107
Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat (The Effect Of Mangrove Forest for Tiger Shrimp Production (Penaeus monodon) in silvofishery pond in Tanjung ibus village sub-district Secanggang District of Langkat) ZAINURI SYAM1, YUNASFI2, MARAGUNUNG DALIMUNTHE2 1. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara 2. Staf Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT The purpose of this research was to determine the effect of mangrove forests with different densities to the production of tiger shrimp and the factor effect were production of tiger shrimp in silvofishery pond. This study conducted in silvofishery pond in Tanjung Ibus village, Sub-district Secanggang, District of Langkat on Mei untilt October 2013, by using 2 research stations. Pond 1 was a pond with high density, and pond 2 was a pond with low density. Mangrove vegetation analysis has been done by measuring the density of seedlings, saplings and tree in each research station. Water quality and plankton sampling performed at each pond in 2 station at the inlet and the center of the pond. Sampling has been done 4 times, when the fry will bes tocked, two-month preservation period, four-month preservation period and five-month preservation period. tiger shrimp production data obtained from direct observations during the harvesting process. Mangrove density in ponds 1 for seedlings was 202 ind/ha, saplings 111 ind/ha, and tree level 958 ind/ha. Mangrove density in ponds 2 for seedlings was 56 ind/ha, saplings 272 ind/ha, and tree level 47 ind/ha. The water quality in pond 1 in general of the criteria for the aquaculture tiger shrimp be based on The Decision Minister of Marine and Fisheries No : 28 in 2004. Abundance of plankton in the pond 2 was higher than the pond 1. Tiger shrimp production in pond 1 was 42 kg, and in pond 2 was 29 kg. Keyword : Mangrove, Plankton, Silvofishery, Tiger shrimp, Water quality.
PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut Odum (1971, diacu oleh Nur, 2002), hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas, memiliki rantai makanan yang mendukung kehidupan berbagai jenis makhluk dari tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang kompleks. Serasah mangrove yang tertimbun pada lantai hutan mengalami dekomposisi oleh berbagai organisme
untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah, serta sumber kehidupan fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen primer. Zooplankton, ikan, dan crustacea memanfaatkan fitoplankton dan detritus sebagai sumber makanan dalam kedudukannya sebagai konsumen primer pada siklus makanan, sebelum manusia sebagai konsumen terbesar. Mangrove mengangkut unsur hara dan detritus ke perairan pesisir sehingga produksi primer perairan di sekitar
108 mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Serasah daun, ranting, bunga, dan buah dari tumbuhan mangrove dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar perairan dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkat lebih tinggi seperti Bivalvia, Gastropoda, berbagai jenis ikan juvenil dan udang, serta kepiting (Gunarto, 2004) Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove. Kawasan hutan mangrove dianggap paling cocok untuk lokasi pertambakan. Dari berbagai studi, kemudian diusulkan agar pembukaan hutan mangrove untuk pertambakan tidak melebihi 30 % dari hutan mangrove yang tersedia (antara 10 – 20 %). Tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem kawasan pesisir (Kordi, 2012). Sekitar 25.000 hektar hutan mangrove yang berada di sembilan kecamatan pasisir pantai timur Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, kini kondisinya rusak. Kerusakan mencapai 25.000 hektar itu, termasuk yang rusak berat dan sedang, karena alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit maupun tambak. Kerusakan yang berada di Kecamatan Secanggang seluas 1.000 hektar (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, 2011). Walaupun ekosistem mangrove tergolong sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), namun bila pengalihan fungsi atau konversi dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat, tetapi juga tidak dapat berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut. Akibat dari tekanan berbagai kepentingan tersebut, terjadi kerusakan
hutan mangrove karena melebihi kapasitas daya dukungnya. Lebih dari lima puluh persen hutan mangrove mengalami kerusakan atau bahkan hilang sama sekali akibat berbagai faktor berikut : konversi hutan mangrove untuk peruntukan lainnya, pencemaran pesisir oleh sampah, bahan bakar minyak, industri, pertumbuhan dan perkembangan kota-kota pantai (beach city), dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan daratan dan lautan (Kustanti, 2011). Berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan pengembangan silvofishery (silvofishery) yang merupakan salah satu pilihan usaha yang dapat dikembangkan di ekosistem mangrove. Silvofishery adalah suatu bentuk usaha terpadu antara hutan mangrove dan budidaya perikanan air payau. Sistem ini merupakan budidaya perairan yang biayanya relatif rendah. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan mangrove tetap baik sementara budidaya air payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomis. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Oktober 2013 di tambak silvofishery Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi plankton dilakukan di Laboratorium Terpadu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah plankton net, ember plastik volume 10 liter, botol film, sedgewick rafter dengan ukuran panjang 50 mm, lebar 20 mm, dan tinggi 1 mm, pipet tetes, tisu, cover glass,
109 object glass, buku identifikasi plankton (A Guide to the Study of Freash Water Biology), mikroskop cahaya, thermometer, refraktometer, secchi disc, pH meter, DO meter, jaring, bambu, buku identifikasi mangrove (Handbook of Mangroves in Indonesia), kamera, GPS, dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benur udang windu pada masingmasing tambak sebanyak 21.000 ekor ukuran post larva (PL) 15, larutan lugol 4 %, dan kertas label.
