EFISIENSI PEMASARAN KAYU JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)
Purwanto
PROGAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M
EFISIENSI PEMASARAN KAYU JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)
Oleh: Purwanto 106092002995
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Progam Studi Agribisnis
PROGAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul ” Efisiensi Pemasaran Kayu Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) Studi Kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor”, yang ditulis oleh Purwanto NIM 106092002995. Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Jum’at Tanggal 10 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis. Menyetujui,
Penguji I
Penguji II
Dr. Ir. Edmon Daris, MS
Ir. Junaidi, M.Si
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Elpawati, MP
Ir. Iwan Aminudin, M.Si
Mengetahui, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Ketua Program Studi Agribisnis
Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis NIP. 19680117 2001121 1 001
Drs. Acep Muhib, MMA NIP. 19690605 20112 1 001
SURAT PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Juni 2011
PURWANTO
Daftar Riwayat Hidup
Data Diri Nama Lengkap
: Purwanto
Alamat
: Kp. Bulak RT 03/13 No.19 Kemirimuka, Depok 16423
Telepon
: 085232978136
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 29 Juli 1988 Agama
: Islam
Email
:
[email protected]
Motto Hidup
: Dont Be Strong But Do Your Best Always
Riwayat Pendidikan 1992-1994
TK An-Nuriyah Depok
1994-2000
SD Negeri Depok Jaya 1
2000-2003
SMP Negeri 2 Depok
2003-2006
SMA Negeri 5 Depok
2006-2011
Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Riwayat Organisasi 2007-2008
Anggota Forum Lingkar Pena Ciputat
2008-2009
Staf CIC (Campus Interpreuner Comunity) Staf Olahraga dan Seni Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kegiatan Pelatihan 2005
Pelatihan Komputer LPK Mahasin
2007
Pelatihan Kewirausahaan Campus Interpreuner Community Training Organization mahasiswa agribisnis
Platform
Badan
eksekutif
Training Organisasi dan Motivasi yang diselenggarakan BEM FST UIN Jakarta. Seminar Sainstek Muslim “Urgensi Cyber Community Bagi perkembangan Masyarakat Islam” 2008
Pendidikan Dasar (Diksar) Perkoperasian dan Kewirausahaan yang diselenggarakan Koperasi Mahasiswa (KOPMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2010
Training Etnomark Consulting “Metode Riset Kualitatif via Etnography”
2011
Training BBC School of Kahfi “Be Powerfull Speaker Trough Great Communication”
Riwayat Pekerjaan 2007
Magang dalam Penyusunan Outlook Perkebunan Kapas, Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian
2010
Praktek Kerja Lapang Bagian Tanaman Produksi PT Rajawali Nusantara Indonesia PG Unit II Subang
2009-2010
Monitoring Badan Pelaksana Progam Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Indonesia
2010 - sekarang
Field Risecher di Etnomark Consulting
RINGKASAN PURWANTO. 106092002995. Efisiensi Pemasaran Kayu Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) Studi Kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. (Dibawah bimbingan Elpawati dan Iwan Aminudin) Salah satu Kecamatan pemasok kayu jenis sengon di kabupaten bogot adalah Kecamatan Leuwisadeng. Sebagian besar petani sengon di kecamatan ini belum mampu maksimal dalam mengumpulkan informasi pasar sehingga mereka kurang memiliki daya saing dalam menawarkan kayu sengon. Akibatnya volume kayu dan keuntungan dari hasil penjualan yang didapat menjadi sedikit. Harga kayu dijual lebih ditentukan oleh para perantara dan memposisikan petani sebagi penerima harga (price-taker). Posisi tersebut mengakibatkan peranan perantara lebih menonjol dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan petani. Walaupun kondisi tersebut adalah kondisi yang pada umumnya terjadi dalam suatu usahatani, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh mengenai efisiensi pemasaran yang sedang terjadi saat ini sehingga dapat diketahui apakah sistem pemasaran tersebut sudah efisien atau belum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi pemasaran kayu jenis sengon berdasarkan (1) Saluran dan lembaga pemasaran kayu jenis sengon, (2) Struktur pasar kayu jenis sengon, (3) Fungsi pemasaran petani, perantara dan sawmill kayu jenis sengon, (4) Marjin pemasaran perantara dan sawmill kayu jenis sengon, (5) Farmer’s share petani Kecamatan Leuwisadeng. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, sedangkan dalam menganalisis data digunakan analisis saluran pemasaran, analisis struktur pasar, analisis fungsi pemasran, analisis marjin pemasaran dan analisis farmer’s share Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa saluran pemasaran yang terbentuk pada pemasaran kayu jenis sengon kecamatan leuwisadeng yaitu Saluran Pemasaran 1 terdiri dari Petani – Perantara – Sawmill - Material, Saluran Pemasaran 2 terdiri dari Petani – Sawmill - Material dan Saluran Pemasaran 3 terdiri dari Petani – Perantara – Sawmill - Indutri Luar Daerah. Struktur pasar yang dihadapi oleh pemasaran kayu sengon dari Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor adalah pasar persaingan tidak sempurna. Berdasarkan perbandingan jumlah petani dan jumlah perantara, sawmill ataupun material, struktur pasar yang terbentuk dari sisi petani adalah oligopsoni. Jumlah petani yang lebih banyak daripada perantara, sawmill maupun material menyebabkan petani menjadi penerima harga (price taker). Pada tingkat pemasaran selanjutnya jumlah perantara lebih banyak daripada jumlah sawmill. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk adalah monopsoni Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran adalah: Fungsi pemasaran petani yaitu Pembelian, Penjualan, Pengambilan Pasar dan Penelitian Pasar. Fungsi pemasaran perantara yaitu Pembelian, Penjualan, Pengangkutan, Biaya Pemasaran, Pengambilan Resiko, Penelitian Pasar, Demand Creation. Fungsi pemasaran sawmill yaitu Pembelian, Penjualan, Penyimpanan,
Pengangkutan, Standarisasi dan Grading, Pengambilan Resiko, Penelitian Pasar dan Demand Creation. Marjin Pemasaran yang diperoleh lembaga pemasaran yang terlibat adalah: Marjin Pemasaran perantara untuk saluran pemasaran 1 adalah sebesar Rp.297.223/m3, dan untuk saluran pemasaran 3 sebesar Rp.324.107/m3. pada saluran pemasaran 2 tidak ada nilai marjinnya karena pada saluran ini petani tidak melalui perantara dalam pendistribusian kayu ke sawmill. Marjin pemasaran sawmill untuk pemasaran kayu sengon pada saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing-masing Rp.248.661/m3, Rp.298.214/m3 dan Rp.334.920/m3. Total marjin pemasaran yang diperoleh dari saluran pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor untuk saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing-masing Rp Rp.548.661/m3, Rp.301.191/m3 dan Rp.657.619/m3. sehingga dipastikan bahwa marjin pemasaran tertinggi dihasilkan oleh saluran pemasaran 3 dan terendah saluran pemasaran 2. Sehingga saluran pemasaran 2 dinilai lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya. Persentase bagian yang diperoleh petani (farmer’s share) atas pemasaran kayu sengon saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing 55,66%, 74,9% dan 50,67% dari harga jualnya. Hal ini berarti farmer’s share tertinggi dihasilkan dari saluran pemasaran 2 dan terendah saluran pemasaran 3. hasil perhitungan menunjukan bahwa pemasaran kayu sengon saluran pemasaran 2 lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disarankan (1) Petani seharusnya mampu menjual pohon sengonnya dalam bentuk kayu tebangan bukan dalam keadaan berdiri, sehingga hasil atau keuntungan yang diterima petani lebih besar lagi. (2) Seharusnya ada pihak yang mengontrol dalam hal ini Pemerintah untuk memastikan agar petani menggunakan saluran pemasaran 2. Nilai farmer share yang dimiliki saluran pemasaran 2 sebesar 74,9 % lebih tinggi dibandingkan saluran pemasaran lainnya (3) Dinas Kehutanan seharusnya turun langsung ke petani lewat penyuluh menyampaikan informasi-informasi yang berkaitan dengan pemasaran sengon, agar petani memiliki bargaining position dalam menentukan harga (4) Petani mampu mendapatkan bibit sengon yang unggul yang mampu mengatasi keragaman bibit sengon tersebut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya. Atas RidhoNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih karena kau telah meciptakan seorang pemimpin besar yang mulia, Muhammad SAW, kutahurkan salam dan salawat baginya. Penulis menyadari tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka penelitian dan penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini, izinkan penulis menyampaikan terima kasih sebesar – besarnya kepada : 1. Ibunda Tarni dan Ayahanda Junaidi, kedua orang tua tercinta yang penuh kasih sayang. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada penulis untuk membalas semua pengorbanan dan kasih sayangnya. Adikku Muhammad Iqbal, terimakasih atas segala bantuan tenaga dan doanya. Alhamdullilah karena aku lahir di tengah keluarga yang penuh kehangatan 2. Bapak Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Bapak Drs. Acep Muhib, MMA selaku ketua Program Studi Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Dr. Ir. Elpawati, M.P selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing, memberikan saran, motivasi, nasihat dan arahan serta meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran disela-sela kesibukannya dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Ir. Iwan Aminudin, M.si selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing, memberikan saran, motivasi, nasihat dan arahan serta meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran disela-sela kesibukannya dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak Dr. Ir. Edmon Daris, M.S selaku dosen penguji I yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk menguji skripsi penulis serta memberikan saran dan arahan. 7. Bapak Ir. Junaidi, M.Si selaku dosen penguji II yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk menguji skripsi penulis serta memberikan saran dan arahan. 8. Bapak dan Ibu dosen pengajar Progam Studi Agribisnis, atas ilmu-ilmu yang diajarkan kepada kami. 9. Dewi Rochmawati, SP atas bimbingan, motivasi, kritik, dan saran serta bantuan dalam hal administrasi kepada penulis. 10. Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor atas bantuannya memberikan informasi-informasi yang terkait dalam penelitian ini 11. Terima kasih untuk pegawai BPP Leuwiliang yang memberikan penulis sebuah inspirasi untuk selalu bersemangat dalam menghadapi ujian ini dengan sabar dan keikhlasan, semoga perhatiannya tidak cukup sampai disini dan tali silaturahmi kita tetap terjaga. 12. Seluruh petani dan perantara kayu jenis sengon di kecamatan Leuwisadeng yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas kesediaan waktu menjawab semua pertanyaan penulis.
13. Perwakilan dari Industri Pengolahan kayu (sawmill), atas waktu dan bantuannya memberikan informasi-informasi penting yang dibutuhkan dalam penelitian ini terhadap penulis. 14. Ibu Amalia E. Maulana, Phd atas ilmu ilmu yang diberikan merupakan sumber inspirasi dalam penelitian ini dan tidak lupa rekan-rekan di Etnomark Consulting atas motivasi, semangat, masukan, kritikan dan sarannya semoga tetap kompak dan sukses. 15. Sahabat-sahabatku Andi Asmara, Hamzah Ali, Budi Imami, Sri Ajeng dan teman Agribisnis Angkatan 2006 semoga dikemudian hari kita tetap dapat saling menyemangati dan membantu serta selalu erat dalam ikatan silahurahmi. 16. Kawan-kawan Agribisnis Angkatan 2001-2011 terima kasih untuk masukan, semangat dan motivasinya, mudah-mudahan tali silaturahmi tetap terjaga. 17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Jakarta, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xii BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 6 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7 1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian ................................................ 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 10 2.1. Landasan Teori................................................................................... 10 2.1.1. Kayu Sengon ........................................................................... 10 2.1.1.1. Botani dan Ekologi ..................................................... 10 2.1.1.2. Penanaman ................................................................. 11 2.1.1.3. Kegunaan ................................................................... 12 2.1.2. Pemasaran ............................................................................... 13 2.1.3. Manajemen Pemasaran ............................................................ 15 2.1.4. Lembaga Pemasaran ................................................................ 16 2.1.5. Saluran Pemasaran................................................................... 17 2.1.6. Fungsi Pemasaran .................................................................... 22 2.1.7. Marjin Pemasaran .................................................................... 23 2.1.8. Struktur Pasar .......................................................................... 25 2.1.9. Farmer’s Share........................................................................ 27 2.1.10. Efisiensi Pemasaran ................................................................ 27 2.2. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 28 2.3. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 33 3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 33 3.2. Jenis dan Pengumpulan Data .............................................................. 33 3.3. Penentuan Responden......................................................................... 34
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data................................................ 34 3.4.1. Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran ................................ 35 3.4.2. Analisis Fungsi Pemasaran ....................................................... 35 3.4.3. Analisis Struktur Pasar ............................................................. 36 3.4.4. Analisis Marjin Pemasaran ....................................................... 36 3.4.5. Analisis Farmer’s Share ........................................................... 38 3.5. Definisi Operasional........................................................................... 38 BAB IV LOKASI PENELITIAN .......................................................................... 41 4.1. Letak dan Luas Wilayah ..................................................................... 41 4.2. Tata Guna Lahan ................................................................................ 42 4.3. Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................................... 42 4.3.1. Menurut Usia ............................................................................ 43 4.3.2. Menurut Mata Pencaharian ....................................................... 43 4.3.3. Menurut Jenis Kelamin ............................................................. 44 4.3.4. Menurut Latar Belakang Pendidikan ......................................... 45 4.4. Karakteristik Responden .................................................................... 46 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 48 5.1. Analisis Lembaga dan Saluran Pemsaran Kayu Sengon ...................... 48 5.2. Analisis Fungsi Pemasaran Kayu Sengon ........................................... 52 5.2.1. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Petani ............................ 53 5.2.2. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Perantara ....................... 54 5.2.3. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Sawmill......................... 57 5.3. Analisis Struktur Pasar Kayu Sengon ................................................. 60 5.3.1. Pembeli dan Penjual ................................................................. 60 5.3.2. Keadaan Produk ....................................................................... 61 5.3.3. Kondisi Keluar Masuk Pasar..................................................... 64 5.3.4. Jenis Transaksi ......................................................................... 65 5.3.5. Informasi Pasar ......................................................................... 68 5.3.6. Harga dan Sttruktur Pasar ......................................................... 68 5.4. Marjin Pemasaran .............................................................................. 70 5.4.1. Analisis Marjin Pemasaran di Tingkat Perantara ....................... 70 5.4.2. Analisis Marjin Pemasaran di Tingkat Sawmill......................... 71 5.5. Analisis Nilai Farmer’s Share ............................................................ 72 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 76 6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 76 6.2. Saran .................................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 80 LAMPIRAN ............................................................................................................ 83
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Produksi Kayu Bulat berdasarkan Sumbernya Tahun 2004-2009 ...................... 3 2. Karakteristik Struktur Pasar............................................................................ 36 3. Data Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 .......... 42 4. Data Pengelompokan Usia di Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 ................ 43 5. Data Pengelompokan Pekerjaan Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 ........... 44 6. Data Pengelompokan Jenis Kelamin Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 ..... 44 7. Data Pengelompokan Jenjang Pendidikan Kec. Leuwisadeng tahun 2009 ....... 45 8. Tabulasi Responden Penelitian ...................................................................... 46 9. Fungsi pelaku pemasaran kayu Sengon Kecamatan Leuwisadeng ................... 53 10. Marjin, Keuntungan dan Biaya Pemasaran Ditingkat Perantara ...................... 56 11. Marjin, Keuntungan dan Biaya Pemasaran Ditingkat Sawmill ........................ 59 12. Bentuk dan Jenis kayu Olahan Kec. Leuwisadeng Tahun 2011 ....................... 63 13. Sistem Pembayaran Kayu Sengon Kec. Leuwisadeng 2011 ............................ 67 14. Lembaga Pemasaran Kayu Sengon Kec. Leuwisadeng Tahun 2011 ................ 69 15. Harga Rata-rata kayu Sengon di Kec. Leuwisadeng Tahun 2011 .................... 70 16. Marjin Pemasaran Kayu Sengon ditingkat Perantara ...................................... 70 17. Marjin Pemasaran Kayu Sengon Ditingkat Sawmill ....................................... 72 18. Farmer’s Share Kayu Sengon Menurut Saluran Pemasarannya ....................... 73 19. Analisis Efisiensi Pemasaran Kayu Sengon Secara Ekonomis menurut Saluran Pemasarannya .................................................................................. 75
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Konsep-konsep pokok pemasaran .................................................................. 13 2. Tingkat saluran pemasaran ............................................................................. 20 3. Nilai-nilai marjin pemasaran .......................................................................... 24 4. Kerangka pemikiran penelitian ....................................................................... 32 5. Saluran pemasaran kayu sengon di Kecamatan Leuwisadeng ......................... 50
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Database responden dan harga jual di tingkat petani kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) …........…………… 83
2.
Database responden harga beli dan harga jual di tingkat perantara kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) ……......................... 84
3.
Database responden harga beli dan harga jual di tingkat sawmill kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) …........................… 85
4.
Biaya Produksi, Penjualan, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di tingkat petani Kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3)...................................................................................
5.
Marjin Pemasaran, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di tingkat perantara Kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) ……..............
6.
89
Biaya pemasaran ditingkat perantara Kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3)……………………………….....................
9.
88
Perbandingan Marjin dan Keuntungan Tiap Saluran Pemasaran Kecamaran Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) …………...….................
8.
87
Marjin Pemasaran, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di tingkat sawmill Kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) ……...................
7.
86
90
Biaya pemasaran ditingkat sawmill Kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) …………………………………................... 91
10. Daftar Nama Responden Penelitian ……………………….................
92
11. Biaya Produksi di Tingkat Petani Kecamatan Leuwisadeng Februari 2011………………………………………………...........
94
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam dengan keanekaragaman hayati dan tingkat keunikan (endemisme) yang sangat tinggi sehingga
dimasukkan
ke
dalam
salah
satu
negara
mega-biodiversity.
Keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya telah memberikan manfaat bagi manusia, salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki peranan sangat penting bagi kehidupan makhluk di dunia. Hutan memiliki fungsi tangible (dapat diukur dari segi ekonomi) dan intangible (sulit diukur dari segi ekonomi). Fungsi tangible adalah sebagai penghasil bahan baku untuk berbagai keperluan masyarakat seperti kayu gergajian, kayu lapis, kayu pertukangan, pulp, dan kayu energi. Sedangkan fungsi intangible hutan adalah sebagai pengatur siklus hidrologi, penyeimbang ekosistem, pencegah bencana alam (erosi, longsor, banjir), tempat rekreasi, serta habitat bagi tumbuhan dan satwa. Pada masa awal pembangunan Indonesia, eksploitasi sumber daya hutan hanya berorientasi pada timber based management yang menitikberatkan pada manfaat untuk devisa negara. Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin komplek yaitu Indonesia dikenal sebagai negara dengan laju pengurangan luas hutan terbesar di dunia. Data menunjukan laju pengurangan luas hutan tersebut di Sumatera mencapai 2 persen per tahun, di Jawa mencapai 0,42 persen per tahun, di Kalimantan mencapai 0,94
persen per tahun, di Sulawesi mencapai 1 persen per tahun dan di Papua mencapai 0,7 persen per tahun. Pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan penggundulan hutan (deforestasi). Beberapa studi menunjukan laju degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia mencapai 1-1,5 juta hektar per tahunnnya. Hal tersebut telah memberikan implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan. Fungsi-fungsi lingkungan yang mendukung kehidupan manusia terabaikan. Keranekaragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan menjadi rusak dan hilang, yang terjadi saat ini adalah banjir di beberapa daerah serta kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap. Selain itu laju kerusakan yang tinggi mengakibatkan sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan potensi kayu yang sangat berarti dari tahun ke tahun. Disisi lain permintaan untuk kebutuhan kayu perumahan, pulp, gergajian, energi, dan bahan baku lainnya meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dampaknya adalah persedian kayu yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan. Berdasarkan data mengenai produksi kayu bulat berdasarkan sumber produksi tahun 2004-2008 pada Tabel 1, besarnya produksi kayu diambil dari tiga sumber, yakni: hutan alam, hutan tanaman dan izin lainnya yang sah. Produksi kayu dari hutan alam didapat melalui penebangan di sejumlah hutan yang telah melalui proses tebang pilih. Produksi kayu dari hutan ini semakin tahun semakin menurun. Pada tahun 2004 jumlahnya mencapai 5.142.637 meter kubik, selanjutnya di tahun 2005 jumlahnya menjadi 9.334.862 meter kubik dan jumlah
produksinya semakin menurun hingga pada tahun 2008 menjadi 7.374.092 meter kubik. Tabel 1. Produksi Kayu Bulat berdasarkan Sumbernya Tahun 2004-2008 (m3) Tahun
Hutan Alami
2004
Hutan Tanaman
Ijin Lainnya Yang Sah
Total
Perhutani
Hutan Rakyat
5.142.637
923.632
7.329.028
153.640
13.548.937
2005
9.334.862
757.993
12.818.199
1.311.584
24.222.638
2006
9.020.903
337.797
11.451.249
982.195
21.792.144
2007
9.501.292
48.034
20.614.209
1.328.050
31.491.585
2008
7.374.092
96.954
22.321.885
2.191.511
31.984.442
Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia
Menurunnya produksi kayu bulat yang bersumber pada hutan alam merupakan kebijakan untuk mengurangi dampak kerusakan alam yang disebabkan menurunnya daya dukung alam bagi lingkungan sekitarnya, sehingga terjadi bencana alam seperti tanah longsor, banjir dan kekeringan. Produksi kayu bulat yang bersumber dari hutan tanaman merupakan hasil produksi dari Perhutani dan hutan rakyat. Produksi dari perhutani semakin tahun menunjukan penurunan tapi disisi lain produksi hutan rakyat menunjukan kenaikan. Sebagai contoh pada tahun 2004 produksi perhutani sebesar 923.632 meter kubik dan di tahun 2008 produksinya turun drastis menjadi 96.954 meter kubik. Disisi lain produksi hutan rakyat meningkat dari tahun 2004 sebesar 7.329.028 meter kubik dan di tahun 2008 menjadi 22.321.885 meter kubik. Secara keseluruhan produksi kayu bulat di Indonesia meningkat tiap tahunnya mulai dari tahun 2004 yang hanya menghasilkan kayu bulat sebesar
13.548.937 meter kubik dan di tahun 2008 meningkat lebih dari dua kali lipatnya sebesar 31.984.442 meter kubik. Hal ini menunjukan bahwa produksi kayu bulat di Indonesia terus meningkat pada tiap tahunnya Sumber daya hutan memiliki keterbatasan untuk memperbaharui alam yang ada didalamnya. Daya regenerasi hutan lebih rendah apabila dibandingkan dengan tingkat pemanfaatan sumber daya kayu untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Semakin tinggi kebutuhan akan sumber daya hutan, maka akan semakin berkurang potensi sumber daya hutan tersebut. Apabila kondisi ini semakin hari semakin tidak terkendali maka kondisi ekosistem hutan akan menjadi rusak dan luas kawasan hutan akan semakin berkurang karena adannya kegiatan eksploitasi dan konversi areal hutan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya (Soerianegara, 1996;24). Berdasarkan hasil paduserasi Tata Guna Hutan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), luas potensi sumber daya hutan di Propinsi Jawa Barat seluas 784.119 ha, atau sekitar 22,57 % dari luas daratan Jawa Barat. Luas tersebut sendiri dari hutan produksi 295.635 ha, hutan lindung 210.138 ha. Selain kawasan hutan hasil paduserasi, di Jawa Barat terdapat hutan milik atau hutan rakyat seluas 98.127,78 ha. Berdasarkan aspek pengelolaan, kawasan hutan seluas 792.467 ha atau sekitar 79,19 persen dari luas kawasan hutan Jawa Barat sepenuhnya dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Sisanya berupa kawasan konservasi seluas 208.267 ha atau sekitar 20,81 persen dari luas kawasan hutan Jawa Barat yang terdiri dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh unit-unit pengolalaan Taman Nasional. (RTRWP, 2009:2)
Pertimbangan ekonomi dalam hal eksploitasi, produksi dan konsumsi harus diimbangi dengan pertimbangan ekologi dalam hal regenerasi, rehabilitasi dan konservasi. Kecepatan eksploitasi sumber daya hutan tersebut banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, salah satunya adalah untuk bahan baku kayu gergajian. Di daerah pedesaan dan perkotaan telah banyak tersebar industri-industri kayu gergajian dengan menggunakan jenis bahan baku kayu yang berbeda. Didaerah pedesaan seperti Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor, salah satu jenis bahan baku yang umum digunakan adalah jenis kayu sengon (Paraserianthes falcataria). Berdasarkan hasil riset sosial budaya dan ekonomi kehutanan oleh Badan Litbang Departemen Kehutanan (2004) disebutkan bahwa keengganan masyarakat dalam mengembangkan hutan rakyat adalah akibat tidak tersedianya informasi pasar yang lengkap. Rentabilitas usaha pengelolaan hutan rakyat sengon diduga sebagian besar tidak diterima petani, tetapi diterima oleh perantara, sebab skenario pemasaran masih dikendalikan oleh perantara dan jaringannya. Kendala tersebut diperburuk dengan belum berfungsinya kelembagaan pemasaran di tingkat petani secara optimal sehingga tidak mampu mengantisipasi perkembangan pasar (Achmad et al, 2004) Selanjutnya banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kayu sengon akan mempengaruhi panjang pendeknya saluran pemasaran dan besarnya biaya pemasaran. Besarnya biaya pemasaran akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar
oleh konsumen sangat bergantung pada struktur pasar yang menghubungkannya dan biaya transfer. Apabila semakin besar marjin pemasaran ini akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien (Tomek and Robinson, 1990).
1.2. Rumusan Masalah Kayu sengon terkenal murah dan mudah dalam penggunaannya sebagai kayu gergajian. Di wilayah Kecamatan Leuwisadeng, harga kayu sengon sangat tergantung terhadap kualitas dan kuantitasnya di alam. Dengan meningkatnya jumlah industri penggergajian kayu, kebutuhan pasokan bahan baku kayu sengon akan semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan awal di lokasi penelitian, kondisi hutan rakyat Kecamatan Leuwisadeng memiliki kondisi lingkungan alam yang subur dengan kondisi topografi lahan yang berbukit. Kondisi lingkungan ini sangat sesuai untuk tanaman sengon sehingga dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi kondisi tersebut belum didukung oleh sistem budidaya yang baik oleh petani sebagai produsen. Karakteristik produk kayu sengon berbeda dengan karakteristik produk jati misalnya, selain tergolong kayu yang mudah untuk dibudidayakan, kayu sengon juga memiliki keunggulan mudah dalam proses izin penebangan. Kayu jenis jati untuk memanennya selain jangka produksi yang lebih lama juga memiliki perizinan yang cukup rumit antara lain harus mengajukan izin penebangan ke
departemen kehutanan sedangkan kayu sengon cukup surat izin dari kepala desa atau setingkat kelurahan, penebangan sudah bisa dilakukan. Terbatasnya kemampuan petani dalam mengumpulkan informasi pasara menjadi salah satu penyebab mereka kurang memiliki daya saing dalam menawarkan kayu sengon, sehingga volume kayu dan keuntungan dari hasil penjualan yang didapatnya sedikit. Harga kayu dijual lebih ditentukan oleh para perantara dan memposisikan petani sebagai penerima harga (price taker). Posisi tersebut mengakibatkan peranan perantara lebih menonjol dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan petani. Walaupun kondisi tersebut adalah kondisi yang pada umumnya terjadi dalam suatu usahatani, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh mengenai efisiensi pemasaran yang sedang terjadi saat ini sehingga dapat diketahui apakah sistem pemasaran tersebut sudah efisien atau belum. Berdasarkan judul, latar belakang dan uraian tersebut, perumusan penelitian ini adalah: Bagaimana efisiensi pemasaran kayu jenis sengon hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis efisiensi pemasaran kayu jenis sengon hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor berdasarkan: Saluran dan Lembaga Pemasaran yang terbentuk pada pemasaran kayu jenis sengon hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng
Fungsi Pemasaran yang dilakukan para pelaku pemasaran Struktur Pasar yang dihadapi para pelaku pemasaran Marjin Pemasaran perantara dan industri pengolahan kayu (sawmill) Nilai farmer’s share petani kayu jenis sengon di Kecamatan Leuwisadeng
1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi kegiatan efisiensi pemasaran kayu sengon hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor. Termasuk analisis data mengenai jumlah dan fungsi saluran serta lembaga pemasaran yang terlibat, fungsi pemasaran, struktur pasar, nilai marjin pemasaran dan Farmer’s Share. Dari hasil penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi penting baik secara langsung ataupun tidak langsung: 1.
Bagi Akademis Memberikan kontribusi
ilmiah terutama
bidang
disiplin kelimuan
manajemen agribisnis dalam aspek pemasaran, sehingga dapat menambah wawasan, pengetahuan, pengalaman serta pemahaman dalam mengkaji penerapan konsep dan teori. Selain itu juga sebagai referensi untuk penelitian mengenai sistem pemasaran kayu sengon selanjutnya.
2.
Bagi Perusahaan dan Pemerintah Daerah Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dalam segala keterangan dari penulis dan menjadi bahan masukan bagi
pengusaha, sehingga pelaksanaan pemasaran kayu sengon dapat mendorong investasi pada usahatani kayu sengon. Bagi Pemerintah Daerah dapat menjadi acuan dalam rangka pengembangan budidaya sengon secara terpadu di hutan rakyat 3.
Untuk Penulis Diharapkan dapat menyempurnakan dan mempelajari manajamen agribisnis secara lebih baik khususnya dalam bidang pemasaran kayu sengon, serta ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama masa perkuliahan dan membandingkan kenyataan yang terjadi di lingkungan dunia usaha. Dalam teori maupun praktek dan memperluas wawasan berfikir serta pengetahuan dan pengalaman terhadap aspek yang di teliti yaitu mengenai pelaksanan pemasaran kayu sengon.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Budi (1992;10) menyatakan bahwa sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Untuk pertama kalinya pada tahun 1871, Teysmann menemukan tanaman sengon di pedalaman Pulau Banda, yang kemudian dibawa ke Kebun Raya Bogor. Dari kebun inilah kemudian sengon tersebar ke berbagai daerah dari mulai pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Irian Jaya. Pada saat ini sengon juga dijumpai di Negara Filipina, Malaysia, Srilanka, India. Dengan nama biasa atau nama ilmiah apapun yang dikenal, kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan pohon serbaguna yang berharga untuk daerah tropis beriklim lembab. Spesies ini juga merupakan salah satu species yang dapat digunakan sebagai kayu pulp, kayu bakar, pohon hias, naungan (kopi, teh, dan ternak sapi) dan produk kayu lainnya. Pemanfaatan potensial yang sedang diuji coba dalam penanaman hutan adalah dengan sistem tumpang sari.
2.1.1.1. Botani dan Ekologi Paraserianthes falcataria termasuk keluarga Leguminose (sub-keluarga Mimosoideae). Jenis ini sudah dikenal luas dengan nama yang lamanya, Albizia falcataria, atau juga pernah disebut A. moluccana dan A. Falcata “Falcate” artinya melengkung seperti sabit sesuai dengan bentuk daunnya. Ranting daun
berpasang-pasangan, panjangnya antara 23-30 cm. bunganya berwarna putih gading, polongnya tipis, rata, panjang 10-13 cmm dengan lebar 2 cm. Falcataria termasuk pohon besar sehingga mencapai ketinggian 24-30 m, dengan diameter 80 cm. jika di tempat terbuka akan membentuk tajuk yang besar berbentuk payung. Pada penanaman sebanyak 1000-2000 pohon/ha, tajuk akan menyempit, karena membutuhkan cahaya. Setelah berumur 3-4 tahun akan memproduksi biji secara teratur dalam jumlah banyak. sengon tumbuh secara alami di Indonesia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon dari 10˚LS-30˚LU. Dalam habitat alamiahnya bisa tumbuh dari permukaan laut sampai 1200 m. dengan curah hujan 2000-4000 mm, serta musim kemarau kurang dari dua bulan dengan suhu antara 22˚C-34˚C. meski lebih menyukai tanah basa (NAS 1983 dalam Budi 1992), namun dapat pula tumbuh dengan baik di tanah yang masam. Akar sengon relatif menguntungkan dibandingkan akar pohon lainnya. Akar tunggangnya cukup kuat menembus ke dalam tanah sementara itu akar rambutnya tidak terlalu besar, dan tidak semrawut. Akar rambut tersebut akan dimanfaatkan oleh pohon induknya untuk menyimpan zat nitrogen, oleh sebab itu tanah di sekitar pohon sengon akan menjadi subur (Budi 1992;12)
2.1.1.2. Penanaman Pada umumnya tanaman sengon diperbanyak dengan biji. Biji tersebut dapat dibeli di penangkar benih, kios-kios pertanian, ataupun dicari dibawah pohon induk. Jumlah biji sengon sebanyak 42000 per kg dengan perkecambahan biji mudah dan hanya membutuhkan perendaman air semalam. Agar
perkecambahan seragam, biji-biji tersebut dapat dimasukan dalam air panas atau dalam masam belerang pekat (H2SO4) selama 10 menit, dilanjutkan dengan perendaman dalam air selama 15 menit. Anakan sengon ditanam setelah tiga bulan dipersemaian dan akan tumbuh dengan cepat di lahan (NAS, 1983 dalam NFTA World Education. 1991;31) Penanaman sengon diawali dengan pengaturan jarak tanam dan pembuatan lubang tanam. Jarak tanam untuk produksi kayu pulp dengan waktu rotasi antara 6-8 tahun adalah 3m x 3m. jika diinginkan kayu tebangan untuk papan, pada umur 6-8 tahun tegakan dapat dijarangkan sampai 6m x 6m dan dipanen pada umur 15 tahun. Pada lahan yang lebih subur, umumnya jarak tanaman untuk produksi kayu pulp
4m x 4m. dari penelitian tentang jarak tanam yang lebih rapat ditemukan
bahwa pertumbuhan dengan jarak 2m x 2m secara signifikan lebih cepat dibandingkan dengan jarak 1m x 1m. Adapun ukuran lubang tanam panjang 30cm x 30cm x 30cm. (Budi 1992;17)
2.1.1.3 Kegunaan Bagian terpenting yang bernilai ekonomis pada tanaman sengon adalah kayunya. Sengon lebih dikenal sebagai tanaman pulp. Kegunaan lainnya, yaitu sebagai serat dan bahan papan, peti kemas, kotak kemasan, korek api, sumpit dan mebel ringan. Kayunya sukar di gergaji dan tidak kuat atau tidak tahan lama. Tajuknya yang jarang memberikan naungan untuk tanaman kopi, teh, dan cokelat. Di samping itu, berfungsi sebagai tanaman penahan angin bagi pohon pisang (Budi 1992;21)
Sengon juga berpotensi dalam alley farming. Di Indonesia, pada percobaan di tanah asam (pH 4,2) yang ditanam dalam larikan-larikan dengan jarak 4 meter, menghasilkan pupuk hijau (bahan kering) 2-3 ton/ha/tahun. Penggunaannya sebagai pupuk hijau akan meningkatkan produksi kopi 4 kali lipat, apabila dibandingkan dengan plot pembanding. (Budi 1992;27)
2.1.2 Pemasaran Pengertian pemasaran banyak didefinisikan oleh para pakar dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Kotler dan Amstrong (2004;6) berpendapat bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk serta nilai dengan produk lain. Definisi pemasaran tersebut bertumpu pada konsep pokok sebagai berikut:
Kebutuhan, keinginan, permintaan
Produk dan jasa
Nilai dan kepuasan
Jual beli dan transaksi
Pasar dan pemasar
Gambar 1. Konsep-Konsep Pokok Pemasaran Sumber: Philip Kotler 1994
Menurut Stanton (1997;7) pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan barang dan jasa baik kepada para konsumen saat ini maupun konsumen potensial. Secara sistematis dapat dikatakan bahwa pemasaran mencakup kegiatan untuk mengetahui keinginan konsumen, merencanakan dan mengembangkan
produk yang memenuhi keinginan kemudian memutuskan cara terbaik untuk menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan produk. Pengertian pemasaran dapat dilihat dengan pendekatan aspek manajerial dan aspek ekonomi. Berdasarkan aspek manajerial, pemasaran merupakan analisis perencanaan organisasi, pelaksanaan dan pengendalian untuk menentukan kedudukan pasar. Sedangkan berdasarkan aspek ekonomi, pemasaran merupakan distribusi fisik dan aktivitas ekonomi yang memberikan fasilitas-fasilitas untuk bergerak, mengalir dan pertukaran komponen barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Selain itu pemasaran merupakan kegiatan produktif karena meningkatkan, menciptakan nilai guna bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan. Dengan demikian pemasaran pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertaniaan dari tangan produsen ke konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong, 1987;11)
2.1.3 Manajemen Pemasaran Definisi manajemen pemasaran menurut Khols (2002;17) adalah keragaaan dari semua aktivitas bisnis dalam upaya menyalurkan produk atau jasa mulai dari titik produksi sampai ke tangan konsumen. Manajemen pemasaran
merupakan proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga, promosi dan distribusi gagasan, barang dan jasa untuk menghasilkan pertukaran yang memenuhi sasaran perorangan dan organisasi (Kotler, 1994;28) Dalam menganalisis manajemen pemasaran Khols (2002;21), selanjutnya mengemukakan beberapa pendekatan yang digunakan yaitu: 1. Pendekatan Fungsi (the fungsional approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi pemasaran apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam pemasaran. Fungsifungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, transportasi dan pengolahan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, resiko, pembiayaan dan informasi pasar) 2. Pendekatan Kelembagaan (the institusional appoarch) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui berbagai macam lembaga atau pelaku yang terlibat dalam pemasaran. Pelaku-pelaku ini adalah pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur, dan organisasi lainnya yang terlibat.
