ABSTRAK
Ririn Yunus, Nim : 271409027. Hukum Pidana, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Penerapan Pasal 56 KUHAP Tentang Hak Terdakwa Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Di Pengadilan Negeri Gorontalo. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH., MH dan Pembimbing II : Muthia CH. Thalib, SH., M.Hum. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penerapan Pasal 56 KUHAP tentang hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Gorontalo, dan untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Pasal 56 KUHAP tentang hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Gorontalo Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Gorontalo belum terlaksana dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan data empirik bahwa pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 terdapat tujuh kasus atau perkara pidana yang disidangkan dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun Kata kunci: Penerapan Pasal 56 KUHAP, Bantuan Hukum
PENDAHULUAN Seorang pengacara adalah seorang yang berprofesi memberi jasa hukum. Jasa hukum ini antara lain adalah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada seseorang yang tidak mampu. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No.18 tahun 2003 bahwa kewajiban dari seorang advokat adalah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma pada pencari keadilan yang tidak mampu. Tidak mampu dalam hal ini terkait dengan kemampuan secara ekonomi dari seorang tersangka atau terdakwa untuk membayar jasa seorang pengacara, dan hal inipun telah secara tegas diatur pula dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Miranda Rule adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka atau terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat
bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan penasihat hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan atau dalam semua tingkat proses peradilan. Miranda Rule adalah merupakan hak konstitusional yang bersifat universal dihampir semua negara yang berdasarkan hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya sangat menghormati Miranda Rule ini. Komitmennya terhadap penghormatan Miranda Rule telah dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ini ke dalam sistem Hukum Acara Pidana yaitu sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang lebih dikenal dengan KUHAP. Secara umum prinsip Miranda Rule (miranda principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada di dalam Bab VI UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip Miranda Rule atau miranda principle terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP1. Mengenai hak-hak terdakwa terdapat salah salah satu hak terdakwa tentang hak untuk mendapatkan bantuan hukum yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 56 ayat (1) berbunyi: Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
Ayat (2) berbunyi: "Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuannya dengan cuma-cuma". Perlu diketahui bahwa yang ingin dicapai dan atau ditegakkan di dalam prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) tentang KUHAP adalah agar 1
Sofyan Lubis. 2010. Prinsip "Miranda Rule" Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan. Jakarta: Pustaka Yustisia. hlm 34-35.
terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri terdakwa, sebab dengan hadirnya penasihat hukum untuk mendampingi, membela hak-hak hukum bagi terdakwa dalam pemeriksaan di pengadilan dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan terhindar dari adanya tindakan-tindakan yang tidak wajar yang dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, serta di samping itu adanya kontrol oleh penasihat hukum terhadap jalannya pemeriksaan selama dalam proses persidangan di pengadilan. Didalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP ini bersifat imperatif, yang apabila di abaikan mengakibatkan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Dilihat pada kenyataan yang ada di Pengadilan Negeri Gorontalo, maka masih sangat sering terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Kasus yang berhubungan dengan hal ini tidaklah dikatakan sedikit. Banyak terdakwa yang tidak didampingi penasehat hukum sehingga menimbulkan perlakuan yang tidak adil dari aparat penegak hukum dalam proses peradilan. Ini terjadi akibat tidak dipenuhinya hak konstitusional dari terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum dalam proses peradilan. Masih banyaknya para aparat penegak hukum yang belum melaksanakan ketentuan ini, sehingga para terdakwa tidak lagi mendapatkan hak-haknya secara utuh terutama dalam mendapatkan bantuan hukum. Namun masih kurangnya pemahaman seorang terdakwa tentang hukum membuat para aparat penegak hukum pun sering melakukan tindakan yang tidak sesuai. Padahal ini merupakan hak seorang terdakwa dan merupakan kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk menunjuk penasehat hukum baginya. Bertolak dari latar belakang di atas, dipandang perlu mengkonkritkan pokok permasalahan sebagai suatu objek yang akan diteliti untuk selanjutnya dituangkan dalam rumusan masalah adalah Bagaimanakah penerapan Pasal 56 KUHAP tentang hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Gorontalo?
