I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, pasar tradisional merupakan tempat yang tidak terpisahkan dari pengalaman hidup di pedesaan. Setiap hari minggu yang kebetulan bersamaan dengan pasaran Pahing, ketika masih kecil penulis biasanya pergi ke pasar Turi untuk sekedar melihat-lihat atau membeli barang-barang yang biasa dijual di pasar tersebut; binatang peliharaan seperti ikan hias, makanan kecil atau buku-buku bekas yang biasa menggelar dagangannya di pinggir jalan raya. Banyak pengunjung pasar yang mempunyai tujuan seperti penulis, yaitu pergi ke pasar hanya untuk melihat-lihat dan membeli beberapa barang dengan jumlah yang sedikit. Akan tetapi, ada juga pengunjung yang datang ke pasar untuk membeli barang dengan nilai dan jumlah yang banyak, seperti perabot rumah tangga, furniture, pakaian, obat, bahan makanan yang sulit ditemui di toko-toko biasa atau bahkan ada pengunjung yang datang dengan barang dagangannya sendiri dan ikut mengambil keuntungan dari ramainya pengunjung yang ada di pasar. Pasar di Jawa merupakan tempat yang ramai, tempat pedagang dan pembeli bertemu dengan segala barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Setiap hari pasaran, pedagang dari berbagai tempat akan memadati pasar, berjejalan di antara los-los dan bango yang terdapat di pasar.
Pasar tradisional Jawa yang sering didatangi oleh penulis merupakan tempat dimana berbagai macam pedagang dengan beragam jenis barang berkumpul menjadi satu, menggelar dagangan dan menawarkannya kepada pengunjung yang datang memadati pasar kala hari pasaran tiba. Beragam jenis barang dapat ditemukan di pasar, baik barang-barang untuk kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Mulai dari kebutuhan pokok sehari-hari yaitu makanan. Terdapat pedagang sayur mayur maupun pedagang lauk pauk yang membungkus makanan mereka dengan plastik kecil yang berjejer dan menawarkan barang dagangan mereka kepada pembeli yang lewat. Para lelaki akan membawa hewan ternak mereka ; itik, ayam, dan bebek dengan keranda-keranda yang ditaruh dibelakang jok sepeda motor. Pedagang pakaian yang dengan tekun terus memajang barang dagangan mereka walaupun jika hari-hari biasa tidak banyak pembeli yang mampir dan melihat-melihat. Daging ayam, bumbu dapur, peralatan rumah tangga, tembakau, dan peralatan pertanian juga dapat ditemukan di pasar tradisional Jawa. Banyaknya aktifitas yang terjadi di pasar membuat pasar bukan hanya sebagai arena komersil bagi perdagangan warga sekitar, tetapi juga arena sosialisasi, tempat bertukar informasi dan sarana politik, sebagaimana cerita seorang teman penulis bahwa pada saat terjadi kebijakan “Gunting Syafruddin” yang mana uang dari De Javasche Bank pecahan Rp 5 digunting menjadi dua di tahun 1950 (dikutip dari Wikipedia.org).