03°55’43.886″ LU dan 098°31’34.345″ BT. Tambak 2, yaitu tambak dengan kerapatan mangrove rendah dengan luas 2.100 m2. Vegetasi mangrove terdapat pada bagian tengah dan tanggul tambak. Kedalaman tambak mencapai 40 cm, terletak pada 03055’38.630” LU dan 098031’44.837” BT.
Metode Pengumpulan Data Jenis Data
Pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan dengan cara mengamati vegetasi mangrove yang terdapat di dalam area tambak. Parameter yang diamati adalah jenis dan kerapatan vegetasi mangrove tersebut. Kerapatan mangrove merupakan jumlah individu mangrove per luas areal pengamatan (hektar). Pengukuran kerapatan mangrove dilakukan dengan cara menghitung seluruh vegetasi mangrove yang terdapat di dalam tambak.
Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi) dilokasi penelitian. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumendokumen hasil penelitian atau studi dan data pendukung lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dari dinas atau instansi terkait. Lokasi Titik Sampling Penentuan lokasi sampel berdasarkan perbedaan kerapatan mangrove yang ada di dalam tambak. Untuk menentukan kriteria kerapatan mangrove pada tambak silvofishery dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria kerapatan mangrove pada tambak silvofishery Kriteria Kerapatan (pohon/ha) Tinggi > 1000 Sedang 500 – 1000 Rendah < 500 Sumber : Wahab (2003) Deskripsi Area Tambak 1, yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang dengan luas 2.100 m2. Vegetasi mangrove terdapat pada bagian tengah tambak. Kedalaman tambak mencapai 80 cm, terletak pada
Pengambilan Data Vegetasi Mangrove
Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur di setiap lokasi pengambilan sampel kualitas air adalah suhu, kecerahan, salinitas, pH, dan DO. Pengambilan sampel kualitas air dilakukan pada setiap tambak sebanyak 2 stasiun yaitu pada bagian inlet dan bagian tengah tambak. Pengukuran kualitas air dilakukan sebanyak 4 kali pengamatan. Pengamatan ke-1 yaitu pada saat benur akan ditebar, pengamatan ke-2 yaitu dua bulan masa pemeliharaan, pengamatan ke-3 yaitu empat bulan masa pemeliharaan, dan pengamatan ke-4 yaitu lima bulan masa pemeliharaan. Waktu pengambilan sampel air dilakukan pada saat pagi hari pada jam 08.00 – 09.00 WIB. Pengumpulan data suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO dilakukan secara insitu. Kelimpahan Plankton Pengambilan data plankton dilakukan pada setiap tambak dengan
110 mengambil air sebanyak 25 liter kemudian dimasukkan kedalam ember plastik dan disaring dengan menggunakan plankton net No. 25. Volume yang tersaring adalah 50 ml dan dimasukkan ke dalam botol sampel. Pengambilan sampel plankton pada setiap tambak dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel kualitas air, yaitu dilakukan sebanyak 4 kali pengamatan. Pengamatan ke-1 yaitu pada saat benur akan ditebar, pengamatan ke-2 yaitu dua bulan masa pemeliharaan, pengamatan ke-3 yaitu empat bulan masa pemeliharaan, dan pengamatan ke-4 yaitu lima bulan masa pemeliharaan. Waktu pengambilan sampel air dilakukan pada saat pagi hari pada jam 08.00 – 09.00 WIB (Lampiran 3). Karena sampel yang diperoleh tidak langsung diamati, maka sampel tersebut diawetkan dengan larutan lugol 4 % sebanyak 3 tetes pada setiap botol sampel, kemudian masing-masing botol sampel diberi label. Kegiatan analisis plankton meliputi pengamatan sampel dibawah mikroskop dan diidentifikasi. Sampel yang akan diamati terlebih dahulu dikocok sampai homogen, kemudian dengan menggunakan pipet tetes diambil sebanyak 1 ml dan diletakkan di sedgewick rafter, kemudian ditutup dengan cover glass dan diletakkan di atas preparat lalu diamati di bawah mikroskop sebanyak tiga kali ulangan untuk menghitung kelimpahan plankton. Produksi Udang Windu Produksi udang windu didapat dengan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian setelah selesai proses pemanenan. Analisis Data Vegetasi Mangrove Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan mengukur kerapatan semai (permudaan pohon mulai dari kecambah sampai setinggi < 1,5 m), pancang (permudaan pohon dengan tinggi > 1,5 m dengan diameter < 10 cm), dan pohon (tumbuhan berkayu berdiameter >
