesadaran masyarakat akan manfaat produk utama peternakan yakni daging, susu, dan telur sebagai sumber protein hewani yang sangat berperan dalam meningkatkan kesehatan dan kecerdasan manusia.
Meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap manfaat produk utama
peternakan merupakan dampak positif dari meningkatnya tingkat pendidikan dan atau tingkat perekonomian masyarakat. Saat ini Indeks Pembangunan Manusia Indonesia sebagai ukuran tingkat kinerja dari konsumsi daging berada pada ranking ke 5 di antara negara-negara ASEAN (Talib dan Guntara, 2009). Dari ketiga jenis produk utama peternakan, Indonesia baru berswasembada pada daging ayam dan telur, sedangkan untuk susu masih impor 70% dan daging sapi impor 42% (Direktur BTR, 2009).
Salah satu bangsa
sapi asli Indonesia yang sangat potensial sebagai
penghasil daging adalah sapi Bali (Bos Sondaicus, Bos javanicus, Bibos banteng adalah dari grup Bibovine). Fokus tulisan ini akan membahas tentang pembibitan sapi Bali di pedesaan untuk menunjang swasembada daging sapi di Indonesia. Sapi Bali sebagai salah satu bangsa (rumpun) sapi asli Indonesia memiliki keunggulankeunggulan. Keunggulan utamanya adalah dalam beradaptasi pada hampir seluruh kondisi tropis di Indonesia sehingga membuatnya terkenal sebagai sapi dengan julukan “sapi perintis”. Keunggulan lainnya adalah tetap produktif pada kondisi lingkungan baru tempat ia dipelihara dengan tetap mempunyai tingkat reproduksi dan pertumbuhan serta kondisi tubuh yang baik. Selain itu, sapi Bali mempunyai daya tahan terhadap caplak dan investasi cacing terbaik dibanding sapi-sapi lainnya di Indonesia (Dirbit, 2009). Keunggulan-keunggulan tersebut menyebabkan sapi Bali sangat diminati oleh daerah-daerah lain di Indonesia bahkan oleh Negara tetangga (Malaysia). Cara pemeliharaan adalah salah satu faktor lingkungan yang mampu diadaptasi oleh sapi Bali. Cara pemeliharaan sapi Bali dibedakan atas yang dikandangkan terus-menerus, yang digembalakan pada areal tertentu, dan kombinasi kedua cara pemeliharaan tersebut. Sapi Bali saat ini telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Populasi sapi Bali terbanyak adalah di Provinsi 1
Bali dengan populasi 655.026 ekor, kemudian diikuti Sulawesi Selatan 626.954 ekor, NTB 546.114 ekor, dan NTT dengan populasi 504.954 ekor. Sedangkan populasi sapi Bali di Lampung, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Jawa Timur, ada dibawah ke empat provinsi tersebut diatas (Dirbit, 2009a). Dibalik keunggulan yang dimiliki, sapi Bali disinyalir mengalami penurunan kualitas terutama menurunnya bobot potong. Di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu daerah pemasok bibit sapi Bali, ternyata Dwipa, dkk., (1988), dan Dwipa dan Sarwono (1992) telah melaporkan adanya penurunan bobot sapi Bali jantan yang diantar-pulaukan masing-masing sebesar 2,1 kg dan 2,9 kg. Selain bobot, khusus di Pulau Lombok, warna sapi Bali yang berbeda dengan ciri sapi Bali bibit ternyata cukup tinggi. Sudrana, dkk., (1989) di Kabupaten Lombok Barat, Zuhadi (1990) di kabupaten Lombok Timur, dan Prasetyo, dkk., (1992) di Kabupaten Lombok Tengah, masing-masing melaporkan sebanyak 38,99%; 49,90%; dan 46,40% yang rataannya menjadi 45,07%. .Peyebab penurunan kualitas sapi Bali masih kontroversial karena dalam sistem kawin acak yang terjadi di lapangan seharusnya tidak terjadi penurunan mutu genetik. Yang terjadi adalah perubahan untuk mempertahankan kelangsungan spesies melalui penyesuaian/adaptasi dengan kondisi pendukung lingkungan terutama pakan untuk reproduksi. Para ahli nutrisi berpendapat bahwa penyebab utama penurunan kualitas ini adalah ketersediaan dan kualitas pakan sementara para ahli pemuliaan menduga telah terjadi penurunan mutu genetik. Pemberian pakan dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik ternyata telah meningkatkan bobot badan, namun kebijakan pengeluaran ternak berdasarkan bobot minimal menyebabkan terjadinya seleksi negatif. Selain itu adanya perkawinan tertutup pada beberapa kelompok ternak menyebabkan terjadinya depresi silang dalam. Selain pakan, seleksi negatif, dan depresi silang dalam, Prasetyo dan Sudrana (2001) menduga penyebab turunnya mutu sapi Bali karena faktor lingkungan internal dari ternak itu sendiri, yakni umur ternak. Dugaannya adalah sapi Bali jantan yang dikeluarkan akhir-akhir ini mempunyai bobot badan yang lebih rendah karena umur sapi yang dikirim lebih muda dibandingkan sebelumnya. Penyebab ini terkait dengan kebijakan pengeluaran ternak yang hanya mementingkan bobot dan tanpa memperhatikan umur. Sudrana, dkk., (2001) menyadari bahwa pengkajian yang mendalam dan tuntas untuk mengetahui apakah penurunan mutu sapi Bali akibat pakan, mutu genetik, atau umur ternak sangat memerlukan waktu dan dana, oleh karena itu jalan yang dapat ditempuh antara lain dengan melakukan 1) waskat dan cekal, 2) pemanfaatan sumber-sumber pakan dan teknologinya secara optimal, 3) kebijakan penggunaan lahan, dan 4) fungsionalisasi lembaga pembibitan sapi Bali yang telah ada yang langsung dapat beroperasi dengan baik di kelompok peternak terutama dipedesaan yang masih mendominasi supplai sapi Bali di Indonesia. 2
Tentang cara pemeliharaan, di Propinsi Nusa Tenggara Barat, sapi Bali yang dipelihara terus-menerus dikandang umumnya terjadi di Pulau Lombok sementara yang dilepas di padang penggembalaan terdapat di Pulau Sumbawa. Di Pulau Lombok, beberapa kandang sapi ditempatkan pada suatu areal dan dikelola secara bersamaan oleh pemilik sapi yang dikenal dengan “Kandang Kelompok atau Kandang Kolektif atau Kandang Kompleks” Dari uarian singkat tersebut, maka strategi untuk meningkatkan kualitas sapi Bali, idealnya adalah melaui perbaikan mutu lingkungan (pakan, manajemen pemeliharaan, dan kesehatan) dan perbaikan genetiknya dilakukan secara bersamaan. Tulisan ini hanya mengulas tentang upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali dengan memanfaatkan cara pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak sapi Bali di Pulau Lombok dengan mengemukakan suatu model pembibitan.
