Teknologi Indonesia © LIPI Press 2010
Teknologi Indonesia 33 (2) 2010: 92–99
APLIKASI TEKNIK ENKAPSULASI PADA BENIH SENGON (Paraserianthes falcataria) Dody Priadi Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Jln. Raya Bogor, Km. 46, Cibinong 16911 E-mail:
[email protected] ABSTRACT Seeds were encapsulated using materials containing nutrients in order to survive on a deforested land after spreading by aeroseeding technique. Sengon (Paraserianthes falcataria) seeds from Bogor, Tasikmalaya and Garut were encapsulated using mixture of soil, rice bran, tapioca flour with compost made from leaf waste and manure (3:1) as a nutrients source. Seeds with a good appearance were tested for the moisture content and stratified prior to germination test on tissue paper and grassy and sandy soil to determine the initial germination. Results of initial seeds germination showed that the highest germination (61.7%) on grassy soil obtained by the seeds from Cianjur, while the lowest (39.0%) obtained by seeds germinated on sandy soil. Seed stratification prior to germination causes the capsule damage and early germination. Encapsulated seeds failed to germinate in germination chamber although the capsules already broken. The highest germination percentage (24.7%) and plant height (3.9 cm) obtained from the encapsulated seeds containing media G (100 g soil + 100 g compost + 100 g tapioca flour) with the exception for total compound leaves and roots. Seeds encapsulated using rice bran causes microbial contamination of seed capsules so that failed to germinate. This study showed that the tapioca flour was absolutely necessary as an adhesive agent within encapsulate components with seeds, while the compost can enhance plant growth. Contrary the rice bran causes microbial contamination on seed capsules. Keywords: Encapsulation, seeds, sengon (Paraserianthes falcataria) ABSTRAK Benih dienkapsulasi dengan bahan-bahan yang mengandung zat hara supaya mampu bertahan hidup di lahan gundul setelah benih disebarkan dari udara (aeroseeding). Benih sengon (Paraserianthes falcataria) asal Bogor, Tasikmalaya, dan Garut dienkapsulasi menggunakan campuran tanah, dedak, dan tepung tapioka ditambah kompos dari seresah daun dan kotoran ternak (3:1) sebagai sumber haranya. Benih yang berpenampilan baik diuji kadar air dan distratifikasi sebelum diuji daya perkecambahannya pada kertas tisu, lahan berumput, dan berpasir untuk mengetahui daya perkecambahan awal. Hasil uji perkecambahan awal menunjukkan bahwa benih sengon asal Cianjur mempunyai daya perkecambahan tertinggi (61,7%) di tanah berumput, sedangkan terendah (39,0%) di tanah berpasir. Benih yang distratifikasi sebelum dienkapsulasi menyebabkan kerusakan dinding kapsul dan berkecambah lebih awal. Benih berenkapsulasi tidak dapat berkecambah di dalam growth chamber meskipun kapsulnya telah pecah. Nilai rataan tertinggi daya perkecambahan (24,7%) dan tinggi tanaman (3,9 cm) diperoleh dari benih yang dienkapsulasi dengan perlakuan G (100 g tanah + 100 g kompos + 100 g tepung tapioka), kecuali jumlah daun majemuk dan akarnya. Benih yang dienkapsulasi menggunakan dedak mengalami kontaminasi kapsul oleh mikroba sehingga gagal berkecambah. Studi ini menunjukkan bahwa tepung tapioka mutlak diperlukan sebagai zat perekat antarkomponen enkapsulat dengan benih, sedangkan kompos dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Sebaliknya, dedak dapat menyebabkan kontaminasi kapsul benih oleh jasad renik. Kata kunci: Enkapsulasi, benih, sengon (Paraserianthes falcataria)
PENDAHULUAN Salah satu penyebab pemanasan global adalah kerusakan hutan akibat bencana alam seperti kebakaran maupun pembalakan liar oleh Off print request to: Dody Priadi
92
manusia. Penghijauan kembali hutan gundul harus menjadi prioritas utama dalam menanggulangi hal tersebut. Upaya penghijauan tidak selalu dapat dilakukan secara konvensional, yaitu dengan penanaman secara langsung di lapangan
Dody Priadi: Aplikasi Teknik Enkapsulasi pada Benih Sengon
