PEMODELAN SISTEM DALAM RANGKA PEMBENTUKAN UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) ( Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)
RIZKY RAHADIKHA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN RIZKY RAHADIKHA. Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat). Dibimbing oleh BUDI KUNCAHYO dan EMI KARMINARSIH
Salah satu alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi tekanan terhadap sumber daya hutan dan guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan baku kayu adalah dengan pembangunan hutan rakyat. Pola penanaman yang digunakan adalah sistem agroforestry. Pengelolaan hutan rakyat yang ideal memungkinkan pemiliknya menerapkan manajemen yang lebih fleksibel dan efektif dalam pengaturan hasil maupun pengawasannya. Penelitian ini bertujuan mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat, menyusun model unit pengelolaan dan mengidentifikasi kelayakan usaha hutan yang ada di Desa Cikalong. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai Januari 2011 di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan sistem wawancara dan observasi lapang menggunakan teknik purposive sampling terhadap 90 responden yang memiliki lahan hutan rakyat berdasarkan luasan lahannya. Data yang dicari dalam penelitian ini antara lain, data primer meliputi kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh para petani. Sedangkan data sekunder berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya. Dalam membangun suatu model diperlukan 5 (lima) tahap yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, evaluasi model dan penggunaan model. Selanjutnya mengidentifikasi kelayakan usaha berdasarkan kriteria nilai NPV (Net Pressent Value), BCR (Benefit Cost Ratio) dan IRR (Internal Rate of Return). Sengon (Parasienthes falcataria) menjadi tanaman pokok petani hutan rakyat di Desa Cikalong. Pengelolaan hutan rakyat meliputi persiapan lahan, penyediaan bibit, penanaman dan pemeliharaan. Dalam pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat menggunakan model yang terdiri dari 5 (lima) sub model. Daur yang digunakan dalam model ini adalah 5 tahun. Hasil simulasi model dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 10 orang per Ha dan luasan efektif yang diperoleh sebesar 2.800 Ha. Selanjutnya untuk mengetahui kelayakan usaha hutan rakyat dilakukan perhitungan analisis finansial. Nilai NPV (Net Present Value) sebesar Rp 53.413.225.211. Nilai BCR (Benefit Cost Ratio) sebesar 1,2. Nilai IRR (Internal Rate Ratio) sebesar 32,6%.
Kata Kunci:
Hutan Rakyat, Kelayakan Usaha, Kegiatan pengelolaan hutan rakyat
SUMMARY RIZKY RAHADIKHA. Modeling System in the Context Establishment of The Community Forest Management Unit of Sengon (Paraserianthes falcataria) (Case Studies in the Cikalong Village, Cikalong District, Tasikmalaya Regency, West Java). Supervison of BUDI KUNCAHYO and EMI KARMINARSIH.
One alternative to solve the pressure against the forest resources and to supply the needs of wood raw material problems is by building the community forest. The planting pattern used is the agroforestry system. The ideal management of community forest allows the owner to implement a more flexible and effective management in regulation and the supervision of the outcome. The objective of the research is to learn the management system of community forest, to develop the model of management units and to identify the feasibility of forest bussiness in Cikalong Village. The research was conducted in November 2010 to January 2011 in Cikalong Village, sub-district of Cikalong, the regency of Tasikmalaya, West Java. This research was conducted with an interview system and field observations using a purposive sampling technique on 90 respondents who have a forest land based on their land area. There are two kinds of data sought in this study, the primary data consist of community forest management activities done by farmers. The secondary data derived from forestry and plantation office of Tasikmalaya regency. In building a model is required 5 (five) stages: identification of issues, objectives and constraints, model conceptualization, model specification, model evaluation and the use of models. Next, identify the feasibility based on NPV (Net Pressent Value), BCR (Benefit Cost Ratio) and IRR (Internal Rate of Return). Sengon (Parasienthes falcataria) become the main crop of community forest farmers in Cikalong Village. Community forest is managed, including land preparations, provision of seeds, planting and maintenance. In the formation of community forest management unit using a model that consists of 5 (five) submodels. The time spent in this model is five years. The results of the simulation model can provide employment to 10 persons per Ha and obtained effective area of 2.800 Ha. Furthermore, to determine the feasibility of the forest business performed the calculation of financial analysis. NPV (Net Present Value) of Rp 53.413.225.211. BCR (Benefit Cost Ratio) of 1,2. IRR (Internal Rate Ratio) of 32,6%.
Keywords: Community Forest, Feasibility, Community Forest Management Activities.
PEMODELAN SISTEM DALAM RANGKA PEMBENTUKAN UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) ( Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
RIZKY RAHADIKHA E14060751
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat) adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai skripsi pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Rizky Rahadikha NRP E14060751
Judul skripsi : Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat). Nama
: Rizky Rahadikha
NRP
: E14060751
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS
Ir. Emi Karminarsih, MS
NIP. 19610720 198601 1 001
NIP. 19470926 1980003 2 002
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401199403 1 001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji serta syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya skripsi yang berjudul Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat) dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat, menyusun model unit pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong dan mengindentifikasi kelayakan usaha hutan rakyat yang ada di Desa Cikalong. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat membangun guna memperbaiki skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 23 April 1988 dari Ayahanda Rudi Pandan Kasturi dan Ibunda Dra. Yeni Sriyani. Penulis merupakan anak pertama dari Empat bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh adalah SDN Citimun II Sumedang
pada tahun 1994 – 2000,
SLTP Negeri 1 Cimalaka pada tahun 2000 – 2003, SMA Negeri 1 Sumedang pada tahun 2003-2006, dan pada tahun 2006 penulis diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Sylva IPB tahun 2008 – 2009, Staf Divisi Hubungan Luar (HUBLU) Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2008 – 2009, anggota Mahasiswa
Sumedang
(WAPEMALA),
panitia
Temu
Manajer
Jurusan
Manajemen Hutan pada 2008, panitia Forester Cup pada tahun 2009, panitia Seminar Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Lacak Balak tahun 2009. Penulis pernah melakukan praktek pengenalan Ekosistem hutan (PPEH) jalur Cilacap-Baturaden tahun 2007 – 2008, praktek pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi pada tahun 2008 – 2009, dan Praktek Kerja lapang (PKL) di Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti, Jambi pada tahun 2009 – 2010. Penulis melakukan penelitian dengan judul Pemodelan Sistem Dalam Rangka
Pembentukan
Unit
Pengelolaan
Hutan
Rakyat
Jenis
Sengon
(Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat). Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS sebagai dosen pembimbing pertama dan Ibu Ir. Emi Karminarsih, MS sebagai dosen pembimbing kedua.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Allah SWT yang memberikan segala kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)” dengan lancar. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan data primer yang diperoleh penulis dengan cara wawancara dan pengisian kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data monografi Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1.
Kedua orang tua tercinta, Papah Rudi Pandan Kasturi, Papah Timbul Khusdjantono, MM., Bunda Dra. Yeni Sriyani, Mamah Endang Sumarni SPd., serta adik-adikku tercinta Anindy Mugia Lestari, Aflah Qastalani Bragas Prana Pamungkas, Sakya, atas dukungan secara moral maupun material serta kasih sayang yang senantiasa tercurah.
2.
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS., sebagai dosen pembimbing pertama dan Ir. Emi Karminarsih, MS., Sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi dapat selesai dengan baik.
3.
Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS., sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS., sebagai dosen ketua sidang.
4.
Dr. Ir. M. Buce Shaleh, MS., selaku dosen pembimbing akademik. Priyanto MSi., selaku moderator seminar dan seluruh dosen staf Departemen Manajemen Hutan yang telah membantu proses akademik penulis.
5.
Bang Lutfy Abbullah, MSi dan Mas Desi Suyamto yang telah banyak membantu penulis dalam pembelajaran software Stella dan pengolahan data sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
6.
Bapak Shodik beserta keluarga yang telah memberikan tempat tinggal kepada penulis selama penelitian berlangsung.
7.
Instansi-instansi (Badan Pusat Statistik Tasikmalaya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tasikmalaya, Kantor Kecamatan Cikalong, Kantor Desa Cikalong) atas informasi yang diberikan.
8.
Ahmad Jamhari Rahmawan S. Hut., Nur Trianna Aprilia S.Hut., May Chaesarani S.Hut., Woro sulistiawati S.Hut., Yayat Sarif Hidayattullah S.Hut., Limas Agung SP., Esty Kusuma Rahmasari S.Hut., Edi Abdullah S.Hut., Riva Nurul Fath S.TP, atas semangat dan koreksi draft skripsi untuk perbaikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
9.
Lisa Mariance Marbun, Nurindah Ristiana, Ratih Solichia Maharani, Dhea Fauzia Lestari, Arnaldo Hendrix, Aninditha Julian, Yudistira Aprianto, Dyah Ayu fitriasari, Debi Ghinayanti, Nissa Resdiani, Dian, Iyis, Kristanto, Candra, Cindra, Subhan, Adnan, atas persahabatan yang terjalin selama ini.
10. Teman-teman Manajemen Hutan 43 Terimakasih atas kebersamaannya selama hampir empat tahun di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 11. Seluruh pihak terkait yang baik secara langsung atau tidak langsung telah membantu penelitian dan pengerjaan skripsi ini hingga selesai.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.................................................................................. 2 1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Rakyat ............................................................................. 4 2.2 Agroforestry ............................................................................................. 5 2.3 Karakteristik Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) .......................... 6 2.4 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................... 8 2.5 Peranan Hutan Rakyat .............................................................................. 11 2.6 Pendapatan Rumah Tangga ...................................................................... 12 2.7 Pendekatan Sistem.................................................................................... 12 2.8 Analisis Finansial ..................................................................................... 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 15 3.2 Bahan dan Alat ......................................................................................... 15 3.3 Metode Pengambilan Data ....................................................................... 15 3.4 Metode Pengambilan Contoh ................................................................... 16 3.5 Metode Pengolahan Data ......................................................................... 16 3.7 Kerangka Penelitian ................................................................................. 20 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya ................................................. 22 4.2 Keadaan Umun Kecamatan Cikalong dan Desa Contoh .......................... 23
ii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden .......................................................................... 26 5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ................................................................ 29 5.3 Model Pengelolaan Hutan Rakyat Dengan Pendekatan Sistem ............... 32 5.4 Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat ................................................... 45 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 48 6.2 Saran ......................................................................................................... 48 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................49
iii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Distribusi responden menurut kelas luas kepemilikan lahan hutan rakyat masing-masing dusun di Desa Cikalong .......................... 26 2. Distribusi responden menurut mata pencaharian pada masing-masing dusun di Desa Cikalong ......................................................... 27 3. Distribusi responden menurut usia pada masing-masing dusun di Desa Cikalong .................................................................................. 28 4. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan pada masing-masing dusun di Desa Cikalong ................................................ 28 5. Skenario daur dan harga tanaman sengon ....................................................... 44 6. Skenario perubahan suku bunga ..................................................................... 45 8. Nilai kriteria kelayakan usaha ......................................................................... 47
iv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman 1. Hutan rakyat Desa Cikalong ........................................................................... 29 2. Hubungan antar sub model ............................................................................. 36 3. Konseptualisasi model ....................................................................................... 37 4. Sub model dinamika tegakan .............................................................................. 38 5. Sub model tenaga kerja ...................................................................................... 38 6. Sub model industri usaha kayu hutan rakyat ........................................................ 39 7. Sub model pengaturan hasil ................................................................................ 40 8. Sub model kelayakan usaha ................................................................................ 40 9. Evaluasi model .................................................................................................. 41 10. Analisis sensitivitas model ................................................................................. 42 11. Skenario daur dan harga .................................................................................. 43 12. Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga ....................................... 44
v
DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Peta kawasan Kabupaten Tasikmalaya ........................................................... 52 2. Identitas responden ......................................................................................... 53 3. Model equations...............................................................................................56 4. Kuesioner penelitian.........................................................................................61
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan, karena hutan dapat memberikan berbagai manfaat berupa barang dan jasa lingkungan yang begitu besar. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
tanpa
mengabaikan aspek kelestariannya. Kelestarian sumberdaya hutan yang dimaksud adalah penyediaan hasil hutan (hasil kayu dan hasil bukan kayu) yang teratur dan berkelanjutan yang dimanfaatkan sesuai kapasitas sumberdaya hutan tersebut. Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan untuk pengelolaan hutan secara lestari adalah pembangunan hutan rakyat, yakni dengan menanam pohon yang mempunyai nilai komersial di lahan kering maupun lahan kritis milik penduduk. Manfaat hutan rakyat bagi masyarakat sendiri dirasakan dari segi ekonomi, ekologi dan segi sosial. Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya, yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan, dimana minimal luasannya harus 0,25 Ha. Hal tersebut disebabkan karena ratarata kepemilikan lahan di Pulau Jawa masih sempit. Keadaan ini mendorong pemilik lahan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin pengelolaan lahan mereka dengan cara memanfaatkan lahan mereka dengan membudidayakan tanaman yang bernilai tinggi dan cepat menghasilkan. Potensi hutan rakyat di Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS 2004) mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 Ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019 pohon, dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 pohon. Perkembangan hutan rakyat yang berada di Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya, berdasarkan data Statistik Kehutanan dan
2
Perkebunan tahun 2009 mempunyai luas 44.318,54 Ha. Jenis kayu sengon (Paraserianthes falcataria) menjadi jenis kayu yang paling banyak ditanam oleh petani hutan rakyat. Jumlah pohon yang ada mencapai 14.989.508 batang, dan pohon siap tebang sebanyak 314.245,240 batang. Hal tersebut dikarenakan daur pendek pada tanaman sengon dapat mengatur perputaran dana pengolahan hutan secara cepat dan pengelolaan hutan rakyat dengan menggunakan sistem agroforestry. Pembangunan hutan rakyat dapat berupa kayu rakyat yang saat ini telah berkembang menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup baik dan dirasakan oleh masyarakat bahwa usaha ini dapat memberikan tambahan pendapatan. Namun demikian kayu sebagai hasil hutan rakyat masih menempati posisi kurang penting sebagai pendapatan rumah tangga petani. Hal ini ditunjukan oleh sedikitnya jumlah pohon yang dimiliki serta penentuan daur yang tidak menentu. Karenanya sampai saat ini pohon-pohon yang dimiliki oleh petani hutan rakyat tidak diposisikan menjadi salah satu sumber pendapatan andalan. Oleh karena itu perlu adanya informasi, baik masalah teknis maupun prospek nilai ekonomisnya. Pengelolaan
hutan
rakyat
yang
ideal
memungkinkan
pemiliknya
menerapkan manajemen yang lebih fleksibel dan efektif dalam pengaturan hasil maupun pengawasannya. Namun pada umumnya kebiasaan petani hutan rakyat tidak menerapkan pengelolaan yang baik, maka pendapatan petani dari pohonpohon yang dimilikinya hanya merupakan bagian kecil dari total pendapatan rumah tangga per tahun.
1.2 Perumusan Masalah Hutan rakyat mempunyai peran yang positif baik secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan pemilik hutan rakyat, penyediaan lapangan pekerjaan, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sedangkan dari aspek ekologi, hutan rakyat dapat mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah dan menjaga keseimbangan tata air.
