I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Konservasi satwaliar meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan (Sekditjen PHKA 2007a). Pemanfaatan satwaliar menjadi kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Indrawan et al. 2007). Satwaliar merupakan salah satu produk yang mempunyai nilai kegunaan produktif. Salah satu bentuk pemanfaatan satwaliar di Indonesia adalah untuk perdagangan, baik perdagangan di dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Ekspor reptil Indonesia sebagian besar dilakukan dalam bentuk kulit dan sebagian kecil satwaliar hidup untuk peliharaan (Arifin 1998; Yuwono 1998; Mardiastuti & Soehartono 2003; Semiadi & Sidik 2011). Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Pada kurun waktu tahun 1983-1999, Indonesia telah mengekspor 30 juta lembar kulit dengan negara tujuan utama adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Mexico dan Italia (Mardiastuti & Soehartono 2003).
1.2.
Perumusan Masalah Salah satu jenis ular yang banyak dipanen adalah Python reticulatus atau
sanca batik (Abel 1998; Requier 1998; Shine et al. 1998a; Yuwono 1998; Auliya et al. 2002; Mardiastuti & Soehartono 2003). Menurut Mardiastusti dan Soehartono (2003), pada tahun 1983-1999 Python reticulatus, diekpor dengan jumlah lebih dari 200 000 lembar/tahun. Kuota tangkap Python reticulatus pada tahun 2010, 2011 dan 2012 sebanyak 180 000 ekor, dari jumlah itu, 175 000 ekor untuk kulit dan 5 000 ekor dalam bentuk hidup untuk binatang peliharaan (pet) (PHKA 2010a, 2010b, 2011). Daerah pengambilan Python reticulatus tahun 2010, 2011 dan 2012 meliputi 16 propinsi untuk kulit dan 7 propinsi untuk pet. Kuota Python reticulatus selalu paling banyak dibanding ular lain yang termasuk dalam kategori Appendix II CITES karena sebarannya yang dianggap luas dan populasinya masih besar. Menurut Keogh et al. (2001), sebaran Python breitensteini ada di Kalimantan, Python curtus dan Python brongersmai di Sumatera, sedangkan menurut Shea (2007), sebaran Python reticulatus di Indonesia cukup luas meliputi Mentawai, Sumatera, Lesser Sunda, Tanimbar sampai ke Maluku. Kulit yang cukup lebar dengan corak yang bagus
2
memudahkan untuk dibentuk menjadi berbagai barang kerajinan seperti tas, dompet, ikat pinggang, gelang, sepatu bahkan baju dan jaket. Kuota panenan (kuota tangkap) seharusnya ditetapkan berdasarkan jumlah panenan yang lestari. Masalahnya adalah otoritas pengelola seringkali tidak mempunyai data yang up to date mengenai populasi yang ada pada saat tersebut, padahal mereka harus menentukan kuota panenan justru sebelum jumlah panenan tahunan diketahui dengan pasti (Sinclair et al. 2006). Pada umumnya, pengelola hanya mengetahui sedikit mengenai populasi dari informasi yang diperoleh dari panenan yang berhasil pada tahun sebelumnya. Informasi tersebut akan menjadi dasar ijin jumlah perkiraan panenan yang diperbolehkan, berdasarkan kelimpahan populasi pada akhir pemanenan. Dengan kata lain, pengelola harus mengetahui kondisi populasi pada saat akhir panenan untuk menentukan kuota panen pada tahun berikutnya agar populasi tetap konstan. Ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan resiko panenan yang berlebih (overharvesting). Menurut Sinclair et al. (2006), strategi pemanenan yang lestari sebenarnya sangat sederhana, yaitu melakukan panenan pada populasi dengan jumlah yang sama dengan pertumbuhannya. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan (Webb & Vardon 1998). Keberlanjutan populasi yang dipanen tergantung pada strategi regulasi (batasan secara legal) yang digunakan untuk mengatur panenan tersebut dan strategi yang paling mudah adalah penerapan kuota panenan yang tetap dari tahun ke tahun (Sinclair et al. 2006). Pada kenyataannya, penetapan kuota lebih banyak berdasarkan pada realisasi tahun sebelumnya tanpa memperhatikan kondisi aktual mengenai populasi dan habitat, terutama pada saat setelah dilakukan pemanenan yang terakhir. Hal ini terjadi karena masih sangat minimnya data tersebut. Tidak pada semua satwaliar dilakukan penelitian untuk menetapkan kuotanya. Apabila penentuan kuota hanya berdasarkan kuota tahun sebelumnya, maka bisa terjadi kemungkinan pemanenan yang berlebih karena kondisi populasi yang terakhir tidak diketahui. Padahal menurut Pearce dan Turner (1990) pemanenan yang tidak memperhatikan kelestarian akan mengancam populasi dan menyebabkan