mengingat keadaan geografis dan topografis hutan di Indonesia yang kadang-kadang sulit dijangkau oleh manusia sehingga penanaman bibit tanaman tidak mungkin dilakukan secara langsung. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah penyebaran benih dari udara (aeroseeding). Aeroseeding memerlukan benih yang mampu bertahan setelah benih jatuh di lokasi sasaran sampai dengan kondisi yang kondusif untuk berkecambah serta tetap mempunyai viabilitas yang tinggi. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk hal tersebut adalah teknik enkapsulasi. Enkapsulasi benih bertujuan untuk membekali benih dengan hara sehingga mampu bertahan sampai kondisi yang memungkinkan untuk tumbuh (berkecambah). Bahan enkapsulasi (enkapsulat) diupayakan berasal dari bahan yang dapat terurai dan mengandung pupuk bio. Penyebaran benih trembesi (Enterolobium sp.) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) dari udara secara konvensional (tidak dienkapsulasi) telah dilakukan menggunakan pesawat terbang secara “slow moving air craft system” oleh Skadron 4 TNI AU Lanud Abdurachman Saleh, Malang di area gunung Wilis, Jawa Timur. Teknik enkapsulasi benih telah berhasil diaplikasikan untuk penyimpanan benih secara in vitro[1] dan produksi benih sintetis[2], sedangkan enkapsulasi benih secara in vivo[3] menggunakan campuran pupuk kimia dan organik telah dilakukan pada benih kacang hijau (Vigna radiata). Enkapsulasi benih secara in vivo masih jarang dilakukan di Indonesia. Pada penelitian ini akan dilakukan optimasi campuran bahan-bahan yang dapat terurai (biodegradable) sebagai bahan enkapsulat. Benih yang dienkapsulasi adalah biji tanaman hutan yang
cepat tumbuh seperti sengon (Paraserianthes falcataria). Sengon termasuk jenis tanaman yang diprioritaskan untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya genetik hutan di Indonesia.[4] Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bahan enkapsulat yang sesuai untuk jenis tanaman kehutanan dalam hal ini sengon, mengetahui viablitasnya melalui perkecambahan serta mengamati aspek fisiologisnya. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah mendukung program reboisasi dalam hal penyediaan benih yang tepat lokasi dan sasaran terutama di daerah yang mempunyai kendala geografis dan topografis sehingga tidak mungkin dilakukan secara langsung di lokasi sasaran.
BAHAN DAN METODE Sumber benih Benih sengon yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil koleksi lapangan dari daerah Bogor, Cianjur, dan Tasikmalaya, Jawa Barat. Optimasi bahan dan komposisi enkapsulat Untuk mengetahui bahan-bahan dan komposisi enkapsulat yang sesuai untuk tanaman ke hutanan telah diuji coba berbagai bahan seperti tanah, dedak halus, dan kompos sebagai sumber haranya serta tepung tapioka sebagai bahan perekat antara komponen-komponen tersebut. Proses enkapsulasi dilakukan secara nonmekanis. Perincian komposisi dan konsentrasi bahan enkapsulat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Prosedur kerja enkapsulasi benih kehutanan adalah sebagai berikut: Tepung tapioka dilarutkan
Tabel 1. Berbagai Perlakuan Enkapsulasi Benih Sengon Komponen enkapsulat Perlakuan enkapsulasi, benih
Tanah (g)
Dedak (g)
Kompos (g)
Tepung tapioka matang (g)
Ratio Air (liter): tepung tapioka (g)
A
250
100
-
150
1 : 100
B
100
100
-
100
1 : 100
C
100
100
-
150
1 : 100
D
100
100
-
300
1 : 100
G
100
-
100
100
1 : 100
93
Jurnal Teknologi Indonesia 33 (2) 2010
dalam air dengan perbandingan tertentu dan dipanaskan sambil diaduk perlahan-lahan hingga mengental dan membentuk gel (kanji) dan dibiarkan menjadi dingin. Bahan-bahan enkapsulat (tanah, dedak, dan kompos) ditambahkan kepada larutan tapioka tersebut dan diaduk hingga merata di dalam baki plastik. Benih sengon yang telah disortasi kemudian dilapisi secara manual dengan campuran bahan enkapsulat yang telah dicampur dengan larutan tepung tapioka tersebut hingga membentuk butiran-butiran berdiameter ±1,0 cm. Kemudian benih sengon berenkapsulasi tersebut dikeringanginkan di dalam ruangan terbuka di atas baki plastik. Setelah kering benih berenkapsulasi tersebut disimpan dalam kemasan kedap udara selama satu tahun sebelum diuji daya perkecambahannya. Uji perkecambahan benih sengon tanpa dienkapsulasi (kontrol) Perkecambahan dilakukan di atas kertas (UDK)[5] di dalam ruangan yang bersuhu 28–30ºC dengan empat pengulangan, masing-masing terdiri dari 25 benih. Selain itu, dilakukan pula uji perkecambahan secara langsung di lapangan pada kondisi tanah berumput maupun berpasir disesuaikan dengan kondisi lahan sebenarnya. Setiap pengulangan menggunakan plot seluas 1m2 yang mengandung 100 benih. Penentuan kecambah normal adalah berdasarkan tunas yang muncul dari perkembangan daun sesuai dengan standar ISTA[6]. Daya perkecambahan dihitung berdasarkan jumlah rataan benih berkecambah pada setiap plot.
