BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Sengon Sengon atau Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen [Syn. Albizia falcataria (L.) Fosberg] termasuk suku Mimosaceae (petai-petaian) (Lemmens, 1994). Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah, antara lain jeunjing, kalbi, sengon laut (Jawa), seja, sikat, tawa dan gosui (Maluku). Sengon merupakan jenis asli Indonesia berasal dari kepulauan Maluku dan Irian Jaya. Tetapi jenis ini sekarang sudah tersebar ke seluruh kepulauan, bahkan ke barat sampai India, ke utara sampai ke Filipina dan ke timur sampai ke Fiji (Suharti et al., 1991). Penyebaran yang luas disebabkan oleh mudahnya jenis ini tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Sumiasri (1990), sengon dapat tumbuh di lahan basah basah maupun kering, di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan kisaran pH tanah 4.75 – 7.85. Selain itu, sengon dapat ditanam pada tanah yang kurang subur tanpa pupuk, tetapi tidak dapat tumbuh pada tanah berdrainase jelek (Hidayat, 2002). Kayu merupakan bagian terpenting yang memiliki nilai ekonomi pada tanaman sengon. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 35 – 40 meter dengan diameter batang sekitar 70 – 80 cm. Bentuk batang sengon bulat dan memiliki panjang batang bebas cabang antara 10 - 30 m dari permukaan tanah. Kulit kayu licin dan berwarna kelabu muda (Lemmens, 1994).
4
(a) (b) Gambar 2.1. (a) Kebun sengon berumur 1 tahun dan (b) kayu sengon yang telah dipanen (Sumber: Dokumentasi pribadi) Kayu sengon merupakan jenis kayu yang mudah digergaji. Hal tersebut memudahkan pengolahan kayu seperti untuk konstruksi ringan, papan peti kemas, perabotan rumah tangga, kayu lapis, tangkai dan kotak korek api dan pulp kertas. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, kayu sengon telah banyak diekspor dalam bentuk kayu gergajian, komponen pintu dan papan blok (Suharti et al., 1991). Nilai kalor kayu sengon cukup tinggi sekitar 4.664 kkal/kg. Pada industri penggergajian atau papan blok yang menggunakan bahan baku kayu sengon, umumnya memanfaatkan limbah kayunya sebagai sumber bahan bakar dalam proses pengeringan produk
(Suharti et al., 1991). Brewbaker (1995, dalam
Bassam, 1998) juga menggolongkan sengon ke dalam salah satu jenis tanaman kemurgi alternatif. Sengon mampu bersimbiosa dengan bakteri tanah (Rhizobium) dalam melakukan proses penambatan nitrogen. Kemampuan ini disebabkan oleh adanya bintil-bintil pada akar yang mengandung bakteri penambat nitrogen tersebut (Suharti et al., 1991). Oleh karena itu sengon juga berfungsi meningkatkan kesuburan tanah dengan jalan memberikan nitrogen ke dalam tanah disamping dipergunakan oleh tanaman itu sendiri (Sumiasri, 1990).
5
Keanekaragaman kegunaan tanaman sengon menyebabkan tanaman ini memiliki nilai sosial ekonomi yang tinggi dan menguntungkan. Berkembangnya industri dan teknologi perkayuan menyebabkan meningkatnya peran kayu sengon sebagai bahan baku pemenuhan kebutuhan industri kayu dan industri lainnya. Dengan
demikian,
penyediaan
kayu
dalam
jumlah
besar,
cepat
dan
berkesinambungan semakin dituntut (Suharti et al., 1991). Mikropropagasi merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk produksi bibit tanaman dalam jumlah besar. Beberapa penelitian mikropropagasi sengon telah dilakukan diantaranya perbanyakan melalui nodus kotiledon dan nodus daun Albizia odoratissima L.F. (Benth.) yang dilakukan oleh Rajeswari dan Paliwal (2006). Mereka menyatakan respon pembentukan pucuk dan panjang pucuk dipengaruhi oleh konsentrasi sitokinin dan tipe eksplan. Selain itu kombinasi dua sitokinin dapat meningkatkan laju multiplikasi pucuk, persentase pembentukan tunas dan panjang pucuk. Kombinasi 5 µM BAP dan 10 µM kinetin meningkatkan respon regenerasi secara signifikan. Bon et al. (1998) mengamati pengaruh BAP, Kinetin, IBA dan NAA terhadap nodus tunggal Acacia mangium dan Paraserianthes falcataria secara in vitro. Zat pengatur tumbuh yang diuji mampu meningkatkan kemampuan mikropropagasi A. mangium dan P. falcataria dalam membentuk tunas daripada membentuk akar. 2.2. Karbenisilin Menurut Cappuccino (1996), antibiotik merupakan senyawa yang disintesis dan disekresikan oleh bakteri, fungi dan aktinomiset tertentu yang dapat merusak atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Antibiotik bekerja secara selektif mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri. Kelompok