3
Pengelolaan hutan rakyat masih tergantung pada keputusan pemiliknya dalam menentukan jenis pohon dan waktu penebangannya (daur kebutuhan) dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Permasalahan pokok yang menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana pemilik hutan rakyat dapat memilih skenario pengelolaan hutan yang terbaik, melalui permodelan simulasi yang dapat memprediksi tingkat pendapatan petani hutan rakyat pada berbagai luas unit pengelolaan yang tersedia dan layak untuk diusahakan.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong.
2.
Menyusun model unit pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong.
3.
Mengidentifikasi kelayakan usaha hutan rakyat yang ada di Desa Cikalong.
1.4 Manfaat Penelitian Kegunaan atau manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Dari sisi akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong.
2.
Kegiatan dan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihakpihak yang terkait baik pemerintah daerah, pemerintah pusat atau bahkan pemilik modal dalam meningkatkan produktivitas hutan rakyat tersebut melalui terobosan-terobosan baru yang dilakukan.
3.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya petani hutan rakyat mengenai skenario pengelolaan yang dapat memberikan keuntungan terbaik secara finansial sehingga dapat dijadikan pertimbangan
dalam
membangun
pengelolaan hutan rakyat.
lahannya
ke
arah
pengembangan
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Rakyat Hutan rakyat menurut pengertian perundang-undangan No. 41 Tahun 1999 adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal. Karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah bersifat individual, oleh keluarga, tidak memiliki manajemen formal dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti itu dalam perkembangannya ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, dan sinkronisasi konservasi serta kelestarian hutannya tidak dapat dijamin (Awang 2005). Balai Informasi Pertanian (1982), menggolongkan hutan rakyat berdasarkan jenis tanaman dan pola penanamannya ke dalam bentuk-bentuk hutan rakyat murni, hutan rakyat campuran, dan hutan rakyat dengan sistem tumpang sari. 1.
Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen dan monokultur.
2.
Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.
3.
Hutan rakyat dengan sistem tumpangsari merupakan hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan usaha tani lainnya, seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada satu lokasi. Hutan rakyat merupakan hutan yang dimilki oleh rakyat dengan luas
minimal 0,25 Ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan jenis tanaman lainnya lebih dari 50% atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per-hektar. Usaha hutan rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar
5
kawasan hutan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan hutan rakyat, yang bertujuan untuk rehabilitasi lahan, juga untuk menghasilkan kayu rakyat (Kementrian Kehutanan 2007).
2.2 Agroforestry Menurut Nair dalam Hairiah et al. (2003) agroforestry adalah sistem penggunaan terpadu, yang memiliki aspek sosial ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergilir, sehingga dari satu unit lahan tercapai total nabati atau hewani yang optimal dalam arti berkesinambungan. Menurut Andayani (2005) agroforestry dapat diartikan juga sebagai sebuah bentuk nama kolektif (collective name) dari sistem nilai masyarakat berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu, agroforestry dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk sebagai berikut: 1.
Agrisivikultur yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan komponen kehutanan dengan komponen pertanian. Dalam sistem ini ditanam pohon serbaguna atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan-lahan pertanian.
2.
Sylvopastural, yaitu sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk menghasilkan kayu dan juga memelihara ternak.
3.
Agrosylvo-pastoral, yaitu sistem dimana lahan dikelola untuk memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
4.
Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak. Wiersum (1987) dalam Departemen Kehutanan (1989) mengatakan, kebun
campuran adalah bagian dari agroforestry yang banyak diusahakan oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan. Bentuk-bentuk kebun campuran dapat berbeda tergantung pada kondisi biofisik, lokasi, budaya, politik, psikologi, dan keadaan sosial ekonomi. Fungsi utama dari kebun campuran adalah
6
memenuhi sampai setengah dari kebutuhan dasar keluarga terutama pada masa kekeringan atau kekurangan. Sebagai contoh 25,5% dari rata-rata pendapatan keluarga di Jawa Barat adalah berasal dari kebun campuran. 2.3 Karakteristik Jenis Sengon (Paraserienthes falcataria) 2.3.1 Keterangan Botani Nama latin sengon adalah Paraserianthes falcataria (L) Nielsen. Para petani di Propinsi Jawa Barat telah sejak lama mengembangkan tanaman sengon. Di daerah priangan tanaman ini dikenal dengan nama jeungjing, jengjeng, albasia dan sengon. Sedangkan di daerah Jawa Tengah dikenal dengan nama mbesiah, sengon laut. Untuk daerah di luar pulau Jawa sengon dikenal dengan nama rawe, selawoku merah, seka, sika. Di Irian Jaya sengon dikenal dengan nama bae, bai wahongon (Atmosuseno 1998). Klasifikasi morfologi sengon Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) ialah: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Sub Famili
: Mimosoidae
Genus
: Paraserianthes
Spesies
: Paraserianthes falcataria (L) Nielsen
Perbungaan tanaman sengon tersusun dalam bentuk malai. Ukuran bunga sekitar 0,5-1 cm, berwarna putih kekuningan dan sedikit berbulu. Setiap kuntum bunga mekar berisi bunga jantan dan bunga betina. Adapun penyerbukannya dibantu oleh angin dan serangga (Purnadjaja et al. 1998). Daun sengon merupakan susunan daun majemuk ganda, berwarna hijau dan mudah rontok. Pada masa pertumbuhan tajuk sengon akan membentuk strata vertikal yang bertambah tinggi sesuai dengan pertambahan umur pohon, tetapi saat pertumbuhan sudah maksimal tajuk pohon sengon akan melebar dan memiliki lebih banyak cabang. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis dan panjangnya
7
6-12 cm. Setiap polong buah berisi 15-30 biji. Biji tersebut biasanya terlepas dari polongnya yang terbuka bila masak. Bentuk bijinya mirip perisai kecil, dan jika sudah tua maka biji tersebut berwarna cokelat kehitaman, agak keras dan berlilin (Purnadjaja et al. 1998). Sengon merupakan jenis kayu ringan yang termasuk dalam kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V. Kayu sengon digunakan sebagai bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan kertas (Mandang dan Pandit 1997). 2.3.2 Habitat Pohon jenis sengon memiliki sebaran alami di daerah tropis di antaranya adalah Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Bismark. Merupakan spesies pionir, terutama terdapat di hutan hujan dataran rendah sekunder atau hutan pegunungan rendah. Jenis tanaman ini tumbuh baik di dataran rendah sampai ketinggian 1.600 mdpl, akan tetapi ketinggian optimal pada umumnya adalah 0-800 mdpl. Dapat beradaptasi dengan iklim monsoon dan lembab dengan curah hujan 2000-2700 mm/th dengan bulan kering sampai 4 bulan. Suhu optimal pertumbuhan 22 – 29oC serta intensitas cahaya tinggi (intoleran). Mampu tumbuh 8 mm/tahun dalam tahun pertama penanaman (Hidayat 2007). Tanpa pemeliharaan yang intensif sengon dapat tumbuh dengan subur, tinggi, melebar dan rindang. Sengon banyak digunakan pada tanaman pola polikultur atau sebagai tegakan dalam tanaman industri, tanaman rempah dan tumpang sari palawija (Dephut 1990). 2.3.3 Hama dan Penyakit Hama boktor (Xystrocera festiva) seringkali menyerang pohon. Gejalanya adalah kulit pohon pecah-pecah, lalu mengeluarkan cairan berwarna coklat sampai kehitam-hitaman, bahkan keluar serbuk kayu bekas gerekan. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan model “pantek”. Caranya adalah dengan menggunakan kapuk dan memasukkannya ke dalam insektisida, lalu disumbatkan pada pintu lubang tersebut, maka hama boktor akan mati. Atau dengan cara menebang pohon lalu dimusnahkan agar hama boktor tidak menjalar ke pohon lain (Santoso 1992). Tanaman sengon kadang-kadang diserang penyakit akar merah yang disebabkan jamur Ganoderma pseudoferma. Gejala yang tampak pada daun-daun
8
adalah layu, lalu rontok, dan akhirnya mati. Penyakit ini terutama menyerang akar sengon. Jika kulit akar dikupas, akan tampak benang-benang merah yang menempel pada kayu akar. Teknis pengendaliannya dapat dilakukan dengan menebang dan membuang pohon yang terserang, membuat selokan isolasi sedalam 1-1.5 m mengelilingi pohon, atau menyemprotkan fungisida (Santoso 1992).
2.4 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatankegiatan
perencanaan,
pembinaan,
pengembangaan
dan
penilaian
serta
pengawasan pelaksanaan kegiatan produksi, pengelolaan hasil dan pemasaran secara berkesinambungan. Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990) ada tiga sub sistem yang saling terkait dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengelolaan hasil dan sub sistem pemasaran hasilnya. Secara rinci setiap sub sistem dapat di uraikan sebagai berikut: 1.
Sub sistem produksi adalah tercapainya keseimbangan produksi dalam jumlah jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan rakyat.
2.
Sub sistem pengelolaan hasil adalah proses sampai menghasilkan bentuk, produk akhir yang dijual oleh para petani.
3.
Sub sistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjualan yang optimal, dimana semua produk terjual di pasaran. Hardjanto (2000) mengemukakan ciri-ciri pengusahaan hutan rakyat
sebagai berikut: 1.
Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang rendah.
2.
Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.
3.
Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.
9
Djajapertjunda (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat terdapat beberapa ciri-ciri aspek teknis yang sama seperti teknis hutan yang lain, berikut aspek-aspek teknis yang harus diperhatikan : 1.
Pemilihan lokasi Lokasi yang dipilih untuk ditanami kayu milik rakyat sebaiknya dipilih di
kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan pertanian secara permanen. Apabila di lahan tersebut sudah ada tanaman-tanaman yang berupa tanaman kayu atau buah-buahan, maka tanaman kayu dapat dilaksanakan sebagai tanaman sisipan di antara tanaman lain yang sudah ada, sehingga seluruh kebun akan lebih produktif. Cara seperti ini sudah dipraktekkan oleh masyarakat petani. 2.
Persiapan lahan Tanah-tanah yang akan ditanami tanaman kayu pada umumnya berupa tanah
yang sudah berupa kebun yang mungkin sudah ada tanaman lainya dan relatif tidak mengandung tumbuhan liar. Karena itu untuk menanam kayu tidak perlu dibersihkan secara keseluruhan. Untuk setiap bibit yang akan ditanam cukup disediakan lubang tanam yang berukuran kurang lebih 30 cm x 30 cm dengan kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan garis tengahnya kurang lebih sekitar 100 cm (sistem cemplongan). Apabila tanaman kayu akan ditanam bersama-sama dengan tanaman palawija, dengan sendirinya persiapan lahan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhannya. 3.
Pemilihan jenis kayu Jenis kayu yang dipilih sebaiknya jenis kayu yang lazim ditanam, di Pulau
Jawa misalnya; kayu sengon, kayu afrika, mindi, dan lain-lain yang merupakan jenis kayu yang sudah dikenal dan sudah mempunyai pasaran yang teratur, baik sebagai bahan untuk kayu konstruksi maupun sebagai bahan baku industri. 4.
Pengadaan bibit Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit yang
berasal dari batang atau cabang atau pengadaan bibit secara generatif. Untuk pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek atau cangkokan pada tanaman yang muda, sedangkan persiapan bibit secara generatif yang berasal dari biji maka penanamannya dapat dilaksanakan langsung dengan menanamkan
10
biji di lapangan atau dibuat dalam persemaian, tergantung sifat dan jenis kayu yang bersangkutan. 5.
Cara menanam Dalam menanam bibit, pertama perlu ditetapkan jarak tanam yang tepat
sesuai dengan rencananya. Perlu diperhatikan apakah tanaman kayu akan ditanam secara murni atau sebagai tanaman yang dicampur dengan tanaman lain. Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka kiranya perlu diperhatikan agar jarak tanam diatur agar tidak saling mengganggu. Apabila tanaman kayu akan ditanam murni, maka perlu diperhatikan apakah akan dimulai dengan tanaman yang rapat, misalnya; 3 m x 2 m. Hal ini akan tergantung dari kondisi lahan dan tujuan penanaman. Apabila akan dilaksanakan tumpang sari dengan jenis tanaman lain, mungkin dapat dipilih jarak tanam 4 m x 5 m, sehingga per Ha akan di dapat 500 pohon, sedang di antara dua larikan pohon masih dapat ditanam palawija atau tanaman lainya. 6.
Cara memelihara tanaman Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari gulma dan
semak serta alang-alang yang berlebihan. Karena itu untuk mengurangi biaya pemeliharaan, sebaiknya di antara larikan ditanami dengan palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelai, kacang wijen, dan lain-lain. Pemeliharaan yang berupa penjarangan dan pembuangan gulma akan sangat membantu pertumbuhan kayunya. 7.
Penebangan Penebangan pohon tergantung dari beberapa faktor, yaitu: tujuan
penanaman, kondisi alami dari tanaman, kondisi pasar dan cara menebang. Berdasarkan cara penebangan dengan orientasi pasar, maka penebangan sebaiknya dilaksanakan dengan tebang pilih. Perlu diperhatikan bahwa setiap penebangan harus ditanam kembali secepatnya. Apabila penebangan berupa pemeliharaan yaitu bersifat penjarangan, maka harus selalu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang sudah harus mencapai suatu ukuran yang sudah dapat dimanfaatkan, sehingga kayu yang dihasilkannya selalu akan dapat dipasarkan, mungkin hanya sebagai kayu bakar.
11
8.
Penanaman kembali Di bekas pohon yang ditebang harus ditanami kembali sehingga jumlah
tanaman akan selalu tetap. Karena itu setiap akan melakukan penebangan petani penanam kayu hendaknya sudah menyiapkan diri dengan bibit yang akan ditanam sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.
2.5 Peranan Hutan Rakyat Menurut Departemen Kehutanan Republik Indonesia (2003) hutan rakyat memberikan keuntungan bagi pemilik hutan rakyat atau masyarakat antara lain : 1.
Mendapatkan manfaat ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat
2.
Mendapatkan manfaat sosial, membuka lapangan pekerjaan
3.
Mendapatkan manfaat ekologi, mencegah terjadinya bencana banjir, erosi dan mengatur tata air
4.
Estetika, keindahan alam
5.
Sumber, merupakan sumber daya alam untuk ilmu pengetahuan, antara lain Ilmu Biologi, Ilmu lingkungan dan lain-lain.
Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990), hutan rakyat merupakan sumber kayu dan hasil hutan lainnya, termasuk fungsinya sebagai pelindung tanah dari bahaya erosi. Selanjutnya dikatakan bahwa hutan rakyat mempunyai peran penting bagi masyarakat
terutama
dalam
hal,
meningkatkan
pendapatan
masyarakat,
menyediakan kayu bangunan maupun bahan baku industri, membantu mempercepat usaha rehabilitasi lahan kritis, dan meningkatkan produksi buahbuahan, dan pakan ternak. Semakin berkembangnya hutan rakyat, disamping akan menjaga tanah-tanah kritis dari ancaman erosi juga akan meningkatkan perkembangan ekonomi suatu daerah. Hutan rakyat akan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk yang bertempat tinggal di dalam dan sekitar hutan. Pembangunan hutan rakyat tersebut akan melibatkan seluruh penduduk di sekitarnya, sehingga akan memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan waktunya secara maksimal (Simon 1995).