10 cm) pada masing-masing tambak. Menurut Kordi (2012) kerapatan atau densitas adalah jumlah induvidu per unit luas atau per unit volume. Dengan kata lain, kerapatan atau densitas merupakan jumlah induvidu organisme per satuan ruang. Menurut Bengen (2000, diacu oleh Suryaperdana, 2011) untuk menganalisa data kerapatan vegetasi mangrove menggunakan rumus: N
K=A
Keterangan: K = Kerapatan vegetasi mangrove (ind./ha) N = Jumlah total individu (ind.) A = Satuan unit area yang diukur (ha) Kualitas Air Analisis data untuk mengetahui kelayakan kondisi kualitas air untuk budidaya udang windu adalah dengan membandingkan parameter fisika dan kimia pada setiap petak tambak berdasarkan kriteria pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria kualitas air untuk pemeliharaan budidaya udang windu. No. Parameter Satuan Nilai Fisika 0 1 Suhu C 28.5 – 31.5 2 Kecerahan Cm 30 – 40 Kimia 3 Salinitas ‰ 15 – 25 4 pH 7.5 – 8.5 5 DO Mg/l 3.0 – 7.5 Sumber : Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004 Kelimpahan Plankton Penentuan kelimpahan plankton dihitung dengan menggunakan rumus Sachlan dan Effendie (1972, diacu oleh Dianthani, 2003), sebagai berikut : N=n+
Vr 1 + Vo Vs
111 Keterangan: N = jumlah sel per liter n = jumlah sel yang diamati Vr = volume air tersaring (ml) Vo = volume air yang diamati (pada Sedgwick Rafter) (ml) Vs = volume air yang disaring (l) Produksi Udang Windu Produksi udang windu didapat dengan pengamatan secara langsung di
lokasi penelitian setelah selesai proses pemanenan, kemudian dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Vegetasi Mangrove Jenis-jenis dan kerapatan mangrove yang ditemukan berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove pada masing-masing tambak pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis-jenis dan kerapatan mangrove pada masing-masing tambak pengamatan Kerapatan Kerapatan Tingkatan Jenis Mangrove (ind/ha) Mangrove (ind/ha) Tambak 1 Tambak 2 Semai Acanthus ilicifiolus 47 Rhizhopora apiculata 155 56 Total 202 56 Pancang Nypa fruticans 23 Rhizophora apiculata 65 272 Sonneratia alba 23 Total 111 272 Pohon Rhizophora apiculata 817 Sonneratia alba 141 47 Total 958 47 Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove rendah Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air Hasil pengukuran parameter kualitas air pada masing-masing tambak pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengukuran parameter kualitas air pada tambak pengamatan No. Parameter Satuan Nilai Tambak 1 Tambak 2 Fisika 0 1 Suhu C 29 – 31 29 – 32 2 Kecerahan Cm 57 – 62.5 29.5 – 36 Kimia 3 Salinitas ‰ 7 – 10 7 – 9.5 4 pH 6.8 – 7.5 6.6 – 7.7 5 DO Mg/l 6.3 – 6.9 6.4 – 9.0 Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove rendah
112 Hasil Kelimpahan Plankton Berdasarkan hasil penelitian, kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih banyak daripada tambak 1. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 657.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 148.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 2 adalah 2283.