3. Pendekatan Sistem (the behavior system appoarch) Merupakan
pelengkap
dari
pendekatan
fungsi
kelembagaan,
untuk
mengetahui aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses pemasaran, seperti perilaku lembaga yang terlibat dalam pemasaran dan kombinasi dari fungsi
pemasaran. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power sistem dan the communication system. 2.1.4 Lembaga Pemasaran Hanafiah dan Saefudin (2006;21), menjelaskan bahwa lembaga pemasaran adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga pemasaran ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Kotler dan Amstrong (2001;7) mengartikan istilah lembaga perantara sebagai pihak yang berperan secara ekonomis dalam mentransformasikan bauran komoditi atau produk yang dibuat oleh produsen ke dalam bauran produk yang dibutuhkan konsumen. Stern dan El-Ansary dalam Kotler (2002;559) menambahkan bahwa perantara memperlancar arus
barang dan jasa karena
menghubungkan
ketidaksesuaian antara berbagai barang dan jasa yang dihasilkan produsen dan berbagai macam barang yang diminta konsumen, sedangkan ketidaksesuaian tersebut ditimbulkan dari kenyataan bahwa produsen menghasilkan sejumlah besar
barang
dengan
keragaman
terbatas
sedangkan konsumen
hanya
menginginkan jumlah terbatas dari banyaknya ragam. Sesuai dengan peran yang dilakukan, lembaga pemasaran akan berkaitan langsung degan barang yang akan diperjualbelikan. Secara umum lembaga pemasaran dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan pengusaan terhadap barang. Yaitu terdiri dari:
1. Lembaga pemasaran yang tidak dimiliki namun mengusai barang, misalnya agen, perantara, dan broker 2. Lembaga pemasaran yang memiliki dan mengusai barang, contohnya pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir dan eksportir/importer 3. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan tidak mengusai barang, yaitu fasilitas pengangkutan, pergudangan, asuransi dan lain-lain.
2.1.5 Saluran Pemasaran Saluran pemasaran adalah rute dan status kepemilikan yang ditempuh oleh suatu produk ketika produk ini mengalir dari penyedia bahan mentah melalui produsen sampai ke konsumen akhir. Saluran ini terdiri dari semua lembaga atau pedagang perantara yang memasarkan produk atau barang/jasa dari produsen sampai ke konsumen. Beragam pertukaran produk, pembayaran, kepemilikan dan informasi terjadi di sepanjang saluran pemasaran. Saluran pemasaran diperlukan karena produsen menghasilkan produk dengan memberikan kegunaan bentuk (form utility) bagi konsumen setelah sampai ke tangannya, sedangkan lembaga penyalur
memberntuk
atau
memberikan
kegunaan
waktu,
tempat
dan
kepemilikian dari produk itu (Kotler dan Susanto. 2001;59). Anggota pemasaran memiliki fungsi utama yaitu, antara lain: 1. Informasi: Pengumpulan dan penyebaran informasi riset pemasaran mengenai pelanggan, pesaing, dan pelaku lain serta kekuatan dalam lingkungan pemasaran yang potensial dan yang ada saat ini.
2. Promosi: Pengembangan dan penyebaran penawaran untuk menarik pelanggan 3. Negoisasi: Usaha untuk mencapai persetujuan akhir 4. Pemesanan: Komunikasi terbalik dari anggota saluran pemasaran dengan produsen mengenai minat membeli 5. Pembiayaan: Perolehan dan alokasi dana untuk membiayai persedian 6. Pengambilan resiko: Asumsi resiko yang berhubungan dengan kegiatan pemasaran 7. Kepemilikan fisik: Kesinambungan penyimpanan dan pergeseran produk fisik dari bahan mentah sampai ke konsumen akhir 8. Pembayaran: Transfer pemilikan Saluran pemasaran merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan produk dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran sangat penting terutama untuk melihat tingkat harga pada masing-masing lembaga pertanian dan harga jual produk di pasaran. Panjang pendeknya saluran lembaga pemasaran suatu produk pertanian tergantung kepada beberapa faktor yaitu:
1. Jarak dari produsen ke konsumen Semakin jauh jarak antara produsen dengan konsumen maka akan cenderung menciptakan saluran pemasaran yang panjang dengan aktifitas dan pelaku bisnis yang lebih banyak. 2. Sifat komoditas
Produk yang cepat rusak membutuhkan saluran pemasaran yang relatif pendek agar dapat segera sampai ke konsumen untuk diolah atau dikonsumsi. 3. Skala produksi Skala produksi yang semakin besar menyebabkan saluran pemasaran akan semakin banyak melibatkan sejumlah saluran pemasaran. Dengan demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan dalam penyaluran produk sehingga saluran yang akan dilalui cenderung lebih panjang. 4. Kekuatan modal yang dimiliki Produsen dengan kekuatan modal yang besar cenderung memiliki saluran pemasaran yang pendek karena fungsi pemasaran yang dapat dilakukan lebih banyak dibandingkan produsen yang modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang dengan modal yang besar cenderung memperpendek saluran pemasaran. Saluran pemasaran dapat dibedakan menurut jumlah tingkatan. Perbedaan tingkatan dimaksudkan untuk mengetahui panjang sebuah saluran. Saluran pemasaran dapat dibedakan menjadi saluran nol tingkat, satu tingkat, dua tingkat dan tiga tingkat. Saluran nol tingkat merupakan saluran yang didalamnya hanya ada produsen dan konumen. Saluran tingkat satu menggunakan bantuan pedagang pengecer untuk menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Saluran dua tingkat menambahkan fungsi pedagang besar diantara produsen dan pedagang pengecer, sedangkan saluran tiga tingkat merupakan saluran terpanjang karena ditambahkan fungsi pemborong pada jalur pemasaran. Gambar 2 di bawah ini
menggambarkan saluran pemasaran yang umum digunakan dalam pemasaran barang konsumen atau pertanian (Kotler dan Susanto, 2001;95) Saluran 0 tingkat Saluran 1 tingkat konsumen
Saluran 2 tingkat
Saluran 3 tingkat
konsumen
konsumen
konsumen
Pengecer
Pengecer
Pengecer
Pedagang besar
Pedagang besar
Agen
PRODUSEN Gambar 2. Tingkat Saluran Pemasaran Sumber: Kotler dan AB Susanto (2001)
Saluran tingkat nol/saluran distribusi langsung. Disini produsen menjual barangnya langsung kepada konsumen akhir, konsumen akhir dapat berupa perorangan yang membeli barangnya secara langsung atau dapat juga perusahaan lain yang menggunakan barang-barangnya secara tidak langsung. Artinya barang-barang tersebut diolah dahulu (bahan baku) atau digunakan dalam proses produksi. Saluran ini merupakan saluran yang kurang efektif karena tidak mungkin bagi sekian banyak produsen untuk mengadakan kontrak langsung secara ekonomis dengan berjuta-juta pembeli hasil produksi mereka. Saluran tingkat satu disini produsen hanya menggunakan
satu mata rantai saja, yaitu menggunakan lembaga pengecer. Produsen langsung menghubungi pengecer yang dianggap cocok untuk menyalurkan barangnya kepada konsumen akhir, biasanya barang yang dijual melalui pengecer adalah: Barang yang cepat rusak, beda harga produsen dan pengecer tidak banyak, pengawasan pendistribusian barang-barang dapat dilakukan lebih cermat. Saluran dua tingkat adalah saluran distribusi yang menggunakan lembaga-lembaga saluran distribusi dua tingkat, yaitu grosir dan pengecer. Faktor-faktor yang menyebabkan arus barang dipasarkan sering melalui jasa-jasa, seperti: Pengumpulan & penyebaran, pemilikan barang, pemberian kredit, pengiriman dan pengangkutan. Saluran tiga tingkat menyalurkan barang melalui beberapa lembaga saluran distribusi, misalnya untuk memasarkan barang-barangnya ke seluruh wilayah Indonesia, maka perusahaan menetapkan agen untuk tiap-tiap propinsi, grosir untuk tiap-tiap kota dan akhrinya pada pengecer untuk konsumen akhir. Perusahaan mengangkat agen yang diberikan kuasa atau ijin untuk mendistribusikan produk pada daerah tertentu, lalu agen mengangkat pedagang besar atau grosir pada tiap-tiap daerah agar dapat disalurkan lagi oleh para pengecer.
2.1.6 Fungsi Pemasaran Fungsi pemasaran merupakan kegiatan atau tindakan dalam proses pemasaran. Anindita (2004;19) menjelaskan bahwa fungsi pemasaran adalah kegiatan utama yang khusus dilakasanakan untuk menyelesaikan proses pemasaran. Downey & Erickson (1992;282) menambahkan bahwa beberapa kegiatan atau fungsi khusus membentuk langkah-langkah yang akan dilakukan,
namun dalam pelaksanaanya tidak perlu berurutan tetapi mencakup semuanya agar proses pemasaran berhasil dicapai. Anindita
(2004;19)
menjelaskan
bahwa
fungsi pemasaran
dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: a. Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran dengan perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi tersebut didapat melalui proses penjualan dan pembelian antar lembaga yang bersangkutan b. Fungsi Fisik Fungsi fisik merupakan tindakan yang berhubungan langsung dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi fisik ini meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan
c. Fungsi Fasilitas Fungsi
fasilitas
adalah
semua
tindakan
yang
bertujuan
untuk
memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi faslitias ini meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan resiko, resiko pembiayaan dan fungsi informasi pasar.
2.1.7 Marjin Pemasaran
Hanafiah dan Saefuddin (2006;99) mendefinisikan marjin pemasaran sebagai perbedaan harga yang dibayarkan oleh penjual pertama (produsen) dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir. Berdasarkan pengertian tersebut menunjukan selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran yang saling berinteraksi. Marjin pemasaran juga dinyatakan sebagai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan sejak tingkat produsen sampai tingkat konsumen. Komponen marjin pemasaran terdapat dua yaitu komponen biaya pemasaran dan komponen keuntungan lembaga pemasaran. Besarnya biaya pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran berbeda-beda untuk setiap jenis produk
dan
tingkat
lembaga
pemasaran.
Perbedaan
waktu
dilakukan
kegiatan/aktivitas pemasaran juga merupakan salah satu faktor yang menimbulkan perbedaan pada biaya dan marjin keuntungan dan yang didapatkan oleh lembaga pemasaran. Marjin pemasaran dapat digambarkan melalui gambar yang dikemukan oleh Limbong dan Sitorus (1985;74) yang menunjukan keterkaitan antara permintaan, penawaran dan harga. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat besarnya nilai marjin pemasaran yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga pemasaran dengan jumlah produk yang dipasarkan. Besarnya nilai marjin pemasaran ditunjukan oleh daerah M antara (Pr dan Pf). Pr merupakan harga ditingkat pengecer dan Pf adalah harga ditingkat petani. Sedangkan kurva turunan adalah suplai ditingkat pengecer dan kurva penawaran primer merupakan suplai di tingkat petani. Kurva permintaan primer
merupakan permintaan di tingkat pengecer sedangkan kuerva permintaan adalah permintaan ditingkat petani. Q merupakan jumlah keseimbangan ditingkat petani dan pengecer, sehingga dapat dirumuskan bahwa rumus marjin pemasaran adalah Marjin pemasaran = (Pr-Pf). Q
Gambar 3. Nilai Marjin Pemasaran Sumber: Hammond dan Dahl (1997)
Keterangan: Limbong dan Sitorus (1985;75) menyatakan bahwa marjin pemasaran memiliki tiga sifat umum yaitu: a. Marjin pemasaran pada setiap komoditi pertanian adalah berbeda-beda dikarenakan perbedaan jasa yang diberikan b. Marjin pemasaran produk hasil pertanian cenderung akan naik dalam jangka panjang dengan menurunnya bagian harga yang diterima petani akibat dari efek upah buruh dalam jangka panjang dan bertambah
tingginya pendapatan masyarakat karena kemajuan pembangaunan ekonomi c. Marjin pemasaran relatif stabil dalam jangak pendek terutama dalam hubungannya dengan berfluktuasinya harga-harga produk hasil pertanian.
2.1.8 Struktur Pasar Anindita (2004;24) menyatakan bahwa pendekatan struktur pasar dan tingkah laku dilakukan untuk mengetahui bagaimana pasar berjalan secara adil dan efisien dalam system pemasaran dengan menggunakan beberapa kriteria berikut: a. Tingkat konsentrasi pembeli dan penjual b. Tingkat diferensiasi produk c. Barriers to entry d. Tingkat pengetahuan pasar e. Tingkat integrasi dan diversifikasi Ditambahkan pula oleh Anindita (2004;26), berdasarkan kondisi kriteria diatas maka struktur pasar dapat diklarifikasikan menjadi pasar kompetitif, oligopolistik, monopoli atau monopolistik. Winardi (1992;20) menegaskan bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh penjual akan berpengaruh terhadap penentuan harga produknya. Struktur pasar (market structure) adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaaan menurut berbagai ukuran seperti size atau
concentration, deskripsi produk dan diferensiasi produk, syarat-syarat entry dan sebagainya Hammond dan Dahl (1997;27). Sruktur pasar dicirikan
oleh
konsentrasi pasar, diferensiasi produk, dan kebebasan keluar masuk pasar. Dalam analisis sitem pemasaran, struktur pasar sangat diperlukan karena secara otomatis akan dijelaskan bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan selanjutnya akan menunjukan keragaan yang terjadi dari struktur dan perilaku pasar (market performance) yang ada dalam sistem pemasaran tersebut. Hammond dan Dahl (1997;44), menetapkan empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu: jumlah atau ukuran perusahaan, kondisi atau keadaaan komoditas, kondisi keluar masuk perusahaan, dan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh patisipan dalam pemasaran. Berdasarkan strukturnya, pasar digolongkan menjadi dua yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan sempurna jika terdapat banyak pembeli dan penjual, setiap pembeli dan penjual hanya mengusai sebagian kecil dari barang dan jasa, sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar (price taker), barang atau jasa homogeni serta pembeli dan penjual bebas keluar masuk pasar (freedom to entry and to exit). Sedangkan pasar persaingan tidak sempurna dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penjual dan pembeli. Dari sisi pembeli terdiri dari pasar monopsoni, oligopsoni dan sebagainya. Dari sisi penjual terdiri dari pasar persaingan monopolipstik, monopoli, oligopoli dan sebagainya.
2.9
Farmer’s Share
Tomek dan Robinson (1990;114) menjelaskan bahwa bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) adalah suatu nilai hasil perbandingan antara harga jual di petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen dan dinyatakan dalam persentase. Tomek dan Robinson (1990;116) menambahkan bahwa farmer’s share dan harga di tingkat petani memiliki kecenderungan untuk bergerak naik atau turun bersama-sama, saat harga di tingkat petani menurun maka farmer’s share akan menghasilkan persentase yang rendah, ini berarti pemasaran terselenggara kurang baik. Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran maka bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah
2.1.10 Efisiensi Pemasaran Setiap pelaku pemasaran menginginkan proses pemasaran dapat berjalan seefisien mungkin, sedangkan terjadinya proses pemasaran yang tidak efisien dikarenakan panjangnya saluran pemasaran, tingginya biaya pemasaran dan kegagalan pasar (Anindita, 2004:22). Ada dua pengukuran efisiensi pemasaran yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Menurut Hanafiah & Saefuddin (2006:100), efisiensi teknis adalah upaya pengendalian fisik produk dengan tujuan mengurangi kerusakan produk, mencegah merosotnya mutu produk, dan menghemat tenaga kerja sehingga mengakibatkan pengurangan biaya pemasaran. Efisiensi ekonomis bertujuan penggunaan biaya yang serendah mungkin untuk memperoleh keuntungan. Ditambahkan pula bahwa banyaknya lembaga perantara yang terlibat dalam
saluran pemasaran yang secara vertikal akan menambah biaya pemasaran dans ebaliknya makin sedikit perantara maka pendistribusian makin cepat, makin murah dan makin efisien produk.