Ciri-Ciri Sapi Bali
Tulisan tentang ciri sapi Bali ini hanya bermaksud untuk mengingatkan kembali kita semua bahwa ternyata ciri atau kriteria sapi Bali yang digolongkan sebagai bibit mengalami perubahan baik ciri kualitatif maupun kuantitatif. Walaupun demikian standard baku telah ditetapkan dalam SNI (Standard Nasional Indonesia) untuk Bibit Sapi Bali No: 7355:2008 yang diterbitkan pada Tahun 2008 (SNI, 2008). Persyaraan umum sifat kualitatif menurut SNI sebagai berikut: a. Berasal dari pembibitan yang sesuai dengan pedoman pembibitan sapi potong yang baik, b. Sehat dan bebas dari penyakit hewan menular yang dinyatakan oleh petugas berwenang, c. Bebas dari segala cacat fisik, d. Bebas cacat alat reproduksi, tidak memiliki ambing abnormal dan tidak menunjukkan gejala kemajiran, e. Bebas dari cacat alat kelamin, memiliki libido yang baik, memiliki kualitas dan kuantitas semen yang baik, serta tidak mempunyai silsilah keturunan yang cacat secara genetik. Untuk persyaratan kualitatif sapi Bali betina dan jantan tertera dalam Tabel 1.
Walaupun telah ditetapkan dengan SNI, sebenarnya dari sifat luar/kualitatif, sapi Bali mempunyai ciri yang variatif. Diantara sifat luar yang mudah diketahui adalah warna, bentuk kepala dan leher, serta keberadaan tanduk. Untuk warna telah diketahui bahwa pada sapi Bali dibedakan antara yang memenuhi standar dagang (trade mark) dan yang tidak memenuhi standar dagang yang umum disebut warna menyimpang, demikian juga halnya untuk tanduk dan bentuk kepala serta leher. Warna standar inilah yang sebaiknya lebih dominan dijadikan kriteria bibit dan harus tetap. Kriteria warna standar sapi Bali nampaknya telah mengalami perubahan yang dilakukan sendiri oleh pemerintah. Warna standar menurut Ditjennak, (1982) yang tidak lagi muncul menurut 3
Permentan, (2006) dan SNI (2008) adalah pada warna daun telinga bagian dalam dan bibir yang harus putih, sementara untuk tanduk yang tidak lagi dimunculkan adalah arah tumbuhnya tanduk. Namun kriteria bibit yang muncul pada Permentan, (2006) dan SNI (2008) adalah bentuk kepala dan leher serta warna ekor. Untuk lebih jelasnya standar sifat kualitatif dan kuantitatif sapi Bali antara Ditjennak (1982) dengan Permentan (2006) dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk sifat kuantitatif, pemerintah juga telah melakukan perubahan dalam hal standar ukuran dan klasifikasi. Pada Ditjennak (1982), sifat kuantitatif yang dilibatkan dalam menentukan sapi Bali bibit selain tinggi gumba, lingkar dada, dan panjang badan, juga mengikutsertakan standar berat badan tanpa ada klasifikasi. Pada Permentan (2006) tidak mengikutsertakan standar bobot badan dan lingkar dada namun mengadakan klasifikasi. Pada SNI (2008) tidak menyertakan bobot badan.
Perubahan juga terjadi pada kelompok umur yakni untuk induk, pejantan, dan calon
pejantan yang tidak ada pada Permentan (2006) . Calon pejantan, umur 1,5-2,0 tahun pada Ditjennak (1982) diganti dengan jantan, umur 2,0-3,0 tahun pada Permentan (2006). Pada SNI (2008), umur ternak betina dikelompokkan menurut umur 18-<24 bulan (1,5-<2,0 tahun) dan 24 bulan ke atas (≥ 2,0 tahun) sementara untuk jantan terdiri dari kelompok umur 24-<36 bulan dan ≥ 36 bulan. Tabel 1. Ukuran Statistik Sifat Kuantitatif Sapi Bali Menurut Ditjennak (1982), Permentan (2006) dan SNI 7355:2008 Kelompok
Umur (Thn)
BB (kg)
Ukuran-ukuran Tubuh (cm) TG PB LD
Sifat Kualitatif
Ditjennak, 1982 Dara 1,5-2,0 Induk Max. 8 Calon 1,5-2,0 Pejantan Pejantan Max. 8 Permentan (2006)
197 233
102 108
113 119
156 164
222
110
122
172
353
126
125
183
Betina 1,5-2,0 Kelas I Kelas II Kelas III
-------
≥ 105 ≥ 97 ≥ 94
≥ 104 ≥ 93 ≥ 89
-------
Jantan 2,0-3,0 Kelas I Kelas II Kelas III
-------
≥ 119 ≥ 111 ≥ 108
≥ 121 ≥ 110 ≥ 106
-------
Warna merah/hitam, pantat, kaki bawah, bibir, daun telinga bagian dalam putih, garis punggung hitam. Tanduk yang betina mengarah ke dorso lateral, yang jantan cranio dorsal duduk di atas suatu mahkota.