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 344.707 ind/l. Hasil Produksi Udang Windu Berdasarkan hasil penelitian, produksi udang windu pada tambak 1 lebih banyak daripada tambak 2. Hasil produksi udang windu pada tambak 1 yaitu 42 kg/5 bulan (size 26) dan pada tambak 2 yaitu 29 kg/5 bulan (size 26). Pembahasan Analisis Vegetasi Mangrove Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove yang telah dilakukan, jenis Rhizhopora apiculata pada tambak 1 cenderung lebih dominan, baik untuk tingkat semai, pancang maupun pohon. Pada tambak 2 jenis R. apiculata cenderung dominan untuk pancang, sedangkan untuk pohon hanya ditemukan jenis Sonneratia alba. Jenis Rhizhopora apiculata yang ditemukan pada tambak 1 banyak ditemukan pada bagian tengah tambak dan pada tambak 2 banyak ditemukan pada bagian tanggul tambak. Mangrove jenis R. apiculata sering digunakan oleh petambak untuk ditanam pada areal tambak silvofishery, hal ini dikarenakan akar jenis R. apiculata yang kuat sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pada bagian tanggul tambak. Menurut Hikmawati (2000, diacu oleh Harahab, 2010) jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul dan di tengah/pelataran tambak adalah Rhizhopora sp. Kerapatan pohon jenis Rhizophora apiculata pada tambak 1 adalah 817 ind/ha. Kerapatan pohon jenis Sonneratia alba pada tambak 1 adalah 141 ind/ha,
sedangkan pada tambak 2 adalah 47 ind/ha. Penelitian yang dilakukan Zamroni dan Rohyani (2008) bahwa kerapatan pohon jenis Rhizophora apiculata sebesar 72 ind/ha menghasilkan serasah 1,8 ton/ha/tahun, sedangkan kerapatan pohon jenis Sonneratia alba sebesar 10 ind/ha menghasilkan serasah 1,75 ton/ha/tahun. Kerapatan mangrove pada tambak 1 lebih besar dari pada tambak 2. Kerapatan yang lebih besar dapat meningkatkan jumlah pakan alami yang masuk kedalam tambak yang berasal dari serasah daun, batang maupun biji mangrove yang dapat dimanfaatkan oleh udang. Menurut Harahab (2010) kerapatan pohon mempengaruhi banyaknya sampah organik yang masuk kedalam tambak. Kerapatan yang lebih kecil sesuai untuk budidaya ikan, sedangkan kerapatan yang lebih besar sesuai untuk budidaya udang atau kepiting bakau. Berdasarkan hal tersebut, maka kerapatan mangrove pada tambak 1 sesuai untuk budidaya udang windu. Menurut Soeroyo (2003, diacu oleh Zamroni dan Rohyani, 2008) kerapatan pohon mempengaruhi produksi serasah. Semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon, maka semakin rendah produksi serasahnya. Serasah yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus. Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Detritus inilah yang menjadi sumber makanan berbagai jenis organisme perairan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh organisme tingkat tinggi dalam jaringjaring makanan. Produksi serasah rata-rata meningkat dengan meningkatnya kerapatan mangrove. Tutupan kanopi yang semakin tebal menyebabkan produksi serasah yang dihasilkan semakin besar. Serasah terakumulasi di dasar hutan, kemudian dikomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi unsur hara. Unsur hara yang dihasilkan dimanfaatkan kembali oleh
113 tumbuhan mangrove dan alga bentik untuk proses fotosintesis. Serasah yang menjadi detritus dimanfaatkan sebagai makanan oleh beberapa jenis fauna makrobenthos yang hidup di dasar hutan mangrove (Taqwa, 2010). Menurut Mahmudi (2008) pada dasarnya, serasah yang dihasilkan hutan mangrove antara lain mengandung N, P, dan karbon (C) yang tinggi dan akan terlarut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Oleh karenanya, diduga terdapat hubungan yang erat antara N dan P serasah dengan N dan P yang terdapat di dalam air, produktifitas perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton dan makrozoobentos. Fitoplankton sebagai produsen utama (autotrof) memfiksasi karbon (C) lewat fotosintesis dan sekaligus menyediakan energi bagi organisme konsumer (heteretrof). Pada jenjang trofik (trophic level) berikutnya yang lebih tinggi, konsumer primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumer skunder, dan seterusnya sampai pada konsumer puncak. Parameter Kualitas Air Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air. Suhu perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 29 – 31 0C dan pada tambak 2 yaitu 29 – 32 0C. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, suhu perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 28.5 – 31.5 0C. Dengan demikian, suhu perairan pada tambak 1 optimum dan pada stasiun 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu. Kecerahan merupakan faktor fisika yang menentukan jauhnya penetrasi cahaya yang masuk kedalam perairan. Kecerahan perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 57 – 62.5 cm dan pada tambak 2 yaitu 29.5 – 36 cm. Kecerahan perairan pada tambak 1 lebih tinggi karena pada tambak 1 lebih dalam dibandingkan pada tambak 2. Menurut Yuliana dan