Pada saat kebijakan ini dilaksanakan, petugas pasar Gumulan
mendapatkan tugas tambahan. Selain menjalankan penarikan retribusi atau pajak,
petugas pasar juga menjadi juru gunting uang bagi para pembeli maupun pedagang yang sedang melakukan jual beli. Kompleksitas dan keberagaman fenomena sosial yang ada di pasar membuat antropolog maupun ilmuan sosial lainnya tertarik untuk meneliti pasar menurut latar belakang keilmuan masing-masing. Ada beberapa antropolog yang menjadikan pasar tradisional, khusunya pasar tradisional yang ada di Jawa, sebagai objek penelitiannya. Penelitian yang dilakukan oleh para antropolog ini membahas pasar tradisional mulai dari aspek sosial-ekonomi dan strategi pedagang dalam melakukan transaksi ekonomi. Buku Alice G. Dewey yang berjudul Peasant Marketing In Java (1962) merupakan karya yang sering digunakan sebagai sumber pustaka utama bagi para peneliti yang menjadikan pasar tradisional Jawa sebagai objek penelitiannya. Dewey dalam bukunya menjelaskan bagaimana karakter pasar pada sistem ekonomi pertanian, faktor sosial yang mempengaruhi struktur ekonomi masyarakat Jawa, tipe-tipe pedagang yang ada di pasar, dan proses perdagangan yang ada di pasar. Dewey melihat pasar tradisional Jawa dari banyak aspek dan dengan ruang lingkup yang cukup luas, misalnya dari bagaimana sistem produksi barang-barang yang nantinya akan dijual di pasar, dan bagaimana hubungan antara pedagang Jawa dan pedagang Cina. Hal ini memang memberikan gambaran seperti apa sistem ekonomi yang ada di pasar tradisional secara umum akan tetapi tidak mencakup hal-hal kecil yang terjadi di pasar tradisional, khususnya mengenai informasi harga antar pedagang. Antropolog lain yang menulis tentang pasar tradisional Jawa adalah Jennifer Alexander dengan
bukunya Trade, Traders And Trading in Rural Java (1987). Alexander dalam bukunya menekankan sistem informasi harga yang ada di pasar tradisional. Kajiannya melihat pasar sebagai sebuah jaringan informasi, yang harus dikuasai oleh para pedagang dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan. Karya-karya lain yang membahas mengenai pasar tradisional yang ada di Jawa, misalnya yang ditulis oleh Didi Prijo Daladi (1998) menceritakan mengenai relasi antar pedagang onderdil motor bekas di pasar Beringharjo Yogyakarta. Pasar sebagai tempat berinteraski bukan hanya dalam urusan ekonomi tetapi juga sosial, membuat pedagang memiliki hubungan yang sifatnya kekerabatan. Dalam tulisan ini ditekankan mengenai hubungan kekerabatan dengan pemecahan konflik antar pedagang. Penulis berpendapat bahwa hubungan kekerabatan ini mempunyai pengaruh dalam pemecahan masalah melalui musyawarah bersama demi mencapai keuntungan. Konflik menurut penulis, hanya mengakibatkan kerugian bagi pedagang sehingga hal tersebut dihindari oleh pedagang yang ada di pasar Beringharjo. Tulisan lainnya berjudul “Siasat Budaya di Pasar Jangkang Widodomartai, Ngemplak, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta” yang ditulis oleh Titi Kusrini (1995) menceritakan strategi pedagang dan pembeli untuk bertahan hidup di sebuah pasar, sebagai cerminan dari perilaku sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat yang lebih luas. Kusrini juga membicarakan mengenai pembagian ruang di pasar menurut gender. Pembagian ini didasarkan pada jenis pekerjaan yang dianggap “sesuai” dengan gender masing-masing, misalnya ruang perempuan di pasar adalah