Dan
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
penerapan Pasal 56 KUHAP tentang hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Gorontalo? Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mendeskripsikan dan menganalisis penerapan Pasal 56 KUHAP tentang hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Gorontalo, Untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Pasal 56 KUHAP tentang hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Gorontalo. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif empiris. Hal ini berarti bahwa dalam penelitian ini akan melihat bagaimana penerapan Pasal 56 KUHAP sebagai landasan yuridis terhadap terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses persidangan serta melihat faktor-faktor apa yang mempengamhi penerapan Pasal 56 KUHAP dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Gorontalo. Adapun sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni deskriptif (menggambarkan) yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang permasalahan yang akan diteliti dengan memanfaatkan aturan hukum yang ada. Secara teoritis dalam penelitian hukum dikenal dengan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder2. Sumber perolehan data primer melalui penelitian secara langsung di lapangan
dengan
mempergunakan
metodologi penelitian
tertentu, seperti wawancara, diskusi interaktif, interview, observasi, questioner, angket dan lain sebagainya. Data sekunder disebut juga data teoritis dan bersifat tidak langsung, diperoleh melalui kepustakaan (library research) dan yang diteliti adalah bahan-bahan kepustakaan atau tertulis denmgan membaca, inventarisasi, identifikasi dan komperatif. Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek peneltian3. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah tertuju pada aparat penegak hukum 2 3
Syamsuddin Pasamai. 2010. Metodologi Penelitian Dan Penulisan Kenya Ilmiah Hukum. Makassar: PT. Umitoha Ukhuwah Grafika. hlm. 63. Burhan Ashshofa. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 79.
dalam hal ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo dan Pengacara. Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap dapat mewakili populasinya 4. Sampel yang dipilih sebagai responden dalam penelitian ini adalah terdiri dari 2 (dua) orang Hakim di Pengadilan Negeri Gorontalo, 2 dua) orang Pengacara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif pada dasarnya data dari penelitian ini tidak keluar dari lingkup sampel, bersifat deduktif, dan berdasarkan teori-teori atau konsepsi-konsepsi yang bersifat umum, atau dengan kata lain penelitian dekriptif bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematik dan akurat mengenai sesuatu fakta dan kareteristik tentang populasi atau mengenai bidang-bidang tertentu, sedangkan kualitatif adalah dimana pelaksanaan penelitian ini lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap hubungan antar fenomena yang diamati5. PEMBAHASAN Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), memberikan pengertian bahwa seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dari hakim pengadilan, ia tetap masih memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara. Dengan hak-hak individu yang dimiliki itu, dapat diajukan oleh dirinya kepada yang berwenang untuk segera untuk mendapat pemeriksaan oleh penyidik (tidak dibiarkan sampai berlarutlarut dengan alsasan banyak tugas). Selain itu, setiap individu memiliki hak untuk mempersiapkan penasehat hukum. Hak-hak individu ini sebelum berlakunya KUHAP sering tidak diperhatikan oleh petugas yang berwenang dalam menyelenggarakan proses peradilan. Hal itu karena RIB yang semula dari HIR, sebagai hukum acara buatan penjajah, tidak pernah memperhatikan hak-hak individu tersangka/terdakwa. Membicarakan tentang hak-hak tersangka/terdakwa itu dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah yang dihadapi, hak itu tidak perlu dibatasi dalam pemberian 4 5
Ibid. Syamsiddin Pasamai. Op. cit. hlm. 28.
bantuan hukum yang dapat dilakukan secara bebas. Artinya, hubungan antara tersangka/terdakwa dan pemberi bantuan hukum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan pembelaan, tentu memerlukan penjelasan melalui komunikasi, selama komunikasi berlangsung, tidak perlu diawasi dan atau didengar oleh petugas. Didalam pasal 56 KUHAP menyebutkan bahwa seorang tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati, atau ancaman hukumannya diatas 15 (lima belas) tahun, maka para pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa tersebut. Selain itu juga, seorang yang tidak mampu yang diancam 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak memiliki penasehat hukum, maka kewajiban penegak hukum
adalah
keseluruhannya
untuk itu
menyediakan dibebankan
penasehat
oleh
Negara,
hukum atau
bagi
dirinya.