Asriana (2012) ketersediaan cahaya dalam badan air sangat tergantung pada waktu, tempat (letak geografis, kedalaman), kondisi prevalen di atas permukaan air (penutupan awan, inklinasi matahari), dan dalam perairan (absorbsi oleh air dan materi-materi terlarut, serta penghamburan oleh partikel-partikel tersuspensi). Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, kecerahan perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 30 – 40 cm. Selain itu menurut Boyd (1990, diacu oleh Herman, 2000), nilai kisaran kecerahan yang optimum bagi udang windu adalah 30 – 40 cm. Dengan demikian, kecerahan perairan pada tambak 1 kurang optimum dan pada tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu. Salinitas perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 7 – 10 ‰ dan pada tambak 2 yaitu 7 – 9.5 ‰. Salinitas pada masing-masing tambak tergolong rendah. Rendahnya salinitas pada masing-masing tambak disebabkan jauhnya jarak antara tambak dengan laut sehingga perairan pada masing-masing tambak lebih banyak tercampur dengan air tawar. Menurut Herman (2000) salinitas di tambak dipengaruhi oleh percampuran antara air laut dan air tawar, selain itu juga dipengaruhi oleh curah hujan. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, Salinitas perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 15 – 25 ‰. Menurut Poernomo (1989, diacu oleh Saladin, 1995), pada salinitas 35 – 40 permil pertumbuhan udang lebih lambat dibandingkan pada salinitas 15 – 25 permil. Selain itu menurut Kordi (2010) untuk pertumbuhan optimal udang windu di dalam tambak kisaran salinitas terletak antara 15 – 25 ‰. Dengan demikian, salinitas perairan pada tambak 1 dan tambak 2 kurang optimum untuk budidaya udang windu. pH digunakan untuk menggambarkan kondisi asam atau basa suatu perairan. pH perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 6.8 – 7.5
114 dan pada tambak 2 yaitu 6.6 – 7.7. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, pH perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 7.5 – 8.5. Selain itu menurut Sualia, dkk (2010) pH normal untuk pemeliharaan udang windu di dalam tambak adalah 7.5 – 8.5. Dengan demikian, pH perairan pada tambak 1 dan tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu. Oksigen terlarut (DO) merupakan jumlah oksigen yang ditemukan terlarut di dalam air. DO perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 6.3 – 6.9 mg/l dan pada tambak 2 yaitu 6.4 – 9.0 mg/l. Oksigen terlarut (DO) pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1 karena jumlah fitoplankton yang ada pada tambak 2 lebih banyak dari pada tambak 1. Menurut Herman (2000) sumber oksigen terlarut di tambak tradisional berasal dari proses fotosintesis fitoplankton. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, DO perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 3.0 – 7.5 mg/l. Dengan demikian, DO perairan pada tambak 1 optimum dan pada tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu. Kelimpahan Plankton Kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih banyak daripada tambak 1. Hal tersebut diduga disebabkan oleh vegetasi mangrove yang terdapat pada tambak 1 lebih banyak dari pada tambak 2, sehingga adanya persaingan perolehan cahaya matahari antara fitoplankton dengan vegetasi mangrove. Menurut Barus (2004) vegetasi yang ada di sekitar perairan dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena tumbuhantumbuhan tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Walaupun kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih banyak daripada tambak 1, namun udang yang sudah dewasa lebih menyukai makanan alami