kegiatan yang ada hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari misalnya pada pasar wong atau pasar sayur mayur yang isinya pedagang yang menjual kebutuhan seharihari. Selain itu Titi Kusrini memberikan gambaran bahwa area yang ada di luar kapling dianggap oleh pedagang lebih mengguntungkan, disebutkan bahwa lapaklapak yang berada diluar kapling terlihat lebih ramai. Akan tetapi, Titi Kusrini tidak menjelaskan lebih jauh seperti apa konsep pedagang mengenai tempat yang menguntungkan dan seperti apa pentingnya lokasi beradang bagi kehidupan ekonomi mereka yang ada di pasar. Titi Kusrini hanya berhenti pada kesimpulan bahwa tempat yang lebih menguntungkan untuk berdagang adalah tempat yang berada di luar kapling karena terlihat lebih ramai. Aspek sosial ekonomi dari pasar tradisional, seperti yang sudah dipaparkan oleh para peneliti di atas memang menjadi daya tarik bagi ilmuan sosial untuk menjadikan pasar tradisional sebagai objek penelitiannya. Kajian-kajian mereka berangkat dari pandangan bahwa pasar sebagai arena ekonomi, tempat berinteraksi dan rekreasi merupakan hasil dari konstruksi budaya seperti yang diungkapkan oleh Jennifer Alexander. Tetapi masih ada aspek dari pasar tradisional yang menurut penulis belum banyak mendapatkan perhatian dari para peneliti, yaitu aspek keruangan dan penataannya. Pasar tradisional tidak hanya terdiri dari pedagang dengan pembeli yang melakukan transaksi tetapi juga ada bangunan dan batas dimana pedagang dapat menempatinya. Pasar diadakan di sebuah kawasan yang diatasnya didirikan
bangunan-bangunan sebagai tempat untuk menggelar dagangan. Pedagang-pedagang memenuhi setiap sudut tempat yang sudah disediakan oleh pengelola pasar, meletakkan dan memajang barang dagangannya untuk dijual kepada pembeli yang datang. Kadang-kadang ada juga pedagang yang menggelar dagangannya di luar kawasan pasar, misalnya di pinggir jalan yang berada di dekat pasar, atau tempattempat kosong dekat pasar yang tidak termasuk dalam administrasi pasar. Pemandangan pedagang yang memenuhi setiap sudut kawasan pasar tradisional yang terlihat rapi sekaligus seperti tanpa aturan dan susunan menunjukkan bahwa kompleksitas pasar bukan hanya terlihat dari banyaknya interaksi sosial yang terjadi akan tetapi juga bagaimana pengelola pasar dan
pedagang menciptakan
pengorganisasian ruang sehingga terbentuklah penataan ruang yang sedemikian rupa. Hal lain yang membuat penulis ingin melihat lebih jauh aspek keruangan dan penataan di pasar tradisional adalah dasar dari pertimbangan pedagang dalam memilih lokasi berdagang. Ada banyak ruang yang dapat ditempati oleh pedagang di pasar tradisional, masing-masing berada di lokasi yang berbeda dengan ciri fisik yang juga berbeda. Pedagang dalam menempati suatu lokasi, menurut penulis, tidak hanya sekadar menempati ruang yang kosong tanpa melihat seperti apa kondisi lokasi tersebut. Penulis menganggap bahwa terdapat pertimbangan-pertimbangan yang dipikirkan oleh pedagang dalam hal dimana tempat yang baik untuk menggelar dagangannya, yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pandangan pedagang mengenai lokasi berdagang di pasar tradisional yang strategis dan membawa keberuntungan? 2. Apa signifikasi lokasi berdagang terhadap kehidupan perekonomian pedagang di pasar tradisional? 3. Bagaimana upaya pedagang dalam membangun dan meningkatkan keberuntungan dalam perdagang, jika menempati tempat yang dianggap kurang strategis? C. Tinjauan Pustaka Deskripsi pasar tradisional di Mojokuto yang ditulis oleh Alice G. Dewey (1962) menjabarkan tidak hanya aspek-ekonomi dari kegiatan yang ada di pasar, akan tetapi juga aspek non-ekonomi seperti hubungan pedagang Cina dengan “bakul” Jawa, varietas barang tergantung musim panen dan strategi pedagang Jawa. Setha M. Low dan Denise Lawrence-Zuniga (2003) telah menulis, mengumpulkan dan mengedit tulisan-tulisan mengenai kajian ruang dan tempat yang ingin menunjukkan dimensi spasial-budaya daripada hanya memandang ruang dan tempat sebagai latar belakang sebuah peristiwa etnografis Roxana Waterson (1990) meneliti arsitektur rumah tradisional di kawasan Asia Tenggara dengan pandangan antropologis. Rumah-rumah tradisional tersebut selain sebagai sebuah hasil adaptasi arsitektural yang memenuhi fungsinya secara ekologis ternyata juga mempunyai fungsi secara simbolis yang diwujudkan dalam