2.2. Studi Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian mengenai kayu sengon (Paraserianthes falcataria), kayu gergajian dan sistem pemasaran produk pertanian pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa judul penelitian yang pernah diteliti adalah: Firman, N.S (1998), melakukan penelitian mengenai Analisis Efisiensi Tataniaga Mangga Cengkir, Arumanis dan Gedong. Hasil penelitian menunjukan marjin pemasaran di lokasi penelitian tidak merata dengan marjin terbesar pada pengumpul dan Pedagang Antar Kota (PAK). Struktur pasar di tingkat petani, tengkulak dan PAK dari sisi pembeli termasuk ke pasar oligopsoni. Sedangkan sistem pasar di tingkat pengepul dan pedagang grosir dari sisi penjual adalah pasar oligopoli. Dari hasil analisis marjin pemasaran dan keterpaduan pasar disimpulkan sistem pemasaran di lokasi penelitian belum efisien. Maryatun (1999), melakukan penelitian mengenai Analisis Biaya dan Pemasaran (Marketing Marjin) kayu gerjgajian di DKI dengan studi kasus di daerah Kalibaru. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang profil perdagangan yang berada di wilayah Kalibaru, mengidentifikasi lembaga-lembaga yang terlibat dan menentukan efisiensi saluran pemasarannya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kayu gergajian di Kalibaru adalah; distributor, pedagang besar dan
pengecer. Tingkat pengecer pada kayu Borneo Kalimantan merupakan tingkat pemasaran yang efisien secara ekonomi, sedangkan kayu Keruing pada tingkat distributor adalah jenis kayu yang efisien secara operasional
2.3
Kerangka Pemikiran Hutan
sebagai salah satu sumber daya alam memiliki manfaat bagi
kehidupan makhluk di dunia, manfaat tersebut sesuai dengan fungsi hutan yang dapat diukur dengan nilai ekonomi (fungsi tangiable) dan tidak dapat diukur dengan nilai ekonomis (fungsi intangiable). Dengan fungsi ekonomisnya, hutan telah memberikan mafaat berupa hasil hutan dan non kayu. Hasil hutan berupa kayu bulat (gelondongan atau log) dan berbagai hasil hutan lainnya. Hasil hutan kayu tersebut digunakan sebagai bahan baku terhadap indutri kayu gergajian, yang kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku kayu pertukangan dan juga kayu energy. Kayu pertukangan umumnya digunakan untuk pembuatan tiang, papan, palang, bahan baku mebel serta berbagai macam jenis kebutuhan kayu lainnya. Kebutuhan dan permintaan bahan baku kayu gergajian sangat bergantung terhadap kualitas, kuantitas dan harga kayu. Berdasarkan kualitas, bahan baku kayu harus sesuai dengan bentuk fisik yang diinginkan. Berdasarkan kuantitas, bahan baku kayu tersbut harus tersedia dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mendadak. Sedangkan berdasarkan harga, bahan baku kayu tersebut harus memiliki harga yang terjangkau oleh konsumen. Salah satu bahan kayu yang digunakan untuk indutri kayu gergajian di wilayah kecamatan Leuwisadeng, kabupaten Bogor yaitu jenis kayu sengon (Paraserianthes
falcataria) atau dikenal dengan naman kayu Albisia atau Jeungjen. Banyaknya kayu sengon yang tumbuh alami di wilayah kecamatan Leuwisadeng menjadikan kayu sengon sebagai pilihan utama untuk industri gergajian. Hal ini yang menjadikan kebutuhan kayu di wilayah tersebut semakin meningkat dari hari ke hari. Akan tetapi disisi lain peningkatan kebutuhan kayu tersebut tidak dapat diimbangi oleh pasokan bahan baku yang tersedia di alam yang semakin dari jumlahnya semakin menurun. Berdasarkan pengamatan awal di wilayah penelitian masih sedikit (diperbaiki) jumlah petani sebagai produsen kayu yang mengelola kebun sengonnya dengan baik. Sebagian petani beranggapan bahwa hasil penjualan kayu sengon hanya merupakan pendapatan sampingan sehingga mereka enggan untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk pemeliharaan kebun. Kurangnya motivasi petani untuk membudidayakan tanaman sengon secara terpadu di wilayah Kecamatan Leuwisadeng dan adanya penurunan jumlah permintaan bahan baku kayu sengon dari awal menjadi hal yang menarik untuk melakukan kajian lebih jauh mengenai prospek pengembangan kayu sengon di kebun-kebun milik masyarakat. Selain itu juga untuk mengetahui kondisi sistem pemasaran kayu sengon di wilayah penelitian, perlu juga dikasi lebih jauh mengenai bagaimana tingkat efisiensi sistem pemasaran kayu sengon yang sedang terjadi saat ini. Pengukuran tingkat efisiensi pemasaran tersebut dilakukan dengan pendekatan marjin pemasaran dan sistem pemasaran yang ada, yaitu dengan mengidentifikasi lembaga pemasaran dan jalur pemasaran kayu sengon serta kondisi harga yang berlaku ditingkat produsen dan konsumen di wilayah
penelitian.
kajian
mengenai
efisiensi
sistem
pemasaran
dan
prospek
pengembangan kayu sengon tersebut dirasakan penting sebagai salah satu cara meningkatkan produktivitas hasil panen kayu petani sehingga dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Dengan diketahuinya tingkat efisiensi sistem pemasaran kayu yang terjadi, maka selanjutnya diharapkan dapat dirumuskan beberapa alternatif pengembangan pertanian sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraaan masyarakat setempat. Untuk lebih jelas mengenai kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 4
SUMBER DAYA HUTAN
Fungsi tangiable (dapat diukur dengan nilai ekonomi
Fungsi intangiable (sulit diukur dengan nilai ekonomi
Hasil Hutan Non Kayu Rekreasi,getah,air,rotan, buah,dll
Hasil Hutan kayu Sengon
Pemasaran Petani sebagai price-taker
Industri kayu gergajian Suplai kayu pertukangan dan energi
Efisiensi pemasaran 1. 2. 3. 4. 5.
Analisis Saluran dan lembaga pemasaran Analisis Fungsi Pemasaran Analisis Struktur Pasar Analisis Marjin Pemasaran Analisis Farmer’s Share
Hasil Perumusan Saluran Distribusi yang tepat
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2011 di Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan kedekatannya terhadap bahan baku kayu, dan banyaknya industri gergajian yang tersebar di sekitar wilayah penelitian
3.2. Jenis dan Pengumpulan Data Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung di lapangan. Wawancara dilakukan berdasarkan kuesioner yang meliputi pertanyaan mengenai karakteristik petani, jenis kayu, harga beli, harga jual, jumlah kebutuhan kayu, jumlah produksi, sumber pembelian, arah penjualan, tujuan pembelian, dan teknik pengangkutan. Kuesioner tersebut diberikan kepada individu atau kelompok yang terlibat dalam saluran pemasaran kayu Sengon di wilayah Kecamatan Leuwisadeng, yaitu meliputi petani sebagai produsen kayu, pengusaha seperti pemilik material ataupun pemilik industri gergajian kayu, lembaga Pemerintah yang terlibat seperti Perum Perhutani ataupun Penyuluh Kehutanan dan masyarakat sekitar sebagai konsumen. Sedangkan data sekunder meliputi informasi mengenai keadaan umum, letak geografis dan informasi lain yang berkaitan dengan objek penelitian yang diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten
Bogor, Dinas kehutanan Jawa Barat, Kantor Kecematan Leuwisadeng, Kantor Kelurahan dan Perpustakaan.
3.3. Penentuan Responden Responden penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan melakukan penelusuran saluran pemasaran mulai dari tingkat petani sampai ke tingkat sawmill. Penentuan responden diambil berdasarkan informasi dari responden sebelumnya sehingga jalur pemasaran tersebut tidak terputus. Total responden petani berjumlah 32 orang diambil di wilayah sekitar Kecamatan Leuwisadeng, meliputi petani yang memiliki kebun yang sedang atau telah ditanami kayu sengon dan petani yang memproduksi bibit sengon untuk digunakan sendiri atau untuk dijual. Responden perantara informasinya diambil dari responden petani, jumlah responden perantara sebesar 18 orang. Sedangkan jumlah responden sawmill meliputi 11 industri pengolahan kayu yang melakukan pembelian kayu sengon dari petani maupun petani di wilayah penelitian. Total responden sebanyak 61 orang yang terdiri dari 32 petani, 18 perantara dan 11 sawmill
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan pengamatan terhadap keadaan lokasi, karakteristik petani, struktur pasar, perilaku pasar, saluran pemasaran, lembaga pemasaran, aspek pasar dan pemasaran, dan fungsi pasar.. Sedangkan analisis kuantitatif
dilakukan untuk melihat keragaan pasar dengan pendekatan analisis marjin pemasaran dan Farmer’s Share.
3.4.1. Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran Analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga dan saluran pemasaran yang digunakan dalam pemasaran kayu sengon. Identifikasi tersebut meliputi identitas, fungsi dan tata cara lembaga-lembaga tersebut dalam rangka memasarkan kayu Sengon sampai kepada konsumen akhir. Analisis lembaga dan saluran pemasaran dilakukan dengan mengamati proses pemasaran yang melibatkan semua pihak yang terlibat didalamnya mulai dari petani Sengon hingga konsumen akhir.
3.4.2. Analisis Fungsi Pemasaran Analisis fungsi pemasaran dilakukan dengan mengamati fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu saluran pemasaran, diantaranya fungsi penjualan, pembelian, penyimpanan, pengolahan, pengangkutan, standardisasi dan grading, pembiayaan, penanggungan resiko, pembayaran dan informasi. Dalam analisis ini akan diketahui apakah fungsi pemasaran yang dilakukan dapat mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan pemilikan yang memisahkan produk dari orang yang membutuhkan atau menginginkan.
3.4.3. Analisis Struktur Pasar Analisis struktur pasar diperoleh dari pengamatan terhadap transaksi penjualan dan pembelian kayu Sengon selama penelitian untuk memperoleh informasi mengenai jumlah pembeli dan penjual yang terlibat, jenis transaksi yang terjadi (keberadaan kontak transaksi), penentuan harga, informasi pasar, keadaan produk dan kondisi keluar masuk pasar. Analisis struktur pasar ditujuan untuk mengetahui kondisi persaingan diantara produsen dan konsumen kayu yang terdapat di wilayah penelitian. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Struktur Pasar KARAKTERISTIK Jumlah Sifat Produk Partisipan Banyak Standar Banyak Beberapa
(homogen) Diferensiasi Standar
Beberapa
Diferensiasi
Satu
Unik
STRUKTUR PASAR Sisi Penjual Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopoli Murni Oligopoli Diferensiasi Monopoli
Sisi Pembeli Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopsoni Murni Oligopsoni Diferensiasi Monopsoni
Sumber : Hammond dan Dahl, 1997
3.4.4. Analisis Marjin Pemasaran Marjin pemasaran dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan pembelian pada setiap tingkat lembaga yang terlibat dalam pemasaran kayu Sengon. Besarnya marjin pemasaran pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya pemasaran dan keuntungan yang diterima lembaga pemasaran.
Secara matematis hubungan antara marjin pemasaran, biaya pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran dapat dinyatakan sebagai berikut: Mi
= Hji - Hbi, dan
Mi
= Bi + πi, sehingga
Hji – Hbi
= Bi + πi
Keterangan : Mi
= Marjin pemasaran pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Hji
= Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Hbi
= Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Bi
= Biaya pemasaran pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
πi
= Keuntungan pemasaran pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
i
= 1,2,3…n Penyebaran marjin Pemasaran kayu Sengon dapat juga dilihat berdasarkan
persentase keuntungan terhadap biaya pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran. Perhitungan dilakukan dengan mempergunakan rumus:
Rasio Biaya – Keuntungan (%) = Keterangan : πi
= Keuntungan pemasaran lembaga ke-i (Rp/kg)
Bi
= Biaya pemasaran lembaga ke-i (Rp/kg)
3.4.5. Analisis Farmer’s Share Anindita (2004 : 113) menyatakan bahwa bagian harga yang diterima petani (Farmer’s Share) adalah
Pp FS
=
x 100% Pe
Keterangan: FS = Bagian yang diterima petani Pp = Harga jual ditingkat petani Pe = Harga yang dibayarkan konsumen
3.5. Definisi Operasional 1. Jenis kayu sengon yang menjadi objek penelitian adalah jenis Paraserianthes falcataria atau biasa disebut masyarakat sekitar dengan Jeungjing atau Albizia. 2. Saluran pemasaran adalah saluran yang terbebntuk dari kegiatan pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng 3. Lembaga pemasaran adalah pelaku yang terlibat dalam kegiatan pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng. 4. Fungsi pemasaran adalah kegiatan yang dilakukan lembaga pemasaran selama proses pemasaran berlangsung 5. Petani Sengon adalah pelaku pemasaran yang berfungsi membudidayakan pohon sengon kemudian yang menjualnya ke perantara ataupun sawmill. 6. Perantara adalah pelaku pemasaran yang berfungsi mempertemukan atau memfasilitasi petani dengan sawmill. Merupakan pedagang yang membeli pohon berdiri dan menjualnya dengan merubah bentuk atau masih bentuk
gelondongan (log). Kayu-kayu tersebut dikumpulkan dan diletakkan di tepi jalan, dikenal juga sebagai “pengepul”. 7. Sawmill adalah Indutri yang memiliki alat gergajian untuk mengolah kayu log menjadi kayu ukuran tiang, papan, kusen,reng, palet atau bentuk lainnya yang diinginkan 8. Material adalah Pedagang yang membeli kayu olahan (tiang, papan, reng, kaso) dari Industri Penggergajian Kayu yang kemudian dikumpulkan di sebuah tempat (toko) untuk dijual 9. Harga per meter kubik ditingkat sawmill diasumsi untuk kayu olahan jenis Kaso. 10. Harga jual lembaga pemasaran adalah harga rata-rata produk yang dibayarkan oleh lembaga pemasaran selanjutnya dinyatakan dalam satuan per meter kubik 11. Harga beli lembaga pemasaran adalah harga rata-rata produk yang dibayarkan oleh lembaga pemasaran sebelumnya dinyatakan dalam satuan per meter kubik 12. Biaya pemasaran adalah semua biaya yang dibayarkan oleh lembaga pemasaran dalam pemasaran kayu sengon dan dinyatakan dalam satuan per meter kubik 13. Marjin pemasaran adalah perbedaan antara herga yang dibayarkan lembaga pemasaran dengan yang diterima oleh petani dan dinyatakan dalam satuan per meter kubik
14. Farmer’s Share adalah bagian harga yang diterima petani dari perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga jual sawmill.
BAB IV LOKASI PENELITIAN
Wilayah Kabupaten Bogor terbagi menjadi 3 wilayah yakni Bogor Timur, Bogor tengah dan Bogor Barat. Diantara ketiga wilayah tersebut, Bogor Barat adalah wilayah yang memiliki potensi Hutan rakyat terbesar diantara ketiga wilayah tersebut. Luas Areal hutan rakyat di Kabupaten Bogor tercatat 10.791,28 ha pada tahun 2005. Dari luas arela tersebut luas areal hutan sengon adalah sebanyak 2.745,02 ha. Berdasarkan sebaran arealnya, Bogor Barat merupakan wilayah kabupaten Bogor yang memiliki areal hutan rakyat terluas hampir untuk semua jenis tanaman yakni sekitar 7.362,27 ha atau sekitar 67,4% dari seluruh luas hutan rakyat di kabupaten Bogor. Total luas lahan tersebut sebanyak 3.311,98 ha adalah hutan rakyat yang ditanami Sengon
4.1. Letak dan Luas Wilayah Kecamatan Leuwisadeng merupakan daerah pemekaran dari Kecamatan Leuwiliang. Kecamatan Leuwisadeng memiliki luas sekitar 4.010,03 ha dan ketinggian 500-1000 meter dpl. Kecamatan Leuwisadeng berbatasan dengan Kecamatan Rumpin di sebelah utara, Kecamatan Nanggung di sebelah selatan, Kecamatan Leuwiliang disebelah timur, Kecamatan Nanggung dan Leuwiliang di sebelah barat. Kecamatan Leuwisadeng terdiri dari 8 desa atau kelurahan, yaitu
Babakan Sadeng, Kalong I, Kalong II, Leuwisadeng, Sadeng, Sadengkolot, Sibanteng dan Wangun Jaya
4.2. Tata Guna Lahan Kecamatan Leuwisadeng memiliki luas lahan sebesar 3.258,35 ha. Dari penggunaan lahan tersebut diketahui bahwa luas areal pertanian, dalam hal ini meliputi sawah, ladang dan kehutanan sebesar 2.519,6 ha atau sekitar hampir 77,33 %. Sisanya meliputi pekarangan, perumahan, empang, kuburan, tanah kosong, jalan dan lainnya. Perbandingan luas lahan dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 3. Data Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 No
Jenis Penggunaan Lahan
1
Lahan Pertanian
2
Luas
Persentasi
2.519,6
77,33
Pekarangan
140,9
4,32
3
Perumahan
545,2
16,73
4
Lainnya
52,65
1,62
3.258,35
100
Jumlah Sumber : BPS Bogor 2009 data diolah
4.3. Sosial Ekonomi Masyarakat Dalam laporan per Kecamatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Kecamatan Leuwisadeng terdapat sebanyak 15.594 KK (kepala keluarga), 267 RT (rukun tetangga), 57 RW (rukun warga) dan 8 Kelurahan.
4.3.1. Menurut Usia Jumlah penduduk di Leuwisadeng menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor tahun 2009 adalah sebanyak 70.682 jiwa. Golongan usia terbanyak ada diantara 15-29 tahun dengan presentase sebesar 29,63 % atau sebanyak 20.946 jiwa. Tabel 4. Data Pengelompokan Usia di Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 No
Usia (Tahun)
1 2 3 4 5
0-14 15-29 30-44 45-54 55+ Jumlah
Jumlah Jiwa 20.127 20.946 16.469 6.548 6.592 70.682
Persentase 28,48 29,63 23,30 9,26 9,33 100
Sumber: BPS Bogor 2009 data diolah
Jika kita melihat tabel bahwa untuk usia 55 tahun keatas hanya sebesar 9,33 % atau sebanyak 6.592 jiwa. Sedangkan usia antara 0-14 tahun sebesar 28,48 % atau sebanyak 20.127 jiwa. Diluar itu semuanya adalah antara 15-55 tahun jumlahnya lebih dominan dibandingkan yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa tenaga kerja yang produktif masih tersedia.