perkecambahan dilakukan pula di dalam growth chamber (Seedburo) pada suhu 28–30ºC. Perkecambahan ditentukan oleh dua parameter, yaitu persen dan laju perkecambahannya. Persen perkecambahan adalah jumlah kecambah yang dihasilkan di dalam kurun waktu tertentu sedangkan laju perkecambahan adalah jumlah hari yang dibutuhkan untuk mencapai persen perkecambahan. [7] Kecambah yang tumbuh menjadi planlet dihitung tinggi, jumlah daun majemuk, dan akarnya ditransfer ke polibag menggunakan media yang sama untuk pengamatan pertumbuhan selanjutnya. Analisis data Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Data dianalisis dengan sidik ragam (Anova) dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) menggunakan perangkat lunak pengolah data SPSS versi standard 11.0.0. dengan selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot, kadar air, dan perkecambahan benih koleksi Sebelum dilakukan uji perkecambahan, benih yang berasal dari setiap lokasi sumber dihitung bobot dan kadar airnya (Tabel 2). Tabel 2. Bobot dan Kadar Air Benih Sengon Hasil Koleksi Lapangan No.
Uji perkecambahan benih yang dienkapsulasi Benih yang telah dienkapsulasi dikeringanginkan dan disimpan selama satu tahun pada kemasan yang kedap udara. Proses pengecambahan dilakukan pada media pasir steril di dalam baki plastik berukuran 25 x 20 x 5 cm. Penggunaan media pasir bertujuan untuk mengetahui pengaruh enkapsulat terhadap pertumbuhan tanaman dengan asumsi bahwa media pasir tidak atau sedikit mengandung hara. Selain itu, pasir mempunyai porositas yang baik untuk pertumbuhan akar. Pengamatan perkecambahan dilakukan setiap hari selama 23 hari. Sementara itu,
94
Asal benih
Bobot/ 1000 benih
Kadar air (%)
1.
Bogor
23,11
8,48
2.
Cianjur
22,80
7,23
3.