ornamen, bentuk atap, dan pembagian ruang, menggambarkan kosmologi pembuatnya. Jennifer Alexander (1962) dalam bukunya yang berjudul “Trade, Traders, and Trading in Rural Java” membahas mengenai pasar tradisional yang ada di Jawa tengah. Alexander mengkaji pasar tradisional dari tiga sudut pandang. Pertama, dari sudut perdagang itu sendiri, dan kedua dari persebaran pasar tradisional secara geografis. Sedangkan yang terakhir adalah produksi dan sirkulasi komoditas. Jennifer Alexander membatasi pembahasannya pada perdagangan, pedagang dan interaksi antara pedagang dengan pembeli. Jennifer Alexander mempunyai pandangan bahwa pasar, seperti juga kekerabatan dan agama merupakan sebuah konstruksi budaya. Pedagang Jawa dengan latar belakang kebudayaanya mempunyai konsep-konsep dengan pengertiannya sendiri mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian, khususnya di pasar tradisional. Pengertian mengenai modal, laba dan harga yang dimiliki oleh orang Jawa, kadang berbeda akan tetapi kadang sama persis dengan apa yang dikatakan para ekonom pada umumnya. Salah satu contoh konsep yang dijelaskan oleh Alexander dalam tulisannya adalah konsep rega. Rega menurut Alexander dapat diterjemahkan sebagai harga, yang menurut pengertian pedagang Jawa merupakan sesuatu yang tidak tetap. Tidak ada ukuran yang pasti mengenai harga suatu komoditas karena pembeli dapat menawar dengan harga yang lebih rendah kepada pedagang, maupun sebaliknya, pedagang dapat menaikkan harga suatu harga tanpa harus melalui perhitungan tertentu. Pengetahuan
mengenai perkembangan harga-harga barang yang “semestinya” dan kemampuan untuk tawar-menawar menjadi sesuatu yang penting bagi pembeli maupun pedagang untuk dapat mendapatkan harga atau laba yang memuaskan. Michael Jackson (1996) mengumpulkan tulisan-tulisan dari beberapa antropolog maupun ilmuan sosial yang menggunakan pendekatan fenomenologi dalam menjelaskan sebuah fenomena sosial. Pendekatan fenomenologis digunakan untuk mengkaji fenomena sosial sesuai dengan apa yang terjadi, apa yang dipraktikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tulisan yang menarik, yang berkaitan dengan ruang dan tempat adalah tulisan milik Christine Helliwell mengenai rumah panjang Dayak. Signifikasi ruang dalam rumah panjang Dayak tidak hanya dilihat dari pembagiannya yang nampak, akan tetapi bagaimana orang-orang menempati dan menggunakan bagian-bagian dari rumah sebagai cara orang Dayak menggunakan ruang dan menunjukkan signifikansinya dalam interkasi sosial keseharian orang-orang Dayak yang tinggal di rumah tersebut. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seperti apa pandangan mengenai lokasi yang ideal untuk bisnis dan pengaruh nilai-nilai budaya Jawa dalam pengambilan keputusan perihal lokasi berjualan pada pedagang di pasar tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ciri fisik dari bangunan dan penataan pasar secara keseluruhan dalam pengambilan keputusan memilih lokasi,
dan upaya yang dilakukan dalam membangun peruntungan dalam berdagang yang berkaitan dengan lokasi berjualan. E. Kerangka Teori Antropologi ekonomi merupakan salah satu cabang dari ilmu antropologi yang mempelajari gejala ekonomi di sebuah masyarakat. Antropologi ekonomi berbeda dengan ilmu ekonomi karena antropologi ekonomi memandang “fenomena ekonomi sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem organisasi sosial dan unsur-unsur kebudayaan” (Hudayana, 1991: 40). Antropologi ekonomi mempelajari bagaimana
manusia
menggunakan
dunia
materi
(material
world)
untuk