Bibit: Warna bulu merah, lutut ke bawah putih, pantat putih berbentuk setengah bulan, ujung ekor hitam, garis belut hitam di punggung. Tanduk pendek dan kecil. Bentuk kepala panjang dan sempit. Leher ramping. Warna bulu hitam, lutut ke bawah hitam, pantat putih berbentuk setengah bulan, ujung ekor hitam. Tanduk tumbuh baik warna hitam. Bentuk kepala lebar. Leher kompak dan kuat. 4
SNI 7355:2008 Betina
1,5-<2,0
Kelas I
---
≥105
≥107
≥138
Kelas II
---
≥99
≥101
≥130
Kelas III
---
≥93
≥95
≥125
Kelas I
---
≥109
≥113
≥147
Kelas II
---
≥103
≥107
≥135
Kelas III
---
≥97
≥101
≥130
Kelas I
---
≥119
≥124
≥176
Kelas II
---
≥113
≥117
≥162
Kelas III
---
≥107
≥110
≥155
Kelas I
---
≥127
≥132
≥189
Kelas II
---
≥121
≥125
≥173
≥ 2,0
Betina
Jantan
Idem Permentan (2006)
2,0-<3,0
≥ 3,0
Jantan
Idem Permentan (2006)
Kelas III --- ≥115 ≥118 ≥167 Keternagan : BB = Bobot Badan; TG = Tinggi Gumba; PB = Panjang Badan; LD = Lingkar Dada. Hal yang menarik dari data Tabel 1 antara lain adalah data sapi betina pada umur sama (1,52,0 tahun). Tampaknya, ukuran tinggi gumba dinaikkannya namun ukuran panjang badan ternak diturunkan. Apakah ini merupakan indikasi bahwa sapi Bali telah mengalami perubahan struktur tubuh yakni semakin meninggi namun semakin memendek tubuhnya?. Dengan asumsi jumlah gigi I1 setara umur 1,5-2,0 tahun maka bila kriteria Permentan (2006) dan SNI (2008) dibandingkan dengan laporan Disnak Provinsi NTB dan Fapet Unram (2006), ternyata sapi Bali betina di Provinsi NTB yang tinggi gumbanya rata-rata 105,43±5,03 cm, panjang badannya rata-rata 102,39±8,04 cm, dan lingkar dada 141,04±14,17 cm, ternyata masih ada yang masuk kriteria kelas I. Demikian juga halnya untuk jantan. Dengan asumsi jumlah gigi I2 setara umur 2,0-3,0 tahun maka kriteria Permentan (2006) dibandingkan dengan laporan Disnak Provinsi NTB dan Fapet Unram (1993) ternyata sapi Bali bibit jantan di Provinsi NTB yang tinggi gumbanya rata-rata 116±7,6 cm dan panjang badannya rata-rata 121,34±8,08 cm serta lingkar dada 156,00±11,57 cm, ternyata masih ada yang masuk criteria kelas I namun masuk kelas II bila berdasarkan SNI (2008). Untuk kriteia sifat kualitatif seperti warna dan tanduk, dengan pengurangan jumlah unsur yang dinilai akan lebih baik karena akan memberi peluang semakin banyak jumlah ternak yang masuk kriteria bibit. Warwick. dkk., (1984) menyatakan bahwa sifat kualitatif sedikit bahkan tidak ada hubungnnya
5
dengan produksi ternak. Selain itu, pengertian warna merah pada Tabel 1 sebaiknya dikembalikan menjadi “merah bata” agar keragaman warna sapi Bali yang ada di lapangan (milik rakyat) dapat lebih terangkum. Kemudian Permentan Tahun 2006 disempurnakan melalui data kuantitatif dalam SNI (2008) yang tertera pada Tabel 1 dan untuk penentuan umur berdasarkan jumlah gigi seri pada Tabel 2. Tabel 2. Penentuan Umur Berdasarkan Jumlah Gigi Seri pada Sapi Bali SNI 7355:2008
Pelaksanaan Seleksi Di Lapangan
Secara umum seleksi berarti memilih suatu individu yang memiliki sifat atau sifat-sifat yang diinginkan oleh sipemilih baik secara langsung maupun tidak langsung, kemudian individu terpilih diberi kesempatan yang lebih luas dibandingkan individu yang tidak terpilih untuk menghasilkan keturunan dengan harapan keturunannya juga memiliki sifat atau sifat-sifat yang sesuai dengan keinginan. Sifat-sifat yang diinginkan itu disebut criteria seleksi yang umumnya bernilai ekonomis tinggi. Menurut Lasley (1978) criteria seleksi sapi potong adalah efisiensi reproduksi, bobot saat sapih, kecepatan atau efisiensi pertumbuhan, bobot umur satu tahun, tipe dan ukuran tubuh, kualitas karkas, dan cacat genetik, sementara menurut Mason dan Buvanendran (1982), criteria seleksi sapi potong adalah penampilan reproduksi, sifat keindukan, bobot setelah sapih, bobot lahir, daya tahan terhadap caplak, lama masa produksi, tipe kulit, konformasi, dan kualitas karkas. Dari criteria seleksi di atas, yang perlu diperhatikan dalam melakukan seleksi di lapangan dengan kondisi usaha ternak sapi rakyat adalah efisiensi reproduksi, bobot badan saat dan setelah sapih. Efisiensi reproduksi sangat penting dalam pemuliaan ternak terutama seleksi, karena sebaik apapun sifat produksi seekor ternak jika ia tidak mampu bereproduksi maka ternak tersebut sudah dinyatakan mati secara genetik. Selain itu, semakin tinggi angka efisiensi reproduksi akan semakin tinggi respon seleksinya. Bobot lahir berkaitan dengan distokia dan berperan hanya untuk meningkatkan ketelitian dalam menduga bobot sapih (Mason dan Buvanendran, 1982). Bobot sapih berkaitan dengan sifat keindukan dan kemampuan tumbuh si pedet (Martojo, 1977; Lasley, 1978; Warwick dan Legates, 6
1979; Leighton, dkk., 1982), selanjutnya Lasley (1978) menyatakan bahwa umur sapih adalah 205±45 hari. Bobot setelah sapih berkaitan dengan kemampuan tumbuh si pedet itu sendiri (Cole, 1975) dan digunakan dalam seleksi betina dara dan calon pejantan yang akan digunakan sebagai pengganti tetua (Cole, 1975; Lasley, 1978). Bobot setelah sapih yang dapat disesuaikan adalah pada bobot setahun (365±35 hari), bobot 452±52 hari, dan bobot 550±50 hari (BIF, 1986). Oleh karena cukup sulit melakukan penimbangan di lapangan dan juga telah diketahui adanya hubungan positif antara ukuran tubuh dengan bobot badan maka bobot badan dapat diperkirakan melalui ukuran tubuhnya. BIF (1986) juga melakukan penyesuaian ukuran tubuh yakni tinggi pinggul
(hip height) untuk umur sapih dan umur 365 hari. Atas dasar ini dapat juga
dilakukan penyesuaian umur dan ukuran-ukuran tubuh lainnya. Masalahnya, untuk melakukan penyesuaian tersebut adalah belum tersedianya catatan kelahiran ternak rakyat secara menyeluruh. Untuk mengatasi kekurangan data ternak rakyat maka umur ternak dapat diduga melalui kondisi giginya. Menurut pengalaman beberapa peternak, gigi sapi Bali I0 berumur sampai 1,5 tahunan dan I1 berumur di atas 1,5 tahunan sampai 2,0 tahunan. Sapi Bali dengan gigi I1 ada yang sudah dikawinkan dan ada yang belum dikawinkan. Dengan kondisi seperti ini maka sapi Bali dengan gigi I1 dijadikan sebagai ternak bibit yang akan menggantikan tetua afkir sedangkan yang bergigi I0 dijadikan sebagai calon bibit. Ternak bibit jantan sangat perlu diuji libido dan kualitas spermanya. Hal yang umum terjadi di lapangan adalah bahwa jual-beli sapi untuk bibit adalah yang bergigi I0 (calon bibit) dengan batas tinggi pundak saja. Ini artinya bahwa seleksi telah terjadi pada sapi bergigi I0. Oleh karena itu agar peternak mendapat nilai tambah dan mencegah hilangnya sapi bergigi I0 terbaik maka klasifikasi bibit dilakukan terhadap sapi bergigi I0.