12
2.6 Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga adalah kumpulan dari pendapatan anggotaanggota rumah tangga dari masing-masing kegiatannya. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dari penjualan, konsumsi keluarga akan komoditi yang dihasilkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan komoditi tersebut. Pendapatan rumah tangga menurut sumbernya dibagi menjadi dua golongan, yaitu pendapatan kehutanan, adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di hutan, dan pendapatan non-kehutanan, yaitu pendapatan yang berasal dari luar kehutanan. (Kartasubrata 1986). Pendapatan kotor usaha tani adalah nilai produk total usaha tani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Sedangkan pengeluaran usaha tani adalah nilai semua masukan yang dikeluarkan dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani (Soekartawi et al. 1986).
2.7 Pendekatan Sistem Sistem adalah kumpulan yang terorganisasi dari komponen-komponen fisik yang saling berhubungan yang dicirikan oleh suatu batasan dan kesatuan fungsional (Grant et al. 1997). Secara sederhana gambaran sebuah sistem adalah terdiri dari masukan (input), pengolahan (process), dan luaran (output). Analisis sistem adalah aplikasi yang bersifat paling langsung dari metode ilmiah untuk suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan dan membuat skenario-skenario tentang sesuatu yang kompleks yang besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur matematis dan statistik tingkat tinggi serta penggunaan komputer. Lebih lanjut analisis sistem merupakan pendekatan filosofis sekaligus kumpulan teknik termasuk simulasi. Analisis sistem menekankan pendekatan sudut pandang menyeluruh pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi dan mensimulasikan karakter-karakter dalam sistem yang kompleks (Grant et al. 1997).
13
Simulasi merupakan proses penggunaan suatu model yang merupakan abstraksi dari keadaan yang sebenarnya dengan tujuan menggambarkan atau menirukan tahap demi tahap perilaku sistem yang diamati. Model simulasi dibentuk oleh serangkaian fungsi aritmetik dan operasi logika yang secara simulasi menampilkan struktur (state) dan perilaku (change of state) dari suatu sistem (Grant et al. 1997).
2.8 Analisis Finansial Salah satu alat yang dapat memperkirakan kelayakan suatu proyek adalah analisis finansial. Analisis finansial dilakukan untuk kepentingan individu atau lembaga yang menanamkan modalnya dalam sebuah proyek misalnya petani, wiraswastawan atau perusahaan. Nilai yang digunakan di dalam analisis finansial (misalnya harga barang dan upah) adalah nilai yang berlaku di pasar yaitu market price (Pramudya dan Dewi 1992). Tujuan analisis adalah membantu pengambilan keputusan dalam menentukan pemilihan investasi pada suatu proyek yang tepat dari berbagai alternatif yang dilaksanakan. 2.9.1 Kriteria Investasi Menurut Pramudya dan Dewi (1992), untuk menilai kelayakan suatu proyek atau membuat peringkat beberapa proyek yang harus dipilih dapat digunakan beberapa kriteria investasi yaitu: 1.
Net Present Value (NPV)
2.
Gross Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio)
3.
Internal Rate of Return (IRR). Kriteria tersebut dapat digunakan masing-masing tersendiri secara terpisah,
atau digunakan bersamaan tergantung pada masalah dan tujuan yang diinginkan, tetapi penggunaan ketiga kriteria akan lebih melengkapi informasi yang diperoleh mengenai proyek. 1.
Net Present Value (NPV) NPV merupakan perbedaan antara nilai manfaat dan biaya dalam bentuk
nilai sekarang (present value). Apabila NPV bernilai positif, dapat diartikan juga sebagai besarnya keuntungan yang diperoleh dari proyek. Sebaliknya apabila NPV bernilai negatif menunjukkan kerugian perusahaan. Hasil perhitungan NPV
14
dapat membantu pengambilan keputusan yang diambil perusahaan dengan kemungkinan kriteria sebagai berikut: a. Jika NPV
> 0, maka proyek layak untuk dilaksanakan.
b. Jika NPV < 0, maka proyek sebaiknya dihentikan atau ditinjau ulang pelaksanaanya. c. Jika NPV = 0, maka proyek akan mendapat modalnya kembali setelah diperhitungkan discount rate yang berlaku. 2.
Gross Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) B/C ratio adalah perbandingan antara manfaat dan biaya. Nilai gross B/C
ratio dihitung dari perbandingan manfaat dibagi biaya pada keseluruhan tahun pelaksanaan proyek. Kemungkinan kriteria hasil perhitungan gross B/C ratio adalah : a. Jika gross B/C ratio > 1, maka proyek layak untuk diteruskan. b. Jika gross B/C ratio < 1, maka proyek sebaiknya dihentikan atau ditinjau ulang pelaksanaannya. c. Jika gross B/C ratio = 1, maka proyek dalam keadaan break even point atau impas. 3.
Internal Rate of Return (IRR) IRR merupakan tingkat pengembalian modal yang digunakan dalam suatu
proyek. Nilai IRR dinyatakan dalam persen per tahun. Suatu proyek yang layak dilakukan akan mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari nilai discount rate. Dari perhitungan IRR dapat diambil keputusan sebagai berikut: a. Jika IRR ≥ discount rate, maka proyek layak untuk dilaksanakan. b. Jika IRR < discount rate, maka proyek tidak layak dilaksanakan.
15
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, selama 3 bulan dimulai pada bulan November 2010 sampai dengan bulan Januari 2011.
3.2 Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner (Lampiran 4) untuk mengumpulkan data sekunder maupun primer, kamera untuk dokumentasi dan obyek guna kelengkapan penyusunan laporan, alat tulis, kalkulator, perangkat keras (Hardware) berupa komputer, serta perangkat lunak (Software) berupa program-program komputer dalam mengolah data seperti Stella 9.0.2, Vensim, Microsoft Office Word 2007 dan Microsoft Office Excel 2007.
3.3 Metode Pengambilan Data Terdapat dua macam data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data primer yang diperoleh langsung di lapangan dan data sekunder/data penunjang yang diperoleh dari studi literatur. 3.3.1 Data Pimer Data primer didapatkan melalui pengamatan secara langsung, pengisian kuesioner, dan wawancara terhadap responden petani hutan rakyat yang terdiri dari: 1.
Data tentang karakteristik rumah tangga responden, meliputi: nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan sumber mata pencaharian.
2.
Data pengelolaan hutan rakyat, meliputi: luas kepemilikan lahan, status kepemilikan lahan, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat, seperti pengadaan bibit, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
16
3.3.2 Data Sekunder Data sekunder adalah data yang didapatkan atau tersedia di tingkat Desa, Kecamatan maupun instansi-instansi seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Pusat Statistik (BPS). Data sekunder meliputi keadaan lingkungan baik fisik, sosial ekonomi di masyarakat. Adapun jenis data yang dikumpulkan di antaranya: 1.
Keadaan umum lokasi penelitian, meliputi: letak administrasi, luas wilayah, keadaan fisik lingkungan, jenis tanah, curah hujan, luas hutan rakyat, luas penggunaan lahan dan topografi lahan.
2.
Keadaan umum penduduk, meliputi: pendidikan, lapangan pekerjaan, jumlah penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk.
3.4 Metode Pengambilan Contoh Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling terhadap responden yang memiliki hutan rakyat sebanyak 10 orang/dusun. Hal ini dikarenakan data mengenai hutan rakyat, seperti kepemilikan hutan rakyat, luas kepemilikan hutan rakyat, dan data-data lainnya sukar untuk didapatkan. Pemilihan responden dilakukan dengan menanyakan kepemilikan hutan rakyat yang memenuhi syarat-syarat suatu lahan sesuai dengan luas kepemilikannya di suatu desa.
Responden dikelompokkan berdasarkan kelas luas kepemilikan hutan
rakyat. Adapun pembagian kelas luas adalah sebagai berikut: 1.
Kelas I
= kepemilikan lahan < 0.25 ha
2.
Kelas II
= kepemilikan lahan 0.25 – 0.5 ha
3.
Kelas III = kepemilikan lahan 0.5 - 1 ha
4.
Kelas IV = kepemilikan lahan > 1 ha
3.5
Metode Pengolahan Data
3.5.1 Pemodelan Menurut Purnomo (2005) permodelan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
17
3.5.1.1 Identifikasi isu, Tujuan, dan Batasan Identifikasi isu ini dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya permodelan perlu dilakukan. Selanjutnya ditentukan tujuan permodelan tersebut, kemudian batasan disusun, dapat berupa batas daerah atau ruang, waktu dan batasan isu yang telah diidentifikasi sesuai tujuan permodelan. 3.5.1.2 Konseptualisasi Model Tujuan konseptualisasi model adalah untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh terhadap model yang akan dibuat. Konseptualisasi model dilakukan dengan mengidentifikasikan semua komponen yang terlibat ke dalam permodelan dan mengelompokkannya ke dalam beberapa bagian. Langkah-langkah untuk memenuhi tujuan tersebut adalah: a. Kategorisasi komponen dalam sistem. b. Pengidentifikasian hubungan antar komponen. c. Menyatakan komponen dari hubungannya dalam model yang lazim. d. Menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model, serta menentukan pola perilaku model sesuai dengan pengetahuan dan teori. 3.5.1.3 Spesifikasi Model Pada tahap spesifikasi model, dilakukan perumusan makna sebenarnya dari setiap relasi yang ada dari model konseptual. Tujuan tahap ini adalah membangun model kuantitatif dari model. Spesifikasi model terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Memilih struktur kuantitatif umum dari model. b. Memilih unit waktu dasar dari simulasi. c. Mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model. d. Menduga parameter dari persamaan model. e. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi. f. Menjalankan simulasi dasar. g. Menampilkan persamaan model. 3.5.1.4 Evaluasi Model Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkannya dengan dunia nyata. Tujuannya adalah mengevaluasi model
18
yang dibangun dalam hal kegunaan relatifnya untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Tahapan evaluasi model adalah sebagai berikut: a. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model. b. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan. c. Membandingkan model dengan sistem nyata. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat. 3.5.1.5 Penggunaan Model Tujuan
penggunaan
model
adalah
untuk
mencapai
tujuan
yang
diidentifikasikan di awal pembangunan model tersebut. Model yang dibangun dapat bermanfaat untuk meningkatkan pembelajaran, sehingga dapat merumuskan skenario ke depan atau alternatif kebijakan yang lebih baik. Model juga dapat dipakai untuk menguji sebuah hipotesis atau dipakai untuk mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam kasus permodelan partisipatif. 3.5.2 Analisis Kelayakan Usaha Untuk mengetahui kelayakan pengelolaan hutan rakyat, maka dilakukan analisis finansial dengan beberapa asumsi-asumsi sebagai dasar dalam perhitungan. Asumsi - asumsi yang dilakukan di lapangan adalah sebagai berikut: 1.
Suku bunga yang berlaku adalah 10% berdasarkan suku bunga Bank Rakyat Indonesia.
2.
Umur kelayakan usaha dihitung berdasarkan pada siklus tebang untuk tanaman sengon di lahan hutan rakyat.
3.
Pendapatan mulai dihitung sejak lahan diolah dan dimanfaatkan.
4.
Semua harga output-input yang digunakan dalam analisis yaitu berdasarkan harga yang berlaku pada saat penelitian berlangsung dengan asumsi harga konstan sampai penelitian.
19
Kriteria yang digunakan analisis finansial adalah sebgai berikut: 1. Net Present Value (NPV) Rumus yang digunakan dalam perhitungan NPV adalah: n Bt − Ct NPV = ∑ (1 + i) t t =1 Keterangan :
Bt
= penerimaan (benefit) pada tahun ke-t
i
= discount rate yang berlaku (%)
Ct
= biaya (cost) pada tahun ke-t
n
= umur proyek (tahun)
a. NPV>0 ; maka proyek menguntungkan dan dapat atau layak dilaksanakan. b. NPV=0 ; maka proyek tidak untung dan tidak juga rugi, jadi tergantung pada penilaian subyektif pengambilan keputusan. c.
NPV<0 ; maka proyek ini merugikan karena keuntungan lebih kecil dari biaya, jadi lebih baik tidak dilaksanakan.
2. Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost Ratio merupakan suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek. BCR diperoleh dengan membagi jumlah pendapatan terdiskonto dengan jumlah hasil diskonto biaya. Apakah usaha tersebut sudah layak dilaksanakan atau tidak, maka kita perlu menghitung nilai BCR. Kriteria usaha tersebut haruslah lebih besar dari 1. n
BCR =
Bt
∑ (1 + i) t =1 n
Ct
∑ (1 + i) t =1
t
t
Keterangan : Bt = penerimaan (benefit) pada tahun ke-t Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t t = umur proyek (tahun) i = discount rate yang berlaku (%) BCR > 1 ; maka proyek layak atau menguntungkan BCR < 1 ; maka proyek tidak layak atau tidak menguntungkan
20
3. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek akan mengembalikan semua investasi selama umur proyek. Jika dinilai Internal Rate of Return lebih kecil dari discount rate maka NPV<0, artinya sebaiknya proyek itu tidak dilaksanakan. Inti analisis finansial adalah membandingkan antara pendapatan dengan pengeluaran, dimana suatu kegiatan atau usaha adalah feasible apabila pendapatan lebih besar dari pengeluaran. IRR = i1 + Keterangan :
NPV1 x (i 2 − i1 ) NPV1 + NPV 2
i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positif i2 = discount rate yang menghasilkan NPV negative NPV1 = NPV yang bernilai positif NPV2 = NPV yang bernilai negative
IRR ≥ discount rate yang berlaku; maka kegiatan investasi layak dijalankan IRR < discount rate yang berlaku; maka kegiatan investasi tidak layak dijalankan.
3.6 Kerangka Penelitian Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang secara keseluruhan bertujuan mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan sehingga sistem tersebut memungkinkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia akan produk hasil hutan maupun jasa, secara berkelanjutan dan lestari dalam jangka yang panjang. Dalam penelitian ini dilakukan pengelolaan unit hutan rakyat dengan tanaman pokok sengon (Paraserianthes falcataria). Metode pengaturan hasil diperoleh dari luas total areal hutan rakyat pada masing-masing tahun tanam, yang akan menentukan besarnya penanaman dan penebangan yang efektif sesuai daur, sehingga didapatkan pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat yang
lestari dan
berkelanjutan. Semakin besar gangguan, menyebabkan semakin berkurangnya jumlah pohon yang tersedia. Setelah itu, akan dibuat kombinasi pola dan skenario pemanfaatan hutan pada hutan rakyat jenis sengon adalah sebagai berikut:
21
1.