mempertahankan dan mengekspresikan dirinya dalam kelompok sosial (Low & Zuniga, 2003: 210). Penjelasan dari apa yang dipelajari oleh antropologi ekonomi di atas, jauh berbeda dari apa yang dipelajari oleh ilmu ekonomi, khususnya ekonomi pasar (modern) yang pembahasannya terbatas pada permasalahan permintaan, penawaran dan keseimbangan. Apa yang dipelajari oleh antropologi ekonomi berhubungan dengan bagaimana manusia mengatur, mendistribusi dan memanfaatkan sumber daya yang ada demi kepentingan individu maupun kelompok; hal ini juga menyangkut faktor-faktor non-ekonomi atau faktor sosial budaya yang mempengaruhinya. Begitu juga dengan perilaku ekonomi yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Perilaku ekonomi yang ada di pasar tradisional dalam hal ini memilih lokasi untuk
berdagang, menurut penulis, terdapat faktor-faktor non-ekonomi yang mempengaruhi keputusan pedagang untuk menempati suatu lokasi. Dalam tulisan ini penulis menggunakan paradigma tentang pengambilan keputusan untuk lebih memahami bagaimana asumsi-asumsi mengenai ruang dan tempat di pasar tradisional mempengaruhi keputusan pedagang. Paradigm “keputusan” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan decisionmaking approach merupakan salah satu varian dari paradigma yang diarahkan pada pelaku (actor-oriented approach) dalam antropologi (Ahimsa, 2003: 13). Paradigma ini menuntut kejelasan siapa pelaku yang terlibat dalam sebuah fenomena yang sedang diteliti, sehingga sudut pandang yang digunakan dan penggambarannya terbatas pada aktor tersebut. Paradigma ini mempunyai anggapan bahwa pelakupelaku yang diamati dihadapkan pada sejumlah “possible alternative of behavior”, arah-arah tindakan dengan hasil tertentu, dan mereka memilih cara alternatif yang dipandang akan memberikan hasil paling tinggi, paling maksimal (Long dalam Ahimsa, 2003: 14). Pedagang yang dihadapkan pada banyak pilihan lokasi berjualan juga mempunyai alasan serta tujuan mengapa pedagang pada akhirnya memutuskan untuk menempati sebuah lokasi. Paradigma ini lebih lanjut menganggap bahwa pelaku “memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai kondisi-kondisi yang mempengaruhi pilihan-pilihannya” (Ahimsa, 2003: 14). Kesadaran dan pengetahuan yang disebutkan di atas meliputi “ informasi yang diperoleh pelaku, persepsi pelaku mengenai pilihan dan hasilnya, akibat yang mungkin timbul dari berbagai masukan
sumber daya, seperti dana, tenaga, dan sebagainya, serta berbagai ketidakpastian yang mungkin mempengaruhi keputusan-keputusan dan hasil-hasilnnya, seperti misalnya kondisi pasar, cuaca atau faktor-faktor seperti ikatan pribadi” (Ahimsa, 2003: 14). Paradigma yang diutarakan di atas, cenderung melihat keputusan-keputusan yang diambil oleh pelaku hanya dihasilkan oleh ide-ide, abstraksi pelaku tanpa melihat pengalaman-pengalaman pelaku terhadap sesuatu yang berada di luar diri pelaku, dan pengalaman ini merupakan pengalaman yang didapatkan dari panca indra, bagaimana manusia merasakan dan memahami dunia yang mereka tinggali. Kajian-kajian antropologi indrawi mengatakan bahwa pengalaman indrawi, untuk itu pengalaman indrawi terhadap lingkungan juga memiliki signifikasi sosial terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh pelaku. Social significance merupakan objek perhatian utama para entografer dalam memahami pengalaman indrawi masyarakat dalam sebuah kebudayaan. Howes mencontohkan sendiri dalam bukunya yang berjudul Sensual Relation : Engaging the Senses in Culture and Social Theory (2003). Dia memperlihatkan bagaimana pentingnya acara makan bersama dan being seen dalam upacara Cincin Kula di kepulauan Trobriand. Acara makan bersama bagi masyarakat Trobriand bukan soal rasa, tetapi berkaitan dengan jumlah. Maksudnya, seberapa banyak orang-orang dapat makan dan seberapa banyak sisa makanan setelah makan bersama selesai (Howes, 2003: 68). Gambaran mengenai “banyak”, “kecukupan” menjadi sebuah social