berupa cacing maupun udang yang berukuran kecil yang terdapat di dalam tambak. Menurut Hermansah (2000, diacu oleh Herman, 2000) bahwa udang lebih menyukai plankton selama 30 hari pertama setelah penebaran. Setelah berumur lebih dari 30 hari, walaupun masih memakan plankton tetapi udang sudah mulai memakan makanan yang berukuran lebih besar yaitu gastropoda, dan kemudian pada umur 60 hari udang menjadikan makrozobenthos sebagai makanan utamanya. Selain itu, menurut Mudjiman (1985, diacu oleh Raharjo, 2003) udang dewasa suka memakan Mollusca (kerang, tiram, cacing Annelida), udang-udangan (Crustaceae), benthos, danpakan alami yang tumbuh di tambak seperti klekap. Produksi Udang Windu Berdasarkan hasil penelitian, produksi udang windu pada tambak 1 lebih banyak daripada tambak 2. Hal ini disebabkan oleh kondisi kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya udang windu berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004. Selain itu, diduga disebabkan oleh serasah mangrove pada tambak 1 lebih banyak dari pada tambak 2. Menurut Gunarto (2004) mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Pada tambak 1 ditemukan cukup banyak klekap yang tumbuh. Klekap merupakan makanan alami bagi udang windu yang hidup di permukaan tambak,
115 sehingga ketersediaan makanan alami berupa klekap yang ditemukan pada tambak 1 menyebabkan produksi udang windu lebih tinggi didandingkan pada tambak 2. Produksi udang windu pada tambak 1 lebih banyak daripada tambak 2 juga disebabkan oleh pada tambak 2 terdapat banyak lumut yang tumbuh di dasar tambak sehingga pakan alami udang windu berupa mollusca, udang kecil, benthos, dan klekap menjadi sedikit. Kedalaman air pada tambak 1 lebih dalam dibandingkan pada tambak 2. Hal ini diduga berpengaruh terhadap produksi udang windu. Menurut Kordi (2010) udang bersifat nokturnal dan tidak suka terhadap cahaya matahari yang berlebihan, dengan kedalaman tambak yang cukup (1 – 2 m) maka udang akan mempunyai tingkat kenyamanan di dalam tambak lebih baik karena sesuai dengan sifatnya. Kedalaman air yang tinggi berarti volume air yang dapat ditampung dalam suatu tambak juga meningkat. Volume air yang semakin besar berarti ruang gerak bagi udang peliharaan pun semakin besar. Dengan demikian, udang lebih banyak mempunyai kemungkinan untuk bergerak dengan bebas dalam tambak tanpa dibatasi oleh kekurangan air. Hasil produksi pada masing-masing tambak tergolong rendah, selain disebabkan oleh rendahnya salinitas pada tambak, hal tersebut juga disebabkan pada tambak tradisional tidak diberi makanan tambahan dan hanya mengharapkan makanan alami. Dengan demikian, banyak terjadi persaingan dalam memanfaatkan makanan alami. Tidak diberikannya makanan tambahan ketika penelitian karena dikhawatirkan sisa-sisa dari pakan yang tidak termakan akan menyebabkan tambak menjadi terlalu subur sehingga dapat membahayakan kehidupan udang. Hasil udang windu yang dipanen selama pemeliharaan 5 bulan pada masingmasing tambak yaitu ukuran (size) 26, artinya dalam 1 Kg terdapat 26 ekor udang dengan harga jual Rp. 95.000/Kg. Walaupun hasil panen udang windu pada masing-masing tambak tergolong rendah, namun dengan tingginya harga jual udang