Skenario 1, yaitu pengelolaan hutan rakyat untuk memperoleh besarnya pendapatan efektif yang diperoleh jika daur dan harga diubah untuk tanaman sengon. Daur diubah menjadi 4 tahun, 5 tahun, dan 8 tahun. Sedangkan harga sengon diubah menjadi Rp 70.000 per pohon, Rp 100.000 per pohon, dan Rp 160.000 per pohon.
2.
Skenario 2, yaitu pengelolaan hutan rakyat terhadap perubahan tingkat suku bunga terhadap besarnya nilai Net Present Value (NPV) tanaman sengon. Tingkat suku bunga pada skenario ini akan diubah menjadi 5 % dan 15 %.
22
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya
4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak antara 7o02’ dan 7o50’ Lintang Selatan serta 108o25’ dan 109o43’ Bujur Timur. Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang berbatasan secara langsung dengan: 1.
Sebelah utara
: Kabupaten Ciamis dan Kota Tasikmalaya.
2.
Sebelah timur
: Kabupaten Ciamis.
3.
Sebelah Selatan
: Samudra Indonesia.
4.
Sebelah Barat
: Kabupaten Garut.
Luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya adalah 271.252 Ha. Tanah sawah seluas 49.057 Ha, hutan rakyat 37.971 Ha, hutan negara seluas 31.272 Ha, perkebunan Negara/swasta seluas 84.47 Ha dan lain-lain seluas 67.62 Ha. Peta kawasan Kabupaten Tasikmalaya terdapat pada Lampiran 1. 4.1.2 Jenis Tanah dan Ketinggian Tempat Jenis tanah yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis tanah yaitu, tanah Litosol, tanah Regosol dan tanah Latosol. Ketiga jenis tanah tersebut tersebar di seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Di bagian utara, sebaran terdiri dari jenis tanah latosol. Sementara itu, kedalaman efektif tanah (solum) wilayah bagian barat dan timur berada pada kisaran 30-60 cm, sedangkan di bagian utara, tengah, dan selatan berada pada kisaran 60-90 cm . Sedangkan untuk aspek topografi, Kabupaten Tasikmalaya dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1.
Daerah dengan ketinggian 0-500 m dpl
: 33,33% dari seluruh areal.
2.
Daerah dengan ketinggian 500-1000 m dpl : 50,00% dari seluruh areal.
3.
Daerah dengan ketinggian > 1000 m dpl
: 16.67% dari seluruh areal.
23
4.1.3 Iklim dan Curah Hujan Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson Kabupaten Tasikmalaya termasuk kedalam tipe iklim C. Dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sampai dengan April dan curah hujan terendah antara bulan September sampai dengan Oktober. Perbandingan bulan basah dan kering mencapai 98% bulan basah. Suhu udara rata-rata 25o C – 28o C pada siang hari, turun menjadi 22o C pada malam hari. Berdasarkan data curah hujan distribusi curah hujan rata-rata per bulan adalah 292.80 mm/bln sedangkan untuk data curah hujan per tahun adalah 3.513 mm/th (BPS Tasikmalaya 2010). 4.2
Keadaan Umum Kecamatan Cikalong dan Desa Contoh
4.2.1 Letak dan Luas Kecamatan Cikalong merupakan satu dari 39 kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya. Secara geografis Kecamatan Cikalong terletak antara 5o 06’ 30’’ LS – 5o 50’ 30’’ LS dan 107o 00’ 00’’ BT – 107o 107’ 00’’ BT dengan luas wilayah 13.696,45 Ha. Kecamatan Cikalong dibatasi oleh beberapa wilayah yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cikatomas, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Karangnunggal dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Adapun lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Desa Cikalong yang merupakan salah satu desa dari 13 desa yang ada di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya. Desa Cikalong merupakan desa paling ujung selatan dari wilayah Kabupaten Tasikmalaya, terletak 10 m dari pusat Kecamatan Cikalong dan 80 km dari pusat Kota Tasikmalaya. Desa Cikalong terbagi dalam sembilan dusun yaitu Dusun Cilutung, Dusun Desakolot, Dusun Cikalong, Dusun Borosole, Dusun Sindanghurip, Dusun Pangapekan, Dusun Cikaret, Dusun Cisodong, dan Dusun Cipondoh. Secara administratif Desa Cikalong berbatasan langsung dengan: 1.
Sebelah utara
: Desa Tonjongsari
2.
Sebelah timur
: Desa Cikancra
3.
Sebelah selatan
: Desa Mandalajaya
4.
Sebelah barat
: Sungai Ciwulan
24
Wilayah Desa Cikalong seluas 1.372 Ha, dengan komposisi pola penggunaan lahan terdiri atas luas tanah bukan pertanian seluas 30 Ha, sawah seluas 195 Ha dan luas tanah bukan sawah 1.148 Ha. 4.2.2 Keadaan Tanah dan Topografi Desa Cikalong memiliki jenis tanah Litosol dengan tingkat kesuburan sedang. Tipe iklim Desa Cikalong menurut klasifikasi tipe iklim Oldemann, termasuk dalam tipe iklim C2 yaitu terdapat 6 bulan basah berturut-turut dan 3 bulan kering berturut-turut, dengan curah hujan 2.194 mm/th. Suhu berkisar antara 22-27oC
dengan
kadar
kelembaban
sebesar
80%.
Berdasarkan
bentuk
topografinya, Desa Cikalong memiliki topografi bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian 15 mdpl. Berdasarkan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Desa Cikalong termasuk dalam wilayah pengelolaan DAS Ciwulan (BPS Tasikmalaya 2010). 4.2.3 Kondisi Hutan Rakyat Kondisi hutan rakyat yang terdapat di Desa Cikalong memiliki sebaran umur yang beragam. Salah satu tanaman pokok yang sering ditanam oleh petani adalah Sengon (P falcataria (L) Nielsen). Adapun jenis lain yang ditanam oleh petani di Desa Cikalong adalah jenis Jati (Tectona grandis) dan Mahoni (Swietenia macrophyla), namun untuk jenis Jati dan Mahoni hanya sebagai tanaman pengisi saja dan terbatas jumlahnya. Pola yang digunakan oleh petani dalam menanam pohon sengon adalah dengan menggunakan pola agroforestry. Perkembangan hutan rakyat khususnya jenis tanaman sengon (P falcataria (L) Nielsen) di Desa Cikalong dimulai dari adanya info dagang dari pengepul/bandar kayu kepada masyarakat. Sejak saat itu masyarakat banyak yang menanam tanaman sengon. Pemasaran kayu sengon meliputi 3 wilayah yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Garut. Pemasaran kayu sengon dilakukan melalui tengkulak dan industri penggergajian (Sawmill). 4.2.4
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
4.2.4.1 Jumlah penduduk Berdasarkan data kependudukan Desa Cikalong tahun 2010, jumlah penduduk Desa Cikalong adalah 7.425 jiwa yang terdiri dari 3.603 orang laki-laki
25
dan 3.822 orang wanita dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.296 orang. Jumlah penduduk menurut usia kelompok tenaga kerja produktif (usia 18-56 tahun) yang berjumlah 1.300 orang. 4.2.4.2 Tingkat pendidikan Pada umumnya tingkat pendidikan di Desa Cikalong masih tergolong rendah, hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduknya hanya sampai tamatan Sekolah Dasar (SD) saja, sebagian kecil pendidikan SLTP, SLTA dan akademik atau Perguruan Tinggi (PT). Sedangkan jumlah penduduk menurut usia kelompok pendidikan terbagi menjadi empat, yaitu kelompok usia 4-6 tahun berjumlah 713 orang, kelompok usia 7-12 tahun berjumlah 715 orang, kelompok usia 13-15 tahun berjumlah 482 orang, dan kelompok usia 19 tahun keatas berjumlah 3.425 orang. 4.2.4.3 Mata Pencaharian penduduk Mata pencaharian masyarakat Desa Cikalong umumnya adalah bertani sebanyak 501 jiwa. Masyarakat lainnya mengandalkan mata pencahariannya sebagai pedagang, buruh, industri, sopir, PNS dan sebagainya. Ketersediaan lahan bagi masyarakat sangatlah penting untuk memperoleh pendapatan, karena untuk bekerja di luar sektor ini mereka terbentur dengan banyaknya kendala, terutama rendahnya tingkat pendidikan dan modal usaha. 4.2.4.4 Sarana dan prasarana Sarana dan prasarana yang ada di Desa Cikalong antara lain: 1.
Sarana Pendidikan
: 2 buah madrasah ibtidaiyah, 1 buah madrasah tsanawiyah, 1 buah madrasyah aliyah, 1 buah TK, 4 buah Sekolah Dasar (SD), 1 buah pondok pesantren dan 2 buah perpustakaan.
2.
Sarana Ibadah
: 18 buah masjid, 12 serta buah langgar, dan 4 buah mushola.
3.
Sarana Kesehatan
: 9 buah posyandu, 1 buah puskemas, 2 buah toko obat, 6 orang dukun bayi, 1 orang dokter, 4 orang bidan dan 2 orang paramedis.
4.
Sarana Perekonomian : 1 buah pasar permanen, 2 buah mini market.
26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Karakteristik Responden
5.1.1 Identitas Responden Karakteristik responden hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap 90 orang responden di Desa Cikalong meliputi luas kepemilikan lahan hutan rakyat, mata pencaharian, pendidikan dan tingkat umur. Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Distribusi responden menurut kelas luas kepemilikan lahan hutan rakyat masing-masing dusun di Desa Cikalong No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Dusun Cilutung Desakolot Cikalong Borosole Sindanghurip Pangapekan Cikaret Cisodong Cipondoh Total (orang) Total (%)
Kelas Lahan Hutan Rakyat (Ha) < 0.25 0.25-0.5 0.5-1 2 6 1 5 3 1 6 4 0 5 3 2 3 4 1 7 3 0 4 4 2 6 4 0 4 5 1 42 36 8 46,67 40 8,89
>1 1 1 0 0 2 0 0 0 0 4 4,44
Sumber : Diolah dari data primer (2010)
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa luas kepemilikan lahan hutan rakyat milik responden di Desa Cikalong relatif sempit. Sebesar 46,67 % responden memiliki lahan kurang dari 0.25 Ha, lahan antara 0.25 – 0.5 Ha sebesar 40 %, lahan 0.5 – 1 Ha sebesar 8.89 % dan lahan lebih dari 1 Ha sebesar 4,44 % Ha. Responden berusaha memanfaatkan lahan yang ada dengan berbagai macam tanaman yang dapat memberikan hasil yang cepat dan mudah untuk dijual. Meskipun ditanami dengan berbagai macam tanaman, masyarakat menjadikan tanaman sengon sebagai tanaman pokok di lahan yang mereka miliki. Sistem pengelolaan hutan rakyat yang digunakan oleh petani adalah dengan menggunakan sistem agroforestry.
27
Tabel 2 Distribusi responden menurut mata pencaharian pada masing-masing dusun di Desa Cikalong No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mata Pencaharian (Orang) Dusun Petani Pedagang PNS Buruh tani Peternak Jasa Cilutung 2 3 5 0 0 0 Desakolot 8 1 0 1 0 0 Cikalong 8 2 0 0 0 0 Borosole 2 2 1 2 3 0 Sindanghurip 7 1 0 1 0 1 Pangapekan 8 1 0 1 0 0 Cikaret 5 4 1 0 0 0 Cisodong 8 2 0 0 0 0 Cipondoh 8 1 0 1 0 0 Total (orang) 56 17 7 6 3 1 Total (%) 62,22 18,89 7,78 6,67 3,33 1,11
Sumber : Diolah dari data primer (2010)
Berdasarkan Tabel 2 mata pencaharian responden yang bekerja sebagai petani sebesar 62,22 %, yang bekerja sebagai pedagang/wiraswasta sebesar 18,89 %, yang bekerja sebagai PNS hanya sebesar 7,78 % dan sisanya bekerja sebagai buruh tani, peternak, serta jasa. Hal ini menandakan bahwa rata-rata penduduk menggantungkan hidupnya sebagai petani, sehingga lahan hutan rakyat masih sangat penting bagi responden di Desa Cikalong. Dengan menggunakan sistem pengelolaan agroforestry pada lahan hutan rakyat, menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan dan memperoleh pendapatan dari hasil panen secara berurutan dan berkesinambungan sepanjang tahun dari jenis-jenis tanaman yang diusahakan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari hasil dari kegiatan agroforestry sangat membantu bagi responden yang mata pencahariaan utamanya sebagai petani, karena hasil dari kegiatan agroforestry dapat diambil sewaktu-waktu sesuai kebutuhan dan tidak menunggu dalam waktu yang lama.
28
Tabel 3 Distribusi responden menurut usia pada masing-masing dusun di Desa Cikalong Umur (Tahun) No Dusun 30-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 1 Cilutung 1 5 3 0 1 0 2 Desakolot 3 4 2 1 0 0 3 Cikalong 3 3 1 3 0 0 4 Borosole 0 5 3 2 0 0 5 Sindanghurip 1 3 4 1 0 1 6 Pangapekan 0 3 6 1 0 0 7 Cikaret 1 4 2 3 0 0 8 Cisodong 3 3 1 3 0 0 9 Cipondoh 3 3 3 1 0 0 Total (orang) 15 33 25 15 1 1 Total (%) 16,67 36,67 28,89 15,56 1,11 1,11 Sumber : Diolah dari data primer (2010)
Berdasarkan Tabel 3 menunjukan persentase terbesar responden berada pada umur 41-50 tahun yaitu sebesar 36,67 %. Hal ini disebabkan pada rentang umur 41-50 tahun responden rata-rata telah berkeluarga, dengan bekerja sebagai petani pada lahan hutan rakyat dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Umur responden yang paling muda adalah 31 tahun, dan yang paling tua berumur 82 tahun. Tabel 4 Distribusi responden menurut tingkat pendidikan pada masing-masing dusun di Desa Cikalong Tingkat Pendidikan (orang) No Dusun SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi 1 Cilutung 3 1 6 0 2 Desakolot 9 0 1 0 3 Cikalong 8 1 1 0 4 Borosole 7 1 2 0 5 Sindanghurip 8 0 1 1 6 Pangapekan 7 2 1 0 7 Cikaret 8 2 0 0 8 Cisodong 8 1 1 0 9 Cipondoh 9 0 1 0 Total (orang) 67 8 14 1 Total (%) 74,44 8,89 15,56 1,11 Sumber : Diolah dari data primer (2010)
Berdasarkan Tabel 4 mengenai persentase tingkat pendidikan responden di Desa Cikalong, umumnya berpendidikan SD sebesar 74,44 %. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki responden di
29
Desa Cikalong, sehingga menyulitkan responden dalam mengelola, memperoleh dan menyerap informasi untuk pengelolaan hutan rakyat serta mencari pekerjaan. Oleh karena itu, dibutuhkan penyuluhan untuk membantu petani dalam mengelola hutan rakyat. Identitas responden petani hutan rakyat terdapat pada Lampiran 2.