dengan
kata
Dan lain
tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum secara cuma-cuma. Terkait dengan penerapan pasal 56 KUHAP terhadap perkara tindak pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo dimana penulis telah melakukan penelitian di lokasi penelitian, yang dimana penulis mendapatkan data sekitar pada tahun 2009 sampai dengan 2010 terdapat 7 (tujuh) kasus atau tindak pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo yang hukumannya diancam lebih dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terdakwanya tidak di dampingi oleh penasehat hukum. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang perkara tindak pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo sekitar tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 yang diancam dengan hukuman lebih dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terhadap terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum, dapat dilihat dalam tabel berikut:
No
1
Tahun
Jenis
Ancaman
Perkara
Tindak Pidana
Hukuman
2009
Pasal 285 KUHP
12 (dua belas) Tahun
Pemerkosaan
2
2009
Pasal 338 KUHP
15 (lima belas) Tahun
Pembunuhan
3
2009
Pasal 338 KUHP
15 (lima belas) Tahun
Pembunuhan
4
2009
Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002
15 (lima belas) Tahun
Pencabulan
5
2010
Pasal 338 KUHP
15 (lima belas) Tahun
Pembunuhan
6
2010
Pasal 363 ayat (1) KUHP
7 (tujuh) Tahun
Pencurian dengan Pemberatan
7
2010
Pasal 351 ayat (3) KUHP
7 (tujuh) Tahun
Penganiyaan yang mengakibatkan kematian Sumber Data : Pengadilan Negeri Gorontalo Merujuk uraian tabel diatas, menunjukan pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 terdapat 7 (tujuh) kasus atau tindak pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo yang dimana ancaman hukumannya diatas dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terhadap terdakwa pada waktu persidangan tidak didampingi oleh penesehat hukum.
Berikut ini adalah beberapa kutipan hasil wawancara langsung antara penulis dengan beberapa responden terkait dengan permasalahan yang diteliti:
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Arif Hakim Nugraha selaku Hakim Di Pengadilan Negeri Gorontalo, dimana menyebutkan bahwa: Setiap seseorang yang melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan dan diperiksa oleh aparat penegak hukum (dari tingkat kepolisian sampai di pengadilan) mereka masih memiliki hak-hak mereka, terutama hak untuk mendapatkan bantuan hukum melalui penasehat hukum. Penasehat hukum tersebut bisa disediakannya sendiri, ataupun bisa saja disediakan oleh Negara apabila masuk dalam kategori pasal 56 KUHAP. Peraturan tentang bantuan hukum terutama bagi orang yang tidak mampu, jangan sampai yang menikmati hanya penjahat golongan mampu belaka. Sehubungan dengan ini, perlu diperhatikan ketentuan pasal 114
yang menentukan bahwa sebelum
dimulaianya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum dan dalam hal lain yang diatur dalam pasal 56, wajib didampingi oleh penasehat hukum.
Lebih lanjut menurut responden Bapak Arif Hakim Nugraha menyatakan:
Bahwa ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP ini mesti diperhatikan dalam tiap kali pemeriksaan pada tingkat manapun. Karena ini merupakan hak-hak dari seorang tersangka/terdakwa, dan juga menjadi sebuah kewajiban bagi aparat penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan. Hal ini juga, sering disalah artikan oleh aparat penegak hukum yang melakukan pemeriksaan.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak David F.A Porajow selaku Hakim di Pengadilan Negeri Gorontalo menyatakan bahwa:
Tidak sedikit para aparat penegak hukum sering melakukan pelanggaran dalam hal menerapkan Pasal 56 KUHAP. Mereka sering
menyodorkan surat
pernyataan kepada tersangka/terdakwa untuk tidak atau menolak untuk didampingi
penasehat
hukum
tanpa
memberitahukan
kepada
tersangka/terdakwa tentang haknya tersebut untuk mendapat bantuan hukum. Sungguh sangat disayangkan, padahal pendampingan penasehat hukum tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada tersangka/terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut.