Tasikmalaya
24,05
9,49
Hasil penimbangan bobot menunjukkan bahwa benih hasil koleksi dari daerah Tasikmalaya mempunyai bobot tertinggi (24,05g/1000 benih) dan kadar air tertinggi (9,49%), sedangkan bobot terendah (22,80g/1000 benih) dan kadar air terendah (7,23%) diperoleh dari benih asal Cianjur. Perbedaan kadar air benih dapat disebabkan oleh cara pemrosesan benih, baik pada waktu pengeringan maupun ekstraksi. Benih yang mempunyai bobot yang lebih berat akan
Dody Priadi: Aplikasi Teknik Enkapsulasi pada Benih Sengon
menghasilkan kecambah yang lebih tegar daripada yang mempunyai bobot ringan.[7] Namun, bobot benih merupakan karakter yang paling bervariasi dalam suatu jenis yang dipengaruhi oleh faktor genetis dan lingkungan.[8] Benih tanpa proses enkapsulasi (kontrol) Hasil pengujian daya perkecambahan benih sengon dari daerah Bogor, Cianjur, dan Tasikmalaya pada berbagai media pertumbuhan disajikan pada Tabel 3. Hasil pengujian daya perkecambahan benih sengon sebelum dienkapsulasi menunjukkan bahwa daya perkecambahan benih yang distratifikasi sebelum dikecambahkan lebih tinggi daripada yang tidak distratifikasi. Biji sengon mempunyai struktur kulit biji yang keras sehingga diperlukan pelunakan kulit biji (stratifikasi) sebelum dikecambahkan supaya air mudah menembus kulit biji sehingga benih cepat berkecambah. Hal ini adalah gejala yang umum untuk Leguminosae dan beberapa famili lain, seperti Cannaceae dan Convolvulaceae.[9] Struktur kulit biji cukup seragam kecuali daerah hilumnya. Daerah hilum pada tingkat tertentu dan pleurogram adalah bagian yang lemah dari kulit biji yang umumnya menjadi permeabel selama perlakuan awal terhadap biji.[5] Secara umum benih sengon yang dikecambahkan pada tanah berumput lebih tinggi daripada yang berpasir. Daya perkecambahan benih sengon yang dikoleksi dari Cianjur lebih tinggi dari Bogor dan Tasikmalaya kecuali pada tanah yang berpasir. Dalam hubungan tersebut diduga bahwa yang menyebabkan daya perkecambahan benih sengon asal Cianjur yang lebih tinggi adalah kualitas genetiknya yang lebih baik dibandingkan dengan kedua tempat sumber benih lainnya karena perbandingan benih antarprove nans biasanya tidak selalu dapat dipercaya.[8]
Daya perkecambahan di lapangan tertinggi (61,7%) diperoleh dari perkecambahan biji asal Cianjur pada tanah yang berumput meskipun secara statistik tidak berbeda nyata dengan asal Tasikmalaya. Daya perkecambahan benih pada tanah berpasir tidak berbeda nyata untuk semua asal koleksi benih. Gambar 1 menunjukkan pola perkecambahan benih sengon pada media pertumbuhan yang berbeda. Benih yang dienkapsulasi Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan enkapsulasi G (100 g tanah + 100 g kompos + 100 g tepung tapioka) menghasilkan nilai rataan pertumbuhan tertinggi pada semua parameter, meskipun bukan nilai tertinggi pada jumlah daun majemuk dan akar, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan nilai parameter pertumbuhan tersebut kemungkinan terjadi karena ditambahkannya kompos kepada komponen enkapsulat sehingga selain berfungsi sebagai bahan enkapsulat juga sebagai sumber hara setelah benih berkecambah di dalam kapsulnya. Perlakuan A (250 g tanah + 100 g dedak + 150 g tepung tapioka) menghasilkan nilai rataan paling rendah pada semua parameter pertumbuhan kecuali pada jumlah akar. Rendahnya nilai rataan tersebut disebabkan oleh terlalu tingginya volume tanah di dalam bahan enkapsulat sehingga kapsul menjadi kaku dan keras yang menghambat penambahan volume benih pada proses perkecambahan. Pola perkecambahan benih sengon yang dienkapsulasi disajikan pada Gambar 2. Pada perlakuan enkapsulasi A, B, C dan D, perkecambahan awal terjadi pada hari keempat, sedangkan pada perlakuan G lebih awal satu hari. Benih yang cepat tumbuh lebih mampu menghadapi kondisi lapang yang suboptimum.[5] Pada pene-
Tabel 3. Hasil Pengujian Daya Perkecambahan (%) Benih Sengon (Paraserianthes Falcataria) Hasil Koleksi dari Lapangan Media Perkecambahan
Stratifikasi (S) Bogor
Cianjur
Non- Stratifikasi (NS)
Tasikmalaya
Bogor
Cianjur
Tasikmalaya
Kertas tisu (T)
76.7 b
97.3 a
88.7 a
22.3 e
19.0 e
12.0 ef
Berumput (Gr)
44.0 d
61.7 c
56.7 c
4.3 f
1.3 f
2.3 f
Berpasir (Sd)
42.3 d
39.0 d
40.7 d
3.7 f
1.0 f
2.7 f
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata (5%) menurut DMRT.