5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong tidak dikelola secara monokultur melainkan ditanam bersama-sama dengan jenis tanaman lainya. Petani hutan rakyat di Desa Cikalong menggunakan sistem agroforestry yang merupakan campuran antara tanaman pokok dengan tanaman lainnya, seperti: tanaman perkebunan, semusim, buah-buahan, dan pertanian. Kepemilikan lahan di desa ini relatif sempit, sehingga petani memanfaatkan areal yang sempit tersebut untuk ditanami berbagai jenis tanaman. Selain itu, mayoritas pemilik areal hutan rakyat di Desa Cikalong bekerja sebagai petani. Tanaman kehutanan yang menjadi tanaman pokok petani hutan rakyat di Desa Cikalong adalah jenis sengon (Paraserianthes falcataria). Pemilihan jenis tanaman sengon pada umumnya didasari oleh 3 hal, yaitu cepat menghasilkan kayunya dibanding dengan jenis kayu lain, memperoleh bibit mudah melalui penjual keliling dan penjualan kayunya mudah. Selain jenis sengon terdapat juga tanaman jati dan mahoni sebagai tanaman kehutanan lainnya. Sedangkan tanaman perkebunan dan tanaman semusim petani menanam sawo dan kelapa (tanaman perkebunan), dan jenis pisang, singkong, talas (tanaman semusim). Tanaman semusim dan perkebunan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan dijual untuk menambah pendapatan petani.
Gambar 1 Hutan rakyat Desa Cikalong.
30
Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani di Desa Cikalong
meliputi
persiapan
lahan,
pengadaan
bibit,
penanaman
dan
pemeliharaan, sedangkan kegiatan pemanenan dilakukan oleh pihak pembeli (Tengkulak). Berikut uraian kegiatan-kegiatan tersebut: 1. Pengadaan bibit Bibit sengon diperoleh petani hutan rakyat di Desa Cikalong yaitu dengan cara membeli langsung kepada penjual/pedagang keliling di sekitar Desa Cikalong. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani mengenai pembibitan dan dibutuhkan tempat yang khusus untuk persemaian. Bibit tersebut dibeli oleh petani dengan harga Rp 1.000/bibit untuk tinggi antara 30-50 cm. Dengan cara membeli langsung berupa bibit, petani beranggapan lebih murah dan praktis. 2. Persiapan lahan Kegiatan persiapan lahan dilakukan kurang lebih 2 minggu sampai 1 bulan sebelum kegiatan penanaman tergantung pada luas lahan dan jumlah pekerja (HOK). Pemilik hutan rakyat di Desa Cikalong dalam melakukan kegiatan persiapan lahan selain memanggil buruh tani, pemiliknya juga secara langsung melakukan kegiatan persiapan lahan, karena pekerjaan utama mereka umumnya adalah petani. Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan yaitu membersihkan lahan dari semak belukar, alang-alang atau tumbuhan penggangu lainnya dengan menggunakan cangkul, sabit dan lain-lain. Setelah lahan dibersihkan, dilanjutkan mengolah tanah dengan tujuan agar tanah tersebut gembur dengan cara dicangkul, setelah itu dipasang ajir pada jarak tanam yang berbeda-beda. Untuk jarak tanam yang sering digunakan petani hutan rakyat di Desa Cikalong, yaitu menggunakan jarak tanam 3 m x 2 m. Setelah pemasangan ajir selesai dikerjakan, maka langkah selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam dengan kedalaman tanah kira-kira ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm dan kedalaman kurang lebih 30 cm. Untuk pembuatan jarak tanam tidak seluruh petani melakukannya, karena petani menginginkan penanaman jumlah pohon yang banyak dan mengabaikan jarak tanam.
31
3. Penanaman Kegiatan penanaman dilakukan setelah bibit dan lahan siap untuk digunakan. Bibit sengon yang siap ditanam memiliki ciri di antaranya: batang yang lurus dan besar, daunnya banyak dan akar tidak keluar dari polybag. Kegiatan penanaman dilakukan dengan tenaga kerja upahan dengan upah Rp 25.000/hari. Kegiatan penanaman dilakukan pada musim penghujan karena tanaman sengon cukup peka terhadap kekeringan dengan cara ini petani dapat memperoleh air yang cukup untuk tanamannya. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu diberi pupuk. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan urea. Tanaman sengon di Desa Cikalong, pada umumnya ditanam menggunakan sistem agroforestry pada lahan hutan rakyatnya. 4. Pemeliharaan Kegiatan-kegiatan pemeliharaan tanaman pada lahan milik petani hutan rakyat di Desa Cikalong diantaranya adalah penyiangan, pendangiran, pemupukan dan penyemprotan. Adapun kegiatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Penyiangan Penyiangan adalah kegiatan membersihkan rumput-rumput liar atau gulma yang ada di sekitar tanaman pokok. Penyiangan dilakukan dalam waktu yang tidak tentu. Kegiatan ini dilakukan agar mengendalikan gulma yang melilit ke pohon sengon. b. Pendangiran Pendangiran adalah salah satu kegiatan pemeliharaan tanaman yang tujuannya untuk menggemburkan tanah di sekitar tanaman inti. Kegiatan pendangiran ini biasanya dilakukan petani bersamaan dengan kegiatan penyiangan. c. Pemupukan Pemupukan dilakukan untuk memacu pertumbuhan tanaman, sehingga memperoleh hasil produksi yang optimal sesuai dengan harapan. Selain pupuk kandang yang telah diberikan pada saat pembuatan lubang tanam, juga disusul dengan penggunaan pupuk urea. Pupuk urea yang sering digunakan adalah pupuk NPK, TSP dan ponska. Harga pupuk urea tersebut berkisar antara Rp 2500-Rp 5000/Kg.
32
d. Penyemprotan Penyemprotan dilakukan terhadap tanaman yang terkena penyakit. Kegiatan penyemprotan dilakukan mulai tahun kedua sampai tahun ke empat. Harga untuk bahan insektisida antara Rp 50.000 – Rp 70.000/liter. Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani hutan rakyat Desa Cikalong dalam pengelolaan lahannya adalah banyaknya serangan ulat tanah, ulat daun dan karat puru. Ulat tanah merupakan musuh utama petani tanaman sengon di Desa Cikalong. 5. Pemanenan dan pemasaran hasil Kegiatan pemanenan yang dilakukan oleh petani hutan rakyat di Desa Cikalong adalah dengan sistem tebang pilih atau tebang butuh, yaitu kegiatan penebangan yang diakibatkan oleh kepentingan ekonomi yang mendesak, seperti utang-piutang, kebutuhan keluarga, kebutuhan anak sekolah dan lain-lain. Dengan cara ini petani memilih beberapa tegakan berdasarkan kriteria diameter yang telah mencapai ukuran diameter tertentu, walaupun belum masak tebang. Kegiatan penebangan dilakukan oleh pihak pembeli atau tengkulak setelah adanya kesepakatan harga dengan petani. Cara pemanenan seperti ini mempunyai keuntungan dan kerugian bagi pemilik hutan rakyat. Keuntungannya adalah petani tidak mengeluarkan biaya untuk pemanenan karena segala biaya dikeluarkan atau ditanggung oleh pihak pembeli atau tengkulak. Kerugiannya adalah harga kayu di bawah harga tawar yang rendah, hal ini dikarenakan kurangnya informasi dan tingkat harga dikuasai oleh tengkulak. Untuk tanaman tumpang sari dan perkebunan, sistem pemasaran yang dilakukan adalah dengan cara dijual langsung ke pasar dan pembeli datang ke rumah untuk membeli hasil produknya.
5.3 Model Pengelolaan Hutan Rakyat dengan Pendekatan Sistem 5.3.1 Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan Permintaan kayu yang tinggi serta laju kerusakan hutan yang tinggi telah mengurangi luasan hutan yang produktif. Kondisi tersebut telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara permintaan akan bahan baku kayu dengan kemampuan sumberdaya hutan dalam memproduksi kayu. Langkah yang
33
ditempuh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku kayu yaitu dengan cara pembangunan hutan rakyat. Pembangunan hutan rakyat dapat dilakukan
apabila
masyarakat
menganggap
kegiatan
tersebut
dapat
menguntungkan dan bermanfaat. Hutan rakyat di Jawa Barat seperti halnya hutan rakyat pada umumnya masih merupakan hutan dengan sentuhan silvikultur yang masih minim. Sistem silvikultur belum sepenuhnya diterapkan, misalnya penggunaan bibit unggul, pengaturan jarak tanam, pemeliharaan dan sebagainya sehingga pertumbuhan pohon dan mutu yang dihasilkan kurang baik. Permintaan kayu yang tinggi tersebut telah menciptakan peluang bagi berkembangnya hutan rakyat. Peluang tersebut telah dimanfaatkan relatif baik oleh para petani hutan rakyat di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya. Di Desa Cikalong, walaupun dengan kondisi kepemilikan lahan yang rendah telah menunjukan perkembangan hutan rakyat yang cukup baik. Tanaman sengon merupakan tanaman yang banyak ditanam di hutan rakyat Desa Cikalong. Sebagai suatu bentuk usaha, pengelolaan hutan rakyat, memerlukan biaya dalam pelaksanaannya. Biaya-biaya yang dikeluarkan dimulai dari proses persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Isu utama yang terdapat dalam pemodelan ini adalah untuk mensimulasikan dan memprediksi tingkat pendapatan petani hutan rakyat pada berbagai luas unit pengelolaan yang tersedia dan layak untuk diusahakan. Tujuan pemodelan ini adalah menyusun model unit pengelolaan hutan rakyat yang mampu memberikan solusi alternatif melalui skenario-skenario yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat kepada pemilik dan mengidentifikasi kelayakan usaha hutan rakyat yang ada di Desa Cikalong. Batasan-batasan yang digunakan dalam penyusunan model ini antara lain: 1.
Daur adalah umur tanaman saat ditebang. Untuk daur, karena lahannya berupa hutan rakyat, maka daur ditentukan berdasarkan keinginan pemilik lahan, sehingga daur yang digunakan simulasi adalah 5 tahun.
2.
Jumlah pohon (tegakan) adalah banyaknya pohon sengon di areal hutan rakyat yang terdapat di Desa Cikalong. Faktor yang mempengaruhi jumlah pohon adalah banyaknya pohon yang ditanam.
34
3.
Luas tanam adalah besarnya penanaman yang dilakukan pada areal hutan rakyat.
4.
Gangguan hutan adalah luas gangguan yang terjadi pada setiap areal hutan rakyat.
5.
Dinamika tegakan adalah perubahan jumlah tegakan sengon karena berbagai macam faktor, seperti banyaknya pohon mati (mortality), dan penebangan pohon.
6.
Pendapatan kayu adalah besarnya penerimaan kayu akibat berubahnya suatu pengelolaan serta proses-proses yang terlibat setelah dikurangi dengan biaya tetap, biaya persiapan lahan, biaya pengadaan bibit, biaya penanaman dan biaya pemeliharaan.
5.3.2 Konseptualisasi Model Model konseptual yang dikembangkan dideskripsikan melalui stok dan aliran. Sub model tersebut saling mempengaruhi satu sama lainya. Pemodelan ini menggunakan satuan tahun. Fase konseptual model ini bertujuan mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model-model yang telah dibuat. Model yang dibuat dalam model pengelolaan hutan rakyat ini terdiri dari lima sub model yaitu: 1.
Sub model dinamika tegakan.
2.
Sub model tenaga kerja.
3.
Sub model industri usaha kayu hutan rakyat.
4.
Sub model pengaturan hasil.
5.
Sub model analisis kelayakan usaha. Sub model dinamika tegakan merupakan sub model yang menggambarkan
banyaknya tegakan seiring berjalannya waktu. Sub model dinamika hutan mempengaruhi semua sub model, yaitu sub model tenaga kerja, sub model industri usaha kayu hutan rakyat, sub model pengaturan hasil, dan sub model analisis kelayakan usaha. Sub model tenaga kerja merupakan sub model yang menggambarkan banyaknya penyerapan tenaga kerja dalam pengelolaan hutan rakyat. Sub model tenaga kerja mempengaruhi sub model industri usaha kayu hutan rakyat, sub model pengaturan hasil dan dipengaruhi oleh dinamika tegakan.
35
Sub model industri usaha kayu hutan rakyat dipengaruhi oleh sub model dinamika tegakan. Semakin besar jumlah pohon tanaman sengon yang ada di sub model dinamika tegakan, maka sub model industri usaha kayu hutan rakyat akan semakin meningkat. Dalam sub model ini terdapat dua aliran materi, yaitu pemasukan kayu dan pengeluaran kayu. Tinggi rendahnya pendapatan kayu ditentukan oleh kondisi tegakan hutan rakyat. Semakin rusak kondisi tegakan hutan maka semakin sedikit jumlah pohon yang ada pada tegakan. Dimana jumlah pohon yang ada pada tegakan akan mempengaruhi jumlah tebangan yang akan dihasilkan, sehingga akan mempengaruhi besarnya pendapatan. Sub model pengaturan hasil dipengaruhi oleh sub model dinamika tegakan, sub model tenaga kerja dan sub model industri usaha kayu hutan rakyat. Sub model pengaturan hasil mempengaruhi sub model analisis kelayakan usaha. Sub model pengaturan hasil menentukan besarnya luasan dan jumlah pohon efektif dalam suatu pengelolaan hutan rakyat. Pendapatan efektif sangat dipengaruhi oleh besarnya
penerimaan
dan
biaya
yang
dikeluarkan
dalam menjalankan
pengusahaan hutan rakyat. Sub model analisis kelayakan usaha dipengaruhi oleh sub model dinamika tegakan dan sub model pengaturan hasil. Sub model analisis kelayakan usaha menentukan layak atau tidaknya suatu usaha pengelolaan hutan rakyat. Kriteriakriteria yang digunakan dalam menganalisis kelayakan usaha adalah Net present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). Tetapi karena keterbatasan Software Stella 9.0 dalam melakukan simulasi, maka sub model kelayakan usaha, kriteria yang digunakannya hanya Net present Value (NPV), sedangkan kriteria kelayakan usaha lainnya menggunakan manual. Model equations yang ada di dalam hubungan sub model terdapat pada Lampiran 3.
36
Gambar 2 Hubungan antar sub model. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat jenis sengon di Desa Cikalong terdiri dari beberapa kegiatan, di antaranya adalah pengadaan bibit, persiapan lahan penanaman,
pemeliharaan
dan
pemanenan.
Kegiatan
pengelolaan
dapat
meningkatkan pendapatan usaha kayu dan pendapatan usaha kayu mendapatkan aliran masuk positif dari jumlah batang, daur, dan harga sengon. Semakin banyak jumlah batang, maka pendapatan yang diperoleh akan semakin besar. Akan tetapi sengon dipengaruhi oleh kematian (mortality). Mortality dapat disebabkan, karena tanaman mendapat serangan hama dan penyakit. Semakin besar kematian, maka jumlah sengon akan semakin berkurang, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan. Semakin mahal harga sengon, maka pendapatan yang diperoleh dari usaha kayu akan semakin besar. Untuk analisis kelayakan usaha, semakin besarnya tingkat suku bunga, maka nilai Net present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR) akan rendah. Sedangkan semakin
37
rendah suku bunga, maka nilai kriteria-kriteria kelayakannya akan tinggi. Konseptualisasi model yang dikembangkan disajikan pada gambar (Gambar 3).