6
antibiotik
selektif
berdasarkan
mekanisme
kerja
antibakterinya
dapat
dikategorikan sebagai berikut: (1) penghambatan sintesis dinding sel, (2) penghambatan sintesis protein, (3) kerusakan membran sel, (4) penghambatan síntesis DNA atau RNA dan (5) beraksi sebagai antimetabolit (Madigan et al., 1997). Antibiotik β-laktam merupakan penghambat potensial sintesis dinding sel. Pada saat sintesis dinding sel terjadi reaksi transpeptidasi yang menyebabkan dua rantai peptidoglikan bersilangan. Reaksi ini disempurnakan oleh enzim transpeptidase yang juga mampu berikatan dengan penisilin atau antibiotik lain yang memiliki cincin β-laktam. Oleh karena itu, enzim transpeptidase dikenal sebagai protein pengikat penisilin (PBPs/penicillin binding proteins). PBPs berikatan sangat kuat dengan penisilin sehingga tidak dapat mengkatalis reaksi transpeptidasi. Dinding sel terus dibentuk tetapi tidak bersilangan dan kemudian menjadi lemah akibat kekuatan peptidoglikan yang semakin menurun. Selain itu, komplek antibiotik-PBP menstimulasi lepasnya autolisin yang mendegradasi dinding sel hidup (Madigan et al., 1997). Karbenisilin termasuk antibiotik β-laktam golongan penisilin. Antibiotik ini bersifat bakterisida terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, dimana Agrobacterium merupakan bakteri Gram negatif. Adanya modifikasi pada struktur N-acyl menyebabkan antibiotik ini mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan selubung sel bakteri Gram negatif, sehingga mereka memiliki spektrum kerja luas meliputi bakteri Gram positif dan Gram negatif (Madigan et al., 1997). Karbenisilin merupakan antibiotik berbentuk bubuk kristal putih berasa pahit, higroskopik dan tidak berbau. Karbenisilin tidak larut dalam kloroform dan
7
eter dan tidak stabil dalam asam (Wattimena et al., 1991). Berikut struktur kimia karbenisilin :
Karbenisilin (spektrum luas)
Gambar 2.2. Struktur kimia karbenisilin (Sumber : Black, 1999) Pada kultur tanaman, antibiotik terutama digunakan sebagai pengontrol penyakit. Walaupun demikian, senyawa ini dapat mempengaruhi morfologi tanaman, menghambat atau menstimulasi pertumbuhan tanaman tersebut. Selain itu, dapat menyebabkan perubahan fisiologi dan modifikasi genetik pun telah pernah dilaporkan. Umumnya respon yang timbul dengan pemberian antibiotik sangat tergantung pada sensitifitas tiap spesies tanaman, jenis antibiotik serta konsentrasi
antibiotik
yang
digunakan.
Contohnya,
antibiotik
dapat
mempengaruhi proses fotosintesis, pigmentasi, sintesis asam organik, dan lainlain (Goodman, 1966). Adanya teknologi rekayasa genetika dalam menghasilkan tanaman transgenik menyebabkan fungsi antibiotik lebih dibutuhkan lagi. Antibiotik berperan mengontrol keberadaan Agrobacterium ketika kehadirannya tidak dibutuhkan lagi oleh tanaman (Silva dan Fukai, 2001). Akan tetapi, dibutuhkan penelitian lebih lanjut seberapa besar konsentrasi antibiotik yang harus diberikan pada kultur tanaman agar dapat membunuh Agrobacterium tapi tidak menyebabkan toksisitas pada tanaman. Beberapa penelitian tentang pengaruh karbensilin terhadap pertumbuhan tanaman telah dilakukan. Umumnya konsentrasi karbenisilin yang digunakan
8
cukup tinggi. Yu et al. (2001), Silva dan Fukai (2001) dan Estopa et al. (2001) menggunakan karbenisilin dengan kisaran konsentrasi antara 0 – 500 mg/L. Menurut Yu et al. (2001) berat basah kalus Carica papaya meningkat pada 250 mg/L karbenisilin. Akan tetapi, frekuensi kalus embriogenik tertinggi didapat pada karbenisilin dengan konsentrasi 125 mg/L. Konsentrasi karbenisilin yang lebih tinggi (375-500 mg/L) mampu menginduksi pertumbuhan kalus namun menghambat pembentukan embrio somatik. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan karbenisilin secara perlahan
menghambat
pemanjangan
pucuk
Dianthus
caryophyllus
L.
dibandingkan kultur yang ditanam pada medium tanpa antibiotik (Estopa et al., 2001). Fenomena fitotoksik terlihat ketika karbenisilin 500 mg/L ditambahkan dalam medium kultur Dendranthema grandiflora (Ramat.) dan Nicotiana tabacum Samsun SS (Silva dan Fukai, 2001).
9