4.3.2. Menurut Mata Pencaharian Dari total jumlah penduduk yang tinggal di Leuwisadeng, hanya sekitar 20.312 orang yang terdaftar memiliki mata pencaharian. Distribusi mata pencaharian warga kecamatan Leuwisadeng didominasi oleh Pedagang dan buruh. Sedangkan untuk petaninya sendiri, yang terdaftar di Badan Pusat Statistik Bogor tahun 2009 adalah sebanyak 744 jiwa.
Tabel 5. Data Pengelompokan Pekerjaan Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pekerjaan
Jumlah penduduk
PNS TNI/POLRI Pegawai/ Karyawan Pedagang/ Wirausaha Petani Peternak Jasa Buruh Lainnya Jumlah
606 29 1.981 7.110 744 12 1.637 8.068 125 20.312
Sumber: BPS Bogor 2009 data diolah
4.3.3. Menurut Jenis Kelamin Jumlah pendudukan berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Leuwisadeng menunjukan bahwa berbandingan antara laki laki dan perempuan menunjukan bahwa jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Berdasarkan tabel dibawah ini menunjukan bahwa jumlah laki-laki sebesar 51,75 % atau sebanyak 36.385 jiwa dan perempuan sebesar 48,25 % atau sebesar 34.101 jiwa. Tabel 6. Data Pengelompokan Jenis Kelamin Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009
Kecamatan Leuwisadeng
Laki-laki jumlah Persentase 36.385 51,75
Perempuan Jumlah Persentase 34.101 48,25
TOTAL 70.682
Sumber : BPS Bogor 2009 data diolah
4.3.4. Menurut Latar Belakang Pendidikan Berdasarkan latar belakang pendidikan, dari total keseluruhan masyarakat Leuwisadeng hanya sebesar 58.871 jiwa yang mengenyam pendidikan. Sisanya
memang tidak sekolah atau belum sekolah. Berdasarkan jenjang pendidikan, SD/sederajat menempati mayoritas dengan nilai sebesar 61,14 % atau sebesar 35.993 jiwa. Dan diposisi selanjutnya ditempati SLTP/sederajat sebesar 29,48 persen atau sebanyak 17.355 jiwa. Tabel 7. Data Pengelompokan Jenjang Pendidikan Kec. Leuwisadeng tahun 2009
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenjang pendidikan SD/Sederajat SLTP/Sederajat SLTA/Sederajat Diploma I/II Akademi/ Diploma III Strata I Strata II Strata III TOTAL
Jumlah Penduduk 35.993 17.355 4.369 278 128 274 463 11 58.871
Persentase 61,14 29,48 7,42 0,47 0,22 0,47 0,79 0,02 100
Sumber : BPS Bogor 2009 data diolah
Berdasarkan tabel diatas untuk jenjang pendidikan Diploma dan Sarjana total hanya sebanyak 1.154 jiwa atau sekitar 1,96 % dari total keseluruhan jenjang pendidikan.hal ini menunjukan bahwa jenjang pendidikan masyarakat di Leuwisadeng tergolong rendah.
4.4. Data Responden Berdasarkan pengelompokan
data
responden
responden dapat
yang
dibagi
didapat
menjadi
dilapangan, usia,
pekerjaan
maka dan
Pendidikannya. Pengelompokan usia dibagi menjadi rentang usia 38-42 tahun, 43-
47 tahun, 48-52 tahun dan 53-58 tahun. Pengelompokan pekerjaan dibagi menjadi guru, petani, karyawan, PNS, buruh, pedagang dan wiraswasta. Pengelompokan pendidikan dibagi menjadi SD, SLTP, SLTA dan S1 Tabel 8 Tabulasi Responden Penelitian Latar Belakang
Usia
Pekerjaan
Pendidikan
38-42 43-47 48-52 53-58 Guru Petani Karyawan PNS Buruh Pedagang Wiraswasta SD SLTP SLTA S1
Petani
Perantara 9 8 4 11 5 17 2 4 1 3 0 18 3 10 1
0 4 7 7 2 3 4 0 6 0 3 8 5 5 0
Sumber: Data lapangan diolah
Berdasarkan tabel di atas rata-rata usia petani terdapat pada rentang usia antara 53-58 tahun sebanyak 11 orang begitu pula dengan usia perantara terdapat pada rentang usia 53-58 tahun sebanyak 7 orang. Berdasarkan rata-rata latar belakang pekerjaan petani sebanyak 17 orang murni berprofesi sebagai petani dan pekerjaan perantara didominasi oleh buruh sebanyak 6 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-rata petani hanya lulusan SD sebanyak 18 orang, sama halnya dengan perantara yang hanya lulusan SD sebanyak 8 orang.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran Kayu Sengon Lembaga Pemasaran yang terlibat dalam kegiatan Pemasaran kayu Sengon pada wilayah penelitian adalah; Petani kebun sengon, Perantara Kayu, Industri Penggergajian Kayu (Sawmill), Material, dan Industri luar Daerah 1. Petani Sengon Produsen penghasil kayu yang berasal dari lahan milik sendiri atau sewa 2. Perantara Kayu Merupakan pedagang yang membeli pohon berdiri dan menjualnya dengan merubah bentuk atau masih bentuk gelondongan (log). Kayu-kayu tersebut dikumpulkan dan diletakkan di tepi jalan, dikenal juga sebagai “pengepul”. 3. Industri Penggergajian Kayu (Sawmill) Indutri yang memiliki alat gergajian untuk mengolah kayu log menjadi kayu ukuran tiang, papan, kusen,reng, palet atau bentuk lainnya yang diinginkan 4. Material Pedagang yang membeli kayu olahan (tiang, papan, reng, kaso) dari Industri Penggergajian Kayu yang kemudian dikumpulkan di sebuah tempat (toko) untuk dijual
5. Industri Luar daerah
Merupakan industri yang letaknya diluar tempat penelitian yang membeli kayu gelondongan atau kayu olahan untuk dijadikan barang lain yang mempunyai nilai jual tinggi, seperti industri mebel dll Saluran pemasaran pada penelitian ini adalah serangkaian Organisasi yang terdiri dari Petani, Perantara, Sawmill, dan Material yang saling ketergantungan dan terlibat dalam
proses pemasaran. Berdasarkan hasil pengamatan selama
penelitian secara umum dapat dikelompokan menjadi 3 saluran pemasaran, yaitu:
Saluran 1 terdiri atas Petani, Perantara, Sawmill dan Material
Saluran 2 terdiri atas Petani, Sawmill, dan Material
Saluran 3 terdiri atas Petani, Perantara, Sawmill dan Industri Luar Daerah Saluran Pemasaran yang paling dominan terjadi di daerah penelitian
adalah Saluran 1 yang terdiri atas Petani, Perantara, Sawmill dan Material. Saluran pemasaran ini disajikan dalam gambar 5
Saluran 1
Saluran 2 PETANI
Saluran 3
Perantara
Sawmill
Perantara
Sawmill
Material
Sawmill
Material
Industri Luar Daerah
Gambar 5. Saluran Pemasaran Kayu Sengon di Kecamatan Leuwisadeng Umumnya saluran pemasaran kayu Sengon yang terjadi di lokasi penelitian merupakan suatu kebiasan yang telah mereka lakukan selama ini. Seperti contohnya beberapa petani kayu telah memiliki pembeli atau langganan khusus yang siap menampung hasil panen dari kebunnya. Beberapa hal yang menjadi alasan petani untuk tidak berpindah langganan dalam menjual hasil panennya adalah karena faktor kepercayaan antara para pelaku pemasaran. Hasil pengamatan dan analisis data dilapangan, didapatkan bahwa saluran pemasaran yang banyak dipilih oleh pelaku saluran pemasaran adalah saluran 1 yang terdiri dari Petani-Perantara-Sawmill-Material. Data penunjukan bahwa sebesar 50% atau 16 orang dari 32 petani memilih menyalurkan kayu sengon ke saluran pemasaran 1, selanjutnya sebesar 31,25% atau 10 orang dari 32 petani menyalurkan kayu sengon ke saluran pemasaran 3 dan sebesar 18,75% atau 6 orang dari 32 petani menyalurkan kayu sengon ke saluran pemasaran 2. Saluran 1 paling banyak dipilih disebabkan karena petani di Kecamatan Luewisadeng cenderung bersifat pasif sehingga hal ini membuka peluang bagi
para perantara untuk mencari bahan baku ke wilayah-wilayah desa yang kemudian ditawarkan kepada sawmill. Selain itu keuntungan lainnya yang didapatkan oleh para perantara adalah mereka hanya membeli kayu berbentuk gelondongan (log), sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus untuk merubah bentuk kayu. Hal ini dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan perantara, disisi lain keuntungan dari hasil penjualan kayu log lebih tinggi dan perputaran uangnya lebih cepat. Lebih tinggi karena jumlah pelaku pemasaran lebih sedikit, dengan resiko yang sedikit pula. Perputaran uang lebih cepat karena kayu log dapat cepat dibeli atau ditampung oleh sawmill. Saluran 2 merupakan saluran pemasaran kayu Sengon yang kondisi didalamnya hampir mirip dengan Saluran 1, namun perbedaanya adalah pelaku pemasaran tidak memerlukan perantara. Kondisi ini sebenarnya jarang dijumpai di lokasi penelitian mengingat karekteristik petani yang pasif. Hanya sebagian petani yang memiliki Inisiatif untuk menjual langsung ke sawmill. Atau bisa juga terjadi bahwa perantara merupakan suruhan dari pihak sawmill, bukan individu yang independen sebagai perantara. Namun jarang sekali sawmill yang seperti ini di lokasi penelitian, kebanyakan antara perantara dan sawmill saling berdiri sendiri. Saluran 3 merupakan trend yang sedang berkembang atau bisa dibilang berpotensi akan menjadi saluran pemasaran utama di lokasi penelitian namun belum banyak dillakukan, saluran pemasaran ini terdiri dari Petani-PerantaraSawmill-Industri Luar daerah. Mengingat sekarang kayu Sengon sudah menjadi Primadona saat ini, permintaan kayu Sengon dari luar daerah cukup besar terutama dari Industri perkayuan. Mulai dari saat ini sudah mulai banyak sawmill
yang mulai bekerja sama dengan pihak dari luar daerah untuk mengirimkan kayu Sengon dalam satuan meter kubik untuk diolah menjadi barang-barang Industri perkayuan seperti bangku, lemari dll.
5.2. Analisis Fungsi Pemasaran Kayu sengon Lembaga pemasaran merupakan suatu lembaga atau organisasi yang membantu produsen yaitu petani kayu Sengon menjalankan kegiatan fungsional pemasaran yang tidak dapat dilakukannya. Kegiatan fungsional pemasaran adalah kegiatan yang bertujuan memperlancar pemasaran kayu Sengon sehingga dapat dinikmati konsumen secara efektif dan efisien. Pada tabel 9 dibawah menunjukan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh Petani, Perantara dan Sawmill
Tabel 9. Fungsi pelaku pemasaran kayu Sengon Kecamatan Leuwisadeng Fungsi pemasaran
Petani
Perantara
Sawmill
Pembelian
√
√
√
Penjualan
√
√
√
Penyimpanan
-
-
√
Pengangkutan
-
√
√
Standarisasi dan grading
-
-
√
Biaya Pemasaran
-
√
√
Pengambilan Resiko
√
√
√
Penelitian Pasar (Market Research)
√
√
√
Demand Creation
-
√
-
Sumber: Data Lapangan diolah
5.2.1. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Petani Proses pemasaran Kayu Sengon di Kecamatan Leuwisadeng dimulai dari petani yang melakukan beberapa fungsi pemasaran, diantaranya pembelian, penjualan dan pengambilan resiko. Fungsi pembelian yaitu petani membeli kebutuhan produksi diantaranya bibit sengon, pupuk, obat, dll. Kebutuhan produksi ini diperoleh melalui pembelian
ke pedagang dengan sistem
pembayaran secara tunai dan kredit. Fungsi penjualan yaitu petani menjual hasil pembesaran pohon sengonnya ke perantara. Sistem pembayaran untuk penjualan kayu Sengon dari petani ke perantara dilakukan secara tunai yaitu perantara membayar tunai sejumlah harga yang disetujui. Masa produksi hingga pemanenan diantara petani berbeda antara usia 4-5 tahun. Pemeliharan dan perawatan sengon yang dilakukan petani menetukan tingkat kematian pohon Sengon yang berarti merugikan petani. Kerugian inilah yang akhirnya menimbulkan fungsi penanggungan resiko di petani Fungsi penelitian pasar yaitu petani mencari informasi kayu sengon dari berbagai media maupun dengan ikut pelatihan dan penyuluhan dari dinas kehutanan terkait informasi mengenai harga kayu sengon sesuai dengan kualitas dan kuantitas. Tujuannnya agar petani tidak menjual harga kayu sengon di bawah harga pasaran yang justru akan merugikan petani
5.2.2. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Perantara Perantara sebagai pihak kedua setelah petani dalam saluran pemasaran berperan sebagai perantara antara petani dan sawmill, serta bertugas mengirimkan kayu Sengon dalam bentuk gelondongan ke sawmill untuk diolah menjadi bentuk satuan meter kubik. Adapun fungsi pemasaran yang dilakukan perantara adalah Pembelian, Penjualan, Pengangkutan, Pembiayaan Pemasaran, Pengambilan resiko, Penelitian Pasar dan demand creation. Fungsi pembelian yaitu perantara membeli kayu sengon dari petani sesuai dengan jenis dan kualitas yang dibutuhkan untuk dijual ke sawmill. Perantara mendatangi petani yang telah diketahui memiliki kebun Sengon yang siap panen. Setelah itu hal yang biasa dilakukan adalah petani menjual ke perantara pohon sengon dalam bentuk belum dipanen, atau biasa disebut “jual berdiri”. Petani biasanya tidak mau repot, semua biaya memanenan ditanggung oleh perantara. Fungsi Pengangkutan yaitu perantara menggunakan alat transportasi mobil pick up atau truk untuk mengangkut kayu Sengon dari kebun petani ke sawmill. Fungsi Penanggungan Resiko yaitu perantara mengalami kerugian apabila dalam proses panen dan pengakutan kayu mengalami kerusakan. Atau kejadian lain apabila mengalami keterlambatan pengiriman yang membuat sawmill menagih biaya kompensasi keterlambatan ke perantara. Namun tingkat penanggungan resiko di perantara tidak sebesar penanggungan resiko yang dialami petani karena waktu kepemilikan perantara atas kayu sengon paling pendek diantara lembaga pemasaran lainnya.
Fungsi penelitian pasar yaitu perantara aktif dalam mencari informasi kayu Sengon baik dari berbagai media cetak manpun dari informasi yang berkembang di lokasi penelitian. Penelitian pasar ini untuk mengetahui harga dari kuantitas dan kualitas kayu sengon yang berlaku di pasar, serta informasi penting lain. Informasi yang didapat selanjutnya disebar ke kelangan petani dengan tujuan petani menghasilkan kayu sengon sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang diperlukan sehingga secara langsung mendukung keberhasilan pemasaran pedagang. Fungsi Demand Creation yaitu perantara menciptakan permintaan dari sawmill ataupun pembeli baru untuk kayu sengon. Fungsi demand Creation dilakukan dengan menawarkan kayu sengon ke beberapa pihak yang berpotensi membelinya.
Fungsi
pembiayaan
yaitu
perantara
mengalokasikan,
memperhitungkan dan mencari bantuan modal untuk membayar semua biaya yang timbul dari pemasaran kayu sengon. Adapun biaya yang timbul akibat pelaksanaan fungsi pemasaran tersebut adalah biaya tenaga kerja, chainsaw dan biaya transportasi seperti yang disajikan pada tabel 10 Tabel 10. Marjin,Keuntungan dan Biaya Pemasaran Ditingkat Perantara (Rupiah/m3) Biaya
Uraian
Marjin Pemasaran
Harga
306.184
Tenaga Kerja 58.894
%
100
19.23
Keuntungan
Chainsaw
Transportasi
18.940
23.000
205.351
6.19
7.51
67.07
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel diatas diketahui bahwa ada 3 komponen biaya pemasaran yang dikeluarkan perantara yaitu tenaga kerja, chainsaw, dan transportasi. Biaya tenaga kerja adalah biaya yang dibayarkan atas pelaksanaan kegiatan upah pekerja mulai
dari proses memanenan dikebun petani hingga kayu sampai di sawmill, biaya ini sebesar Rp.58.894/m3. Biaya Chainsaw adalah biaya peralatan penebang kayu sengon biaya ini sebesar Rp.18.940/m3. Biaya transportasi adalah biaya yang dibayarkan perantara atas pelaksanaan fungsi pengakutan mulai dari sewa mobil hingga bensinnya, biaya ini sebesar Rp.23.000/m3 Total biaya pemasaran ditingkat perantara dari ketiga kompenen biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran yaitu sebesar Rp.100.834/m3. Keuntungan ditingkat perantara untuk pemasaran kayu sengon adalah sebesar Rp.205.351/m3
5.2.3. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Sawmill Sawmill adalah sebagai pihak ketiga yang harus mengirimkan barang ke material memiliki fungsi pemasaran yang lebih banyak dibandingkan perantara. adapun fungsi pemasaran yang dilakukan sawmill, yaitu pembelian, penjualan, penyimpanan, pengakutan, standarisasi dan grading,pembiayaan, pengambilan resiko, penelitian pasar (market research) dan demand creation Fungsi pembelian yaitu kegiatan sawmill dalam mendapatkan persediaan kayu sengon dari perantara. Dalam menentukan kebutuhan persedian kayu sengon, sawmill menggunakan perencanaan jumlah kayu sengon yang diminta. Perencanaan ini berdasarkan permintaan dari material ataupun kapasitas produksi sawmill.