Gambar 3 Konseptualisasi model.
5.3.3 Spesifikasi Model Model pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong terdiri dari beberapa sub model dengan menggunakan Software Stella 9.0.2 yang dapat diuraikan sebagai berikut: 5.3.3.1 Sub model dinamika tegakan Sub model dinamika tegakan menggambarkan aliran materi berupa jumlah pohon pada setiap tahun tanam yang berbeda. Tahun tanam dimulai dari tahun 2010-2014. Dari masing-masing tahun tanam tersebut kemudian dihitung luas total hutan rakyatnya. Masing-masing tahun tanam mempunyai luasan areal sebesar 560 Ha. Materi yang keluar dari sistem disebabkan jumlah pohon yang mati (mortality), dan penebangan pada pohon sengon. Penebangan dilakukan pada umur tanaman pohon sengon 5 tahun sesuai dengan daur tebangnya. Materi yang masuk berasal dari penanaman sengon, yang dipengaruhi oleh luas hutan rakyat, jarak tanam dan proporsi sengon. Semakin luas lahan suatu areal maka semakin banyak penanaman yang dilakukan. Semakin besar jarak tanam, maka jumlah pohon dalam suatu areal akan semakin sedikit. Jarak tanam yang digunakan pada model ini adalah 3 m x 2 m. Jumlah sengon dipengaruhi oleh mortality. Dengan adanya mortality, jumlah pohon setiap tahunnya akan berkurang (Gambar 4).
38
Gambar 4 Sub model dinamika tegakan. 5.3.3.2 Sub model tenaga kerja Sub model tenaga kerja merupakan sub model yang dibuat untuk mengetahui penyerapan atau penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan pengusahaan atau model unit pengelolaan hutan rakyat. Dalam Pengelolaan hutan rakyat terdapat 3 kegiatan yang menyerap tenaga kerja yaitu persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan. Upah yang berlaku untuk satu orang tenaga kerja adalah sebesar Rp 25.000. Tenaga kerja yang mampu diserap adalah 10 orang per hektar (Gambar 5).
Gambar 5 Sub model tenaga kerja.
39
5.3.3.3 Sub model industri usaha kayu hutan rakyat Sub model industri usaha kayu hutan rakyat menggambarkan besarnya pendapatan petani yang diperoleh apabila menjalankan pengelolaan hutan rakyat. Pendapatan usaha kayu sengon dari pemasukan usaha kayu dikurangi pengeluaran biaya budidaya kayu. Pemasukan usaha kayu diperoleh dari hasil penjualan kayu sengon selama daur. Sistem penjualan yang digunakan di daerah tersebut, melalui tengkulak. Harga kayu sengon yang berlaku di Desa Cikalong untuk sengon umur 5 tahun sebesar Rp 500.000/m3 atau Rp 100.000/pohon. Harga kayu dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan permintaan pasar terhadap kayu yang semakin meningkat. Pengeluaran usaha kayu adalah biaya yang dikeluarkan selama pengelolaan dalam satu daur yang terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya peralatan, biaya pajak tanah, biaya pupuk dan insektisida. Semakin lama daur, maka biaya pengelolaan semakin besar, namun pendapatan yang dihasilkan akan semakin tinggi.
Gambar 6 Sub model industri usaha kayu hutan rakyat. 5.3.3.4 Sub model pengaturan hasil Sub model pengaturan hasil menggambarkan luasan efektif pada pengelolaan hutan rakyat, sehingga kelestarian hasil dapat terjamin. Luasan efektif diperoleh dari penjumlahan luasan pada seluruh tahun tanam. Sehingga dari luasan efektif tersebut akan diperoleh penanaman dan penebangan efektif. Semakin banyak luas hutan rakyat, maka luasan efektif akan semakin besar.
40
Berdasarkan luas lahan yang tersedia pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat diperoleh luasan efektif sebesar 2.800 Ha.
Gambar 7 Sub model pengaturan hasil. 5.3.3.5 Sub model kelayakan usaha Sub model kelayakan usaha menggambarkan besarnya pendapatan sengon yang digunakan untuk menentukan kriteria Net Present Value (NPV). Semakin besar pemasukan yang didapat dan semakin kecil pengeluaran biaya produksi dalam pengelolaan hutan rakyat, maka kriteria kelayakan usaha Net Present Value (NPV) akan bernilai positif dan layak untuk di usahakan . Nilai Net Present Value (NPV) dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin rendah suku bunga, maka nilai Net Present Value (NPV) akan semakin bertambah, sedangkan jika suku bunga semakin tinggi, maka nilai NPV akan semakin berkurang. Besarnya nilai NPV dan suku bunga berbanding terbalik.
Gambar 8 Sub model kelayakan usaha.
41
5.3.4 Evaluasi Model Evaluasi model bertujuan untuk mengetahui kemampuan model dalam mendeskripsikan keadaan sebenarnya di lapangan. Evaluasi model dilakukan dengan analisis sensitivitas keluaran, yang terjadi akibat perubahan masukan. Pada penelitian ini yang akan dievaluasi adalah besarnya penebangan efektif yang diperoleh dengan adanya mortality dan tanpa adanya mortality. Jumlah pohon yang terdapat pada luasan suatu hutan rakyat akan menentukan besarnya penebangan yang diperoleh.
Gambar 9 Evaluasi model. Keterangan: 1. Penebangan efektif tanpa adanya mortality. 2. Penebangan efektif dengan adanya mortality. Gambar 9 diatas terlihat bahwa penebangan tanpa adanya mortality, maka penebangan efektif yang diperoleh sampai dengan daur yang telah ditentukan akan sama dengan saat terjadi penanaman, karena tidak terjadi gangguan yang mengakibatkan berkurangnya tegakan. Sementara penebangan dengan adanya mortality sebesar 30% sampai daur yang ditetapkan akan semakin sedikit. Karena mortality mengakibatkan tegakan berkurang. Semakin besar mortality, maka penebangan efektif yang diperoleh akan semakin berkurang dan akan berdampak pada hasil pendapatan yang diperoleh. Sehingga model yang dihasilkan dapat dikatakan logis atau wajar dalam pengelolaan hutan rakyat.
42
5.3.5 Analisis Sensitivitas model Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terdapat kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Analisis sensitivitas model akan dilakukan terhadap pendapatan efektif yang dipengaruhi oleh besarnya mortality.
Gambar 10 Analisis sensitifitas model. Keterangan: 1. Pendapatan efektif dengan adanya mortality 10%. 2. Pendapatan efektif dengan adanya mortality 30%. 3. Pendapatan efektif dengan adanya mortality 40%. Gambar 10 di atas menunjukan bahwa, jika hutan rakyat sengon memiliki mortality yang rendah, maka pendapatan efektif yang diperoleh akan semakin besar, hal ini dikarenakan jumlah tegakan tanaman sengon tidak banyak berkurang, dan sebaliknya jika mortality lebih besar maka pendapatan efektifnya akan berkurang lebih besar, hal ini di karenakan berkurangnya jumlah tegakan sengon. 5.3.6 Penggunaan Model Penggunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenario yang telah ditetapkan dalam rangka memberikan jawaban mengenai tujuan
43
penelitian. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah mensimulasikan tingkat pendapatan petani pada berbagai luas unit pengelolaan yang layak untuk diusahakan. Untuk keperluan tersebut disusun suatu skenario untuk mengetahui perbedaan dan perubahan yang terjadi. Terdapat tiga skenario yang akan disimulasikan dalam model pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong. 5.3.6.1 Skenario daur dan harga Pada skenario ini akan dilakukan besarnya pendapatan efektif yang diperoleh jika daur dan harga diubah untuk tanaman sengon. Semakin besar daur, maka harga sengon per pohon akan semakin tinggi. Pendapatan efektif yang dimaksud adalah besarnya pendapatan dari sengon pada sub model pengaturan hasil.
Gambar 11 Skenario daur dan harga. Keterangan: 1.
Pendapatan efektif dengan daur 4 tahun dan harga sengon Rp 70.000 per pohon.
2.
Pendapatan efektif dengan daur 5 tahun dan harga sengon Rp 100.000 per pohon.
3.
Pendapatan efektif dengan daur 8 tahun dan harga sengon Rp 160.000 per pohon. Pada Gambar 11 skenario daur dan harga, daur 4 tahun dan harga sengon Rp
70.000 per pohon, pendapatan yang diperoleh tidak tinggi. Hal ini dikarenakan harga sengon per pohonnya rendah dan tidak sesuai dengan daur tebang.
44
Sedangkan jika skenario dengan daur 5 tahun dan harga sengon sebesar Rp 100.000 per pohon, mempunyai nilai pendapatan efektif paling tinggi, hal ini dikarenakan penebangan dan biaya pengelolaanya sesuai dengan daur tebangnya. Untuk daur 8 tahun dan harga sengon Rp 160.000 per pohon, pendapatan efektif yang diperoleh rendah. Hal ini dikarenakan jumlah tegakan pohon sengon berkurang karena adanya kematian (mortality) dan biaya pengelolaanya yang tinggi. Untuk daur Hasil skenario pendapatan efektif terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Skenario daur dan harga tanaman sengon Skenario pendapatan Pemasukan (Rp) Pengeluaran (Rp) Keuntungan (Rp)
Harga sengon dan daur (Rp/daur) 70000/ 4 tahun 100000/5 tahun 160000/8 tahun 288.642.666.667 387.605.866.667 515.102.769.855 241.266.666.667 301.583.333.333 482.533.333.333 47.376.000.000 86.022.533.334 32.569.436.522
Sumber data : hasil simulasi model
5.3.6.2 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga Pada skenario ini dilakukan perubahan tingkat suku bunga terhadap besarnya Net Present Value (NPV) tanaman sengon. Tingkat suku bunga pada skenario ini akan diubah menjadi 5 % dan 15 %.
Gambar 12 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga. Keterangan: 1.
Nilai NPV pada tingkat suku bunga 5 %.
2.
Nilai NPV pada tingkat suku bunga 10 %.
3.
Nilai NPV pada tingkat suku bunga 15 %.
45
Pada Gambar 12 terlihat bahwa semakin tingginya tingkat suku bunga, maka besarnya NPV yang diperoleh akan semakin berkurang, sedangkan semakin kecil tingkat suku bunga, maka besarnya NPV yang diperoleh semakin meningkat. Karena tingkat suku bunga berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan, dengan semakin tinggi tingkat suku bunga, maka pendapatan yang diperoleh akan semakin berkurang, sedangkan semakin rendah tingkat suku bunga pendapatan yang diperoleh akan semakin meningkat. Hasil skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga terdapat pada Tabel 6. Tabel 6 Skenario perubahan suku bunga Simulasi perubahan suku bunga NPV (Rp)
Suku bunga 5% 10% 15% 67.400.905.773 53.413.225.211 42.768.402.285
Sumber data : hasil simulasi model
5.4 Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat Analisis kelayakan usaha dilakukan dengan menggunakan metode analisis aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto. Besarnya suku bunga yang digunakan adalah 10%, yaitu suku bunga Bank Rakyat Indonesia yang berlaku di daerah saat penelitian berlangsung. Pada prinsipnya biaya yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat terdiri dari biaya berubah (variable cost) dan biaya tetap (fixed cost). Biaya tetap adalah semua jenis biaya yang seolah-olah tidak berubah walaupun jumlah barang yang dihasilkan berubah, misalnya tanah. Sedangkan biaya berubah adalah biaya produksi yang besarnya tergantung dari jumlah barang yang dihasilkan, misalnya membeli pupuk, bibit, upah tenaga kerja (Sumatra 1963 dalam Indra 2007). Biaya pengusahaan hutan rakyat terdiri dari biaya tetap, antara lain biaya sewa/pajak dan biaya peralatan. Biaya variabel terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya pengadaan bibit, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, biaya pemanenan. Kelayakan hutan rakyat ini bisa dijadikan acuan untuk perbaikan pengelolaan hutan rakyat kedepannya dari segi pemeliharaan dan pengaturan biaya yang dikeluarkan.
46
Kriteria Kelayakan usaha yang digunakan dalam analisis adalah Net Present Value (NPV) , Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR). A. Biaya tetap 1.
Pembayaran pajak merupakan salah satu biaya tetap usaha hutan rakyat. Besarnya nilai pajak tergantung dari luasan hutan rakyat yang dimiliki petani. Biaya pajak selalu dikeluarkan setiap tahunnya oleh petani yang dipengaruhi oleh luasan lahan yang dimiliki. Rata-rata besarnya biaya pajak yaitu Rp 75.000/Ha.
2.
Peralatan yang biasa digunakan petani di Desa Cikalong adalah parang, cangkul, koret, kampak, semprotan, congkrang, arit dan golok. Alat-alat ini digunakan dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang berfungsi untuk membersihkan dan mempermudah kegiatan. Total biaya pembelian peralatan pertanian yang dikeluarkan adalah Rp 3.500.000/Ha
B. Biaya Variabel 1.
Biaya Pengadaan bibit adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani di awal penanaman. Bibit sengon dibeli dari pedagang keliling di sekitar Desa Cikalong . Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan bibit tersebut sebesar Rp 1.000 per bibit sengon. Jumlah bibit sengon berdasarkan jarak tanam yang digunakan di lapangan. Jarak tanam yang digunakan yaitu 3 m x 2 m, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan bibit sebesar Rp 1.667.000/Ha.
2.
Biaya tenaga kerja adalah biaya dari kegiatan yang membutuhkan tenaga kerja seperti persiapan lahan, kegiatan penanaman, kegiatan pemupukan, kegiatan dan pemeliharaan. Upah untuk kegiatan ini besarnya Rp 25.000 per hari orang kerja (HOK). Biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja sebesar Rp 1.200.000/Ha.
3.
Biaya insektisida dan biaya pengadaan pupuk yang terdiri dari pengadaan pupuk kandang, NPK dan Urea berdasarkan rata-rata dari total per tahunnya. Pada pengadaan pupuk biaya yang dikeluarkan adalah Rp 2.500.000/ Ha.
4.
Biaya pemanenan yang ada di lahan hutan rakyat desa Cikalong ini tidak terperinci. Kegiatan pemanenan ini selalu dilakukan dengan sistem borongan
47
sehingga biaya pemanenan merupakan hasil negosiasi antara petani dan pihak pemborong. Tabel 7 Nilai kriteria kelayakan usaha Kriteria Kelayakan Investasi NPV (Rp) BCR IRR (%)
Nilai 53.413.225.211 1,2 32,6 %
Berdasarkan Tabel 5 dengan menggunakan suku bunga 10%, usaha pengelolaan hutan rakyat merupakan usaha yang layak untuk dijalankan. NPV bernilai positif, nilai BCR yang di peroleh lebih dari 1, dan IRR diatas suku bunga yang berlaku. Nilai NPV dari kegiatan pengelolaan hutan rakyat dengan luasan 2.800 Ha, sebesar Rp 53.413.225.211. Nilai ini menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan pengelolaan akan memberikan keuntungan selama umur analisis finansial yaitu 5 tahun menurut nilai sekarang. Nilai BCR dari kegiatan pengelolaan hutan rakyat adalah 1,2. Nilai BCR tersebut menunjukan perbandingan antara manfaat dan biaya yang terdiskonto. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa manfaat yang diperoleh selama umur proyek sebesar nilai BCR lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR yang diperoleh adalah 32,6%, hal ini menunjukan pengelolaan hutan rakyat layak untuk dilaksanakan. Hal tersebut terlihat dari nilai IRR-nya yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku.