significance bagi masyarakat Trobriand yang melibatkan pengalaman indera penglihatan mereka. Perhatian terhadap pengalaman indrawi manusia dalam pembentukan pengetahuan mengenai dunia luar mulai memberikan jalan bagi pandangan bahwa tubuh dan panca indra tidak hanya sebagai “simply the passive ground on which forms of social organization are inscribed”, lembaran pasif dimana bentuk pengorganisasian sosial dituliskan. Budaya tidak hanya apa yang terlihat, tertulis, atau diskursus seperti kebanyakan antropolog tekstual dalam melihat fenomena kebudayaan, akan tetapi (dalam pandangan Howes), bagaimana manusia merasakan dunia (the way of sensing) dunia melalui panca indra. Pengalaman indrawi menyediakan konteks dan indeks bagi fenomena kebudayaan, apakah itu interaksi antar sesama manusia, maupun interaksi dengan lingkungan sekitar. Sama halnya dengan pedagang yang ada di pasar tradisional, selain berinteraksi dengan pembeli dan sesama pedagang, mereka juga berhadapan dengan lingkungan pasar yang terdiri dari bangunan-bangunan beserta tata ruang yang sedemikian rupa. Relasi antara pedagang dengan lingkungannya juga tidak serta merta seperti “menuliskan” sesuatu diatas kertas, terhadap lingkungan yang sedang dihadapi. Walaupun tidak dapat dibuktikan dengan jelas, karena tidak adanya data yang menjelaskan tentang hal ini, lingkungan pasar (bangunan dan bentuk-bentuk yang ada) sudah ada disana mendahului pedagang. Oleh karena itu, pedagang mau tidak mau harus menyesuaikan dengan pola penataan yang sudah ada, akan tetapi
tidak menutup kemungkinan terhadap modifikasi yang dilakukan pedagang terhadap lingkungan yang sudah ada. Relasi antara pedagang dengan lingkungannya merupakan relasi dua arah yang saling membentuk. Hal ini ditegaskan lagi oleh kajian-kajian mengenai ruang dan tempat yang banyak menjadi perhatian para antropolog yang melihat ruang dan tempat tidak hanya sebagai kertas kosong yang harus ditulisi, maupun determinan makna yang membentuk kebudayaan manusia. Kajian mengenai ruang dan tempat mulai mendapatkan perhatian oleh para antropolog sekitar tahun 1990-an yang telah didahului oleh geografi dan arkeologi, akan tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Kedua displin ilmu yang terakhir disebutkan mengadopsi positivisme dan fungsionalisme sebagai pendekatan baru untuk memandang objek kajiannya, mengukuhkan geografi sebagai ilmu mengenai ruang (spatial science) dan arkeologi sebagai ilmu mengenai masa lalu (science of the past) (Tilley, 1994: 7). Menurut Tilley, Geografi baru dan arkeologi
baru
“memandang ruang sebagai dimensi abstrak atau wadah dimana aktifitas manusia dan peristiwa terjadi. Implikasi dari perspektif ini adalah aktifitas dan peristiwa dan ruang, secara fisik maupun konseptual terpisah satu sama lain dan hanya sesekali terhubung” (Tilley, 1994: 9). Ruang dalam pandangan ini merupakan satuan jarak antara satu titik dengan titik yang lain, luas, volume, ketinggian atau kedalaman yang berada di atas permukaan bumi atau pada bidang lain yang memiliki suatu titik sebagai acuan. Ruang dalam pandangan ini terpisah dengan lokasinya yang spesifik, titik di permukaan bumi yang ditinggali oleh manusia, memiliki nama, kenampakan
dan kontur, sehingga hal-hal yang disebutkan terakhir merupakan tambahan informasi saja. Persepktif lain yang memunculkan pandangan bahwa ruang memiliki signifikasi sosial adalah pandangan bahwa ruang merupakan media bagi tindakan, sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari tindakan itu sendiri. Tilley mengatakan bahwa “ruang tidak dan tidak dapat ada (exist) jika terpisah dari peristiwa dan aktivitas yang melibatkannya” (Tilley, 1994: 10). Seperti pasar yang dipandang sebagai ruang ekonomi, interaksi sosial maupun rekreasi hadir karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pelaku di pasar. Oleh karena itu “ruang, sebagai produksi