windu maka usaha budidaya udang windu masih layak untuk dikembangkan, tetapi waktu yang diperlukan dalam pemeliharaan di tambak tradisional cukup lama. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tambak silvofishery dengan kerapatan mangrove sedang memiliki kualitas air yang secara umum memenuhi kriteria untuk budidaya udang windu berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004 sehingga menghasilkan produksi udang windu yang lebih banyak. 2. Produksi udang windu pada tambak 1 lebih banyak dari pada tambak 2 disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu kualitas air pada tambak 1 lebih sesuai untuk pemeliharaan udang windu dibandingkan dengan tambak 2. Serasah mangrove yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan alami bagi udang jumlahnya lebih banyak pada tambak 1. Klekap yang tumbuh pada tambak 1 yang merupakan makanan alami bagi udang windu lebih baik pertumbuhannya, sedangkan pada tambak 2 terdapat banyak lumut yang tumbuh di dasar tambak sehingga makanan alami udang windu seperti mollusca (cacing Annelida), udangudang kecil, benthos, dan klekap menjadi sedikit. Selain itu, kondisi tambak 1 lebih dalam dibandingkan dengan tambak 2, sehingga udang lebih banyak mempunyai kemampuan untuk bergerak dengan bebas di dalam tambak tanpa dibatasi oleh kekurangan air dan mempunyai tingkat kenyamanan lebih baik karena udang tidak suka terhadap cahaya matahari yang berlebihan. Saran 1. Proses aklimatisasi sebaiknya dilakukan secara bertahap sampai
116 salinitas dan suhu dari hatchery mendekati salinitas dan suhu yang ada di tambak sehingga dapat mengurangi angka mortalitas. 2. Di dalam hapa sebaiknya diletakkan daun kelapa atau daun nipah yang berfungsi sebagai tempat pelindung dari sinar matahari dan juga menjadi tempat berkembangnya organisme renik sebagai makanan benur udang.
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004 Tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak. Kordi, M. G. H. 2010. Budi Daya Udang Laut. ANDI. Yogyakarta. Kordi,
M. G. H. 2012. Ekosistem Mangrove. Rineka Cipta. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press. Medan. Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat. 2011. 25.000 Hektare Hutan Mangrove di Kabupaten Langkat Rusak. Diakses melalui http://www.dishutbun. langkatkab.go.id. [diakses pada 12 April 2013].
Dianthani, D. 2003. Identifikasi Jenis Plankton di Perairan Muara Badak, KALTIM. Makalah Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor. Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 23, No.1, Tahun 2004. Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta. Herman. 2000. Kondisi Kualitas Air di Tambak Udang Windu Tradisional yang Ditumbuhi Tumbuhan Air (ELEOCHARIS sp.) pada Musim yang Berbeda. Skripsi. Fakultas
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor. Mahmudi, M. 2008. Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan Kontribusinya Terhadap Nutrien di Hutan Mangrove Reboisasi. Jurnal Penelitian Perikanan. Vol. 11, No.1, Tahun 2008. Nur, S.H. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari Untuk Tambak Tumpangsari di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Raharjo, A.B. 2003. Pengaruh Kualitas Air pada Tambak Tidak Bermangrove dan Bermangrove Terhadap Hasil Udang Alam di Desa Grinting Kabupaten Brebes. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. Saladin, A. 1995. Keberadaan dan Hasil Tangkapan Alami Udang Penaeid di Silvofishery. Skripsi. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Sualia,
I, B.P Eko, dan I.N.N. Suryadiputra. 2010. Panduan Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.
Suryaperdana, Y. 2011. Keterkaitan Lingkungan Mangrove Terhadap
117 Produksi Udang dan Ikan Bandeng di Kawasan Silvofishery Blanakan Subang, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur Komunitas Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro Semarang. Wahab, D.A. 2003. Karakteristik Kualitas Air Tambak Tumpangsari pada Berbagai Tingkat Kerapatan Tegakan Mangrove. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Yuliana dan Asriana. 2012. Produktifitas Perairan. Bumi Aksara. Jakarta. Zamroni, Y, dan Immy, S.R. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas Volume 9, Nomor 4.