Fungsi standarisasi dan grading yaitu kegiatan sawmill mengecek kembali kayu sengon dari perantara, harus sesuai diameter dan panjang kayu. Karena nantinya akan dibuat perencanaan dalam proses pengolahan, mau dijadikan bentuk tiang, papan,kaso ataupun palang. Perencaan dibuat untuk meminimalisir penyusutan yang terjadi. Fungsi penyimpanan yaitu kegiatan sawmill menyimpan kayu sengon yang telah diolah serta di standarisasi dan grading ke dalam gudang yang telah disediakan. Tempat penyimpanan ini bertujuan sebagai tempat persinggahan sementara dan juga mempersiapkan kondisi kayu sengon olahan untuk dikirim ke material. Fungsi penjualan yaitu segala kegiatan penjualan sawmill hingga kayu sengon sampai ke material. Semua kegiatan penjualan dijalankan dengan bekerja sama dengan material untuk menfolahan jenis kayu olahan berdasarkan pesanan dari material dari ukuran, kualitas dan kuantitas kayu olahan. Fungsi penanggungan resiko yaitu sawmill menanggung semua resiko yang timbul saat pengolahan dan pemasaran hingga kayu olahan sampai ke material. Adapun resiko yang ditanggung adalah kesalahan pada saat pengolahan, kerusakan saat penyimpanan dan pengangkutan serta kerugian akibat biaya pembelian dan perawatan. Fungsi pengangkutan yaitu kegiatan pengiriman kayu olahan ke sawmill. Dalam pengangkutan ke sawmill menggunakan alat transportasi mobil yang tertutup guna meminimalisir kerusakan yg terjadi akibat proses pengiriman kayu ke sawmill.
Fungsi penelitian pasar yaitu kegiatan yang menunjang pemasaran berjalan secara
efektif
dan
efisien.
Adapun
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
mengumpulkan informasi dari berbagai media cetak ataupun informasi yang berkembang ditempat penelitian. Lalu informasi ini diteruskan ke perantara guna mendapatkan diameter, kualitas dan kuantitas yang diinginkan. Fungsi pembiayaan yaitu kegiatan sawmill melakukan pembiayaan atas biaya yang keluar untuk keperluan pengolahan dan biaya pemasaran. Biaya-biaya pemasaran yang dikeluarkan sawmill disajikan pada tabel 11
Tabel 11.
Marjin, Keuntungan dan Biaya Pemasaran Ditingkat Sawmill (Rupiah/m3) Biaya
Uraian
Marjin Pemasaran
Harga
281.169
Tenaga Kerja 69.091
%
100
24.57
22.273
Transportasi 33.636
7.92
11.96
Chainsaw
Bandsaw
Keuntungan
33.182
122.987
11.8
43.74
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel di atas diketahui bahwa ada 4 komponen biaya pemasaran ditingkat sawmill yaitu biaya tenaga kerja, chainsaw, transportasi dan bandsaw. Biaya tenaga kerja adalah meliputi semua biaya yang keluar akibat pembayaran upah tenaga kerja untuk kegitan bongkar muat di sawmil, pemotongan kayu, pengakutan, perawatan kayu selama di sawmill dll sebesar Rp.69.901/m3. Biaya Chainsaw adalah biaya pemotongan kayu dalam bentuk Log kedalam bentuk yang
lebih kecil lagi agar dapat dibentuk ke dalam bentuk kotak didalam pemotongan Bandsaw, biaya ini sebesar Rp.22.273/m3. Biaya transportasi adalah biaya pengakutan dari sawmill ke lokasi pembeli selanjutkany baik itu material ataupun industri lain baik dalam maupun luar kota, biaya ini diperkirakan sebesar Rp.33.636/m3. Biaya Bandsaw adalah biaya yang ditimbulkan dari proses pembentukan kayu dari log ke bentuk kotak persegi panjang, biaya yang dikeluarkan untuk bandsaw meliputi biaya bahan bakar dan baiaya asah gergaji yaitu sebesar Rp.33.182/m3. Total biaya pemasaran ditingkat sawmill dari keempat kompenen pemasaran yaitu sebesar Rp 158.182/m3. Keuntungan ditingkat perantara untuk pemasaran kayu sengon adalah sebesar Rp 122.987/m3
5.3. Analisis Struktur Pasar Kayu Sengon 5.3.1. Pembeli dan Penjual Pemasaran kayu sengon melibatkan beberapa penjual dan pembeli. Selama penelitian berlangsung terhitung ada beberapa petani yang terlibat dalam pemasaran kayu sengon. Mereka umumnya tergabung dalam kelompok tani. Perantara yang ada di kecamatan Leuwisadeng terdiri dari individu dan beberapa merupakan orang suruhan dari sawmill. Jumlah sawmill sendiri di Kecamatan Leuwisadeng terdiri dari 11 sawmill, yaitu UD Putra Mahkota, Cahaya Alam, Sipa Jaya, PD Permata Putra, Nanda Jelambar, Salira Indah, PD Goa Putra, CV Karya Jaya, CV Dian Surya Gemilang, Wande dan Dedi Hudaedi. Seluruh sawmill ini merupakan Pengolahan kayu yang
menjadikan Sengon sebagai produk utamanya, selain itu juga ada beberapa kayu lain seperti Kayu Afrika, Jabon, Gmelina, Jati dan Durian. Untuk Material sendiri jumlahnya tidak terlalu banyak di Kecamatan Leuwisadeng, selama penelitian hanya ada satu material yang ada di Kecamatan Leuwisadeng yaitu Toko Sinar Sakti. Toko material lain berada diluar kecamatan Leuwisadeng yaitu didaerah Leuwiliang, Jasinga, Nanggung dan Bogor Kota.
5.3.2. Keadaan Produk Umumnya jenis kayu yang diperdagangkan di wilayah penelitian Kecamatan Leuwisadeng adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau yang lebih dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan kayu jeunjing. Jenis kayu lain yang diperdagangkan di kecamaran Leuwisadeng antara lain: kayu Afrika (Maesopsis eminii), kayu Jabon (Anthocephalus cadamba), kayu Gmelina/Jati putih (Gmelina arborea), kayu Jati (Tectona grandis) dan kayu Durian (Durio zibethinus) Untuk jenis kayu Sengon pada tingkat Industri Penggergajian Kayu (IPK) dapat dihasilkan bermacam-macam kayu olahan dengan berbagai macam ukuran seperti; bentuk tiang, papan, kaso, kusen, palang, reng, palet. Untuk bentuk tiang dapat dibuat 10 cm x 10 cm. Papan dibuat dengan ukuran 3 cm x 20 cm. Kaso dengan ukuran 6 cm x 6 cm. Kusen bahan jendela dan pintu biasanya berukuran 78 cm x 15 cm. Palang dada umumnya berukuran 5 cm x 10 cm. Reng berukuran 2 cm x 3 cm dan merupakan jenis olahan kayu yang paling kecil. Sedangkan palet yang digunakan untuk bahan baku pembuat beraneka ragam meubel berukuran 3
cm x 8-10 cm. Semua jenis kayu olahan umumnya memiliki panjang ukuran kayu yang sama yaitu 200 cm, 250 cm dan 300 cm. Kecuali jenis palet dapat dihasilkan kayu dengan ukuran 100 cm, 120 cm dan 140 cm. Pada umumnya untuk industri gergajian, selain menyediakan kayu dengan ukuran dan jenis tertentu, industri juga menyediakan ukuran kayu pesanan berdasarkan kebutuhan konsumen. Kayu olahan yang akan diperdagangkan umumnya diberikan perlakuan terlebih dahulu dengan cara dikering anginkan dibawah terik sinar matahari selama kurang lebih 3-7 hari. Kemudian kayu disusun berdasarkan jenis dan ukurannya sehingga memudahkan dalam pengakutan Di tingkat IPK (sawmill) selain dihasilkan kayu dengan jenis dan ukuran tertentu, juga dihasilkan kayu sisa olahan (rendemen) yang berupa serbuk gergajian, potongan-potongan kayu dan kulit kayu (bablir). Ketiganya dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai jual untuk digunakan sebagai kayu bakar. Pada saat berlangsungnya penebangan, cabang dan ranting pohon yang sudah ditebang hak kepemilikannya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak penjual (petani sengon) dengan pembeli (perantara). Kepemilikan cabang dan ranting ini tidak mempengaruhi harga jual pohon yang bersangkutan. Beberapa keuntungan yang didapatkan oleh industri gergajian apabila mendapatkan pesanan dari material-material di sekitar kota Bogor seperti Leuwiliang, Nanggung, Ciampea dan Dramaga ataupun luar daerah Bogor seperti Jakarta, Tanggerang dan Bekasi , hal ini karena spesifikasi ukuran kayu olahan yang lebih kecil dari seharusnya (potongan khusus). Untuk tiang berukuran 8 cm x 8 cm, papan berukuran 2 cm x 18 cm, kaso berukuran 4,5 cm x 4,5 cm dan palang
dada berukuran 4,5 cm x 8 cm. Sortimen khusus tersebut ditampung oelh material material tersebut dengan standar harga yang sama. Sehingga walaupun bahan baku yang tersedia di lokasi indutri kurang memadai akan tetapi tetap dapat dimanfaatkan sehingga tidak ada bahan baku yang terbuang percuma. Data selengkapnya tercantum pada tabel 12
Tabel 12. Bentuk dan Jenis kayu Olahan Kec. Leuwisadeng Tahun 2011
No
Bentuk Kayu
Ukuran Yang Dijual (cm)
Ukuran Khusus (cm)
1
Tiang
10 x 10 x 200 10 x 10 x 250 10 x 10 x 300
8 x 8 x 200 8 x 8 x 250 8 x 8 x 300
2
Papan
3 x 20 x 200 3 x 20 x 250 3 x 20 x 300
2 x 18 x 200 2 x 18 x 250 2 x 18 x 300
3
Kaso
6 x 6 x 250 5 x 10 x 250 5 x 10 x 300
4,5 x 8 x 200 4,5 x 8 x 250 4,5 x 8 x 300
4
Palang
5 x 10 x 200 5 x 10 x 250 5 x 10 x 300
4,5 x 8 x 200 4,5 x 8 x 250 4,5 x 8 x 300
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada umumnya cabang dan ranting yang terbuang dijadikan bahan baku kayu bakar oelh masyarakat untuk keperluan memasak dirumah ataupun bagi industri kecil rumah tangga. Adanya cabang dan ranting yang digunakan sebagai kayu bakar oleh masyarakat, dirasakan sebagainilai tambah bagi perantara, selain
hasil kayu gelondongan. Beberapa hal yang menjadi alasan perantara untuk menjual kayu bakar atau menyerahkannya kepada pemilik kebun tergantung lokasi penebangan. Apabila dirasakan biaya pemungutan kayu bakar lebih besar dari harga jualnya maka perantara lebih baik memberikannya kepada petani pemilik kebun. Selain itu juga tergantung cuaca pada saat pengakutan, apabila cuca hujan maka kondisi jalan akan sedikit terhambat karena kondisi tanah yang becek sehingga para kuli nagkut kayu akan kesulitan membawanya. Kesulitan lainnya karena kondisi geografis daerah Leuwisadeng yang berbukit dan bergunung sehingga umumnya kayu yang dipanen berada diatas lereng bukit yang cukup tinggi dengan jalan yang masih berupa tanah
5.3.3. Kondisi Keluar Masuk Pasar Kondisi keluar atau masuk ke suatu pasar diantara tingkat atau lembaga pemasaran akan berbeda-beda. Pada tingkat petani hampir tidak ada halangan untuk memasuki atau keluar dari pasar. Jika petani memiliki areal lahan yang cukup dan memiliki modal produksi yang diperlukan untuk budidaya Sengon, memiliki ketekunan dan kesabaran tinggi, maka setiap saat dapat bebas untuk menentukan ikut serta atau tidak dalam pasar. Disamping itu juga menjadi petani sengon tidak memerlukan suatu keahlian tertentu. Pada tingkat perantara dan sawmill mungkin sedikit lebih sulit untuk keluar masuk pasar sebagai pendatang baru ataupun masuk kembali setelah keluar pasar. Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk turut serta dalam pemasaran yaitu memiliki modal yang cukup besar, jaringan pemasaran yang luas,
jaminan konsistensi pasokan, serta kemampuan dalam melakukan transaksi atau bernegoisasi. Pada tingkat toko material karena hanya ada satu toko material yang saat ini ada, hampir tidak ada halangan untuk masuk ke dalam pemasaran kayu Sengon. Walaupun tergolong harus memiliki modal yang cukup besar, namun karena diwilayah penelitian tidak banyak toko material yang menjadi pesaing. Tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatian dari karakteristik user kayu Sengon (pembeli akhir), mereka cenderung langsung membeli ke sawmill ketimbang membeli di Material karena harganya lebih murah. Sehingga toko material harus jauh dari sentra pengolahan kayu seperti sawmill.
5.3.4. Jenis Transaksi Pada umumnya proses penjualan kayu Sengon dan jenis kayu lainnya dilakukan petani dalambentuk pohon berdiri, akan tetapi ada juga yang menawarkan kayu dalam bentuk sudah ditebang. Ada beberapa cara yang digunakan dalam proses penjualan kayu di Kecamatan Leuwisadeng, diantaranya: 1. Petani menawarkan langsung kayu yang akan dijualnya kepada perantara dengan menyebutkan kondisi fisik kayu seperti jenis, umur dan volume kayu 2. Perantara telah mengamati kebun-kebun kayu milik masyarakat sebelumnya. Apabila ada jenis dan ukuran kayu yang dibutuhkan maka akan langsung menanyakan apakah dijual atau tidak. 3. Perantara mendapatkan informasi dari pihak ketiga. Informasi tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan mensurvei langsung ke lokasi kebun kayu.
Umumnya pihak ketiga tersebut juga mendapat upah dari perantara yang bersangkutan.
Setelah salah satu dari ketiga proses tersebut dilaksanakan, maka petani dan perantara langsung melakukan tawar menawar harga sampai terjadinya transaksi jual beli. Pada proses tersebut dibahas mengenai kesepakatan pembayaran dengan sistem tunai atau tempo (mencicil). Perantara yang tidak memiliki modal besar umumnya melakukan pembayaran dengan cara mencicil, kadang kala para perantara ini meminjam modal terlebbih dahulu kepada sawmill yang menjadi langganannya untuk menutupi kekurangan pembayaran. Kerjasama antara sawmill dengan perantara terjalin karena adanya permintaan terhadap kebutuhan kayu untuk industri, sehingga mereka memanfaatkan jasa perantara untuk memenuhi kebutuhan kayu. Berdasarkan pengamatan di wilayah kecamatan Leuwisadeng diperoleh data bahwa pada tingkat perantara yang menggunakan sistem pembayaran tunai sebanyak 61,11 % dan
11,11 % dengan cara mencicil,
sisanya sebanyak 28,78 % menggunakan cara keduanya. Sawmill yang ada di wilayah penelitian berjumlah 11 unit industri. Industri tersebut hampir seluruhnya terletak di jalan Leuwiliang-Jasinga. Dari seluruh industri tersebut tercatat sebanyak 54.55 persen industri membayar kontan, sebanyak 27.27 persen dengan cara mencicil dan 18.17 persen dengan cara keduanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 13
Tabel 13. Sistem Pembayaran Kayu Sengon Kec. Leuwisadeng 2011 PELAKU PASAR No
Sistem Pembayaran
1
Perantara (orang)
Persen (%)
Sawmill (unit)
Persen (%)
Kontan
11
61.11
6.
54.55
2
Tempo
2
11.11
3.
27.27
3
Keduanya
5
27.78
2.
18.17
Total
18
100
11
100
Sumber: Data Lapangan diolah
Pembayaran dengan mencicil biasanya memakan waktu berkisar antara 23 bulan setelah penebangan. Hal ini memang dirasakan memberatkan bagi petani karena pada umumnya mereka menjual kayu untuk membayar kebutuhankebutuhan penting yang bersifat mendadak seperti membayaran iuran sekolah anak, membayar hutang piutang, membiayai hajatan seperti pernikahan, biaya naik haji, ataupun kebutuhan mendesak lainnya. Umumnya petani memprioritaskan penjualan kayunya kepada orang yang sudah dipercaya akan membayar dengan lancar seperti kepada orang-orang yang memiliki jabatan penting diwilayah desanya seperti; Guru, Petugas Kantor Desa, ataupun Juragan-juragan tanah yang terkenal memiliki modal yang besar dan memiliki sifat jujur.
5.3.5. Informasi Pasar Informasi pasar yang berkenaan dengan kayu Sengon sangat dibutuhkan oleh tiap pelaku pemasaran yang terlibat. Pemberian informasi yang lengkap khususnya mengenai harga jual dan beli kayu Sengon hanya mungkin dilakukan dengan pihak yang berada dalam tingkat atau kelompok lembaga pemasaran yang sama, sehingga tidak pernah ada penyebaran informasi harga antara lembaga pemasaran yang tidak satu tingkat. Hubungan diantara mereka hanyalah pada saat terjadi transaksi jual beli kayu Sengon berlangsung. Lain halnya antara petani dan perantara, umumnya diantara mereka sudah terjalin hubungan kekeluargaan kerena memang diantara petani ada yang masih kerabat dekat, tetangga, atau teman dekat sehingga tidak segan untuk saling berdiskusi dan bertukar informasi.
5.3.6. Harga dan Struktur Pasar Salah satu indikator untuk melihat struktur pasar adalah lembaga pemasarannya, umumnya komoditas pertanian memiliki jalur pemasaran yang realtif panjang. Berdasarkan perbandingan jumlah petani dan jumlah perantara, sawmill atapun Material, struktur pasar yang terbentuk dari sisi petani adalah oligopsoni jumlah petani yang lebih banyak daripada perantara, sawmill maupun material menyebabkan petani menjadi penerima harga (price taker). Lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 14.