sosial, selalu berhubungan dengan agensi manusia dan setuju dengan (amenable) reproduksi atau perubahan karena keadaannya (their constitution) dilaksanakan sebagai bagian dari praksis sehari-hari atau aktifitas praktis individu maupun grup” (Tilley, 1994: 10). Jika keberadaan ruang secara sosial tergantung dari tindakan manusia, maka “tempat” (yang selalu dikaitkan dengan ruang) sebagai konsep juga berubah, dari sebagai latar belakang menjadi aspek penting dalam pembentukan ruang. Ketika ruang hanya dipandang menjadi wadah dimana suatu fenomena terjadi, maka tempat hanya dianggap sebagai latar belakang, lokasi dimana fenomena tersebut terjadi secara geografis. Deskripsi mengenai tempat hanya digunakan sebagai informasi tambahan bagi fenomena sosial yang ingin dijelaskan; misalnya bagaimana kondisi geografisnya, iklim, sumber daya alam yang ada di tempat itu untuk
menunjukkan di mana dan seperti apa tempat fenomena tersebut terjadi. Pandangan seperti di atas hanya menempatkan “tempat” sebagai locale (latar belakang). Padahal geografer, yang juga diikuti oleh antropolog, “mencoba menyatukannya dengan location (distribusi spasial aktifitas sosial-ekonomi seperti jaringan perdagangan) dan sense of place (keterikatan pada tempat) untuk menghasilkan pemahaman yang utuh atas tempat sebagai konstruksi sosial dan budaya” (Low & Zuniga, 2003: 205). Teori mengenai tempat yang diutarakan oleh Edward Casey, menyanggah anggapan awal antropolog bahwa tempat adalah sesuatu yang “dibentuk dari oleh ruang atau dilapiskan diatas (superimposed) ruang” (Pink, 2008: 178). Tempat menurutnya justru memuat ruang dan waktu (Pink, 2008: 178). Hal ini juga diutarakan oleh Tilley bahwa “.Knowledge of place stems from human experiences, feelings and thought. It provides situational context for places, but derives its meaning from particular places (Relph 1976: 8). Without places there can be no spaces, and the former had have primarily ontological significance as a centers of human bodily activity, human significane and emotional attachment….. place as context for human experience, constructed in movement, memory, encounter and association” (Tilley, 1994) Pengetahuan mengenai “tempat” didapatkan dari pengalaman, perasaan dan pikiran manusia. Pengetahuan tersebut menyediakan konteks situasional bagi tempat tersebut, akan tetapi mendapatkan makna dari tempat tertentu (yang berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan oleh manusia di tempat tersebut).
Pasar sebagai tempat (pusat aktivitas manusia) tidak hanya dibangun dari terdapatnya “ruang” untuk melakukan transaksi ekonomi akan tetapi juga bangunan, los-los yang menjadi tempat pedagang untuk berjualan. Bangunan, los serta seluruh kawasan pasar merupakan lingkungan yang dihadapi oleh pedagang sehari-hari ketika berjualan. Hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya tidak hanya bersifat satu arah, baik itu manusia mempengaruhi dan membentuk lingkungan atau lingkungan membentuk dan mempengaruhi manusia. “Hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya tidak hanya menyematkan makna pada ruang, tetapi termasuk juga pengenalan dan penguraian kultural kelengkapan (properties) lingkungan yang secara mutual membentuk satu sama lain melalui narasi dan praksis” (Low & Zuniga, 2003). Kelengkapan lingkungan seperti jalan, bangunan yang beratap, letak lokasi juga mempengaruhi atau mensituasikan bagaimana pengalaman pedagang dalam menempati lokasi tersebut dan menempatkannya sebagai pengetahuan tentang lokasi yang ada di pasar. F. Metode penelitian Penelitian ini dilakukan di pasar Gumulan atau biasa disebut dengan pasar legi yang berada di dusun Gumulan, desa Caturharjo, kecamatan Pandak, kabupaten Bantul, Yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung yang dilakukan saat pedagang sedang berdagang di pasar.