Pengadaan Sapi Bibit Sebenarnya cara pengadaan sapi bibit sangat sederhana yakni mempertahankan sapi terbaik dimasyarakat, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mempertahankannya di masyarakat. Komitmen yang kuat terutama pemerintah dan juga peternak akan pentingnya ternak bermutu baik sangat diperlukan, artinya pemerintah bersedia menjaring, mengadakan/membeli ternak terbaik milik peternak dan memanfaatkannya secara optimal untuk perbaikan mutu sapi rakyat. Peternak bersedia mempertahan sapi terbaiknya dan memanfaatkannya secara optimal paling tidak pada kelompoknya. Berkaitan dengan program NTB BSS maka ternak terbaik yang lebih perlu dipertahankan/diseleksi adalah pejantan sedangkan ternak betina, semua yang bisa beranak adalah 7
baik. Artinya, tidak ada seleksi terhadap sapi betina atau tidak ada sapi betina yang disingkirkan dari kelompok atau wilayahnya. Sapi betina digunakan untuk menghasilkan anak dalam rangka peningkatan populasi. Seleksi dilakukan lebih ketat terhadap pejantan karena seekor pejantan dapat menghasilkan anak lebih dari seekor dalam setahun sedangkan seekor sapi betina menghasilkan anak seekor dalam setahun sehingga penyebaran mutu genetik yang dimiliki si pejantan menjadi lebih luas dan cepat. Yang perlu dilakukan pada sapi induk adalah mempertahankannya semaksimal mungkin dalam pemeliharaan selama daya reproduksinya masih baik. Umumnya pada induk sapi Bali dapat dipertahankan minimal sampai 7 kali beranak dan maksimal sampai 10 kali beranak asalkan pakan yang dikonsumsi cukup dari segi kuantitas dan kualitas. Untuk menduga berapa jumlah calon pejantan/pejantan yang diperlukan agar semua ternak betina dewasa/induk dapat beranak setahun sekali sangat bergantung pada cara pemeliharaan, tujuan pemeliharaan, dan cara perkawinannya yang selanjutnya akan mempengaruhi angka kelahiran hidup (calf crop) dan lama penggunaan ternak dalam pembiakan. Secara logika, seekor ternak betina akan bunting yang selanjutnya beranak secara periodik jika ia bisa kawin pada saat yang tepat dan didukung dengan cukup pakan. Beranak setahun sekali bukan berarti bahwa dalam satu tahun kalender semua betina dewasa beranak sehingga angka kelahiran dalam setahun tidak akan 100%. Informasi dari beberapa peternak menyatakan bahwa sapi Bali dapat beranak setiap 11 bulan. Pernyataan peternak tersebut sesuai dengan laporan Dispet Provinsi NTB dan Fapet Unram (2006) yang mendapatkan angka kelahiran sebesar 72,63%. Pada kelompok peternak yang dikoordinasi oleh ACIAR-SADI SMAR/2006/096 mendapatkan angka kelahiran sebesar 86,9%. Peningkatan angka kelahiran pada kelompok ACIAR nampaknya disebabkan adanya intervensi manusia yang tinggi dalam bentuk tersedianya pejantan dan pengaturan perkawinan serta penyediaan pakan yang cukup untuk bereproduksi.
Model Pembibitan Sapi Bali Rakyat Sebelum membahas model pembibitan dirasakan perlu untuk dikemukakan beberapa istilah yang terkait dengan pembibitan menurut Permentan (2006) sebagai berikut: 1)
Pembibitan adalah suatu kegiatan budidaya menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjual-belikan,
2)
Bibit ternak adalah semua hasil pemuliaan ternak yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan,
3)
Seleksi adalah kegiatan memilih tetua untuk menghasilkan keturunan,
4)
Uji performans adalah pengujian untuk memilih ternak bibit berdasarkan sifat kualitatif dan 8
kuantitatif meliputi pengukuran, penimbangan, dan penilaian, 5)
Wilayah sumber bibit adalah suatu agroekosistem yang tidak dibatasi oleh administrasi pemerintahan dan mempunyai potensi untuk pengembangan bibit ternak dari spesies atau rumpun tertentu,
6)
Bibit dasar (elite/foundation stock) diperoleh melalui proses seleksi rumpun atau galur yang mempunyai nilai pemuliaan di atas nilai rata-rata,
7)
Bibit induk (breeding stock) diperoleh dari proses pengembangan bibit dasar,
8)
Bibit sebar ( commercial stock) diperoleh melalui pengembangan bibit induk. Selanjutnya Permentan (2006) juga memberikan persyaratan untuk menjamin mutu bibit
ternak secara umum dan khusus. Untuk ternak sapi potong, persyaratan umumnya adalah: 1) Sapi bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata (kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya, 2) Semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kamandulan, 3) Sapi bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat kelaminnya. Persyaratan umum sifat kualitatif Bibit Sapi Bali menurut SNI (2008) telah diungkapkan pada bagian Ciri-Ciri Sapi Bali. Untuk persyaratan khusus sapi Bali dapat dilihat pada Tabel 1. Permentan (2006) juga menentukan tentang: 1) sarana dan prasarana yang meliputi lokasi, lahan, sumber air, bangunan dan peralatan, obat, dan tenaga kerja, dan 2) proses produksi bibit. Dari pengertian dan ketentuan Permentan (2006) dan SNI (2008) tersebut nampak jelas bahwa untuk menghasilkan ternak bibit diperlukan suatu kegiatan yang terencana secara baik dan mungkin sangat baik. Jika menggunakan semua ketentuan yang ada tersebut, pertanyaannya adalah “siapa yang akan mengerjakannya dan kapan dikerjakan”?. Upaya perbaikan mutu ternak dan mengangkat eksistensi ternak lokal, dalam hal ini sapi Bali telah dimulai sejak tahun 1975 an, diantaranya oleh pemerintah dengan membentuk Pusat Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali yang berlokasi di Pulau Bali (Kabupaten Jembrana) yang sekarang bernama Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali dan Pulau Sumbawa (Kabupaten Dompu). Upaya ini nampaknya belum memberikan hasil yang memadai/memuaskan yang kemungkinan disebabkan karena belum adanya kesepahaman antara tujuan pemerintah dengan tujuan peternak. Eksistensi ternak, bahkan fauna dan flora lokal harus tetap diupayakan selain agar keturunan manusia dikemudian hari masih tetap mengetahui, juga untuk menjaga jika dikemudian hari kondisi lingkungannya kembali lagi seperti saat ini. Oleh karena itu berikut ini dikemukakan suatu model pembibitan sapi Bali dengan memanfaatkan sistem pemeliharaan yang telah familier dilakukan oleh peternak yang disebut “Model Pembibitan Sapi Bali Berbasis Kandang Kelompok”. 9