48
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1.
Sistem pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan di Desa Cikalong menggunakan tebang pilih atau tebang butuh. Pola tanam yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat menggunakan pola agroforestry, dimana tanaman pokoknya adalah tanaman sengon. Pemasaran kayunya masih melalui tengkulak atau bandar.
2.
Model simulasi skenario pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong agar dapat memberikan hasil yang wajar dalam evaluasi model pembuatannya membutuhkan 5 sub model yaitu sub model dinamika tegakan, sub model tenaga kerja, sub model industri usaha kayu hutan rakyat, sub model pengaturan hasil, dan sub model kelayakan usaha.
3.
Berdasarkan luas lahan yang tersedia pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat diperoleh luas efektif sebesar 2.800 Ha. Sedangkan nilai kriteria kelayakan usahanya didapatkan nilai NPV sebesar Rp 53.413.225.211, BCR sebesar 1,2 dan IRR 32,6 %. Maka dapat disimpulkan bahwa usaha tersebut dinyatakan layak.
6.2 Saran 1.
Perlu dibentuk kelompok petani hutan rakyat yang dapat menjadi wadah atau sumber informasi.
2.
Untuk lebih meningkatkan hasil petani yang menggunakan sistem agroforestry sebaiknya tanaman yang ditanam adalah tanaman yang tahan terhadap naungan, sehingga lahan agroforestry tetap memberikan hasil sampingan setiap tahunnya.
3.
Perlu adanya kelembagaan dalam melakukan penyuluhan atau pemberian informasi tentang kehutanan lebih lanjut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan serta pengelolaan yang baik sehingga yang diperoleh akan lebih besar.
49
DAFTAR PUSTAKA Andayani W. 2005. Ekonomi Agroforestry. Debut Press. Yogyakarta. Atmosuseno BS. 1998. Budi Daya, Kegunaan, dan Prospek Sengon. Penebar Swadaya. Jakarta. Awang S. 2005. Petani, Ekonomi, dan Konservasi Aspek Penelitian dan Gagasan. Debut.Press. Balai Informasi Pertanian. 1982. Usaha Tani Hutan Rakyat, Ciawi. Bogor. [BPS] Biro Pusat Statistik Departemen Kehutanan. 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/287 [ 24 Maret 2011] [BPS] Biro Pusat Statistik. 2010. Tasikmalaya Dalam Angka. Tasikmalaya: Biro Pusat Statistik. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Peta Kesesuian Agroklimat Pengembangan Hutan Tanaman Industri Sengon (Albazia falcataria) di Pulau Jawa. Jakarta: Kerjasama Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2003. Kumpulan Laporan Studi Lapang Praktik-Praktik Social Forestry. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Departemen Kehutanan.1989. Hutan dan Kehutanan Jakarta. Djajapertjunda S. 2003. Mengembangkan hutan milik di Jawa. Alqaprint Jatinangor. Bandung Grant William E. Pedersen, and Sandra L. 1997. Ecology and Natural Resource Management System Analysis and Simulation. Toronto : John Willey and Son Inc. Hairiah K Sardjono MA, Satarnudin S. 2003 Pengantar Agroforestry. Bahan Ajaran 1. Bogor. World Agroforestry Centre (ICRAF) Hardjanto 2000. Pengembangan kebijakan ekonomi dan pelestarian hutan. Fakultas kehutanan IPB. Bogor Hidayat J. 2007. Paraserienthes falcataria. www.dephut.go.id [3 agustus 2010] Indra W.2007. Analisis Ekonomi, Ekologi dan Sosial Sistem pengelolaan hutan rakyat (Kasus di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Propinsi DI Yogyakarta). Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Kartasubrata J. 1986. Partisipasi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan di jawa (studi kehutanan sosial di daerah kawasan hutan produksi, hutan lindung dan konservasi). Disertasi Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.
50
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2007. S.375/II/PIK-1/2005. Hutan Rakyat Indonesia Sangat Prospektif Untuk Industri Kehutanan. Jakarta Lembaga Penelitian IPB. 1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Bogor Mandang Y IKN Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan Prosea Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan Sumber Daya Manusia Kehutanan. Pramudya B. Dewi N. 1992. Ekonomi Teknik. Bogor: Japan International Coorporation Agen Dengan FAkultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purnadjaja. Kalima T. Sutisna U. 1998. Pedoman Pengelolaan Pohon Hutan di Indonesia. Bogor: Yayasan Prosea Bogor. Purnomo H. 2005. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan Dan Manajemen Sumber Daya Alam Secara Kolaboratif dan Adatif (Lecture Notes). Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Santoso HB. 1992. Budidaya sengon. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Simon H. 1995. Pengaturan Hasil Hutan. Diktat Mata Kuliah Perencanaan Hasil Hutan. Penerbit Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Soekartawi A; Soeharjo, John L. Dillon, J. Brian Hardaker. 1986. Ilmu usaha tani dan penelitian untuk perkembangan petani kecil. UI Press. Jakarta.
51
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta kawasan Kabupaten Tasikmalaya
52
Lampiran 2 Identitas responden
Nama
Dusun
Umur
Pendidikan
JAK
Pekerjaan Pokok
LLHR (ha)
Status Lahan
Strata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
H. NUNUNG H. ACIM H. UJAY TATANG EDI H. ETIK LILING H. SURDI H. SHOLEH H. PEPEP H. EDENG JUMHADI H. NAKID H. SORDIK SAEIN KARDIK INDI KARYA TOHIR ONAH ENGKAS KARDION ANI AWAN LILI H. NASRUDIN H. TOTO IYAH H. LUKMAN WAHENDI
CILUTUNG CILUTUNG CILUTUNG CILUTUNG CILUTUNG CILUTUNG CILUTUNG CILUTUNG CILUTUNG CILUTUNG DESAKOLOT DESAKOLOT DESAKOLOT DESAKOLOT DESAKOLOT DESAKOLOT DESAKOLOT DESAKOLOT DESAKOLOT DESAKOLOT CISODONG CISODONG CISODONG CISODONG CISODONG CISODONG CISODONG CISODONG CISODONG CISODONG
42 80 47 42 55 52 42 52 45 40 55 39 50 40 40 43 49 52 65 47 65 40 55 40 45 50 70 35 47 65
SLTA SD SD SLTP SLTA SD SLTA SLTA SLTA SLTA SD SD SD SLTA SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SLTA SLTP SD
3 2 3 7 3 3 4 3 4 4 2 4 3 6 2 3 3 4 2 3 1 4 4 4 3 3 5 3 5 2
pedagang petani pedagang wiraswasta perangkat desa petani pns pns polisi pns petani petani petani wiraswasta petani petani petani petani petani buruh tani petani petani petani pedagang petani wiraswasta petani petani petani petani
0,42 1,14 0,27 0,5 0,26 0,1 0,28 0,52 0,5 0,14 0,26 0,22 1 1,2 0,42 0,1 0,27 0,21 0,14 0,04 0,03 0,05 0,21 0,1 0,28 0,02 0,08 0,35 0,27 0,42
Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi
2 4 2 2 2 1 2 3 2 1 2 1 3 4 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 2
74
No
53
Lampiran 2 (lanjutan) Nama
Dusun
Umur
Pendidikan
JAK
Pekerjaan Pokok
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
SAEPUDIN MASUNAH MAHPUD OLID MASDUKI UJANG M KURNIADI ADANG MUTAQIN MUKRI ROHANA HERMAWAN KUSNADI DAHELI EPON TAJIDIN ONI SUPRIYADI SAHUDIN GANI MAHDIN KAROM H. APUDIN SADDI ADE AYUB TOHIR MULYANA UJAY ABDUL R KHOLID KHAERUDIN
BOROSOLE BOROSOLE BOROSOLE BOROSOLE BOROSOLE BOROSOLE BOROSOLE BOROSOLE BOROSOLE BOROSOLE PANGAPEKAN PANGAPEKAN PANGAPEKAN PANGAPEKAN PANGAPEKAN PANGAPEKAN PANGAPEKAN PANGAPEKAN PANGAPEKAN PANGAPEKAN CIKALONG CIKALONG CIKALONG CIKALONG CIKALONG CIKALONG CIKALONG CIKALONG CIKALONG CIKALONG
45 50 61 50 49 56 60 53 68 42 60 56 43 44 51 63 60 54 50 55 60 65 50 49 63 31 41 40 39 60
SLTA SD SD SD SD SD SD SLTA SD SLTP SD SD SLTP SLTP SD SD SD SD SLTA SD SD SD SD SLTP SD SD SD SD SD SD
4 3 3 4 2 3 3 5 2 5 2 3 4 6 4 3 2 2 5 4 2 3 2 3 3 4 4 2 2 4
peternak peternak petani buruh tani peternak buruh tani pedagang pns petani pedagang petani petani pedagang petani petani petani Petani Petani Petani buruh tani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani
LLHR (ha) 0,28 0,21 0,6 0,11 0,14 0,35 0,1 0,52 0,42 0,07 0,14 0,28 0,35 0,1 0,14 0,21 0,42 0,18 0,05 0,04 0,14 0,57 0,08 0,08 0,21 0,28 0,05 0,05 0,07 0,08
Status Lahan
Strata
Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi
2 1 3 1 1 2 1 3 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 3 1 1 1 2 1 1 1 1
74
No
54
Lampiran 2 (lanjutan) Nama
Dusun
Umur
Pendidikan
JAK
61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
BAHRUN HARTONO LUBIS OBIN HAJIDIN WAHOBIR RUKY SARIPIN SUPARMAN SUHAIMAH JALILUDIN HODIA MAMAT ABDUL KHOLIK ABDUL WAHID SULAIMAN H. LILI PIDIN ABDUL ROHIM USUB AJIDIN H. ABDUL LATIF H. NANA S UBED UBAYUDIN H. ROJAK ABDUL KARIM WAWAN R LUKMAN SHOLIH
CIPONDOH CIPONDOH CIPONDOH CIPONDOH CIPONDOH CIPONDOH CIPONDOH CIPONDOH CIPONDOH CIPONDOH CIKARET CIKARET CIKARET CIKARET CIKARET CIKARET CIKARET CIKARET CIKARET CIKARET SINDANG HURIP SINDANG HURIP SINDANG HURIP SINDANG HURIP SINDANG HURIP SINDANG HURIP SINDANG HURIP SINDANG HURIP SINDANG HURIP SINDANG HURIP
53 38 35 58 45 57 65 50 46 40 65 41 47 52 43 60 50 65 40 62 50 55 64 41 40 56 82 45 53 52
SD SLTA SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SLTP SLTP SD SD SD SD SD SD SD SLTA S1 SD SD SD SD SD SD SD
6 5 3 2 2 2 2 2 4 2 2 5 3 4 7 3 3 3 4 2 5 4 3 2 3 2 2 5 3 3
Pekerjaan Pokok Petani Pedagang Buruh Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Pedagang Petani perangkat desa Wiraswasta Petani Pedagang pedagang petani petani petani buruh tani petani jasa petani petani petani pedagang petani petani
LLHR (ha) 0,22 0,38 0,28 0,21 0,55 0,36 0,3 0,1 0,28 0,2 0,51 0,51 0,11 0,28 0,28 0,08 0,5 0,21 0,03 0,28 1,1 0,14 2,5 0,44 0,35 1 0,28 0,26 0,14 0,14
Status Lahan Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi
Strata 1 2 2 1 3 2 2 1 2 1 3 3 1 2 2 1 2 1 1 2 4 1 4 2 2 3 2 2 1 1
74
No
55
Lampiran 3 Model equations analisis kelayakan usaha NPV_sengon = (pemasukan_efektif-pengeluaran_efektif)/(1+suku_bunga)^Daur suku_bunga = 10/100
74
JumlahTegakansengon[Jumlah_batang](t) = JumlahTegakansengon[Jumlah_batang](t - dt) + (Penanaman_sengon[Jumlah_batang] Penebangan[Jumlah_batang] - mortality[Jumlah_batang]) * dtINIT JumlahTegakansengon[Jumlah_batang] = 0 INFLOWS: Penanaman_sengon[2005] = if mod(time,Daur)=0+1 THEN Luas_sengon[2005]*(10000/Jarak_Tanam) ELSE 0 Penanaman_sengon[2006] = if mod(time,Daur)=0+1 THEN Luas_sengon[2006]*(10000/Jarak_Tanam) ELSE 0 Penanaman_sengon[2007] = if mod(time,Daur)=0+1 THEN Luas_sengon[2007]*(10000/Jarak_Tanam) ELSE 0 Penanaman_sengon[2008] = if mod(time,Daur)=0+1 THEN Luas_sengon[2008]*(10000/Jarak_Tanam) ELSE 0 Penanaman_sengon[2009] = if mod(time,Daur)=0+1 THEN Luas_sengon[2009]*(10000/Jarak_Tanam) ELSE 0 OUTFLOWS: Penebangan[2005] = if mod(time,Daur)=0 then JumlahTegakansengon[2005] else 0 Penebangan[2006] = if mod(time,Daur)=0 then JumlahTegakansengon[2006] else 0 Penebangan[2007] = if mod(time,Daur)=0 then JumlahTegakansengon[2007] else 0 Penebangan[2008] = if mod(time,Daur)=0 then JumlahTegakansengon[2008] else 0 Penebangan[2009] = if mod(time,Daur)=0 then JumlahTegakansengon[2009] else 0 mortality[2005] = if mod(time,Daur) then Mortality_Rate*JumlahTegakansengon[2005] else 0 mortality[2006] = if mod(time,Daur) then Mortality_Rate*JumlahTegakansengon[2006] else 0 mortality[2007] = if mod(time,Daur) then Mortality_Rate*JumlahTegakansengon[2007] else 0 mortality[2008] = if mod(time,Daur) then Mortality_Rate*JumlahTegakansengon[2008] else 0 mortality[2009] = if mod(time,Daur) then Mortality_Rate*JumlahTegakansengon[2009] else 0 Daur = 5 Jarak_Tanam = 6 luas_HR[2005] = 560 luas_HR[2006] = 560 luas_HR[2007] = 560 luas_HR[2008] = 560 luas_HR[2009] =560