Penelitian ini menggunakan pedagang sebagai informan. Life history atau cerita pengalaman informan selama menjadi pedagang yang didapatkan oleh penulis dari hasil wawancara mendalam diharapkan mampu memberikan gambaran bagaimana hubungan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya, dalam kaitannya dengan pemilihan lokasi untuk berdagang di pasar tradisional. Wawancara dilakukan ketika pedagang sedang berjualan di pasar. Hal ini dilakukan agar dapat mendapatkan gambaran kegiatan sehari-hari pedagang ketika di pasar secara langsung, seperti apa aktivitas ekonomi yang terjadi dan bagaimana hubungan antara pedagang dengan pembeli. Selain itu, penulis juga ingin mengetahui pengalaman langsung pedagang terhadap lokasi yang ditempatinya, tanpa harus membayangkan seperti apa suasana, letak-letak dan apa yang dirasakan oleh pedagang terhadap lingkungan sekitarnya, jika melakukan wawancara di tempat lain. Pedagang yang dijadikan informan untuk penelitian ini adalah pedagang yang menempati kawasan yang berbeda-beda. Ada pedagang yang menempati kawasan bagian utara, kawasan bagian selatan dan juga ada yang berdagang di bagian belakang pasar. Selain itu lokasi tempat berdagang, karakteristik atau ciri fisik tempat berdagang juga menjadi perhatian. Penelitian ini tidak akan mewawancarai informan yang menjual barang dagangan yang benar-benar berkumpul menjadi satu seperti pedagang pakaian dan pandai besi. Pedagang yang dijadikan informan merupakan pedagang dengan jenis barang yang dijual menyebar ke berbagai penjuru tempat di pasar, misalnya pedagang sayur dan pedagang tembakau. Hal ini bertujuan untuk
melihat pengalaman pedagang pada lokasi yang berbeda, dan juga untuk membandingkan pengalaman pedagang dengan jenis barang dagangan yang sama akan tetapi berbeda lokasi. Data yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari observasi, wawancara dan kajian pustaka mengenai pasar tradisional Jawa. Observasi dilakukan dengan mengamati seperti apa keadaan fisik pasar tradisional, dalam hal ini pasar Gumulan, serta kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Observasi juga akan dilakukan pada kondisi fisik dari tempat yang digunakan oleh pedagang, dan interaksi antar pedagang di wilayah tersebut. Sedangkan untuk wawancara akan difokuskan pada pandangan, pendapat dan tanggapan pedagang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan lokasi tempat berdagang yang ditempati pedagang saat ini. Kajian ini merupakan kajian yang bersifat sinkronis. “Pendekatan sinkronis menganalisa sesuatu tertentu pada saat tertentu, titik tetap pada waktunya. Ini tidak berusaha untuk membuat kesimpulan tentang perkembangan peristiwa yang berkontribusi pada kondisi saat ini, tetapi hanya menganalisis suatu kondisi seperti itu. (resto-history.blogspot.com)” Sehingga konsep-konsep yang akan dibahas pada penelitian ini merupakan konsep yang diutarakan dan berlaku pada saat itu dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Pada penelitian ini tidak menunjukkan perubahan konsep dari masa lalu. Konsep-konsep yang dijelaskan dalam penelitian ini bisa berubah sesuai dengan perkembangan pasar dan perubahan perekonomian yang ada di pasar.