Prinsip kerja model pembibitan adalah “satu langkah” (one-tier). Sebagai ilustrasi model, digunakan semua kondisi yang ada pada kelompok peternak yang dikelola oleh ACIAR di Pulau Lombok. Semua aset yang ada, terutama ternak merupakan satu kesatuan dan produk yang dihasilkan yang dapat diuangkan merupakan hak bersama yang akan dibagikan kepada setiap peternak sesuai dengan jumlah induk yang menghasilkan anak setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang disepakati bersama dengan tetap memperhatikan peternak yang induknya tidak beranak pada tahun tertentu. Pada dasarnya aturan pembagian hasil disepakati bersama. Terdapat 36 kelompok peternak dengan jumlah induk saat ini sebanyak 1.211 ekor dan pejantan 36 ekor. Ternak induk merupakan milik peternak sedangkan pejantan, awalnya merupakan bantuan ACIAR namun selanjutnya menjadi milik kelompok. Pejantan hanya digunakan selama 6 bulan kemudian dijual sedangkan pejantan tahun berikutnya dibeli dari luar kelompok (beli di pasar) dari hasil penjualan pejantan sebelumnya ditambah dengan kas kelompok. Setiap kelompok terdapat hanya satu ekor pejantan. Pejantan digunakan dalam pembiakan selama setahun, walaupun kenyataannya hanya digunakan selama enam bulan, sehingga setiap tahun dilakukan penggantian pejantan. Induk diduga digunakan dalam pembiakan sampai umur 8 - 10 tahun atau rata-rata sampai umur sembilan tahun sehingga lama penggunaan induk dalam pembiakan selama 7 (tujuh) tahun. Pejantan dan induk beranak pertama diperkirakan umur 2,5 tahun. Rasio kelamin pedet 1:1. Angkaangka teknis berikut ini dianggap tetap. Angka kelahiran sebesar 86,9% pertahun dengan angka kematian hingga umur sapih 7,9% pertahun. Tidak ada kematian ternak setelah umur sapih. Jumlah pedet yang lahir pertahun dengan ciri kualitatifnya (warna) tidak sesuai kriteria bibit sebanyak 14,9%. Populasi induk dan pejantan tetap dari tahun ketahun. Seleksi dilakukan pada umur sapih. Angka kemajiran tidak ada. Pada model ini diterapkan bahwa ternak pengganti baik pejantan maupun induk berasal dari keturunan semdiri agar dapat diketahui pengaruh model terhadap perbaikan mutu ternak. Disarankan agar sedapatnya ketentuan yang dibuat dalam Lampiran 1 dapat diterapkan agar ketika program pemerintah Uji Performan berjalan di Tahun 2010, maka Pemda NTB langsung dapat berintegrasi secara langsung. Berdasarkan informasi tersebut, dapat diketahui data-data yang diperlukan yakni net calf crop sesuai kriteria bibit (net calf crop), lama penggunaan induk dalam pembiakan, jumlah ternak pengganti, dan kelebihan ternak. Net calf crop sebesar (86,9 – 7,9 - 14,9)% = 64,1% yang terdiri dari 32,05% jantan dan 32,05% betina. Lama penggunaan induk adalah 7 (tujuh) tahun (ini adalah nilai rataan jika ada induk yang mampu melebih tahun produktif tujuh tahun dan beranak setiap tahun maka sebaiknya induk tersebut dipertahankan). Jumlah pejantan pengganti pertahun sebesar 36/1211 x 100 % = 2,97% sedangkan induk pengganti sebanyak 1211/7/1211 x 100% = 14,29%. 10
Dengan demikian terdapat kelebihan ternak untuk pedet jantan umur sapih sebanyak 29,08% dan betina 17,7%. Pedet yang lebih ini merupakan ternak afkir yang dapat menjadi sumber pendapatan bagi seluruh kelompok. Ternak afkir juga berasal dari induk dan pejantan. Untuk lebih jelasnya dapat dilhat pada Gb.1. Sama halnya dengan induk, jika terdapat pejantan yang memiliki keunggulan yang signifikan melebihi pejantan lainnya sebaiknya tetap dipertahankan dalam kelompoknya atau dijadikan sebagai penghasil sperma.
Tetua Pejantan Induk 36 ekor 1.211 ekor (100%)
Net Calf Crop 64,10% = 776 ekor
Jantan 32,05% = 388 ekor
Pedet
Betina 32,05% = 388 ekor
2,97% = 36 ekor
Pengganti
29,08% = 352 ekor 2,97% = 36 ekor
Afkir: Muda 17,76% = 215 ekor Tua 14,29% = 173 ekor
14,29% = 173 ekor
Gb. 1. Alur Kebutuhan dan Pengeluaran Ternak Dari Gb.1 dapat diketahui perkiraan jumlah ternak afkir yang dapat dijadikan uang sebagai pendapatan peternak yang ternyata sama dengan jumlah pedet yang lahir yakni sebanyak 64,10% (776 ekor) dengan rincian sebagai berikut: 1) untuk ternak jantan umur sapih sebanyak 29,97% (352 ekor) dan umur tua, sekitar umur 3,5 tahun sebanyak 2,97% (36 ekor), 2) untuk ternak betina umur sapih sebanyak 17,76% (215 ekor) dan umur tua, sekitar umur 10 tahun sebanyak 14,29% (173 ekor). Jika semua ternak ini akan diuangkan (jual), disarankan agar sebelum dijual dipelihara lebih baik (digemukkan) dahulu agar mendapat nilai tambah. Jika konsep ini dapat berjalan sesuai rencana, maka pada tahun ketujuh akan diperoleh komposisi atau struktur ternak menurut kelompok umur secara hipotetis yang ada pada kelompok seperti nampak pada Tabel 3.
11
Tabel 3. Struktur Ternak Menurut Umur Kelompok Ternak
Jumlah Ternak Menurut Kelompok Umur (ekor) Sapih 1,5
2,5
3,5
4,5
5,5
6,5
7,5
8,5
173
173
173
173
173
173
Betina
173
173 173
Jantan
36
36
36
Jumlah (ekor) 1557 108
Inbreeding adalah hal yang tidak diharapkan terjadi pada usaha ternak terutama ternak besar seperti pada ternak sapi sehingga diperlukan suatu rancangan pengaturan perkawinan. Pada model pembibitan ini, digunakan rancangan pengaturan perkawinan “bergilir” (Gb. 2), maksudnya, pejantan yang lahir pada suatu kelompok digunakan pada kelompok lain, demikian seterusnya sehingga keturunan seekor pejantan akan kembali digunakan pada kelompok asalnya diperkirakan masih mempunyai kandungan genetik (darah) tetuanya sebesar (½)36 yang sudah demikian rendahnya sehingga dianggap tidak ada.