56
Lampiran 3 (Lanjutan) Luas_sengon[2005] = luas_HR[2005]*Proporsi_Sengon Luas_sengon[2006] = luas_HR[2006]*Proporsi_Sengon Luas_sengon[2007] = luas_HR[2007]*Proporsi_Sengon Luas_sengon[2008] = luas_HR[2008]*Proporsi_Sengon Luas_sengon[2009] = luas_HR[2009]*Proporsi_Sengon Mortality_Rate = 0.06 Proporsi_Sengon = 100/100
74
biaya_bibit[2005] = Harga_Bibit*Penanaman_sengon[2005] biaya_bibit[2006] = Harga_Bibit*Penanaman_sengon[2006] biaya_bibit[2007] = Harga_Bibit*Penanaman_sengon[2007] biaya_bibit[2008] = Harga_Bibit*Penanaman_sengon[2008] biaya_bibit[2009] = Harga_Bibit*Penanaman_sengon[2009] Biaya_budidaya_kayu[2005] = (biaya_bibit[2005]+biaya_Pupuk[2005]+Biaya_tenaga_kerja[2005]+B_pajak[2005]+biaya_peralatan[2005]+biaya_insektisida[2005])*Daur Biaya_budidaya_kayu[2006] = (biaya_bibit[2006]+biaya_Pupuk[2006]+Biaya_tenaga_kerja[2006]+B_pajak[2006]+biaya_peralatan[2006]+biaya_insektisida[2006])*Daur Biaya_budidaya_kayu[2007] = (biaya_bibit[2007]+biaya_Pupuk[2007]+Biaya_tenaga_kerja[2007]+B_pajak[2007]+biaya_peralatan[2007]+biaya_insektisida[2007])*Daur Biaya_budidaya_kayu[2008] = (biaya_bibit[2008]+biaya_Pupuk[2008]+Biaya_tenaga_kerja[2008]+B_pajak[2008]+biaya_peralatan[2008]+biaya_insektisida[2008])*Daur Biaya_budidaya_kayu[2009] = (biaya_bibit[2009]+biaya_Pupuk[2009]+Biaya_tenaga_kerja[2009]+B_pajak[2009]+biaya_peralatan[2009]+biaya_insektisida[2009])*Daur biaya_insektisida[2005] = if mod(time,Daur)=1 then (harga_insektisida*insektisida*Luas_sengon[2005]) else 0 biaya_insektisida[2006] = if mod(time,Daur)=1 then (harga_insektisida*insektisida*Luas_sengon[2006]) else 0 biaya_insektisida[2007] = if mod(time,Daur)=1 then (harga_insektisida*insektisida*Luas_sengon[2007]) else 0 biaya_insektisida[2008] = if mod(time,Daur)=1 then (harga_insektisida*insektisida*Luas_sengon[2008]) else 0 biaya_insektisida[2009] = if mod(time,Daur)=1 then (harga_insektisida*insektisida*Luas_sengon[2009]) else 0 biaya_peralatan[2005] = if mod(time,Daur)=1 then (peralatan*Luas_sengon[2005]) else 0 biaya_peralatan[2006] = if mod(time,Daur)=1 then (peralatan*Luas_sengon[2006]) else 0 biaya_peralatan[2007] = if mod(time,Daur)=1 then (peralatan*Luas_sengon[2007]) else 0 biaya_peralatan[2008] = if mod(time,Daur)=1 then (peralatan*Luas_sengon[2008]) else 0 57
Lampiran 3 (Lanjutan)
74
biaya_peralatan[2009] = if mod(time,Daur)=1 then (peralatan*Luas_sengon[2009]) else 0 biaya_Pupuk[2005] = if mod(time,Daur)=1 then (h_pupuk_kandang*pupuk_kandang*Luas_sengon[2005]+(h_pupuk_urea*pupuk_urea*Luas_sengon[2005])) else 0 biaya_Pupuk[2006] = if mod(time,Daur)=1 then (h_pupuk_kandang*pupuk_kandang*Luas_sengon[2006]+(h_pupuk_urea*pupuk_urea*Luas_sengon[2006])) else 0 biaya_Pupuk[2007] = if mod(time,Daur)=1 then (h_pupuk_kandang*pupuk_kandang*Luas_sengon[2007]+(h_pupuk_urea*pupuk_urea*Luas_sengon[2007])) else 0 biaya_Pupuk[2008] = if mod(time,Daur)=1 then (h_pupuk_kandang*pupuk_kandang*Luas_sengon[2008]+(h_pupuk_urea*pupuk_urea*Luas_sengon[2008])) else 0 biaya_Pupuk[2009] = if mod(time,Daur)=1 then (h_pupuk_kandang*pupuk_kandang*Luas_sengon[2009]+(h_pupuk_urea*pupuk_urea*Luas_sengon[2009])) else 0 Biaya_tenaga_kerja[2005] = Upah*TK_Sengon[2005] Biaya_tenaga_kerja[2006] = Upah*TK_Sengon[2006] Biaya_tenaga_kerja[2007] = Upah*TK_Sengon[2007] Biaya_tenaga_kerja[2008] = Upah*TK_Sengon[2008] Biaya_tenaga_kerja[2009] = Upah*TK_Sengon[2009] B_pajak[2005] = if mod(time,Daur)=1 then (pajak_tanah*Luas_sengon[2005]) else 0 B_pajak[2006] = if mod(time,Daur)=1 then (pajak_tanah*Luas_sengon[2006]) else 0 B_pajak[2007] = if mod(time,Daur)=1 then (pajak_tanah*Luas_sengon[2007]) else 0 B_pajak[2008] = if mod(time,Daur)=1 then (pajak_tanah*Luas_sengon[2008]) else 0 B_pajak[2009] = if mod(time,Daur)=1 then (pajak_tanah*Luas_sengon[2009]) else 0 Harga_Bibit = 1000 harga_insektisida = 75000 Harga_kayu_Per_batang = 100000 h_pupuk_kandang = 2000 h_pupuk_urea = 5000 insektisida = 20 pajak_tanah = 75000*5 pemasukan_kayu[2005] = if mod(time,Daur)=0 then (Harga_kayu_Per_batang*Penebangan[2005]) else 0 pemasukan_kayu[2006] = if mod(time,Daur)=0 then (Harga_kayu_Per_batang*Penebangan[2006]) else 0 pemasukan_kayu[2007] = if mod(time,Daur)=0 then (Harga_kayu_Per_batang*Penebangan[2007]) else 0 pemasukan_kayu[2008] = if mod(time,Daur)=0 then (Harga_kayu_Per_batang*Penebangan[2008]) else 0
58
Lampiran 3 (Lanjutan) pemasukan_kayu[2009] = if mod(time,Daur)=0 then (Harga_kayu_Per_batang*Penebangan[2009]) else 0 pendapatan_kayu[2005] = pemasukan_kayu[2005]-pengeluaran_kayu[2005] pendapatan_kayu[2006] = pemasukan_kayu[2006]-pengeluaran_kayu[2006] pendapatan_kayu[2007] = pemasukan_kayu[2007]-pengeluaran_kayu[2007] pendapatan_kayu[2008] = pemasukan_kayu[2008]-pengeluaran_kayu[2008] pendapatan_kayu[2009] = pemasukan_kayu[2009]-pengeluaran_kayu[2009] pengeluaran_kayu[2005] = Biaya_budidaya_kayu[2005] pengeluaran_kayu[2006] = Biaya_budidaya_kayu[2006] pengeluaran_kayu[2007] = Biaya_budidaya_kayu[2007] pengeluaran_kayu[2008] = Biaya_budidaya_kayu[2008] pengeluaran_kayu[2009] = Biaya_budidaya_kayu[2009] peralatan = 3500000 pupuk_kandang = 3000 pupuk_urea = 500 Upah = 25000*4 biaya_bibit_efektif = Harga_Bibit*penanaman_efektif biaya_budidaya_kayu_efektif = (biaya_bibit_efektif+biaya_pupuk_efektif+biaya_tenaga_kerja_efektif+b_pajak_efektif+biaya_peralatan_efektif+biaya_insektisida_efektif)*Daur biaya_insektisida_efektif = if mod(time,Daur)=1 then (harga_insektisida*insektisida*luas_efektif) else 0 biaya_peralatan_efektif = if mod(time,Daur)=1 then (peralatan*luas_efektif) else 0 biaya_pupuk_efektif = if mod(time,Daur)=1 then ((h_pupuk_kandang*pupuk_kandang*luas_efektif)+(h_pupuk_urea*pupuk_urea*luas_efektif)) else 0 biaya_tenaga_kerja_efektif = Tk_efektif*Upah b_pajak_efektif = if mod(time,Daur)=1 then (pajak_tanah*luas_efektif) else 0 luas_efektif = ARRAYSUM(luas_HR[*]) pemasukan_efektif = if mod(time,Daur)=0 then (Harga_kayu_Per_batang*penebangan_efektif) else 0 penanaman_efektif = ARRAYSUM(Penanaman_sengon[*]) pendapatan_efektif = pemasukan_efektif-pengeluaran_efektif penebangan_efektif = ARRAYSUM(Penebangan[*]) pengeluaran_efektif = biaya_budidaya_kayu_efektif Tk_efektif = ARRAYSUM(TK_Sengon[*]) 74 59
Lampiran 3 (Lanjutan) TK_1_Ha_Pemeliharaan = 3*10 TK_1_Ha_Penanaman = 3*5 TK_1_Ha_Persiapan_lahan = 3*5 TK_Pemeliharaan[2005] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2005]*TK_1_Ha_Pemeliharaan else 0 TK_Pemeliharaan[2006] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2006]*TK_1_Ha_Pemeliharaan else 0 TK_Pemeliharaan[2007] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2007]*TK_1_Ha_Pemeliharaan else 0 TK_Pemeliharaan[2008] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2008]*TK_1_Ha_Pemeliharaan else 0 TK_Pemeliharaan[2009] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2009]*TK_1_Ha_Pemeliharaan else 0 TK_Penanaman[2005] = if mod (time,Daur)=1 then Luas_sengon[2005]*TK_1_Ha_Penanaman else 0 TK_Penanaman[2006] = if mod (time,Daur)=1 then Luas_sengon[2006]*TK_1_Ha_Penanaman else 0 TK_Penanaman[2007] = if mod (time,Daur)=1 then Luas_sengon[2007]*TK_1_Ha_Penanaman else 0 TK_Penanaman[2008] = if mod (time,Daur)=1 then Luas_sengon[2008]*TK_1_Ha_Penanaman else 0 TK_Penanaman[2009] = if mod (time,Daur)=1 then Luas_sengon[2009]*TK_1_Ha_Penanaman else 0 TK_Persiapan_lahan[2005] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2005]*TK_1_Ha_Persiapan_lahan else 0 TK_Persiapan_lahan[2006] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2006]*TK_1_Ha_Persiapan_lahan else 0 TK_Persiapan_lahan[2007] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2007]*TK_1_Ha_Persiapan_lahan else 0 TK_Persiapan_lahan[2008] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2008]*TK_1_Ha_Persiapan_lahan else 0 TK_Persiapan_lahan[2009] = if mod(time,Daur)=1 then Luas_sengon[2009]*TK_1_Ha_Persiapan_lahan else 0 TK_Sengon[2005] = TK_Persiapan_lahan[2005]+TK_Pemeliharaan[2005]+TK_Penanaman[2005] TK_Sengon[2006] = TK_Persiapan_lahan[2006]+TK_Pemeliharaan[2006]+TK_Penanaman[2006] TK_Sengon[2007] = TK_Persiapan_lahan[2007]+TK_Pemeliharaan[2007]+TK_Penanaman[2007] TK_Sengon[2008] = TK_Persiapan_lahan[2008]+TK_Pemeliharaan[2008]+TK_Penanaman[2008] TK_Sengon[2009] = TK_Persiapan_lahan[2009]+TK_Pemeliharaan[2009]+TK_Penanaman[2009] Not in a sector
74 60
Lampiran 4 Kuesioner Penelitian
KUISIONER PENELITIAN I. Identitas Responden 1. 2. 3. 4.
Nama Lengkap Umur Pendidikan Terakhir Pekerjaan a. Utama b. Sampingan
5. Jumlah Anggota Keluarga
: : Tahun : SD/SLTP/SLTA/PERGURUAN TINGGI : : :
Orang
6. Tempat tinggal a. Dusun b. Desa
: :
II. Kepemilikan lahan Luas lahan hutan rakyat : a. < 0,25 ha / b.0,25-0,5ha /c.0,5-1 ha/ d. >1ha Berapa luas : ha Status lahan : Tanah milik/Tanah sewa Jumlah bibit yang ditanam : Bibit Berapa % hidup : % Berapa % mati : % Jenis tanaman pokok : Jenis tanaman lain : Jati/Mahoni/
74
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
61
Lampiran 4 (Lanjutan) a. Status 9. Umur tegakan/tahun tanam 10. Daur tebang 11. Diameter saat tebang 12. Jarak tanam
: Pengisi/Tambahan Komersil/lain-lain : Tahun : Tahun : cm :2x3 m/ 3x3 m/ 3x4 m/ 4x5 m/sembarang
III. Sumber dan Pendapatan Rumah Tangga 1. Hutan Rakyat a. Biaya produksi a. Persiapan lahan b. Pengadaan bibit c. Penanaman d. Pemeliharaan e. Pemanenan f. Pajak
: Rp : Rp : Rp : Rp : Rp : Rp
b. Pendapatan Kotor a. Jumlah pohon yang dipanen : b. Diameter rata-rata
:
c. Harga kayu per batang
: Rp
d. Pajak
: Rp
Batang cm
62
74
Lampiran 4 (Lanjutan) 2. Pertanian : Jagung/kopi/jahe/palawija/buah-buahan a. Biaya produksi Jenis tanaman
3.
: Rp Produksi
Harga satuan
Pendapatan kotor
Kg
Rp
Rp
Perternakan : Sapi/Kambing/Ayam a. Biaya
: Rp
b. Pendapatan Kotor : Rp c. Pajak
: Rp
4. Perdagangan : Jual-beli Tanah, Pakaian, dan Usaha Warung a. Biaya
: Rp
b. Pendapatan Kotor : Rp c. Pajak 5.
: Rp
Lain-lain : Upah/gaji sebagai Pegawai Swasta dan Buruh Tani a.
Pendapatan
: Rp 74
63
Lampiran 4 (Lanjutan) IV. Pengeluaran Rumah Tangga 1. Makanan (bulan) Beras
Rp
Non beras
Rp
2. Bukan Makanan (bulan) Pajak
Rp
Pendidikan
Rp
Sandang
Rp
Tranportasi
Rp
Lain-lain
Rp
3. Tabungan
: Rp
V. Curahan Tenaga Kerja Persiapan lahan
Pengadaan bibit
Penanaman
Pemeliharaan
Pemanenan
D
D
D
D
D
L
T
L
T
L
T
L
T
L
T
Keterangan : D (curahan tenaga kerja dari dalam RT ), L (curahan tenaga kerja dari luar RT), T (curahan tenaga kerja total) 74
1. Upah Tenaga Kerja : Rp
64
Lampiran 4 (Lanjutan) VI. Jumlah Petani Hutan Rakyat 1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah petani : Persen lahir : Persen mati : Persen masuk dari pendatang : Persen keluar :
Orang % % % %
74 65