95
Jurnal Teknologi Indonesia 33 (2) 2010
litian ini laju perkecambahan perlakuan G terus meningkat hingga mencapai 24,7% pada hari ke 11 dan setelah itu nilainya tetap sampai akhir pengamatan. Pada perlakuan enkapsulasi lainnya (A, B, C, dan D) persentase perkecambahan masih di bawah 10% dan tidak meningkat setelah
10–14 hari perkecambahan. Nilai yang penting pada kurva perkecambahan adalah titik laju perkecambahan mulai melambat dan persentase akhir perkecambahan karena dua faktor tersebut dapat menentukan fase cepat dan fase lambat dari suatu proses perkecambahan.[7]
100
100
A
B 80
Daya Perkecambahan (%)
Daya Perkecambahan (%)
80
60
40
20
60
40
20
0
0 1
2
3
4
5
6
7
8
1
H a r i Pe n g a m a ta n Bogor
Cianjur
2
3
4
5
6
7
8
H ari P e ngamatan
Bogor
Tas ikmalay a
Cianjur
Tas ikmalay a
Gambar 1. Pola perkecambahan benih sengon yang distratifikasi dan dkecambahkan pada lahan yang berumput (A) dan berpasir (B). Tabel 4. Nilai Rataan Parameter Pertumbuhan Sengon Setelah Dikecambahkan Selama 23 Hari pada Media Pasir yang Disterilkan Perlakuan enkapsulasi A
Daya Perkecambahan (%) 6,3 b
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah daun majemuk
Jumlah akar
2,5 b
2.7 b
8,2 a
B
7,7 b
3,2 ab
3.5 ab
7,5 a
C
6,7 b
3.5 ab
4.2 a
6.9 a
D
5,3 b
3.8 a
4.0 a
8.4 a
G
24,7 a
3.9 a
3.8 ab
6,5 a
Keterangan: 1. Angka yang diikuti huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan nyata (5%) menurut uji jarak berganda Duncan (DMRT) 2. Perlakuan A=250 g tanah + 100 g dedak + 150 g tepung tapioka 3. Perlakuan B=100 g tanah + 100 g dedak + 100 g tepung tapioka 4. Perlakuan C=100 g tanah + 100 g dedak + 150 g tepung tapioka 5. Perlakuan D=100 g tanah + 100 g dedak + 300 g tepung tapioka 6. Perlakuan G=100 g tanah + 100 g kompos + 100 g tepung tapioka
96
Dody Priadi: Aplikasi Teknik Enkapsulasi pada Benih Sengon
30
Perkecambahan (%)
25
A
20
B
15
C D
10
G
5 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23
P e ng a m a ta n (ha ri) Gambar 2. Pola perkecambahan benih sengon yang dienkapsulasi dan dikecambahkan pada media pasir yang disterilkan A=(250 g tanah + 100 g dedak + 150 g tepung tapioka), B=(100 g tanah + 100 g dedak + 100 g tepung tapioka), C= (100 g tanah + 100 g dedak + 150 g tepung tapioka), D= (100 g tanah + 100 g dedak + 300 g tepung tapioka) dan G=(100 g tanah + 100 g kompos + 100 g tepung tapioka)
Kompos sebagai suatu komponen enkapsulat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena mengandung hara yang diperlukan oleh tanaman. Sebaliknya, dedak dapat merangsang kontaminasi benih oleh cendawan atau jasad renik karena dedak menyediakan zat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jasad renik. Untuk mengatasi hal ini pada penelitian selanjutnya perlu ditambahkan fungisida nabati ke dalam bahan enkapsulat. Penggunaan fungisida nabati yang berasal dari tepung kunyit (Curcuma domestica) pada seed coating benih cabai besar (Capsicum annuum) berpengaruh nyata terhadap penurunan tingkat infeksi cendawan Colletotrichum capsici, tetapi dapat menurunkan daya perkecambahan benih.[10] Polimer lignosulfonat kitosan yang digabung dengan eugenol sebagai bahan seed coating untuk benih padi (Oryza sativa) juga dapat menghambat pertumbuhan sebagian besar jenis cendawan selama sembilan bulan penyimpanan.[11] Hasil pengamatan menunjukkan bahwa benih yang distratifikasi sebelum dienkapsulasi mengalami imbibisi sehingga merusak dinding kapsul dan berkecambah lebih awal. Di samping
itu, bila proses perkecambahan dilakukan dalam growth chamber, benih tidak mampu berkecambah meskipun kapsul telah pecah (Gambar 3). Gejala ini menunjukkan bahwa benih yang telah dienkapsulasi tidak dapat dianggap sebagai suatu benih utuh sehingga memerlukan penanganan yang berbeda dari benih yang tidak dienkapsulasi. Studi di atas menunjukkan bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi serta standarisasi bahan dan konsentrasi enkapsulat yang lebih sesuai untuk benih kehutanan sehingga diperoleh pertumbuhan yang optimal.