Lebih lanjut Bapak David F.A Porajow menyatakan: Di dalam Pasal 56 ayat KUHAP memang disebutkan ada beberapa kriteria seorang yang bisa mendapatkan bantuan hukum atau penasehat hukum. Diantaranya seorang yang diancam dengan hukuman mati, yang diancam dengan hukuman 15 tahun penjara atau lebih, dan juga bagi orang yang tidak mampu yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih. Ini disiapkan oleh Negara, dengan kata lain setiap pejabat atau aparat penegak hukum yang melakukan
pemeriksaan
wajib
menunjuk
penasehat
hukum
bagi
tersangka/terdakwa ini. Dan syarat-syarat mendapatkan penasehat hukum secara cuma-cuma ini seorang tersangka/terdakwa harus dikategorikan orang yang tidak mampu dan ancamannya juga harus diatas 5 tahun. Orang yang tidak mampu ini, beliau mengkategorikan dari segi ekonomi dan juga dari segi pemahaman/pengetahuan tentang hukum. Tapi tidak menutup kemungkinan orang yang mampu juga berhak untuk mendapatkan penasehat hukum ini.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Fatah Agung selaku Pengacara menyatakan bahwa: Sebagai pengacara yang dibebankan kode etik advokat, maka merupakan kewajiban dari seorang pengacara (advokat) untuk memberikan bantuan hukum kepada seorang yang tersandung suatu perkara pidana. Terlebih pada seorang
yang tidak mampu. Bagi seorang pengacara yang diberikan kewajiban untuk menjadi seorang penasehat hukum kepada tersangka/terdakwa, dan tidak melaksanakannya maka seorang pengacara tersebut sudah melanggar kode etik, dan tidak bekerja secara professional. Namun sangat disayangkan apabila melihat seseorang yang diadili tanpa ada pendampingan penasehat hukum. Bisa saja orang tersebut akan diberlakukan yang tidak sesuai oleh aparat penegak hukum.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Syahril Hamid selaku pengacara menyatakan bahwa: Pada prakteknya, memang seorang pengacara wajib memberikan bantuannya kepada seseorang yang terjearat kasus pidana. Namun kembali pada jumlah pengacara yang berada di kota Gorontalo, itu masih sangat kurang dan juga lembaga khusus untuk bantuan hukum pun masih minim. Disini kami sebagai seorang pengacara dalam memberikan bantuan hukum pun sangat sulit, sehingga
dapat
dilihat
ada
beberapa
perkara
yang semestinya
ada
pendampingan penasehat hukum, malah harus mengabaikan ketentuan yang ada. Memang dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa dalam proses pemeriksaan baik di tingkat kepolisian sampai ditingkat pengadilan, seorang yang menjadi tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan penasehat hukum untuk mendampinginya pada proses pemeriksaan dari awal. Dan penasehat hukum itu wajib ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada setiap pemeriksaan. Namun kenyataannya masih saja penegak hukum tidak mengindahkan aturan ini. Hal ini disebabkan karena kekurangannya pengacara yang ada di Gorontalo untuk menjadi penasehat hukum dalam proses pemeriksaan tersebut. Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, khususnya dalam penerapan pasal 56 KUHAP antara lain adalah Faktor Struktur Hukum (Legal Structure). Yaitu Struktur hukum meliputi institusi penegak hukum
beserta para aparatnya yakni yang terdiri dari Institusi Kepolisian yang didalamnya, Faktor Subtansi Hukum (Legal Subtance) yaitu norma dan pola perilaku manusia yang ada dalam system, dan Faktor Budaya Hukum (Legal Culture) yang pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsep abstrak mengenai apa yang baik dan buruk.
KESIMPULAN sebagai rangkaian akhir penutup dari jurnal ini, maka penulis menarik kesimpulan yakni Prinsip Miranda Rule atau yang dikenal dengan hak-hak tersangka/terdakwa sebagaimana yang tercantum dalam ketenrtuan Pasal 56 KUHAP merupakan hak konstitusional yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa untuk mendapatkan atau memperoleh bantuan hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan pidana. Penerapan Pasal 56 KUHAP khususnya dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Gorontalo belum sepenuhnya diterapkan, padahal secara jelas prinsip ini dalam ketentuan aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam pasal 56 KUHAP merupakan suatu bentuk ketentuan aturan yang berifat imperatif. Dan Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum terkait dengan penerapan Pasal 56 KUHAP, yaitu faktor struktur hukum, yang meliputi pihak aparat penegak hukum baik dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hakim yang dalam hal ini tidak mencerminkan adanya sikap profesional dalam menjalankan tugas, faktor subtansi hukum, yang meliputi ketentuan aturan perundang-undangan dan faktor budaya hukum, yang meliputi sikap atau budaya taat hukum bagi seorang aparat penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA Sofyan Lubis. 2010. Prinsip "Miranda Rule" Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan. Jakarta: Pustaka Yustisia Syamsuddin Pasamai. 2010. Metodologi Penelitian Dan Penulisan Kenya Ilmiah Hukum. Makassar: PT. Umitoha Ukhuwah Grafika
Burhan Ashshofa. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta Syamsuddin Pasamai. 2010. Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum. Makassar: PT. Umitoha Ukhuwah Grafika.