K1
K36
K2
DST
K3
K6
K4
K5
Gb. 2. Alur Penggunaan Pejantan untuk Cegah Inbreeding Pejantan yang lahir pada K1 dipelihara dan digunakan untuk mengawini induk K2, demikian juga bagi pejantan yang lahir dari K2 dipakai oleh K3, dst., sehingga keturunan pejantan dari K1 pada saat digunakan kembali pada K1, materi genetik awalnya (K1) tinggal (½)36. Agar model pembibitan ini (Gb. 1, dan Gb.2) dapat dilaksanakan sesuai rencana, diperlukan beberapa persyaratan antara lain: 1) Syarat keharusan yaitu syarat yang harus dimiliki oleh setiap anggota baik dalam 12
kelompok maupun antar kelompok. Syarat ini adalah adanya komitmen yang kuat dan jelas untuk bersedia menerima dan memberi atau menjual dan membeli dengan harga yang sesuai namun saling tidak memberatkan (harga damai) dan menggunakan secara optimal pejantan terseleksi dari kelompok lain secara terus-menerus. Cara penggunaan dan perawatan pejantan paling tidak sama seperti yang saat ini dilakukan, 2) Syarat Kecukupan/Kebijakan meliputi: a) adanya insentif bagi peternak atau kelompok peternak yang tidak menjual ternak calon bibit atau ternak bibit kepada pihak di luar kelompok. Karena sapi Bali merupakan Icon Daerah NTB, maka selayaknya insentif ini menjadi kewajiban Pemda Propinsi NTB atau Kabupaten c.q. Dinas Peternakan atau Dinas terkait, b) tata cara penjualan ternak terutama calon bibit atau bibit perlu ditata sedemikian rupa sehingga peternak merasakan adanya nilai lebih yang cukup berarti karena memelihara ternak calon bibit atau ternak bibit. Salah satu tata cara pemasaran adalah dengan penjualan sistem “lelang”, c) ternak calon bibit atau bibit yang masuk Kelas I menjadi tanggung-jawab Pemda agar tidak keluar dari kelompok atau keluar wilayah NTB, apapun alasannya baik yang berasal dari peternak maupun Pemda. Bila memungkinkan, ternak Kelas III saja yang dapat dikeluarkan sebagai ternak bibit untuk keperluan daerah lain, 3) Peran kelompok, bersedia melakukan recording yang baik dan benar terhadap ternak dalam kelompoknya, terutama terhadap ternak jantan. Recording minimal untuk hal-hal yang terkait dengan kelahiran, seperti tanggal lahir dan bobot lahir, dan asal-usulnya (silsilah). Akan sangat baik jika pencatatan hingga umur sapih dan setelah sapih, 4) Peran pemerintah adalah sebagai fasilitator, motivator, dan koordinator baik yang bersifat pisik maupun non-pisik, 5) Peran swasta, terutama organisasi atau lembaga yang bergerak dibidang peternakan bersedia membantu agar upaya perbaikan mutu ternak dapat tercapai yang selanjutnya berdampak positif terhadap perbaikan kesejahteraan peternak dan juga pihak swasta. Disamping itu, juga diharapkan kesediaan pihak swasta untuk memberi nilai lebih yang cukup berarti bagi ternak calon bibit atau ternak bibit. Selanjutnya bila model pembibitan ini telah mantap, diperlukan lagi suatu tempat untuk menguji calon-calon ternak bibit terutama yang jantan (Stasiun Uji Performans, SUP) sebelum dikembalikan ke kelompok. Pendirian SUP menjadi tanggung jawab pemerintah namun pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama antara peternak dengan pemerintah. Pejantan terbaik hasil SUP dijadikan ternak penghasil semen beku.
Klasifikasi Ternak Bibit 13
Dengan asumsi kualitas pedet yang lahir mengikuti kurve normal maka sekitar 50% nya berada pada jenjang rata-rata ke atas yang dapat didistribusikan misalnya menjadi 5% terbaik I sebagai Kelas I; 15% berikutnya jadi Kelas II; dan 30% terakhir sebagai Kelas III. Cara lain adalah dengan menambah atau mengurangi rata-rata (X) dengan satu-satuan angka dari simpangan bakunya (SB), misalnya X–SB = Kelas III; X = Kelas II; dan X+SB = Kelas I. Cara berikutnya menggunakan
suatu
nilai
tertentu
sebagai
pengganti
nilai
rata-rata
yang
kemudian
ditambahkan/dikurangi dengan SB seperti cara kedua. Contoh penerapannya: Pada cara pertama, data ternak diurut mulai dari terbaik hingga kebatas rata-rata terrendah lalu dikelompokkan sesuai persentase setiap kelas. Untuk cara kedua, dengan mengambil contoh tinggi pundak sapi betina gigi I0 laporan Disnak Prop NTB dan Fapet Unram (1993) yakni 103,99±4,09 maka klasifikasi ukuran tinggi pundak sebagai berikut: Kelas I minimal 108 cm; Kelas II minimal 104 cm, dan Kelas III minimal 100 cm. Cara ketiga dengan data yang sama dengan cara kedua dengan nilai pengganti rata-rata misalnya 102 cm, maka ternak Kelas I tinggi pundak minimal 106 cm; Kelas II minimal 102 cm; dan Kelas III minimal 98 cm. Ternak-ternak pada Kelas I terbaik dimasukkan pada Pos IB, sisanya, jika kurang ditambah dengan ternak Kelas II terbaik masuk kepopulasi, sedangkan sisa ternak Kelas II plus Kelas III yang dikeluarkan sebagai bibit untuk daerah lain. Diingatkan kembali, jika program suatu wilayah adalah peningkatan populasi seperti program NTB BSS, maka semua ternak betina atau sekian persen ternak betina yang boleh keluar NTB, sedangkan ternak jantan dapat dikeluarkan sesuai perhitungan.
Sertifikasi Bibit
Menurut Permentan (2006), sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan nilai ternak yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi. Jika belum ada lembaga sertifikasi yang terakreditasi, sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang. Sertifikat bibit sapi potong terdiri dari sertifikat untuk: 1) proven bull untuk sapi jantan hasil uji progeny, 2) pejantan dan betina unggul untuk sapi hasil uji performans, dan 3) induk elite untuk sapi induk yang telah terseleksi dan memenuhi standar. Pertanyaannya, 1) siapakah atau lembaga mana
14
yang berhak melakukan akreditasi, dan 2) lembaga yang bagaimana yang boleh mendapat hak melakukan sertifikasi, apakah lembaga pemerintahan atau lembaga non-pemerintahan?. Melihat hingga saat ini belum ada suatu usaha ternak yang bergerak pada usaha pembibitan sapi potong dan belum jelasnya lembaga-lembaga yang terkait dengan sertifikasi, maka nampaknya niat melakukan sertifikasi pada sapi potong masih membutuhkan waktu yang panjang. Walaupun demikian niat baik ini perlu terus dipikirkan dan diupayakan sesuai kondisi peternakan sapi potong yang ada di Indonesia. Lembaga yang dibentuk baik yang berhak melakukan akreditasi atau sertifikasi harus bekerja secara profesional agar memberikan hasil yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu, maka sebaiknya lembaga yang berhak melakukan: 1) akreditasi terdiri dari unsur pemerintahan dan swasta yang bergerak pada usaha pembibitan (jika ada), dan 2) sertifikasi terdiri dari unsur pemerintahan, peternak, dan pengusaha pembibitan. Unsur pemerintahan terdiri dari Ditjen/Dinas terkait, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian ternak. Sebagai koordinator berasal dari pihak Ditjen/Dinas Peternakan.