Tabel 14. Lembaga Pemasaran Kayu Sengon Kec. Leuwisadeng Tahun 2011
No 1 2 3
Pelaku Pasar Petani Perantara Sawmill Total
Jumlah (orang) 32 18 11 62
Persen (%) 51.61 29.03 17.74 100
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tingkat pemasaran selanjutnya jumlah perantara lebih banyak daripada jumlah sawmill. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk adalah monopsoni. Hambatan untuk masuk sebagai pelaku pasar lebih tinggi karena membutuhkan sejumlah modal yang besar dan proses penentuan harga didominasi oleh sawmill sehingga menempatkan perantara sebagai penerima harga. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk berdasarkan jumlah antara lembaga pemasaran dan petani adalah struktur pesaingan tidak sempurna. Harga jual dan beli kayu gelondongan jenis Sengon pada setiap tingkatan pelaku pemasaran di Kecamatan Leuwisadeng berbeda beda, untuk harga beli rata-rata ditingkat perantara sebesar Rp.682.308/m3 dengan harga jual rata-rata Rp.988.492/m3 dan pada tingkat sawmill harga beli rata-rata Rp.975.649/m3 dengan harga jual ratarata sebesar Rp.1.256.818/m3 untuk lebih jelasnya disajikan dalam tabel 15
Tabel 15. Harga Rata-rata kayu Sengon (Rupiah/m3) Pelaku
Saluran Pemasaran
Rata-rata Harga Beli
Rata-rata Harga Jual
Petani
Perantara
Sawmill
I II II Rata-rata I III Rata-rata I II III Rata-rata
687.897 671.131 682.308 988.889 901.786 998.413 975.649
688.839 898.809 675.714 724.107 985.119 995.238 988.492 1.237.500 1.200.000 1.333.333 1.256.818
Sumber: Data Lapangan diolah
5.4. Marjin Pemasaran 5.4.1. Analisis Marjin Pemasaran ditingkat Perantara Marjin Pemasaran perantara diperoleh dari selisih antara harga pembelian dari petani dengan harga penjualan ke sawmill. Harga beli dan harga jual yang digunakan adalah harga yang berlaku ditingkat perantara. Marjin pemasaran ditingkat perantara untuk pemasaran kayu sengon berdasarkan saluran pemasaran disajikan pada tabel 16 Tabel 16. Marjin Pemasaran Kayu Sengon ditingkat Perantara (Rupiah/m3) Saluran Pemasaran SP 1
Harga Beli 687.897
Harga Jual 985.119
Marjin Pemasaran 297.223
Biaya Pemasaran 101.667
SP 2 SP 3
671.131
995.238
324.107
99.167
Keuntungan 195.566 224.940
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel di atas diketahui marjin pemasaran ditingkat perantara pada saluran pemasaran 1 sebesar Rp.297.223/m3 dan pada saluran pemasaran 3 sebesar Rp.324.107/m3 . Sedangkan pada saluran pemasaran 2 tidak ada marjin
pemasaran ditingkat perantara karena pada saluran ini petani menjual langsung ke sawmill tanpa perantara. Harga pembelian kayu sengon dari petani sangat dipengaruhi oleh lokasi panen kayu sengon itu sendiri, semakin susah medan panennya semakin murah harga sengon tersebut, karena sengon dengan medan panen yang sulit sangat menyulitkan perantara untuk memanennya. Faktor lainnya adalah bentuk kayu sengon itu sendiri, apabila semakin melengkung batang pohon sengonnya semakin besar penyusutannya dan semakin murah juga harganya ditingkat petani. Pada tingkat perantara keuntungan didapat dari selisih dari marjin pemasaran dengan biaya pemasaran. Pada saluran pemasaran 1 keuntungan yang didapatkan
perantara
sebesar
Rp.195.556/m3
sedangkan
untuk
saluran
pemasaran 3 keuntungan yang didapatkan perantara sebesar Rp.224.940/m3.
5.4.2. Analisis Marjin Pemasaran Ditingkat Sawmill Marjin pemasaran sawmill ditentukan oleh selisih harga jual kayu sengon ke material atau industri luar daerah dengan harga beli ke perantara. Harga yang digunakan adalah harga yang berlaku ditingkat sawmill. Marjin pemasaran sawmill untuk pemasaran kayu sengon pada setiap saluran pemasarannya disajikan pada tabel 17 Tabel 17. Marjin Pemasaran Kayu Sengon Ditingkat Sawmil (Rupiah/m3) Saluran Pemasaran
Harga Beli
Harga Jual
Marjin Pemasaran
Biaya Pemasaran
Keuntungan
SP 1
988.889
1.237.500
248.611
145.833
102.778
SP 2
901.786
1.200.000
298.214
147.500
150.714
SP 3
998.413
1.333.333
334.920
190.000
144.920
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel di atas diketahui bahwa marjin pemasaran ditingkat sawmill pada saluran pemasaran 1 adalah sebesar Rp.248.661/m3, pada saluran pemasaran 2 adalah sebesar Rp.298.214/m3 dan pada saluran pemasaran 3 adalah sebesar Rp.334.920/m3. Harga beli dari perantara dipengaruhi oleh bentuk batang kayu sengon itu sendiri, karena semakin melengkung batang kayu sengon maka akan semakin besar penyusutannya. Sehingga semakin melengkung semakin murah harganya. Selain biaya pemasaran ada juga biaya yang timbul akibat penyusutan. Karena sawmill membeli dari perantara dalam bentuk Log meter kubik. Untuk dijadikan kotak meter kubik penyusutan yang terjadi sebesar 30 persen. Keuntungan sawmill pada saluran pemasaran 1 adalah sebesar Rp.102.778/m3, pada saluran pemasaran 2 adalah sebesar Rp.150.714/m3 dan pada saluran pemasaran 3 adalah sebesar Rp.114.940 /m3.
5.5. Analisis Nilai Farmer’s Share Tomek dan Robinson (1981;114) menjelaskan bahwa bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) adalah suatu nilai hasil perbandingan antara harga jual di petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen dan dinyatakan
dalam persentase. Nilai Farmer’s Share pemasaran kayu sengon ditiap saluran pemasaran disajikan pada tabel 18 Tabel 18. Farmer’s Share Kayu Sengon Menurut Saluran Pemasarannya (Rupiah/m3) Saluran Pemasaran
Harga Ditingkat Petani
Harga Di tingkat Sawmill
Farmer's Share (%)
SP1
688.839
1.237.500
55.66
SP2
898.809
1.200.000
74.90
SP3
675.714
1.333.333
50.67
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada penelitian ini bagian yang diterima petani atau Farmer’s Share adalah hasil perbandingan antara harga jual di petani dengan harga jual di sawmill. Farmer’s Share atau bagian yang diterima petani untuk pemasaran kayu sengon pada saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing 55,66%, 74,9% dan 50,67 % dari harga jual sawmill. Pada ketiga saluran pemasaran yang diteliti diketahui bahwa pada saluran pemasaran 2 memberikan bagian harga terbesar bagi petani dibandingkan saluran pemasaran lainnya, sedangkan saluran pemasaran 3 memberikan bagian harga petani yang terkecil dari lainnya. Hal ini diakibatkan harga kayu sengon ditingkat petani lebih tinggi dari jenis lainnnya. Hal ini disebabkan petani di saluran pemasaran 2 menjual kayu sengon tidak dalam kondisi “berdiri” melainkan kayu tersebut dipanen sendiri dan diantarkan ke sawmill, sehingga bagian pemasaran perantara diambil alih oleh petani sehingga keuntungan dan Farmer’s Share lebih tinggi dibandingkan saluran pemasaran lainnya.
Efisiensi saluran pemasaran diukur secara teknis dan ekonomis bertujuan untuk lebih meningkatkan keuntungan yang diterima lembaga pemasaran. Efisiensi secara teknis dilihat dari upaya lembaga pemasaran dalam pengendalian fisik produk untuk mengurangi kerusakan dan penyusutan produk serta menghemat tenaga kerja. Pemasaran kayu sengon Kecamaran Leuwisadeng memiliki jalur pemasaran utama yaitu dari Petani-Perantara-Sawmill. Sehingga pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng dapat dikatakan efisien. Namun dalam kenyataannya ada alternatif jalur pemasaran yang lebih efisien yang hanya melibatkan Petani-Sawmill, karena semakin sedikit lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran membuat pendistribusian produk makin cepat, makin murah dan makin efisien produk diantar ke tingkat selanjutnya dalam hal ini material atau industri luar daerah. Namun saluran pemasaran yang hanya melibatkan petani dan sawmill belum bisa diterapkan karena perantara mempunyai peran besar dalam pendanaan biaya pemasaran. Apabila tidak melalui perantara, maka petani harus menanggung biaya pemasaran yang biasanya ditanggung perantara.
Tabel 19. Analisis Efisiensi Pemasaran Kayu Sengon Secara
Ekonomis
menurut Saluran Pemasarannya (Rupiah/m3) Uraian Marjin Pemasaran
SP 1 548.661
Saluran Pemasaran SP 2 301.191
SP 3 657.619
Farmer's Share 55.66 (%) Sumber: Data Lapangan diolah
74.9
50.67
Pada tabel di atas, marjin pemasaran kayu sengon diperoleh selama prose pemasaran dari petani hingga ke sawmill untuk saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing-masing Rp.548.661/m3, Rp.301.191/m3 dan Rp.657.619/m3. sehingga dipastikan bahwa marjin pemasaran tertinggi dihasilkan oleh saluran pemasaran 3 dan terendah saluran pemasaran 2. Bagian yang diperoleh petani (farmer’s share) atas pemasaran kayu sengon saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing 55,66%, 74,9% dan 50,67% dari harga jualnya. Hal ini berarti farmer’s share tertinggi dihasilkan dari saluran pemasaran 2 dan terendah saluran pemasaran 3. Secara ekonomis saluran pemasaran kayu sengon pada saluran pemasaran 2 relatif lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya karena menhasilkan marjin pemasaran yang lebih rendah dan tentunya menhasilkan bagian yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan saluran pemasaran lainnya.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam pemasaran kayu sengon pada periode bulan Februari hingga Maret 2011 di Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor , maka dapat disimpulkan bahwa:
Terdapat 3 (tiga) saluran pemasaran di lokasi penelitian pada pemasaran kayu sengon yaitu Saluran Pemasaran 1 terdiri dari Petani – Perantara – Sawmill Material, Saluran Pemasaran 2 terdiri dari Petani – Sawmill - Material dan Saluran
Pemasaran 3 terdiri dari Petani – Perantara – Sawmill - Indutri Luar
Daerah. Sehingga yang paling efisien adalah Saluran Pemasaran 2 yang terdiri dari Petani - Sawmill – Material karena semakin sedikit rantai pemasaran semakin rendah biaya pemasarannnya
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran adalah: o Fungsi pemasaran petani yaitu Pembelian, Penjualan, Pengambilan Pasar dan Penelitian Pasar o Fungsi pemasaran perantara yaitu Pembelian,Penjualan, Pengangkutan, Biaya Pemasaran, Pengambilan Resiko, Penelitian Pasar, Demand Creation o Fungsi pemasaran sawmill yaitu Pembelian, Penjualan, Penyimpanan, Pengangkutan, Standarisasi dan Grading, Pengambilan Resiko, Penelitian Pasar dan Demand Creation
Struktur pasar yang dihadapi oleh pemasaran kayu sengon dari Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor adalah pasar persaingan tidak sempurna. Berdasarkan perbandingan jumlah petani dan jumlah perantara, sawmill ataupun material, struktur pasar yang terbentuk dari sisi petani adalah oligopsoni. Jumlah petani yang lebih banyak daripada perantara, sawmill maupun material menyebabkan petani menjadi penerima harga (price taker). Pada tingkat pemasaran selanjutnya jumlah perantara lebih banyak daripada jumlah sawmill. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk adalah monopsoni.
Marjin Pemasaran yang diperoleh lembaga pemasaran yang terlibat adalah: o Marjin Pemasaran perantara untuk saluran pemasaran 1 adalah sebesar Rp.297.223/m3, dan untuk saluran pemasaran 3 sebesar Rp.324.107/m3. pada saluran pemasaran 2 tidak ada nilai marjinnya karena pada saluran ini petani tidak melalui perantara dalam pendistribusian kayu ke sawmill o Marjin pemasaran sawmill untuk pemasaran kayu sengon pada saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masingmasing Rp.248.661/m3, Rp.298.214/m3 dan Rp.334.920/m3. o Total marjin pemasaran yang diperoleh dari saluran pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor untuk saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masingmasing Rp Rp.548.661/m3, Rp.301.191/m3 dan Rp.657.619/m3. sehingga dipastikan bahwa marjin pemasaran tertinggi dihasilkan oleh saluran
pemasaran 3 dan terendah saluran pemasaran 2. Sehingga saluran pemasaran 2 dinilai lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya
Persentase bagian yang diperoleh petani (farmer’s share) atas pemasaran kayu sengon saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing 55,66%, 74,9% dan 50,67% dari harga jualnya. Hal ini berarti farmer’s share tertinggi dihasilkan dari saluran pemasaran 2 dan terendah saluran pemasaran 3. hasil perhitungan menunjukan bahwa pemasaran kayu sengon saluran pemasaran 2 lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya.
5.2. Saran Setelah penulis mengamati kegiatan pemasaran kayu sengon dari petani di Kecamaran Leuwisadeng Kabupaten Bogor maka disarankan: 1. Jika dilihat dari tingkat efisiensi, seharusnya petani menjual pohon sengonnya dalam bentuk kayu tebangan bukan dalam keadaan berdiri, sehingga hasil atau keuntungan yang diterima petani lebih besar lagi. Untuk itu harus ada sosialisasi dan penyuluhan dari dinas kehutanan agar hal tersebut dapat terwujud 2. Saluran pemasaran yang dinilai efisien adalah saluran pemasaran 2 yaitu dengan komposisi lembaga pemasaran Petani-Sawmill-Material, oleh karena itu diharapkan ada pihak yang mengontrol dalam hal ini Pemerintah untuk memastikan agar petani menggunakan saluran pemasaran 2. Nilai farmer
share yang dimiliki saluran pemasaran 2 sebesar 74,9 % lebih tinggi dibandingkan saluran pemasaran lainnya 3. Fungsi pemasaran ditingkat petani menjelaskan bahwa dalam proses penelitian pasar, petani kurang aktif dalam mendapatkan informasi pasar, oleh karena itu diharapkan Dinas Kehutanan turun langsung ke petani lewat penyuluh menyampaikan informasi-informasi
yang
berkaitan dengan
pemasaran sengon, agar petani memiliki bargaining position dalam menentukan harga 4. Proses pengolahan kayu sengon umumnya dipengaruhi oleh tingkat kelurusan batang kayu sengon, rata-rata konversi dari bentuk log ke kubikasi mengalami penyusutan 30%. Tingkat kelurusan batang sengon itu dipengaruhi oleh bibit sengon itu sendiri, kebanyakan petani belum mendapatkan bibit sengon yang unggul, sehingga tingkat kelurusan batang sengon masih beragam. Oleh karena itu, diharapkan para petani mendapatkan bibit sengon yang unggul yang mampu mengatasi keragaman bibit sengon tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad B., S. Mulyana, U. Supriyadi dan D. S. Rachmat. Kajian tata niaga kayu rakyat di Kabupaten Kuningan. Prosiding Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian dengan tema Menuju Pembangunan Hutan Tanaman Produktivitas Tinggi dan Ramah Lingkungan, Yogyakarta 11 - 12 Oktober 2004. (Kuningan: Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Litbang Kehutanan, 2004)
Anindita, Ratya. Pemasaran Hasil Pertanian. Katalog Perpustakaan Nasional Dalam Terbitan (KDT). (Surabaya: Papyrus, 2004)
Badan Pusat Statistik. Data Statistik Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor 2010 (Bogor: badan Pusat Statistik, 2010)
Budi, S.H. Budidaya Sengon. (Yogyakarta: Kanisius, 1992)
Departemen Kehutanan. Statistik Kehutanan Indonesia 2010. (Jakarta: Departemen Kehutanan, 2010)
Downey, W.D. & S.P. Erickson. Manajemen Agribisnis. (Jakarta: Erlangga, 1992)
Firman, N. Analisis Efisiensi Tataniaga Mangga Cengkir, Arumanis dan Gedong. Kasus di Desa Kebulen, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Fakultas Pertanian, 1998
Hammond, J.W & Dale C. Dahl. Market and Price Analysis. (New York : McGraw-Hill Book Company Inc, 1997)
Hanafiah & Saefudin. Tataniaga Hasil Perikanan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006)
Khols. R.L dan J.N Uhl. Marketing of Agricultural Product. Edisi Kesembilan. (New Jersey: Prentice Hall. 2002)
Kotler, Philip. Dasar-dasar Pemasaran (Jakarta: CV Intermedia, 1990)
Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran Jilid 1. Ed ke-6 (Jakarta: Erlangga, 1994)
Kotler, Philip & Gary Amstrong. Dasar-dasar Pemasaran. Ed ke-9. (Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia, 2001)
Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran. Jilid 2 (Jakarta: PT. Prehallindo, 2002)
Kotler, Philip & A.B. Susanto. Manajemen Pemasaran di Indonesia, Ed Pertama. (Jakarta: Salemba Empat, 2001)
Limbong, W.H & Panggabean Sitorus. Pengantar Tataniaga Pertanian. Ed pertama. (Bogor: Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, 1985)
Limbong, W.H. Pengantar Tataniga Pertanian (Bogor: Institut Pertanian bogor, 1987)
Maryatun, S. Analisis Biaya dan Pemasaran (Marketing Marjin), Kayu Gergajian di DKI Jakarta (Studi Kasus di Kalibaru [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Fakultas Pertanian, 1999
Mubyanto. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Pusaka LP3S. 1994)
NFTA World Education. Paraserianthes falcataria: Juara Pertumbuhan di Asia Tenggara. Lembar Informasi Pohon Pengikat Nitrogen. Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Nitrogen Fixing Tree Asociational (Jakarta: Studio Driya Media, 1991)
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). (Bogor: RTRWP, 2009)
Soekartawi. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian (Teori dan Aplikasi). Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Soerianegara, I. Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 1996)
Stanton, William. Fundamental of Marketing (Tokyo: Mc. Graw-Hill Book, 1997)
Tomek, W.G & Kenneth L. Robinson. Agricultural Product Prices. Ed ke-3. (London: Cornell University Press, 1990)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan Skripsi. (Jakarta: UIN Press, 2004)
Winardi. Harga dan Penetapan Harga dalam Bidang Pemasaran. (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1992)
No
Nama Responden
Luas (ha)
Saluran Pemasaran
Harga Jual
1 Otang
2,00
714.286
2 Karna
1,00
742.857
3 Idis
0,71
714.286
4 Ato
0,85
742.857
5 Udin
2,14
628.571
6 H.Amin
0,29
642.857
7 Endin
0,05
742.857
8 H.Awang
0,71
700.000
9 Saepul
2,14
SP1
642.857
10 Iip
2,00
714.286
11 Adi
0,36
642.857
12 Sumarna
0,57
728.571
13 Ocim
0,28
678.571
14 Dadang
0,14
714.286
15 Eman
0,35
642.857
16 Atang
0,28
628.571
17 Asep
1,28
857.143
18 Umar
1,14
928.571
19 Solihin
1,50
928.571
20 H.Encu
1,00
21 Aep
1,00
892.857
22 Ahmad
0,71
928.571
23 H. Ahmad Sueb
3,00
SP2
SP3
857.143
785.714
24 Yayat
0,57
678.571
25 Ocim
0,71
742.857
26 Badru
0,42
642.857
27 Rahmat
0,28
678.571
28 Mamat
0,71
714.286
29 Asep Saepuloh
0,43
685.714
30 Ali
0,50
642.857
31 Marwan
0,21
571.429
32 Aang
0,71
614.286
Total
23.171.429
Rata-rata
Lampiran 2
No
1
Nama Perantara
724.107
Database Responden Harga Beli dan Harga Jual di Perantara Kec. Leuwisadeng Februari 2011 (Rupiah/m3)
Beli dari Harga Beli (petani) Otang
714.286
Karna
742.857
Untung
Harga Beli Rata-rata
Saluran Pemasaran
728.571
Tingkat
Harga Jual
971.429
SP1
2
Onih
Idis
714.286
714.286
1.014.286
3
Rukayat
Ato
742.857
742.857
964.286
4
Amru
Atang
628.571
628.571
971.429
5
Tisna
Eman
642.857
642.857
957.143
6
Atan
Dadang
714.286
714.286
964.286
Ocim
678.571
Sumarna
728.571
683.333
1.035.714
Adi
642.857
Iip
714.286
714.286
1.000.000
H.Awang
700.000
671.428
Saepul
642.857
7
8
9
Suspendi
Engkos
Dadang
1.014.286
10
Dayat
Endin
742.857
742.857
1.014.286
11
Parman
H.Amin
642.857
642.857
971.429
12
Mamat
Udin
628.571
628.571
942.857
H Ahmad S
785.714
Yayat
678.571 712.499
1.000.000
Ocin
742.857
Badru
642.857 1.000.000
13
Ismet Sopian
14
Udin
Rahmat
678.571
678.571
15
H. Aceng
Mamat
714.286
714.286
16
Umar
Asep Sae
685.714
685.714
1.000.000
17
Komar
Ali
642.857
642.857
971.429
Marwan
571.429
18
Usep
592.857
971.429
Aang
614.286 12.281.545
17.792.860
682.308
988.492
Total Rata-rata
SP3
1.028.571
No
Nama Sawmill
Beli dari
Ket.