3
kepunahan spesies yang dipanen tersebut. Populasi akan lestari bila jumlah kematian (pemanenan) sama dengan jumlah kelahiran (laju pertumbuhan). Untuk mengetahui laju pertumbuhan populasi, diperlukan data parameter demografi. Selain itu, faktor habitat juga sangat menentukan pertumbuhan populasi. Oleh karena itu, penelitian mengenai parameter demografi dan kondisi habitat harus dilakukan. Faktor lain yang juga perlu dikaji adalah tata niaga karena tata niaga berperan dalam tinggi rendahnya pemanenan. Gambaran tata niaga bisa menunjukkan nilai ekonomi satwaliar tersebut. Semakin tinggi nilai ekonominya maka akan semakin banyak pelaku tata niaga dan akan semakin besar pula panenan yang dilakukan. Mekanisme penangkapan dan peredaran satwaliar sudah diatur dalam SK Menteri Kehutanan No. 443/Kpts-II/2003, namun perlu dilihat apakah mekanisme penangkapan dan peredarannya sudah sesuai dengan aturan tersebut. Jumlah penangkapan sudah ditentukan dengan kuota, namun perlu diketahui pula benarkah jumlah yang ditangkap tersebut benar-benar sesuai kuota. Informasi mengenai tata niaga, habitat dan populasi akan memberikan gambaran kelestarian satwaliar tersebut di alam. Tata niaga yang menyimpang dari aturan bisa jadi menyebabkan terjadinya gangguan pada kelestarian. Data habitat bisa menggambarkan kondisi aktual lokasi panenan dilakukan. Data populasi yang meliputi parameter demografi, morfometri dan populasi panenan akan memberikan gambaran keadaan populasi satwa di alam, apakah jumlah panenan masih melimpah yang berarti keberadaannya di alam masih banyak dan mudah ditemukan, sex rasio masih seimbang, kelas umur yang dipanen dan ukuran yang dipanen. Daerah pengambilan Python reticulatus untuk kulit yaitu Nanggro Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Maluku . Daerah pengambilan Python reticulatus untuk pet yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan. Daerah pengambilan terbanyak adalah Sulawesi Selatan.
4
Sedangkan propinsi terluas untuk daerah pengambilan ini adalah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena beberapa alasan. Sebagai lokasi pengambilan terluas nomor dua, Kalimantan Tengah hanya mempunyai kuota tangkap nomor tujuh. Dengan luasnya wilayah Kalimantan Tengah, kemungkinan populasi Python reticulatus lebih besar dibanding lokasi lain yang lebih sempit namun memiliki kuota yang lebih banyak. Selama ini, penelitian mengenai Python reticulatus di Kalimantan Tengah juga masih sangat sedikit. Shine et al. (1998a, 1998b, 1998c), Abel (1998), Semiadi dan Sidik (2011) dan Siregar (2012) melakukan penelitian di Sumatera. Sedangkan Riquier (1998) telah melakukan penelitian di Kalimantan, namun lebih banyak dilakukan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dalam penelitiannya itu, Riquier menyatakan bahwa hasil penelitiannya belum bisa menggambarkan kepadatan populasi di Kalimantan karena wilayah studi yang tidak lengkap. Wilayah studi harusnya difokuskan dengan memilih satu tapak tertentu. Dengan demikian, cukup tepat alasan memilih Kalimantan Tengah sebagai lokasi penelitian.
1.3.
Tujuan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
a.
Mendeskripsikan tata niaga Python reticulatus dari penangkap sampai eksportir di Kalimantan Tengah.
b.
Mendeskripsikan karakteristik habitat Python reticulatus di Kalimantan Tengah.
c.
Mengidentifikasi parameter demografi Python reticulatus yang tertangkap di Kalimantan Tengah.
d.
Mengidentifikasi morfometri Python reticulatus yang tertangkap di Kalimantan Tengah.
1.3.
Manfaat Penelitian
a.
Memberikan informasi ilmiah mengenai habitat, populasi dan pemanenan Python reticulatus di Kalimantan Tengah yang bisa digunakan sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan pengelolaan.
5
b.
Memberikan data ilmiah mengenai tata niaga dan tipe penangkapan Python reticulatus di Kalimantan Tengah untuk menentukan penangkapan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan penangkapan yang tidak menimbulkan kerusakan di alam (non-detriment findings).