Penjaringan Ternak Pejantan Terpilih
Sebaiknya pejantan terpilih yang telah diseleksi sejak dari lahir dan diikuti pertumbuhannya sampai mendapat sertifikat, dijaring oleh pemerintah dan ditempatkan pada tempat yang lebih baik (atau tetap pada peternak) tetapi terus dikontrol kesehatannya agar tidak menjadi sumber penyakit bagi kelompok ternak yang menggunakannya. Pejantan yang super (terbaik nomor satu) sebaiknya diambil untuk ditempatkan di pusat BIB daerah agar dapat digunakan secara lebih luas guna mempercepat perbaikan genetic. Uji performan seharusnya berjalan secara teratur dan berkesinambungan, sehingga dana penjaringannyapun perlu dianggarkan setiap tahun.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan yang dapat diajukan antara lain: 1. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang memiliki keunggulan tertentu sehingga mendapat julukan sapi perintis yang disinyalir telah mengalami penurunan mutu. 2. Jual-beli sapi Bali untuk bibit umumnya terjadi pada umur sapih (calon bibit, gigi I0) 3. Penyebab turunnya mutu sapi Bali masih kontrovesial, apakah karena mutu lingkungan, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal dan atau karena mutu genetik sebagai akibat seleksi negatif dan inbreeding pada kelompok ternak tertentu yang menerapkan perkawinan
15
sistem tertutup. 4. Kriteria sapi Bali bibit mengalami perubahan dari waktu kewaktu yakni berbeda antara kriteria Ditjennak (1982) dengan Permentan (2006) namun kini dengan munculnya SNI bibit sapi Bali nomor 7355:2008 maka Indonesia telah mempunyai suatu standard yang baku untuk saat sekarang. 5. Model Pembibitan Sapi Bali Berbasis Kandang Kelompok merupakan salah satu cara atau alternatif untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu sapi Bali melalui klasifikasi ternak yang disetujui oleh peternak.
Saran yang dapat diajukan antara lain: 1. Pemerintah tidak henti-hentinya mencari model atau upaya lain agar sapi Bali dapat terus berkembang dan meningkat mutunya sehingga eksistensinya berkelanjutan dan peternaknya lebih sejahtera. 2. Sebaiknya kriteria sapi Bali bibit terutama sifat kualitatif tetap, jelas dan lebih disederhanakan atau tidak terlalu rinci agar lebih mudah evaluasinya dan jumlah sapi rakyat yang tergolong bibit lebih banyak 3. Klasifikasi sapi Bali sebaiknya dilakukan pada umur sapih (calon bibit, gigi I0) karena jualbeli umumnya dilakukan pada umur ini. 4. Klasifikasi ternak sebaiknya menggunakan rata-rata dan simpangan baku sehingga dapat diduga kemajuan genetiknya jika dilakukan seleksi. 5. Kebutuhan ternak jantan dalam penyebaran mutu genetik jauh lebih rendah dibandingkan ternak betina, oleh karena itu seleksi ternak jantan jauh lebih ketat dibandingkan ternak betina. Upaya menjaring dan mempertahankan ternak jantan terseleksi harus dipikirkan dan direncanakan sebaik-baiknya dan seharusnya menjadi tanggung-jawab pemerintah karena tanggung-jawab memelihara terutama induk dan keturunannya dilakukan oleh peternak.
DAFTAR PUSTAKA
BIF., 1986. Guidelines for Uniform Beef Improvement Programs, Beef Improvement Federation. 5 ThEd. BPS, 2009. Statistik Indonesia . Jakarta. www.data-staistik-indonesia.com. Cole, V.G., 1975. Beef Production Guide. The Graziers Association of New South Wales. dari Pulau Lombok. Jur. Penelitian Unram, Vol. 1, No.2:1-10. Dirbit, 2009. Proposal Penetapan Sapi Bali sebagai Galur Sapi Asli Indonesia. Dipresentasikan di Bogor, pada tanggal 26 November, 2009. (submitted untuk penetapan galur tersebut ke Mentan) 16
Dirbit, 2009a. Konsep uji performan sapi potong di Indonesia. Dipresentasikan tanggal 25 November, 2009. Bogor. Direktur BTR, 2009. Rencana strategis pencapaian swasembada daging sapi di Tahun 2014. Presentasi di Lolit Sapi Potong Grati, Pasuruan, Jatim, 6 November 2009. unpublished. Disnak Prov NTB dan Fapet Unram, 1993. Performan (Ukuran-Ukuran Tubuh) Sapi Bali dalam Rangka Pemantapan Standar Bibit Sapi Potong di Propinsi NTB. -------, 2006. Profil Produksi, Reproduksi dan Produktivitas Ternak Sapi Bali di NTB. Ditjennak, 1982. Pembinaan Sumber Bibit Sapi Potong. Deptan. Dwipa, I.B.G., IP, Sudrana, L.M. Kasip, M. Yasin, dan A. Fachri., 1988. Performan Produksi Sapi Bali yang Diantarpulaukan dari Pulau Lombok. Laporan Penelitian, Depdikbud, Fak. Peternakan Unram. Dwipa, I.B.G dan B.D. Sarwono, 1992. Musim dan Bobot Badan Sapi Bali yang Diantarpulaukan dari Pulau Lombok. Jur. Penelitian Unram, Vol. 1, No.2:1-10. Lasley, J.E., 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3 rd Ed. Prentice Hall of India Private Limited New Delhi-110001. Leighton, E.A., R.L. Wilham, dan P.J. Birger, 1982. Factors Influencing Weaning Weight in Hereford Cattle and Adjustment Factors to Correct Record for these Effect. J. Anim., Sci. 54:957-963. Martojo, H., 1977. Kebijaksanaan Pemuliaan Ternak di Indonesia. Lamp. I. Cuplikan dari Working Group Pemikiran Kerangka Kebijaksanaan Produksi Peternakan. Paper B-3, Direktorat Bina Program, Ditjennak. Mason, I.L., dan V. Buvanendran, 1982. Breeding Plan for Ruminant Livestock in the Tropics. FAO-Animal Production and Health Paper. FAO of the United Nations, Rome. Permentan, 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). No:54/Permentan/OT.140/10/2006. 20 Oktober 2006. Peternakan Unram. Prasetyo, S dan IP. Sudrana, 2001. Peningkatan Produksi Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat Melalui Pemuliaan Ternak. Makalah Seminar Sehari, Mengembalikan Propinsi NTB Menjadi Daerah Pengekspor Ternak. Fak. Peternakan Unram. Prasetyo, S., IP. Sudrana, L.M. Kasip, Lestari, dan Rahma Jan, 1992. Pengamatan Sifat Kualitatif dan Kuantitatif pada Sapi Bali. Lap. Penelitian, Depdikbud, Fak. Peternakan Unram. SNI, 2008. Standard bibit sapi Bali. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Sudrana, IP, C. Syamsuddin, L.M. Kasip, T. Sugiharto, dan Lestari, 1989. Pengamatan Sifat Genetik Sapi Bali di Kabupaten Lombok Barat. Lap. Penelitian, Depdikbud. Fak. Peternakan Unram. Sudrana, IP., I.B. Dania dan IN. Sadia, 2001. Meningkatkan Daya Saing Sapi Bali Di Era Pasar Global. Seminar Nasional Ruminansia “Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Usaha Peternakan Ruminansia dalam Era Perdaganagan Bebas”. Semarang, 10 April. Jur. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Ed, April 2001. ISSN 0410-6320, Terakreditasi. Talib dan Guntara, 2009. Penyediaan Daging Nasional dalam Ketahanan Pangan Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 11-12 Nopember. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hal: 44-51. Warwick, E.J. dan J.E. Legates, 1979. Breeding & Improvement of Farm Animals. TMH Ed., Tata McGraw-Hill Publishing Company LTD, New Delhi. Warwick, E.J., J. M. Astuti, dan W. Hardjosubroto, 1984. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Zuhadi, L., 1990. Ukuran-Ukuran Tubuh Sapi Bali Berdasarkan Sifat Kualitatif (warna tubuh) di Kabupaten Lombok Timur. Skripsi Fak. Peternakan Unram
17
Lampiran 1. Rekording/pencatatan untuk seleksi calon pejantan dan calon induk (diadaptasikan dari konsep Uji Performan sapi potong yang Insta Allah akan berjalan pada Tahun 2010 (Dirbit, 2009a) Untuk melakukan seleksi calon pejantan dan calon induk dilakukan pencatatan yang meliputi : berat badan, tinggi gumba/pundak, lingkar dada, panjang badan sejak pedet dilahirkan, umur sapih dan sampai umur 1 tahun. 1. Pada saat kelahiran Materi yang dicatat meliputi : 1). Identifikasi. Setiap pedet yang lahir diberi nomor atau tanda dan dicatat, yang meliputi : a). Tanggal lahir b). Jenis kelamin c). Identitas bapak (kode semen) d). Identitas induk. 2). Berat Lahir. Penimbangan berat lahir pedet dilakukan pada saat kelahiran atau selambat-lambatnya 2 hari setelah sapi lahir. 2. Umur sapih Materi yang dicatat pada umur sapih meliputi : 1). Berat sapih Penimbangan dilakukan pada saat pedet berumur 5 sampai 8 bulan yang kemudian distandarisasi pada umur 205 hari. 2). Ukuran ternak Pengukuran yang dicatat meliputi tinggi gumba/pundak, lingkar dada, panjang badan. 3). Pengolahan data dilakukan oleh yang mampu. Berdasarkan hasil pengolahan data dilakukan seleksi dengan tahapan seleksi sebagai berikut : a. Seleksi Calon Pejantan a). Seleksi dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali untuk memperoleh pejantan yang baik mutu genetiknya,
18
b). Dari seluruh calon pejantan yang dicatat pada umur sapih dipilih 50% terbaik berdasarkan berat sapih 205 hari.; c). Pedet jantan yang terpilih tetap dipelihara dan akan diberi identitas untuk dilakukan pengamatan dan pencatatan sampai umur 1 (satu) tahun, Diharapkan pedet jantan terpilih tidak dijual atau dimutasikan; d). Pedet jantan yang tidak terpilih sebagai bakal calon pejantan akan dikeluarkan dari program uji performan e). Seleksi dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Dinas yang terkait; Pejantan-pejantan yang terpilih dicatat sebagai Calon Pejantan terpilih. 2). Seleksi Calon Induk a. Seleksi dilakukan setiap 3 bulan untuk mencari pedet betina yang mempunyai berat 205 hari yang melebihi rata-rata pedet betina dikelompoknya sebanyak 90%. b. Seleksi dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Dinas yang terkait; c. Seleksi ini digunakan untuk menilai induknya dan sebagai usaha untuk mendapatkan induk unggul; d. Pedet betina yang tidak terpilih tidak dilakukan afkir melainkan tetap dipelihara untuk mempertahankan dan mengembangkan populasi di daerah yang bersangkutan; e. Pedet betina yang terpilih diberi identitas, dipantau perkembangannya dan dilakukan pengamatan sampai umur 365 hari, untuk mendapatkan calon induk pada suatu lokasi atau dapat juga dibeli oleh UPTD. Calon induk yang terpilih sebagai Calon Induk terpilih. 3. Umur 1 (satu) tahun. Materi yang dicatat pada sapi berumur 1 (satu) tahun atau 365 hari sebagai berikut : 1). Berat umur 1 (satu) tahun Penimbangan dilakukan pada saat sapi umur 10 sampai 13 bulan dan distandarisasi pada umur 365 hari. 2). Ukuran ternak Pengukuran yang dicatat meliputi tinggi gumba/pundak, lingkar dada, panjang badan. Dari data yang terkumpul diolah oleh yang mampu: 1). Hasil pengolahan data semua sapi yang berumur 1 (satu) tahun disusun berdasarkan jenjang prestasinya.
19
2). Pedet jantan yang diseleksi untuk mengikuti Uji Performan (kalau bisa dilakukan) atau diseleksi selanjutnya adalah 5 % dari pedet jantan terbaik. 3). Pedet jantan yang terseleksi dijaring ke kelompok atau institusi terkait dengan cara dibeli, bekerjasama dengan Dinas Peternakan setempat. 4) Pedet betina yang terbaik dijaring sesuai kebutuhan untuk dibangun elite herd (kelompok ternak terbaik) Penimbangan dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali dengan menggunakan alat timbangan ternak, apabila tidak ada alat timbangan ternak dapat digunakan pita ukur yang dikonversikan dengan berat badan. Pencatatan dilakukan oleh rekorder sesuai dengan wilayah kerjanya masing-masing. Petugas yang ditunjuk untuk melakukan pencatatan adalah petugas yang telah mengikuti pelatihan rekorder, atau petugas teknis yang memahami tentang rekording yang ditunjuk oleh pimpinan unit kerja.
20