Saluran Pemasaran
Harga Beli
Rata-rata
Harga Jual
1
Putra Mahkota
2
Cahaya Alam
3
4
5
6
7
Nanda Jelambar
Untung
Perantara
971.429
Onih
Perantara
1.014.286
Rukayat
Perantara
964.286
Amru
Perantara
971.429
Tisna
Perantara
957.143
Atan
Perantara
SP1
1.200.000
989.286
1.250.000
964.286
1.250.000
964.286
Dian Surya Gemilang
Suspendi Perantara
1.035.714
Engkos
Perantara
1.000.000
Wande
Dadang
Perantara
1.014.286
Dayat
Perantara
1.014.286
Parman
Perantara
971.429
Mamat
Perantara
942.857
Asep
Petani
857.143
Umar
Petani
928.571
Solihin
Petani
928.571
Dedi Hudaedi
971.429
1.017.857 1.250.000
Sipa Jaya
1.014.286
1.275.000
976.190
1.200.000
892.857
1.200.000
910.714
1.200.000
980.952
1.300.000
1.014.286
1.350.000
1.000.000
1.350.000
SP2
8
9
Permata Putra
Salira Indah
H.Encu
Petani
857.143
Aep
Petani
892.857
Ahmad
Petani
928.571
Usep
Perantara
971.429
Komar
Perantara
971.429
Umar
Perantara
1.000.000 SP3
10
11
H.Aceng
Perantara
1.028.571
Udin
Perantara
1.000.000
Ismet
Perantara
1.000.000
Goa Putra
Karya Jaya
Sopian Total
10.732.144
13.825.000
975.649
1.256.818
Rata-Rata Lampiran 3
Database Responden Harga Beli dan Jual di Tingkat Sawmill Leuwisadeng Februari 2011 (Rupiah/m3)
Kec.
Lampiran 4 Biaya Produksi, Penjualan, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di Tingkat Petani Kec. Leuwisadeng Februari 2011 (Rupiah/m3)
No
Nama
Biaya Produksi
Penjualan
Biaya Pemasaran
Keuntungan
1
Otang
255.000
714.286
0
459.286
2
Karna
243.000
742.857
0
499.757
3
Idis
237.000
714.286
0
477.136
4
Ato
255.000
742.857
0
487.857
5
Udin
230.000
628.571
0
398.221
6
H.Amin
243.000
642.857
0
399.757
7
Endin
218.000
742.857
0
524.407
8
H.Awang
237.000
700.000
0
462.850
9
Saepul
207.000
642.857
0
436.307
10
Iip
255.000
714.286
0
459.286
11
Adi
230.000
642.857
0
412.507
12
Sumarna
255.000
728.571
0
473.571
13
Ocim
243.000
678.571
0
435.471
14
Dadang
230.000
714.286
0
483.936
15
Eman
243.000
642.857
0
399.757
16
Atang
218.000
628.571
0
410.121
17
Asep
237.000
857.143
90.000
529.993
18
Umar
255.000
928.571
120.000
553.571
19
Solihin
291.000
928.571
120.000
517.871
20
H.Encu
230.000
857.143
90.000
536.793
21
Aep
224.000
892.857
115.000
553.457
22
Ahmad
224.000
928.571
120.000
584.171
23
H. Ahmad Sueb
255.000
785.714
0
530.714
24
Yayat
243.000
678.571
0
435.471
25
Ocim
213.000
742.857
0
530.357
26
Badru
243.000
642.857
0
399.757
27
Rahmat
237.000
678.571
0
441.421
28
Mamat
224.000
714.286
0
489.886
29
Asep Saepuloh
255.000
685.714
0
430.714
30
Ali
237.000
642.857
0
405.707
31
Marwan
243.000
571.429
0
328.329
32
Aang
255.000
614.286
0
359.286
23.171.42 5
655.000
13.494.425
724.107
109.166
421.700
Total Rata-rata
Lampiran 5 Marjin Pemasaran, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di Tingkat Perantara Kec. Leuwisadeng Februari 2011(Rupiah/m3)
No
Nama
Harga Beli
Harga Jual
Marjin Pemasaran
Biaya Pemasaran
Keuntungan
1
Untung
728.571
971.429
242.858
110.000
132.858
2
Onih
714.286
1.014.286
300.000
105.000
195.000
3
Rukayat
742.857
964.286
221.429
100.000
121.429
4
Amru
628.571
971.429
342.858
115.000
227.858
5
Tisna
642.857
957.143
314.286
110.000
204.286
6
Atan
714.286
964.286
250.000
90.000
160.000
7
Suspendi
683.333
1.035.714
352.381
100.000
252.381
8
Engkos
714.286
1.000.000
285.714
110.000
175.714
9
Dadang
671.428
1.014.286
342.858
95.000
247.858
10
Dayat
742.857
1.014.286
271.429
90.000
181.429
11
Parman
642.857
971.429
328.572
115.000
213.572
12
Mamat
628.571
942.857
314.286
80.000
234.286
13
Ismet Sopian
712.499
1.000.000
287.501
105.000
182.501
14
Udin
678.571
1.000.000
321.429
85.000
236.429
15
H. Aceng
714.286
1.028.571
314.285
115.000
199.285
16
Umar
685.714
1.000.000
314.286
100.000
214.286
17
Komar
642.857
971.429
328.572
110.000
218.572
18
Usep
592.857
971.429
378.572
80.000
298.572
Total Rata-rata
12.281.544
17.792.860
5.511.316
1.815.000
3.696.316
682.308
988.492
306.184
100.833
205.351
Lampiran 6 Marjin Pemasaran, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di Tingkat Sawmill Kec. Leuwisadeng Februari 2011 (Rupiah/m3)
No
Nama
Harga Beli
Harga Jual
Marjin Pemasaran
Biaya Pemasaran
Keuntungan
1 Putra Mahkota
971.429
1.200.000
228.571
150.000
78.571
2 Cahaya Alam
989.286
1.250.000
260.714
150.000
110.714
Nanda 3 Jelambar
964.286
1.250.000
285.714
145.000
140.714
Dian Surya 4 Gemilang
1.017.857
1.250.000
232.143
150.000
82.143
5 Wande
1.014.286
1.275.000
260.714
140.000
120.714
6 Dedi Hudaedi
976.190
1.200.000
223.810
140.000
83.810
7 Sipa Jaya
892.857
1.200.000
307.143
155.000
152.143
8 Permata Putra
910.714
1.200.000
289.286
140.000
149.286
9 Salira Indah
980.952
1.300.000
319.048
180.000
139.048
10 Goa Putra
1.014.286
1.350.000
335.714
190.000
145.714
11 Karya Jaya
1.000.000
1.350.000
350.000
200.000
150.000
Total
10.732.143
13.825.000
3.092.857
1.740.000
1.352.857
975.649
1.256.818
281.169
158.182
122.987
Rata-Rata
Lampiran 7 Perbandingan Marjin dan Keuntungan Tiap Saluran Pemasaran Kec. Leuwisadeng Februari 2011(Rupiah/m3)
1. Saluran Pemasaran 1 Pelaku Petani
Harga Beli -
Harga Jual 688.839
Marjin Pemasaran
Biaya Pemasaran
-
-
Keuntungan 409.399
Perantara
687.897
985.119
297.223
101.667
195.566
Sawmill
988.889
1.237.500
248.611
145.833
102.778
Material
1.237.500
-
-
-
-
2. Saluran Pemasaran 2 Pelaku Petani Sawmill Material
Harga Beli -
Harga Jual
Marjin Pemasaran
898.809
901.786 1.200.000
1.200.000
298.214
-
Biaya Pemasaran
Keuntungan
109.167
502.976
147.500
150.714
-
-
-
Marjin Pemasaran
Biaya Pemasaran
Keuntungan
-
-
392.714
3. Saluran Pemasaran 3 Pelaku Petani
Harga Beli -
Harga Jual 675.714
Perantara
671.131
995.238
324.107
99.167
224.940
Sawmill
998.413
1.333.333
334.920
190.000
144.920
Industri Luar Daerah
-
-
Lampiran 8 Biaya Pemasaran di Tingkat Perantara Kec. Leuwisadeng 2011(Rupiah/m3)
Februari
No
1.333.333
-
-
Biaya Pemasaran
Total
(dalam ribuan)
(dalam ribuan)
Nama
Tenaga Kerja
Chainsaw
Transportasi
1 Untung
69.000
16.000
25.000
110.000
2 Onih
61.000
20.000
24.000
105.000
3 Rukayat
58.000
19.000
23.000
100.000
4 Amru
67.000
22.000
26.000
115.000
5 Tisna
64.000
21.000
25.000
110.000
6 Atan
52.000
18.000
20.000
90.000
7 Suspendi
58.000
19.000
23.000
100.000
8 Engkos
64.000
21.000
25.000
110.000
9 Dadang
55.000
18.000
22.000
95.000
10 Dayat
52.000
17.000
21.000
90.000
11 Parman
67.000
22.000
26.000
115.000
12 Mamat
47.000
15.000
18.000
80.000
13 Ismet Sopian
61.000
20.000
24.000
105.000
14 Udin
50.000
15.000
20.000
85.000
15 H. Aceng
67.000
22.000
26.000
115.000
16 Umar
58.000
19.000
23.000
100.000
17 Komar
64.000
21.000
25.000
110.000
18 Usep
46.000
16.000
18.000
80.000
Total
1.060.000
341.000
414.000
1815.000
58.890
18.940
23.000
100.830
55.87
17.91
21.82
100
Rata-rata Persentase
Lampiran 9 Biaya Pemasaran di Tingkat Sawmill Kec. Leuwisadeng 2011(Rupiah/m3)
Februari
Biaya Pemasaran Total No
Nama Tenaga Kerja
Bandsaw
Transportasi
Chainsaw
(dalam ribuan)
1 Putra Mahkota
70.000
35.000
25.000
20.000
150.000
2 Cahaya Alam
75.000
25.000
25.000
25.000
150.000
3 Nanda Jelambar
60.000
35.000
30.000
20.000
145.000
4 Dian Surya Gemilang
75.000
30.000
25.000
20.000
150.000
5 Wande
60.000
30.000
25.000
25.000
140.000
6 Dedi Hudaedi
70.000
25.000
25.000
20.000
140.000
7 Sipa Jaya
80.000
25.000
25.000
25.000
155.000
8 Permata Putra
70.000
25.000
25.000
20.000
140.000
9 Salira Indah
70.000
30.000
55.000
25.000
180.000
10 Goa Putra
70.000
50.000
50.000
20.000
190.000
11 Karya Jaya
60.000
55.000
60.000
25.000
200.000
Total
760.000
365.000
370.000
245.000
1.740.000
Rata-Rata
69.091
33.182
33.636
22.273
158.182
Persentase Nama Responden
Lampiran 10
43.68 Usia
20.98
21.26
Latar Belakang Pekerjaan
Daftar Nama Responden Penelitian
14.08 Pendidikan
100
Petani
41
Guru
SLTA
Otang
54
Petani
SD
Karna
57
Petani
SD
Idis
44
Karyawan
SLTP
Ato
46
Petani
SD
Udin
53
Guru
SLTA
H.Amin
42
Karyawan
SLTA
Endin
47
Petani
SD
H.Awang
57
PNS
S1
Saepul
41
Petani
SD
Iip
53
Buruh
SD
Adi
39
Petani
SLTP
Sumarna
47
Petani
SD
Ocim
54
Petani
SD
Dadang
50
PNS
SLTA
Eman
58
Petani
SD
Atang
41
Pedagang
SD
Asep
58
Petani
SLTA
Umar
43
Pedagang
SD
Solihin
58
Petani
SLTP
H.Encu
44
Pedagang
SD
Aep
41
Petani
SD
Ahmad
55
PNS
SLTA
H.Ahmad Sueb
57
Guru
SLTA
Yayat
47
Petani
SD
Ocim
45
PNS
SLTA
Badru
49
Petani
SD
Rahmat
41
Guru
SLTA
Mamat
48
Petani
SD
Asep Saepuloh
38
Petani
SD
Ali
49
Petani
SD
Marwan
41
Guru
SLTA
Perantara
45
Petani
SD
Untung
48
Wiraswasta
SLTA
Onih
53
Karyawan
SLTA
Rukayat
55
Buruh
SLTP
Amru
48
Karyawan
SLTP
Tisna
51
Buruh
SD
Atan
45
Wiraswasta
SLTP
Suspendi
57
Petani
SD
Engkos
55
Karyawan
SLTP
Dadang
48
Karyawan
SLPA
Dayat
50
Buruh
SD
Parman
53
Wiraswasta
SLTP
Mamat
51
Buruh
SD
Ismet
45
Guru
SLTA
Sopian
57
Guru
SLTA
Udin
46
Buruh
SD
H.Aceng
54
Guru
SLTA
Umar
50
Petani
SD
Komar
45
Buruh
SD
Aang
Usep
Lampiran 11 Biaya Produksi di Tingkat Petani Kec. Leuwisadeng Tahun 2011
No
Nama
Total Biaya (Rupiah)
Jumlah Pohon
Volume Produksi (m3)
Biaya Per pohon (Rupiah/Pohon)
Biaya per Volume (Rupiah/m3)
1
Otang
1.785.000
28
7
63.750
255.000
2
Karna
4.254.250
70
17,5
60.775
243.000
3
Idis
3.320.100
56
14
59.288
237.000
4
Ato
892.500
14
3,5
63.750
255.000
5
Udin
644.980
11
2,75
57.588
230.000
6
H.Amin
850.850
14
3,5
60.775
243.000
7
Endin
2.140.810
39
9,75
54.613
218.000
8
H.Awang
664.020
11
2,75
59.288
237.000
9
Saepul
578.340
11
2,75
51.638
207.000
2.499.000
39
9,75
63.750
255.000
10
Iip
11
Adi
967.470
17
4,25
57.588
230.000
12
Sumarna
357.000
6
1,5
63.750
255.000
13
Ocim
510.510
8
2
60.775
243.000
14
Dadang
2.579.920
45
11,25
57.588
230.000
15
Eman
510.510
8
2
60.775
243.000
16
Atang
152.915
3
0,75
54.613
218.000
17
Asep
1.660.050
28
7
59.288
237.000
18
Umar
1.785.000
28
7
63.750
255.000
19
Solihin
2.441.880
34
8,5
72.675
291.000
20
H.Encu
1.289.960
22
5,5
57.588
230.000
21
Aep
1.256.640
22
5,5
56.100
224.000
22
Ahmad
942.480
17
4,25
56.100
224.000
23
H. Ahmad Sueb
3.570.000
56
14
63.750
255.000
24
Yayat
1.701.700
28
7
60.775
243.000
25
Ocim
1.338.750
25
6,25
53.125
213.000
26
Badru
340.340
6
1,5
60.775
243.000
27
Rahmat
332.010
6
1,5
59.288
237.000
28
Mamat
1.099.560
20
5
56.100
224.000
29
Asep Saepuloh
1.606.500
25
6,25
63.750
255.000
30
Ali
1.660.050
28
7
59.288
237.000
31
Marwan
680.680
11
2,75
60.775
243.000
32
Aang
2.142.000
34
8,5
63.750
255.000
Total
46.555.775
770
192,5
1.917.175
7.668.700
Rata-rata
1.454.868
24,06
6,01
59.912
239.647
Asumsi konversi yang digunakan adalah 1 m3 = 4 buah pohon