KESIMPULAN Konsentrasi optimal tepung tapioka yang dapat mengikat antarkomponen enkapsulat dengan benih sengon adalah 100 g/l air. Kompos selain berfungsi sebagai komponen enkapsulat juga sebagai sumber hara bagi benih setelah berkecambah sehingga nilai rataan parameter pertumbuhannya paling tinggi. Sebaliknya dedak yang digunakan sebagai komponen enkapsulat menyebabkan kontaminasi kapsul benih oleh
97
Jurnal Teknologi Indonesia 33 (2) 2010
A
B
Gambar 3. Benih sengon berkecambah yang dikecambahkan di dalam ruangan (A) dan benih sengon tidak berkecambah, yang dikecambahkan di dalam growth chamber (B)
cendawan atau jasad renik lainnya sehingga menyebabkan kematian benih. Benih yang dienkapsulasi tidak bisa dianggap sebagai benih utuh. Oleh karena itu, tidak dapat dikecambahkan dalam growth chamber. Benih yang akan dienkapsulasi tidak perlu distratifikasi karena menyebabkan benih mengalami imbibisi sehingga berkecambah lebih awal.
[3]
[4]
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai melalui program insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (DIKTI-LIPI) tahun 2009. Terima kasih kepada Dr. Usep Soetisna, Puslit BioteknologiLIPI atas koreksi naskah dan masukan yang sangat berharga kepada Penulis selama penelitian maupun penulisan naskah ini, dan kepada Yani Cahyani, S.P. dan Destiana yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
[5] [6]
[7]
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
98
Priadi, D., E. Sudarmonowati, R. Arifani & S. Farisy. (2000). Kriopreservasi Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) dan Mangium (Acacia mangium Willd.) Dengan Metoda Enkapsulasi-Dehidrasi dalam Subroto, M.A. et.al. (Eds.) Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III: 377–382. Mamiya, K. and Y. Sakamoto. (2001). A Method to Produce Encapsulatable Units for Synthetic Seeds in Asparagus officinalis. Plant Cell Tiss. Organ Cult., 64: 27–32.
[8]
[9]
Raman, R. & G. Kuppuswamy. (2006). Effect of Seed Coating with Biogas Slurry, Inorganic Nutrients and Rhizobium on Growth and Yield of Rice Fallow Mungbean (Vigna radiata. (L) Wilczek). Tamil-Nadu India: Department of Agronomy, Faculty of Agriculture, Annamalai University. Masripatin, N., A. Rimbawanto, A. YPBC Widyatmoko, D. Purwito, M. Susanto, N. Khomsah, Yuliah, T. Setiadi and L. Hakim. (2003). A Country Report on the Status of Forest Genetic Resources Conservation and Management in Indonesia. Yogyakarta: Center for Forest Biotechnology and Tree Improvement Research and Development. Sadjad, S. (1993). Dari Benih Kepada Benih. Jakarta: Grasindo. ISTA (The International Seed Testing Association). (2006). International Rules for Seed Testing. Edition 2006. Switzerland: Bassersdorf. CH. Hartmann, H.T., Dale E. Kester, and Fred T. Davies JR. (1990). Plant Propagation, Principles and Practices 5th ed. New Jersey: Prentice Hall International. Schmidt, L. (2000). Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Bewley, J.D. and M. Black. (1986). Seeds; Physiology of Development and Germination. New York: Plenum Press.
Dody Priadi: Aplikasi Teknik Enkapsulasi pada Benih Sengon
[10] Setiyowati. H,. M. Surahman, dan S. Wiyono. (2007). Pengaruh Seed Coating dengan Fungisida Benomil dan Tepung Curcuma terhadap Patogen Antraknosa Terbawa Benih dan Viabilitas Benih Cabai Besar (Capsicum annuum L.). Bul. Agron, 35(3): 176–182.
[11] Thobunluepop, P. (2009). The Inhibitory Effect of the Various Seed Coating Substances Against Rice Seed Born Fungi and Their Shelf-Life During Storage. Pakistan Journal of Biological Sciences 12(16): 1102–1110.
99